Konektivitas dan Keragaman Genetik pada Karang Lunak Sarcophyton trocheliophorum serta Implikasinya terhadap Kawasan Konservasi Laut

KONEKTIVITAS DAN KERAGAMAN GENETIK PADA KARANG
LUNAK Sarcophyton trocheliophorum SERTA IMPLIKASINYA
TERHADAP KAWASAN KONSERVASI LAUT

ARADEA BUJANA KUSUMA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Konektivitas dan
Keragaman Genetik pada Karang Lunak Sarcophyton trocheliophorum serta
Implikasinya terhadap Kawasan Konservasi Laut adalah benar karya saya dengan
arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis
ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, 25 Agustus 2014
Aradea Bujana Kusuma
NIM C551120071

RINGKASAN
ARADEA BUJANA KUSUMA. Konektivitas dan Keragaman Genetik pada
Karang Lunak Sarcophyton trocheliophorum serta Implikasinya terhadap
Kawasan Konservasi Laut. Dibimbing oleh DIETRIECH GEOFFREY BENGEN
dan HAWIS MADDUPPA.
Konektivitas genetik menjadi kunci konservasi karena berperan penting
dalam mempertahankan dan memulihkan populasi dari kerusakan. Kerusakan
pada ekosistem terumbu karang dapat menjadi pemicu kepunahan organisme laut.
Salah satu organisme yang tidak terhindar dari kerusakan tersebut ialah
Sarcophyton trocheliophorum. Kerusakan tersebut dapat mengganggu struktur
populasi serta konektivitas genetik S. trocheliophorum sehingga menyebabkan
menurunnya keragaman genetik S. trocheliophorum.
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis konektivitas genetik dan
keragaman genetik dari S. trocheliophorum yang terdapat pada tiga populasi di

Perairan Jawa, Sulawesi dan Nusa Tenggara serta mendeskripsikan implikasinya
terhadap kawasan konservasi di Indonesia. Penelitian ini menggunakan penanda
genetik ND2 untuk menganalisis struktur populasi, konektivitas, dan keragaman
genetik.
Konektivitas genetik terdapat pada tiga populasi dengan nilai fst 0.227
hingga 0.558, hal ini mengindikasikan bahwa semua populasi memiliki
kekerabatan genetik yang dekat. Pola arus diduga yang mendistribusikan larva S.
trocheliophorum dari suatu pulau ke pulau lain sebagai batu loncatannya.
Tanakeke (populasi perairan P. Sulawesi) diduga sebagai pusat konektivitas dari
S. trocheliophorum. Pulau tersebut terhubung pada pulau-pulau lain di Barat dan
Timur Indonesia. Keragaman genetik S. trocheliophorum pada Perairan Jawa,
Sulawesi, Nusa Tenggara masing-masing 0.600, 0.815, dan 0.972. Keragaman
genetik pada populasi Perairan Jawa lebih kecil dibandingkan pada Populasi
Perairan Sulawesi dan Nusa Tenggara. Hal ini dimungkinkan karena banyaknya
aktivitas manusia pada pesisir utara Laut Jawa, sehingga berdampak pada
menurunnya ukuran populasi S. trocheliophorum. Oleh karena itu perlu adanya
perlindungan yang ketat pada populasi Tanakeke dan Jawa untuk menjaga
kelestarian keanekaragaman hayati Indonesia.
Kata Kunci: karang lunak, kawasan konservasi laut, konektivitas, Sarcophyton
trocheliophorum.


SUMMARY
ARADEA BUJANA KUSUMA. Genetic Connectivity and Genetic Diversity of
Softcoral Sarcophyton trocheliophorum and its Implication for Marine Protected
Area. Supervised by DIETRIECH GEOFFREY BENGEN and HAWIS
MADDUPPA.
Genetic connectivity is the key of conservation to recovery population
from damage. Damage of coral reef ecosystem could lead to marine biodiversity
extinction. Sarcophyton trocheliophorum is one of marine ornamental coral which
could not dodge from damage. These damage would interfere population structure
and genetic connectivity of S. trocheliophorum, and it could decrease genetic
diversity.
The research aimed to analize genetic connectivity, and genetic diversity
of S. trocheliophorum in three population of Java, Nusa Tenggara, and Sulawesi
waters, and to describe its implication for marine protected area. Genetic marker
ND2 was used to analyze population structure, genetic connectivity, and genetic
diversity.
Totally 39 samples were colected from three population. Genetic
connectivity found in all population with fst value were 0.227 to 0.558, indicated
that all population have close genetic relationship. Current expected distribut the

larva of S. trocheliophorum to islands in population as stepping stones. Tanakeke
island (Sulawesi population) might be as a center connectivity of S.
trocheliophorum. This island connected with islands in west and east Indonesia.
Genetic diversity in Java, Sulawesi, Nusa Tenggara population were 0.600, 0.815,
and 0.972, respectively. Genetic diversity in Java population is smallest than
Sulawesi and Nusa Tenggara. It might be caused by human activity in Java coasts
and impacted on decrease of their unit population, therefore Tanakeke and Java
island need to be protected.
Key Words: connectivity, marine protected area, Sarcophyton trocheliophorum,
softcoral

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


KONEKTIVITAS DAN KERAGAMAN GENETIK PADA KARANG
LUNAK Sarcophyton trocheliophorum SERTA IMPLIKASINYA
TERHADAP KAWASAN KONSERVASI LAUT

ARADEA BUJANA KUSUMA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Dedi Soedharma, DEA


Judul Tesis : Konektivitas dan Keragaman Genetik pada Karang Lunak
Sarcophyton trocheliophorum serta Implikasinya terhadap
Kawasan Konservasi Laut
Nama
: Aradea Bujana Kusuma
NIM
: C551120071

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Dietriech Geoffrey Bengen, DEA
Ketua

Dr Hawis Madduppa, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Ilmu Kelautan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Neviaty P. Zamani, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 25 Agustus 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini ialah
Konektivitas Genetik, dengan judul Konektivitas dan Keragaman Genetik pada
Karang Lunak Sarcophyton trocheliophorum serta Implikasinya terhadap
Kawasan Konservasi Laut.

Kesuksesan penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB ini
tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Penulis menyampaikan banyak terima
kasih yang setulusnya kepada:
1. Prof Dr Dietriech Geoffrey Bengen, DEA dan Bapak Dr Hawis
Madduppa, MSi selaku pembimbing yang telah banyak memberikan
arahan, motivasi, ide dan waktu untuk penulis
2. Dr Ir Neviaty P. Zamani, MSc selaku ketua Program Studi Ilmu
Kelautan.
3. Ayah, Ibu, adik-adik tercinta serta keluarga besar tersayang terimakasih
atas doa, motivasi, dan semangat selama penulis menempuh studi.
4. Beginer Subhan, MSi dan Dondy Arafat, MSi yang telah banyak
membantu dalam proses pengumpulan data.
5. Romanus Edy Prabowo MSc, PhD dan Bertoka Fajar SPN S.Kel, MSi
yang selalu memberikan masukan dalam penulisan tesis ini.
6. Prof Sri Juwana, Drh Retno Triastuti dan Wini Kania yang telah
membantu dan melancarkan penelitian ini.
7. Teman-teman seperjuangan di Laboratorium Marine Biosistematika dan
Biodiversity ITK IPB serta yang selalu memberikan semangat untuk
menyelesaikan penelitian ini.
8. Teman-teman S2 IKL 2012 yang telah banyak memberikan saran dan

masukan.
9. Beasiswa Unggulan Calon Dosen 2012 DIKTI yang memberikan
kesempatan bagi penulis untuk melanjutkan sekolah
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Semoga karya
ilmiah ini membawa manfaat bagi seluruh civitas IPB khususnya dan masyarakat
Indonesia umumnya
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, 25 Agustus 2014
Aradea Bujana Kusuma

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi


DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
3
3
3

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian
Pengambilan Sampel
Bahan
Alat
Prosedur Analisis Karakter Molekuler
Analisis Data

4
4
4
4
4
5
7

HASIL DAN PEMBAHASAN
Struktur Populasi dan Konektivitas Genetik
Keragaman Genetik

9
9
12

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

16
16

DAFTAR PUSTAKA

16

LAMPIRAN

19

RIWAYAT HIDUP

22

DAFTAR TABEL
1. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian
2. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian
3. Kategori nilai keragaman genetik, struktur populasi dan jarak genetik
4. Analisis uji jarak berpasangan (Fst) pada populasi S. trocheliophorum
dipopulasi Perairan Sulawesi, Jawa dan Nusa Tenggara
5. Jarak Genetik dalam dan antar populasi S. trocheliophorum dipopulasi
Perairan Sulawesi, Jawa dan Nusa Tenggara
6. Jumlah haplotipe (Hn), keragaman haplotipe (Hd), keragaman
nukleotida (π) dan jumlah sampel (n) S. trocheliophorum pada
populasi Perairan Jawa, Sulawesi dan Nusa Tenggara, Indonesia

5
5
8
10
10
13

DAFTAR GAMBAR
1. Peta lokasi pengambilan sampel S. trocheliophorum
2. Diagram Alir Analisis Molekuler
3. Bentuk morfologi karang lunak S. trocheliophorum
4. Sebaran haplotipe S. trocheliophorum beserta pola arus dominan
(
) dan musiman (-----) yang ada di Indonesia
5. Konektivitas haplotipe S. trocheliophorum antara populasi Perairan
Jawa (Hijau) Sulawesi (Kuning) dan Nusa Tenggara (Merah).

4
6
7
11
11

DAFTAR LAMPIRAN
1. Persiapan preparasi sampel S. trocheliophorum
2. Hasil elektroforesis sampel S. trocheliophorum dengan panjang
fragmen 750 bp
3. Urutan fragmen DNA S. trocheliophorum

19
19
20

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konektivitas genetik merupakan jejak genetik yang ditinggalkan suatu
organisme dalam proses migrasi atau distribusinya dari satu lokasi ke lokasi lain
(Hellberg et al., 2002). Konektivitas genetik berperan penting dalam
mempertahankan populasi dan pemulihan dari kerusakan (Almany et al., 2009).
Oleh karena itu konektivitas genetik dapat dijadikan suatu informasi mengenai
suatu pergerakan dari larva organisme laut yang bisa dimanfaatkan sebagai kunci
konservasi. Pola konektivitas suatu organime dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya yaitu penyebaran larva dan reproduksi (Jackson 1986).
Jarak pulau yang saling berdekatan di Indonesia berperan sebagai
“stepping stone” untuk mempermudah penyebaran larva. Selain itu pola arus yang
kuat di Indonesia juga membantu dalam proses penyebaran larva. Menurut
Benayahu dan Loya (1986) arus merupakan alat bantu yang sangat penting dalam
proses distribusi larva hewan sessil, sehingga dapat membuat adanya suatu
konektivitas antar organisme. Salah satu hewan sesil yang penyebaranya
dipengaruhi oleh arus adalah Sarcophyton trocheliophorum (Benayahu dan Loya
1986).
Sarcophyton trocheliophorum merupakan salah satu anggota penyusun
komunitas karang. Tubuh karang ini lunak, akan tetapi dengan adanya penyokong
yang terbuat dari kalsium karbonat (spikula atau sklerit), membuat tubuh karang
ini lentur dan tidak mudah putus (Manuputty 2002). Secara umum koloni S.
trocheliophorum berbentuk seperti jamur dan lobus (Manuputty 1996). Distribusi
genus Sarcophyton terdapat pada daerah kedalaman 1 - 35 m di seluruh perairan
Indo-Pasifik (Benayahu 1985, McFadden et al., 2006). S. trocheliophorum
berkembangbiak dengan cara gonochoric. Larva Sarcophyton sp. yang dihasilkan
dari reproduksi tersebut mampu bertahan 14 hari dalam kolom air (Benayahu dan
Loya 1986). Sedangkan perkembangbiakan aseksualnya dilakukan dengan secara
fragmentasi (Fabricus dan Philip 2001).
Sarcophyton trocheliophorum dapat dijadikan sebagai karang hias, karena
bentuk dan corak warna yang dimilikinya sangat menarik sehingga menjadi
perhatian para kolektor. Genus Sarcophyton ini telah dieskpor ke berbagai negara
di dunia (Green & Shirley 1999). Harga jual karang lunak untuk keperluan ekspor
cukup tinggi berkisar $700/20 individu (http://www.livestockusa.org/). Menurut
Green & Shirley (1999), berdasarkan data Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) 1985-1997, Indonesia
merupakan negara pengekspor karang hias terbesar di dunia. Jumlahnya sekitar 41
% dari jumlah total karang hias yang diekspor ke negara-negara pengimpor karang
hias seperti Amerika, Hongkong, Jepang dan negara-negara di Eropa. Namun
tingginya permintaan karang lunak ini tidak seimbang dengan keberadaannya
yang sedikit di ekosistem terumbu karang, karena saat ini telah terjadi degradasi
ekosistem terumbu karang yang salah satunya disebabkan oleh adanya aktivitas
manusia (Spalding et al., 2001). Wilkinson (2002) menjelaskan bahwa ekosistem
terumbu karang mengalami degradasi antara 10-50% selama kurun waktu 50
tahun terakhir. Dampak pemanasan global juga dapat mempercepat laju kerusakan

2
ekosistem terumbu karang sebagai habitat S. trocheliophorum (Hoegh-Guldberg
2011).
Perubahan kondisi lingkungan laut dapat menyebabkan perubahan
komposisi spesies di dalam ekosistem terumbu karang, sedangkan dampak dari
perubahan tersebut dapat merusak konektivitas genetik S. trocheliophorum.
Padahal konektivitas genetik yang terjaga baik akan membantu menjaga
keragaman genetik S. trocheliophorum. Keragaman genetik merupakan suatu
ukuran variasi genetik pada suatu populasi (Hughes et al., 2008) yang ditentukan
oleh adanya masukan genetik dari populasi lain (Beardmore 1983). Keragaman
genetik yang tinggi sangat membantu suatu organisme dalam merespon perubahan
lingkungan dan iklim serta penyakit.
Konektivitas genetik dapat memberikan informasi untuk membantu dalam
proses pengelolaan kawasan perlindungan laut secara berkelanjutan. Akan tetapi
Wijayanti et al, (2009) menyebutkan bahwa konektivitas genetik antar terumbu
sering diabaikan ketika mendesain suatu kawasan. Hal ini menunjukan bahwa
konektivitas genetik belum digunakan sebagai dasar pembentuan kawasan
perlindugan laut. Padahal konektivitas genetik sangat penting untuk menjamin
kelangsungan populasi atau perlindungan biodiversitas Indonesia. Telah banyak
penelitian yang melaporkan konektivitas dan keragaman genetik karang, beberapa
diantaranya adalah konektivitas dan keragaman genetik dari Pocillopora
damicornis (Adjeroud et al., 2014), Montastraea annularis (Foster et al., 2012),
dan Montastraea cavernosa (Goodbody-Gringley et al., 2011). Akan tetapi
penelitian tersebut lebih banyak dilakukan oleh peneliti luar negeri, penelitian
untuk konektivitas dan keragaman genetik S. trocheliophorum di Indonesia belum
pernah dilakukan. Padahal Indonesia mempunyai karakteristik biota, geografis
dan lingkungan yang menarik untuk dikaji.
Populasi Perairan Jawa, Sulawesi, dan Nusa Tenggara memiliki
karakteristik yang bervariasi. Populasi Perairan Jawa mempunyai tingkat
pencemaran yang tinggi dibandingkan dengan populasi lain, sementara populasi
Perairan Nusa Tenggara memiliki beberapa lokasi yang merupakan suatu perairan
semi tertutup. Arus lintas Indonesia (Arlindo) yang mengalir di populasi Perairan
Sulawesi membuat lokasi di populasi ini memiliki karakteriktik lingkungan unik.
Karakteristik geografis dan lingkungan yang berbeda-beda pada populasi
Perairan Jawa, Sulawesi dan Nusa Tenggara akan membuat perbedaan pada
keragaman genetik dan struktur populasi genetik dari S. trocheliophorum. Oleh
karena itu perlu adanya pengukuran mengenai konektivitas dan keragaman
genetik S. trocheliophorum di tiga populasi tersebut sehingga dapat membantu
dalam proses perlindungan keanekargaman hayati Indonesia.
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1. Bagaimana struktur populasi, konektivitas dan keragaman genetik S.
trocheliophorum yang terdapat pada populasi Perairan Jawa, Sulawesi dan
Nusa Tenggara?
2. Bagaimana implikasi dari struktur populasi, konektivitas, dan keragaman
genetik S. trocheliophorum terhadap kawasan konservasi laut di Indonesia?

3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis struktur populasi, konektivitas dan keragaman genetik S.
trocheliophorum yang terdapat pada populasi Perairan Jawa, Sulawesi dan
Nusa Tenggara.
2. Mendeskripsikan implikasi dari struktur populasi, konektivitas, dan keragaman
genetik S. trocheliophorum terhadap kawasan konservasi laut di Indonesia.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengetahui struktur
populasi, konektivitas dan keragaman genetik S. trocheliophorum sehingga dapat
diketahui pola distribusinya. Selain itu dapat mempermudah dalam proses
pembentukan kawasan konservasi yang berkesinambungan antar pulau dengan
mengetahui pola distribusi S. trocheliophorum, sehingga dapat membantu dalam
proses perlindungan keanekargaman hayati Indonesia.
Ruang Lingkup Penelitian
Batasan penelitian ini mencakup struktur populasi, konektivitas, dan
keragaman genetik S. trocheliophorum yang terdapat pada populasi Perairan.
Jawa, Sulawesi dan Nusa Tenggara, yang diterapkan dalam pembentukan kawasan
konservasi lautnya.

4

METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2013 - Febuari 2014.
Pengambilan sampel karang lunak dilakukan di perairan laut Jawa (Pulau Tunda
dan P. Panggang), perairan Nusa Tenggara (P. Labuan Bajo dan Gili Tapan) dan
perairan Sulawesi (Pulau Sembilan, P. Tanakeke dan P. Dutungan) (Gambar 1).
Analisis molekuler dilakukan di Laboratorium Biodiversitas dan Biosistematika
Kelautan FPIK IPB.

Gambar 1 Peta lokasi pengambilan sampel Sarcophyton trocheliophorum
Pengambilan Sampel
Metode pengambilan sampel dilakukan secara purposive random sampling.
Sampel karang lunak dikoleksi dengan menggunakan alat SCUBA/snorkel dari
kedalaman 5 - 7 m. Untuk identifikasi awal, koloni karang yang akan dikoleksi
terlebih dahulu didokumentasikan dengan kamera bawah air (Gambar 3).
Pengambilan sampel dilakukan secara non-destruktif yaitu dengan mengambil
sampel tanpa merusak koloni tersebut. Pengambilan jaringan karang dilakukan
dengan mengambilnya sepanjang 3 cm, jaringan kemudian dibilas dengan air
tawar yang bertujuan untuk menghilangkan zooxanthellae lalu diawetkan dalam
ethanol 96%.
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan-bahan
yang digpakai dalam pengambilan sampel maupun dalam analisis molekuler,
terdapat pada Tabel 1.
Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat yang
digunakan dalam proses pengambilan sampel di lapangan maupun dalam analisis
molekuler, terdapat pada Tabel 2.

5
Tabel 1 Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian.
Bahan
Jaringan Karang Lunak
Ethanol absolut 96%
Kit Ekstraction
Spirtus
Etidium Bromide
Micro Tip 10 µl
Micro Tip 100 µl
Micro Tip 1000 µl
Micro Tube 1.5 ml
Tube PCR
Kertas Kalkir

Q5 Hight Fidelity
Akuades
ddH2O
MgCl2
10 x Buffer PCR
Primer Forward dan Revers
dNTPs
Buffer TAE
Gloves
Parafilm
Tissue

Alumunium Foil
Tabel 2 Alat-alat yang digunakan dalam penelitian.
Alat
Alat Scuba
Snorkle
Pisau
Gunting
Cawan Petri
Bunsen
Inkubator
Mini Spin
Vortek

UV transilunimator
Mesin Elektroforesis
Micro Pipet 10 µl
Micro Pipet 100 µl
Micro Pipet 1000 µl
Oven
Mesin PCR
Microsmash
Pinset

Prosedur Analisis Karakter Molekuler
Prosedur analisis molekuler diawali dengan ekstraksi, PCR, elektroforesis
dan sekuensing. Proses ekstraksi diawali dengan pencucian jaringan dengan
menggunakan aquades untuk menghilangkan pengaruh ethanol. Ekstraksi DNA
dilakukan dengan menggunakan extraction kit (Qiagen Kit). Selanjutnya
dilakukan penggerusan jaringan dengan menggunakan microsmash untuk
mempermudah proses lisis jaringan dalam tahap inkubasi. Jaringan yang telah
halus ditambahkan dengan reagen dari qiagen kit lalu diinkubasi pada suhu 56 ºC
hingga jaringan lisis. Pemisahan DNA dilakukan dengan menggunakan centrifuge
dengan kecepatan 13000 rpm.
Setelah dihasilkan template DNA dari proses ekstraksi, dilanjutkan dengan
amplifikasi. Proses amplifikasi DNA dengan menggunakan primer (16S647F: 5ACACAGCTCGGTTTCTATCTACCA-3 dan ND21418R:5- ACATCGGGAGC
CCACATA-3) untuk fragmen ND2 (France and Hoover, 2002). 3 µl template

6
DNA direaksikan dengan 12.5 µl Q5 high fidelity master mix, 7 µl ddH2O, primer
forward dan reverse masing-masing 1,25 µl dalam proses amplifikasi DNA.
Amplifikasi dilakukan pada suhu pembelahan 98 oC, suhu penempelan 57 oC, dan
suhu pemanjangan 72 oC dalam 35 siklus.
Karang
lunak

Jaringan
ditimbang dan
dihaluskan

EKSTRAKSI

Extraction
kit
Inkubasi pada
suhu 56 ᵒC

Extraction Product

AMPLIFIKASI

Running pada suhu
Denaturasi 98 ᵒC,
Anneling 57 ᵒC, Extention
72 ᵒC
dengan 35 siklus

PCR Kit

PCR Product

ELEKTROFORESIS

Pita Elektroforesis

Sisipkan campuran
DNA
template
dengan Loading Dye
dalam
sumuran
agarose

Cetak
Agarose +
EtBr
Running pada
tegangan 100 V
selama 25 Menit.
Visualisasi pada UV

SEKUENSING

Bradley Company, USA

Urutan Asam basa
Gambar 2 Diagram Alir Analisis Molekuler
Berhasil atau tidaknya proses PCR dapat diketahui dengan cara
memvisualisasikan produk PCR melalui proses elektroforesis. Tahap pertama

7
elektroforesis adalah pembuatan gel agarosa 1.5 % dengan pewarna Etidium
Bromide (4 µl) dan larutan TAE 1X 100 ml sebagai media elektroforesis. Agarose
tersebut dipanaskan pada microwave dan kemudian agarose dicetak dalam cetakan
bersisir hingga membeku. Selanjutnya 4 µl produk Hasil PCR diambil dan
dicampurkan dengan Loading dye (1 µl), kemudian disisipkan di sumuran dalam
cetakan agarose yang terendam dalam larutan TAE 1 X. Elektroforesis dilakukan
pada tegangan 100 V selama 25 menit. Pita hasil elektroforesis dapat dilihat
dengan menggunakan sinar ultraviolet pada UV transluminator.
Jika hasil PCR positif mengandung DNA yang diinginkan, maka
kemudian dikirim ke Barkley, USA untuk dilakukan sekuensing. Sekeunsing atau
pengurutan DNA merupakan suatu teknik untuk menentukan urutan basa
nukleotida pada molekul DNA, hal ini bertujuan untuk menentukan identitas
genetik. Prinsip dari sekuensing ini yaitu untuk menentukan urutan basa ACGT
yang dijadikan sebagai cetakan (template) untuk kemudian diamplifikasi
menggunakan enzim (Zein 2013). Prosedur analisis karakter molekuler umum
dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 3 Bentuk Morfologi S. trocheliophorum
Analisis Data
Struktur Populasi, dan Konektivitas Genetik
Hasil sekuensing yang didapat diurutkan dengan menggunakan program
MEGA 5.05 (Moleculer Evolutionary Genetic Analysis) (Tamura et al 2011).
Data tersebut diedit agar sejajar menggunakan Clustal W yang terdapat pada
program tersebut (Tamura et al., 2011). Analisis sekuen DNA terbaik kemudian
dibandingkan dengan sekuen DNA pada basis data (genebank) untuk memastikan

8
spesies yang diinginkan. Struktur genetika populasi diukur dengan melihat nilai
fixation index (Fst) (Excoffier et al., 1992) menggunakan perangkat lunak
Arlequin 3.5 (Excoffier dan Lischer 2009). Selain itu, jarak genetik antar populasi
maupun dalam populasi diukur menggunakan parameter jarak Nei (1972) dan
dihitung berdasarkan Nei (1978) dengan softwere Mega 5.05. Konektivitas
genetik antara masing-masing populasi dianalisis dengan menggunakan Aplikasi
Median Joining (Bandelt et al., 1999) pada softwere Network 4.6
(http://www.fluxus-engineering.com).
Keragaman Genetik
Keragaman haplotipe (Hd) (Nei 1987) dan keragaman nukleotida (π) (Lynch
dan Crease 1990) pada masing-masing populasi S. trocheliophorum diukur
dengan menggunakan softwere DNAsp 5.0 (Rozas et al., 2003). Hasil analisis lalu
dimasukan dalam beberapa kategori berdasarkan nilai keragaman genetik, struktur
populasi dan jarak genetik.
Tabel 3 Kategori nilai struktur populasi, jarak genetik, dan keragaman genetik,
Analisis

Rendah

Kategori
Sedang

Tinggi

Struktur Populasi (FST)

0.002 - 0.099

0.1 - 0.5

0.6 - 1.00

Jarak Genetik (D)
Keragaman Genetik (Hd)

0.010 - 0.099
0.1 - 0.4

0.1 - 0.99
0.5 - 0.7

1.00 - 2.00
0.8 - 1.00

Sumber
Excoffier et al.,
1992
Nei 1972
Nei 1987

9

HASIL DAN PEMBAHASAN
Struktur Populasi dan Konektivitas Genetik
Hasil analisis panjang fragmen DNA dari semua sampel menunjukan
panjang fragmen 750-bp. Hasil seluruh sampel yang didapatkan memiliki
kemiripan sebesar 98-100% dengan S. trocheliophorum pada Genebank. Analisis
jarak genetik dalam populasi dapat dilihat pada Tabel 5. Jarak genetik S.
trocheliophorum terbesar dimiliki oleh populasi Perairan Nusa Tenggara, yaitu
0.026 diikuti oleh populasi Perairan Sulawesi 0.019 dan terkecil pada populasi
Perairan Jawa 0.002. Jarak genetik menunjukan hubungan genetik yang terdapat
antar populasi. Jarak genetik di tiga populasi, menunjukan adanya hubungan
genetik yang sangat dekat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nei (1972) yang
menyebutkan bahwa nilai jarak genetik 0.010 – 0.099 masuk dalam kategori
rendah. Semakin rendah nilai dari jarak genetik menandakan adanya hubungan
genetik yang sangat dekat.
Besarnya jarak genetik yang dimiliki populasi Perairan Nusa Tenggara ini
diduga karena dua lokasi yang mewakili populasi ini yaitu Gili Tapan dan Labuan
Bajo mempunyai perbedaan topografi. Gili Tapan merupakan sebuah kawasan
semi tertutup, karena adanya P. Medang yang menghalangi perairan Gili Tapan.
Sedangkan Labuan Bajo merupakan perairan terbuka. Hal ini menyebabkan larva
S. trocheliophorum yang berasal dari Labuan Bajo sulit untuk masuk ke Gili
Tapan, ataupun sebaliknya.
Populasi Perairan Sulawesi juga memiliki jarak genetik yang cukup besar
dibandingkan dengan populasi Perairan Jawa, akan tetapi lebih kecil dari populasi
Perairan Nusa Tenggara. Jarak yang jauh antara P. Dutungan dan P. Tanakeke
dengan P. Sembilan yang terletak didalam Teluk Bone memungkinkan larva S.
trocheliophorum sulit untuk melintas. Berbeda dengan dua populasi yang lain,
populasi Perairan Jawa memiliki jarak genetik yang sangat kecil. Hal ini karena
letak dari P. Panggang dan P Tunda yang berdekatan. Arus yang mengalir ke barat
(Mei – September) dan timur (November - Maret) di Laut Jawa membantu adanya
pertukaran larva pada tiap musim.
Hasil analisis jarak genetik antar populasi (Tabel 5) menunjukkan bahwa
populasi Perairan Sulawesi dengan populasi Perairan Nusa Tenggara mempunyai
jarak genetik sebesar 0.390 dengan nilai (fst) atau biasa disebut dengan aliran
genetik (Tabel 4) sebesar 0.399. Excoffier et al (1992) lebih lanjut menjelaskan
bahwa aliran genetik 0.1 – 0.5 tergolong dalam kategori sedang (Tabel 3).
Semakin besar nilai aliran genetik, maka semakin besar aliran genetik yang masuk
kedalam suatu populasi. Nilai jarak genetik dan aliran genetik yang dimiliki kedua
populasi ini masuk ke dalam kategori sedang bila dibandingkan dengan dua
populasi yang lain (Sulawesi - Jawa dan Nusa Tenggara - Jawa). Jarak genetik
yang terdapat pada populasi Perairan Sulawesi dengan populasi Perairan Jawa
yaitu sebesar 0.044 sedangkan aliran genetik sebesar 0.558. Nilai jarak genetik
dan aliran genetik pada kedua populasi ini merupakan nilai tertinggi dibandingkan
dengan populasi yang lain. Nilai jarak genetik terkecil terdapat antara populasi
Perairan Jawa dengan populasi Perairan Nusa Tenggara, yaitu sebesar 0.013 dan
aliran genetik sebesar 0.227. Rendahnya nilai jarak genetik dan tingginya nilai

10
aliran genetik yang terdapat pada tiga populasi diduga dipengaruhi oleh arus
Arlindo (Sulawesi - Nusa Tenggara) dan arus musiman (Nusa Tenggara – Jawa)
yang membantu dalam proses penyebaran larvanya.
Tabel 4 Analisis uji jarak berpasangan (Fst) pada populasi S. trocheliophorum
di Perairan Sulawesi, Jawa dan Nusa Tenggara.
Lokasi

Sulawesi

Sulawesi
Jawa
Nusa Tenggara

0.558
0.399

Jawa

Nusa Tenggara

0.227

-

Tabel 5 Jarak genetik dalam dan antar populasi S. trocheliophorum di Perairan
Sulawesi, Jawa dan Nusa Tenggara.
Jarak Genetik
Dalam Populasi

Antar populasi

Lokasi
Jawa
Sulawesi
Nusa
Tenggara
Total
Populasi
Jawa
Sulawesi
Nusa
Tenggara

0.019

Nusa
Tenggara
-

Total
Populasi
-

-

-

0.026

-

-

-

-

0.029

0.044

-

-

-

0.013

0.039

-

-

Jawa

Sulawesi

0.002
-

Berdasarkan hasil analisis uji berpasangan fst (Tabel 4) dan jarak genetik
(Tabel 5) yang didapatkan, menunjukan adanya hubungan kekerabatan yang dekat
sehingga bisa menggambarkan adanya konektivitas genetik pada masing-masing
lokasi. Hal ini pun didukung dengan hasil analisis konektivitas haplotipe (Gambar
5) yang memperlihatkan adanya konektivitas antar masing-masing haplotipe yang
dihasilkan.
Pulau Dutungan yang terletak di bagian barat Sulawesi terkoneksi dengan
Pulau Tanakeke. Pulau Tanakeke ini diduga menjadi pusat konektivitas dari S.
trocheliophorum. Jenis ini mempunyai konektivitas ke daerah barat dan Timur
Indonesia. Konektivitas pada daerah Timur terhubung antara P. Tanakeke dengan
P. Sembilan di Selatan Sulawesi, selain itu juga terhubung dengan Gili Tapan,
sedangkan Labuan Bajo memiliki konektivitas dengan Gili Tapan. Daerah barat
Indonesia seperti di Pulau Panggang dan P. Tunda terkoneksi dengan Tanakeke
dan Gili Tapan. Hal ini menunjukan bahwa jarak antar lokasi penelitian tidak
mempengaruhi konektivitas genetik S. trocheliophorum. Penelitian Souter et al.,
(2009) di Afrika Timur dan Sierra (2013) di Saudi Arabia juga menyebutkan
bahwa jarak antar populasi tidak mempengaruhi aliran genetik dari Pocillopora
sp.

11
Arus Lintas Indonesia yang mengalir dari Samudera Pasifik menuju ke
Samudera Hindia (Gordon dan Fine 1996) diduga yang membawa larva S.
trocheliophorum dari P. Dutungan menuju P. Tanakeke dan Gili Tapan.
Konektivitas yang terjadi antara P. Tanakeke dan P. Panggang dimungkinkan
karena adanya arus musiman yang terjadi di Laut Jawa dan Laut Flores. Hal ini
pun yang memungkinkan terjadinya konektivitas antara Gili Tapan dan Labuan
Bajo.

Gambar 4 Sebaran haplotipe S. trocheliophorum beserta pola arus dominan
(
) dan musiman (-----) yang ada di Indonesia.

1, 2, 4, 7. 9

Ket:

P. Dutungan (H_4, 5, 20)
P. Tanakeke (H_1, 2, 3, 14)
P. Sembilan (H_11, 12, 13)
Gili Tapan (H_1, 8, 9, 10)

Labuan Bajo (H_16, 17, 18, 19)
P. Panggang (H_6, 7)
P. Tunda (H_6, 21)

Gambar 5 Konektivitas haplotipe S. trocheliophorum antara populasi Perairan
Jawa (Hijau), Sulawesi (Kuning) dan Nusa Tenggara (Merah).

12

Konektivitas di tiga populasi diduga terjadi karena reproduksi dari S.
trocheliophorum yang bersifat gonochoric (Fabricus dan Philip 2001). Larva
Sarcophyton sp. yang bersifat statis dan mampu bertahan 14 hari dikolom air
berenang mengikuti arus perairan (Benayahu dan Loya 1986). Hal ini memberikan
peluang hidup yang besar bagi larva S. trocheliophorum untuk dapat terdistribusi
dan menetap jauh dari populasi asal. Menurut Manuputty (2005) koloni baru dapat
terpisah sejauh 10 -100 km dari induknya. Arus yang mengalir diduga membawa
larva S. trocheliophorum keberbagai populasi dan terjadi percampuran antar
populasi, seperti yang terjadi antara Populasi P. Tanakeke - Gili Tapan.
Percampuran yang terjadi didalam populasi P. Tanakeke dimungkinkan oleh
adanya arus lintas indonesia yang berasal dari Samudera Pasifik, selain itu juga
adanya arus musiman yang terjadi di Laut Flores. Menurut Botsford et al., (2009)
menyebutkan bahwa pola sirkulasi arus akan memberikan informasi mengenai
penyebaran larva dari karang lunak sehingga dapat mengetahui pola
konektivitasnya.
Berdasarkan konektivitas genetik yang didapatkan dari tiga populasi,
populasi Perairan Sulawesi khususnya Pulau Tanakeke merupakan pusat
konektivitas S. trocheliophorum. P. Tanakeke terkoneksi ke berbagai Pulau di
Barat dan Timur Indonesia (Gambar 4). Oleh karena itu perlu adanya perhatian
yang lebih atau pembentukan kawasan konservasi laut di P. Tanakeke agar lokasi
tersebut tetap menjadi pusat keragaman genetik dan tetap memasok larva S.
trocheliophorum ke wilayah Barat dan Timur Indonesia. Hal ini dikarenakan
konektivitas secara spasial dan temporal dapat digunakan sebagai implikasi
pengelolaan ekosistem terumbu karang, khususnya untuk merancang kawasan
konservasi laut (Munday et al., 2009). Pengelolaan ekosistem terumbu karang
kawasan konservasi laut yang menyeluruh dan terpadu antar pulau akan
memberikan dampak yang besar, karena dapat saling mendukung bagi kelestarian
satu sama lain. Kelestarian ekosistem terumbu karang akan menjaga potensi S.
trocheliophorum sebagai karang hias dan juga bahan ekspor.
Keragaman Genetik
Hasil analisis dari 39 sampel yang di analisis pada program DNAsp
didapatkan 21 haplotipe (Tabel 6). Populasi Perairan Jawa dengan jumlah sampel
enam memiliki jumlah haplotipe sebanyak tiga. Pada populasi Perairan Sulawesi
menghasilkan 11 haplotipe dari 24 sampel, sedangkan pada populasi Perairan
Nusa Tenggara didapatkan delapan haplotipe dari sembilan sampel. Keragaman
genetik pada tiap populasi menunjukan tingkat keragaman haplotipe yang tinggi,
yaitu berkisar 0.600 – 0.972. Keragaman haplotipe terendah terdapat pada
populasi Perairan Jawa, sedangkan tertinggi terdapat pada populasi Perairan Nusa
Tenggara 0.972. Sedangkan untuk keragaman nukleotida (π) berkisar antara 0.002
sampai dengan 0.019, dengan nilai terendah yaitu pada populasi Perairan Jawa
dan tertinggi pada populasi Perairan Sulawesi. Secara kesuluruhan nilai
keragaman haplotipe yaitu sebesar 0.914 dan keragaman nukleotida sebesar 0.028.
Menurut Nei (1987) nilai keragaman genetik berkisar dari 0.800 - 1.000 masuk
dalam kategori tinggi, sementara nilai 0.500 -0.700 tergolong dalam kategori

13
sedang, dan 0.100 - 0.400 merupakan kategori rendah. Nuryanto (2009)
menyebutkan bahwa keragaman genetik yang tinggi mencerminkan besarnya
ukuran populasi, sedangkan penurunan ukuran populasi akan mengurangi
keragaman genetik.
Nilai keragaman genetik yang rendah pada populasi Perairan Jawa
menunjukan ukuran populasi S. trocheliophorum yang rendah di lokasi tersebut.
Nilai keragaman genetik yang kecil pada populasi Perairan Jawa dimungkinkan
karena adanya limbah domestik dan pabrik yang berasal dari teluk jakarta.
Dampak penurunan kualitas perairan Teluk Jakarta hingga ke perairan Kepulauan
Seribu yang berjarak 50 km (Sachoemar dan Wahjono 2007). Hal ini dapat
mengganggu pertumbuhan S. trocheliophorum yang berdampak pada kematian.
Keragaman genetik pada populasi Perairan Jawa berbanding terbalik dengan
populasi di Perairan Nusa Tenggara sebesar 0.972. Tingginya keragaman genetik
ini menunjukan semakin tinggi ukuran populasi di Perairan Nusa Tenggara. Nusa
Tenggara berdasarkan data kualitas lingkungan hidup menepati posisi ke tiga dari
semua provinsi di Indonesia dengan tingkat pencemaran yang rendah (KLH
2011). Populasi di Perairan Sulawesi mempunyai nilai keragaman genetik 0.815.
Walaupun masih dalam kategori keragaman genetik yang tinggi, nilai tersebut
lebih kecil dibandingkan dengan nilai yang diperoleh populasi Perairan Nusa
Tenggara. Penurunan keragaman genetik ini dimungkinkan karena pencemaran
dan degradasi terumbu karang yang terjadi di Kepulauan Spermonde (Erdmann
1995, Edinger et al., 1998).
Tabel 6 Jumlah haplotipe (Hn), keragaman haplotipe (Hd), keragaman nukleotida
(π) dan jumlah sampel (n) S. trocheliophorum pada populasi Perairan
Jawa, Sulawesi dan Nusa Tenggara, Indonesia.
Populasi

N

Jawa
Sulawesi
Nusa Tenggara
Total Populasi

Keragaman Genetik

Hn

Hd

π

6
24
9

3
11
8

0.600
0.815
0.972

0.002
0.019
0.019

39

21

0.914

0.028

Tangkap lebih yang terjadi pada perairan pesisir berdampak terhadap
penurunan keragaman genetik pada suatu populasi. Penangkapan ikan dengan
menggunakan bom maupun dengan menggunakan racun sianida juga
mempengaruhi komunitas terumbu karang. Pariwisata yang tidak ramah
lingkungan turut menyumbang tekanan terhadap ekosistem terumbu karang
sehingga menyebabkan kerusakan dan berdampak pada menurunnya ukuran
populasi S. trocheliophorum pada ekosistem terumbu karang.
Turunnya keragaman genetik S. trocheliophorum juga dipengaruhi oleh
kenaikan suhu permukaan air. Kenaikan suhu permukaan air berdampak pada
simbion S. trocheliophorum sehingga menyebabkan terjadinya pemutihan.
Hilangnya zooxanthellae akan mempengaruhi pertumbuhan S. trocheliophorum.
Sarcophyton sp. merupakan karang lunak yang hampir separuh keperluan
nutrisiya diperoleh dari zooxanthellae. Genus ini akan stres pada suhu 39 ᵒC jika

14
terpapar panas lebih dari 39 jam (Strychar et al., 2005). Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Woo et al. (2012) membuktikan bahwa stres lingkungan yang
terjadi pada karang lunak Scleronephthya gracillimum mengakibatkan adanya
perubahan pada ekpresi gen, sebagai respon terhadap perubahan lingkungan. Bila
perubahan yang terjadi tidak bersifat letal dan diwariskan ke generasi berikutnya
maka akan meningkatkan variasi di dalam populasi, akan tetapi bila perubahan
tersebut bersifat letal maka akan menurunkan ukuran populasi.
Keragaman genetik yang kecil pada populasi Perairan Jawa dapat
disebabkan karena tidak adanya isolasi jarak pada kedua pulau yang mewakili
populasi ini. Jarak antara P. Tunda dan P. Panggang yang dekat (±80 Km) dan
arus musiman yang mengalir memudahkan pertukaran larva-larva S.
trocheliophorum. Pertukaran larva tersebut dapat menyebabkan semakin dekatnya
hubungan kekerabatan diantara kedua pulau tersebut. Hal ini terlihat dari nilai
jarak genetik dalam populasi perairan P. Jawa sebesar 0.002 (Tabel 5). Mudahnya
pertukaran tersebut memungkinkan naiknya intensitas pertukaran sehingga
menyebabkan inbreeding. Inbreeding berbahaya bagi suatu populasi, karena dapat
menyebabkan menurunnya keragaman genetik (Valtuena 2014). Akan tetapi
alasan ini masih lemah karena diduga P. Tunda dan P. Panggang memperoleh
masukan genetik dari beberapa populasi disekitarnya seperti P. Biawak dan
Kepulauan Karimunjawa.
Isolasi geografis yang terjadi pada Gili Tapan di Populasi perairan Nusa
Tenggara menjadi sebuah hambatan bagi penyebaran larva S. trocheliophorum,
sehingga sulit terjadi pertukaran susunan gen dengan S. trocheliophorum yang
berada pada Labuan Bajo. Dalam kurun waktu yang lama kedua populasi tersebut
akan semakin berbeda, karena masing-masing populasi menjalani evolusi dengan
cara yang berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan dengan nilai jarak genetik yang
didapatkan antara Labuan Bajo dan Gili Tapan yaitu 0.026. Jarak genetik tersebut
memiliki hubungan kekerabatan yang paling jauh dibandingkan dengan populasi
yang lain. Jarak genetik yang jauh inilah yang memungkinkan keragaman genetik
pada populasi Perairan Nusa Tenggara lebih besar dibandingkan dengan populasi
yang lain.
Hasil penelitian menunjukan populasi di Perairan Sulawesi memiliki
keragaman genetik (Tabel 6) yang besar berdasarkan kategori dari Nei (1987).
Besarnya keragaman genetik ini dimungkinkan karena masukan genetik dari
Populasi Filipina menuju P. Dutungan dan P. Tanakeke yang terbawa arus dari
Samudera Pasifik. Letak P. Sembilan yang masuk dalam Teluk Bone juga
memungkinkan adanya variasi genetik yang besar.
Keragaman genetik memberikan kemampuan untuk beradaptasi terhadap
perubahan lingkungan dan iklim serta penyakit (Lande 1988). Oleh karena itu,
keragaman genetik merupakan modal dasar bagi S. trocheliophorum untuk
tumbuh, berkembang dan beregenerasi. Kemampuan karang untuk beradaptasi
dengan perubahan lingkungan yang terjadi ditentukan oleh potensi keragaman
genetik yang dimilikinya. Semakin tinggi keragaman genetiknya semakin besar
peluang suatu organisme untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan (Perwati
2009). Keragaman genetik yang kecil di populasi perairan P. Jawa (Tabel 6)
diharapkan mendapatkan perhatian khusus agar tetap terjaga kelestarian dari S.
trocheliophorum, sehingga tidak terjadi kepunahan lokal. Oleh karena itu perlu
dilakukan pembentukan kawasan perlindungan laut yang ketat, hal ini sesuai

15
dengan pernyataan Bengen (2002) yang menyatakan bahwa salah satu upaya
perlindungan ekosistem pesisir dan laut adalah dengan menetapkan suatu kawasan
dipesisir dan laut sebagai kawasan konservasi. Pembentukan kawasan konservasi
bertujuan untuk melindungi habitat yang kritis, mempertahankan dan
meningkatkan kualitas sumberdaya, melindungi keanekaragaman hayati dan
melindungi proses-proses ekologi.
Upaya selanjutnya untuk memperbaiki keragaman genetik S.
trocheliophorum yaitu dengan cara menginduksi S. trocheliophorum dari populasi
lain. Induksi bertujuan untuk menaikan keragaman genetik yang rendah karena
menurunnya ukuran populasi akibat inbreeding. Induksi ini bisa dilakukan ketika
melakukan transplantasi. Saat ini transplantasi karang masih menggunakan
karang dalam satu populasi, oleh karena itu kemungkinan terjadinya inbreeding
cukup besar. Akan tetapi cara ini masih menimbulkan perdebatan, karena dapat
merusak konektivitas alamiah dari S. trocheliophorum.
Konektivitas genetik erat kaitannya dengan keragaman genetik.
Konektivitas genetik yang terjaga dengan baik akan mempengaruhi tingginya
keragaman genetik pada suatu populasi. Menurut Beardmore (1983) keragaman
genetik suatu populasi akan meningkat jika terdapat suatu masukan genetik dari
populasi lain atau biasa disebut dengan migrasi genetik. Hal ini dikarenakan
migrasi yang besar akan menyebabkan terjadinya perkawinan silang dan
percampuran gen antar populasi yang berbeda, sehingga akan diperoleh variasi
gen yang berbeda-beda.
Peran konektivitas genetik yang dapat menentukan suatu distribusi dari S.
trocheliophorum inilah yang dapat memberikan informasi jalur migrasi larva
ketika musim pemijahan S. trocheliophorum. Oleh karena itu diharapkan adanya
perhatian khusus terhadap konektivitas genetik S. trocheliophorum sehingga dapat
menjaga keragaman genetik S. trocheliophorum. Terjagana keragaman genetik,
maka akan terjaga juga keanakeragaman hayati indonesia, karena
keanekaragaman genetik merupakan suatu tingkatan biodiversitas terkecil.

16
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa struktur populasi genetik di
tiga populasi menunjukan adanya hubungan genetik yang dekat antar populasi.
Konektivitas genetik terhubung diantara populasi Perairan Jawa, Sulawesi, Nusa
Tenggara. Keragaman haplotipe S. trocheliophorum terkecil terdapat pada
populasi perairan Jawa dan paling besar pada populasi Perairan Nusa Tenggara
dan Sulawesi. Besarnya keragaman genetik pada populasi Perairan Sulawesi dan
Tanakeke yang menjadi pusat konektivitas diharapkan dapat perhatian lebih agar
P. Tanakeke tetap dapat memasok larva-larva S. trocheliophorum keberbagai
populasi lain.
Saran
Berdasarkan hasil yang telah didapatkan, maka penulis menyarankan agar
dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menambahkan jumlah sampel dan jumlah
lokasi penelitian seperti pada populasi Sumatera, P. Karimunjawa, P. Bawean dan
beberapa pulau di timur Indonesia, sehingga dapat menggambarkan lebih jelas
konetivitas dan keragaman genetik S. trocheliophorum.
DAFTAR PUSTAKA
Adjeroud M, Guérécheau A, Vidal-Dupiol J, Flot J, Arnaud-Haond S, &
Bonhomme F. 2014. Genetic diversity, clonality and connectivity in the
scleractinian coral Pocillopora damicornis: a multi-scale analysis in an
insular, fragmented reef system. Marine Biology. 161(30): 531-541.
Almany GR, SR Connolly, DD Heath, JD Hogan, GP Jones, LJ McCook, M
Mills, RL Pressey & DH Williamson. 2009. Connectivity, biodiversity
conservation and the design of marine reserve networks for coral reefs.
Coral Reefs, 28: 339–351.
Bandelt HJ, Forster P, & Röhl A. 1999. Median-joining networks for inferring
intraspecific phylogenies. Mol Biol Evol. 16:37-48.
Beardmore JA. 1983. Extinction, Survival, and Genetic Variation. dalam:
Genetics and Conservation. Schonewald-cox CMS, Chambers M,
Macbryde B, & Thomas WL (Editor). The Benjamin/Cummings
Publishing Company, Inc. London
Benayahu Y & Loya Y. 1986. Sexual reproduction of a softcoral: Synchronous
and brief annual spawning of Sarcophyton glaucum (Quoy & Gairmard.
1833). Biol. Bull. 170: 32-42.
Benayahu Y. 1985. Faunistic compotition and pattern in the distribution of
softcoral (Octocorallia Alcyonacea) along the coral reefs of Sinai
Peninsula. Proc. 5th Int. Coral Reef Symp. Tahiti, 6:255-260.
Bengen DG. 2002. Sinopsis ekosistem sumberdaya alam pesisir dan laut serta
prinsip pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan.
Institut Pertanian Bogor. Bogor. 66 hal.
Botsford LW, White JW, Coffroth MA, Paris CB, Planes S,
Shearer TL, Thorrold SR, & Jones GP. 2009. Connectivity and resilience

17
of coral reef metapopulations in marine protected areas: matching
empirical efforts to predictive needs. Coral Reefs. 28:327–337.
Edinger EN, Jompa J, Limmon GV, Widjatmoko W, & Risk MJ. 1998. Reef
degradation and coral biodiversity in Indonesia: Effects of land-based
pollution, destructive fishing practices and changes over time. Mar
Pollut Bull 36: 617–630.
Erdmann M. 1995. An ABC guide to coral reef fisheries in southwest Sulawesi,
Indonesia. Naga, ICLARM Quarterly. 18(2):4–6.
Excoffier L & Lischer H. 2009. Arlequin ver 3.5 user manual ; An integrated
software package for population genetics data analysis. Swiss Institute
of Bioinformatics.
Exoffier L, Smouse PE, & Quattro JM. 1992. Analysis of moleculer variance
inferred from metric distance among DNA haplotipes; application to
human mitochondrial DNA restriction data. Genetics. (131): 479-491.
Fabricus K & A Philips. 2001. Softcoral and Sea fans. Australia Institute Of
Marine Science. Australia. 264 hal.
Foster NL, Paris CB, Kool JT, Baums IB, Stevens JR, Sanchez JA, Bastidas C,
Agudelo C, Bush P, Day O. Ferrari R, Gonzales P, Gore S, Guppy R,
Mccartney MA, Mccoy C, Mendes J, Srinivasan A, Steiner S, Vermeij
MAJ, & Weil E. 2012. Connectivity of caribbean coral populations:
Complementary insights from empirical and Modelled gene flow.
Molecular Ecology. 21: 1143–1157.
Goodbody-Gringley G, Woollacott RM, Giribet G. 2011. Population structure and
connectivity in the Atlantic scleractinian coral Montastraea cavernosa
(Linnaeus, 1767). Marine Ecology. 1–17.
Gordon AL & Fine RA. 1996. Pathways of water between the Pacific and Indian
Oceans in the Indonesian seas. Nature. 379 : 146-149.
Green ER & Shirley F. 1999. The Global Trade in Coral. World conservation
monitoring centre. World Conservation Press, Cambridge, UK. 60 hal.
Hellberg ME, Burton RS, Neigel JE, & Palumbi SR. 2002. Genetic assessment of
connectivity among marine population. Bulletin of Marine Science,
70(1): 273–290.
Hoegh-Guldberg O. 2011. Coral reef ecosystems and anthropogenic climate
change. Reg Environ Change, 11: 215–227.
Hughes AR, Brian D, Inouye, Marc TJJ, Nora U, & Mark V. 2008. Ecological
consequences of genetic diversity. Ecology Letters. 11: 609–623.
Jackson JBC. 1986. Modes of dispersal of clonal benthic invertebrates:
consequences for species distribution sand genetic structure of local
populations. Bull Mar Sci32: 588−606.
KLH. 2011. Laporan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia. 70 hal
Lande R. 1988. Genetics and demography in biological Conservation. Science.
241(4872): 1455-1460.
Lynch M & Crease TJ. 1990. The analysis of population survey data on DNA
sequence variation. Moleculer Biology Evolution, 7: 337–394.
Manuputty AEW. 2005. Reproduksi dan propagasi pada Octocorallia. Oseana.
XXX (1): 21-27

18
Manuputty AEW. 2002. Karang lunak (soft coral) perairan Indonesia (Buku I,
Laut Jawa & Selat Sunda). Jakarta (ID): Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia. Pusat Penelitian Oseanografi. 91 hal
Manuputty AEW. 1996. Pengenalan beberapa karang lunak (Octocorallia,
Alcyonacea) di Lapangan. Oseana. 21(4): 1-11.
McFadden CS, Alderslade P, van Ofwegen LP, Johnsen H, & Rusmevichientong
A. 2006. Phylogenetic relationships within the tropical softcoral genera
Sarcophyton and Lobophytum (Anthozoa, Octocorallia). Invertebrate
Biology. 125(4): 288–305.
Munday PL, Leis JM, Lough JM, Paris CB, Kingsford MJ, Berumen ML, &
Lambrechts J. 2009. Climate change and coral reef connectivity. Coral
Reefs. 28: 379–395.
Nei M. 1987. Moleculer evolutionary genetics. Columbia University. Press. New
York. 512 hal.
Nei M. 1978. Estimation of average heterozygosity and genetic distance from a
small number of individuals. Genetics, 89: 583-590.
Nei M. 1972. Genetic distance between population. American Nature, 106: 283292.
Nuryanto A & M. Kochzius. 2009. Highly restricted gene flow and deep
evolutionary lineages in the giant clam Tridacna maxima. Coral Reefs,
28: 607–619.
Perwati LK. 2009. Analisis derajat ploidi dan pengaruhnya terhadap variasi
ukuran stomata dan spora pada Adiantum raddianum. Bioma. 11(2): 3944.
Poehlman JW & JS Quick. 1983. Crop Breeding in Hungry World, In K.M.
Rawal and M.N. Wood (Eds.) Crop Breeding. The American Society of
Agronomy, Inc. and The Crop Science of Society, Inc. Madison
Wisconsin. USA.
Rozas J, Sanchez-DeI BJC, Messeguer, Rozas XR. 2003. DnaSP, DNA
polymorphism analyses by the coalescent and other methods.
Bioinformatics, 19: 2496–2497.
Sachoemar SI, Wahjono HD. 2007. Pencemaran lingkungan perairan di Teluk
Jakarta. JAI. 3(1): 1-14.
Sierra VR. 2013. Genetic Connectivity of the Reef Building Coral Pocillopora sp.
in the Red Sea. Thesis. University of Bremen. Jerman.
Souter P, Henriksson O, Olsson N & Grahn M. 2009. Patterns of genetic
structuring in the coral Pocillopora damicornis on reefs in East Africa.
BMC ecology. 9: 1-19.
Spalding M, Ravilious C, & Green EP. 2000. World atlas of coral reefs. United
Nations Environment Programme World Conservation Monitoring
Centre, Cambridge, U.K.
Strychar KB, Coates TM, Sammarco PW, Piva TJ, & Scott PT. 2005. Loss of
Symbiodinium from bleached soft corals Sarcophyton ehrenbergi,
Sinularia sp. and Xenia sp. Journal of Experimental Marine Biology and
Ecology. 320: 159–177.
Tamura K, Peterson D, Peterson N, Stecher G, Nei M, & Kumar S. 2011.
MEGA5: Molecular evolutionary genetics analysis using maximum

19
likehood, evolutionary distance and maximum parsimony method.
Moleculer Biology Evolution, 28(10): 2731-2739.
Valtuena FJ, Lopez J, Oliv