memanjangkan rantai pemasaran salon Rudy Hadisuwarno ke pasar menengah-bawah. Itu sebabnya, sejak tahun 1983, pria kelahiran Pekalongan
ini aktif menjalin kerja sama dengan banyak mitra usaha, termasuk menjalin kesepakatan co-branding alias penggabungan merek dengan Thomas Lie,
Direktur PT. Mega Mulia Mandiri, pada awal tahun 2004. Lewat kesepakatan itu, My Salon yang saat itu telah memiliki delapan outlet berhak
membubuhkan nama Rudy Hadisuwarno di belakang merek dagangnya sehingga menjadi My Salon by Rudy Hadisuwarno. Untuk penggunaan nama
Rudy itu, My Salon wajib membayar franchise fee Rp 500 juta. Selain itu, ia juga harus membayar Rp 10 juta untuk tiap pembukaan outlet My Salon baru,
serta pembagian revenue sharing sebesar 50 dari total pendapatan My Salon. Awalnya, kerja sama yang berlaku untuk 10 tahun itu berjalan mulus.
Bisnis waralaba yang diusung My Salon pun berkembang pesat. Sayang, di tengah jalan, masalah mulai mencuat. PT. Rudy Hadisuwarno tiba-tiba
menyatakan ingin menaikkan harga yang harus dibayar My Salon. Kenaikannya, sekitar dua kali lipat. Tentu saja usul itu tak diterima oleh PT
Mega Mulia. Sejumlah perundingan yang dilakukan pun tak menemukan titik temu. Buntutnya, perjanjian yang diamanatkan dalam nota kesepahaman itu
tak kunjung diteken oleh kedua belah pihak. Persoalan itu pun lantas menjadi rumit. Pada pertengahan Agustus 2004, Rudy melansir pengumuman di
harian Kompas yang isinya menyebutkan bahwa kesepahaman co-branding antara My Salon dan Rudy Hadisuwarno hanya berlaku satu tahun dan
berakhir pada 31 Desember 2004. Di koran harian itu juga disebutkan bahwa My Salon tidak boleh lagi memakai nama Rudy Hadisuwarno untuk merek
salonnya. Iklan itulah rupanya yang mendorong sengketa melaju ke meja hijau. Akhir Desember 2004, PT Mega Mulia resmi mengajukan gugatan
terhadap PT. Rudy Hadisuwarno di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Perusahaan milik Rudy Hadisuwarno dianggap telah wanprestasi alias ingkar
janji karena memutuskan kesepakatan secara sepihak. PT. Mega Mulia menunjuk Pasal 4 Nota Kesepahaman Co-Branding yang menyebutkan
bahwa jangka waktu kerja sama berlaku selama 10 tahun. Lewat gugatan itu pula, pengelola franchise My Salon menuntut ganti rugi sekitar Rp 7 miliar.
4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar yang telah dipaparkan di atas, maka penulis membatasi pembahasan dalam Skripsi yang berjudul : “Analisis Terhadap Bisnis Waralaba
Berdasarkan PP.No 42 Tahun 2007”, dengan batasan permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
4
Trust, Salon ditebar gugatan tiba, www.majalahtrust.com, 26 Oktober 2008
Universitas Sumatera Utara
1. Bagaimana perbedaan
antara PP.No.42
Tahun 2007
jika dibandingkan dengan PP.No.16 tahun 1997 tentang waralaba?
2. Bagaimana prosedur izin permohonan perolehan hak waralaba ? 3. Bagaimana perlindungan hukum penerima waralaba atas wanprestasi yang
dilakukan pemberi waralaba ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan penjabaran dalam latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana perbedaan antara PP.No.42 Tahun 2007 jika
dibandingkan dengan PP.No.16 tahun 1997 tentang waralaba. 2.
Untuk mengetahui bagaimana prosedur izin permohonan perolehan hak waralaba.
3. Untuk mengetahui bagaimanakah perlindungan hukum penerima waralaba atas
wanprestasi yang dilakukan pemberi waralaba.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat secara khusus yaitu merupakan suatu studi dibidang hukum bisnis waralaba di mana penulis berharap penelitian ini dapat
memberikan gambaran secara jelas dan mendetail mengenai permasalahan- permasalahan yang ada dalam peraturan mengenai waralaba. Selain itu
diharapkan pula dapat berguna bagi peneliti berikutnya, bagi civitas akademika Universitas Sumatera Utara, serta bagi masyarakat yang khususnya
Universitas Sumatera Utara
berkecimpung di dunia hukum. 2. Manfaat secara umum yaitu sebagai syarat-syarat yang telah ditentukan dalam
kurikulum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dalam mencapai gelar Sarjana Hukum.
E. Tinjauan Pustaka
Sistem bisnis waralaba yang menarik dan dapat menguntungkan pengusaha lokal maupun asing, maka pemerintah memandang perlu mengatur
bisnis tersebut. Untuk menciptakan tertib usaha dengan cara waralaba serta perlindungan terhadap konsumen, dipandang perlu menetapkan ketentuan tentang
waralaba dengan Peraturan Pemerintah. Pada tanggal 23 Juli 2007 diundangkanlan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba
dalam Lembaran Negara No. 90 Tahun 2007. Peraturan Pemerintah ini merupakan peraturan pelaksanaan dari Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945; Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Burgelijke Wetboek, Staatblads 1847 Nomor 23; Undang-undang Penyaluran
Perusahaan 1934 Bedrijfs Reglementerings Ordonantie 1934, Staatblads 1938 Nomor 86; Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 74; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3611.
Untuk meningkatkan peranan dan keikutsertaan masyarakat luas dalam usaha waralaba, perlu adanya peran serta pengusaha kecil dan menengah baik
sebagai pemberi waralaba, penerima waralaba maupun sebagai pemasok barang
Universitas Sumatera Utara
dan atau jasa. Usaha waralaba perlu dikembangkan dalam rangka mendorong pertumbuhan dan pengembangan pemberi waralaba nasional. Setiap pengusaha
yang menjalankan usaha waralaba wajib mendaftarkan usaha waralabanya itu, sehingga dapat diketahui perkembangan waralaba secara nasional. Untuk
melaksanakan pendaftaran tersebut dan bagaimana ketentuannya secara detil maka dipergunakan aturan berupa Keputusan Menteri. Hal tersebut sesuai dengan
pasal 13 PP No. 42 Tahun 2007 yang berbunyi : “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran Waralaba diatur dengan Peraturan Menteri”.
Peraturan Menteri yang dimaksud dalam ayat tersebut yang berlaku saat ini adalah Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 12M-
DAGPer32006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba.
Apabila dicermati, Keputusan Menteri tersebut merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba
LN No.49 Tahun 1997, TLN No. 3689 yang telah dicabut dengan PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Walaupun PP No. 16 Tahun 1997 telah dicabut
akan tetapi peraturan pelaksanaannya berupa tidak serta merta dicabut dengan munculnya aturan baru yakni PP NO. 42 Tahun 2007, hal tersebut berdasarkan
Ketentuan Penutup dalam Pasal 21 PP No 42 Tahun 2007 yang berbunyi : Pada saat Peraturan Pemerintah ini berlaku, semua peraturan perundang-
undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1997 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3690 dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.
Universitas Sumatera Utara
F. Metode Penelitian