Model Pertumbuhan Sapi Fries Holland dari Lahir sampai Siap Kawin

MODEL PERTUMBUHAN SAPI FRIES HOLLAND
DARI LAHIR SAMPAI SIAP KAWIN

LIA BUDIMULYATI SALMAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Model
Pertumbuhan Sapi Fries Holland dari Lahir sampai Siap Kawin” adalah karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor

Bogor, April 2014
Lia Budimulyati Salman
NIM: D161090051

RINGKASAN
LIA BUDIMULYATI SALMAN Model Pertumbuhan Sapi Fries Holland dari
Lahir sampai Siap Kawin. Dibimbing oleh CECE SUMANTRI, RONNY
RACHMAN NOOR, ASEP SAEFUDDIN dan CHALID TALIB
Permasalahan rendahnya produksi susu nasional menjadi kendala dalam
pemenuhan kebutuhan konsumen disebabkan antara lain oleh terbatasnya jumlah
populasi sapi perah. Ketersediaan ternak pengganti atau replacement stock masih
sangat kurang untuk meningkatkan populasi sapi perah di Indonesia. Tidak
tersedianya ternak pengganti disebabkan banyak peternak yang tidak mau
memelihara pedet sampai menjadi dara siap kawin, karena dianggap kurang
menguntungkan. Analisis pertumbuhan seringkali dikaitkan dengan kurva
pertambahan bobot badan dalam rentang umur tertentu. Berdasarkan teori dasar,
pertumbuhan dibagi dalam dua fase yang berbeda, yaitu fase dengan laju
pertumbuhan (slope) bersifat positif dan pada kondisi slope bersifat negatif. Titik
peralihan dari dua sifat yang berbeda ini akan didapatkan pada titik belok suatu
lereng kurva pertumbuhan. Penentuan titik peralihan tersebut memerlukan model

yang tepat, karena model konvensional yang hanya menggunakan perhitungan
dengan regresi linier tidak mampu menjelaskan fenomena yang ada. Melalui
pemahaman yang baik pada sifat pertumbuhan, dapat diperkirakan kapan saat
pubertas tercapai, sehingga dapat ditentukan waktu dan bobot hidup yang tepat
untuk melakukan perkawinan pertama pada sapi dara. Ini dikarenakan umur
pubertas dan kawin pertama sapi dara akan sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan
dan bobot badan yang dicapai selama masa prepubertas.
Penelitian ini terbagi atas dua tahap yaitu 1) menentukan perbandingan
akurasi Model Logistic, Gompertz dan Von Bertalanffy dalam menduga
pertumbuhan anak lahir sampai siap kawin sapi Fries Holland (FH) dan 2)
membuat simulasi pertumbuhan sapi Fries Holland dari lahir sampai siap kawin
berdasarkan model pertumbuhan yang diperoleh pada tahap satu. Data yang
digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil penimbangan bobot badan dari
sapi perah FH betina sejumlah 1221 ekor yang dikoleksi oleh PT Taurus Dairy
Farm Sukabumi dari tahun 2001 sampai 2011. Sapi dara yang mempunyai data
lengkap dari lahir sampai kawin pertama sejumlah 373 ekor. Pengukuran bobot
badan dilakukan selang satu bulan hingga ternak siap untuk dikawinkan pertama
kali (15 – 30 bulan). Data yang dianalisis hanyalah data ternak betina. Sedangkan
untuk data BBPTU Baturraden 214 ekor data kelahiran sampai ternak siap untuk
dikawinkan pertama kali dari 2010 sampai 2011. Data dianalisis dengan

menggunakan Paket program SAS 9.2 yang menyediakan program khusus untuk
mencari parameter dalam model non linier yaitu dengan menggunakan prosedur
NLIN (Non Linear).
Langkah-langkah dalam simulasi sesuai dengan penyebaran ketidakpastian
dapat diimplementasikan di Excel untuk model sederhana. Untuk melengkapi
pembuatan simulasi diperlukan nilai kebutuhan nutrien bagi sapi perah mulai lahir
sampai siap kawin (sapi dara/muda), diambil dari Nutrient Requirements of Dairy
Cattle. Selain itu diperlukan pula nutrien bahan pakan baik hijauan maupun
konsentrat yang biasa diberikan pada sapi muda

Hasil penelitian menunjukkan bahwa. ketiga model matematika non linier
yang dipakai dalam penelitian ini mempunyai tingkat akurasi yang tinggi dengan
nilai koefisien determinasi (R2) lebih dari 90%. Model Gompertz dan Logistic
dapat direkomendasikan untuk memprediksi kecepatan atau laju pertumbuhan saat
pubertas karena memiliki bobot badan dan standard error yang lebih rendah dari
yang ditampilkan oleh model Bertalanffy. Model Gompertz merupakan model
yang paling mudah dalam proses penghitungan. sedangkan model Logistic
merupakan model yang lebih sulit dalam proses penghitungan. Model kurva
pertumbuhan sapi perah FH yang sesuai dengan situasi dan kondisi skala industri
peternakan sapi perah di Indonesia setelah divalidasi dengan keadaan lapangan

adalah model matematik Logistic. Simulasi pertumbuhan sapi perah FH dari lahir
siap kawin disusun dengan memakai model matematika Logistic, hasil simulasi
ini dapat diterapkan untuk usaha peternakan ataupun usaha pembibitan. Faktor
yang mempengaruhi laju pertumbuhan sapi perah dari lahir sampai dengan siap
kawin yang diimplementasikan dalam bentuk simulasi adalah cara pemberian
pakan dan lingkungan dimana sapi tersebut dipelihara
Kata kunci: Kurva Pertumbuhan, koefisien determinasi, sapi perah FH, model
matematika

SUMMARY
LIA BUDIMULYATI SALMAN. Model on Growth of New Born Calve until
First Mating Holstein Dairy Cattle. Supervised by CECE SUMANTRI, RONNY
RACHMAN NOOR, ASEP SAEFUDDIN and CHALID TALIB
The low national milk production is a major constraint in meeting the
consumers demand caused partly by the limited number of dairy cattle population.
Availability of heifer or replacement stock is still lacking to improve dairy cattle
population in Indonesia. Unavailability of replacement cow is due to farmer do
not want to maintain heifers until puberty, because of less profit. Analysis of the
growth curve is often associated with body weight gain in a particular age range.
Based on the basic theory, the growth is divided into two distinct phases. The

phase is positive, namely phase with growth rate (slope) and the second is
negative slope. The transition point from these two different stages will be
obtained at the inflection point of a growth curve slope. Determination of the
transition point requires the appropriate model, because the conventional models
using only the linear regression are not able to explain the phenomena. Through
better understanding of the growth process and its characteristics, it is possible to
estimate the best time that puberty is reached, so that the time and appropriate
body weight for the first mating of heifers can be determined more accurately.
This is because the age of puberty and first mating of heifers will be greatly
influenced by the growth and body weight achieved during pre-puberty.
This study is divided into two stages: 1) to compare the accuracy of the
models between Logistic, Gompertz and von Bertalanffy in estimating growth of
new born Holstein calf until first mating and 2) to simulate the growth of Holstein
calf from birth to first mating based on the growth model obtained in stage one.
The body weight data of Holstein cows used in this study was come from
collected data of 1221 heads of heifers weighted by Taurus Dairy Farm in period
from 2001 to 2011. There are 373 heifers that have an individually complete data
from the new born to first mating and they are also perform as a representative of
the commercial dairy farm. The Baturraden Breeding Centre of Dairy Cattle have
recorded an individually complete data as many as 214 from the new born calves

to the first mating in range of 2010 and 2011 for representing the non-commercial
dairy farm. Those heifers were weighted monthly from one day old until the first
mating (15-30 months old). The data were analyse using the SAS 9.2 program
package that provides specialized programs to search for parameters in non-linear
models by using the NLIN (non-linear) procedure.
Simulation of random distributions was implemented in Excel using a
simple model. To complete the simulation, the nutritionists need nutrient
requirements of heifers from birth to first mating obtained in the Nutrient
Requirements of Dairy Cattle. Besides this, the simulation was supported by
tables of the nutritional content of roughages, feedstuffs and concentrates, which
was obtained through proximate analysis from several sources.
The results showed that the three non-linear mathematical models used in
this study is a high degree of accuracy with the coefficient of determination (R2)
of more than 90%. The Gompertz and Logistic models are recommended for the
prediction or rate of growth at the time of puberty caused by predicted body

weights and theirs SE (standard error) are lower than those presented by
Bertalanffy. The Gompertz model is the simplest model in the counting process,
while the Logistic model is a model that is more difficult in the counting process.
Growth curve model of Holstein heifers according to the situation and condition

in both commercial dairy farm and dairy cattle breeding farm, and after validated
within the state of the field in Indonesia, mathematical model of Logistic is
recommended. Simulation of the growth from new born dairy heifers to first
mating by using the Logistic model shows that the results of this simulation can
be applied to the commercial dairy farm and the breeding dairy farm. Factors
affecting the growth rate of Holstein from birth until first mating that is
implemented in the form of simulation is the way in which feeding applied to
support the environment where heifers maintained to fulfill the animal’s nutrient
requirements.
Keywords: Growth curves, coefficient of determination, Holstein, mathematical
model

©Hak Cipta milik IPB. Tahun 2014
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB


Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun, tanpa izin IPB.

MODEL PERTUMBUHAN SAPI FRIES HOLLAND
DARI LAHIR SAMPAI SIAP KAWIN

LIA BUDIMULYATI SALMAN

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji luar komisi pada:
Ujian Tertutup :

1. Dr Ir Bagus Priyo Purwanto, MAgr. (Fakultas Peternakan IPB, Departemen
IPTP)
2. Dr Ir Idat Galih Permana, MSc Agr. (Fakultas Peternakan IPB, Departemen
IPTP)
Ujian Terbuka :
1. Dr Ir Laurentius Hardi Prasetyo, MAgr. (Balai Penelitian Peternakan , Bogor)
2. Prof Dr Ir Toto Toharmat, MAgr Sc. (Fakultas Peternakan IPB, Departemen
INTP)

HALAMAN PENGESAHAN
Judul Penelitian
Nama
NIM
Program Studi/Mayor

: Model Pertumbuhan Sapi Fries Holland dari Lahir
sampai Siap Kawin
: Lia Budimulyati Salman
: D161090051
: Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan


Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Cece Sumantri, MAgr Sc.
Ketua

Prof Dr Ir Ronny R. Noor, MRur Sc.
Anggota

Prof Dr Asep Saefuddin, MSc.
Anggota

Dr Ir Chalid Talib. MS.
Anggota

Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan


Dr Ir Salundik, MSi.
Tanggal Ujian: 29 April 2014

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr.
Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas karunia Rahmat dan
Kasih Sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini dengan
judul “Model Pertumbuhan Sapi Fries Holland dari Lahir sampai Siap Kawin”
pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Penyusunan
disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor pada
Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih
kepada :
1. Seluruh komisi pembimbing, Prof Dr Ir Cece Sumantri, MAgrSc., Prof Dr Ir
Ronny Rachman Noor, MRur Sc., Prof Dr Ir Asep Saefuddin, MSc. dan Dr Ir
Chalid Talib, MSc. yang telah memberi arahan, bimbingan, saran dan perhatian
dalam penyelesaian disertasi ini. Beliau semua telah banyak menolong saya
dari awal penelitian hingga terselesaikannya disertasi ini tanpa lelah.
2. Rektor Universitas Padjadjaran Prof. DR. Ganjar Kurnia, Ir. DEA, Dekan
Fakultas Peternakan mulai dari Prof Dr Ir Dadi Suradi,MSi., Dr Ir Iwan
Setiawan, DEA dan Prof Dr Ir Husmy Yumiarti,MSi., kemudian kepada
Kepala Laboratorium Produksi Ternak Perah mulai dari Dr Ir Enni Sukraeni,
MSi (almarhumah), Ir. Willyan Djaja, SU dan Dr Ir Didin Tasripin, MSi. serta
keluarga besar Laboratorium Produksi Ternak Sapi Perah Fakultas Paternakan
Universitas Padjadjaran yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk
melanjutkan studi S3 di Sekolah Pascasarjana IPB.
3. Rektor, Dekan Sekolah Pascasarjana, Dekan Fakultas Peternakan IPB dan para
dosen beserta staf administrasi di lingkungan Program Studi Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan Sekolah Pascasarjana IPB yang selalu memberikan
kesempatan, perhatian, semangat, bantuan, dan semua masukan selama
melaksankan studi S3.
4. Dr Ir Laurentius Hardi Prasetyo, MAgr dan Prof Dr Ir Toto Toharmat,
MAgrSc. sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka serta Dr Ir Bagus
Priyo Purwanto, MAgr. dan Dr Ir Idat Galih Permana, MScAgr sebagai penguji
luar komisi pada ujian tertutup.
5. Pimpinan beserta pegawai PT Taurus Dairy Farm, Sukabumi dan BBPTU Sapi
Perah Baturraden, Purwokerto yang telah memberikan tempat untuk
melakukan penelitian lapangan juga bantuan pikiran dan tenaga yang diberikan
selama melakukan penelitian.
6. Bapak Nur Andi Setiabudi SSi. dan Ir. Abdullah F Alim, MS atas bantuan
pikiran dan tenaga selama pengolahan data dan pembuatan simulasi.
7. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI) atas beasiswa untuk studi S3
melalui program BPPS.
8. Teman-teman Pascasarjana angkatan 2009, dan semua pihak yang tidak bisa
disebutkan satu per satu, atas bantuan dan kerja sama selama studi bahkan pada
tahap-tahap penulisan disertasi ini.
9. Kedua orang tua Ema (alm) dan Apa (alm) yang telah mendidik dan
mengarahkan penulis selama beliau masih ada, ibu mertua serta kakak dan adik
yang telah memberikan motivasi dan dorongan selama melaksanakan studi S3
di Bogor.

10. Suami Rukmantoro Salim dan anak-anakku Muhamad Rulianto Salim,
Muhamad Ruliawan Salim dan Nurahma Ruliantia Salim, atas kesabaran,
dorongan, doa, perhatian, dan curahan kasih sayang selama ini. Maaf jika
banyak waktu kalian yang tersita
Karya ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi berbagai pihak
dalam rangka pengembangan ilmu ternak perah.
Bogor, April 2014
Lia Budimulyati Salman

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

Halaman
xviii

DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1

2

3

4

xviii
xix

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
3
3
3

TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Sapi Perah FH
Manajemen Pemeliharaan dari Lahir sampai Siap kawin
Pertumbuhan Sapi Perah
Bobot Lahir
Bobot Sapih
Bobot Kawin Pertama
Kurva Pertumbuhan
Simulasi Pertumbuhan

6
6
7
8
8
9
9
13

PERBANDINGAN AKURASI MODEL LOGISTIC, GOMPERTZ DAN
VON BERTALANFFY DALAM MENDUGA PERTUMBUHAN
ANAK LAHIR SAMPAI SIAP KAWIN SAPI FRIES HOLLAND
ABSTRAK
ABSTRACT
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

15
15
16
17
20
27

SIMULASI PERTUMBUHAN SAPI FRIES HOLLAND DARI LAHIR
SAMPAI SIAP KAWIN
ABSTRAK
ABSTRACT
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

28
28
29
30
31
36

xvi

5

PEMBAHASAN UMUM

38

6

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

42
42
42

DAFTAR PUSTAKA

43

LAMPIRAN

xvii

DAFTAR TABEL
Halaman
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Model matematik kurva pertumbuhan
Titik infleksi pada model kurva pertumbuhan non linier
Turunan parsial model-model Logistik, Gompertz dan von
Bertalanffy
Persamaan model kurva pertumbuhan sapi perah FH dari lahir
sampai siap kawin, umur dan bobot saat pubertas
Jumlah iterasi untuk setiap model
Nilai korelasi antar parameter tiap model
Nilai parameter kurva pertumbuhan
Nilai koefisien determinasi (R2) pada setiap model
Persamaan model kurva pertumbuhan sapi perah FH dari lahir
sampai siap kawin, umur dan bobot saat pubertas

17
18
19
21
23
24
25
26
31

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
2
3
4

5

6
7
8
9

Alur metode analisis data
Alur pembuatan simulasi pertumbuhan
Kurva pertumbuhan sejak lahir sampai ternak mati (Brody, 1945)
Kurva pertumbuhan sapi perah FH dari lahir sampai siap kawin
dengan lama pencatatan (A) 29 bulan, (B) 21 bulan dan(C)
Baturaden. Simbol (●) bobot teramati, (×) kurva Gompers, (▲)
kurva Von Bertalanffy, dan (+) kurva Logistic
Grafik rataan simpangan data model dibandingkan data lapang dari
tiap model pada pencatatan (A) 29 bulan, (B) 21 bulan dan (C)
Baturraden. Simbol (▲) eLog. (♦) eGom. dan (●) eVon
Kurva pertumbuhan sapi perah FHdari lahir sampai kawin pertama.
Tampilan simulasi pertumbuhan dan kebutuhan pakan dari lahir
Hasil simulasi setelah memasukkan umur pedet
Hasil simulasi setelah memasukkan bahan pakan yang diberikan

4
5
10

22

27
33
34
35
36

xviii

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
2
3
4

xix

Langkah-langkah analisis data pertambahan bobot badan untuk
BPPTU sapi perah Baturraden Purwokerto dengan program SAS
Hasil analisis SAS pertambahan bobot badan untuk Baturraden
Langkah-langkah analisis data pertambahan bobot badan untuk PT
Taurus Dairy Farm Sukabumi dengan program SAS
Hasil analisis SAS pertambahan bobot badan untuk PT Taurus

49
53
71
75

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Susu merupakan salah satu bahan pangan yang sangat penting dalam
mencukupi kebutuhan gizi masyarakat, serta merupakan komoditas ekonomi yang
mempunyai nilai sangat strategis. Perbandingan konsumsi susu per kapita antara
yang dipenuhi dari produksi dalam negeri (2.7855 kg/tahun) dengan susu impor
(8.265 kg/tahun), menunjukkan bahwa Indonesia masih sangat tergantung dari
impor susu (Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2013).
Jika keadaan produksi susu nasional dibiarkan terus tanpa adanya suatu
upaya yang nyata untuk meningkatkannya, maka kesenjangan antara produksi
dengan permintaan akan semakin melebar pada tahun-tahun mendatang. Kondisi
tersebut mengakibatkan ketergantungan terhadap susu impor akan semakin besar
sehingga akan berdampak terhadap pengurasan devisa negara. Salah satu jalan
mengatasinya adalah memacu peningkatan produksi susu nasional pada tahuntahun mendatang.
Permasalahan rendahnya produksi susu nasional menjadi kendala dalam
pemenuhan kebutuhan konsumen disebabkan antara lain oleh terbatasnya jumlah
populasi sapi perah. Populasi sapi perah tahun 2013 adalah sebanyak 636064 ekor
(Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2013). Ketersediaan ternak betina
pengganti atau replacement stock masih sangat kurang untuk meningkatkan
populasi sapi perah di Indonesia. Tidak tersedianya ternak pengganti tersebut
disebabkan banyak peternak yang tidak mau memelihara pedet sampai menjadi
dara siap kawin, karena dianggap kurang menguntungkan. Masa depan usaha sapi
perah tergantung dari keberhasilan program pembibitan khususnya pembesaran
pedet dan dara sebagai ternak pengganti.
Bangsa sapi perah yang dipelihara di Indonesia didominasi oleh sapi Fries
Holland (FH). Produksi susu sapi FH di Indonesia lebih rendah dibandingkan di
daerah asal sapi ini, yaitu Belanda yang beriklim sedang (temperate) dengan
empat musim yaitu musim semi, musim panas, musim gugur dan musim dingin.
Produktivitas sapi FH sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Sapi yang
berasal dari tempat yang beriklim sedang tergolong sensitif terhadap suhu
lingkungan tinggi seperti Indonesia yang beriklim tropis.
Pemeliharaan pedet membutuhkan ketekunan yang tinggi, pedet yang lahir
sehat, kuat dan besar, lebih mudah dipelihara. Peternak perlu memberikan
perhatian yang lebih khusus dalam dua bulan pertama pasca lahir karena kematian
pedet dalam periode ini dapat mencapai 20% (Folley et al, 1973). Bantuan yang
tepat pada saat pedet dilahirkan, penanganan secara higienis dan pencegahan
penyakit yang dapat menjamin kesehatan pedet perlu diterapkan.
Pemeliharaan ditujukan untuk mendapatkan calon induk sapi pengganti
yang sehat dan aktif, mempunyai kapasitas tubuh yang besar untuk konsumsi
pakan, dan mempunyai umur beranak pertama antara 2–2.5 tahun. Pemeliharaan
yang kurang baik menyebabkan masih banyak ditemukan sapi dara yang beranak
pertama pada umur 3–4 tahun.
Bibit unggul dapat dihasilkan dari tetua yang unggul. Kendala yang terjadi
pada peternak sapi perah adalah terlambatnya kawin pertama dikarenakan tidak
tercapainya bobot badan siap kawin, yaitu antara 300-325 kg untuk sapi Holstein.
Pencapaian bobot kawin pertama ini sangat ditentukan oleh pertumbuhan pedet,

2

yang dipengaruhi oleh potensi genetik, asupan pakan dan manajemen
pemeliharaan, sejak dilahirkan sampai pada saat siap kawin. Hal lain yang perlu
diperhatikan adalah belum lengkapnya catatan tentang identifikasi dari setiap
ternak sapi perah yang dilahirkan pada setiap peternakan sebagai unsur
pendukung utama untuk perbaikan genetik dan manajemen. Selain itu, sampai saat
ini masih belum terdapat standar pertumbuhan optimum untuk pedet sapi perah di
Indonesia, sehingga peternak sulit untuk menentukan pemenuhan kondisi pedet
pada batas minimal atau di bawah batas minimal bobot badan pada umur tertentu
agar dapat mencapai bobot kawin pertama yang diharapkan.
Analisis pertumbuhan seringkali dikaitkan dengan kurva pertambahan bobot
badan dalam rentang umur tertentu. Berdasarkan teori dasar, pertumbuhan dibagi
dalam dua fase yang berbeda, yaitu fase dengan laju pertumbuhan (slope) bersifat
positif dan pada kondisi slope bersifat negatif. Titik peralihan dari dua sifat yang
berbeda ini akan didapatkan pada titik belok suatu lereng kurva pertumbuhan.
Penentuan titik peralihan tersebut memerlukan model yang tepat, karena model
konvensional yang hanya menggunakan perhitungan dengan regresi linier tidak
mampu menjelaskan fenomena yang ada.
Melalui pemahaman yang baik pada sifat pertumbuhan, dapat diperkirakan
kapan saat pubertas tercapai, sehingga dapat ditentukan waktu dan bobot hidup
yang tepat untuk melakukan perkawinan pertama pada sapi dara (Place et al.,
1998). Ini dikarenakan umur pubertas dan kawin pertama sapi dara sangat
dipengaruhi oleh pertumbuhan dan bobot badan yang dicapai selama masa
prepubertas (Sejrsen and Purup, 1997).
Kemajuan teknologi komputasi yang membantu dalam penghitungan
matematik telah banyak menghasilkan model kurva yang digunakan dalam
analisis pertumbuhan, antara lain Brody, Richard, Huxley, Logistic, von
Bertalanffy dan Gompertz. Model yang sering digunakan adalah model kurva
pertumbuhan Logistic, von Bertalanffy dan Gompertz. Pertimbangan dipilihnya
ketiga model tersebut antara lain adalah telah terbukti dari berbagai penelitian
sebelumnya bahwa ketiga model pertumbuhan tersebut sangat baik untuk
digunakan pada data kuantitatif yang bersifat longitudinal dari berbagai jenis
ternak, hewan, tumbuhan dan bahkan sangat baik untuk menganalisis pola
pertumbuhan bakteri/mikroorganisme rumen. Namun demikian kelemahan umum
dari ketiga model tersebut adalah menghendaki adanya keseragaman lingkungan.
Keuntungan perusahaan ternak sapi tergantung pada banyak faktor termasuk
kinerja biologis ternak, strategi manajemen, kondisi alam dan pemasaran.
Pemilihan keputusan untuk memperoleh keuntungan yang optimal dapat didukung
oleh penggunaan modeling berbasis matematika. Model matematika adalah
representasi yang disederhanakan dari suatu sistem yang bertujuan untuk
mendeteksi hubungan kuantitatif antara variabel dan memprediksi efek perubahan
ternak, dengan asumsi kompromi antara akurasi dan kemudahan dalam
menggendalikan input (parameter atau faktor). Metode komputasi canggih dan
komputer yang digunakan dalam pemodelan dapat memproses berbagai
kemungkinkan untuk mempertimbangkan lebih banyak aspek keputusan guna
memperkaya saran yang diberikan oleh para ahli (misalnya dokter hewan atau
konsultan perternakan) atau penerapan umum norma, standar dan rekomendasi
agar dapat mencapai hasil yang lebih baik.

3

Pencapaian efisiensi produksi dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu
faktor yang sangat berpengaruh adalah pakan, yang akhirnya akan berpengaruh
secara langsung pada biaya yang harus dikeluarkan. Suatu simulasi yang berkaitan
dengan probabilitas atau kemungkinan-kemungkinan yang mempengaruhi kurva
pertumbuhan diperlukan untuk mewujudkan efisiensi produksi. Salah satu
simulasi yang diterapkan untuk mengevaluasi biologis dan efisiensi adalah
Deterministic simulation berdasarkan model matematika, Model ini dapat
mensimulasikan siklus hidup produksi ternak.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut maka analisis yang
berkaitan dengan pertumbuhan yang secara biologis bukanlah berbentuk linier
melainkan sigmoid, merupakan analisis yang strategis dalam industri peternakan
untuk menggunakan faktor produksi dalam mencapai efisiensi produksi terbaik.
Selain itu simulasi kemungkinan-kemungkinan yang berkaitan dengan kurva
pertumbuhan untuk perbaikan efisiensi produksi perlu dilakukan sebagai langkah
antisipasi kedepan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Membuat model kurva pertumbuhan sapi perah FH yang sesuai dengan situasi
dan kondisi skala industri peternakan sapi perah di Indonesia.
2. Membuat kurva standar pertumbuhan sapi FH untuk menduga bobot badan dari
lahir sampai siap kawin.
3. Mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan pedet sapi
perah sampai dengan siap kawin yang diimplementasikan dalam bentuk
simulasi.
Manfaat Penelitian
Laju pertumbuhan individu ternak dapat menggambarkan tingkat efisiensi
dan besarnya nilai genetik untuk membantu memudahkan dalam pelaksanaan
sistem seleksi, yang pada akhirnya akan meningkatkan nilai tambah usaha.
Manfaat penelitian ini adalah (1) mengetahui model regresi non-linier yang
terbaik sehingga dapat digunakan untuk memprediksi bobot badan ternak sapi FH
siap kawin; (2) memberi informasi mengenai standar pertumbuhan pedet sapi FH
sampai siap kawin untuk penyediaan ternak pengganti dan membentuk bibit
unggul guna pengembangan sapi FH di Indonesia dan (3) menghasilkan simulasi
untuk memprediksi kurva pertumbuhan agar dapat diketahui pencapaian bobot
badan yang diharapkan pada umur tertentu sejak lahir sampai siap kawin.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan secara bertahap yang terdiri dari:
Tahap ke-1 survei peternakan sapi perah yang mempunyai catatan tentang bobot
lahir, pertambahanan bobot tiap periode waktu dan bobot badan pada
kawin pertama.
Tahap ke-2 koleksi data dari peternakan yang mempunyai catatan yang relatif
lengkap kemudian ditabulasi sesuai dengan kebutuhan untuk analisis
Tahap ke-3 analisis data dengan menggunakan program SAS 9.2 Proc NLIN
untuk mendapatkan model pertumbuhan berdasarkan model Logistic,
Gompertz dan von Bertalanffy.

4

Tahap ke 4 pembuatan simulasi pertumbuhan berdasarkan model matematika
yang telah dihasilkan.
Alur penelitian tahap 1dan tahap kedua tergambar pada Gambar 1 dan 2
berikut ini.
Tahap pertama
Data bobot lahir sampai
bobot kawin pertama

Eliminasi data sapi
yang tidak lengkap
Hasil Seleksi data bobot lahir
sampai bobot kawin pertama yang
lengkap

Data kemudian digunakan untuk
dianalisis kurva pertumbuhan
nonlinier (model Logistic,
Gompertz & von Bertalanffy)
melalui proses iterasi

Hasil analisis berdasarkan
pengolahan program komputer
tersebut adalah:
a) Parameter kurva
pertumbuhan (A, b/M dan
k)
b) Jumlah proses Iterasi yang
di gunakan
c) Koefisien Determinasi

Perbandingan antara model untuk
tingkat kemudahan berdasarkan
proses iterasi dan nilai koefisien
determinasi dari tiap model

Model kurva pertumbuhan
optimum
Gambar 1 Alur metode analisis data

Menggunakan program SAS 9.2
Proc NLIN
Parameter kurva pertumbuhan
tersebut mempunyai beberapa
interpretasi biologis terutama
untuk parameter A (bobot
dewasa) dan k (kecepatan
menuju dewasa), selain itu bias
digunakan untuk mencari bobot
pada titik infeksi (Ui*A) dan
umur infleksi (ti)
Standard error parameter kurva
pertumbuhan menjelaskan
tingkat keakuratan dari
pendugaan parameter kurva
pertumbuhan
Jumlah Kuadrat Sisa dan
Kuadrat Tengah Sisa Bias yang
menjelaskan keakuratan model
tersebut dalam data lapangan.
Jumlah Kuadrat Total
Terkoreksi Bias di gunakan
untuk mencari koefesien
determinasi
Jumlah iterasi menjelaskan
tingkat kemudahan dalam
proses penghitungan parameter
model kurva pertumbuhan
(semakin banyak proses iterasi
menjelaskan semakin sulit
model tersebut dihitung)

5

Tahap kedua
Model
pertumbuhan
yang
diperoleh (Logistic, Gompertz
dan von Bertalanffy)

Validasi model yang sesuai dengan
situasi dan kondisi pada usaha
peternakan dan usaha pembibitan
diambil pertumbuhan sapi perah FH
muda optimum.

Kebutuhan nutrien bagi sapi
perah mulai lahir sampai siap
kawin (sapi muda) dari NRC
2001

Pembuatan simulasi deterministik
dengan model yang terpilih

Hasil Simulasi

Gambar 2 Alur pembuatan simulasi pertumbuhan

Kandungan
nutrien
hijauan
maupun konsentrat yang biasa
diberikan pada sapi muda.

6

TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Sapi Perah FH
Sapi Fries Holland (FH) merupakan salah satu bangsa sapi perah yang
paling banyak dipelihara di Indonesia baik di perusahaan peternakan maupun
peternakan kecil. Sapi perah ini berasal dari daerah provinsi Friesland Barat dan
Holland Utara. Menurut sejarahnya, nenek moyang bangsa sapi Fries Holland
berasal dari Bos taurus yang mendiami daerah beriklim sedang di dataran Eropa.
Nama lain dalam bahasa Inggris untuk sapi perah Fries Holland adalah Holstein
Friesian atau Holstein (Blakely dan Bade, 1991; Pane, 1986).
Ciri-ciri sapi perah FH yaitu rambut ujung ekor dan lutut ke bawah
berwarna putih dengan tubuh hitam bercak putih. Di dahi kadang-kadang terdapat
tanda segi tiga putih. Tanda lainnya adalah dada dan perut bawah berwarna putih
dengan tanduk kecil menjurus ke depan. Selain hitam putih ada pula sapi FH yang
berwarna merah bercak putih yang disebut Brown Holstein.
Sifat sapi perah FH umumnya sapi betina tenang dan jinak, sedangkan
jantan agak liar. Sapi jenis ini tidak tahan panas, tetapi lebih mudah menyesuaikan
diri dengan keadaan lingkungan. Mempunyai kemampuan merumput baik di
padang rumput bermutu. Masak lambat, betina kawin pertama pada umur 18-21
bulan dan beranak pada umur 28-30 bulan. Pertumbuhan tubuh maksimum
dicapai pada umur 7 tahun dengan kisaran umur 6-8 tahun. Pertumbuhan pedet
dapat mencapai 0.9 kg per hari sehingga baik untuk penghasil daging (Pane,
1986). Sapi ini memiliki reproduksi yang baik, bobot lahir berkisar antara 30-45
kg atau sebesar 10% dari berat calon induk pada saat dewasa kelamin. Bobot
badan sapi betina dewasa mencapai 750–800 kg, sedangkan jantan kisaran bobot
dewasanya 1000–1200 kg (Bath et al., 1978; Ensminger, 1993).
Manajemen Pemeliharaan dari Lahir sampai Siap Kawin
Dalam pemeliharaan pedet sampai mencapai umur siap kawin maka bobot
badan menjadi perhatian utama disamping kesehatan. Hal ini disebabkan bobot
badan lebih berperan dibanding umur terhadap pubertas pertama dan kawin
pertama. Oleh karena itu sebaiknya, bobot badan menjadi patokan dalam
tatalaksana pemeliharaan sapi dara. Dengan demikian bobot badan dan pakan
berperan penting dalam pemeliharaan sapi perah dara.
Pedet sapi perah yang dipelihara secara intensif biasanya dipisahkan dari
induknya 24 jam setelah kelahiran dan jumlah susu yang perlu dikonsumsi
dibatasi sampai disapih. Satu kebiasaan umum adalah menyediakan pedet dengan
susu dua kali sehari, dengan total sekitar 10% dari bobot badan pedet, contohnya
untuk anak sapi dengan bobot 40 kg, pedet akan menerima dua kali pemberian
susu masing-masing totalnya 6-8 liter/ekor/hari, sebaliknya, pedet yang tidak
dipisahkan dengan induknya secara intensif mengonsumsi rata-rata 7-10 kali
mengonsumsi susu bahkan lebih (Albright and Arave 1997).
Setelah disapih, pedet memperoleh nutrien dari hijauan dan konsentrat.
Kurangnya perhatian terhadap hal pemberian pakan tersebut menyebabkan
pertumbuhan sapi dara kurang memuaskan. Pertumbuhan rendah mengakibatkan
dara bertubuh kecil, terhambatnya dewasa kelamin, terlambatnya beranak
pertama, dan produksi susu rendah. Pada umur 4 bulan pedet diberi konsentrat
yang mengandung 14–16% protein, pemberiannya sebanyak 2 kg per ekor per hari

7

diharapkan akan memberikan pertumbuhan dan kondisi badan pedet yang baik.
Jika pedet sudah mencapai umur 10 bulan, pemberian konsentrat dapat dibatasi.
Hijauan diberikan dengan cara bebas pilih. Kualitas konsentrat yang diberikan
akan ditentukan oleh kualitas hijauan yang diberikan. Penggembalaan sapi dara
dapat dilakukan, tapi tetap harus diberikan konsentrat dan campuran mineral yang
dibutuhkan (Toharmat dan Suryahadi, 1997).
Pertumbuhan Sapi Perah
Pertumbuhan menurut definisi Hafez (1963) adalah perubahan ukuran,
bentuk, komposisi dan struktur yang secara normal perubahan itu akan
meningkatkan ukuran dan bobot badan dari hewan. Pertumbuhan menurut
Soeparno (1994) mempunyai tiga proses utama. Pertama merupakan proses dasar
pertumbuhan selular yang meliputi hyperplasia yaitu perbanyakan sel atau
produksi sel-sel baru dan hipertrofi, yaitu pembesaran sel dan akresi atau
pertambahan material struktural nonselular. Kedua merupakan diferensiasi sel-sel
induk di dalam embrio menjadi ektoderm, mesoderm dan endoderm. Ketiga,
kontrol pertumbuhan dan diferensiasi yang melibatkan banyak proses.
Pertumbuhan menurut Williams (1982) adalah perubahan bentuk atau
ukuran seekor ternak yang dapat dinyatakan dengan panjang, volume ataupun
massa. Menurut Swatland (1984) dan Aberle et al. (2001) pertumbuhan dapat
dinilai sebagai peningkatan tinggi, panjang, ukuran lingkar dan bobot yang terjadi
pada seekor ternak muda yang sehat serta diberi pakan , minum dan mendapat
tempat berlindung yang layak. Peningkatan sedikit saja ukuran tubuh akan
menyebabkan peningkatan yang proporsional dari bobot tubuh, karena bobot
tubuh merupakan fungsi dari volume. Pertumbuhan mempunyai dua aspek yaitu:
menyangkut peningkatan massa per satuan waktu dan pertumbuhan yang meliputi
perubahan bentuk serta komposisi sebagai akibat dari pertumbuhan diferensial
komponen-komponen tubuh (Berg dan Butterfield, 1976; Tulloh, 1978; Edey,
1983; Lawrie, 2003).
Perkembangan adalah kemajuan secara gradual dari kompleksitas yang lebih
rendah menjadi kompleksitas yang lebih tinggi. Perkembangan juga melibatkan
ekspansi ukuran atau perubahan bentuk atau konformasi tubuh, termasuk
perubahan struktur, kemampuan dan komposisi tubuh. Perkembangan selalu
berkaitan dengan pertumbuhan. Selama pertumbuhan dan perkembangan, bagianbagian dan komponen tubuh mengalami perubahan. Jaringan-jaringan tubuh
mengalami pertumbuhan yang berbeda dan mencapai pertumbuhan maksimal
dengan kecepatan berbeda pula. Komponen tubuh secara kumulatif mengalami
pertambahan bobot selama pertumbuhan sampai mencapai kedewasaan. Jadi,
pertumbuhan mempengaruhi pula distribusi bobot dan komposisi kimia
komponen-komponen tubuh termasuk tulang, otot dan lemak. Tulang, otot dan
lemak merupakan komponen utama penyusun tubuh (Soeparno, 1994).
Lawrence dan Fowler (2002) menjelaskan bahwa pertumbuhan adalah salah
satu sifat utama dari setiap organisma yang hidup. Dinyatakan pertumbuhan suatu
proses nyata yang terlihat tetapi sulit untuk didefinisikan secara formal. Konsep
sederhana pertumbuhan adalah bertambah besar. Dijelaskan lebih jauh, ada dua
alasan dasar mengapa terjadi perubahan bentuk ternak selama pertumbuhan,
pertama sebagai kenyataan relatif, yaitu perubahan ternak dalam kebutuhan
kedewasaan fisiologinya. Contohnya pertama pada anak sapi yang baru

8

dilahirkan, dan selama periode pemeliharaan akan disapih, fungsi rumen tetap
kecil dan tidak berkembang, sementara tahap ini memiliki abomasum yang relatif
besar. Namun, setelah diberikan pakan hijauan, maka alat pencernaannya akan
berfungsi. Kedua sebagai akibat paksaan, misalnya ternak darat akan merespon
sebagai suatu konsekuensi fisik dari besarnya pertumbuhan, ternak darat harus
melawan gravitasi, sehingga bermasalah dengan bertambahnya bobot badan.
Pertambahan bobot badan tiap hari setelah lahir sampai kawin pertama
paling sedikit 500 gram per hari. Oleh karena itu pada kondisi ini, bobot badan
pedet setiap periode waktu harus diketahui dengan cara menimbang atau menduga
dengan ukuran lingkar dada. Tujuannya adalah untuk memperoleh sapi dara sehat,
aktif, dan beranak pertama kali umur 2–2.5 tahun. Dikawinkan pada umur 15–21
bulan, tergantung pada kondisinya.
Bobot Lahir
Bobot lahir adalah bobot badan pada saat ternak dilahirkan, sebagai hasil
penimbangan anak dalam kurun waktu 24 jam setelah dilahirkan (Harjosubroto,
1994). Bobot lahir merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi
produktivitas ternak. Sapi dengan bobot lahir yang tinggi di atas rataan umumnya
memiliki kemampuan hidup lebih tinggi dalam melewati masa kritis,
pertumbuhannya cepat serta akan memiliki bobot sapih yang lebih tinggi pula.
Bobot lahir ditentukan oleh bangsa induk, jenis kelamin anak, lama bunting induk,
umur atau paritas induk, dan makanan induk sewaktu bunting (Prasojo et al.,
2010).
Hasil penelitian Khattab et al. (2005) rataan bobot lahir sapi FH adalah
31.84+4.58 kg. Hasil pengamatan rataan bobot lahir di Balai Pembibitan dan
Pengembangan Inseminasi Buatan Sapi Perah Bunikasih Cianjur sebesar
41.88+3.06 kg (Budimulyati, Agustus 2010 unpublish) dan rataan bobot lahir di
Balai Pengembangan dan Pembibitan Ternak Sapi Perah Cikole Lembang sebasar
38.65+5.26 kg (Budimulyati, Agustus 2010 unpublish).
Berdasarkan hasil studi pada sapi perah Bos taurus di New York, Salisbury
dan van Demark (1985) menyatakan agar pertumbuhan pedet berjalan normal,
maka pedet harus mencapai rataan berat lahir sekitar 46.5 kg dengan tinggi
pundak sebesar 75.1 cm. Sedangkan hasil penelitian Anggraeni, et al. (2008)
rataan berat lahir sapi FH di daerah kerja KPSBU Lembang adalah sekitar 45 kg
(43–52 kg).
Bobot Sapih
Penyapihan merupakan waktu dimana anak sudah berhenti menyusu pada
induknya atau pada saat pedet sudah mulai memakan pakan padat berupa hijauan
yang tersedia di kandang. Ketika konsumsi susu dibatasi, maka pedet mulai
dikenalkan dengan hijauan, sehingga tubuh pedet akan meningkat kapasitasnya.
Hal ini terkait dengan meningkatnya konsumsi pakan dan berkembangnya fungsi
alat pencernaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pedet yang disapih pada
usia 2 bulan memiliki kapasitas reticuloruminal lima kali lebih besar (Belanger,
2001). Penyapihan dilakukan berdasarkan bobot badan bukan berdasarkan umur
dengan tujuan agar bobot sapih dapat dicapai sebesar 2–2.5 kali bobot lahirnya,
sehingga dapat dinyatakan bahwa pedet dapat tumbuh dan berkembang setelah

9

dihentikan pemberian air susu serta diberikan pakan hijauan dan konsentrat
(Belanger, 2001).
Bobot sapih adalah bobot pada saat individu ternak dipisahkan
pemeliharaannya dari induknya atau pada saat ternak tersebut sudah tidak diberi
air susu induk lagi (Hardjosubroto, 1994). Bobot Sapih merupakan indikator dari
kemampuan induk untuk menghasilkan susu dan kemampuan pedet untuk
mendapat susu untuk tumbuh. Umur yang sesuai untuk menyapih pedet sangat
tergantung dari sistem manajemen yang diterapkan. Pada beberapa pola
pemeliharaan ada yang tidak pernah memisahkan anak dari induknya, dan ada
pula yang disapih pada saat mencapai usia antara tiga sampai enam bulan
(Hardjosubroto, 1994). Bobot sapih memiliki hubungan yang erat dengan bobot
lahir, keduanya berkorelasi positif sehingga bobot lahir dapat ditekankan dalam
program seleksi tidak langsung, yaitu seleksi bobot sapih berdasarkan bobot lahir.
Hasil penelitian Khattab et al. (2005) rataan bobot sapih sapi FH adalah
97.27+10.25 kg. Hasil pengamatan rataan bobot sapih di Balai Pembibitan dan
Pengembangan Inseminasi Buatan Sapi Perah Bunikasih Cianjur sebesar
96.82+17.68 kg pada umur 4 bulan (Budimulyati, Agustus 2010 unpublish).
Bobot Kawin Pertama
Perkawinan pertama seekor sapi perah dara tergantung pada dua faktor
utama yaitu umur dan bobot badan. Apabila perkawinan sapi perah dara terlalu
cepat dengan kondisi tubuh yang terlalu kecil, maka akibat yang terjadi antara lain
adalah, kesulitan melahirkan dan tubuhnya yang tetap kecil nantinya setelah
menjadi induk sehingga dapat berakibat rendahnya produksi susu. Sapi FH dara
dan Brown Swiss memerlukan bobot badan 350 kg-375 kg untuk perkawinan
yang pertama sedangkan Peranakan Fries Holland (PFH) pada bobot 300-325 kg.
Sedangkan untuk kondisi di Indonesia sapi dara dapat dikawinkan pertama kali
pada umur 15-18 bulan dengan bobot badan 285-300 kg (Alim, et. al., 2006).
Sapi dara yang berahi tidak langsung dikawinkan, melainkan diperiksa
kondisi fisiologinya, yaitu dengan melihat bobot badan sebagai acuan bahwa sapi
dara tersebut sudah dewasa kelamin. Menurut Lindsay et al. (1982) pada beberapa
keadaaan, perkawinan betina sengaja ditunda dengan maksud agar induk tidak
terlalu kecil waktu beranak. Umur ternak betina pada saat pubertas mempunyai
variasi yang lebih luas daripada bobot badan pada saat pubertas (Nuryadi, 2006).
Hal ini berarti bahwa bobot badan lebih berperan terhadap pemunculan pubertas
daripada umur ternak.
Hasil pengamatan di Balai Pembibitan dan Pengembangan Inseminasi
Buatan Sapi Perah Bunikasih Cianjur bobot kawin pertama dicapai pada umur 17
bulan dengan bobot badan berkisar antara 300-320 kg (Budimulyati, November
2010 unpublish).
Kurva Pertumbuhan
Kurva pertumbuhan merupakan pencerminan kemampuan suatu individu
atau populasi untuk mengaktualisasikan diri sekaligus sebagai ukuran akan
berkembangnya bagian-bagian tubuh sampai mencapai ukuran maksimal (dewasa)
pada kondisi lingkungan yang ada (Fitzhugh, 1976). Lingkungan tersebut bisa
berupa level produksi individu, kuantitas dan kualitas pakan, lokasi dan
lingkungan secara umum (Fitzhugh, 1976).

10

Tujuan utama dalam pembuatan model kurva pertumbuhan ada dua macam
yaitu tujuan untuk deskripsi dan prediksi. Tujuan deskripsi merupakan upaya
untuk bisa mempermudah interpretasi dari proses pertumbuhan ternak menjadi
hanya beberapa parameter, sedangkan tujuan prediksi lebih fokus bagaimana
metode untuk memprediksi dari beberapa parameter, diantaranya pertumbuhan,
kebutuhan pakan, respon terhadap seleksi serta banyak parameter lainnya
(Fitzhugh, 1976).
Pertumbuhan tiap-tiap individu secara umum diperlihatkan sebagai bentuk
sigmoid atau “S”. Kurva “S” ini menggambarkan suatu bentuk percepatan dan
perlambatan yang dibatasi oleh titik belok atau titik infleksi. Brody (1945)
menjelaskan bahwa bentuk kurva pertumbuhan menggambarkan ternak dari lahir
hingga mati. Lawrence dan Fowler (2002) menjelaskan bahwa pola pertumbuhan
sebagai bentuk yang sederhana dengan laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada
kehidupan awal, kemudian mengalami peningkatan secara perlahan sampai
mencapai konstan saat ternak tua. Ketika bobot badan selama hidup diplotkan
sebagai fungsi dari umur atau waktu, ternak memproduksi sebuah kurva
karakteristik pertumbuhan yang berbentuk kurva pertumbuhan sigmoid karena
menyerupai huruf "S".
Pada titik infleksi, kecepatan pertumbuhan melaju seimbang dengan
besarnya penghambatan pertumbuhan. Beberapa kejadian yang spesifik dapat
ditemui pada titik infleksi tersebut, antara lain kecepatan pertumbuhan yang
maksimal, saat terjadinya pubertas dan mortalitas yang paling rendah. Titik
infleksi pada sapi tercapai pada umur enam bulan yang berarti 30 persen dari
pertumbuhan dewasa telah dicapai (Brody, 1945). Berikut adalah kurva
pertumbuhan ternak yang terlihat pada Gambar 3.
Keterangan :
Y = Bobot hidup,
Pertambahan
bobot badan
harian atau persen
laju pertumbuhan,
X = Umur,
C = Konsepsi
(Conception),
B = Kelahiran,
P = Pubertas,
M = Dewasa tubuh,
D = Mati
Gambar 3 Kurva pertumbuhan sejak lahir sampai ternak mati (Brody, 1945).
Menurut Brown et al. (1976) model pertumbuhan non-linier yang paling
sering digunakan diantaranya adalah Broody, Richards, Logistic, Gompertz dan
Von Bertalanffy. Ketiga model terakhir adalah model yang memiliki tiga
parameter (A = bobot dewasa, b/M = konstata integral, dan k = laju pertumbuhan
menuju dewasa tubuh) yang sering digunakan karena relatif mudah dalam proses
perhitungan dan mempunyai kemampuan yang baik dalam menjelaskan data di
lapangan dengan akurat serta dapat menjelaskan waktu yang paling penting (titik
infleksi) bagi seekor ternak.

11

Model Logistic
Model Logistic pada dasarnya mengacu pada bentuk persamaan regresi
logistik (Myers, 1990). Model ini menggunakan tiga parameter, yaitu A, b, dan k
sebagai fungsi untuk menentukan titik infleksi. Parameter A adalah pertumbuhan
yang terbatas atau bobot dewasa (asimtot), b adalah konstanta integral sedangkan
k adalah laju pertumbuhan menuju dewasa. Ketiga parameter inilah dapat
membentuk fungsi logistic baru sehingga dapat diinterpretasikan, yaitu ploting
data antara Y (bobot badan) dan X (umur) akan membentuk kurva sigmoid.
Hassen et al. (2004) melakukan penelitian membandingkan antara kurva
non linier model Brody, von Bertalanffy, Logistic dan Gompertz untuk
membandingkan hubungan bobot badan dan waktu pada jantan muda dan sapi
Angus dara. Hasilnya untuk perbandingan antar kurva pertumbuhan dalam
individu ternak hanya model Logistic merupakan satu-satunya model yang
mencapai konvergen pada 98% dari individu yang diteliti.
Keakuratan model Logistic menurut Ptak et al. (1994) cenderung berada di
bawah Gompertz dan von Bertalanffy pada kurva pertumbuhan kelinci galur
murni dan persilangannya. Inounu et al. (2007) menyatakan bahwa model
Logistic merupakan model yang paling mudah dalam proses perhitungan terhadap
domba Garut dan persilangannya.
Model Gompertz
Kurva pertumbuhan model Gompertz sudah ada sejak abad ke 19 tepatnya
tahun 1825. Menurut Myers (1990) pertumbuhan sigmoid yang ditawarkan
Gompertz dapat diterapkan pada berbagai situasi pertumbuhan. Sebagai catatan
bahwa model ini mempunyai eksponensial ganda, oleh karena itu parameter A
(bobot asimtot) merupakan pertumbuhan yang terbatas.
Penggunaan model Gompertz pada sapi Brahman dara telah dibuktikan oleh
Verra (1991), bahwa disamping model ini sangat cocok untuk menganalisis
pertumbuhan individu ternak, juga terdapat perbedaan yang sangat nyata pada
rataan bobot asimtot ternak yang diamati pada berbagai kondisi pakan yang
dicobakan. Model ini mampu juga digunakan untuk memprediksi bobot atau umur
sapi saat pertama kali dikawinkan, karena terbukti secara konsisten bahwa
terdapat hubungan yang kuat antara bobot asimtot dengan saat umur atau bobot
ternak pertama kali dikawinkan pada kondisi pakan yang berbeda.
Sengul dan Kiraz (2005) membandingkan kurva pertumbuhan model
Gompertz, Logistic, Morgan Mencer Flodin (MMF) dan Richards dalam proses
pertumbuhan kalkun, hasilnya model Gompertz merupakan model yang terbaik
untuk menjelaskan hubungan pertumbuhan dan waktu dibandingkan model
lainnya pada kalkun. Kesimpulan ini berdasarkan keakuratan penjelasan hubungan
pertumbuhan dengan waktu yang dapat dibuktikan dari koefisien determinasi
tertinggi (Sengul dan Kiraz, 2005).
Pada penelitian Blasco et al. (2003) kurva pertumbuhan model Gompertz
digunakan untuk menggambarkan proses pertumbuhan kelinci. Parameter kurva
pertumbuhan dari model Gompertz dijadikan parameter untuk melihat efek seleksi
terhadap rataan pertumbuhan dari kelinci dengan metode Bayes (Blasco et al.,
2003)

12

Model Gompertz digunakan juga oleh Mignon-Grasteau et al. (2000) untuk
membandingkan antara galur dan jenis kelamin yang berbeda pada ayam dalam
penelitian aspek genetik dari kurva pertumbuhan dengan menggunakan metode
Bayes. Mignon-Grasteau dan Beaumont (2002) juga melaporkan parameter
genetik dari model Gompertz pada ayam mempunyai pertumbuhan yang lebih
lambat.
Menurut Arango dan Van Vleck (2002) kurva pertumbuhan model
Gompertz telah banyak digunakan oleh peneliti ternak besar terutama sapi untuk
menggambarkan hubungan pertumbuhan dengan waktu, seperti yang dilakukan
oleh Kratochvilova et al. (2002) yang melakukan penelitian untuk menganalisa
kurva pertumbuhan pada bobot badan dan ukuran tubuh pada sapi Holstein.
Menurut Arango dan Van Vleck (2002) kelebihan dari kurva pertumbuhan model
Gompertz adalah dalam pendugaan nilai asimtot atau bobot dewasa mempunyai
bias yang rendah.
Hasil penelitian Susilawati (2010) menyatakan bahwa perbandingkan kurva
pertumbuhan non linier model Logistic dengan model Gompertz berdasarkan
selang kepercayaan pada parameter bobot dewasa (A) dan bobot pubertas (Ti)
domba Komposit Sumatera, dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan non linier
dengan menggunakan model Gompertz memperlihatkan hasil yang lebih baik dari
model Logistic. Nilai selang kepercayaan model Gompertz dengan parameter
bobot dewasa (A) dan bobot pubertas (Ti) berturut-turut adalah 97.35% dan
96.51% sedangkan untuk model Logistic nilai selang kepercayaan parameter
bobot dewasa (A) dan bobot pubertas (Ti) berturut-turut 51.36% dan 32.28%
(Susilawati, 2010).
Model von Bertalanffy
Model non-linier von Bertalanffy telah digunakan oleh Oliviera et al. (1994)
pada 575 ekor sapi betina dari bangsa Zebu di Brasil Selatan yang dipelihara pada
kondisi padang rumput dengan pemberian pakan tambahan hanya pada induk
yang menyusui. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa hubungan keeratan
parameter A (bobot asimtot) dan k (laju pertumbuhan) adalah tinggi disamping
memiliki pola reproduksi yang tinggi. Namun demikian sapi tersebut lambat
mencapai dewasa tubuh dan dewasa kelamin.
Pada penelitian Ptak et al. (1994) evaluasi pertumbuhan tiga bangsa kelinci,
yaitu New Zealand White (NZW), Tan Rabbits (TR) dan hasil persilangan
resiprokal kedua bangsa tersebut, lebih akurat dianalisis dengan model von
Bertalanffy dalam pendugaan bobot/umur saat dewasa tubuh dan bobot/umur saat
pubertas. Selanjutnya dijelaskan bahwa analisis terhadap parameter A