Struktur dan Sebaran Komunitas Bintang Laut (Asteroidea) di Perairan Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Madura

STRUKTUR DAN SEBARAN KOMUNITAS BINTANG LAUT
(ASTEROIDEA) DI PERAIRAN PULAU SAPUDI,
KABUPATEN SUMENEP, MADURA

IKHSAN ASHARI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul Struktur dan
Sebaran Komunitas Bintang Laut (Asteroidea) di Perairan Pulau Sapudi,
Kabupaten Sumenep, Madura adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan tercantum dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis ini kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2014

Ikhsan Ashari
NIM C54080045

ABSTRAK
IKHSAN ASHARI. Struktur dan Sebaran Komunitas Bintang Laut (Asteroidea)
di Perairan Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Madura. Dibimbing oleh
DIETRIECH GEOFFREY BENGEN dan BEGINER SUBHAN.
Salah satu biota laut yang belum banyak dieksplorasi adalah bintang laut
(Asteroidea) di Indonesia, walaupun negara-negara lain Australia dan Jepang telah
banyak memanfaatkannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur
komunitas bintang laut (Asteroidea) dan mengetahui hubungan bintang laut
(Asteroidea) dengan karakteristik habitatnya. Penelitian ini dilaksanakan pada
Juni-Juli 2012, bertempat di pesisir Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Madura.
Pengambilan data dilakukan dengan metode transek garis yang dibentangkan
sepanjang 50 meter. Pada tiap transek garis yang dibentangkan, diletakan transek
plot berukuran 1 x 1 meter. Analisis data yang digunakan adalah kerapatan jenis
lamun, kepadatan, dominansi, dan pola penyebaran bintang laut serta hubungan

antara bintang laut dengan karakteristik habitat. Bintang laut yang terdapat di
Pulau Sapudi terdiri atas 4 spesies, yaitu Arcaster typicus, Culcita novaeguineae,
Linckia laevigata, dan Protoreaster nodosus, dengan Linkia sebagai jenis yang
selalu ditemukan di setiap stasiun. Lamun sebagai salah satu habitat bintang laut
di Pulau Sapudi terdiri atas 5 spesies , yaitu Cymodocea rotundata, Enhalus
acoroides, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, dan Thalassia hemprichii.
Jenis lamun Thalassia hemprichii paling mendominasi kerapatan lamun di Stasiun
1, Stasiun 3, dan Stasiun 4. Pada Stasiun 1 ditemukan 2 jenis lamun yaitu
Thalassia hemprichii dan Syringodium isoetifolium. Berdasarkan nilai Indeks
Morisita, sebaran jenis Asteroidea di Pulau Sapudi terdiri atas 2 pola, yaitu
mengelompok untuk jenis Protoreaster nodosus dan arcaster typicus dan seragam
Linckia laevigata dan Culcita novaeguineae.
Kata kunci: struktur komunitas, sebaran, bintang laut, habitat lamun, Pulau Sapudi

ABTRACT
Ikhsan Ashari. Structure and Distribution of Sea Stars (Asteroidea) in the waters
of Sapudi island, Sumenep, Madura. Supervised by DIETRIECH GEOFFREY
BENGEN and BEGINER SUBHAN.
One of the marine life which has not been widely known for its benefits
are sea stars (starfish). Research on sea stars have not been widely reported or

investigated in Indonesia compared to other countries such as Australia and Japan.
The purpose of this research is to know the community structure of sea star
(Asteroidea) and to know the relation between sea star with its characteristic of
habitat. This study was conducted in June that starts with a site survey on June 28,
2012. Primary data collection at the study site on June 30, 2012 to July 3, 2012.
This research was conducted in the coastal Sapudi Island, Sumenep, Madura. Data
were collected by the line transect method which lay down along 50 meters. At
each transect lines were laid 1 x 1 meter transect plots. Data analysis using the
calculation of density of seagrass, density, dominance and the pattern of sea stars
spreading and the relation between sea star and habitat characteristic. There are 4
species of starfish that can be found in the Sapudi Island, such as Arcaster typicus,
Culcita novaeguineae, Linckia laevigata, and Protoreaster nodosus. Linkia
levigata is one of the starfish species that can be found in every station. Five
species of seagrass as one of the starfish habitat can be found in Sapudi Island,
such as Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Syringodium
isoetifolium, and Thalassia hemprichii. Thalassia hemprichii is the most
dominated species in Site 1, Site 3, and Site 4. In Site 1, there can be found two
types of seagrass, they are Thalassia hemprichii and Syringodium isoetifolium.
Based on Morisita index, spread of Asteroidea in Sapudi Island consist of two
species of distribution, such as cluster for Protoreaster nodosus and Arcaster

typicus and kindred Linckia laevigata and Culcita novaeguineae.
Keywords: community structure, distribution, sea stars, habitat of seagrass,
Sapudi island

STRUKTUR DAN SEBARAN KOMUNITAS BINTANG LAUT
(ASTEROIDEA) DI PERAIRAN PULAU SAPUDI,
KABUPATEN SUMENEP, MADURA

IKHSAN ASHARI

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Kelautan pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2014

SKRIPSI

Judul Skripsi : Struktur dan Sebaran Komunitas Bintang Laut (Asteroidea) di
Perairan Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Madura
Nama
: Ikhsan Ashari
NIM
: C54080045
Program Studi : Ilmu dan Teknologi Kelautan

Disetujui oleh
.

Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA
Pembimbing I

Beginer Subhan, S.Pi., M.Si
Pembimbing II


Diketahui oleh

Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc
Ketua Departemen

Tanggal Ujian: 2 Mei 2014

PRAKATA
Puji syukur kepada Allah SWT atas semua rahmat dan karunia yang telah
diberikan-Nya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat selesai. skripsi yang
berjudul Struktur dan Sebaran Komunitas Bintang Laut (Asteroidea) di
Perairan Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Madura merupakan salah satu
syarat untuk menyelesaikan pendidikan sarjana di Program Studi Ilmu &
Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan & Ilmu Kelautan.
Penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Bapak Prof .
Dr. Ir. Dietriech G. Bengen. DEA selaku dosen pembimbing utama dan Bapak
Beginner Subhan, S.Pi., M.Si selaku dosen pembimbing anggota yang telah
memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis selama penelitian hingga
tersusunnya skripsi ini dengan baik. Tidak lupa ucapan terima kasih ditujukan

kepada kedua orang tua, keluarga, teman-teman ITK’45 dan teman - teman
lainnya atas doa dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis serta kepada
rekan-rekan kerja yang telah berkenan membantu dan kerjasamanya selama
penelitian berlangsung di lapang. Penulis memohon maaf apabila terdapat
kesalahan penulisan maupun kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu
penulis mengharapkan ktitik dan saran sehingga skripsi ini lebih baik lagi. Penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri maupun
bagi pihak lain yang membacanya

Bogor, Mei 2014

Ikhsan Ashari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan

METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Pengambilan Data Bintang Laut
Pengambilan Contoh Lamun
Pengukuran Kualitas air
Pengukuran Substrat Dasar
Analisis Data
Kerapatan Jenis Lamun
Struktur Komunitas Bintang laut
Kepadatan
Dominansi
Pola Penyebaran
Hubungan Antara Bintang Laut dengan Karakteristik Habitat
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Fisika Kimiawi Perairan
Karakteristik Tekstur/Fraksi Substrat Dasar
Vegetasi Lamun
Kepadatan Bintang Laut
Dominansi Bintang Laut
Pola Sebaran Jenis Bintang Laut

Hubungan Antara Bintang Laut dengan Lamun di Pulau Sapudi
Hubungan Antara Bintang Laut dengan Substrat di Pulai Sapudi
KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

vi
vi
vi
1
1
1
1
1
2
3
3
4
4
4

4
4
5
5
6
6
6
7
7
10
12
13
14
15
16
16
18

DAFTAR TABEL
1. Parameter kualitas air berikut satuan dan alat yang digunakan

untuk mengukurnya
2. Karakteristik fisika – kimiawi perairan di pesisir Pulau Sapudi
3. Karakteristik tekstur/fraksi substrat di pesisir Pulau Sapudi
4. Pola Sebaran Bintang Laut di Pulau Sapudi, Madura

4
7
8
13

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Peta Lokasi Stasiun Penelitian
Skema Penempatan Transek
Transek Plot Pengambilan Contoh Lamun
Enhalus acoroides
Kerapatan Jenis Lamun di pesisir Pulau Sapudi
Protoreaster
Kepadatan Bintang Laut di pesisir Pulau Sapudi
Indeks dominansi komunitas bintang laut di Pulau Sapudi
Sebaran bintang laut dan lamun di Pulau Sapudi
Grafik analisis korespondensi antara bintang laut dan lamun
di Pulau Sapudi
11. Grafik analisis faktorial korespondensi antara bintang laut dan substrat
dasar di Pulau Sapudi

2
3
3
9
10
11
11
12
13
14
15

DAFTAR LAMPIRAN
1. Data parameter fisika dan kimiawi perairan di lokasi penelitian
2. Kepadatan bintang laut pada masing-masing transek kuadrat
di lokasi penelitian
3. Kerapatan Lamun
4. Hasil perhitungan indeks Morisita
5. Hasil Analisis Koresponden (CA) bintang laut terhadap komunitas lamun
6. Hasil Analisis Koresponden (CA) bintang laut terhadap substrat
7. Dokumentasi hasil penelitian jenis-jenis bintang laut dan lamun
di Pulau Sapudi

18
20
22
23
24
25
26

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu biota laut yang belum banyak diketahui manfaatnya adalah
bintang laut. Penelitian tentang bintang laut belum banyak dilaporkan atau diteliti
di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Australia dan
Jepang. Bintang laut ditemukan dengan batas kedalaman 0 meter sampai dengan
6000 meter. Bintang laut yang hidup didunia saat ini di perkirakan sekitar 1800
jenis, yang termasuk kedalam kelas Asteroidae, yang terdiri dari 4 ordo, 26 famili,
dan 144 genus (Aziz, 1996). Beberapa jenis bintang laut mempunyai warna yang
cerah seperti merah, jingga, biru atau dengan berbagai pola yang menarik dengan
warna-warna yang kontras. Oleh karena itu beberapa jenis bintang laut yang kecil
sering digunakan pula sebagai penghias aquarium (Nontji, 1993).
Bintang laut, sebagai anggota kelompok Echinodermata, merupakan salah
satu biota yang berasosiasi kuat dengan padang lamun dan berperan dalam siklus
rantai makanan di ekosistem tersebut. Tingginya tutupan vegetasi lamun di
perairan memungkinkan kehadiran berbagai biota yang berasosiasi dengan padang
lamun termasuk bintang laut untuk mencari makan, tempat hidup, memijah dan
tempat berlindung untuk menghindari predator (Supono dan Arbi, 2010).
Pulau sapudi terletak di antara gugusan pulau-pulau kecil di sebelah timur
Pulau Madura. Secara administratif, pulau ini termasuk wilayah Kabupaten
Sumenep, Madura, Jawa Timur. Pulau ini kaya akan biota laut salah satunya dari
jenis Enchinodermata seperti bintang laut, bulu babi, teripang dan lain-lain. Pada
kondisi populasi bintang laut yang melimpah dapat menggangu keseimbangan
ekologis yakni, berkurangnya populasi lamun yang selanjutnya akan menggangu
hewan laut yang menggunakan lamun sebagai bagian dari hidupnya. Dengan
demikian upaya pengendalian bintang laut tersebut sangat diperlukan. Untuk
melakukan upaya-upaya pengendalian (pengelolaan) terhadap populasi bintang
laut dibutuhkan informasi-informasi dasar khususnya mengenai struktur
komunitas bintang laut dan mengetahui hubungan bintang laut dengan
karakteristik habitatnya.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur komunitas bintang laut
(Asteroidea) dan mengetahui hubungan bintang laut (Asteroidea) dengan
karakteristik habitatnya.
METODE
Waktu dan lokasi penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni yang dimulai dengan survei
lokasi pada tanggal 28 Juni 2012. Pengambilan data primer di lokasi penelitian
pada tanggal 30 Juni 2012 sampai dengan 3 Juli 2012. Penelitian ini dilakukan di
pesisir Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Madura. Pulau Sapudi adalah sebuah
pulau di antara gugusan pulau-pulau di sebelah timur Pulau Madura. Diantara

2

gugusan pulau-pulau di sebelah timur Pulau Madura, Sapudi merupakan pulau
terluas kedua dengan luas sebesar 126,67 km² dan pulau dengan penduduk
terbanyak. Pulau Sapudi terletak pada 114o15’ – 114o27 LS dan 7o3’ – 7o12’ BT,
yang terdiri dari dua kecamatan yakni Kecamatan Nonggunong dan Kecamatan
Gayam (Gambar 1).

Gambar 1. Peta Lokasi Stasiun Penelitian
Pengambilan data bintang laut
Pengambilan data komunitas bintang laut dilakukan dengan menggunakan
metode transek garis. Pada masing-masing transek garis diletakkan transek plot
(Gambar 2). Tiap Stasiun terdiri atas tiga (3) transek garis sepanjang 50 meter
yang dibentangkan tegak lurus terhadap garis pantai. Pada setiap transek garis
yang dibentangkan terdapat 5 transek plot berukuran 1m x 1m, dengan jarak
antara plot selebar 10 meter (dimulai dari 10 meter pertama), dan jarak antar
transek garis sejauh 20 meter.

3

Gambar 2. Skema penempatan transek
Pengambilan Contoh Lamun
Pengambilan contoh lamun sebagai salah satu habitat bintang laut
dilakukan pada masing-masing transek plot yang di dalamnya terdapat bintang
laut. Skema transek plot untuk pengambilan contoh lamun berisi 25 bagian
kuadran, pengamatan dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah tegakan lamun
(Gambar 3).

Gambar 3. Transek plot pengambilan contoh lamun
Pengukuran Kualitas Air
Pengukuran kualitas air dilakukan untuk mengetahui kondisi perairan pada
habitat bintang laut. Variabel kualitas air yang diukur serta alat yang digunakan
untuk pengukuran dapat dilihat pada Tabel 1.

4

Tabel 1.

Parameter kualitas air berikut satuan dan alat yang digunakan untuk
mengukurnya
Parameter

Satuan

Suhu
Salinitas
Kecerahan
Derajat keasaman (pH)
Kedalaman

0

C

Cm
Cm

Alat
Termometer
Retfraktometer
Sechi Disk
pH-meter
Pipa Berskala

Pengukuran Substrat Dasar
Pengukuran substrat dasar dilakukan pada masing-masing stasiun
pengamatan. Analisis substrat dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah
dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB untuk mengetahui fraksi
substratnya.
Analisis data
Kerapatan Jenis Lamun
Kerapatan jenis lamun adalah jumlah total individu atau tegakan lamun
dalam suatu unit area yang dihitung berdasarkan petunjuk English et al. (1994)
sebagai berikut :
�� =

��


Keterangan:
�� = Kerapatan jenis ke-I (ind/m2); �� = Jumlah total individu jenis ke-I (ind); A =
Luas area total pengambilan contoh (m2)
Struktur komunitas Bintang Laut
Kepadatan
Kepadatan bintang laut didefinisikan dengan jumlah bintang laut
persatuan luas (m²) (Brower dan Zar, 1977). Bintang laut hasil pengamatan
dihitung kepadatannya dengan rumus:
=

��



Keterangan:
D = kepadatan bintang laut (ind/m²); �� = jumlah bintang laut (individu); A = luas
petak pengambilan contoh (m²)

5

Dominansi
Nilai indeks dominansi diguunakan untuk menggambarkan ada tidaknya
dominansi suatu jenis dalam suatu komunitas, yang dihitung dengan
menggunakan indeks dominansi Simpson (Magurran, 1988), sebagai berikut :
=


�=1

[�� ]²

Keterangan:
C = Indeks dominansi; �� = �� /N; �� = Jumlah individu pada jenis ke-i; N =
Jumlah total individu dari semua jenis
Dengan kriteria:

0,00 < C≤ 0,50= Dominansi rendah

0,50 < C ≤ 0,75= Dominansi sedang
0,75 < C ≤ 1,00= Dominansi tinggi
Nilai indeks dominansi (C) berkisar antara 0 sampai 1, jika nilai C
mendekati 0 berarti bahwa tidak ada jenis yang mendominasi dan sebaliknya
apabila nilai C mendekati 1 salah satu jenis yang mendominasi (Odum, 1971).
Pola penyebaran
Penentuan pola sebaran jenis suatu organisme pada habitatnya dapat di
tentukan dengan menggunakan Indeks Sebaran Morisita (Khouw, 2009). Rumus
untuk menghitung Indeks Sebaran Morisita sebagai berikut :
�� = �

�2 − �
� 2− �

Keterangan :
�� = Indeks Sebaran Morisita; � = jumlah petak pengambilan contoh; � =
Jumlah setiap individu di setiap kuadran = � + � + ….; � 2 = jumlah total
individu yang diperoleh = � ² + � ² + ….
Hasil perhitungan Indeks Sebran Morisita dibandingakan dengan criteria
sebagai berikut :
Id < 1 maka pola sebaran individu jenis bersifat seragam
Id = 1 maka pola sebaran individu jenis bersifat acak
Id > 1 maka pola sebaran individu jenis bersifat mengelompok

6

Hubungan antara Bintang Laut dengan Karakteristik Habitat
Adanya interaksi suatu organisme dengan karakteristik habitat tertentu
dapat dipakai sebagai indikasi hadir tidaknya organisme tersebut pada suatu
tempat dengan kepadatan yang tertentu pula. Evaluasi keterkaitan antara
komunitas lamun dan bintang laut di lokasi penelitian dilakukan dengan
menggunakan Analisis Koresponden (Correspondence Analysis) (Bengen, 2000),
yang didasarkan pada matriks data i baris kerapatan lamun dan kepadatan bintang
laut dan j kolom (stasiun) dimana kepadatan bintang laut dan kerapatan lamun kei untuk stasiun ke-j terdapat pada baris ke-i dan kolom ke-j. Matriks datanya
merupakan tabel kontigensi jenis bintang laut dengan lamun.Analisis koresponden
diperoleh menggunakan software Statistica 8.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Fisika Kimiawi Perairan
Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi
pengambilan data, didapatkan hasil seperti tercantum pada Tabel 2.
Tabel 2. Karakteristik fisika – kimiawi perairan di pesisir Pulau Sapudi.
Nama Stasiun
Parameter Fisik Kimia
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Stasiun 4
28
30
30
31
30

31
29 - 31
Suhu (°C)
30 - 31
29 - 30
29
30
Salinitas (‰)
8,6 - 8,8
8,6
8,6
8,6
Derajat keasaman (pH)
100
100
100
100
Kecerahan (%)
14
51
15
46
15

40
15
- 35
Kedalaman (cm)
Suhu di keempat Stasiun pengamatan memperlihatkan kisaran nilai antara
28-31 °C (Tabel 2). Dari hasil suhu yang diperoleh di keempat Stasiun tersebut
masih berada pada kisaran normal yang mendukung kehidupan organisme
perairan (Effendi, 2003). Kisaran salinitas yang diperoleh pada pengamatan sangat
bervariasi yaitu berkisar antara 29 - 31 ‰. Kisaran salinitas tertinggi terdapat
pada Stasiun 1 yaitu 30 - 31 ‰. Stasiun 3 memiliki nilai salinitas terendah yaitu
sebesar 29 ‰. Stasiun 2 memiliki kisaran salinitas yaitu sebesar 29 - 30 ‰.
Stasiun 4 memiliki nilai salinitas sebesar 30 ‰. Menurut Hutabarat dan Evans
(1985) kisaran salinitas yang masih mampu mendukung kehidupan organism
perairan, khususnya fauna makrobentos termasuk bintang laut adalah 15 – 35 ‰.
Oleh karena itu kisaran salinitas yang terdapat pada keempat stasiun ini masih
tergolong normal.
Nilai pH air yang diperoleh pada hasil pengamatan memiliki kisaran antara
8,6 - 8,8 (tabel 3). Nilai pH pada Stasiun 2, 3 dan 4 memiliki nilai pH yang sama
yaitu sebesar 8,6. Stasiun 1 memiliki kisaran pH sebesar 8,6 – 8,8. Kisaran pH
pada keempat Stasiun tersebut memiliki nilai yang tinggi untuk biota perairan. pH
merupakan faktor pembatas bagi organisme yang hidup di suatu perairan. Perairan

7

dengan pH yang terlalu tinggi atau rendah akan mempengaruhi ketahanan hidup
organisme yang hidup didalamnya (Odum, 1993). Effendi (2003) mengatakan
bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai
kisaran pH sekitar 7 - 8,5.
Kecerahan suatu perairan erat hubungannya dengan penetrasi cuaca, waktu
pengukuran dan cahaya yang masuk ke dalam perairan tersebut. Tingkat
kecerahan pada stasiun pengamatan adalah 100% pada semua kedalaman (Tabel
2). Kedalaman perairan pada stasiun pengamatan berkisar antara 14 - 51 cm, hal
ini dapat diartikan penetrasi cahaya dapat mencapai dasar perairan. Bintang laut
pada umumnya ditemukan pada semua laut dan lautan, dengan batas kedalaman 0
- 6000 meter. Biota ini pada umumnya hidup bebas sebagai epifauna, baik
menyendiri ataupun hidup berkelompok. Sebagian dari anggota bintang laut ini
ada juga yang membenamkan diri dalam pasir atau lumpur (Aziz, 1996).
Karakteristik Tekstur/Fraksi Substrat Dasar
Karakteristik tekstur/fraksi substrat dasar di setiap Stasiun pengamatan
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Karakteristik tekstur/fraksi substrat di pesisir Pulau Sapudi
Nama stasiun
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Stasiun 4

Pasir
92.29
93.77
94.94
95.99

Fraksi (%)
Debu
2.31
2.11
1.70
1.14

Liat
5.40
4.12
3.36
2.87

Fraksi substrat yang dihasilkan ada tiga jenis, yaitu pasir, debu, dan liat.
Fraksi pasir mendominasi keempat stasiun pengamatan, diikuti oleh fraksi liat dan
yang terkecil adalah nilai dari debu (Tabel 3). Fraksi pasir Stasiun 4 memiliki nilai
fraksi tertinggi sebesar 95,99% dan fraksi pasir terkecil terdapat pada Stasiun 1
sebesar 92,29%. Untuk Stasiun 2 fraksi pasir sebesar 93,77% dan Stasiun 3
sebesar 94.94%. Fraksi liat memiliki nilai semakin kecil dari Stasiun 1 ke Stasiun
4. Stasiun 1 memiliki nilai sebesar 5,40%, Stasiun 2 sebesar 4,12%, Stasiun 3
sebesar 3,36%, dan Stasiun 4 sebesar 2,87%. Sedangkan untuk fraksi debu Stasiun
1 memiliki nilai sebesar 2,31%, Stasiun 2 sebesar 2,11%, Stasiun 3 sebesar
1,70%, dan Stasiun 4 sebesar 1,14%.
Umumnya masing-masing jenis bintang laut memiliki habitat yang
spesifik seperti Protoreaster nodosus sering ditemukan di padang lamun dan
sedikit ditemukan di karang mati, area dengan substrat berpasir dan daerah tubir.
Hal ini disebabkan makanan utamanya adalah lamun, detritus dan rumput laut
(Susetiono, 2007).
Vegetasi Lamun
Lamun (seagrass) disebut juga ilalang laut (Kasijan dan Juwana 2009).
Lamun merupakan tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang seluruh proses

8

kehidupannya berlangsung di perairan laut dangkal (Kiswara dan Winarni 1994).
Lamun hidup diperairan dangkal dan jernih, dan tumbuh subur terutama di daerah
terbuka pasang surut dan perairan pantai yang dasarnya berupa lumpur, pasir,
kerikil, dan patahan karang mati pada kedalaman antara 2–12m. Beberapa jenis
lamun ditemukan tumbuh sampai 8–15m hingga 40m. tergantung pada faktor
lingkungan seperti kecerahan, substrat, profil dasar perairan, kuat arus dan jenis
lamun yang hidup di daerah tersebut (Kasijan dan Juwana 2009). Klasifikasi
lamun di perairan pantai Indonesia (Phillips & Menez, 1988)
sebagai berikut :
Divisi : Anthophyta
Kelas : Angiospermae
Subkelas : Monocotyledonae
Ordo : Helobiae
Famili : Hydrocharitaceae
Genus : Enhalus
Species : Enhalus acoroides
Genus : Halophila
Species : Halophila decipiens
Halophila ovalis
Halophila minor
Halophila spinulosa
Genus : Thalassia
Species : Thalassia hemprichii
Famili : Potamogetonaceae
Genus : Cymodocea
Species : Cymodocea rotundata
Cymodocea serrulata
Genus : Halodule
Species : Halodule pinifolia
Halodule uninervis
Genus : Syringodium
Species : Syringodium isoetifolium
Genus : Thalassodendron
Species : Thalassodendron ciliatum

9

Gambar 4. Enhalus acoroides (koleksi pribadi)
Padang lamun telah diketahui sebagai salah satu ekosistem paling
produktif di perairan pesisir atau laut dangkal (Thayer et al. 1975). Penelitian di
Eropa, Amerika Utara, Australia dan Jepang menunjukkan bahwa padang lamun
merupakan tempat berlindung, mencari makan atau sumber makanan untuk
sejumlah besar hewan atau biota yang berasosiasi dengannya (Thorhaug dan
Austin, 1986; Fonseca, 1987). Di perairan Indonesia, umumnya lamun tumbuh di
daerah pasang-surut, pantai pesisir dan sekitar pulau-pulau karang (Nienhuis et al.
1989). Dari 58 jenis lamun di dunia, 12 jenis di antaranya ditemukan di perairan
Indonesia (Kuo dan Comb 1989; Den Haartog, 1970; Azkab, 2009). Vegetasi
lamun di Pulau Sapudi termasuk vegetasi campuran (mixed seagrass beds), hal ini
terlihat adanya asosiasi antara dua atau tiga jenis lamun pada beberapa transek
kuadrat pengambilan data. Padang lamun di perairan indonesia umumnya
termasuk padang lamunvegetasi campuran (Nienhuis et al, 1989). Lamun yang
ditemukan di Pulau Sapudi terdiri dari 5 jenis yaitu Cymodocea rotundata,
Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, dan Thalassia
hemprichii. Hingga kini, tercatat ada kurang lebih 12 jenis lamun di perairan
Indonesia, yang termasuk kedalam 7 genera dan 2 famili (Azkab, 2006).
Jenis lamun Thalassia hemprichii paling mendominasi kerapatan lamun di
Stasiun 1, Stasiun 3, dan Stasiun 4. Pada Stasiun 1 ditemukan 2 jenis lamun yaitu
Thalassia hemprichii dan Syringodium isoetifolium. Kerapatan tertinggi pada
Stasiun 1 ditemukan pada jenis Thalassia hemprichii sebesar 59.67 ind/m² dan
terendah ditemukan pada jenis Syringodium isoetifolium sebesar 5.53 ind/m².

Kerapatan Jenis Lamun (ind/m2)

10

80
70
60
50
40
30
20
10
0

Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Stasiun 4
Si

Th

Ea

Cr

Ho

Jenis Lamun

Keterangan: Cr= Cymodocea rotundata, Ea= Enhalus aocroides, Ho= Halophila
ovalis,Si= Syringodium isoetifolium, dan Th= Thalassia hemprichii

Gambar 5. Kerapatan jenis lamun di pesisir Pulau Sapudi
Kerapatan lamun yang ditemukan pada Stasiun 2 hanya kerapatan lamun
jenis Enhalus acoroides sebesar 78.50 ind/m². Kerapatan lamun tertinggi pada
Stasiun 3 ditemukan pada jenis Thalassia hemprichii sebesar 77.80 ind/m² dan
kerapatan terendah pada jenis Cymodocea rotundata sebesar 4.00 ind/m².
Kerapatan lamun tertinggi pada Stasiun 4 ditemukan pada jenis Thalassia
hemprichii sebesar 55.07 ind/m² dan kerapatan terendah pada jenis Halophila
ovalis sebesar 1.40 ind/m².
Kerapatan lamun terendah ditemukan di Stasiun 2, hal ini diduga karena
sedikitnya jenis lamun yang terukur pada plot pengambilan data di Stasiun
tersebut. Pada Stasiun 2 ditemukan satu jenis lamun saja yaitu jenis lamun
Enhalus acroides dengan kerapatan 78.50 ind/m². Sedikitnya jenis lamun yang
ditemukan pada Stasiun 2 juga disebabkan oleh jenis substratnya. Lokasi Stasiun
2 didominasi oleh substrat hamparan karang mati, dan rubble yang
memungkinkan lamun sulit tumbuh. Menurut Kiswara (1994) lamun dapat
tumbuh pada dasar lumpur, pasir, dan kerikil karang diantara karang hidup,
cekungan batu karang maupun pada dasar dan berlumput dibawah naungan bakau.
Hal lain juga bisa disebabkan karena lamun tidak terlindung pada saat air surut
(Dahuri, 1996).
Kepadatan Bintang Laut
Bintang laut adalah salah satu anggota dari filum Echinodermata.
Klasifikasi menurut Clark dan Rowe (1971) adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Animalia
Filum
: Echinodermata
Ordo
: Farcipulatida
Famili
: Asteridae
Kelas
: Asteroidea
Genus
: Protoreaster
Spesies
:Protoreaster nodosus

11

Gambar 6. Protoreaster nodosus (koleksi pribadi)
Pada kedalaman 0 sampai 20 meter diperairan terdapat 88 jenis bintang
laut termasuk kedalam 38 genus dan 17 famili (Clark dan Rowe, 1971). Dari hasil
penelusuran pustaka, di perairan Indonesia diperkirakan terdapat 400 jenis bintang
laut atau sekitar 22% dari jumlah total bintang laut di dunia (Aziz, 1996)
Bintang laut yang dijumpai di Pulau Sapudi terdiri 4 jenis, yaitu Arcaster
typicus, Culcita novaeguineae, Linckia laevigata, Protoreaster nodosus. Bintamg
laut yang selalu dijumpai pada tiap Stasiun pengamatan adalah jenis bintang laut
Linckia laevigata, karena di setiap Stasiun pengamatan selalu ditemukan bintang
laut jenis tersebut.

Keterangan: AT=Arcaster typicus, CN= Culcita novaeguineae, LL=Linckia
laevigata,dan PN=Protoreaster nodosus
Gambar 7. Kepadatan bintang laut di pesisir Pulau Sapudi
Kepadatan bintang laut tertinggi ada di Stasiun 1 ditemukan pada jenis
Arcaster typicus sebesar 0.4667 ind/m² dan terendah untuk jenis Protoreaster
nodosus sebesar 0.0667 ind/m². Di Stasiun 2 hanya ditemukan 2 jenis bintang laut
yaitu Linckia laevigata dan Protoreaster nodosus. Kepadatan bintang laut
tertinggi di Stasiun 2 ditemukan pada Linckia laevigata (0.4667 ind/m²) dan

12

terendah pada Protoreaster nodosus (0.2667 ind/m²). Pada Stasiun 3 ditemukan 2
jenis bintang laut yaitu Linckia laevigataI dan Culcita novaeguineae. Kepadatan
tertinggi pada Stasiun 3 ditemukan pada jenis Linckia laevigata sebesar 0.8 ind/m²
dan terendah ditemukan pada jenis bintang laut Culcita novaeguineae 0.0667
ind/m². Pada Stasiun 4 ditemukan 2 jenis bintang laut yaitu Linckia laevigata dan
Protoreaster nodosus. Kepadatan pada Stasiun 4 ini dari jenis Linckia laevigata
dan Protoreaster nodosus sama yaitu 0.2 ind/m². Tingginya kepadatan Linckia
laevigata di Pulau Sapudi ini diduga berkaitan dengan yang cocok yang
didominasi oleh karang mati dan padang lamun dengan substratnya pasir halus
atau substrat keras.
Dominansi Bintang Laut
Dominansi merupakan suatu bentuk penguasaan dalam suatu perairan
untuk mendapatkan makanan maupun tempat tinggal yang layak serta bertahan
cukup lama (Sediadi, 2004) Berdasarkan hasil yang diperoleh maka dapat
diketahui bahwa dominansi di perairan Pulau Sapudi mempunyai
indeks dominansi yang cukup beragam.
0.9

Indeks Dominansi (C)

0.8
0.7
0.6
0.5
Dominansi

0.4
0.3
0.2
0.1
0
Stasiun 1

Stasiun 2

Stasiun 3

Stasiun 4

Gambar 8. Indeks dominansi komunitas bintang laut di Pulau Sapudi
Dari Gambar 8 terlihat nilai indeks dominansi tertinggi ada di Stasiun 3
yaitu 0,86. Hal ini dikarenakan adanya spesies yang mendominansi di perairan
tersebut. Pada gambar 7 dapat kita lihat bahwa kepadatan bintang laut jenis
Linckia laevigata pada Stasiun 3 sangat besar dibandingkan dengan bintang laut
jenis lain yang di temukan. Oleh karena itu indeks dominansi di Stasiun 3
dikatakan tinggi. Nilai indeks domonansi pada Stasiun 1 yaitu 0.49 dan Stasiun 4
yaitu 0,50, yang berarti tidak ada jenis yang mendominansi perairan yang berarti
setiap individu pada Stasiun pengamatan mempunyai kesempatan yang sama dan
secara maksimal dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada didalam perairan
tersebut. Hal ini sesuai dengan peryataan Odum (1993) yang menyatakan bahwa
nilai indeks dominansi yang tinggi menyatakan konsentrasi dominansi yang tinggi
(ada individu yang mendominansi), sebaliknya nilai indeks dominansi yang
rendah menyatakan konsentrasi yang rendah (tidak ada yang dominan).

13

Pola Sebaran Jenis Bintang Laut
Kondisi lingkungan perairan pada saat pengamatan sangat mempengaruhi
pola sebaran jenis di suatu perairan. Penentuan pola sebaran jenis dengan
menggunakan indeks morsita yang dimaksudkan untuk mengetahui sebaran jenis
bintang laut yang terdapat di Pulau Sapudi membentuk pola sebaran seragam,
mengelompok atau acak. Berdasarkan hasil perhitungan indeks morisita diketahui
bahwa pola sebaran jenis bintang laut di Pulau Sapudi memiliki 2 pola sebaran
jenis yaitu mengelompok dan seragam dimana Id < 1 dan Id > 1 tercantum pada
Tabel 4.
Table 4. Pola sebaran bintang laut di Pulau Sapudi, Madura
N
∑X
∑X²
Id
spesies
0.2
Linckia laevigata
60
25
27
1.4286
8
Protoreaster nodosus
60
7
14.286
17
Arcaster typicus
60
7
0
1
Culcita novaeguineae
60
1

Pola Sebaran
Seragam
Mengelompok
Mengelompok
Seragam

Pola sebaran jenis ini sama di semua Stasiun pengamatan nilai Id berkisar
antara 0 – 14,29. Pada kondisi bintang laut yang sangat melimpah dapat
menggangu keseimbangan ekologis yakni, berkurangnya populasi lamun yang
selanjutnya akan mengganggu populasi hewan laut yang menggunakan lamun
sebagai bagian dari hidupnya. Untuk melakukan upaya-upaya pengendalian
(pengelolaan) terhadap populasi bintang laut dibutuhkan informasi-informasi
dasar kelimpahan dan pola sebaran jenis bintang laut tersebut. Hal tersebut akan
lebih relevan jika ditunjang dengan parameter fisika-kimia lingkungan perairan
dan tekstur substrat guna memberikan informasi penting dalam upaya
perlindungan dan keseimbangan ekologis.

Gambar 9. Sebaran bintang laut dan lamun di Pulau Sapudi

14

Pada umumnya setiap jenis bintang laut memiliki habitat yang spesifik,
seperti Protoreaster nodosus sering ditemukan di padang lamun dan sedikit
ditemukan di karang mati, area dengan substrat berpasir dan daerah tubir. Hal ini
disebabkan makanan utamanya adalah lamun, detritus dan rumput laut (Susetiono,
2007).
Hubungan Antara Bintang Laut dengan Lamun di Pulau Sapudi
Hasil analisis koresponden sebaran 4 jenis bintang laut pada 5 jenis lamun
di lokasi penelitian (Gambar 10) menunjukkan bahwa informasi maksimum
sebaran spasial bintang laut terhadap lamun terpusat baik sumbu 1 (F1) dan
sumbu 2 (F2). Sumbu 1 (F1) memiliki akar ciri dan ragam sebesar 0,68 (86,19%),
sedangkan sumbu 2 (F2) memiliki akar ciri dan ragam sebesar 0,11 (13,81%).
Grafik analisis koresponden antara bintang laut dan lamun terlihat pada
gambar 10.

Keterangan: At= Arcaster typicus, Cn= Culcita novaeguineae, Ll=Linckia laevigata,
Pn=Protoreaster nodosus, Cr=Cymodocea rotundata, Ea= Enhalus acoroides,
Ho=Halophila ovalis, Si=Syringodium isoetifolium, Th=Thalassia hemprichii

Gambar 10. Grafik analisis korespondensi antara bintang laut dan lamun di Pulau
Sapudi
Dari gambar 10 terlihat bahwa bintang laut jenis Protoreaster nodosus
memiliki nilai cos² sebesar 0,10 dan Culcita novaeguineae sebesar 0,10, dengan
demikian bintang laut tersebut memiliki hubungan atau asosiasi yang relatif kecil
dengan lamun jenis Thalassia hemprichii yang memiliki nilai cos² sebesar 0,40.
Pada kuadran 3 (-,-) terlihat bahwa bintang laut jenis Arcaster typicus memiliki

15

nilai cos² sebesar 0,99, dengan demikian Arcaster typicus memiliki hubungan atau
asosiasi yang erat dengan lamun jenis Syringodium isoefolium yang memiliki nilai
cos² sebesar 0,99, sedangkan Jenis bintang laut Linckia laevigata memiliki cos²
sebesar 0,88, dengan demikian Linckia laevigata hubungan atau asosiasi yang
cukup erat dengan lamun jenis Cymodocea rotundata yang memiliki nilai cos²
sebesar 0,55, Enhalus acoroides sebesar 0,55 dan Halophila ovalis 0,55 pada
kuadran 4 (+,-).
Nilai cos² yang mendekati nilai 1 terlihat lebih memiliki hubungan
keterkaitan yang erat dan yang jauh dari nilai 1 memiliki keterkaitan yang relatif
kecil seperti terlihat pada nilai cos² Protoreaster nodosus sebesar 0,10 dan Culcita
novaeguineae 0,10. Keterkaitan 4 jenis bintang laut dengan 5 jenis lamun ini
dikarenakan bintang laut tersebut memperoleh makanan (sebagai grazer di padang
lamun) yang cukup, kondisi substrat yang cocok serta kondisi perairan yang
cukup baik untuk kelangsungan hidupnya.
Hubungan Antara Bintang Laut dengan Substrat di Pulau Sapudi
Hasil analisis koresponden sebaran 4 jenis bintang laut pada substrat di
lokasi penelitian menunjukkan bahwa informasi maksimum sebaran spasial
bintang laut terhadap substrat terpusat F1 & F2. Sumbu 1 (F1) memiliki akar ciri
dan ragam sebesar 0,0034 (96,54%), sedangkan sumbu 2 (F2) memiliki akar ciri
dan ragam sebesar 0,0001 (3,46%) (Gambar 8).
Grafik analisis koresponden antara bintang laut dan substrat dasar perairan
pada sumbu 1 dan 2 terlihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Grafik analisis korespondensi antara bintang laut dan substrat dasar di
Pulau Sapudi

16

Dari gambar 8 terlihat bahwa keempat bintang laut memiliki hubungan
atau asosiasi yang erat dengan substrat pasir. Aziz (1996) mengatakan bintang laut
umumnya hidup bebas sebagai epifauna, baik menyendiri maupun hidup
berkelompok dan ada juga yang membenamkan diri dalam pasir atau lumpur.
SIMPULAN DAN SARAN
Bintang laut yang ditemukan di Pulau Sapudi, Madura terdiri dari 4 jenis
yaitu Arcaster typicus, Culcita novaeguineae, Linckia laevigata, dan Protoreaster
nodosus. Bintang laut yang mendominansi pada setiap Stasiun adalah jenis
bintang laut Linckia laevigata.
Pola sebaran bintang laut di Pulau Sapudi, Madura memiliki dua pola
sebaran yaitu sebaran seragam (Id < 1) dan mengelompok (Id > 1). Sebaran bintang
laut jenis Linckia laevigata berasosiasi dengan lamun jenis Cymodocea rotundata,
Enhalus acoroides dan Halophila ovalis. Bintang laut jenis Arcaster typicus
berasosiasi dengan lamun jenis Syringodium isoetifolium. Bintang laut jenis
Protoreaster nodosus dan Culcita novaeguineae berasosiasi dengan lamun jenis
Thalassia hemprichii.
SARAN
Menurut saya perlu dilakukan penelitian mengenai tipe asosiasi tiap jenis
bintang laut dengan jenis lamun. Selain itu juga perlu diteliti apakah keberadaan
bintang laut di habitat lamun mengurangi populasi lamun terkait dengan bintang
laut ada yang termasuk grazer di padang lamun.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, A . 1996. Makanan dan Cara Makan Berbagai Jenis Bintang Laut. Majalah
Oceano. Vol. XXI. (3) : 13 – 22. PO3. LIPI. Jakarta
Aziz, A dan P. Darsono. 1997. Bebebrapa Catatan Mengenai Fauna
Ekhinodermata di Daerah Rataan Trumbu Bagian Selatan Gugus Pulau
Pari, Pulau-Pulau Seribu. Inventarisasi dan Evaluasi Potensi Laut
Pesisir II. P3O. LIPI. Jakarta. Hal 72 - 77.
Aziz, A dan P. Darsono. 2000. Komunitas Fauna Ekhinodermata di Pulau-Pulau
Seribu Bagian Utara. Pesisir dan Panai Indonesia IV. P3O. LIPI.
Jakarta. Hal 60 – 75.
Azkab, M.H. 2006. Ada apa dengan lamun. Oseana 31 (3): 45 – 55.
Azkab, M.H. 2009. Lamun (seagrass): Pedoman Inventarisasi Lamun. Pusat
Penelitian Oseanografi, Jakarta: 25 hal.
Bengen, D.G. 2000. Teknis Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik
Sumberdaya Pesisir. Bogor: PKSPL IPB.
Brower, J. E. and J. H. Zar. 1977. Field and Laboratory Methods for General
Ecology. WM. J. Brown Company Publ. Dubuque. Iowa. 94 p.
Clark, A. M and F. W. E. Rowe. 1971. Monograph of Shallow Water Indo West
Echinoderms. Trustees of the British Museum (Natural Histori).
London. 238 p.

17

Dahuri, R. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara
Terpadu. Pradnya Paramita, Jakarta. 305 h.
den Hartog, C. 1970. The Seagrass of The World. North-Holand Publ. Co,
Amsterdam: 275pp.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta.
English, S.C. Wilkinson dan V. Baker, 1994. Survey Manual for Tropical Marine
Recourse. Australian Institute of Marine Science. Townsville. 390 h.
Fonseca, M.S. 1987. The Management of Seagrass System. Trop, Coast, Area.
Manag. ICLARM. Newsletter 2 (2): 5 - 7.
Hutabarat, S. dan S.M. Evans. 1985. Pengantar Oseanografi. Universitas
Indonesia Press. Jakarta. 159 h.
Kajisman dan Juwana. 2009. Biologi Laut Ilmu Pengetahuan Tentang Biologi
Laut. Jakarta: Djambatan.
Khouw, A. S. 2009. Metode dan Analisa Kuantitatif dalam Bioekologi Laut. Pusat
Pembelajaran Pengembangan Pesisir dan Laut. Jakarta: 285 h
Kiswara, W. Dam Winardi. 1994. Keanekaragaman dan Sebaran Lamun di Teluk
Kuta dan Teluk Gerupuk, Lombok Selatan. W Kiswara (eds.). Struktur
Komunitas Biologi Padang Lamun di Pantai Lombok Selatan dan
Kondisi Lingkungannya. LIPI. Jakarta: hal 11 – 25.
Kuo, J. And A.J. Mc Comb. 1989. Seagras taxonomy, structure and development.
In: A.W.D. Larkum, A.J. Comb & S.A Shepherd, (eds). Biology of
seagrass : a treatise on the biology seagrasses with special reference to
Australian region. Elssier, Amsterdam: 6 – 73.
Nienhuis, P.H., J. Cosssen and W. Kiswara. 1989. Community structure and
biomass distribution of seagrass and macrofauna in the Flores Sea,
Indonesia. Net.J.Sci.Res. 23 (2): 192 – 214.
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. 368 hal.
Odum, E. P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Diterjemahkan dari Foundamental of
Ecology oleh T. Samingan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Phillips, R.C. and G. Menez 1988. Seagrasses. Smithsonian Inst. Press.
Washington. 193 pp
Supono dan U. Y. Arbi. 2010 Struktur Komunitas Ekinodermata di Padang
Lamun Perairan Kema, Sulawesi Utara. Oseanologi dan Limnologi
Indonesia.
Susetiono. 2007. Lamun dan Fauna Teluk Kuta, Pulau Lombok. Pusat Penelitian
Oseanografi – LIPI. Jakarta : 99 hal
Thayer, G.W., S.M. Adams and M.W. La Croix. 1975. Structural and Fluctuation
Aspects of a Recently Established Zostera Marina Community
Estuarine Res. 1 : 518 – 540.
Thorhaug, A and C.B. Austin. 1986. Restoration of Seagrass With Economic
Analysis. Environ. Conserve. 3(4): 259 – 267.

18
1818

LAMPIRAN
Lampiran 1. Data parameter fisika dan kimiawi perairan di lokasi penelitian

Parameter Habitat
Kedalaman (cm)
Kecerahan
Suhu (⁰C)
Salinitas (‰)
pH

Tq1
15
100
29
30
8.8

Parameter Habitat
Tq1

Kedalaman (cm)
Kecerahan
Suhu (⁰C)
Salinitas (‰)
pH

LINE TRANSEK 1
Tq2 Tq3 Tq4
24
35
47
100 100 100
28
28
28
30
31
31
8.6
8.6
8.6

LINE TRANSEK 1
Tq2
Tq3
Tq4

Tq1
14
100
30
30
8.7

STASIUN 1
LINE TRANSEK 2
Tq2 Tq3 Tq4
15
15
17
100 100 100
30
29
30
30
30
30
8.6
8.6
8.6

Tq5

Tq1

STASIUN 2
LINE TRANSEK 2
Tq2
Tq3
Tq4

Tq5
51
100
28
31
8.6

Tq1
17
100
30
30
8.8

LINE TRANSEK 3
Tq2 Tq3 Tq4
23
24
30
100 100 100
30
30
30
30
30
30
8.6
8.6
8.6

Tq5
33
100
30
30
8.6

Tq5

Tq1

LINE TRANSEK 3
Tq2
Tq3
Tq4

Tq5

Tq5
25
100
30
30
8.6

35

37

37

38

40

35

46

17

17

17

35

15

20

31

40

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

31

31

31

31

31

31

31

31

31

31

30

30

30

30

30

29

29

29

29

30

29

29

29

29

30

29

29

29

29

30

8.6

8.6

8.6

8.6

8.6

8.6

8.6

8.6

8.6

8.6

8.6

8.6

8.6

8.6

8.6

19

Lampiran 1. Lanjutan

STASIUN 3

Parameter Habitat
Kedalaman (cm)
Kecerahan
Suhu (⁰C)
Salinitas (‰)
pH

LINE TRANSEK 1

LINE TRANSEK 2

LINE TRANSEK 3

Tq1

Tq2

Tq3

Tq4

Tq5

Tq1

Tq2

Tq3

Tq4

Tq5

Tq1

Tq2

Tq3

Tq4

Tq5

15

15

20

40

30

10

15

32

30

35

10

20

27

25

30

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

31

31

31

31

31

31

30

31

30

30

30

30

30

30

30

29

29

29

29

29

29

29

29

29

29

29

29

29

29

29

8.6

8.6

8.6

8.6

8.6

8.6

8.6

8.6

8.6

8.6

8.6

8.6

8.6

8.6

8.6

STASIUN 4

Parameter Habitat
Kedalaman (cm)
Kecerahan
Suhu (⁰C)
Salinitas (‰)
pH

LINE TRANSEK 1

LINE TRANSEK 2

LINE TRANSEK 3

Tq1

Tq2

Tq3

Tq4

Tq5

Tq1

Tq2

Tq3

Tq4

Tq5

Tq1

Tq2

Tq3

Tq4

Tq5

35

20

25

25

30

10

15

15

25

25

15

15

25

20

25

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

30

30

30

30

31

30

30

30

30

30

30

30

30

30

29

30

30

30

30

30

30

30

30

30

30

30

30

30

30

30

8.6

8.6

8.6

8.6

8.6

8.6

8.6

8.6

8.6

8.6

8.6

8.6

8.6

8.6

8.6

Keterangan: Tq = transek kuadrat
19

20

20
20

Lampiran 2. Kepadatan bintang laut pada masing-masing transek kuadrat di lokasi penelitian

Jenis Bintang Laut
Linckia laevigata
Protoreaster nodosus
Arcaster typicus

Kepadatan Bintang Laut Pada Masing-masing Transek Kuadrat di Stasiun 1 (ind/m²)
Line Transek 1
Line Transek 2
Line Transek 3
Tq1 Tq2 Tq3 Tq4 Tq5 Tq1 Tq2 Tq3 Tq4 Tq5 Tq1 Tq2 Tq3 Tq4 Tq5
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
0
0
0
0
3
1
1
0
0
1
1
0
0
0

Kepadatan Bintang Laut Pada Masing-masing Transek Kuadrat di Stasiun 2 (ind/m²)
Jenis Bintang Laut

Line Transek 1

Line Transek 2

Line Transek 3

Tq1

Tq2

Tq3

Tq4

Tq5

Tq1

Tq2

Tq3

Tq4

Tq5

Tq1

Tq2

Tq3

Tq4

Tq5

Linckia laevigata

0

0

1

0

3

0

1

0

2

0

0

0

0

0

0

Protoreaster nodosus

0

1

0

0

0

0

0

0

0

1

0

1

1

0

0

Jenis Bintang Laut
Linckia laevigata
Culcita novaeguineae

Kepadatan Bintang Laut Pada Masing-masing Transek Kuadrat di Stasiun 3 (ind/m²)
Line Transek 1
Line Transek 2
Line Transek 3
Tq1 Tq2 Tq3 Tq4 Tq5 Tq1 Tq2 Tq3 Tq4 Tq5 Tq1 Tq2 Tq3 Tq4 Tq5
1
2
1
0
1
0
1
0
2
0
1
2
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0

21

Lampiran 2. Lanjutan

Jenis Bintang Laut
Linckia laevigata
Protoreaster nodosus

Kepadatan Bintang Laut Pada Masing-masing Transek Kuadrat di Stasiun 4 (ind/m²)
Line Transek 1
Line Transek 2
Line Transek 3
Tq1 Tq2 Tq3 Tq4 Tq5 Tq1 Tq2 Tq3 Tq4 Tq5 Tq1 Tq2 Tq3 Tq4 Tq5
0
0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
1
0
1
1
0
0
0
0
0
0

Keterangan : Tq = transek kuadrat

21

22

22
22

Lampiran 3. Kerapatan Lamun
Stasiun 1
Jenis lamun

Syringodium isoetifolium
Thalassia hemprichii

Stasiun 2
D=�� /A

satuan

5.5333 ind/m2

Enhalus acoroides

Thalassia hemprichii
Cymodocea rotundata
Halophila ovalis
Enhalus acoroides

satuan

78.5 ind/m2

59.66666667 ind/m2

Stasiun 3
Jenis lamun

D=�� /A

Jenis lamun

Stasiun 4
D=�� /A

Jenis lamun

77.8 ind/m2
4 ind/m2

4.3333 ind/m2
7.4 ind/m2

Thalassia hemprichii
Cymodocea rotundata
Halophila ovalis
Syringodium isoetifolium
Enhalus acoroides

D=�� /A

satuan

55.0666 ind/m2
4.8 ind/m2
1.4 ind/m2
19.8 ind/m2
12.6 ind/m2

Keterangan :
D = kepadatan bintang laut (ind/m²); �� = jumlah bintang laut (individu); A = luas petak pengambilan
contoh (m²)

23

Lampiran 4. Hasil perhitungan indeks Morisita

Jenis Asteroidea
Linckia laevigata
Protoreaster nodosus
Arcaster typicus
Culcita novaeguineae

N

∑X ∑X² (∑X)²

60
60
60
60

25
7
7
1

27
8
17
1

625
49
49
1

(∑X²)(∑X)
2
1
10
0

(∑X)²(∑X)
600
42
42
0

Id = n * (∑X²)-(∑X)/(∑X)²(∑X)
0,2000
1,4285
14,2857
0

Pola Sebaran
Seragam
Mengelompok
Mengelompok
Seragam

Keterangan : N = jumlah total transek kuadrat; � = Jumlah setiap individu di setiap kuadran = � + � + ….; � 2 =
jumlah total individu yang diperoleh = � ² + � ² + ….; �� = Indeks Sebaran Morisita; � = jumlah petak pengambilan contoh;
Hasil perhitungan Indeks Sebran Morisita dibandingakan dengan criteria sebagai berikut :
Id < 1 maka pola sebaran individu jenis bersifat seragam
Id = 1 maka pola sebaran individu jenis bersifat acak
Id > 1 maka pola sebaran individu jenis bersifat mengelompok

23

24

Lampiran 5. Hasil Analisis Koresponden (CA) bintang laut terhadap komunitas
lamun
a) Akar Ciri, Persentase Ragam, dan Komulatif Ragam pada Sumbu Faktorial
Akar Ciri (Eigenvalue)
Nilai
Ragam (%)
Komulatif Ragam (%)
Variabel
Linckia laevigata
Protoreaster nodosus
Arcaster typicus
Culcita novaeguineae
Thalassia hemprichii
Enhalus acoroides
Syringodium isoetifolium
Cymodocea rutundata
Halophila ovalis

Sumbu Faktorial
Sumbu 1
0,6834
86,19%
86,8734
koordinat
cosine2
0,4242
0,8835
0,2698
0,0955
-1,7080
0,9993
0,2698
0,0955
0,2231
0,3974
0,5132
0,5487
-2,0661
0,9960
0,5132
0,5487
0,5132
0,5487

Sumbu 2
0,1094
13,81%
13,9194
koordinat
cosine2
-0,1539
0,1164
0,8301
0,9044
-0,0429
0,0006
0,8301
0,9044
0,2746
0,6025
-0,4654
0,4512
-0,1297
0,0039
-0,4654
0,4512
-0,4654
0,4512

b) Matriks Kontingensi Jenis Bintang Laut dan Jenis Lamun
Nama Variable
Linckia laevigata
Protoreaster nodosus
Arcaster typicus
culcita schmideliana
Total

Th
14
4
2
1
21

Ea
9
0
0
0
9

Sr
0
0
5
0
5

Cr
1
0
0
0
1

Ho
1
0
0
0
1

Total
25
4
7
1
37

25

Lampiran 6. Hasil Analisis Koresponden (CA) bintang laut terhadap substrat
a) Akar Ciri, Persentase Ragam, dan Komulatif Ragam pada Sumbu Faktorial
Akar Ciri (Eigenvalue)
Nilai
Ragam (%)
Komulatif Ragam (%)
Variabel
Linckia laevigata
Protoreaster nodosus
Arcaster typicus
Culcita novaeguineae
pasir
debu
liat

sumbu faktorial
sumbu 1
0,0001
96,54%
96,5401
koordinat
cosine2
-0,0841
0,9849
-0,0204
0,7085
0,0298
0,9151
0,0747
0,9758
0,0146
0,9999
-0,2366
0,9216
-0,2404
0,9832

sumbu 2
0,0035
3,4580
3,4615
koordinat
cosine 2
-0,0104
0,0151
0,0131
0,2915
0,0091
0,0848
-0,0118
0,0242
-0,00002 0,000002
0,0690
0,0783
-0,0314
0,0167

c) Matriks Kontingensi Jenis Bintang Laut dan Fraksi Substrat dasar
Nama Variable
Linckia laevigata
Protoreaster nodosus
Arcaster typicus
Culcita novaeguineae
Total

Pasir
25
4
7
1
37

Debu
0
0
0
0
0

Liat
0
0
0
0
0

Total
25
4
7
1
37

26

Lampiran 7. Dokumentasi hasil penelitian jenis-jenis bintang laut dan lamun di Pulau
Sapudi

Culcita novaeguineae

Arcaster typicus

Protoreaster nodosus

Linckia laevigata

Enhalus acoroides

Halophila ovalis

Thalassia hemprichii

Cymodocea rutundata

Syringodium isoetifolium

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 11 April
1990 dari ayah Much. Zadi dan Ibu Murti Trisnowati.
Penulis adalah putra ketiga dari 4 bersaudara. Tahun 2008
penulis lulus dari MAN 2 Jakarta dan pada tahun yang sama
penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB)
melalui jalur undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah
menjadi asisten praktikum Ekologi Laut Tropis pada tahun
ajaran 2011/2012. Penulis aktif dalam Himpunan
Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB periode 2011/2012.
Penulis menyelesaikan studinya di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dengan melakukan penelitian yang berjudul
“Struktur dan Sebaran Komunitas Bintang Laut (Asteroidea) di Perairan Pulau
Sapudi, Kabupaten Sumenep, Madura” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Dietriech
G. Bengen, DEA dan Beginer Subhan, S.Pi, M.Si.