2. pengelolaan kawasan konservasi laut

URGENSI KONSERVASI LAUT (KAWASAN DAN JENIS) DALAM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DI INDONESIA

Natsir Nessa, Jamaluddin Jompa, Muhammad Lukman

Pendahuluan

Memimpikan Indonesia di tahun 2020 memiliki kawasan konservasi dengan luas

20 Jt Ha merupakan sebuah keniscayaan yang akan segera terwujud. Hingga akhir tahun 2012, KKP telah merilis 10,7 Jt Ha kawasan konservasi (KKP, 2012). Luas KKP itu sudah menjadi 1.84% dari luas lautannya, 580 Jt Ha (KKP, 2009). Indonesia dengan kawasan konservasi itu menjadi cita-cita besar bagi sebuah negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau 17,540 dan panjang garis pantai 95,000 Km yang membentang dari ujung barat ke timur. Ini yang mendapat apresiasi dari berbagai stakeholder baik . dalam negeri maupun komunitas luar negeri. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau 17.540 dan panjang garis pantai 95 ribu kilometer yang membentang dari ujung barat ke timur. Karunia sumber daya alam yang melimpah dan keanekaragaman hayati yang besar membuat Indonesia menjadi bangsa yang diperhitungkan di dunia. Indonesia menjadi Center of Excellent keanekaragaman sumber daya hayati. Hal tersebut didukung oleh potensi kelautan dan perikanan, pertambangan, perhubungan laut, industri maritime, ekowisata, jasa kelautan dan energy sumber daya mineral yang yang melimpah. Sumber daya hayati terumbu karang mencapai 500 jenis spesies dan spesies ikan 2000 jenis, budidaya (12,4 juta hektar), perikanan tangkap (6,8 juta ton), cadangan minyak bumi (9,1 milyar barel), cekungan minyak dan gas/migas sampai 70 persen. Potensi tersebut akan memberi manfaat jika dibarengi dengan pengembangan konservasi sumber daya ikan, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

Pendayagunaan potensi sumber daya laut terus berkembang. Berbagai kegiatan dilakukan untuk mengeksplorasi sumber daya laut tersebut. Data BPS 2014 menyebutkan bahwa potensi kelautan memberikan kontribusi terhadap Produk Domesti Bruto tahun 2013 sebesar 3,21 % atau 291,799 trilliun rupiah. Upaya peningkatan pendapatan dari sector kelautan terus ditingkatkan dan akan memberi dampak positif terhadap akses pertumbuhan ekonomi di bidang Pendayagunaan potensi sumber daya laut terus berkembang. Berbagai kegiatan dilakukan untuk mengeksplorasi sumber daya laut tersebut. Data BPS 2014 menyebutkan bahwa potensi kelautan memberikan kontribusi terhadap Produk Domesti Bruto tahun 2013 sebesar 3,21 % atau 291,799 trilliun rupiah. Upaya peningkatan pendapatan dari sector kelautan terus ditingkatkan dan akan memberi dampak positif terhadap akses pertumbuhan ekonomi di bidang

Tabel 1. Jenis dan Luas Kawasan Konservasi Perairan No

Keterangan 1 KKPN/TNP Laut Sawu, NTT

Lokasi/ Nama KKP

Luas (Ha)

3,521,130.01 KKJI+UPT 2 KKPN/TWP Gili Matra, NTB

2,954.00 KKJI+UPT 3 KKPN/TWP Laut Banda, Maluku

25,000.00 KKJI+UPT 4 KKPN/TWP P. Pieh, Sumbar

39,900.00 KKJI+UPT 5 KKPN/TWP Padaido

183,000.00 KKJI+COREMAP+UPT 6 KKPN/TWP Kapoposang, Sulsel

50,000.00 KKJI+COREMAP+UPT 7 KKPN/SAP Aru Tenggara, Maluku

114,000.00 KKJI+UPT KKPN/SAP Raja Ampat, Papua

8 Barat

60,000.00 KKJI+COREMAP+UPT 9 KKPN/SAP Waigeo, Papua Barat

271,630.00 KKJI+COREMAP+UPT 10 KKPD/Raja Ampat, Papua Barat

970,900.00 KKJI+COREMAP+UPT+PEMDA 11 KKPD/Sukabumi, Jawa Barat

1,771.00 KKJI+PEMDA 12 KKPD/Berau, Kaltim

1,271,749.00 KKJI+PEMDA 13 KKPD/Pesisir Selatan, Sumbar

733.00 KKJI+PEMDA 14 KKPD/Bonebolango, Gorontalo

2,460.00 KKJI+PEMDA 15 KKPD/Batang, Jawa Barat

6,800.00 KKJI+PEMDA 16 KKPD/Lampung Barat, Lampung

14,866.87 KKJI+PEMDA 17 KKPD/Alor, NTT

400,008.30 KKJI+PEMDA 18 KKPD/Indramayu, Jawa Barat

720.00 KKJI+PEMDA 19 KKPD/Batam, Kepri

66,867.00 KKJI+PEMDA 20 KKPD/Bintan, Kepri

472,905.00 KKJI+PEMDA 21 KKPD/Natuna, Kepri

142,997.00 KKJI+PEMDA 22 KKPN/Anambas, Kepri

1,842,960.27 KKJI+PEMDA 23 KKP Lainnya (54-12=42 KKPD)

1,262,686.20 KKJI+PEMDA Jumlah

Sumber. Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, 2012 Mendorong pertumbuhan ekonomi dari sector kelautan seperti pisau bermata

dua. Pemanfaatan sumber daya yang tidak mengacu pada prinsip keberlanjutan dan mengabaikan asas pelestarian menjadi ancaman serius. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Menurut Selig and Bruno (2010) bahwa segala kegiatan manusia akhirnya mempengaruhi struktur bangunan terumbu karang. Aktivitas dua. Pemanfaatan sumber daya yang tidak mengacu pada prinsip keberlanjutan dan mengabaikan asas pelestarian menjadi ancaman serius. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Menurut Selig and Bruno (2010) bahwa segala kegiatan manusia akhirnya mempengaruhi struktur bangunan terumbu karang. Aktivitas

Penyebab kerusakan sumber daya hayati laut juga akibat dari penangkapan ikan yang berlebihan (over-exploitation). Laju penangkapan ikan yang berlebihan mengakibatkan stok populasi ikan menurun. Kehidupan nelayan akan mengalami kerugian akibat sumber daya ikan yang makin berkurang. Berkurangnya sumber pendapatan ekonomi akan mengakibatkan nelayan mencari ikan di wilayah lain. Sumber daya yang makin berkurang itu membuat nelayan memilih jalan singkat menangkap ikan. Penangkapan secara destruktif menjadi pilihan yang cepat dan menghasilkan ikan yang banyak. Namun demikan, cara tersebut mengakibatkan kerusakan habitat ikan dan lingkungan laut semakin meningkat.

Lemahnya peran pemerintah mendorong kebijakan pemanfaatan sumber daya alam menjadi celah bertambahnya tingkat kerusakan. Apalagi masyarakat pesisir yang makin terhimpit secara ekonomi. Keadaan ini membuat kesadaran mengelola lingkungan pesisir semakin rendah. Situasi itu kemudian mendorong masyarakat pesisir terjebak pada ruang kemiskinan. Hasil kajian Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebutkan bahwa penduduk miskin di Indonesia kebanyakan di wilayah pesisir dengan jumlah 7,9 juta atau 25 persen dari penduduk miskin di Indonesia. (Kabarbisnis.com, 30 Mei 2014). Pada saat bersamaan, kerusakan lingkungan pesisir dan laut juga terus meningkat. Hasil kajian Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) menemukan sekitar 30,4 persen kondisi terumbu karang mengalami kerusakan. Hanya 5,29 persen yang berada dalam kondisi baik. (Koran Sindo, 16 April 2014).

Membumikan Konservasi Laut Upaya penyelamatan ekosistem dan konservasi laut sudah dilakukan sejak dahulu. Melalui program Marine and Coastal Resources Managemen Program (MCRMP), pemerintah mendorong pengelolaan sumber daya alam yang bertujuan pada pelestarian ekosistem dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Setelah program MCRMP, pemerintah Indonesia kemudian memprakarsai program COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program), atau Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang. Program Coremap I dan Coremap II dilaksanakan untuk mendorong peningkatan rehabilitasi, melindungi dan mengelola terumbu karang secara lestari. Program Coremap menggambarkan peningkatan perlindungan kawasan yang cukup signifikan. Seiring dengan itu, nilai manfaat program Coremap secara ekonomi dirasakan oleh masyarakat pesisir. Walhasil

masyarakat semakin menyadari pentingnya upaya perlindungan terhadap ekosistem laut. Meski demikian, ancaman kerusakan ekosistem laut juga makin serius. Melihat dampak yang akan ditimbulkan membuat Indonesia dan negara- negara yang berkepentingan dengan laut menginisiasi pertemua kelautan dunia. Indonesia kemudian mejadi tuan rumah World Ocean Conference dan Coral Triangle Initiative (CTI) Summit 2009. Dukungan dunia internasional dibuktikan dengan hadirnya 121 negara. Sementara CTI Summit secara khusus dilakukan oleh negara negara yang mencakup segitiga terumbu karang dunia yakni Filipina. Indonesia, Papua Nugini, Malaysia, Timor Leste, Kepulauan Solomon, utusan khusus pemerintah Australia dan Amerika Serikat. CTI merupakan upaya kerja sama negara-negara di segitiga karang dunia untuk melakukan pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan dengan mewujudkan kawasan Kawasan Perlindungan Laut (Marine Protected Area-MPA). Kawasan ini merupakan pusat keanekaragaman hayati di dunia yang memiliki pengaruh terhadap keseimbangan ekosistem secara global. Setiap negara sangat berkepentingan agar kawasan ini tetap lestari, dengan 500 spesies karang, 3.000 spesies ikan dan kawasan hutan mangrove yang paling besar di dunia, kawasan CTI menjadi harapan manusia di masa mendatang. Dukungan internasional untuk meningkatkan pengelolaan laut yang berkelanjutan melalui penetapan kawasan konservasi laut terus berkembang. Harapannya konservasi laut mampu memberikan manfaat secara ekonomi kepada masyarakat pesisir. Untuk mencapai hal itu, pemerintah bersama bersama Deputy Administrator of United States Agency for International Development (USAID), secara resmi menyatakan dimulainya program Marine Protected Areas Governance (MPAG) di Indonesia.

MPA bukan hanya tentang melindungi dan melestarikan keanekaragaman hayati laut, tetapi juga untuk mendukung perikanan berkelanjutan, ekowisata bahari, dan keperluan lainnya untuk kesejahteraan masyarakat pesisir. Dukungan terhadap MPA cukup kuat dengan adanya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.17 / MEN / 2008 yang mengatur kawasan konservasi daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 60/ 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Perikanan menjadi dasar program MPA. Hal tersebut mengatur sistem zonasi perairan yang dibutuhkan dalam MPA. Sistem Zonasi yang digunakan dalam mengelola MPA terbagi atas empat zona yakni zona inti, zona pemanfaatan, zona perikanan berkelanjutan, dan zona lainnya. Pembagian zona tersebut merupakan satu kesatuan kawasan yang dikelola secara efektif, dengan harapan mampu memajukan industri kelautan dan perikanan.

Solusi Pengelolaan Terumbu Karang

Pendekatan kawasan konservasi laut sangat signifikan dalam mengurangi arus kerusakan terumbu karang. Secara perlahan terumbu karang mampu melakukan recovery dengan berkembangnya konsep pengelolaan kawasan konservasi. Pilar pengelolaan kawasan konservasi yakni perlindungan, pelestarian dan pengelolaan yang berkelanjutan menjadi faktor yang cukup menentukan dalam pengelolaan terumbu karang. Untuk mendukung target pencapaian 20 juta Ha Luas Kawasan Konservasi di tahun 2020, sesuai dengan Konferensi Biodiversity yang menyatakan bahwa target Marine Protected Area (MPA) sebesar 10% dari luas Perairan Dunia. Olehnya itu, pemerintah Indonesia menetapkan pola jejaring kawasan konservasi. Aturan pelaksanaan tersebut telah diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumber Daya Ikan yang menyebutkan bahwa Dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan dapat dibentuk jejaring kawasan konservasi perairan, baik pada tingkat lokal, nasional, regional, maupun global. Pembentukannya berdasarkan keterkaitan biofisik antar kawasan konservasi perairan disertai dengan bukti ilmiah yang meliputi aspek oceanografi, limnologi, bioekologi perikanan, dan daya tahan lingkungan. Tahun 2013, Kawasan Konservasi perairan di Indonesia telah mencapai 15.764.210.85 Hektar yang berjumlah 131 kawasan, diantaranya terdiri dari Kawasan Konservasi Perairan Daerah, Taman nasional, Taman Wisata Perairan, Cagar Alam dan Suaka Alam Perairan. Sulawesi Selatan memiliki empat kawasan Konservasi yang semuanya terletak di Selat Makassar dan memanjang kearah selatan selat dengan luas kawasan Konservasi mencapai 757,020 Ha atau +5% dari total luas Kawasan Konservasi saat ini di Indonesia. (Direktorat Konservasi Kawasan Dan Jenis Ikan, 2014). Mengembangkan kawasan MPA mejadi tanggung jawab secara social semua pihak. Pemerintah, masyarakat, NGO, perusahaan swasta mesti memiliki visi yang sama tentang MPA. Sehingga tahun 2020 target pencapaian 20 juta Ha bisa tercapai.

Menembus Dimensi Kawasan Konservasi Laut Buku ini membahas gambaran konservasi laut dari berbagai dimensi. Sebagai bahan bacaan yang disajikan secara ilmiah namun tetap renyah untuk dibaca. Setiap Bab membahas tema berbeda yang mendukung pengelolaan kawasan konservasi laut. Bab II, dibahas bagaimana mengevaluasi efektivitas pengelolaan kawasan taman wisata perairan dan kawasan konservasi laut khususnya di daerah Kabupaten Pangkep.

Bab

III memaparkan aspek hubungan dan keterkaitan secara biofisik antar kawasan konservasi untuk mendukung jalinan jejaring kawasan konservasi. Pada Bab IV dan V secara khusus mengupas pengelolaan kawasan konservasi jenis penyu. Dari

Bab ini akan diperoleh status keberlanjutan setiap dimensi dalam pengelolaan penyu di Pulau Kapoposang. Bab V membahasa berbagai macam Bagan yang perannya dianggap menjadi ancaman dalam pengelolaan MPA. Sementara itu Bab

VII dan Bab VIII secara khusus membahas konservasi laut kaitannya dengan pemulihan keanekaragaman larva dan perevelnsi terhadap penyakit karang.

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI YANG EFEKTIF DAN ADAPTIF

Yusran Nur Indar dan Jamaluddin Jompa

Pendahuluan

S ebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia dikelilingi oleh konfigurasi pulau-pulau yang berjumlah 17.480 terbentang sepanjang 3.977 mil di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik dengan panjang garis kurang lebih 95.186 km yang merupakan garis pantai tropis terpanjang di dunia setelah Kanada. Luas

2 daratan Indonesia sebesar 1.922.570 km 2 dan luas perairannya 3.257.483 km . Di dalam wilayah tersebut terkandung berbagai potensi perikanan tangkap lestari

sebesar 6,4 juta ton, lahan budidaya sekitar 1,1 juta ha, dan potensi lain baik dari udang-udangan, kerang-kerangan, maupun mamalia laut. Sekitar 80% industri dan 75% kota besar di Indonesia berada di wilayah pesisir. Potensi lain yang tidak kalah pentingnya adalah jasa transportasi laut, industri maritim, wisata bahari, industri alternatif dan sumber obat-obatan (Ruchimat, 2012).

Sumber daya alam pulau-pulau kecil bila dipadukan dengan sumber daya manusia yang handal serta di dukung dengan iptek yang di tunjang dengan kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan yang tepat bisa menjadi modal yang besar bagi pembangunan nasional. Peluang yang dimiliki adalah kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusianya yang potensial untuk ditumbuhkembangkan pendayagunaannya. Sumber daya alam pulau-pulau kecil mempunyai arti penting bagi kegiatan perikanan, konservasi dan preservasi lingkungan, wisata bahari dan kegiatan jasa lingkungan lain yang terkait.

Kawasan konservasi perairan di Indonesia tidak kurang dari 16 juta hektar (Ruchimat dalam Pedoman Teknis E-KKP3K, 2012) yang kini menghadapi ancaman dan persoalan pengelolaan yang sangat berat. Ancaman tersebut dapat berupa ancaman langsung maupun tidak langsung. Ancaman langsung meliputi praktik penebangan liar, penyerobotan dan konversi lahan, penangkapan hewan langka, pengeboman ikan, maupun yang disebabkan oleh faktor-faktor alam seperti kebakaran hutan dan fenomena pemanasan global yang mengakibatkan terjadinya perubahan iklim. Ancaman tidak langsung meliputi hal-hal yang disebabkan oleh adanya kebijakan yang berkonotasi dua (ambiguity), ketidakjelasan akan hak-hak dan akses masyarakat, peraturan perundang-undangan yang kurang memadai dan tumpang tindih, serta penegakan hukum yang lemah sehingga Kawasan konservasi perairan di Indonesia tidak kurang dari 16 juta hektar (Ruchimat dalam Pedoman Teknis E-KKP3K, 2012) yang kini menghadapi ancaman dan persoalan pengelolaan yang sangat berat. Ancaman tersebut dapat berupa ancaman langsung maupun tidak langsung. Ancaman langsung meliputi praktik penebangan liar, penyerobotan dan konversi lahan, penangkapan hewan langka, pengeboman ikan, maupun yang disebabkan oleh faktor-faktor alam seperti kebakaran hutan dan fenomena pemanasan global yang mengakibatkan terjadinya perubahan iklim. Ancaman tidak langsung meliputi hal-hal yang disebabkan oleh adanya kebijakan yang berkonotasi dua (ambiguity), ketidakjelasan akan hak-hak dan akses masyarakat, peraturan perundang-undangan yang kurang memadai dan tumpang tindih, serta penegakan hukum yang lemah sehingga

Pada pertemuan internasional Convention on Biological Diversity pada tahun 2006 di Brazil, pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk memperluas kawasan konservasi laut seluas 10 juta hektar pada tahun 2010 dan berkomitmen memperluasnya menjadi 20 juta hektar pada tahun 2020 (UNEP-WCMC, 2008). Komitmen didasarkan selain pada tingginya kebutuhan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan juga untuk menghadapi ancaman tekanan terhadap sumberdaya laut. Kepulauan Spermonde memiliki keragaman ekosistem dan keanekaragaman jenis biota laut yang tinggi. Kepulauan ini terbentuk dan muncul di atas dangkalan Spermonde (Spermonde Shelf) yang terletak di pesisir barat Propinsi Sulawesi Selatan (Selat Makassar) membentang dari utara ke selatan

sepanjang kurang lebih 300 km dengan luas 16.000 km 2 . Kabupaten Pangkep dicirikan oleh wilayah perairan lautnya yang luas dengan taburan 117 pulau-pulau

merupakan ekosistem dengan keragaman hayati yang sangat tinggi terutama pada habitat terumbu karang (Ditjen KP3K http://kkji.kp3k.kkp.go.id/, diakses pada tanggal 25 Desember 2013).

Wilayah pesisir dan laut Kabupaten Pangkep dicirikan dengan produktivitas ekosistem yang tinggi sehingga dapat mendukung kegiatan perekonomian. Ekosistem pesisir utama Kabupaten Pangkep adalah terumbu karang, mangrove, dan padang lamun. Salah satu upaya dalam menyelamatkan ekosistem wilayah pesisir di Kabupaten Pangkep adalah dengan membetuk Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang telah diinisiasi oleh COREMAP II. DPL merupakan wilayah perlindungan laut yang dibentuk berdasarkan aspirasi masyarakat. Hingga saat ini hampir di setiap desa kecamatan pesisir memiliki DPL. Akan tetapi, permasalahan kerusakan ekosistem pesisir tidak secara otomatis telah terpecahkan dengan terbetuknya DPL tersebut.

Selain itu, kemampuan resistensi dan resiliensi dari setiap DPL belum teruji karena belum ada mekanisme konektivitas antar DPL yang dijadikan pertimbangan dalam pemilihan lokasi tersebut. Oleh karena itu, dibentuklah Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep berdasarkan Surat Keputusan Bupati No. 180 Tahun 2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkep dan Peraturan Bupati Pangkajene Dan Kepulauan nomor 32 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan untuk menjamin daya resistensi dan resiliensi dari setiap lokasi terpilih melalui mekanisme konektivitas antar habitat, biota, dan kondisi ekologinya. Berdasarkan SK Bupati tersebut, KKLD Pangkep mencakup wilayah administrasi Kecamatan Liukang Tupabbiring dan Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara.

Kepulauan Kapoposang merupakan bagian dari Kepulauan Spermonde dan secara administratif masuk dalam wilayah Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep) Provinsi Sulawesi Selatan. SK Menteri Kehutanan No. 588/KPTS- VI/1996 tanggal 12 September 1996 menetapkan Kepulauan Kapoposang sebagai Taman Wisata Alam Laut dengan luas sebesar 50.000 hektar dan memiliki panjang batas 103 km. Saat ini Pengelolaan Kepulauan Kapoposang dan perairan sekitarnya telah diserahkan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan sesuai dengan Berita Acara Serah Terima No. BA.108/MEN.KP/III/2009 pada tanggal

4 Maret 2009. Kawasan ini lalu ditetapkan sebagai Taman Wisata Perairan Kepulauan Kapoposang (TWP Kepulauan Kapoposang) sesuai dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.66/MEN/2009 (Haslindah, 2012).

Dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi telah menyebabkan terjadinya tekanan ekologis terhadap sumberdaya pesisir dan laut. Setiap tahunnya terjadi penurunan kualitas dan daya dukung ekosistem pesisir dan laut terutama akibat dari penangkapan ikan secara destruktif. Demikian halnya terjadi di wilayah kawasan konservasi TWP Kapoposang maupun KKLD Kabupaten Pangkep dimana Tingkat PITRaL masih sering terjadi (Saleh. A, 2010). Oleh karenanya, pengelolaan kawasan konservasi bertujuan untuk mendapatkan bentuk penataan ruang dan arah pengelolaan kawasan konservasi yang optimal sehingga dapat meningkatkan fungsi dari kawasan konservasi itu sendiri serta untuk mencegah timbulnya kerusakan lingkungan.

Keputusan Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil nomor KEP/44/KP3K/2012 tentang Pedoman Teknis Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (E-KKP3K) adalah pedoman teknis yang diterbitkan untuk menilai capaian kinerja pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia, tujuannya adalah untuk mendukung komitmen pemerintah dalam proses perluasan kawasan konservasi sampai 20 juta hektar pada tahun 2020.

Taman Wisata Perairan Kapoposang dan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkep adalah kawasan konservasi yang dikelola oleh Pemerintah untuk menjamin ketersediaan sumberdaya laut. Pengelolaan kawasan konservasi tersebut ditujukan untuk menselaraskan kepentingan perlindungan sumberdaya laut dan kepentingan pemanfaatan sumberdaya sehingga proses pemanfaatan sumberdaya dapat berlangsung secara berkelanjutan. Proses pengelolaan kedua kawasan konservasi tersebut tentunya harus terus ditingkatkan sehingga pada akhirnya pengelolaan secara mandiri dan berkelanjutan dapat segera terwujud. Untuk mendorong percepatan kinerja pengelolaan kawasan konservasi TWP Kapoposang dan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkep Taman Wisata Perairan Kapoposang dan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkep adalah kawasan konservasi yang dikelola oleh Pemerintah untuk menjamin ketersediaan sumberdaya laut. Pengelolaan kawasan konservasi tersebut ditujukan untuk menselaraskan kepentingan perlindungan sumberdaya laut dan kepentingan pemanfaatan sumberdaya sehingga proses pemanfaatan sumberdaya dapat berlangsung secara berkelanjutan. Proses pengelolaan kedua kawasan konservasi tersebut tentunya harus terus ditingkatkan sehingga pada akhirnya pengelolaan secara mandiri dan berkelanjutan dapat segera terwujud. Untuk mendorong percepatan kinerja pengelolaan kawasan konservasi TWP Kapoposang dan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkep

Gambaran Umum Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang

Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang pada awalnya berada dalam pengelolaan Kementerian Kehutanan dimana berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan No. 588/KPTS-VI/1996 tanggal 12 September 1996 ditetapkan Kepulauan Kapoposang sebagai Taman Wisata Alam Laut (TWAL) seluas 50.000

ha. Kemudian TWAL Kapoposang diserahterimakan pengelolaannya dari Kementerian Kehutanan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Berita Acara nomor 01/Menhut-IV/2009 dan BA 108/MEN.KP/III/2009 pada tanggal 4 Maret 2009. Nomen klaturnya kemudian berubah menjadi Taman Wisata Perairan (TWP) Kepulauan Kapoposang dan Laut di Sekitarnya melalui keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 66/MEN/2009 tentang penetapan kawasan konservasi perairan nasional Kepulauan Kapoposang dan Laut di sekitarnya di Propinsi Sulawesi Selatan (Ditjen KP3K http://kkji.kp3k.kkp.go.id , diakses pada tanggal 12 Mei 2014).

Gambar 6 : Peta Zonasi Taman Wisata Perairan Kapoposang. Sumber : Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kota Kupang (2014)

Secara geografis Kawasan konservsi TWP Kepulauan Kapoposang terletak pada koordinat 4°37’ sampai 4°52’ Lintang Selatan dan 118°54’00” sampai 119°10’00” Bujur Timur. Secara administratif, Kepulauan Kapoposang termasuk dalam wilayah Kecamatan Liukang Tupabbiring dengan batas-batas wilayah administrasinya adalah sebagai berikut:

• Sebelah utara berbatasan dengan Selat Makasar • Sebelah timur berbatasan dengan Desa Mattiro Walie • Sebelah selatan berbatasan dengan Perairan Kota Makasar • Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Liukang Kalmas dan Selat

Makasar. Pada TWP Kapoposang terdapat 2 desa yaitu Desa Mattiro Ujung yang meliputi

Pulau Kapoposang dan Pulau Papandangan dan Desa Mattiro Matae yang meliputi Pulau Gondongbali, Pulau Pamanggangan, Pulau Tambakulu dan Pulau Suranti. Dari keenam pulau tersebut, 3 diantaranya berpenduduk yaitu Pulau Kapoposang, Pulau Papandangan dan Pulau Gondongbali (Rencana Pengelolaan dan Zonasi TWP Kapoposang, 2013).

Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep

Kawasan Konservasi laut daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep baru diekspose dengan adanya program COREMAP II, namun sesungguhnya beberapa kawasan di kabupaten ini telah lama di tetapkan oleh masyarakat sebagai kawasan yang tidak boleh dijamah oleh manusia, Kawasan seperti ini dapat ditemukan di daerah Kecamatan Liukang Tupabbiring misalnya daerah terumbu karang Kalaroang yang dikenal sejak tahun 60an yang tidak bisa dijamah oleh masyarakat disekitar tersebut karena dikeramatkan (Management Plan KKLD Kab.Pangkep, 2010).

Bila mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.02/MEN/2009 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan, maka status KKLD Kabupaten Pangkep masih bersifat pencadangan kawasan oleh Pemerintah Daerah dimana belum mendapatkan pengesahan secara resmi oleh Menteri mengingat beberapa persyaratan yang dibutuhkan belum terpenuhi. Dalam hal penataan batas kawasan dimana luasan dan batas-batas titik koordinat kawasan sudah ditentukan namun saat ini belum ada penandaan dan penempatan batas kawasan berdasarkan zona yang telah ditentukan. Selain itu, status Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan yang masih dalam status pencadangan kawasan Konservasi juga ditetapkan melalui Peraturan Bupati Pangkajene Dan Kepulauan nomor 32 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan.

Gambar 7 : Peta Zonasi Kawasan Konservasi Laut Daerah

Kabupaten Pangkep. Sumber : Dinas Kelautan Dan Perikanan Kabupaten Pangkep (2014).

Berdasarkan Peraturan Bupati Pangkajene Dan Kepulauan Nomor 32 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan bahwa kewenangan Pengelolaan KKLD dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Pangkep dimana kewenangan pengelolaannya dilaksanakan oleh instansi terkait yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan.

Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Taman Wisata Perairan Kapoposang Dan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkep

Capaian Kinerja Pengelolaan Kawasan Konservasi Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang

Berdasarkan hasil perhitungan capaian kinerja pengelolaan kawasan konservasi TWP Kapoposang dengan menggunakan rumus E-KKP3K diperoleh nilai persentase yang variatif menurun dari setiap peringkat. Pada peringkat merah (kawasan konservasi diinisiasi) diperoleh persentase capaian kinerja senilai 100 %, peringkat kuning (kawasan konservasi didirikan) dengan capaian 100 %, peringkat hijau (kawasan konservasi dikelola minimum) dengan capaian 76,19 %, peringkat biru (kawasan konservasi dikelola optimum) dengan capaian 57,14 % dan peringkat emas (kawasan konservasi mandiri) dengan capaian 33,33 %.

Pada peringkat hijau, kinerja pengelolaan baru mencapai 76,19 %, hal ini disebabkan karena unit pengelola memiliki SDM yang fungsinya belum sesuai dengan fungsi pengelolaan dimana fungsi yang dimaksud berupa fungsi pengawasan, monitoring sumberdaya dan penguatan sosial ekonomi budaya. Selain dokumen rencana pengololaan belum disahkan, juga belum ada dokumen- dokumen tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) pengelolaan administrasi perkantoran, SOP sarana-prasarana minimum dan SOP yang mengatur tentang penguatan kelembagaan, patroli bersama, pengelolaan sumberdaya kawasan, dan penguatan sosial ekonomi dan budaya.

Pada peringkat biru, kinerja pengelolaan baru mencapai 57,14 %, hal ini disebabkan karena kualifikasi SDM pada unit organisasi pengelola belum sesuai dengan kompetensi yang ada dalam artian bahwa sejumlah SDM belum pernah mengikuti pelatihan pengelolaan kawasan konservasi. Selain itu, anggaran pengelolaan kawasan konservasi belum terpenuhi sesuai kebutuhan perencanaan pengelolaan sehingga kebutuhan terhadap sarana dan prasarana pengelolaan juga belum terpenuhi. Persoalan lain yang timbul akibat dari keterbatasan anggaran pengelolaan adalah belum adanya inisiasi kegiatan pengawasan kawasan konservasi berbasis masyarakat. Unit pengelola TWP Kapoposang sampai saat ini juga belum menetapkan data ekologis mana yang akan digunakan sebagai garis

dasar (t 0 ) untuk melakukan pemantauan secara berkala perubahan-perubahan kondisi habitat, kualitas fisika, kimia, biologi dan goelogi, kondisi populasi ikan, dan dampak kawasan konservasi TWP Kapoposang terhadap peningkatan hasil

tangkapan ikan sehingga belum dapat dinilai perubahan-perubahannya. 1 Pada peringkat emas, kinerja pengelolaan TWP baru mencapai 33,33 %, hal ini

disebabkan karena unit pengelola TWP Kapoposang belum pernah melakukan kegiatan-kegiatan pengkajian berupa pengkajian tentang dampak kegiatan pariwisata terhadap kawasan konservasi, kajian dampak kegiatan budidaya terhadap kawasan konservasi, kajian dampak kegiatan perikanan terhadap kawasan konservasi, kajian peningkatan pendapatan masyarakat sebagai dampak dari pengelolaan, dan kajian tentang kesadaran masyarakat dalam mendukung pelestarian sumberdaya kawasan. Selain itu, sistem pendanaan berkelanjutan yang melibatkan stakeholder juga belum ada.

Dalam upaya melakukan pengelolaan kawasan konservasi yang efektif, unit pengelola juga telah melakukan banyak hal dalam memenuhi persyaratan- persyaratan yang telah ditetapkan. Diantaranya mengusulkan dokumen pencadangan calon kawasan konservasi kepada Kementerian Kelautan dan

1 Keterangan lisan Koordinator Unit Pengelola TWP Kapoposang.

Perikanan sesuai Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia nomor PER.02/MEN/2009 tentang tata cara

Penetapan kawasan konservasi perairan, identifikasi, inventarisasi, sosialisasi dan konsultasi publik calon kawasan konservasi perairan. Hasil dari upaya inisiasi pencadangan kawasan kawasan konservasi tersebut adalah diterbitkannya Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia nomor KEP.66/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Kapoposang Dan Laut Di Sekitarnya Di Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 3 September 2009 dengan luas kawasan 50.000 ha. Sebagai tindak lanjut dari Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia nomor KEP.66/MEN/2009 adalah mengumumkan dan mensosialisasikan kawasan konservasi TWP Kapoposang kepada masyarakat.

Capaian Kinerja Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkep

Hasil perhitungan capaian kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep dengan menggunakan rumus E-KKP3K diperoleh nilai persentase capaian kinerja pengelolaan yang tidak jauh berbeda dengan hasil perhitungan E-KKP3K TWP Kapoposang pada setiap peringkat. Pada peringkat merah (kawasan konservasi diinisiasi) diperoleh persentase capaian kinerja senilai 100 %, peringkat kuning (kawasan konservasi didirikan) dengan capaian 81,81 %, peringkat hijau (kawasan konservasi dikelola minimum) dengan capaian 61,90 %, peringkat biru (kawasan konservasi dikelola optimum) dengan capaian 35,71 % dan peringkat emas (kawasan konservasi mandiri) dengan capaian 0 % (tidak ada pencapaian kinerja).

Pada peringkat kuning, kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep baru mencapai 81,81 %, hal ini disebabkan karena Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten Pangkep sebagai unit organisasi pengelola memiliki jumlah SDM yang belum memadai untuk melakukan pengelolaan kawasan konservasi. Selain itu, dokumen rencana pengelolaan masih dalam bentuk draft tentative dan masih dalam proses penyusunan, belum memadainya sarana dan prasarana pengelolaan minimum seperti alat monitoring dan alat komunikasi.

Pada peringkat hijau, kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep baru mencapai 61,90 %, hal ini disebabkan karena dokumen rencana pengelolaan belum disahkan, belum adanya Standar Operasional Prosedur (SOP) sarana prasarana standar minimum dan SOP penguatan kelembagaan, patroli bersama, pengelolaan sumberdaya kawasan, dan penguatan sosial ekonomi budaya.

Pada peringkat biru, kinerja pengelolaan baru mencapai 35,71 %, hal ini disebabkan karena kapasitas SDM pengelola belum sesuai dengan kompetensi Pada peringkat biru, kinerja pengelolaan baru mencapai 35,71 %, hal ini disebabkan karena kapasitas SDM pengelola belum sesuai dengan kompetensi

mana yang akan digunakan sebagai garis dasar (t 0 ) untuk melakukan pemantauan secara berkala perubahan-perubahan kondisi habitat, kualitas fisika, kimia, biologi dan goelogi, kondisi populasi ikan, dan dampak kawasan konservasi TWP Kapoposang terhadap peningkatan hasil tangkapan ikan sehingga belum dapat dinilai perubahan-perubahannya.

Pada peringkat emas, kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep tidak menunjukkan capaian kinerja apapun (0 %), hal ini disebabkan karena belum tersedianya data tentang peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai dampak dari adanya pengelolaan KKLD dan peningkatan kesadaran masyarakat dalam mendukung pelestarian sumberdaya kawasan, serta belum adanya sistem pendanaan berkelanjutan yang melibatkan stakeholder dalam mendukung pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep.

Meskipun masih banyak yang belum dilakukan oleh unit pengelola KKLD Kabupaten Pangkep dalam meningkatkan level/peringkat pengelolaan KKLD namun layak mendapatkan apresiasi karena kinerja pengelolaan telah mencapai peringkat merah dengan status pencadangan kawasan konservasi. Hal ini dibuktikan dengan terbitnya Peraturan Bupati Pangkajene Dan Kepulauan nomor 32 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan

Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan. Hal yang paling mendasar yang harus dilakukan oleh unit pengelola KKLD Kabupaten Pangkep adalah menginisiasi penetapan dokumen Rencana Pengelolaan KKLD.

Perbandingan Capaian Kinerja Pengelolaan Kawasan Konservasi TWP Kapoposang Dengan KKLD Kabupaten Pangkep

Kawasan Konservasi TWP Kapoposang dan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep adalah kawasan konservasi yang dikelola oleh pemerintah namun dalam proses inisiasi pencadangan kawasan tersebut dilakukan dengan proses yang berbeda. Inisiasi pencadangan Kawasan Konservasi TWP

Kapoposang dilakukan dengan perencanaan kebijakan secara top-down sedangkan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep inisiasi pencadangan kawasannya dilakukan secara kolaboratif antara masyarakat dan pemerintah dengan melalui proses perencanaan kebijakan secara bottom-up. Selain itu, pengelolaan Kawasan Konservasi TWP Kapoposang dikelola langsung oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kota Kupang lingkup Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan

Pulau-Pulau Kecil (KP3K) Kementerian Kelautan dan Perikanan sedangkan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep pengelolaan kawasannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Pangkep yang melekat pada Bidang Kelautan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep.

Pada grafik yang divisualisasikan di bawah terlihat kedua kawasan konservasi yaitu TWP Kapoposang dan KKLD Kab.Pangkep telah mencapai kinerja pengelolaan 100 % namun pada peringkat kuning hanya TWP Kapoposang yang telah mencapai kinerja pengelolaan 100 % sedangkan kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep baru mencapai 81,81 %.

Pada Peringkat hijau, kinerja pengelolaan kawasan konservasi TWP Kapoposang mencapai 76,19% dan kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep mencapai 61,90 %. Pada peringkat biru, kinerja pengelolaan kawasan konservasi mencapai 57,14 % dan kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep mencapai 35,71 %, dan pada peringkat emas kinerja pengelolaan kawasan konservasi TWP Kapoposang mencapai 33,33 % dan kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep belum ada capaian apapun (0 %).

Gambar 12 : Grafik Perbandingan Presentase Capaian Kinerja Pengelolaan Kawasan Konservasi Berdasarkan Analisis E-KKP3K

.Pengelola TWP Kapoposang : BKKPN Kota Kupang. Pengelola KKLD Kab. Pangkep : Dinas Kelautan dan Perikanan Kab.Pangkep. Peringkat : (1) Merah kawasan konservasi diinisiasi; (2) Kuning: kawasan konservasi didirikan; (3) Hijau: kawasan konservasi dikelola minimum; (4) biru : kawasan konservasi dikelola optimum; dan (5) Emas : kawasan konservasi yang dikelola secara efektif dan berfungsi penuh atau disebut mandiri. Diolah berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Nomor KEP. 44 /KP3K/2012 Tentang Pedoman Teknis Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (E-KKP3K).

Adanya perbedaan capaian kinerja pengelolaan kedua kawasan konservasi tersebut dimana kinerja pengelolaan kawasan konservasi TWP Kapoposang memiliki capaian kinerja dengan persentase yang lebih besar dibanding capaian kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep pada peringkat kuning, hijau, biru dan emas diduga disebabkan karena porsi anggaran pengelolaan TWP Kapoposang lebih besar dari pada KKLD Kabupaten Pangkep. Hipotesis pendugaan ini didasarkan pada kelembagaan pengelolaan kawasan konservasi dimana proses pengelolaan kawasan konservasi TWP Kapoposang berada di bawah naungan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kota Kupang lingkup Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) yang anggaran pengelolaannya melekat pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sedangkan pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep berada di bawah naungan Bidang Kelautan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep yang Adanya perbedaan capaian kinerja pengelolaan kedua kawasan konservasi tersebut dimana kinerja pengelolaan kawasan konservasi TWP Kapoposang memiliki capaian kinerja dengan persentase yang lebih besar dibanding capaian kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep pada peringkat kuning, hijau, biru dan emas diduga disebabkan karena porsi anggaran pengelolaan TWP Kapoposang lebih besar dari pada KKLD Kabupaten Pangkep. Hipotesis pendugaan ini didasarkan pada kelembagaan pengelolaan kawasan konservasi dimana proses pengelolaan kawasan konservasi TWP Kapoposang berada di bawah naungan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kota Kupang lingkup Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) yang anggaran pengelolaannya melekat pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sedangkan pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep berada di bawah naungan Bidang Kelautan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep yang

Status Efektifitas Pengelolaan Kawasan Konservasi TWP Kapoposang Dan KKLD Kabupaten Pangkep

Berdasarkan hasil Evaluasi Efektifitas Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (E-KKP3K) untuk kawasan konservasi Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang yang telah dilakukan oleh Kementerian Kelautan Perikanan pada tahun 2012 diperoleh status efektif (100%) pada peringkat merah (Ditjen KP3K http://kkji.kp3k.kkp.go.id diakses pada tanggal 12 Mei 2014) sedangkan berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh kemajuan capaian kenerja pengelolan kawasan konservasi dengan persentase tertinggi 100 % pada peringkat merah dan peringkat kuning.

KINERJA PENGELOLAAN PERINGKAT

TWP Kapoposang

KKLD Kab. Pangkep

Ket MERAH

100 Efektif DIINISIASI KUNING KAWASAN (2)

HIJAU KAWASAN

DIKELOLA MINIMUM

Efektif

BIRU KAWASAN (4)

DIKELOLA OPTIMUM EMAS (5) KAWASAN

0 KONSERVASI MANDIRI Belum Efektif Efektif

Belum

Tabel 1 : Status Efektifitas Pengelolaan Kawasan Konservasi TWP

Kapoposang dan KKLD Kab.Pangkep. Diolah berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir Dan Pulau-

Pulau Kecil Nomor KEP. 44 /KP3K/2012 Tentang Pedoman Teknis Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (E-KKP3K).

Berbeda dengan capaian kenerja pengelolan kawasan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep yang baru mencapai kinerja pengelolaan 100 % pada peringkat merah. Hasil E-KKP3K tersebut membuktikan bahwa kinerja pengelolaan TWP Kapoposang telah mencapai pengelolaan efektif pada peringkat kuning dengan status kawasan konservasi didirikan sedangkan kinerja pengelolaan KKLD Kab.Pangkep baru mencapai pengelolaan efektif pada peringkat merah dengan status telah dicadangkan.

Capaian kinerja pengelolaan TWP Kapoposang pada peringkat hijau, biru, emas dan capaian kinerja pengelolaan KKLD Kab.Pangkep pada peringkat kuning, hijau, biru, emas masih berada di bawah 100 % sehingga dapat dikategorikan belum efektif. Hal ini disebabkan karena belum sempurnanya aktivitas pelaksanaan rencana pengelolaan, penguatan kelembagaan, dan belum adanya pendanaan yang mandiri dan berkelanjutan.

Persepsi Nelayan Terhadap Keberadaan Kawasan Konservasi

Menurut Walgito (2000), Persepsi merupakan aktivitas yang integrated, maka seluruh apa yang ada dalam diri individu seperti perasaan, pengalaman, kemampuan berpikir, kerangka acuan dan aspek-aspek lain yang ada dalam diri individu masyarakat akan ikut berperan dalam persepsi tersebut, sehingga berdasarkan hal tersebut menjadi penting untuk menggambarkan pengetahuan nelayan terhadap keberadaan TWP Kapoposang dan KKLD Kab.Pangkep yang kemudian dapat dijadikan pertimbangan kebijakan khususnya dalam proses pengelolaan menuju kawasan konservasi laut yang mandiri dan berkelanjutan.

Persepsi responden disampaikan melalui wawancara yang terbagi dalam 2 lokasi penelitian, yaitu kawasan konservasi Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang dan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep. Untuk mengetahui persepsi nelayan setempat terhadap keberadaan Taman Wisata Perairan maka ditentukan Desa Mattiro Matae (Pulau Gondongbali) sebagai lokasi penelitian sedangkan untuk mengetahui persepsi nelayan setempat terhadap keberadaan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep maka ditetapkan Desa Mattiro Uleng (Pulau Kulambing), Desa Mattiro Walie (Pulau Samatellu Lompo), dan Desa Mattiro Dolangeng (Pulau Pala) sebagai lokasi penelitian.

Gambar 13 : Peta Lokasi Penelitian. Keterangan : (a) Lokasi Penelitian di wilayah TWP Kapoposang (Pulau Gondongbali); (b) Lokasi Penelitian di wilayah KKLD Kab. Pangkep (Pulau Kulambing, Pulau Samatellu Lompo, Pulau Pala).

Pengetahuan Terhadap Keberadaan Kawasan Konservasi.

Pada umumnya responden (91,4%) di Pulau Gondongbali sudah mengetahui keberadaan Kawasan Konservasi TWP Kapoposang. Berbeda dengan tingkat pengetahuan responden di Pulau Samatellu Lompo dan Pulau Pala dimana tidak ada yang mengetahui keberadaan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep dan hanya 2,9% responden di Pulau Kulambing yang mengetahui keberadaan KKLD Kabupaten Pangkep. Pada kasus ini responden lebih banyak mengetahui keberadaan Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang dikelola oleh Coremap dari pada KKLD Kab.Pangkep. Hal ini diduga karena tidak adanya atribut sosialisasi KKLD Kab. Pangkep seperti atribut sosialisasi TWP Kapoposang yang ada di Pulau Gondongbali. Dugaan lain terkait rendahnya pengetahuan responden terhadap keberadaan KKLD Pangkep adalah karena sosialiasi mengenai KKLD Pengkep yang difasilitasi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan hanya dilakukan sekali pada tahun 2010 dan hanya melibatkan

stakeholder tertentu saja. 2

2 Berdasarkan keterangan lisan staf unit pengelola KKLD Kab.Pangkep bahwa sosialisasi KKLD Kab.Pangkep baru sekali dilaksanakan pada tahun 2010 setelah diterbitkannya Peraturan Bupati

Pangkajene Dan Kepulauan nomor 32 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi

Menurut keterangan lisan mantan ketua LPSTK Desa Mattiro Uleng bahwa unit pengelolaa KKLD Kab.Pangkep tidak pernah melakukan sosialisasi edukatif terkait keberadaan KKLD Kab. Pangkep sehingga nelayan sebagai entitas yang menerima manfaat langsung sumberdaya laut tidak mengetahui keberadaan

KKLD Kab.Pangkep. 3

Pengetahuan Tentang Aturan Di Kawasan Konservasi

Tingkat pengetahuan responden terhadap aturan pemanfaatan sumberdaya di kawasan konservasi cukup bervariasi namun umumnya respoden baik di wilayah TWP Kapoposang (Pulau Gondongbali) maupun wilayah KKLD Kab.Pangkep (Pulau Kulambing, Pulau Samatellu Lompo) sudah mengetahui aturan pemanfaatan sumberdaya berupa larangan penggunaan bom dan racun/bius. Nelayan yang berada di TWP Kapoposang (Pulau Gondongbali) dan KKLD Kab Pangkep (Pulau Kulambing, Pulau Samatellu Lompo) yang masing-masing sebanyak 88,6%; 97,1%; 91,4%; dan 91,4% sudah mengetahui adanya aturan termasuk aturan pelarangan aktivitas Penangkapan Ikan Tidak Ramah Lingkungan (PITRaL).

Sanksi Atas Pelanggaran Yang Terjadi di Kawasan Konservasi

Persepsi responden (Pulau Gondongbali) terhadap sanksi atas pelanggaran yang terjadi di kawasan konservasi di kawasan TWP Kapoposang seperti yang terlihat pada gambar di bawah dimana umumnya menyatakan bahwa sanksi terhadap pelanggaran pemanfaatan sumberdaya laut hanya berupa peringatan lisan (82,9), namun sebanyak 5,7% responden menyatakan bahwa sanksi terhadap pelanggaran pemanfaatan sumberdaya laut pernah sampai pada proses hukum penjara, namun penegakan aturan yang lebih berat tersebut pernah dilakukan oleh Lantamal VI Wilayah Makassar.

Berbeda dengan persepsi responden yang ada di KKLD Kab. Pangkep dimana umumnya menyatakan tidak ada pemberian sanksi terhadap pelanggaran pemanfaatan sumberdaya laut dan peringatan lisan hanya disampaikan oleh kepala desa atau nelayan setempat yang melihat praktek destructive fishing.

Laut Daerah Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan dan karena keterbatasan anggaran sehingga hanya mengundang beberapa tokoh-tokoh masyarakat pada spot desa tertentu. Sosialisasi ini sekaligus ditujukan untuk mengetahui gambaran umum resistensi masyarakat terhadap keberadaan KKLD Kab. Pangkep. Dari hasil sosialisasi ini ditemukan banyak tanggapan unlinear dari masyarakat terkait luasan zona inti sehingga akan diupayakan untuk dilakukan pengurangan zona inti KKLD Kab.Pangkep.

3 Keterangan lisan mantan ketua Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK) Desa Mattiro Uleng.

Persepsi Terhadap Aktivitas Penangkapan Ikan Tidak Ramah Lingkungan (PITRaL) di Sekitar Wilayah Kawasan Konservasi.

Penangkapan ikan tidak ramah lingkungan (PITRaL) merupakan aktivitas penangkapan yang sifatnya eksploitatif dan tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi (Saleh, 2010). Alat PITRaL yang paling sering dipergunakan adalah racun sianida (bius), bahan peledak (bom ikan), trawl, bubu tindis, dan muroami. Berdasarkan laporan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia (2003) dalam Saleh (2010), untuk kepulauan Spermonde diperkirakan 64,88% nelayannya adalah pelaku PITRaL.

Persepsi nelayan terhadap aktivitas Penangkapan Ikan Tidak Ramah Lingkungan (PITRaL) menggambarkan bahwa aktivitas PITRaL masih terjadi baik di wilayah TWP Kapoposang maupun di wilayah KKLD Kab.Pangkep meski intensitasnya sudah menurun. Indikasinya terlihat dimana sebanyak 17,1% responden di wilayah TWP Kapoposang menyebutkan aktivitas PITRaL pernah terjadi sekali dalam kurun waktu 6 bulan; dan 11,4% menyatakan aktivitas PITRaL sering terjadi lebih dari 3 kali dalam kurun waktu 6 bulan.

Demikian hanya di wilayah KKLD Pangkep dimana tergambarkan masih ada indikasi terjadinya aktivitas PITRaL. Responden di Pulau Kulambing sebanyak 74,3% menyatakan aktivitas PITRaL pernah terjadi sekali dalam kurun waktu 6 bulan dan sebanyak 20% menyatakan aktivitas PITRaL masih terjadi lebih dari 3 kali dalam kurun waktu 6 bulan. Sebanyak 14,3% responden di Pulau Samatellu Lompo menyatakan aktivitas PITRaL pernah terjadi sekali dalam kurun waktu 6 bulan dan sebanyak 20% menyatakan aktivitas PITRaL masih terjadi lebih dari 3 kali dalam kurun waktu 6 bulan. Responden di Pulau Pala umumnya (80%) menyatakan aktivitas PITRaL pernah terjadi sekali dalam kurun waktu 6 bulan dan 8,6% aktivitas PITRaL masih terjadi lebih dari 3 kali dalam kurun waktu 6 bulan.

Laporan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep 2006 (Coremap II, 2006) menjustifikasi bahwa nelayan yang berada di kepulauan Kab.Pangkep terutama nelayan yang berasal dari Pulau Karanrang masih melakukan aktivitas PITRaL dalam proses pemanfaatan sumberdaya laut. Senada dengan itu, Saleh (2010) mengungkapkan bahwa nelayan yang berada di kepulauan Kab.Pangkep terutama nelayan penangkap ikan sunu menggunakan alat tangkap pancing sunu yang selalu berbarengan dengan penggunaan sianida. Hal ini disebabkan pancing sunu dimaksudkan untuk mendapatkan target dalam keadaan hidup, sedang ikan target sendiri berada di dalam celah karang, sehingga untuk dapat ditangkap target harus dipaksa keluar dari lubang persembunyiannya dengan cara menyemprotkan sianida (bius).

Persepsi Terhadap Eksploitasi Kima

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa menjustifikasi perlindungan terhadap berbagai jenis Bivalvia, diantaranya Kima Tapak Kuda (Hippopus hippopus), Kima Cina (Hippopus porcellanus), Kima kunia (Tridacna crocea), Kima selatan (Tridacna derasa ), Kima raksasa (Tridacna gigas), dan Kima sisik (Tridacna squamosa). Berdasarkan hal tersebut sehingga menjadi penting untuk menggambarkan aktivitas eksploitasi Kima di wilayah TWP Kapoposang dan KKLD Kab, Pangkep.

Talibo’ adalah nama local (local common name) untuk jenis biota Kima bagi masyarakat kepulauan di Kab. Pangkep. Sudah menjadi tradisi masyarakat kepulauan di Kab. Pangkep untuk menyajikan hidangan Kima pada saat acara- acara hajatan dan atau pesta pernikahan. Meski belum ada data tentang menurunnya tingkat populasi Kima yang digambarkan dalam deret waktu, namun masyarakat kepulauan di Kab.Pangkep cukup merasakan berkurangnya hasil tangkapan Kima.

Baik di Wilayah TWP Kapoposang maupun di wilayah KKLD Kab. Pangkep tergambarkan masih adanya indikasi eksploitasi Kima meski intensitasnya sudah menurun. Responden di wilayah TWP Kapoposang (Pulau Gondongbali) sebanyak 20% masih melihat adanya aktivitas eksploitasi Kima sekali dalam kurun waktu 6 bulan dan sebanyak 17,1% responden menyatakan eksploitasi Kima masih terjadi lebih dari 3 kali dalam kurun waktu 6 bulan.