Kondisi radioekologi kelautan di perairan pesisir Sumenep Pulau Madura: status konsentrasi 137cs dan 239/240pu

KONDISI RADIOEKOLOGI KELAUTAN DI PERAIRAN
PESISIRSUMENEP PULAU MADURA: STATUS
KONSENTRASI 137Cs DAN 239/240Pu

KHOLILI

PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
TAHUN 2015 M/ 1436 H

KONDISI RADIOEKOLOGI KELAUTAN DI PERAIRAN
PESISIR SUMENEP PULAU MADURA: STATUS
KONSENTRASI 137Cs DAN 239/240Pu

Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta

Oleh:

KHOLILI
108096000034

PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
TAHUN 2015 M/ 1436 H

PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
HASIL KARYAN SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI
SKRIPSI ATAU KATYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU
LEMBAGA MANAPUN.

Jakarta, Januari 2015


KHOLILI
108096000034

ABSTRAK

KHOLILI. Kondisi Radioekologi Kelautan di Perairan Pesisir Sumenep Pulau
Madura: Status Konsentrasi 137Cs dan 239/240Pu. Dibimbing oleh Heny Suseno dan
Adi Riyadhi
Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran aktivitas 137Cs dan 239/240Pu
pada sampel air laut dan sedimen yang berasal dari Perairan Pesisir Sumenep
Pulau Madura. Sampel diambil di tiga titik yang berbeda berdasarkan pada titik
kordinat. Penentuan 137Cs dalam air laut menggunakan resin heksasinoferat dari
sejumlah air laut secara batch dan kolom yang kemudian diukur dengan
spektrometri gamma. Matrik penukar ion heksasianoferat
dibuat dengan
mereaksikan silika gel dengan kalium heksasianoferat dan tembaga klorida. Hasil
pengukuran 137Cs pada sampel air laut berkisar sebesar 0,005-0,09 mBq/l dan
sampel sedimen berkisar sebesar 0,05-1,75 mBq/l. Penentuan 239240Pu pada
sampel air laut menggunakan metode α-spektrometri. Prosedur analisis

melibatkan tahapan analisis yang komplek. Prekonsentrasi sampel bervolume
besar dan tahap pemurnian analit menggunakan resin penuikar ion sebagai
perlakuan awal sebelum analit dianalisis. Hasil pengukuran 239/240Pu pada sampel
air laut adalah berkisar sebesar 0,38-4.5 mBq/m3 dan sampel sedimen adalah
berkisar sebesar 0,001-0,037 Bq/kg. Hasil ini apabila dibandingkan dengan
penelitian 137Cs dan 239/240Pu di Perairan Laut Dunia maka Kondisi Radioekologi
Kelautan di Perairan Pesisir Sumenep Pulau Madura tidak terkontaminasi oleh
kecelakaan nuklir Fukushima Dai-ichi Jepang.
Kata kunci: Radioekologi, penukar ion heksasianoferat, air permukaan, sedimen,
spektrometri gamma, spektrometri alfa, 137Cs, 239/240Pu, Sumenep Madura

i

ABSTRACT

KHOLILI. Marine Radioecological Monitoring At Coastal of Madura Island:
The Consentration of 137Cs and 239/240Pu Guided by Heny Suseno and Adi
Riyadhi
In this research, Analyze of determination 137Cs and 239/240Pu have been
done in sea water and sediment from Madura Island. The samples have been

collected from three point sampling according to a cordinate. The
hexacyanoferrate ion exchanger matrix had been prepared by performing the
reaction of silica gel supported with potassium hexacyanoferrate and copper (II)
chloride. In order to test the performance of the ion exchanger, a batch experiment
was performed. A known activity of 137Cs was used to spike of seawater then
added the hexacyanoferrate resin. The separated hexacyanoferrate resin then
counted with gamma spectrometer. The result of determination 137Cs were 0,0050,09 mBq/l activities in sea water and the result of sediment were 0,05-1,75 mBq/l
. Determination of 239/240Pu from sea water samples used α-spectrometri.
Analysis procedures involved complex step of analytical technique.
Preconcentration from great volume sample and purification of analyte using ionexchange agent is needed as samples pretreatment before analyzed. The result of
239/240
Pu from samples sea water were 0,38-4,5 mBq/m3 and the result of sediment
samples were 0,001-0,037 Bq/kg. This result if a combine whit the result research
137
Cs and 239/240Pu in word coastal, so the condition of radioecology of
enviromental Madura Island have been not contamination by nuklir accident of
Fukushima Dai-ichi Japan.
Key word: Radioecology, ion exchanger of hexacyanoferrate, surface water,
sediment, gamma and alpha spektrometri, Radionuclide of 137Cs and 239/240Pu,
Madura Island


ii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji hanya bagi Allah SWT, yang telah memberikan
kekuatan, hidayah serta limpahan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian dan penulisan skripsi dengan judul “Kondisi Radioekologi Kelautan di
Perairan Pesisir Sumenep Pulau Madura: Status Konsentrasi 137Cs dan 239/240Pu”.
Dengan kerendahan hati penulis menyadari bahwa skripsi ini penuh dengan
ketidaksempurnaan sehingga penulis akan sangat berterima kasih apabila ada kritik
dan saran yang nantinya akan menjadikan skripsi ini lebih baik lagi. Skripsi ini bukan
hal yang istimewa, tapi penulis berharap skripsi ini memberikan wawasan dan
pengetahuan. Skripsi ini tidak mungkin selesai tanpa pihak-pihak yang terus
memberikan bimbingan serta dukungan kepada penulis, Oleh sebab itu penulis
ucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Agus Salim, M.Si selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. Dede Sukandar, M.Si selaku Selaku Ketua Program Studi Kimia Fakultas
Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Heny Suseno, M.Si selaku Pembimbing I yang telah memberi bimbingan
kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian dan skripsi ini.
4. Adi Riyadhi, M.Si selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan ilmu
pengetahuan dan bimbingan kepada penulis.
5. Dr. Makmur Murdahayu, M.si dan Wahyu Retno P, M.Si selaku pembimbing
iii

laboratorium yang telah memberikan bimbingan dan arahan penelitian dan
skripsi ini.
6. Siti Nurbayti, M.Si selaku Pembimbing Akademik dan seluruh Dosen
Program Studi Kimia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan
ilmu pengetahuan serta bimbingan kepada penulis selama mengikuti
perkuliahan, semoga ilmu yang telah Bapak dan Ibu berikan memberikan
manfaat dan mendapatkan keberkahan dari Allah SWT.
7. Ayah dan Ibu, yang selalu mendoakan, melimpahkan kasih sayang dan
memberikan dukungan moril serta materil kepada penulis.
8. Adikku tercinta Hannawiyah,

yang selalu


memotivasi penulis dan

memberikan dukungan serta semangat kepada penulis.
9. Teman-teman Mahasiswa Program Studi Kimia Angkatan 2008 yang selalu
mendukung dan memotivasi penulis.
Teman-teman Forum Mahasiswa Madura FORMAD Jabodetabek. Serta
semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, mudah-mudahan
bantuan, bimbingandan dukunganserta semangat dan do’a yang telah diberikan
menjadi pintu datangnya ridho dan kasih sayang Allah SWT di dunia dan akhirat.
Semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi khazanah ilmu
pengetahuan umumnya.
Jakarta, Januari 2015

Penulis
iv

DAFTAR ISI

Halaman
ABSTRAK ...................................................................................................... i

ABSTRACT ................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. x
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ................................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................................... 5
1.3. Hipotesis ........................................................................................................... 5
1.4. Tujuan Penelitian .............................................................................................. 6
1,5. Manfaat Penelitian ............................................................................................. 6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Laut .................................................................................................................. 7

2.2. Radioekologi ............................................................................................. 9
2.3. Radioaktivitas ........................................................................................... 11
2.4. Jenis-jenis Radionuklida ............................................................................ 12
2.4.1. Radionuklida Alam .......................................................................... 12
2.4.1.1. Radionuklida Primordial ...................................................... 12
2.4.1.2. Radionuklida Kosmogenik................................................... 13
2.4.2. Radionuklida Buatan ....................................................................... 15
2.4.2.1. Radionuklida dari Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir .......... 15
2.4.2.2. Radionuklida dari Percobaan Nuklir .................................... 16

v

2.5. PLTN Fukushima ..................................................................................... 16
2.6. Radiasi Alfa ............................................................................................. 21
2.7. Radiasi Gamma ........................................................................................ 22
2.8. Spektrometer Sinar Alfa ........................................................................... 24
2.9. Spektrometer Sinar Gamma ...................................................................... 25
2.10. Plutonium (Pu) ....................................................................................... 27
2.11. Cesium ................................................................................................... 30
BAB III


METODOLOGI PENELITIAN

2.3. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................... 32
3.2. Alat dan Bahan ......................................................................................... 32
3.2.1. Alat ............................................................................................... 32
3.2.2. Bahan ............................................................................................ 32
3.3.Prosedur Kerja ................................................................................................... 33
3.3.1. Analisis 137Cs .................................................................................. 33
3.3.2. Pre-Konsentrasi Pu .......................................................................... 33
3.3.2.1 Analisis Pu ........................................................................... 34
3.3.2.2 Elektrodeposisi .............................................................................. 35
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Perairan Pesisir Sumenep Pulau Madura ............................................. 36
4.2. Radiocesium-137(137Cs) ......................................................................................... 38
4.3. Radioplutonium-239/240(239/240Pu)..................................................................... 41
BAB V


KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan ............................................................................................................... 46
5.2. Saran ........................................................................................................................... 46

vi

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 48
LAMPIRAN ................................................................................................... 52

vii

DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Zona Laut Berdasarkan Kedalamannya .............................................. 9
Gambar 2. Peluruhan deret uranium ...................................................................... 13
Gambar 3. Ledakan Hidrogen ................................................................................ 19
Gambar 4. Bangunan reaktor sebelum dan sesudah Ledakan Hidrogen ............... 20
Gambar 4. Spektrometer Alfa ................................................................................. 24
Gambar 6. Skema Alat Spektrometer Gamma ....................................................... 26
Gambar 7. Skema peluruhan 137Cs.......................................................................... 31
Gambar 8. Tiga titik pengambilan sampel 137Cs dan 239/240 Pu ............................... 36

viii

DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Radionuklida Kosmogenik ....................................................................... 14
Tabel 2. Radionuklida Buatan ................................................................................ 15
Tabel 3. Kondisi Perairan Pesisir Sumenep Pulau Madura .................................. 37
Tabel 4. Aktivitas 137Cs Pada Air Laut .................................................................. 38
Tabel 5. Aktivitas 137Cs Pada Sampel Sedimen ................................................... 40
Tabel 6. Aktivitas 137Cs di beberapa perairan laut South China Sea (SCS) ........ 41
Tabel 7. Aktivitas 239/240Pu Pada Sampel Air Laut ................................................ 44
Tabel 8. Aktivitas 239/240Pu Pada Sampel Sedimen ............................................... 45

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Proses Pembuatan Catridge Filter .................................................... 52
Lampiran 2. Bagan Proses Pengendapan Plutonium (239/240Pu) ........................... 53
Lampiran 3. Foto Lokasi dan Proses Preparasi 137Cs dan 239/240Pu..................... 55

x

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kontaminasi zat radioaktif dilingkungan terjadi sejak tahun 1940-an,
mulai dari percobaan senjata nuklir, kecelakaan senjata nuklir dan buangan limbah
radioaktif di masa lalu. Prilaku zat radioaktif di lingkungan sangat bervariasi
antara lain: terdispersi di udara, terkoorpresipitasi dalam sedimen, dan
terakumulasi dalam biota dan aquatik dan sebagainya. Radioekologi berkembang
menjadi kajian ilmiah yang secara sistematis menelaah perilaku, distribusi dan
mekanisme perpindahan radionuklida dalam berbagai ekosistem (Dahlgaard,
1991).
Pemanfaatan radionulida buatan saat ini sudah sangat luas, sehingga
mengakibatkan lingkungan menerima konsekuensi ekologis berupa peningkatan
radiasi latar yang pada gilirannya berdampak pada kualitas lingkungan ditinjau
dari aspek radioekologi (Odum, 1993). Sejak saat itu, penelitian-penelitian
mengenai radionuklida banyak dilakukan di berbagai negara, termasuk di
Indonesia.
Isotop radioaktif dari cesium terlepas ke udara dari kebocoran/kecelakaan
pembangkit tenaga nuklir, limbah radioaktif dan percobaan senjata nuklir.
Radiocesium dapat bertahan lama di udara sebelum jatuh ke tanah. Di dalam tanah
maupun air, kebanyakan materi cesium larut dalam air. Masing-masing
radiocesium tersebut meluruh dengan memancarkan partikel beta (β) dan

1

gelombang radiasi gamma (γ). Radiocesium dapat berbahaya baik bagi
lingkungan maupun bagi manusia apabila terpapar dalam dosis yang tinggi.
Bencana tsunami yang telah menghancurkan beberapa kota di Jepang salah
satunya Fukushima, tempat salah satu pusat reaktor nuklir di Jepang. Kecelakan
nuklir Fukushima Jepang akibat gempa bumi yang diikuti tsunami pada tanggal
11 Maret 2011 telah melepaskan radionuklida produksi fisi seperti
hari),

134

Cs (t1/2 2,06 tahun) dan

137

131

I (t1/2 28,1

Cs (t1/2 30,2 tahun) ke atmosfer, daratan dan

lingkungan laut (M. Inoue et al, 2012). Pada bencana alam tersebut reaktor nuklir
Fukushima Jepang mengalami kerusakan yang parah disebabkan karena sistem
pendingin mengalami kegagalan akibat pasokan listrik tidak ada. Kegagalan
sistem pendingin tersebut menyebabkan terjadi pelelehan bahan bakar nuklir
sehingga berbagai

239/240

Pu hasil belah fisi terlepas kedalam air laut. Pelepasan

bahan bakar nuklir ini banyak tersebar ke wilayah utara dan juga tidak menutup
kemungkinan akan tersebar ke wilayah selatan dari tempat kejadian kecelakaan
tersebut. Penyebaran kontaminan radioaktif antara lain

131

I,

137

Cs telah terdeteksi

di bumi bagian utara (Amerika dan Eropa) (Bowyer et al, 2011).
Kecelakaan nuklir Fukushima tersebut, meskipun bukan berasal dari
ledakan nuklir, namun tetap memberikan dampak psikologis bagi penduduk
diseluruh dunia. Lepasan radionuklida

239/240

Pu di Samudera Pasifik tersebut

dikhawatirkan sampai ke perairan Indonesia melalui Arus Lintas Indonesia
(ARLINDO). Kekhawatiran ini disebabkan Indonesia terletak diantara dua
samudera besar di dunia, yaitu Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Dalam
keadaan normal, di atas pasifik bertiup angin pasat tenggara sepanjang tahun.

2

Tenaga gesekan angin ini berfungsi mendorong massa air Pasifik ke arah barat,
sehingga terjadilah penumpukan massa air di Pasifik bagian barat yang berada
dekat dengan Indonesia. Sebagai akibat terjadinya perbedaan tinggi permukaan
air, terjadilah perpindahan massa air dari Samudera Pasifik menuju Samudera
Hindia melalui rute Indonesia. Inilah yang disebut dengan Arus lintas Indonesia
(ARLINDO) (Wyrtki K. 1961).

Selama ini Indonesian Troughflow (ITF) lebih banyak diketahui
merupakan aliran dari Samudra Pasifik ke Samudera Indonesia melewati Selat
Makasar. Menurut Global Drifter Programi dari Agustus 1988 sampai
dengan Juni 2007 terindikasi Selat Karimata merupakan saluran penting
lainnya untuk ITF dari laut Cina Selatan ke perairan laut Indonesia.
Menurut fakta jumlah drifter yang melalui Selat Karimata lebih tinggi
(Susanto, et al, 2009).
Mengacu pada aliran laut di Jepang dimana karakteristik arus Kurosio
Current membawa massa air sepanjang pesisir Jepang bagian timut ke lautan
terbuka. Cabang dari Kuroshio juga membawa massa air ke lautan
Pasifik (Maderich, et al, 2013). Arus Samudra Pasifik

pada akhirnya masuk

ke perairan Jawa melalui ITF (Suseno, Heny. 2013). Namun demikian hasil
analisis

137

Cs

tidak

menunjukkan

peningkatan

dibandingkan

dengan

sebelum kecelakaan nuklir Fukushima. Disisi lain hasil penelitian ini juga
tidak terdeteksi

134

Cs yang juga merupakan karakter dari lepasan di

Fukushima. Disisi lain terdapat argumen dimana massa air laut dari Jepang
belum sampai diperairan laut Indonesia. Argumen ini menyatakan bahwa
3

waktu

transit

antara

Samudra Pasifik arah utara-barat dan wilayah

katulistiwa diestimasi sekitar 10 -15 tahun (IRSN, 2011). Sebagian dari massa
air Samudera Pasifik bagian utara mengalir ke Samudera Hindia melalui
wilayah

laut Indonesia menuju

belahan

selatan

Samudera Atalantik

dimana waktu perpindahannya diestimasi 30 – 40 tahun (IRSN, 2011).
Perairan Indonesia termasuk perairan Pulau Madura sangat dimungkinkan
menerima inputan radionuklida dari kecelakaan nuklir Fukushima Dai-ichi
Jepang. Radionuklida yang dimungkinkan masuk ke perairan Indonesia adalah
radionuklida 137Cs dan 134Cs (Suseno, Heny dan Prihatiningsih, W.R, 2014).
Kecelakaan nuklir Fukushima Jepang dimungkinkan juga melepaskan
radionuklida
Radionuklida

239/240

Pu yang merupakan produk fisi dari reaktor nuklir tersebut.

239/240

Pu merupakan produk fisi yang dapat berpindah dari satu

kompartemen ke kompartemen lingkungan lainnya. Karena kurang lebih 70,8%
permukaan bumi adalah lautan, maka radionuklida

239/240

Pu tersebut akan lebih

banyak jatuh dan tertampung di lautan, terutama Samudera Atlantik, Arktik dan
Samudera Pasifik yang letaknya berada relatif dekat dengan Chernobyl (IAEA,
2005).
Monitoring lingkungan di perairan Pesisir Sumenep Pulau Madura sangat
penting untuk dilakukan pasca kecelakaan nuklir Fukushima Dai-ichi Jepang
untuk mengetahui efek atau dampak dari kecelakaan nuklir tersebut khususnya
radionuklida

137

Cs dan

239/240

Pu yang merupakan produk fisi dari reaktor nuklir.

Disisi lain Baseline data mengenai radionuklida

137

Cs dan

239/240

Pu masih sedikit

4

di perairan Indonesia sehingga perlu dilakukan inventarisasi untuk mengantisipasi
kecelakaan-kecelakaan nuklir yang akan terjadi dimasa yang akan datang.

1.2 Rumusan Masalah
Aspek-aspek yang akan menjadi fokus penelitian ini adalah:
1. Radioisotop137Cs yang terlepas dari kecelakaan nuklir Fukushima
dimungkinkan memasuki perairan Indonesia termasuk Perairan Pesisir
Sumenep Pulau Madura.
2. Radioisotop

239/240

Pu walaupun bersifat partikel reaktif dan sulit tersebar

keperairan Indonesia tetapi proses geobiokimia seperti tersuspensi
sedimen menjadi partikulat yang larut dalam air memungkinkan terbawa
oleh arus laut dan memasuki perairan Indonesia, Disisi lain base line
data

239/240

kosentrasi

Pu di perairan laut Indonesia sangat sedikit sehingga data
239/240

Pu sangat diperlukan Indonesia dalam lingkungan laut

Indonesia.
3. Konsentrasi137Cs dan

239/340

Pu perlu dilakukan inventarisasi untuk

memperoleh data dasar (baseline) sehingga jika terjadi kecelakaan nuklir
di wilayah atau kawasan Asia Pasifik dapat diantisipasi dampaknya
terhadap lingkungan laut Indonesia.

1.3 Hipotesis
1. Konsentrasi

137

Cs di Perairan Pesisir Sumenep Pulau Madura masih

berada pada backround level atau hampir sama dengan konsentrasi
sebelum kecelakaan nuklir Fukushima Dai-ichi Jepang.

5

2. Konsentrasi 239/240Pu di Perairan Pesisir Pulau Madura masih berada pada
backround level atau hampir sama dengan konsentrasi sebelum kecelakaan
nuklir Fukushima Dai-ichi Jepang.

1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan:
1. Memperoleh base line data konsentrasi137Cs dan

239/240

Pu di Perairan

Pesisir Sumenep Pulau Madura setelah terjadi kecelakaan nuklir
Fukushima Dai-ichi Jepang.
2. Mengetahui kondisi radioekologi kelautan diperairan Pesisir Sumenep
Pulau Madura khususnya aktivitas

137

Cs dan

239/240

Pu pasca kecelakaan

nuklir Fukushima Jepang.

1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai kondisi
radioekologi kelautan di Perairan Pesisir Sumenep Pulau Madura dan menjadi
acuan data (Base Line) apabila terjadi kecelakaan nuklir di masa yang akan datang
sehingga kondisi perairan Indonesia tetap berada pada backround level aman
khususnya Madura serta dapat diperkirakan dampak yang mungkin ditimbulkan
pasca kecelakaan nuklir Fukushima Dai-ichi Jepang.

6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Laut
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat (2008) pengertian
laut adalah kumpulan air asin (dalam jumlah yang banyak dan luas) yang
menggenangi dan membagi daratan atas benua atau pulau-pulau. Bumi yang kita
huni dipenuhi air. Sekitar 79,8% dari permukaan bumi yang luasnya 510 juta
kilometer persegi merupakan wilayah laut dan samudra. Luas keseluruhan laut
dan samudra kurang lebih 361 juta kilometer persegi ( Hutabarat, et al, 2008).
Menurut cara terjadinya, ada tiga jenis laut, yaitu sebagai berikut (Kusuma
Atmadja dan Mochtar, 1978).
1. Laut Ingresi, yaitu laut yang terjadi karena adanya penurunan dasar
laut dengan kedalaman lebih dari 200 meter.
2. Laut Transgresi (laut yang meluas), yaitu laut yang terjadi karena
adanya peninggian permukaan air laut dengan kedalaman kurang dari
200 meter.
3. Laut Regresi (laut yang menyempit), yaitu penyempitan laut yang
terjadi karena adanya pengendapan oleh batuan (pasir, lumpur, dan
lain-lain) yang dibawa oleh sungai-sungai yang bermuara di laut
tersebut.
Sedangkan menurut letaknya, laut dibedakan menjadi tiga, yaitu sebagai
berikut (Kusuma Atmadja dan Mochtar, 1978).

7

1. Laut Tepi adalah laut yang berada di tepi benua.
2. Laut Pedalaman adalah laut yang yang hampir seluruhnya dikelilingi
oleh daratan benua .
3. Laut Pertengahan adalah laut yang berada di antara benua-benua.
Kedalaman dasar laut tidak sama. Tingkat-tingkat kedalaman dasar laut
dibedakan ke dalam bagian-bagian wilayah (zona) berikut (Kusuma Atmadja dan
Mochtar.1978).
1. Zona Litoral atau pesisir, yaitu daerah pantai yang terletak di antara
garis pasang naik dan pasang surut.
2. Zona Neritik (laut dangkal), yaitu dari batas garis pasang surut sampai
kedalaman 150 meter.
3. Zona Batial (wilayah laut dalam), yaitu wilayah laut yang memiliki
kedalaman antara 150 meter dan 1.800 meter.
4. Zona Abisal (wilayah laut sangat dalam), yaitu wilayah laut yang
memiliki kedalaman antara 1.800 meter dan 5.000 meter.
5. Zona Hadal (wilayah laut paling dalam), yaitu wilayah laut yang
kedalamannya lebih dari 5.000 meter.

8

Gambar 1. Zona laut berdasarkan kedalamannya (Belajar Kemdiknas. go.id)

2.2 Radioekologi
Semakin berkembangnya

ilmu

pengetahuan

dan

teknologi telah

melahirkan berbagai cabang kajian baru dalam neo-ekologi, salah satunya adalah
radioekologi yang secara khusus mempelajari unsur-unsur radioaktif yang ada di
lingkungan (Thayib, M.H. 1994). Kajian mengenai kelautan dengan radionuklida
pelacak dilakukan sekitar 45 tahun yang lalu dengan aplikasinya (Koczy. E.E,
1958).
Kontaminasi zat radioaktif di lingkungan terjadi sejak tahun 1940-an, saat
fisi percobaan senjata nuklir mulai terjadi, sehingga lingkungan radionuklida
buatan manusia telah menjadi masalah yang serius di Amerika Serikat sebagai
sikap

antisipasi

manusia

terhadap

kontaminasi

radioaktif

lingkungan.

Radioekologi berkembang menjadi kajian ilmiah yang secara sistematis menelaah
perilaku, distribusi dan mekanisme perpindahan radionuklida dalam berbagai
ekosistem (Dahlgaard, 1991).

9

Dalam radioekologi dipelajari radionuklida, radiasi yang dipancarkan serta
perilakunya di lingkungan (Thayib, M.H, 1994). Radionuklida itu sendiri adalah
zat yang mengandung inti tidak stabil. Radioekologi lebih khusus dibagi menjadi
dua kelompok (Thayib, M.H, 1994). Kelompok pertama mempelajari efek dari
radiasi pada individu, populasi, dan komunitas serta ekosistem. Kelompok kedua
melakukan perdekatan berdasarkan perilaku zat radioaktif yang terlepas ke
lingkungan dan bagaimana caranya komunitas dan populasi yang ada dalam
ekosistem mengendalikan distribusi zat radioaktif tersebut.
Lingkungan laut pesisir (coastal) merupakan suatu ekosistem yang khas
karena menjadi tempat akumulasi berbagai kontaminan yang berasal dari lepasan
langsung ke perairan laut, jatuhan dari atmosfer dan deposisi dari daratan (Thayib,
M.H, 1994). Perairan laut terdapat mata rantai makanan yang merupakan
pathways penting radionuklida dan berperan dalam proses penyebaran dan
pengakumulasian kontaminan pada masing-masing mata rantai. Dalam konteks
radioekologi, lingkungan laut pesisir merupakan badan air tempat akumulasi
radionuklida yang berasal dari lepasan langsung instalasi nuklir, cebakan batuan
induk, deposisi dari daratan hasil proses geomorfologi, jatuhan dari atmosfer dan
paparan sinar kosmis dari angkasa luar dan kecelakaan nuklir (Thayib, M.H,
1994).
Indonesia yang merupakan negara yang terletak diantara Samudera Pasifik
dan Samudera Hindia. Peristiwa kecelakaan nuklir Fukushima Dai-ichi Jepang
tersebut dikhawatirkan lepasan radionuklida masuk ke perairan Laut Indonesia.

10

Disisi lain baseline data radioaktivitas di lingkungan laut Indonesia belum banyak
tersedia.

2.3 Radioaktivitas
Radioaktivitas adalah kemampuan inti atom yang tidak stabil untuk
memancarkan radiasi dan berubah menjadi inti stabil. Proses perubahan ini
disebut peluruhan dan inti atom yang tidak stabil disebut radionuklida. Materi
yang mengandung radionuklida disebut zat radioaktif. Zat radioaktif biasa tersebar
ke lingkungan dalam bentuk gas, cairan ataupun berupa padatan. Kemudian
masuk ke lingkungan melalui berbagai jalur lintasan berupa udara, tanah dan air.
Kemudian masuk ke dalam tanaman dan hewan atau dengan penyiraman langsung
yang pada akhirnya akan sampai kepada manusia (Wiryosimin, 1995).
Pencemaran radioaktivitas lingkungan, baik yang melalui udara maupun
air, pada akhirnya akan dapat mencemari manusia. Menurut Thayib (1994) untuk
dapat mengetahui masalah pencemaran radioaktivitas lingkungan terlebih dahulu
harus

diketahui

kemungkinan

sumber-sumber

pencemaran

radioaktivitas

lingkungan, yang antara lain dapat berasal dari:
a. Penambangan, Pengolahan dan Proses Kimia Bahan Nuklir
b. Proses Pengkayaan dan Fabrikasi Bahan Bakar Nuklir
c. Operasi Reaktor Nuklir
d. Reprocessing Bahan Bakar
e. Pengelolaan Limbah Radioaktif
f. Proses Pembuatan Radionuklida
g. Penggunaan Radioisotop di Bidang Riset, Industri dan Kedokteran
11

h. Proses Dekontaminasi dan Dekomisioning suatu Fasilitas Nuklir
i. Akselerator
j. Pemakaian Bahan Bakar Fosil
k. Percobaan dan Ledakan Bom Atom

2.4 Jenis - Jenis Radionuklida
Secara garis besar di alam ini terdapat 2 jenis radionuklida, yaitu
radionuklida

alam

dan

radionuklida

buatan.

Radionuklida

alam

bisa

dikelompokkan menjadi radionuklida primordial, radiasi kosmik dan radionuklida
kosmogenik. Radionuklida buatan dapat dikelompokkan menjadi radionuklida
yang muncul karena pembangkitan listrik tenaga nuklir, radionuklida yang
diproduksi untuk kedokteran, dan industri serta radionuklida yang muncul akibat
percobaan nuklir (Wiryosimin, 1995).
Bahan radioaktif adalah bahan yang memancarkan radiasi α, β, γ atau
neutron. Pada tabel susunan berkala, dapat dilihat unsur yang memancarkan
radiasi yang disebut unsur radioaktif, ataupun yang tidak memancarkan radiasi
yang disebut unsur stabil. Sebagai contoh, Iodium dengan nomor massa 129 atau
131 sampai 135 adalah unsur radioaktif. Unsur radioaktif disebut juga
radionuklida (Wiryosimin, 1995).

2.4.1 Radionuklida Alam
2.4.1.1 Radionuklida Primordial
Radionuklida ini ada sejak terbentuknya alam semesta, dan terdiri dari
radionuklida deret uranium dengan induk uranium (238U) dan ujung akhir nuklida

12

stabil timbal (206Pb) (Gambar 2). Peningkatan kadar uranium, thorium dan
sejenisnya berada di air laut di daerah yang kaya radioaktivitas alam (Saqan, et al
2000). Karena uranium alam terdiri dari

238

U dan

235

U (dengan kelimpahan,

berturut-turut, sekitar 99.3% dan 0.7%) maka di bumi terbentuk radionuklida dari
kedua deret ini (Pentreath, R. J. 1988).

Sumber : (Uni Soviet Sciences Association: pengaruh radiasi terhadap manusia, diterbitkan 1988)

Gambar 2. Peluruhan Deret Uranium
2.4.1.2 Radionuklida Kosmogenik
Radionuklida Kosmogenik terbentuk melalui reaksi antara radiasi kosmik
dengan inti atom utama di lapisan atmosfer rendah seperti N, O dan Ar dihasilkan
sekitar 20 radionuklida. Penduduk bumi selalu dihujani radiasi kosmis baik yang
berasal dari bintang-bintang sekitar galaksi kita sendiri (galaksi Bimasakti), gugus
bintang pada galaksi-galaksi lain di luar bimasakti serta dari matahari yang

13

merupakan bintang terdekat dengan bumi (Fujitaka, K). Jumlah radionuklida yang
terbentuk berbeda-beda, bergantung pada intensitas radiasi kosmik dan
konsentrasi inti yang bereaksi dengan radiasi kosmik di atmosfir. Jika dilihat
dalam rentang waktu yang panjang maka jumlah radionuklida yang dihasilkan
akan seimbang dengan jumlah yang meluruh. Oleh karena itu kelimpahannya di
alam hampir konstan.
Apabila radiasi kosmis primer berenergi tinggi yang berasal dari galaksi
dan matahari memasuki atmosfer bumi, maka radiasi kosmis itu akan melakukan
reaksi nuklir dengan atom-atom yang terdapat dalam atmosfer seperti hidrogen
(H), carbon (C), oksigen (O), nitrogen (N), sulfur (S) dan fosfor (P). Dari reaksi
inti tersebut akan dipancarkan neutron, proton, pion dan kaon serta beberapa jenis
radionuklida yang disebut radionuklida kosmogenik (Tabel 1) (Fujitaka, K).
Tabel 1. Radionuklida Kosmogenik
Nuklida
Carbon 14

Tritium 3

Beryllium 7

Lambang Waktu paruh
14

3

Sumber

Aktivitas alami

C

5730 tahun

Interaksi sinar kosmik,
14
N(n,p)14C

6 pCi/g (0,22 Bq/g)
dalam bahan organik

T

12,3 tahun

Interaksi sinar kosmik
dengan N dan O;
spallation Bq/kg)
dari sinar kosmik, 6Li
(n,alpha) 3H

0,032 pCi/kg (1,2x10-3

Interaksi sinar kosmik
Dengan N dan O;

0,27 pCi/kg (0,01
Bq/kg)

7

Be

53,38 hari

14

2.4.2 Radionuklida Buatan
Radionuklida buatan dihasilkan dari pemanfaatan energi nuklir untuk
tujuan damai maupun militer. Dibawah ini akan dibahas jumlah radionuklida
akibat pembangkitan listrik tenaga nuklir maupun percobaan nuklir (Tabel 2)
(Fujitaka, K).
Tabel 2. Radionuklida Buatan
Nuklida

Lambang

Waktu paruh

Tritium

3

12,3 th

Dihasilkan dari uji senjata dan
reaktor fisi; fasilitas proses
ulang pabrik senjata nuklir

Iodine 131

131

I

8,04 hari

Hasil fisi diperoleh dari uji
senjata reaktor fisi, digunakan
dalam perlakuan medis masalahmasalah toroid

Iodine 129

129

I

1,57x107 th

Hasil fisi diperoleh dari uji
senjata reaktor fisi

Cesium 137

137

Cs

30,17 th

Hasil fisi diperoleh dari uji
senjata reaktor fisi

Stronsium 90

90

28,78 th

Hasil fisi diperoleh dari uji
senjata reaktor fisi

2,11x105 th

Hasil peluruhan 99Mo,
digunakan diagnose medis

2,41x104 th

Dihasilkan dari pembakaran
neutron 235U

H

Sr

Technetium 99` 99Tc

Plutonium 239

239

Pu

Sumber

2.4.2.1 Radionuklida Dari Pembangkitan Listrik Tenaga Nuklir
Industri yang berkaitan dengan pembangkitan listrik tenaga nuklir terdiri
dari penambangan uranium,pengolahan menjadi bahan bakar, fabrikasi bahan
bakar, pembangkitan listrik dalam reaktor, penyimpanan dan pengolahan ulang

15

bahan bakar bekas dan penyimpanan limbah radioaktif. Dari setiap tahapan
produksi bahan bakar tersebut akan dihasilkan bahan radioaktif, dengan jenis dan
jumlah yang berbeda-beda (Eisenbud dan Gesell, 1995).
2.4.2.2 Radionuklida Dari Percobaan Nuklir
Percobaan nuklir pada tahun 1945-1980 dilakukan di udara, setelah itu
hampir semuanya dilakukan dibawah tanah. Percobaan di udara dilakukan
sebanyak 423 kali; Amerika Serikat melakukan 193 kalipada tahun 1945-1962,
bekas Uni-Soviet sebanyak 142 kali pada tahun 1949-1962, Inggris sebanyak 21
kali pada tahun 1952-1953. Perancis 45 kali pada tahun 1960-1974, China 22 kali
pada tahun1964-1980 (Eisenbud dan Gesell, 1995).
Salah satu radionuklida yang dihasilkan adalah
tahun) dan
jatuhan

90

137

90

Sr (umur paro 28,6

Cs (umur paro 30,2 tahun) (Eisenbud dan Gesell, 1995). Jumlah

Sr mencapai puncak pada tahun 1963, dan sesudah itu semakin

berkurang. Bahan lepasan lainnya menunjukkan kecenderungan yang sama. Dosis
radiasi yang diakibatkan oleh percobaan nuklir yang diterima manusia di belahan
bumi utara relatif lebih besar karena lebih banyak percobaan nuklir dilakukan di
kawasan tersebut.

2.5 PLTN Fukushima
Saat gempa akbar Tohoku 2011 terjadi, hanya reaktor unit 1, 2 dan 3 yang
hidup, sementara reaktor unit 4, 5 dan 6 sedang dimatikan sesuai jadwal untuk
perawatan rutin. Episentrum gempa berada sejauh 179 km dari kompleks PLTN
Fukushima, namun patahan sumber gempanya tepat berhadapan dengan kompleks
ini. Model getaran Gutenberg-Richter memperlihatkan getaran yang dirasakan

16

kompleks PLTN Fukushima 1 mencapai skala 8 MMI dengan percepatan tanah
0.5 g. Percepatan ini hampir 3 kali lipat nilai percepatan maksimum desain reaktor
PLTN Fukushima (yakni 0.18 g) namun sejauh itu tidak ditemukan kerusakan.
Meski demikian getaran sangat keras ini menghancurkan menara jaringan
tegangan ekstra tinggi sehingga jaringan listrik setempat terputus.
Karena posisinya tepat di tepi laut, PLTN ini juga dilindungi dengan
dinding anti-tsunami (seawall). Namun dinding dirancang hanya untuk menahan
tsunami setinggi 4 meter produk gempa dengan Mw~8. Kala gempa akbar Tohoku
2011 terjadi, tinggi tsunami di Fukushima Jepang mencapai 8.5 meter yang secara
teoritis mampu menerjang ke daratan hingga sejauh 200 meter pada pantai yang
telah dilengkapi sistem anti-tsunami sekalipun. Ketinggian tsunami melampaui
dinding penahannya dengan mudah menerjang fasilitas PLTN Fukushima Dai-ichi
Jepang.
Disinilah rangkaian kegagalan demi kegagalan terjadi yang kemudian
berujung pada kecelakaan nuklir. Sistem kendali reaktor secara otomatis
mematikan semua reaktor kala gempa terjadi secara SCRAM. Putusnya jaringan
listrik membuat katup-katup aliran pendingin digerakkan oleh diesel cadangan,
namun ini pun hanya bertahan 1 jam karena diesel kemudian mati terendam air
tsunami. Aliran listrik lantas diambil alih aki selama 8 jam kemudian. Bantuan aki
dan diesel cadangan yang mobil segera didatangkan dari PLTN terdekat yang
tidak mengalami gangguan, namun butuh waktu 13 jam pasca gempa untuk
mencapai Fukushima Dai-ichi Jepang. Bantuan itu pun tidak langsung tersambung
dengan Fukushima karena konektornya berada di ruang basement yang terendam

17

air. Akibatnya reaktor unit 1 hanya mendapatkan pendinginan 9 jam pasca gempa
dan setelah itu pendingin berhenti. Sistem pendinginan darurat (ECCS atau
emergency core cooling system) juga tidak bisa diaktifkan akibat ketiadaan listik.
Konsekuensinya panas peluruhan tidak lagi bisa dialirkan keluar, sebuah kondisi
yang kadang diistilahkan sebagai LOHSA (Loss Of Heat Sink Accident) atau
LOFA (Loss Of Flow Accident) (EPA, 2007).
Akibat LOHSA, air pendingin dalam reaktor tidak bisa mengalir sehingga
terus terdidihkan sampai menguap oleh panas peluruhan. Penguapan intensif
membuat tinggi permukaan air reaktor terus menyusut dan satu saat sampai ke
titik dimana batang bahan bakar mulai tidak terendam air. Pada saat itu suhu
reaktor sudah mencapai 800

o

C. Tidak terendamnya batang bahan bakar

berimplikasi serius, sebab suhu reaktor terus naik hingga mencapai 1000 oC. Pada
titik ini, panas telah mampu melelehkan batang bahan bakar dan isinya, kondisi
yang secara teknis disebut LOCA (Loss Of Coolant Accident) (EPA, 2007).
Dalam fisika reaktor nuklir, LOCA menduduki hirarki tertinggi sebagai
kecelakaan terparah yang membuat sebuah reaktor bisa mati untuk selamanya
(EPA, 2007). Zirkonium yang meleleh lantas bereaksi secara kimiawi (reaksi
kimia biasa) dengan uap air panas menghasilkan zirkonium oksida dan gas
hidrogen, dimana dalam tiap kg zirkonium yang bereaksi diproduksi 500 liter gas
hidrogen. Terbentuknya gas hidrogen membuat tekanan di dalam reaktor
meningkat sehingga sempat mencapai 2 kali lipat di atas normal.
Pada titik tertentu, campuran uap air, udara dan gas hidrogen cukup
berbahaya karena sanggup menghasilkan detonasi (ledakan) yang ditandai dengan

18

pelepasan gelombang kejut. Setiap reaktor pada dasarnya memiliki perangkat
yang mampu mengalirkan gas hidrogen keluar sebelum konsentrasi berbahaya
tercapai. Namun ketiadaan aliran listrik membuat langkah ini tak berjalan,
sementara gas hidrogen telah dialirkan keluar memenuhi ruangan di antara lapisan
pengungkung pertama dan kedua. Sebagai akibatnya, ketika konsentrasi
berbahaya tercapai, ledakan hidrogen tidak bisa terelakkan.

Gambar 3. Ledakan Hidrogen (Digital Globe, 2011)
Gambar 3 menunjukkan ledakan yang terjadi pada unit 1 dan 3. Ledakan
hidrogen di reaktor unit 1 terjadi lebih dahulu dari reaktor lainnya menyebabkan
atap reaktor (lapisan pengungkung kedua) bolong. Namun inspeksi menunjukkan
lapisan pengungkung pertama masih utuh. Masalah di reaktor unit 1 ternyata juga
menghinggapi reaktor unit 3 yang berujung pada ledakan hidrogen dua hari
kemudian, sebagai bagian dari rangkaian kegagalan yang dimulai dengan matinya
ECCS sejak sehari sebelumnya. Meski ledakan menyebabkan bagian atas lapisan
pengungkung kedua juga bolong, namun lapisan pengungkung pertama tetap utuh.
Namun puing-puing ledakan berhamburan kemana-mana, termasuk merusak

19

sistem pendinginan reaktor unit 2. Akibatnya ECCS reaktor unit 2 juga mati, yang
membuat air dalam reaktor sepenuhnya kosong sehingga pelelehan juga mulai
terjadi. Akhirnya, ledakan hidrogen di reaktor unit 2 juga terjadi.

Gambar 4. Bangunan reaktor sebelum dan sesudah ledakan Hidrogen ( NHK, 2011)
Gambar 4 menunjukkan kondisi reaktor sebelum dan sesudah ledakan
hidrogen. Gas hidrogen juga terbentuk dan lama kelamaan mencapai konsentrasi
berbahaya sehingga ledakan hidrogen terjadi. Tingginya konsentrasi gas hidrogen
membuat kolam bahan bakar bekas terbakar empat jam kemudian. Ledakan telah
menyebabkan dinding lapisan pengungkung kedua bolong di dua lokasi, masingmasing seluas 64 meter persegi. Bolongnya dinding dan habisnya air dalam kolam
bahan bakar bekas menempatkan reaktor unit 4 sebagai reaktor paling berbahaya
selama rangkaian kecelakaan nuklir ini, karena nyaris tidak ada pelindung lagi
antara batang bahan bakar nuklir dengan lingkungan luas.
Akibat rangkaian kejadian ini, IAEA menempatkannya sebagai kecelakaan
nuklir dalam skala 4 INES dan kemudian dinaikkan menjadi skala 5 INES. Ini
disebabkan telah terjadinya pelelehan sebagian bahan bakar nuklir dalam reaktor,
yang secara akumulatif mencapai 3 % meski diestimasikan pada reaktor unit 1 dan
20

2 masing-masing telah terjadi 70 % dan 33 % bahan bakar rusak. Dalam skala 5
INES, kecelakaan nuklir PLTN Fukushima 1 setara dengan kecelakaan nuklir
PLTN Three Mile Island 1 di Pennsylvania (AS), yang sama-sama disebabkan
oleh LOCA (EPA, 2007). Radiasi di dalam kompleks PLTN Fukushima 1 sempat
menyentuh angka 1 juta mikro Sievert/jam alias 3 juta kali lipat di atas nilai
radiasi natural, meski kemudian turun menjadi 0.6 juta mikro Sievert/jam. Dalam
jarak 20 km dari reaktor, radiasi tercatat 330 mikro Sievert/jam sementara batas
aman bagi manusia adalah 25 mikro Sievert/jam (EPA, 2007). Inilah yang
menjadi dasar evakuasi penduduk dalam radius 20 km dari PLTN Fukushima 1
sementara penduduk dalam radius 20 hingga 30 km diminta untuk tetap tinggal di
dalam rumah. Namun pada jarak yang lebih jauh, seperti Tokyo, radiasi masih
berada di ambang batas normal.Tingkat radiasi di Tokyo tercatat 0.8 mikro
Sievert/jam (EPA, 2007).

2.6 Radiasi Alfa
Partikel alfa merupakan partikel yang bersifat energetik dengan muatan
listrik positif (α) terdiri dari inti helium yang mengandung dua proton dan dua
neutron serta memiliki sifat yang sama dengan inti helium. Menurut standar nuklir
partikel alfa melintas lebih lambat dalam bahan, hal ini menyebabkan adanya
kesempatan lebih lama untuk berinteraksi dengan atom sepanjang jalur
lintasannya dan akan memberikan sebagian energinya selama interaksinya dengan
bahan. Pertikel alfa kehilangan energi melalui interaksi dengan elektron atom
dalam medium penyerap. Energi yang dipindahkan ke elektron menyebabkan

21

elektron tereksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi atau seluruhnya terpisah
dari atom induknya (ionisasi). Radiasi alfa adalah radiasi ionisasi yang dihasilkan
dari peluruhan radioaktif atom-atom unsur yang bersifat tidak stabil. Unsur-unsur
yang dapat memancarkan pertikel alfa diantaranya adalah
226

241

Am,

236

Pu,

232

Th,

Ra (EPA, 2009). Contoh peluruhan radiasi alfa adalah peluruhan plutonium

menjadi uranium, dimana

2

adalah radiasi alfa (α) yang persamaan reaksinya

4

sebagai berikut (Martin et al, 2002).
92

238

→ 24

+ 90234 ℎ

Jika ditinjau dari bidang kesehatan, maka partikel alfa akan menyebabkan
kerusakan pada tubuh. Tingkat bahayanya bergantung pada jenis paparan yang
terjadi. Pemaparan internal jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan pemaparan
eksternal, karena pertikel alfa kehilangan energi dan tidak mampu untuk
menembus lapisan terluar dari kulit manusia. Apabila partikel alfa terhirup,
termakan atau masuk ke dalam aliran darah, maka jaringan-jaringan yang dilewati
oleh partikel alfa dapat mengalami kerusakan.

2.7 Radiasi Gamma
Radiasi

gamma

memiliki

wujud

sebagai

paket-paket

energi

elektromagnetik yang disebut foton (EPA, 2009). Radiasi atau foton gamma tidak
memiliki massa maupun muatan listrik. Radiasi gamma tidak mempunyai besaran
massa dan muatan listrik sehingga dikelompokkan ke dalam gelombang
elektromagnetik. Daya ionisasinya di dalam medium sangat kecil. Karena tidak
mempunyai muatan listrik maka sinar gamma tidak terbelokkan oleh medan listrik
yang ada di sekitarnya, sehingga daya tembusnya sangat besar dibandingkan

22

dengan daya tembus partikel alfa (α) atau beta (β). Kerena tingkat energi yang
tinggi, foton gamma bergerak dengan kecepatan sama dengan kecepatan cahaya,
yaitu sebesar 3x10 8 m/det dan dapat melintas ribuan meter sebelum melepas
energinya. Foton gamma dapat melintas menembus berbagai bahan, termasuk
jaringan manusia. Pancaran radiasi gamma biasanya terjadi apabila atom dari
suatu unsur yang bersifat radioaktif memiliki energi yang terlalu besar. Pancaran
radiasi gamma biasanya disertai dengan pancaran partikel beta. Radionuklida
yang memancarkan radiasi gamma diantaranya 60Co, 137Cs dan 99Tc (EPA, 2009).
Pada efek fotolistrik semua energi dari foton gamma dipindahkan ke
elektron atom yang terlepas dari atom induknya. Dalam hal ini foton diserap
seluruhnya. Sebaliknya efek hamburan compton terjadi apabila hanya sebagian
energi dari foton yang dipindahkan ke elektron atom. Oleh karena itu foton
dihamburkan dengan energi yang dikurangi. Pada medan listrik yang kuat dekat
partikel bermuatan, foton gamma yang berenergi bisa diubah menjadi pasangan
positron-elektron. Ini yang disebut dengan produksi pasangan dan kedua partikel
ini berbagi energi yang dimilikinya. Radiasi gamma tidak secara langsung
mengionisasi atom pada jaringan.
Radiasi gamma men-transfer energinya ke partikel-partikel atom seperti
elektron. Partikel-partikel yang telah menerima energi ini kemudian berinteraksi
dengan jaringan dan membentuk ion-ion. Hasil akhir dari efek radiasi gamma
sama dengan efek yang dihasilkan oleh partikel alfa maupun beta, namun karena
radiasi gamma memiliki energi yang lebih besar untuk berpenetrasi. Ionisasi

23

secara tidak langsung ini dapat mengakibatkan kerusakan pada jaringan yang
lebih dalam (Wiryosimin, 1995).

2.8 Spektrometri Sinar Alfa
Radionuklida pemancar alfa tidak mudah dideteksi karena sifat radisi alfa
yang sangat kuat mengionisasi medium yang dilaluinya sehingga “rate of energy
loss” nya sangat cepat dan partikel-partikel ini sudah berhenti pada jarak yang
pendek. Pengukuran radiasi alfa memerlukan prosedur pemisahan kimia yang
cukup rumit untuk memurnikan radionuklida (Infonuklir, 2012).

Gambar 5. Spektrometer alfa
Gambar 5 menunjukkan alat spektrometer alfa yang digunakan untuk
radionuklida pemancar alfa. Detektor yang biasa digunakan dalam spektrometri
alfa adalah detektor semikonduktor sawar muka silikon (silicon surface barrier).
Pengukuran dengan spektrometer alfa memerlukan sumber cacah yang tipis dan
rata untuk menghilangkan efek “self absorptio” (Infonuklir, 2012). Teknik
elektrodeposisi sangat baik sekali untuk preparasi radionuklida-radionuklida

24

pemancar alfa yang akan dicacah dengan spektrometer alfa. Dengan teknik ini
sumber bisa dibuat melekat secara merata dan tipis pada permukaan disc yang
akan dijadikan sebagai sumber cacah. Disamping itu pada spektrometer alfa,
untuk menghindari hilangnya energi alfa dalam udara tode antara sumber dengan
detektor, sumber cacah dan detektor ditempatkan dalam ruang vakum (vacuum
chamber). Sebelum dilakukan pencacahan, udara dalam vacuum chamber
dikeluarkan dengan bantuan pompa vakum. Tanpa divakum energi alfa akan
hilang kira-kira 1 keV per 0,001 atm per cm jarak sumber dengan detektor.

2.9 Spektrometer Sinar Gamma
Sinar gamma adalah radiasi gelombang elektromagnetik dengan panjang
gelombang yang sangat pendek (dalam orde Angstrom) yang dipancarkan oleh
inti atom yang tidak stabil yang bersifat radioaktif. Setelah inti atom
memancarkan partikel α, β¯ (elektron), β+ (positron), atau setelah peristiwa
penangkapan elektron, inti yang masih dalam keadaan tereksitasi tersebut akan
turun ke keadaan dasarnya dengan memancarkan radiasi gamma.
Spektrometer sinar gamma dapat digunakan untuk menganalisis sumber
radioaktif yang kemudian dapat digunakan untuk mengidentifikasi unsur atau
isotop-isotop radioaktif yang ada di dalamnya. Biasanya untuk mengidentifikasi
isotop radioaktif, spektrometer gamma dilengkapi dengan suatu perangkat lunak
untuk kalibrasi dan mencocokkan puncak-puncak energi foton (photopeak)
dengan suatu pustaka data nuklir. Untuk memahami puncak-puncak energi
spektrum maka dibutuhkan pengetahuan tentang interaksi radiasi sinar gamma
dengan materi.
25

Spektrometer Gamma merupakan alat analisis yang digunakan untuk
identifikasi radionuklida dengan cara mengamati spektrum karakteristik yang
ditimbulkan oleh interaksi radiasi dengan materi detektor (Gambar 6) (Martin et
al, 2002). Pada Spektrometer Gamma ini detektor yang digunakan adalah detector
HPGe. Detektor HPGe ini dapat berfungsi dengan baik sebagaimana yang
diharapkan jika detektor senantiasa didinginkan sampai temperatur -196oC.
Spektrometer gamma adalah salah satu teknik paling baik dan bermanfaat untuk
menganalisa radioisotop untuk berbagai macam sampel. Karena hasil pembacaan
energi sinar gamma bersifat diskrit dan unik untuk setiap radionuklida (Martin et
al, 2002).

Gambar 6. Skema Alat Spektrometer Gamma
Kelebihan spektrometer gamma antara lain:
1. Dapat menganalisa radionuklida yang berbeda-beda secara simultan dan
individual pada sampel yang sama

26

2. Tidak memerlukan prosedur kimia yang rumit dan mudah dalam
menyiapkan sampel
3. Tingkat validasi yang tinggi karena nilai perkiraan yang stabil dan proses
konfirmasi proses data menggunakan computer
4. Dapat mengukur tingkat radioaktivitas yang rendah, seperti sampel dari
lingkungan
Detektor semikonduktor Germanium adalah detektor yang paling sering
digunakan pada spectrometer gamma, misalnya untuk monitoring radioaktivitas,
analisis aktivitas dan penelitian. Detektor ini memiliki resolusi energi yang tinggi.
Interaksi sinar gamma dengan detektor menghasilkan pulsa-pulsa tersebut
diproses secara elektronik melalui serangkaian peralatan yang disebut perangkat
spectrometer gamma, maka sebagai hasil akhir akan didapatkan suatu spektrum
gamma. Analisis spektrometer gamma didasarkan pada interpretasi yang tepat dan
benar atas spektrum gamma yang dihasilkan dari pengukuran. Untuk dapat
membaca dan menginterpretas spektrum gamma dengan benar, maka perlu
diketahui terlebih dahulu proses pembentukan sp