Formulasi Mikroenkapsulan Minyak Cengkeh untuk Pestisida Nabati

FORMULASI MIKROENKAPSULAN MINYAK CENGKEH
UNTUK PESTISIDA NABATI

YUSLINAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Formulasi
Mikroenkapsulan Minyak Cengkeh untuk Pestisida Nabati adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014
Yuslinawati
NIM F351100201

RINGKASAN
YUSLINAWATI. Formulasi Mikroenkapsulan Minyak Cengkeh untuk Pestisida
Nabati. Dibimbing oleh Mulyorini Rahayuningsih dan Ono Suparno.
Minyak cengkeh merupakan salah satu sumber pestisida nabati yang banyak
dilaporkan memiliki spektrum penggunaan yang sangat luas karena sangat efektif
digunakan baik sebagai bakterisida, fungisida, insektisida, nematisida maupun
moluskisida dikarenakan keberadaan bahan aktif eugenol dan komponen non
fenolat lainnya yang terdapat pada minyak cengkeh tersebut. Dalam aplikasinya
sebagai pestisida, minyak cengkeh dan bahan aktifnya bersifat volatil, mudah
terurai, tidak larut dalam air dan sensitif terhadap suhu, panas, oksigen,
kelembaban, dan cahaya matahari sehingga memberikan kondisi yang tidak
efisien, efektif, dan praktis. Minyak cengkeh juga dilaporkan bersifat fitotoksik.
Kemudahan penggunaan, efisiensi, dan menghasilkan tipe produk yang tepat
menjadi permasalahan penting yang harus diperhatikan. Tipe produk
mikroenkapsulan merupakan salah satu formulasi produk yang dapat mengatasi
permasalahan tersebut yang diperoleh dengan teknik mikroenkapsulasi.

Dengan mikroenkapsulasi, bahan aktif akan terlindung dari pengaruh
lingkungan selama penyimpanan dan aplikasi, pelepasan zat aktif dapat
dikendalikan dan dapat merubah minyak cengkeh yang berwujud cair menjadi
padatan sehingga memudahkan pada saat penanganan, pengemasan, dan
pendistribusiannya. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan formulasi
berdasarkan konsentrasi minyak dan komposisi bahan pengkapsul untuk
mendapatkan mikrokapsul dengan karakteristik yang baik, dan untuk menghitung
efektivitas produk terhadap organisme pengganggu tanaman dan ketahanannya
terhadap lingkungan.
Mikroenkapsulasi dilakukan dengan metode spray drying pada suhu inlet
±180oC dan suhu outlet ±70oC menggunakan bahan pengkapsul maltodekstrin dan
Na-kaseinat. Penelitian utama menggunakan rancangan acak lengkap faktorial
dengan dua faktor. Faktor yang dipelajari berupa konsentrasi minyak (faktor A)
terdiri atas tiga taraf yakni A1=10%, A2=20%, dan A3=30% serta komposisi
bahan pengkapsul (nisbah Na-kaseinat terhadap maltodekstrin) terdiri atas enam
taraf, yaitu B1=1:2, B2=1:2.5, B3=1:3, B4=1:4, B5=1:5, dan B6=1:9 dengan dua
kali ulangan. Variabel respon yang diukur berupa viskositas, total oil, surface oil,
efisiensi enkapsulasi, rendemen produk, rendemen minyak terenkapsulasi,
aktivitas air, dan kelarutan dalam air. Struktur mikrokapsul, profil bahan aktif, dan
uji toksisitas terhadap jamur dan serangga dari produk mikrokapsul terpilih

melalui metode pembobotan diamati pula.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi minyak dan komposisi
bahan pengkapsul Na-kaseinat:maltodekstrin berpengaruh terhadap viskositas,
total oil, surface oil, rendemen produk, rendemen minyak terenkapsulasi, aktivitas
air dan kelarutan dalam air. Efisiensi enkapsulasi hanya dipengaruhi oleh
komposisi bahan pengkapsul. Mikrokapsul minyak cengkeh terbaik diperoleh dari
perlakuan konsentrasi minyak 10% dan komposisi bahan pengkapsul (nakaseinat:maltodekstrin) 1:3 dengan nilai rendemen produk 66,67%, rendemen
minyak terenkapsulasi 74,52%, efisiensi enkapsulasi 99,14%, aktivitas air 0,303
dan kelarutan yang cukup baik yakni sebesar 99,08%. Struktur mikrokapsul yang

dihasilkan berbentuk bulat dan kisut yang berukuran sekitar 2-30 µm. Kandungan
bahan aktif utama yakni eugenol mengalami penurunan sebesar 35% setelah
proses enkapsulasi dan penurunan bahan aktif lainnya dalam jumlah sedikit.
Minyak cengkeh yang sudah dienkapsulasi memiliki aktivitas yang lebih tinggi dan
persistensi atau durasi aktivitas yang cukup lama dibanding minyak cengkeh yang
tidak dienkapsulasi baik terhadap Fusarium oxysporum maupun Crocidolomia
pavonana. Proses enkapsulasi minyak cengkeh dengan bahan pengkapsul
maltodekstrin dan Na-kaseinat dapat mempertahankan aktivitas minyak cengkeh oleh
pengaruh sinar matahari, dan dapat mengurangi efek fitotoksik pada tanaman. Proses
mikroenkapsulasi minyak cengkeh juga berpotensi untuk dikembangkan karena

menghasilkan nilai tambah yang cukup besar yaitu sebnayak 45%.

Kata kunci: minyak cengkeh, eugenol, mikroenkapsulasi, maltodekstrin, Nakaseinat, spray drying.

SUMMARY
YUSLINAWATI. Formulation of Clove Oil Microencapsulan for Organic
Pesticide. Supervised by MULYORINI RAHAYUNINGSIH and ONO
SUPARNO.
Clove oil is one of organic pesticides which was reported has broad
spectrume because its effectivity as bacteriside, fungiside, insectiside, nematiside
or molusciside due to active ingeredients eugenol and non fenolat like
caryophyllene. However, in application as pesticide, its has volatile,
biodegradable, insolubility in water and sensitivity to temperature, heat, oxygen,
and sun light lead to inefficiency, ineffectiveness, unpracticable, and unflexibility.
Clove oil has fitotoxicity. Easily handle to use, efficiency and execelent product
are important thing to be considered. Microancapsulan is one of formulation to
handle it.
Microencapsulation can protect the active ingredients against harsh
conditions of storage and processing. This technology also facilitate handling,
packaging and transportation through the conversion of sticky liquid into free

flowing powder. This research was aimed to determining the formulation based of
oil concentration and encapsulating material compositition that produced good
microcapsule properties.
Microencapsulation spray drying was operated at temperature 180oC inlet and
70oC outlet. Main experiments perfomed by using complete randomized factorial
design with two factors, namely oil concentration (A) with 3 levels (A1=10%,
A2=20%, and A3=30%), and ratio of sodium caseinates to maltodextrin (B) with 6
levels (B1=1:2, B2=1:2.5, B3=1:3, B4=1:4, B5=1:5, and B6=1:9). Parameters consist
of viscosity, yield, oil encapsulated yield, total oil, surface oil, encapsulation
efficiency, water activity, and solubility. Microstructure, active ingredients profile
and toxixity on fungi and insect of selected microcapsule based on above parameters
by rangking methode were also assayed.
Result showed that oil concentration and encapsulating material
compositition affected to viscosity, total oil, surface oil, product yield, oil
encapsulated yield, water activity and solubility. Encapsulation efficiency were
only influenced by encapsulating material compositition. The selected
microcapsule properties was obtained from microcapsules containing clove oil
10%, and ratio Na-caseinate to maltodextrin 1:3 with product yield 66,67%, oil
yield 74,52%, encapsulation efficiency 99,14%, water activity 0,303 and good
solubility is 99,08%. Structure of microcapsule were found to be nearly spherical

with rough surface, but some particle with smooth surface also found which size
2-30 µm. There were loss of volatile compound in encapsulated oil. Encapsulated oil
has higher activity as pesticide and long persistence than clove oil and commercial
product. Microencapsulation of clove oil with maltodextrin and Na-caseinate could
protect from sunlight and decreasing phitotoxic effect. Microencapsulation of clove
oil is also potencial to develop, because it has added value was 45%.
Keywords: clove oil, microencapsulation, organic pesticide, maltodextrin, natrium
caseinates

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

FORMULASI MIKROENKAPSULAN MINYAK CENGKEH

UNTUK PESTISIDA NABATI

YUSLINAWATI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji luar komisi: Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA.

Judul Tesis : Formulasi Mikroenkapsulan Minyak Cengkeh untuk Pestisida
Nabati
Nama

: Yuslinawati
NIM
: F351100201

Disetujui oleh,
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, M.Si.
Ketua

Prof. Dr. Ono Suparno, S.TP, M.T.
Anggota

Diketahui oleh,

Ketua Program Studi
Teknologi Industri Pertanian

Dekan Sekolah Pascasarjana


Prof. Dr. Ir. Machfud. M.S.

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

Tanggal Ujian: 11 Juli 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2012 hingga
Maret 2014 ini ialah Formulasi Pestisida Nabati, dengan judul Formulasi
Mikroenkapsulan Minyak Cengkeh untuk Pestisida Nabati.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih,
M.Si dan Bapak Prof. Dr. Ono Suparno, S.TP, M.T. selaku pembimbing, serta
Bapak Dr. Ir. Dono Wahyuno, M.Sc. dan Ibu Dra. Rodiah Balfas, M.Sc yang telah
banyak memberi bantuan dan saran dalam penelitian Bioassay. Tak lupa kepada
Bapak dan Ibu laboran serta teknisi di laboratorium Teknologi Industri Pertanian,
Fateta-IPB, dan laboratorium serta rumah kaca Hama dan Penyakit di Balai

Penelitian Tanaman Rempah dan Aromatik, Balittro-Bogor. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada suami tercinta Asep Awaludin, dan ananda
tersayang Lizar Azqilla Awalina Tasanee, ibu, ayah dan ibu mertua terkasih, serta
seluruh keluarga atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014
Yuslinawati

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ii

DAFTAR GAMBAR

ii

DAFTAR LAMPIRAN


iii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pestisida
Minyak Cengkeh dan Potensinya sebagai Pestisida Nabati
Teknologi Formulasi Pestisida
Mikroenkapsulasi
Bahan Pengkapsul

3
3
4
6
7
9

3 METODE
Bahan dan Alat
Metode
Rancangan Percobaan

11
11
12
19

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Persiapan Bahan Baku
Penentuan Komposisi Bahan Pengkapsul
Karakteristik Produk Mikrokapsul Minyak Cengkeh
Penentuan Formulasi Terbaik Melalui Metode Pembobotan
Struktur Morfologi Partikel Mikrokapsul
Profil Bahan Aktif Minyak Cengkeh Sebelum dan Sesudah Enkapsulasi
Efektivitas Minyak Cengkeh dan Produk Mikrokapsulnya sebagai
Pestisida Nabati
Analisis Nilai Tambah Produk Mikrokapsul Minyak Cengkeh

20
20
21
24
34
34
36

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

43
43
44

DAFTAR PUSTAKA

44

LAMPIRAN

52

RIWAYAT HIDUP

77

37
42

ii

DAFTAR TABEL
2.1
2.2
3.1
4.1

4.2

4.3
4.4
4.5
4.6

Kadar minyak (%) dan eugenol (%) daun cengkeh dari berbagai tipe
dan ketuaan daun cengkeh
Jenis bahan pengkapsul
Bobot nilai masing-masing parameter analisis produk mikrokapsul
Hasil analisis viskositas, stabilitas emulsi, dan ukuran droplet emulsi
minyak cengkeh dengan perbedaan komposisi bahan pengkapsul dan
hasil uji performa spray drying-nya
Komposisi bahan aktif pada minyak cengkeh dan produk
mikrokapsulnya (basis 100 gram minyak cengkeh sebelum
pemucatan)
Penghambatan pertumbuhan jamur Fusarium oxysporum oleh minyak
cengkeh dan produk mikrokapsulnya
Data mortalitas ulat C. pavonana oleh minyak cengkeh dan
mikrokapsulnya
Pengaruh sinar matahari terhadap tingkat toksisitas produk
(pengamatan setelah 72 jam)
Perhitungan nilai tambah proses mikroenkapsulasi minyak cengkeh

4
10
16

22

37
38
39
40
43

DAFTAR GAMBAR
2.1
2.2
2.3
2.4
3.1
3.2
4.1
4.2
4.3
4.4

4.5

4.6

4.7

Struktur eugenol (a) dan β-caryophyllene (b) (Sastrohamidjojo 2002)
Morfologi dari berbagai tipe mikrokapsul (Dubey et al. 2009)
Spray dryer skala laboratorium (Anonim 2014)
Struktur maltodekstrin (Anonim 2014)
Proses pemucatan minyak cengkeh (Marwati 2005)
Diagram alir proses mikroenkapsulasi minyak cengkeh
Minyak cengkeh sebelum dan sesudah bleaching
Hubungan antara komposisi bahan pengkapsul (Na-Cas:MD)
dengan konsentrasi bahan inti (minyak) terhadap viskositas emulsi
Skema interaksi pati dengan protein (Rao 2007)
Hubungan antara komposisi bahan pengkapsul (Na-Cas:MD)
dengan konsentrasi bahan inti (minyak) terhadap total oil mikrokapsul
minyak cengkeh
Hubungan antara komposisi bahan pengkapsul (Na-Cas:MD)
dengan konsentrasi bahan inti (minyak) terhadap surface oil
mikrokapsul minyak cengkeh
Hubungan antara komposisi bahan pengkapsul (Na-Cas:MD)
dengan konsentrasi bahan inti (minyak) terhadap efisiensi enkapsulasi
mikrokapsul minyak cengkeh
Hubungan antara komposisi bahan pengkapsul (Na-Cas:MD)
dengan konsentrasi bahan inti (minyak) terhadap rendemen produk
mikrokapsul minyak cengkeh

5
8
8
11
12
14
20
24
25

26

27

28

30

iii
4.8

4.9

4.10
4.11

4.12
4.13

4.14
4.15

Hubungan antara komposisi bahan pengkapsul (Na-Cas:MD)
dengan konsentrasi bahan inti (minyak) terhadap rendemen minyak
terenkapsulasi mikrokapsul minyak cengkeh
Hubungan antara komposisi bahan pengkapsul (Na-Cas:MD)
dengan konsentrasi bahan inti (minyak) terhadap aktivitas air
mikrokapsul minyak cengkeh
Proses hidrasi, awal collaps, dan full collaps pada produk flavour
terenkapsulasi (Whorton dan Reineccius 1995)
Hubungan antara komposisi bahan pengkapsul (Na-Cas:MD)
dengan konsentrasi bahan inti (minyak) terhadap kelarutan dalam air
mikrokapsul minyak cengkeh
Struktur morfologi mikrokapsul minyak cengkeh, perbesaran 1000x
Skema proses mikroenkapsulasi melalui proses adsorpsi. Ket: (1) air,
(2) bahan inti, (3) polimer/ bahan pengkapsul, (4) deposisi polimer
membungkus inti, (5) mikrokapsul (Martins et al. 2014)
Ikatan hidrogen antara hidroksil pada eugenol (OH) dengan rantai
samping asam amino (-R) (Baranauskiene 2006)
Efek fitotoksik pada tanaman oleh pengaruh: (a) minyak cengkeh
sebelum dienkapsulasi (b) minyak cengkeh setelah dienkapsulasi

30

31
32

33
35

36
36
42

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3a
3b
4a

4b
5a
5b
6a

6b
7a

7b

Penelitian terdahulu mikroenkapsulasi dengan teknik spray drying
pada beberapa jenis minyak atsiri dan sejenisnya
Hasil analisis keragaman stabilitas emulsi dengan variasi komposisi
bahan pengkapsul (na-kaseinat:maltodekstrin)
Hasil analisis keragaman viskositas emulsi dengan variasi komposisi
bahan pengkapsul (na-kaseinat:maltodekstrin
Uji lanjut Duncan terhadap viskositas emulsi (α=5%)
Hasil analisis keragaman viskositas emulsi dengan variasi
konsentrasi minyak dan komposisi bahan pengkapsul (nakaseinat:maltodekstrin)
Uji lanjut Duncan terhadap viskositas (α=5%)
Hasil analisis keragaman total oil dengan variasi konsentrasi minyak
dan komposisi bahan pengkapsul (na-kaseinat:maltodekstrin)
Uji lanjut Duncan terhadap total oil (α=5%
Hasil analisis keragaman surface oil dengan variasi konsentrasi
minyak
dan
komposisi
bahan
pengkapsul
(nakaseinat:maltodekstrin)
Uji lanjut Duncan terhadap surface oil (α=5%)
Hasil analisis keragaman efisiensi enkapsulasi dengan variasi
konsentrasi minyak dan komposisi bahan pengkapsul (nakaseinat:maltodekstrin)
Uji lanjut Duncan terhadap efisiensi enkapsulasi (α=5%)

52

58
58
58

59
59
61
61

62
62

63
63

iv
8a

8b
9a

9b
10a

10b
11a

11b
12
13
14
15a
15b
16

Hasil analisis keragaman rendemen produk dengan variasi
konsentrasi minyak dan komposisi bahan pengkapsul (nakaseinat:maltodekstrin)
Uji lanjut Duncan terhadap rendemen produk (α=5%)
Hasil analisis keragaman rendemen minyak terenkapsulasi dengan
variasi konsentrasi minyak dan komposisi bahan pengkapsul (nakaseinat:maltodekstrin)
Uji lanjut Duncan terhadap rendemen minyak (α=5%)
Hasil analisis keragaman aktivitas air dengan variasi konsentrasi
minyak
dan
komposisi
bahan
pengkapsul
(nakaseinat:maltodekstrin)
Uji lanjut Duncan terhadap aktivitas air (α=5%
Hasil analisis keragaman kelarutan dalam air dengan variasi
konsentrasi minyak dan komposisi bahan pengkapsul (nakaseinat:maltodekstrin)
Uji lanjut Duncan terhadap kelarutan dalam air (α=5%)
Neraca massa proses adsorpsi minyak cengkeh
Neraca massa proses mikroenkapsulasi minyak cengkeh
Perhitungan pembobotan
Hasil kromatografi minyak cengkeh sebelum enkapsulasi
Hasil kromatografi minyak cengkeh setelah enkapsulasi
Rincian perhitungan analisis nilai tambah mikroenkapsulasi minyak
cengkeh menggunakan metode Hayami

64
64

66
66

68
68

69
69
70
71
73
75
75
76

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Cengkeh (Syzigium aromaticum) merupakan salah satu sumber pestisida
nabati. Telah banyak dilaporkan bahwa cengkeh ini mempunyai aktivitas baik
sebagai bakterisida (Hartati et al. 1993, Gupta et al. 2009), fungisida (Tombe et al.
1993, Manohara et al. 1993,Menon dan Garg 2001, El-Zemity dan Ahmed 2005,
Chang et al. 2008, Cosic et al. 2010), insektisida (Wiratno et al. 1993, Darwis dan
Baringbing 2005, Huang et al. 2002, Kim et al. 2003, Kim et al. 2004, Rajapakse
dan Ratnasekera 2008, Mardiningsih et al. 2011, Atmadja 2011, Siswanto et al.
2011), nematisida (Mustika dan Slamet 1993) maupun moluskisida (Wiratno
2010), baik dalam bentuk tepung, ekstrak, minyak cengkeh, eugenol, maupun
komponen-komponen lainnya dalam minyak cengkeh. Penggunaan cengkeh yang
cukup luas tidak hanya untuk satu kelompok/ jenis OPT (organisme pengganggu
tanaman) saja, menjadikan cengkeh sangat potensial untuk dikembangkan sebagai
bahan pestisida.
Minyak cengkeh sebagai salah satu produk cengkeh juga telah banyak
dilaporkan mempunyai aktivitas lebih baik dibandingkan dengan bentuk produk
cengkeh lainnya, dalam menghambat pertumbuhan maupun meningkatkan
kematian OPT target. Eugenol sebagai bahan aktif utama yang mendominasi
jumlahnya sekitar 70-90%, dan komponen-komponen lainnya yakni senyawa non
fenolat seperti kariofilen dalam jumlah sedikit, keberadaan keduanya dalam
minyak cengkeh dapat meningkatkan aktivitas bahan aktif secara keseluruhan
(berjalan secara sinergis) seperti yang diungkapkan Prijono (1999). Minyak
cengkeh dapat bersumber dari daun, bunga, dan gagang cengkeh. Namun yang
paling banyak diproduksi, paling murah, dan mudah didapatkan adalah minyak
cengkeh. Sejauh ini pemanfaatan minyak cengkeh selain diekspor dalam bentuk
mentah, digunakan juga oleh industri kimia aromatik lokal diproses kembali untuk
didapatkan produk turunannya, sebagai bahan baku parfum, farmasi, kosmetik,
dan lainnya. Penggunaan minyak cengkeh sebagai pestisida juga diharapkan dapat
memberikan nilai tambah untuk penggunaan minyak cengkeh selama ini.
Dalam aplikasinya sebagai pestisida, minyak cengkeh dan bahan aktifnya
bersifat volatil, mudah terurai, dan tidak larut dalam air. Minyak cengkeh juga
bersifat sensitif terhadap kondisi lingkungan seperti suhu, oksigen, kelembaban
dan terutama oleh cahaya matahari. Sifat tersebut memberikan kondisi yang tidak
efektif dan efisien karena kehilangan bahan aktif lebih cepat, padahal keberadaan
bahan aktif pada saat aplikasi perlu waktu yang cukup lama untuk dapat
menyebabkan kematian bagi OPT sasaran sehingga perlu beberapa kali
penggunaan. Selain itu, perlu penambahan sebuah bahan seperti emulsifier yang
dapat melarutkan minyak cengkeh dalam air sehingga penggunaannya menjadi
tidak praktis. Minyak cengkeh juga dilaporkan bersifat fitotoksik. Sifat demikian
harus dihilangkan sehingga produk pestisida berbasis minyak cengkeh ini dapat
dimanfaatkan pada setiap tanaman. Kemudahan penggunaan, efisiensi dan
menghasilkan tipe produk yang tepat menjadi permasalahan penting yang perlu
diperhatikan dalam menghasilkan formulasi produk pestisida. Tipe produk
mikroenkapsulan merupakan salah satu formulasi produk yang dapat mengatasi
permasalahan tersebut.

2
Formulasi produk pestisida berbasis minyak cengkeh dengan tipe
mikroenkapsulan ini diperoleh melalui proses yang dikenal dengan
mikroenkapsulasi. Teknik mikroenkapsulasi adalah suatu proses pengkapsulan
secara langsung terhadap zat aktif/bahan sensitif yang berbentuk gas, cair atau
padatan dengan suatu pelindung atau dinding atau pengkapsul yang homogen atau
heterogen (Gharsallaoi et al. 2007). Bahan pengkapsul tersebut dapat melindungi
bahan sensitif (inti) dari reaksi-reaksi kimia yang tidak diinginkan, kehilangan
komponen volatil, dan dapat mengendalikan pelepasan zat aktif yang bersifat
sensitif seperti halnya minyak atsiri (Riyajan dan Sakdapipanich 2009). Selain itu,
teknologi mikroenkapsulasi juga dapat mengkonversi cairan menjadi bubuk
sehingga penanganan dan distribusinya menjadi lebih mudah.
Teknik yang paling umum digunakan dan ekonomis untuk mikroenkapsulasi
adalah dengan spray drying (Bharbosa et al. 2005). Dalam aplikasi teknologi
mikroenkapsulasi dengan teknik ini, salah satu tantangannya terletak pada seleksi
bahan pengkapsulnya, karena dapat mempengaruhi efisiensi proses enkapsulasi.
Maltodekstrin (MD) banyak digunakan sebagai bahan pengkapsul karena memiliki
sifat-sifat yang diperlukan pada proses enkapsulasi seperti viskositas rendah pada
konsentrasi yang tinggi, dan kelarutan yang cukup baik (Gharsallaoi et al. 2007).
Maltodekstrin juga dapat memberikan stabilitas terhadap oksigen yang baik untuk
enkapsulasi minyak namun memiliki kapasitas dan stabilitas emulsi yang lemah dan
retensi minyak rendah (Kenyon 1995). Oleh karena itu biasanya maltodekstrin
dikombinasikan dengan bahan lain seperti gum arab, protein untuk keperluan
stabilitas emulsinya. Na-kaseinat (Na-Cas) merupakan protein dari susu yang
merupakan emulsifier yang baik, dan juga dikenal sangat stabil terhadap panas
(Pederson et al. 1998) sehingga sangat sesuai digunakan sebagai bahan pengkapsul
dalam proses mikroenkapsulasi dengan spray drying. Enkapsulasi bahan volatil
berbasis protein juga perlu dipertimbangkan, mengingat protein mempunyai sebuah
kemampuan pengikatan yang cukup tinggi. Namun penggunaan kaseinat secara
tunggal juga tidak ekonomis dikarenakan harganya yang cukup mahal. Kombinasi
kaseinat dengan maltodekstrin yang harganya relatif murah diharapkan dapat menjadi
pilihan kombinasi bahan pengkapsul yang tepat, ekonomis, dan menghasilkan
karakteristik mikrokapsul yang lebih baik. Hasil penelitian Jimenez et al. (2006)
membuktikan bahwa penggunaan gabungan biopolimer sebagai bahan pengkapsul
dapat meningkatkan efisiensi enkapsulasi dan umur simpan mikrokapsul.
Salah satu tahapan proses yang penting dan kritis dalam proses
mikroenkapsulasi dengan teknik spray drying terletak pada proses emulsifikasi.
Eslamian dan Ashgriz (2011) mengatakan bahwa dalam proses emusifikasi,
kekentalan dan konsentrasi larutan emulsi mempengaruhi mutu serbuk yang
dihasilkan, yang salah satunya dipengaruhi oleh konsentrasi bahan inti. Oleh
karena itu, pada penelitian ini, kajian mikroenkapsulasi dalam formulasi
mikroenkapsulan ditekankan pada proses emulsifikasi sebagai faktor perlakuan,
yakni pada komposisi bahan pengkapsul dan konsentrasi minyak sebagai bahan
inti.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mendapatkan formulasi
terbaik pestisida nabati dengan bahan aktif dari minyak cengkeh dalam bentuk
mikrokapsul. Tujuan khususnya adalah sebagai berikut:

3
1. Mendapatkan komposisi bahan pengkapsul dan konsentrasi minyak (bahan
inti) terbaik pada proses mikroenkapsulasi minyak cengkeh dan mengetahui
pengaruhnya terhadap karakteristik produk mikrokapsul yang dihasilkan,
2. Menghitung efektivitas produk, dan mengetahui ketahanan aktivitasnya sebagai
pestisida oleh pengaruh sinar matahari terhadap OPT target dibandingkan
dengan minyak cengkeh sebelum dienkapsulasi, serta mengetahui sifat
fitotoksisitasnya.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat dalam memberikan
informasi sebuah teknik formulasi yang dapat membantu kemudahan dan
keamanan penggunaan oleh konsumen serta meningkatkan efektivitas dan
efisiensi fungsi patogenitasnya.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian meliputi:
1. Minyak cengkeh yang digunakan sebagai inti untuk dienkapsulasi adalah
minyak yang telah dipucatkan.
2. Komposisi bahan pengkapsul (Na-Cas:MD) dipilih berdasarkan uji performa
spray drying dan parameter viskositas, yang selanjutnya digunakan untuk tahap
formulasi.
3. Proses mikroenkapsulasi minyak cengkeh (tahap formulasi) dilakukan dengan
perlakuan komposisi bahan pengkapsul terpilih dari tahap sebelumnya dan
konsentrasi minyak sebagai bahan inti.
4. Karakteristik produk mikrokapsul yang dihasilkan meliputi efisiensi
enkapsulasi melalui penentuan kadar minyak (total oil dan surface oil),
rendemen produk, rendemen minyak terenkapsulasi, aktivitas air dan kelarutan
dalam air.
5. Metode
pembobotan
digunakan
untuk
menentukan
kombinasi
perlakuan/formulasi terbaik, dan produk terpilih berdasarkan metode
pembobotan tersebut dianalisis struktur morfologi dan bahan aktifnya.
6. Pada uji efikasi digunakan jamur Fusarium oxysporum dan serangga
Crocidolomia pavonana sebagai organisme target, dan uji fitotoksisitas minyak
cengkeh dilakukan terhadap tumbuhan brokoli dewasa.
7. Nilai tambah proses mikroenkapsulasi minyak cengkeh ditentukan dengan
menggunakan metode Hayami.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pestisida
Menurut Djojosumarto (2008), pada dasarnya pestisida adalah racun, dan
setiap racun berpotensi mengandung bahaya. Oleh karena itu penggunaan
pestisida pertanian yang tidak bijaksana dapat menimbulkan dampak negatif,
seperti keracunan pada pengguna, gangguan kesehatan pada konsumen akibat
residu yang ditinggalkan, pencemaran lingkungan, resistensi dan resurgensi hama,
terbunuhnya hama non target dan musuh alami hama, serta tingginya biaya usaha

4
tani akibat penggunaan pestisida kimia dengan dosis yang tinggi dan terus
menerus.
Kelemahan pestisida kimia/sintetis di atas dapat diatasi dengan pestisida
alami yang berasal dari bahan-bahan yang terdapat di alam yang dikelompokkan
menjadi tiga golongan, yakni (Novizan 2002):
1) Pestisida nabati/botani yang berasal dari ekstrak tanaman.
2) Pestisida biologis yang mengandung mikroorganisme pengganggu OPT seperti
bakteri, jamur, dan virus.
3) Pestisida berbahan dasar mineral anorganik yang terdapat pada kulit bumi.
Contoh: minyak bumi, minyak nabati, dan sabun.
Minyak Cengkeh dan Potensinya sebagai Pestisida Nabati
Minyak cengkeh diperoleh dari hasil penyulingan yang berasal dari daun,
bunga, dan gagang cengkeh (Syzygium aromaticum, Eugenia caryophyllata, dan
Eugenia aromatica (Ketaren 1985). Dari ketiga bagian tersebut yang paling
ekonomis adalah ekstrak bagian daunnya, karena diperoleh dari daun cengkeh
yang sudah gugur. Oleh karena itu jenis minyak cengkeh yang banyak
diperjualbelikan adalah minyak daun cengkeh (Nurdjannah et al. 1990).
Menurut Sastrohamidjojo (2002), komponen minyak cengkeh dapat dibagi
menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah senyawa fenolat dengan
eugenol sebagai komponen terbesar. Kelompok kedua adalah senyawa non fenolat
yaitu β-kariofilen, α-kubeben, α-kopaen, humulen, -kadien, dan kadina 1, 3, 5
trien dengan β-kariofilen sebagai komponen terbesar. Hasil penelitian Bhuiyn et
al. (2010) menyebutkan terdapat 38 komponen yang teridentifikasi dalam minyak
cengkeh yang dihasilkan melalui proses destilasi air. Komponen utama antara lain
eugenol (74,3%), eucalyptol (5,8%), caryophyllene (3,85%), α-cadinol (2,43%),
limonene (2,08%) dan α- caryophyllene (1,52%).
Eugenol (C10H12O2.BM 164.20 g/mol) merupakan komponen utama dalam
minyak cengkeh, jumlahnya berkisar antara 70-95% tergantung pada sumber dan
jenisnya (Tabel 2.1). Eugenol adalah senyawa dari golongan oxygenated
hydrocarbon, berupa cairan minyak tidak berwarna atau agak kekuningan.
Eugenol bersifat larut dalam alkohol, kloroform dan eter serta sukar larut dalam
air. Sifat fisik eugenol antara lain bobot jenis 1,065, indeks bias 1,541, kelarutan
dalam alkohol 70% adalah 1:1, dan memiliki titik didih 254-257oC
(Sastrohamidjojo 2002). Konsentrasi eugenol yang cukup tinggi dalam minyak
cengkeh diduga kuat berperan sebagai antimikroba dan anti serangga.
Tabel 2.1 Kadar minyak (%) dan eugenol (%) daun cengkeh dari berbagai tipe
dan ketuaan daun cengkeh
Ketuaan Daun
Tipe
Gugur
Muda
Tua
Cengkeh
M
E
M
E
M
E
Ambon
3,31
74,00
5,73
76,50
4,92
79,25
Sikotok
4,65
75,75
5,75
75,75
3,73
74,75
Zanzibar
4,19
80,50
4,95
83,75
4,63
84,00
Hutan
0,97
20,00
1,01
22,00
0,96
18,00
Keterangan: M= minyak cengkeh, E= eugenol
Sumber: Nurdjannah dan Mariska (1988)

5
Kelompok kedua terbesar dalam minyak cengkeh yaitu seskuiterpen yang
disebut kariofilen, yaitu α-kariofilen dan β-kariofilen yang berjumlah 5-12 persen.
β-kariofilen mempunyai rumus empiris C15H24 dengan berat molekul 204,36.
Senyawa β-kariofilen berupa cairan tidak berwarna sampai agak kuning, larut
dalam alkohol dan eter tetapi tidak larut dalam air, mempunyai titik didih 118119oC (Sastrohamidjojo 2002). Bentuk molekul eugenol dan β-kariofilen
ditunjukkan oleh Gambar 2.1.

(a)

(b)

Gambar 2.1 Struktur molekul: (a) eugenol dan (b)β-caryophyllene
(Sastrohamidjojo 2002)
ambar2. Struktur Eugenol
EPA (Environmental Protection Agency) Amerika Serikat minyak cengkeh
pada daftar urutan 25(b) yakni pestisida dengan minimum resiko, yang bebas dari
persyaratan-persyaratan registrasi untuk kebanyakan pestisida termasuk uji
toksisitas, bahkan dokumen keputusan kelayakan pendaftaran ulang untuk minyak
cengkeh sudah dikeluarkan. Minyak cengkeh telah terdaftar pertama kali sebagai
pestisida pada tahun 1972 dan didaftarkan kembali pada tahun 1993.
Minyak cengkeh banyak dilaporkan berpotensi sebagai fungisida maupun
insektisida. Seperti yang telah dilakukan Manohara et al. (1993) dalam
penelitiannya menggunakan minyak cengkeh pada konsentrasi 200-300 ppm
menunjukkan efektivitas yang sangat baik dalam menghambat pertumbuhan
beberapa jamur patogen pada tanaman budidaya yaitu P. capsici, P. palmivora,
Sclerotiumspp, dan Rigidoporuslignosus. Hasil penelitian Menon dan Garg (2001)
menunjukkan berkurangnya pertumbuhan populasi jamur patogen pada daging
Listeria monocytogenes dari 7,7x103 cfu/g menjadi 1,8x105 cfu/g dengan
penambahan minyak cengkeh sebesar 0,5% pada penyimpanan suhu 30oC.
Penelitian lainnya yang telah dilakukan El-Zemity dan Ahmed (2005)
menghasilkan fakta bahwa minyak cengkeh terbukti paling efektif menghambat
pertumbuhan pada beberapa jamur patogen salah satunya Fusarium oxysporum
dengan nilai EC50 diperoleh pada konsentrasi yang paling rendah dibanding
minyak atsiri lainnya. Aktivitas antijamur yang diberikan oleh minyak cengkeh
juga telah dilakukan terhadap beberapa dermathopytes (Park et al. 2007),
menunjukkan efektivitas lebih dari 60% pada konsentrasi 0,2 mg/ml. Cosic et al.
(2010) berdasarkan hasil penelitiannya juga memberikan fakta bahwa minyak
cengkeh merupakan salah satu minyak atsiri yang sangat berpotensi dalam
menghambat pertumbuhan beberapa jamur patogen pada konsentrasi 5 µl.
Diperkuat juga oleh hasil penelitian Djiwanti dan Supriyadi (2011), bahwa
minyak cengkeh sangat efektif menekan gejala busuk batang pada rimpang jahe
yang disebabkan oleh jamur patogen Fusarium oxysporum pada konsentrasi 5000
ppm dengan mortalitas 100%.
Tidak hanya potensinya sebagai antijamur atau memiliki aktivitas
fungisidal, efektivitas minyak cengkeh dalam mengendalikan populasi hama juga

6
telah banyak dilaporkan. Seperti oleh Kim et al. (2003) dan Kim et al. (2004)
terhadap tungau Tyrophagus putrescentiae dan Dermanyssus gallinae yang
ditunjukkan dengan nilai mortalitas sebesar 100% pada konsentrasi 12,7 µg/cm2
dan 0,35 mg/cm2. Pengujian terhadap Sitophylus sp menunjukkan efektivitas
minyak cengkeh yang cukup baik, yakni kematian sebesar 93% pada hari ke-4
setelah perlakuan (Kim et al. 2003). Minyak cengkeh juga dilaporkan efektif
dalam mengendalikan ulat grayak/Spodoptera littura dengan konsentrasi 10 ml/l
air yang dibuktikan dengan nilai efikasi ≥50% (Atmadja 2011), dan Thripspalmi
pada tanaman kentang dengan nilai mortalitas sebesar 82% dengan konsentrasi 2
ml/l air (Atmadja dan Rizal 2011).
Penelitian lain telah dilakukan Siswanto et al. (2011) bahwa minyak
cengkeh sebagai racun perut dapat menyebabkan mortalitas >90% pada kumbang
daun nilam (Longitarsus sp.) 3 hari setelah perlakuan pada konsentrasi 1 maupun
10%, dan sebagai racun kontak dengan konsentrasi 2% cukup efektif
menyebabkan mortalitas kumbang >90% 1 jam setelah perlakuan. Minyak
cengkeh juga berpotensi sebagai bahan aktif pestisida nabati untuk mengendalikan
hama wereng coklat (Nilaparvata lugens) dengan persentase kematian 100% pada
hari ke-4 setelah aplikasi dengan konsentrasi 1% (Wiratno 2011). Aktivitas
minyak cengkeh juga ditunjukkan terhadap Aspidiella hartii dengan mortalitas
100% pada konsentrasi 1% (Balfas dan Sugandi, 2012)
Teknologi Formulasi Pestisida
Bahan aktif pestisida tidak dijual dalam bentuk murni, selain harganya
sangat mahal, aplikasinyapun tidak praktis di lapangan. Apalagi untuk bahan aktif
yang tidak larut dalam air, seperti minyak cengkeh, perlu diformulasikan dengan
pencampuran bahan lain untuk menghasilkan bentuk formula pestisida nabati
yang dapat digunakan secara langsung, efektif, aman, dan efisien. Martin et al.
(2009) menambahkan bahan aktif yang diformulasikan bertujuan selain untuk
menambah efektivitas penggunaan pestisida di lapangan, meningkatkan keamanan,
juga meningkatkan mutu penanganan.
Sediaan (formulasi) pestisida pada dasarnya terdiri dari 3 bentuk yaitu
padat, cair, dan bentuk lainnya seperti aerosol dan fumigan. Sediaan padat dapat
dibagi ke dalam dua tipe yaitu produk yang siap digunakan (ready to use) dan
bentuk konsentrat yang harus dicampur dengan air ketika akan diaplikasikan
sebagai spray. Bentuk dust (tepung hembus), granule (butiran), dan pellet
termasuk sediaan padat yang siap digunakan, sedangkan wettable powder
(WP/tepung), dry flowables (DF/butiran), dan soluble powder (SB/tepung) adalah
sediaan padat dalam bentuk konsentrat. Sediaan cair merupakan formulasi yang
umumnya digunakan carrier sebagai pencampur seperti air, minyak nabati atau
bahkan bahan bakar pada saat akan digunakan. Beberapa jenis sediaan cair seperti
emulsifiable concentrate (EC), soluble liquid (SL), flowable in water (FW),
aquaeous concentrate (AC), dan jenis terakhir yaitu microencapsulates (Martin et
al. 2009).
Menurut Djojosumarto (2008), micro-encapsulates merupakan bentuk
formulasi yang relatif baru, yaitu partikel pestisida (baik cair atau padat) yang
dibungkus oleh kapsul dan berukuran sangat kecil. Kapsul mikro tersebut
selanjutnya disuspensikan dalam air dan diaplikasikan dengan cara disemprotkan
(formulasi CS: capsule suspension). Markus dan Linder (2006) menambahkan

7
beberapa keuntungan pestisida dalam formulasi mikrokapsul ini (controlled
release) antara lain:
 Mengurangi toksisitas terhadap mamalia untuk substansi dengan daya toksik
tinggi,
 Memperpanjang durasi aktivitas dari bahan aktif pada konsentrasi yang sama,
 Mengurangi kehilangan evaporasi dan kemudahan terbakar,
 Mengurangi fitotoksisitas,
 Menjaga kerusakan lingkungan,
 Memisahkan komponen-komponen yang reaktif,
 Mengontrol pelepasan bahan aktif, dan
 Memudahkan penanganan.
Metode untuk menghasilkan produk sediaan pestisida dalam bentuk
mikrokapsul ini disebut dengan mikroenkapulasi.
Mikroenkapsulasi
McNamee (1998) mendefinisikan mikroenkapsulasi sebagai suatu teknik
mengemas atau melapisi komponen aktif berbentuk cairan, padatan atau gas
dengan suatu dinding, lapisan film atau pengkapsul yang dapat melindungi dari
kerusakan kimia dan menghambat volatilisasi. Mikroenkapsulasi juga dilakukan
untuk mengurangi reaksi inti dengan lingkungan luar, mengurangi evaporasi atau
laju transfer inti ke lingkungan luar dan menjadi bahan yang mudah ditangani.
Paramitra (2010) menambahkan proses enkapsulasi bertujuan untuk
mempertahankan kestabilan bahan yang mudah menguap, sensitif terhadap cahaya,
oksigen dan panas.
Proses mikroenkapsulasi secara umum melalui tiga tahap dalam suatu
pengadukan yang sinambung, yaitu (Martins et al. 2014):
a. Bentuk tiga fase kimia yang belum saling bercampur, yaitu fase pembawa (air),
fase material inti yang akan dilapisi dan fase pengkapsul.
b. Penempelan bahan pengkapsul pada permukaan bahan inti. Umumnya tahapan
ini terjadi karena bahan pengkapsul diadsorbsikan pada antar permukaan yang
terbentuk antara materi inti dan bahan cair.
c. Pemadatan lapisan bahan pengkapsul untuk membentuk mikrokapsul yang
biasanya terjadi akibat panas.
Menurut Madene et al (2006), ukuran mikrokapsul dapat berkisar antara 12000 µm yang bergantung pada metode mikroenkapsulasi yang digunakan. Begitu
juga dengan Gharsallaoui et al. (2007) dan Dubey et al. (2009) menyatakan
bahwa diameter rata-rata dari mikrokapsul berada pada kisaran satu hingga ribuan
mikrometer (beberapa millimeter).
Berdasarkan morfologinya, mikrokapsul dapat diklasifikasikan ke dalam
tiga kategori dasar, yaitu monocore, polycore, dan matrix seperti yang terlihat
pada Gambar 2.2. Mikrokapsul monocore mempunyai sebuah ruang berongga di
dalam kapsul. Mikrokapsul polycore mempunyai sejumlah ruang di dalam kapsul
dengan ukuran yang berbeda-beda. Mikrokapsul jenis matrix mempunyai
komponen aktif terintegrasi di dalam matriks bahan pengkapsul. Bagaimanapun
juga, ukuran dan struktur mikrokapsul yang terbentuk bergantung pada jenis
bahan inti, jenis bahan pengkapsul dan metode mikroenkapsulasi yang digunakan
(Gharsallaoui et al. 2007; Dubey et al. 2009).

8

MONOCORE

POLYCORE

MATRIX

Gambar 2.2 Morfologi dari berbagai tipe mikrokapsul (Dubey et al. 2009)
Secara umum metode-metode proses mikroenkapsulasi dapat
dikelompokkan dalam dua kategori utama, yaitu metode kimia dan metode
fisik/mekanik. Adapun yang termasuk dalam metode kimia adalah polimerisasi
suspensi, polimerisasi emulsi, dispersi dan polikondensasi permukaan (Dubey et
al. 2009), dan menurut Gouin (2004), yang termasuk metode fisik/mekanik antara
lain spray drying, spray chilling/cooling, extrusion coating, fludized bed coating,
liposome entrapment, coacervation, inclusion complexation, centrifugalextrusion,
rotational suspension separation, dan lain-lain.
Menurut Gouin (2004), enkapsulasi menggunakan teknik spray drying
telah digunakan dalam industri pangan sejak tahun 1950an untuk memberikan
perlindungan minyak flavor melawan degradasi atau oksidasi. Ciri khas dari
penggunaan alat spray dryer ini adalah siklus pengeringannya yang cepat, retensi
dalam ruang pengering singkat dan produk akhir siap dikemas ketika selesai
proses. Gambar 2.3 menunjukkan contoh alat spray dryer skala laboratorium.

Keterangan:
A: larutan/suspensi yang akan dikeringkan
B: udara atomisasi
1: udara pengering masuk
2: pemanasan udara pengering
3: atomisasi larutan/suspensi
4: tabung pengeringan
5: bagian antara tabung pengeringan dan
siklon
6: siklon
7: udara pengering keluar
8: wadah penampung produk
Gambar 2.3 Spray dryer skala laboratorium (Anonim 2014)
Menurut Masters (1979), teknik spray drying terdiri dari empat tahap
proses, yaitu atomisasi bahan sehingga membentuk semprotan sehalus mungkin,
kontak antara bahan dengan udara pengering, evaporasi, dan pemisahan bubuk
kering dengan aliran udara yang membawanya.
Fungsi utama atomisasi adalah untuk menghasilkan droplet berukuran
kecil, sehingga luas permukaannya menjadi lebih besar yang mengakibatkan
proses penguapan akan lebih cepat. Di samping itu atomizer bertindak sebagai alat
pengatur kecepatan aliran produk pada proses pengeringan. Atomizer

9
mendistribusikan cairan pada aliran udara dengan cara yang relatif seragam dan
menghasilkan droplet dengan ukuran tertentu sesuai dengan yang diinginkan
(Heldman et al. 1981).
Evaporasi terjadi karena adanya kontak antara droplet dengan udara
pengering, sehingga terjadi transfer panas dari udara pengering ke droplet dan air
yang terdapat dalam droplet akan menguap. Transfer panas tersebut digunakan
sebagai panas laten selama evaporasi. Evaporasi terjadi pada masing-masing
droplet yang bersinggungan dengan udara pengering. Kecepatan evaporasi
dipengaruhi oleh komposisi bahan, terutama kandungan total padatan. Semakin
tinggi total padatan bahan, maka proses evaporasi akan berlangsung lebih cepat.
Partikel kering yang dihasilkan dipisahkan dari udara dan dikumpulkan oleh
siklon atau filter. Pemisahan dapat dilakukan secara langsung maupun bertahap
tergantung pada desain alat (Heldman et al. 1981).
Keuntungan penggunaan metode ini adalah produk akan kering tanpa
bersinggungan dengan logam panas, suhu produk relatif rendah walaupun
pengeringan dilakukan pada suhu tinggi, penguapan berlangsung sangat cepat
karena luasnya permukaan bahan, produk yang dihasilkan berupa bubuk sehingga
memudahkan dalam penanganan dan pengangkutan (Masters 1979). Keuntungan
lain dari metode spray drying adalah biaya operasinya rendah, banyak pilihan
untuk bahan penyalut yang digunakan, mampu memproduksi kapsul dalam waktu
yang singkat, mutu dan stabilitas kapsul tinggi, ukuran kapsul yang dihasilkan
kecil, dan produksi skala besar dapat dilakukan secara kontinyu (Reineccius 1988,
Madene et al. 2006).
Bahan Pengkapsul
Pada proses mikroenkapsulasi, terdapat dua bahan yang terlibat di
dalamnya, yaitu inti dan pengkapsul. Inti adalah zat yang akan dikapsulkan. Zat
ini umumnya berbentuk padat, gas, atau cair yang mempunyai sifat permukaan
hidrofil atau hidrofob (Dubey et al. 2009). Minyak cengkeh yang dikapsulkan ini
berbentuk cair dan bersifat hidrofob.
Pengkapsul adalah zat yang digunakan untuk menyelaputi inti dengan
tujuan tertentu. Menurut Gharshalloui et al (2007), struktur dinding dari bahan
penyalut dirancang untuk melindungi bahan inti dari faktor-faktor yang dapat
menyebabkan kerusakan, mencegah terjadinya interaksi antara bahan inti dengan
komponen lain, membatasi kehilangan komponen volatil, dan juga mengontrol
atau menjaga pelepasan bahan inti pada kondisi yang diinginkan. Menurut
Madeneet al (2006), bahan pengkapsul yang biasa digunakan dikelompokkan
berdasarkan asal/sumber bahan tersebut seperti karbohidrat, protein, lemak, gum,
dan selulosa (Tabel 2.2). Sifat pengkapsul yang optimal untuk proses spray drying
yaitu memiliki kelarutan yang tinggi dalam air, viskositas rendah pada konsentrasi
tinggi, memiliki sifat emulsifier dan pembentuk film yang baik serta pengeringan
yang efisien (Re’ 1998).
Penggunaan gabungan biopolimer sebagai bahan pengkapsul dapat
meningkatkan efisiensi enkapsulasi dan umur simpan mikrokapsul (Jimenez et al.
2006; Perez-Alonzo et al. 2008, 2009).Benichou et al. (2002) menambahkan
bahwa protein, polisakarida dan campuran keduanya dapat meningkatkan sifatsifat fungsional produk seperti pembusaan, emulsi, dan dispersi.

10
Tabel 2.2 Jenis bahan pengkapsul
Kelompok
Jenis
Gum
Gum arab, agar, natrium alginat, karagenan
Karbohidrat
Pati, dekstrin, sukrosa, sirup jagung
Selulosa
CMC, metilselulosa, etilselulolsa, nitroselulosa,
asetilselulosa,
Lipid
Lilin, parafin, tristearin, asam stearat, monogliserida,
digliserida, beeswax, minyak, lemak
Protein
Gluten, kasein, gelatin, albumin, isolat protein
Bahan anorganik
Kalsium sulfat, silikat, alumunium oksida
Lainnya
Polivinilalkohol (PVA), parafin
Sumber: Madene et al. (2006)
Penelitian terhadap penggunaan campuran protein dengan karbohidrat juga
telah dilakukan diantaranya penggunaan gum arab, isolat protein kedelai dan
isolat protein gandum untuk minyak jeruk (Kim et al. 1996), dan penggunaan
campuran isolat protein gandum dan laktosa untuk lemak susu (Moreau dan
Rosenberg 1996). Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan penyalut dari jenis
protein maupun kombinasinya dengan polisakarida adalah lebih efektif sebagai
penyalut. Pada beberapa kasus, bahan pengkapsul yang mengandung protein dan
karbohidrat menghasilkan produk dengan daya alir dan karakteristik rehidrasi
yang baik. Peningkatan stabilitas oksidasi juga terjadi pada minyak yang
dienkapsulasi dalam matriks protein-karbohidrat (Lin et al. 1995).
Penelitian lainnya dilakukan Soottitantawatet al.(2003) yang menggunakan
kombinasi maltodekstrin dengan polisakarida terlarut kedelai dalam
mikroenkapsulasi d-limonene, menghasilkan ukuran droplet emulsi yang kecil
0,88-2,95 µm dan surface oil yang rendah 0-6%. Hasil penelitian lainya juga telah
dilakukan Gonzalez etal. (2012), yang melaporkan kombinasi gum arab dengan
konsentrat protein whey dalam menyalut minyak atsiri chia (Salvia hispanica L.)
menghasilkan efisiensi enkapsulasi di atas 70%, dan ukuran mikrokapsul antara
13,17-28,20 µm.
Telah banyak pula penelitian mengenai penggunaan kombinasi Na-kaseinat
dengan maltodekstrin. Hogan et al (2001) melaporkan pada perbandingan kaseinat
dan maltodekstrin 1:19 dalam mikroenkapsulasi minyak kedelai memberikan hasil
terbaik terutama dalam hal efisiensi enkapsulasi. Penelitian yang dilakukan
Yuliani et al. (2007) menunjukkan bahwa kombinasi maltodekstrin dan Nakaseinat (2:1) pada mikroenkapsulasi oleoresin jahe memberikan oil retention
yang tinggi (92,17%) dan surface oil yang rendah (0,15%). Penelitian yang sama
juga dilakukan Harimurti et al (2007) dalam mikroenkapsulasi oleoresin jahe,
dengan hasil terbaik diperoleh dari perlakuan konsentrasi oleoresin 10% dan
nisbah maltodekstrin terhadap Na-kaseinat pada 92,5:7,5 dengan oil recovery
yang tinggi (87,5%), dan surface oil yang rendah (0,27%). Adapun beberapa
penelitian terdahulu mengenai proses mikroenkapsulasi dengan teknik spray
drying dan berbagai jenis bahan penyalut dapat dilihat pada Lampiran 1.
Maltodekstrin (C6H12O5)nH2O adalah produk hidrolisat pati dengan
panjang rantai rata-rata 5-10 unit/molekul glukosa. Proses hidrolisis yang
digunakan merupakan hidrolisis terkontrol melalui enzim (α-amilase) atau asam
(Kennedy et al. 1995). Struktur maltodekstin bisa dilihat pada Gambar 2.4.
Maltodekstrin sebenarnya tidak memiliki kemampuan emulsifikasi (lipofil atau

11
hidrofil) dan tidak efektif untuk menstabilkan minyak atau flavor dalam larutan
berviskositas. Maltodekstrin dapat memberikan stabilitas terhadap oksigen yang
baik untuk enkapsulasi minyak tetapi memiliki kapasitas dan stabilitas
emulsifikasi yang lemah dan retensi minyak yang rendah. Untuk itu biasanya
maltodekstrin dikombinasi dengan bahan pengkapsullain untuk keperluan
stabilitas emulsi (Kenyon dan Anderson 1995).

Gambar 2.4 Struktur maltodekstrin (Anonim 2014)
Na-kaseinat (Na-Kas) adalah salah satu contoh senyawa protein susu yang
merupakan bahan pengkapsul potensial. Sebagai senyawa protein, Na-kaseinat
memiliki rantai samping hidrofilik dan hidrofobik (Dalgleish 2001) dan memiliki
sifat permukaan aktif. Sifat-sifat inilah yang menyebabkan kasein baik sebagai
bahan pengemulsi, mampu bertindak sebagai surfaktan dengan membentuk
lapisan penstabil yang meluas di sekeliling droplet emulsi dan mudah
diaplikasikan pada proses spray drying. Ruis (2007) menambahkan Na-kaseinat
memiliki kemampuan fungsional seperti emulsifikasi, water fat binding, agen
pengeras, dan pengental (gelation). Berdasarkan fungsinya sebagai penstabil
emulsi, Na-kaseinat dapat menurunkan tegangan permukaan antara dua fase. Nakaseinat juga dilaporkan mempunyai stabilitas panas yang cukup baik, mampu
bertahan dalam air hingga suhu pemanasan 140oC selama >60 menit pada pH 6.7.
Hal ini disebabkan oleh kurangnya struktur sekunder dan tersier serta lebih
banyak mengandung struktur kompleks kuartener dari protein (Fox 1986).

3 METODE
Bahan dan Alat
Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak cengkeh
yang berasal dari daun. Minyak cengkeh yang digunakan merupakan hasil
penyulingan rakyat yang didapatkan di daerah Leuwiliang, Bogor. Bahan-bahan
lainnya antara lain bentonit sebagai adsorben, maltodekstrin dan Na-kaseinat
sebagai bahan pengkapsul, air destilat sebagai pelarut, jamur Fusarium oxysporum
f.sp vanillae dan ulat Crocidolomia pavonana untuk uji efikasi, kertas saring dan
bahan-bahan kimia lainnya untuk analisis dan uji toksisitas produk.
Alat-alat yang digunakan berupa erlenmeyer, stirrer, pompa vakum,
magnetic stirrer, kertas saring, dan penyaring Buchner untuk proses pemucatan
minyak cengkeh, mini homogenizer Armfield L4R 9983, spray dryer Buchi 190,
blender, dan refrigerator untuk proses enkapsulasi, dan untuk analisis produk

12
digunakan Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GCMS Agilent
Technologies 6890), Scanning Electron Microscopy (SEM ZEISS EVO50),
viskosimeter Brookfield, WaterActivity Meter MS1 Novasina, alat destilasi
Clavenger, timbangan, oven, dan peralatan gelas (labu lemak, erlenmeyer, gelas
piala, gelas ukur, dll), serta botol-botol kaca untuk wadah penyimpanan.
Metode
Tahap I. Persiapan Bahan Baku
Minyak cengkeh yang diperoleh dari penyulingan rakyat berwarna hitam
pekat dan kotor. Penggunaan ketel besi pada proses penyulingan kukus yang
dilakukan oleh penyuling kemungkinan besar yang menyebabkan warna hitam
pada minyak yang dihasilkan, diakibatkan logam besi dan lainnya yang ikut
teruapkan bersama minyaknya. Kondisi fisik minyak cengkeh demikian
dikhawatirkan dapat mempengaruhi sifat fisik produk mikrokapsul yang akan
dihasilkan. Untuk itu dilakukan proses pemucatan (bleaching) dengan cara
adsorpsi menggunakan bentonit 10%, yang dapat menghasilkan minyak cengkeh
dengan sifat fisik kimia yang paling baik, termasuk tidak ada penurunan pada
kadar eugenolnya, dan berdasarkan hasil evaluasi secara teknis dan finansial,
proses adsorpsi lebih prospektif dikembangkan dibandingkan pengkelatan.
Prosedurnya dapat dilihat pada Gambar 3.1, mengacu pada hasil penelitian
Marwati (2005).
Minyak cengkeh coklat
kehitaman dan kotor

Bentonit 10%

Pencampuran dan pengadukan
dalam er