Pemodelan Dinamika Sinyal Termoreseptor Dingin Terhadap Perubahan Suhu

PEMODELAN DINAMIKA SINYAL TERMORESEPTOR
DINGIN TERHADAP PERUBAHAN SUHU

FIRMAN AHMAD KIRANA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemodelan Dinamika
Sinyal Termoreseptor Dingin terhadap Perubahan Suhu adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, November 2015
Firman Ahmad Kirana
NIM G751130221

RINGKASAN
FIRMAN AHMAD KIRANA. Pemodelan Dinamika Sinyal Termoreseptor
Dingin terhadap Perubahan Suhu. Dibimbing oleh HUSIN ALATAS dan
IRZAMAN.
Termoreseptor merupakan reseptor di dalam tubuh yang peka terhadap
perubahan suhu. Termoreseptor mengirimkan sinyal listrik sebagai respon
terhadap suhu. Sinyal listrik dikirimkan dalam bentuk potensial aksi atau spike.
Spike yang muncul berulang-ulang dalam waktu singkat disebut dengan burst.
Jumlah spike tiap burst dan periode antarburst bergantung pada suhu yang
diterima oleh termoreseptor.
Tujuan penelitian ini adalah merancang model yang dapat menggambarkan
sinyal termoreseptor sebagai fungsi suhu. Telah ada model yang menggambarkan
sinyal tersebut dalam keadaan suhu tunak. Dalam penelitian ini, model itu
dimodifikasi fungsinya agar lebih sesuai dengan kenyataan dan agar dapat
menggambarkan sinyal akibat suhu yang berubah (suhu transien). Peubah dari
persamaan yang dimodifikasi dibuat sama nilainya dengan model sebelumnya

pada suhu tertentu lalu ditampilkan hasilnya pada berbagai suhu tunak. Pada suhu
di bawah 15 C, model yang telah dimodifikasi dapat menggambarkan sinyal yang
lebih baik daripada model sebelumnya.
Pada respon suhu transien perlu ada persamaan tambahan untuk dapat
menggambarkan sinyalnya. Pola perubahan jumlah spike tiap burst ketika
mendapat rangsangan suhu transien ditandai dengan adanya puncak respon
dinamik yang menghasilkan jumlah spike tiap burst yang lebih tinggi daripada
jumlah spike tiap burst setelah suhunya kembali tunak. Model persamaan yang
dirancang harus dapat menghasilkan fenomena tersebut. Dengan merekayasa
perubahan suhunya mengikuti jumlah spike tiap burst dan waktu terjadinya burst,
persamaan yang menghasilkan jumlah spike tiap burst yang tinggi di awal
terjadinya perubahan suhu telah berhasil dimodelkan. Persamaan tersebut dapat
menggambarkan sinyal termoreseptor sebagai fungsi waktu. Pola perubahan
jumlah spike tiap burst yang dihasilkan dari persamaan tersebut dibuat kurvanya
lalu dibandingkan dengan model perubahan jumlah spike yang telah ada. Hasilnya
ternyata mirip. Jadi, model yang dirancang dalam penelitian ini dapat dijadikan
rujukan untuk menggambarkan sinyal termoreseptor akibat suhu yang berubah.
Kata kunci: burst, spike, termoreseptor dingin

SUMMARY

FIRMAN AHMAD KIRANA. Modelling of Dynamic of Cold Thermoreceptor
Signal with Change of Temperature. Supervised by HUSIN ALATAS and
IRZAMAN.
Thermoreceptor is a receptor in the body which is sensitive to temperature.
It passes information in the form of electrical signal as a response of temperature
which is known as action potential or spike. Spikes which appear repeatedly in a
short time are known as burst. Number of spikes per burst and burst period
depend on its temperature.
The objectives of this research are designing a model which can describe
thermoreceptor signal as function of temperature. There was a model that
describes signal in a steady state temperature. In this research, the function which
is used in the model will be modified become more realistic and it can describe
signal due to change of temperature (transient temperature). The variable of
modified equation is set a same value with previous model at certain temperature
then the result is plotted in various temperatures. At temperature below 15 C, the
modified model can describe signal better then previous model.
On transient temperature response, there is needs addition equation. Number
of spikes per burst pattern due to change of temperature is signed with a peak
dynamic response which is produces higher number of spikes per burst. The
model must be able to produce these phenomena. By adjusting the temperature

allow number of spikes per burst, the equation which is produces high number of
spikes per burst is modeled successfully. The equation can describe
thermoreceptor signal as a function of time. The number of spikes per burst
pattern which are produced from this equation is gives similar result with the
result from literature. So, our model can be used as a reference to describe
thermoreceptor signal due to change of temperature.
Keywords: burst, cold thermoreceptor, spike

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidik an,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PEMODELAN DINAMIKA SINYAL TERMORESEPTOR
DINGIN TERHADAP PERUBAHAN SUHU


FIRMAN AHMAD KIRANA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biofisika

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Yessie Widya Sari, MSi

Judul Tesis

: Pemodelan Dinamika Sinyal Termoreseptor Dingin Terhadap


Nama

: Firman hmad Kirana

NIM

: G751130221

Perubahan Suhu

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Drlr



7

Ketua


Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Biofisika




Dr Mersi Kumiati, MSi

Tanggal Ujian:
16 November 2015

Tanggal Lulus:


2 g DEC 20\5

PRAKATA
Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Sholawat serta
salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam.
Keinginan penulis untuk menerapkan ilmu fisika pada biologi yang sudah
dipikirkan sejak kuliah sebelumnya dicoba diwujudkan dengan melanjutkan
kuliah di Biofisika IPB. Ketertarikan penulis di bidang teori mengantarkan penulis
melakukan penelitian dengan judul Pemodelan Sinyal Termoreseptor Dingin
terhadap Perubahan Suhu.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Husin Alatas dan Bapak
Irzaman selaku pembimbing, Bapak Firman dan staf IPB lainnya yang telah
membantu penulis mengurus administrasi dan menyiapkan keperluan penulis,
kedua orang tua penulis atas segala doa dan dukungannya, serta teman-teman
Biofisika 2013 atas segala bantuan dan kerja samanya. Di samping itu, penulis
juga menyampaikan terima kasih kepada calon istri penulis yang telah membantu
merapikan tampilan slide seminar penulis dan juga kesabarannya telah bersedia

menunggu penulis menyelesaikan studi S2-nya untuk dilamar sehingga
memotivasi penulis untuk bersegera menyelesaikan studinya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2015
Firman Ahmad

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

Ruang Lingkup Penelitian

1
1
1
2
2

2 PEMODELAN SINYAL TERMORESEPTOR PADA SUHU TUNAK
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

3
3
5
5
8


3 PEMODELAN SINYAL TERMORESEPTOR PADA SUHU TRANSIEN
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

9
9
9
10
16

4 PEMBAHASAN UMUM

17

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

19
19
19

DAFTAR PUSTAKA

20

LAMPIRAN

21

RIWAYAT HIDUP

23

DAFTAR GAMBAR
2.1 Rata-rata jumlah spike tiap burst sebanding dengan tumpang tindih
dua kurva
2.2 Hubungan fungsi linear dan tangen hiperbolik pada nilai b, A, dan Ω
2.3 Sinyal termoreseptor dalam berbagai suhu tunak
2.4 Interspike of interval histogram (ISIH)
2.5 Rata-rata jumlah spike tiap burst
3.1 Model perubahan suhu semu
3.2 Sinyal akibat perubahan suhu dari 40 C menjadi (a) 35 C,
(b) 30 C, (c) 25 C, (d) 20 C, dan (e) 15 C dengan a = 0,002
3.3 Letak terjadinya burst yang berdekatan
3.4 Kurva b  A cos(t ) dan 1  A cos(t ) dengan T = 8,75
3.5 Kurva T dengan a = 0,002
3.6 Nilai a sebagai fungsi suhu
3.7 Burst pertama yang terjadi ketika nilai T paling rendah
3.8 Sinyal akibat perubahan suhu dari 40 C menjadi (a) 35 C,
(b) 30 C, (c) 25 C, (d) 20 C, dan (e) 15 C dengan a sebagai
fungsi T
3.9 Jumlah spike tiap burst sebagai fungsi waktu
3.10 (a) Sinyal termoreseptor dan (b) jumlah spike tiap burst akibat
penurunan suhu secara bertahap
4.1 Perbedaan kurva yang nilainya diset linear dan yang diset tangen
hiperbolik pada rentang suhu 15 C hingga 40 C
4.2 Perbedaan kurva yang nilainya diset linear dan yang diset tangen
hiperbolik di bawah suhu 15 C

4
6
7
7
8
10
11
12
12
13
13
14

15
15
15
17
17

DAFTAR LAMPIRAN
1
2

Pengkodean pada Matlab dengan judul file Ttransient3.m
Pengkodean di Matlab dengan judul file kurva2.m

21
22

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Penelitian tentang indra manusia sudah berlangsung sejak lama. Indra
adalah penghubung antara dunia luar dengan diri manusia. Informasi yang
diterima/diukur oleh indra disampaikan melalui saraf ke sistem saraf pusat dalam
bentuk sinyal listrik. Kulit adalah salah satu dari pancaindra manusia. Walaupun
kulit dikenal sebagai indera peraba, sebenarnya banyak yang dapat diukur oleh
kulit, di antaranya adalah yang berkaitan dengan suhu. Reseptor di kulit yang
berkaitan dengan suhu dikenal dengan termoreseptor. Ada dua jenis
termoreseptor,
yaitu termoreseptor hangat dan termoreseptor dingin.
Termoreseptor hangat adalah termoreseptor yang peka terhadap suhu di atas suhu
tubuh normal dan juga peka terhadap kenaikan suhu. Termoreseptor dingin adalah
termoreseptor yang peka terhadap suhu rendah dan juga peka terhadap penurunan
suhu. Pola sinyal yang dihasilkan termoreseptor hangat pun berbeda dengan
termoreseptor dingin (Yong-Gang dan Liu 2007). Penelitian kali ini fokus
membahas termoreseptor dingin.
Telah ada model persamaan yang menghubungkan impuls saraf yang terjadi
dalam bentuk sinyal listrik terhadap suhu dalam keadaan tunak (Roper, P et.al.
2000). Model ini belum menggambarkan sinyal yang diperoleh akibat perubahan
suhu. Padahal termoreseptor sangat aktif ketika terjadi perubahan suhu. Ada juga
kurva yang menyatakan hubungan antara suhu dengan jumlah impuls yang
dihasilkan (Yong-Gang dan Liu 2007), tetapi informasi itu tidak menggambarkan
bentuk sinyal yang terjadi. Dalam penelitian ini, model Roper et al. (2000)
dimodifikasi sehingga pada suhu yang sangat rendah modelnya masih dapat
digunakan, terutama untuk menggambarkan sinyal termoreseptor dingin akibat
penurunan suhu. Perlu dibuat model tambahan untuk menggambarkan sinyal
akibat penurunan suhu karena perubahan sinyalnya tidak sederhana. Jumlah
impuls yang dihasilkan akan meningkat secara tajam lalu turun kembali dengan
jumlah impuls akhir lebih tinggi daripada jumlah impuls sebelum suhunya
diturunkan. Model tambahan tersebut, yang terkopel dengan persamaan yang
menggambarkan sinyal pada suhu tunak, harus dapat mengakomodasi fenomena
tersebut.
Perumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh suhu terhadap sinyal termoreseptor?
2. Bagaimana pengaruh perubahan suhu terhadap sinyal termoreseptor?
3. Bagaimana memodelkan persamaan diferensial yang dapat menggambarkan
sinyal tersebut dan apakah hasilnya sesuai dengan data eksperimen?

2
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah membuat model persamaan yang dapat
menggambarkan sinyal termoreseptor akibat pengaruh suhu, baik dalam keadaan
tunak maupun dalam keadaan transien.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada peneliti
tentang prenyampaian informasi dalam sistem saraf dan menjadi dasar teori untuk
pemodelan sinyal termoreseptor akibat perubahan suhu dalam bentuk yang
sederhana.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini meliputi pengetahuan tentang termoreseptor tetapi hanya
dibatasi pada termoreseptor dingin. Fenomena yang akan diteliti adalah pengaruh
sinyal termoreseptor dingin terhadap suhu dan perubahannya, dan juga membuat
model
matematikanya
dengan
menggunakan
persamaan
diferensial.
Perhitungannya dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak MATLAB
R2008b. Perintah yang digunakan untuk mencari hasil dari fungsi diferensial
adalah ode23tb yang cocok untuk model yang kaku (stiff) dengan akurasi yang
rendah.

2

PEMODELAN SINYAL TERMORESEPTOR
PADA SUHU TUNAK
Pendahuluan

Sistem saraf terdiri atas dua bagian: sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi.
Sistem saraf tepi dibagi menjadi sistem saraf sensori (afferent) dan sistem saraf
motorik (efferent). Sistem saraf sensori membawa informasi dari reseptor ke
sistem saraf pusat. Reseptor adalah struktur sensori yang mendeteksi perubahan
dalam lingkungan internal atau respon terhadap adanya rangsangan tertentu.
Reseptor dapat berupa sel saraf atau sel khusus pada jaringan lain (Martini dan
Nath 2009). Informasi yang berasal dari lingkungan diubah oleh reseptor menjadi
perubahan potensial listrik lalu disampaikan ke sistem saraf sensori kemudian
menuju sistem saraf pusat dalam bentuk sinyal listrik.
Setiap sel memiliki membran pembungkus sel yang dapat menjaga adanya
perbedaan potensial antara bagian dalam dan bagian luar membran sel. Potensial
membran pada sel yang tidak mengalami gangguan disebut dengan potensial
istirahat (resting potential). Potensial istirahat pada sel saraf adalah sebesar
-70 mV (Martini, Nath 2009). Ketika ada rangsangan yang cukup kuat pada
reseptor, akan terjadi potensial aksi, yaitu naiknya potensial sel saraf menjadi
30 mV tetapi setelah itu langsung turun kembali. Potensial aksi sering juga
disebut dengan istilah spike. Seringkali muncul spike berkali-kali dalam waktu
singkat. Burst adalah ritme pembangkitan beberapa spike dalam waktu yang
singkat, diikuti dengan periode inaktif (Roper et al. 2000).
Termoreseptor atau reseptor suhu adalah saraf ujung bebas yang terletak di
dermis, di otot rangka, di hati, dan di hipotalamus. Reseptor dingin berjumlah tiga
atau empat kali lebih banyak daripada reseptor hangat. Tidak ada perbedaan
struktur antara reseptor hangat dan dingin telah diteliti. Termoreseptor merupakan
phasic receptors, reseptor yang sangat aktif ketika suhu berubah, tetapi dengan
cepat menyesuaikan diri pada suhu yang stabil (Martini, Nath 2009).
Ada perbedaan pola sinyal yang dihasilkan antara termoreseptor hangat
dengan termoreseptor dingin. Frekuensi impuls tertinggi pada termoreseptor
hangat terjadi pada suhu yang lebih tinggi daripada termoreseptor dingin (Ring
dan de Dear 1991). Pada termoreseptor hangat, suhu yang lebih tinggi
menghasilkan frekuensi impuls yang lebih tinggi. Pola sinyal seperti ini tidak
seperti pada termoreseptor dingin.
Telah dilakukan penelitian tentang sinyal termoreseptor dingin akibat suhu
yang berbeda-beda dari 15 o C hingga 40 o C (Roper et al. 2000). Suhu yang diukur
adalah suhu yang tunak, yaitu yang tidak berubah terhadap waktu. Pengambilan
sinyal dilakukan setelah 2 menit setiap kenaikan 5 o C. Pada suhu rendah, sel saraf
mengalami burst berulang-ulang dengan panjang burst yang seragam. Pada suhu
yang lebih tinggi durasi burst lebih singkat dan periode antarburst berkurang. Jika
suhu dinaikkan cukup besar, pola spike menjadi tidak periodik. Kadang-kadang
dobel spike muncul dan kadang-kadang terjadi loncatan tanpa spike (skipping).
Untuk dapat menggambarkan sinyal termoreseptor dingin, Roper et al. (2000)
sudah menyederhanakan model ionik utuh (full ionic model) menjadi

4
d
 b  A cos(t )   1  A cos(t )  cos 
dt

(2.1)

A  A0  AT T

(2.2)

d
pada persamaan itu menggambarkan sinyal termoreseptor. Ada
dt
dua bagian utama dari persamaan (2.1), yaitu b  A cos(t ) dan 1  A cos(t ) .
Burst terjadi ketika bagian pertama lebih dari bagian kedua. Rata-rata jumlah
spike tiap burst sebanding dengan tumpang tindih (overlap) dari dua kurva yang
ditunjukkan pada Gambar 2.1, yaitu selama nilai b  A cos(t ) lebih tinggi
daripada 1  A cos(t ) (Roper et al. 2000).
Jumlah spike tiap burst dapat diatur dengan mengubah nilai b, A, atau Ω.
Nilai b berpengaruh terhadap posisi kurva bagian bawah, nilai A berpengaruh
terhadap amplitudo fungsi trigonometri, dan nilai Ω berpengaruh terhadap
frekuensinya. Periode antar-burst dapat diatur dengan mengubah nilai Ω. Roper et
al. (2000) mengeset nilai b, A, atau Ω sebagai fungsi dari suhu. Untuk
menghasilkan durasi burst dan periode antar-burst yang berkurang ketika suhu
dinaikkan secara kuasi-statik, Roper et al. (2000) telah memodelkan
kebergantungan termal b, A, atau Ω dengan fungsi linear.
b  b0  bT T

Nilai

   0  T T
dengan b0 , bT , A0 , AT ,  0 , dan  T adalah konstanta. Roper et al. (2000) telah

menentukan nilai b0 = 0,675, bT = 0,007, A0 = 0,3, AT = 0,001,  0 = -/150,
 T = /1500. Model tersebut mendekati simulasi numerik model utuh pada
rentang suhu 17,8 C hingga 40 C (Roper et al. 2000).

Gambar 2.1 Rata-rata jumlah spike tiap burst sebanding
dengan tumpang tindih dua kurva
Hasil dari sinyal termoreseptor sering ditampilkan dalam bentuk Interspike
Interval Histogram (ISIH). Histogram tersebut menunjukkan selang waktu antarspike baik di dalam burst maupun antar-burst. Dari data pada histogram tersebut,

5
jumlah spike tiap burst dan periode antar-burst dapat dihitung (Schäfer K et al.
1986).
Metode
Penelitian ini mengubah fungsi b, A, dan Ω terhadap suhu. Jika peubah b, A,
dan Ω diset linear terhadap T seperti yang dilakukan Roper et al. (2000), ada
masalah pada suhu yang sangat rendah, nilai A dan Ω menjadi negatif sehingga
pola sinyal yang dihasilkan sudah tidak sesuai lagi dengan yang diharapkan.
Durasi burst dan periode antar-burst justru akan menurun jika nilai A dan Ω
negatif seiring dengan penurunan suhu. Persamaan itu dapat dimodifikasi menjadi
fungsi eksponensial terhadap T untuk mencegah nilai A dan Ω menjadi negatif,
tetapi pada suhu tinggi dengan suhu yang sedikit berbeda menghasilkan perbedaan
sinyal yang besar. Termoreseptor dingin bekerja pada suhu di sekitar suhu tubuh
(suhu hangat). Untuk mengukur suhu yang lebih tinggi daripada suhu tubuh, yang
bekerja adalah termoreseptor hangat. Termoreseptor dingin kurang peka pada
suhu tersebut. Jadi, fungsi eksponensial kurang cocok untuk menggambarkan
sinyal termoreseptor dingin. Solusinya adalah memodifikasi peubahnya menjadi
fungsi tangen hiperbolik.
b  b0  bT tanhC (T  Tt ) 
A  A0  AT tanhC (T  Tt ) 

(2.3)

   0   T tanhC (T  Tt ) 
Fungsi ini memiliki dua asimtot. Untuk mencegah nilai Ω menjadi negatif,
nilainya diset nol pada suhu yang sangat rendah (negatif takhingga). Agar
mempunyai kemiripan dengan fungsi linear hasil dari rumusan Roper et al.
(2000), nilainya diset sama pada suhu tertentu. Persamaan-persamaan tersebut lalu
dimasukkan ke dalam perangkat lunak MATLAB untuk dicari hasilnya dengan
kode yang ditunjukkan pada lampiran.

Hasil dan Pembahasan
Pada fungsi linear, nilai  akan sama dengan nol pada suhu 10 C. Oleh
sebab itu, nilai peubah-peubah pada suhu 10 C diset sebagai nilai asimtot datar
pada fungsi tangen hiperbolik dari masing-masing peubah dan nilai asimtot datar
bagian atas diset sama dengan suhu 55 C (lihat Gambar 2.2) sehingga diperoleh
hubungan pada konstanta fungsi tangen hiperbolik sebagai berikut.
b0  bT  0,605

b0  bT  0,290
A0  AT  0,310
A0  AT  0,355
 0  T  0
 0   T  3 100

6

Gambar 2.2 Hubungan fungsi linear dan tangen hiperbolik pada nilai
b, A, dan Ω
Dari hubungan persamaan di atas diperoleh nilai konstanta yang baru untuk
b0 = 0,4475, bT = 0,1575, A0 = 0,3325, AT = 0,225,  0 = 3/200,  T = 3/200.
Pada suhu 15 C dan 40 C nilai b, A, dan Ω diset sama dengan fungsi linear yang
dibuat oleh Roper et al. (2000) sehingga diperoleh C = 0,055 dan Tt = 33,75. Jadi,
persamaan yang dihasilkan adalah sebagai berikut.
b  b0  bT tanh0,055(T  33,75) 
A  A0  AT tanh0,055(T  33,75) 

(2.4)

   0   T tanh0,055(T  33,75) 
Dengan mensubstitusi fungsi b, A, dan  ke dalam persamaan (2.1) dihasilkan
sinyal dengan variasi suhu tunak T, pada 40 C, 35 C, 30 C, 25 C, 20 C, dan
15 C seperti ditunjukkan pada Gambar 2.3.
Pada suhu yang lebih rendah ada lebih banyak spike tiap burst daripada pada
suhu tinggi dan periode antar-burst lebih panjang, sedangkan pada T = 40 C
terjadi skipping sehingga ada selang antar-spike yang dua kali lebih lama daripada
periodenya. Pada kasus ini, periode antar-burst pada T = 40 C adalah sekitar 100
ms. Skipping terjadi dengan waktu 200 ms (lihat Gambar 2.4). Pola skipping
menghasilkan multimodal interspike interval histograms (ISIHs) yang merupakan
kelipatan dari periode antar-burst (Longtin dan Hinzer 1996). Kenyataannya pada
suhu tinggi memang sering terjadi skipping yang biasanya dimodelkan dengan
adanya gangguan (noise). Namun model yang dirancang dalam penelitian ini tidak
memasukkan adanya gangguan sehingga skipping yang terjadi hanya sedikit. Jika
suhu dibuat lebih tinggi, tidak ada lagi spike yang muncul.

7

Gambar 2.3 Sinyal termoreseptor dalam berbagai suhu tunak

Gambar 2.4

Interspike of interval histogram (ISIH)

8
Model ini pada rentang suhu antara 15 C hingga 40 C hanya mempunyai
sedikit perbedaan dengan model Roper et al. (2000) yang menggunakan fungsi
linear. Hal ini terlihat dari jumlah spike tiap burst yang ditunjukkan pada Gambar
2.5. Perbedaan yang nyata terjadi pada suhu di bawah 15 C. Pada model linear
yang dirumuskan oleh Roper et al. (2000), jumlah spike tiap burst akan menjadi
sangat tinggi pada suhu yang semakin dekat dengan 10 C. Hal ini tidak realistis,
berbeda dengan persamaan yang menggunakan fungsi tangen hiperbolik, jumlah
spike tiap burst tidak meningkat secara signifikan pada suhu tersebut. Hal itu
dapat bermakna bahwa termoreseptor sudah kurang peka pada suhu ini.

Gambar 2.5 Rata-rata jumlah spike tiap burst

Simpulan
Pada suhu tunak, jumlah spike tiap burst akan lebih sedikit dan periode
antar-burst akan lebih singkat jika suhunya lebih tinggi. Pada suhu yang lebih
tinggi lagi, tidak ada lagi spike yang akan muncul. Pola seperti ini dapat
dimodelkan dengan menjadikan nilai b, A, dan Ω sebagai fungsi tangen hiperbolik
dari suhu. Model yang menggunakan fungsi tangen hiperbolik mempunyai
kelebihan dibandingkan model yang disusun oleh Roper et al. (2000) ketika
menggambarkan sinyal termoreseptor pada suhu yang sangat rendah, yaitu dapat
menghasilkan jumlah spike tiap burst yang tidak terlalu besar pada suhu tersebut.

3

PEMODELAN SINYAL TERMORESEPTOR PADA SUHU
TRANSIEN
Pendahuluan

Manusia memiliki baik termoreseptor hangat maupun dingin, masingmasing dengan kebergantungan firing rate yang berbeda terhadap suhu. Firing
rate saraf perasa hangat meningkat seiring dengan meningkatnya suhu. Di sisi
lain, firing rate saraf perasa dingin meningkat jika suhu diturunkan. Firing rate
termoreseptor bergantung secara statik terhadap suhu, dan secara dinamik
terhadap laju perubahan suhu (Yong-Gang, Liu 2007).
Sesaat setelah terjadi perubahan suhu, termoreseptor memberikan sinyal
yang berbeda dengan sinyal akibat suhu dalam keadaan tunak. Respon
termoreseptor memiliki bagian statik dan dinamik dan perubahan suhu tiba-tiba
menghasilkan puncak respon dinamik yang setelah beberapa detik akan kembali
pada respon statik saja. Pada termoreseptor dingin, puncak respon dinamik
muncul ketika suhunya menurun (Ring dan de Dear 1991).
Respon dinamik pada termoreseptor dingin terhadap penurunan suhu
digambarkan sebagai kenaikan frekuensi spike tiba-tiba yang diikuti dengan
penurunan kembali secara bertahap menuju respon statik hingga suhunya tunak
(Ring dan de Dear 1991). Adaptasi terhadap perubahan ini berlangsung selama
kurang dari satu menit (Lattore et al. 2011). Yong-Gang dan Liu (2007) telah
memodelkan pola perubahan frekuensi impuls tersebut. Dari model tersebut
dihasilkan kenaikan frekuensi impuls yang semakin besar jika penurunan suhunya
semakin besar.
Model yang dirancang oleh Yong-Gang dan Liu (2007) belum
menggambarkan sinyal termoreseptor, tetapi hanya menggambarkan pola
perubahan frekuensi impulsnya atau jumlah spike-nya. Model yang telah
dirancang pada bab sebelumnya juga belum menggambarkan sinyal yang
menghasilkan pola perubahan jumlah spike yang seharusnya. Oleh sebab itu, perlu
dirancang model tambahan yang dapat menghasilkan jumlah spike tiap burst yang
tinggi sebagai puncak respon dinamik ketika terjadi penurunan suhu.
Metode
Telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa pada suhu yang lebih tinggi
jumlah spike tiap burst akan lebih sedikit. Artinya jika suhunya dinaikkan akan
menghasilkan jumlah spike yang semakin sedikit dan jika suhunya diturunkan
akan menghasilkan jumlah spike yang semakin banyak. Akan tetapi, kenyataannya
tidak seperti itu. Ketika suhunya diturunkan, jumlah spike akan meningkat secara
tajam lalu turun kembali dengan jumlah spike akhir lebih tinggi daripada jumlah
spike sebelum suhunya diturunkan. Agar persamaan sinyal termoreseptor (lihat
persamaan (2.1) dan (2.3) pada bab 2) masih dapat digunakan, perubahan suhunya
diatur agar menghasilkan perubahan jumlah spike yang seperti itu dengan cara
mengatur perubahan suhunya kebalikan dari perubahan banyaknya impuls. Kami

10
memperkenalkan istilah suhu semu (pseudotemperature) untuk menyatakan suhu
yang perubahannya tidak monoton tetapi diatur mengikuti perubahan jumlah
spike. Istilah ini digunakan untuk membedakan dengan perubahan suhu yang
sebenarnya. Suhu semu mungkin dapat dianggap sebagai suhu yang kita rasakan.
Ketika terjadi penurunan suhu, suhu semu diset menurun secara tajam lalu
meningkat perlahan menuju suhu akhir yang nyata. Persamaan yang
menggambarkan model itu adalah





2

(3.1)
T  D 1  e a (t t0 )  T0
Persamaan tersebut mirip dengan fungsi Morse. Selama proses perubahan
suhu, nilai T menyatakan suhu semu dan t menyatakan waktu. Pengaruh konstanta
D dan To ditunjukkan pada Gambar 3.1. Konstanta To diperoleh dengan
mengurangi suhu akhir (Takhir) dengan D.
Persamaan (3.1) kemudian didiferensiasikan agar perubahan nilai T dapat
dinyatakan sebagai fungsi T tanpa mengandung peubah t di dalam persamaan.
Pada penelitian ini, nilai D ditetapkan sebesar seperempat dari perbedaan suhu
sebelum dan sesudah terjadi perubahan. Untuk mendapatkan sinyal yang bagus,
nilai a harus berubah berdasarkan suhu semu. Penurunan suhu semunya harus
disesuaikan dengan waktu terjadinya burst agar terjadi peningkatan jumlah spike
tiap burst yang tajam pada awalnya jika suhunya turun.
Hasil dan Pembahasan
Model awal yang menggambarkan sinyal pada suhu transien dinyatakan
dalam persamaan (3.1). Jika persamaan itu didiferensiasikan akan menjadi
dT
 2 D 1  e a (t t0 ) ae a (t t0 )
dt
 2a( D1 / 2 (T  T0 )1 / 2  (T  T0 ))





T
Tawal

Takhir
D

T0
t
Gambar 3.1 Model perubahan suhu semu

11

Dengan menyatakan w  (T  T0 )1 / 2 atau T  w 2  T0 akan menghasilkan
dw
 2a ( D 1 / 2 w  w 2 )
2w
dt
dw
(3.2)
 a( D1 / 2  w)
dt
Konstanta yang digunakan adalah sebagai berikut.
a = 0,002
D = ¼(Takhir – Tawal)
(3.3)
T0 = Takhir – D
(3.4)
Persamaan (3.2) terkopel dengan persamaan (2.1) yang menggambarkan
sinyal termoreseptor dengan nilai b, A, dan Ω yang berubah terhadap T sesuai
persamaan (2.4). Dari persamaan tersebut dihasilkan sinyal akibat perubahan
suhu. Gambar 3.2 menunjukkan hasil sinyal tersebut dengan suhu awal 40 C
menjadi suhu akhir 35 C, 30 C, 25 C, 20 C, dan 15 C.
Ternyata peningkatan jumlah spike tiap burst secara tajam saat awal
terjadinya perubahan suhu belum terlihat jelas kecuali pada perubahan dari 40 C
ke 15 C. Pada perubahan suhu dari 40 C ke 15 C terlihat peningkatannya
sangat tajam. Hal ini terjadi akibat penggabungan dua burst yang berdekatan.
Fenomena ini akan tampak lebih jelas dengan melihat kurva b  A cos(t ) dan
1  A cos(t ) yang merupakan bagian dari persamaan (2.1) seperti ditunjukkan
pada Gambar 3.3. Hal itu diselesaikan dengan mengatur nilai a karena nilai
tersebut berkaitan dengan waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya perubahan T.

Gambar 3.2 Sinyal akibat perubahan suhu dari 40 C menjadi
(a) 35 C, (b) 30 C, (c) 25 C, (d) 20 C, dan
(e) 15 C dengan a = 0,002

12
Semakin besar nilainya maka semakin cepat perubahannya. Oleh sebab itu,
nilainya perlu dibuat tinggi di awal agar jumlah spike tiap burst langsung
mengalami kenaikan sejak awal terjadi perubahan T. Ketika jumlah spike tiap
burst paling tinggi, nilai a dibuat menjadi rendah agar selang waktu terjadinya
burst menjadi lebih lama lalu jumlah spike turun perlahan menuju ke keadaan
tunak. Jadi, nilainya diset agar nilai T sudah turun sejak burst pertama setelah
terjadi perubahan suhu.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa jumlah spike tiap burst bergantung
pada nilai T. Oleh sebab itu, nilai a perlu dinyatakan sebagai fungsi dari T. Selain
itu, waktu terjadinya burst juga bergantung pada nilai T. Yang diharapkan adalah
terjadinya kenaikan jumlah spike tiap burst yang cukup tajam ketika suhunya
mulai berubah, maka nilai a perlu diset agar burst pertama terjadi pada saat T = T0
atau pada saat suhu semu terendah. Berikut ini adalah contoh perhitungannya.
Misalkan akan diset perubahan suhu dari 40 C ke 15 C, maka dari persamaan
(3.3) dan (3.4) diperoleh nilai D = 6,25 dan T0 = 8,75. Kurva b  A cos(t ) dan
1  A cos(t ) dengan T = 8,75 ditunjukkan pada Gambar 3.4.

Gambar 3.3 Letak terjadinya burst yang berdekatan

Gambar 3.4 Kurva b  A cos(t ) dan 1  A cos(t ) dengan T = 8,75

13
Pada Gambar 3.4 diketahui bahwa burst pertama terjadi saat t = 500. Nilai a
yang membuat T = T0 pada t = 500 adalah 0,002 seperti ditunjukkan pada Gambar
3.5. Dengan melakukan hal serupa pada perubahan suhu dari 40 C ke berbagai
suhu akhir diperoleh beberapa nilai a terhadap suhu yang setelah diregresi
menghasilkan persamaan yang ditunjukkan pada Gambar 3.6. Gambar 3.7
menunjukkan kurva b  A cos(t ) dan 1  A cos(t ) dengan nilai a yang berubah
terhadap suhu dan juga kurva T dari 40 C ke 15 C. Jadi, persamaan akhirnya
adalah
2
dw
dw
(3.5)
 0,0004e 0,1T D1 / 2  w atau
 0,0004e 0,1( w T0 ) D1 / 2  w
dt
dt

Gambar 3.5 Kurva T dengan a = 0,002

Gambar 3.6 Nilai a sebagai fungsi suhu

14

Gambar 3.7 Burst pertama yang terjadi ketika nilai T paling rendah
Gambar 3.8 menunjukkan sinyal akibat perubahan suhu dari 40 C menjadi
suhu akhir 35 C, 30 C, 25 C, 20 C, dan 15 C dengan menggunakan
persamaan (2.1) dan (2.4). Perubahan nilai T diatur mengikuti persamaan (3.5).
Dengan memodifikasi nilai a , peningkatan jumlah spike tiap burst di awal
perubahan suhu menjadi lebih terlihat. Penggabungan dua burst akibat perubahan
suhu dari 40 C menjadi 15 C tidak lagi terjadi karena penurunan nilai T terjadi
lebih cepat dibandingkan dengan sebelumnya seperti ditunjukkan pada Gambar
3.7 dengan garis putus-putus tebal (
).
Pada Gambar 3.8 terlihat bahwa jika penurunan suhunya lebih besar, jumlah
spike tiap burst akan terjadi peningkatan lebih besar. Walaupun peningkatan
jumlah spike tiap burst semakin besar ketika suhunya semakin rendah,
peningkatan ini dapat terkendali (tidak terlalu besar) karena persamaannya telah
dimodifikasi sebagai fungsi tangen hiperbolik seperti yang telah dijelaskan pada
bab sebelumnya. Jumlah spike tiap burst hanya meningkat sesaat lalu turun
kembali. Perubahan suhunya dimulai pada t = 0 ms. Semakin rendah suhu
akhirnya, kenaikan jumlah spike tiap burst akan semakin tinggi. Hal ini akan
terlihat jelas pada kurva jumlah spike tiap burst sebagai fungsi waktu yang
ditunjukkan pada Gambar 3.9. Kurva yang dihasilkan tersebut ada kemiripan
dengan yang disampaikan oleh Yong-Gang dan Liu (2007).
Pada analisis sebelumnya, suhu awal selalu diset sebesar 40 C. Jika
suhunya diturunkan secara bertahap, sinyal yang dihasilkan dapat dilihat pada
Gambar 3.10. Terlihat ada kenaikan jumlah spike tiap burst (SB) sesaat setelah
suhu berubah. Polanya mirip dengan data yang didapatkan oleh Braun et al.
(1980). Perbedaan yang ada dapat diselesaikan dengan mengatur kembali nilai
konstanta-konstanta yang digunakan. Puncak respon dinamik yang ditunjukkan
dengan jumlah spike tiap burst yang tinggi terjadi saat awal terjadinya perubahan
suhu. Puncak ini lebih terlihat pada suhu yang lebih rendah.

15

Gambar 3.8 Sinyal akibat perubahan suhu dari 40 C menjadi
(a) 35 C, (b) 30 C, (c) 25 C, (d) 20 C, dan
(e) 15 C dengan a sebagai fungsi T

Gambar 3.9 Jumlah spike tiap burst sebagai fungsi waktu

(a)

(b)

35 C - 30 C

30 C - 25 C

25 C - 20 C

20 C - 15 C

Gambar 3.10 (a) Sinyal termoreseptor dan (b) jumlah spike tiap burst akibat
penurunan suhu secara bertahap

16
Simpulan
Perlakuan pada termoreseptor dingin berupa suhu yang berubah dengan
suhu akhir yang lebih rendah menghasilkan respon dinamik yang ditunjukkan
dengan adanya kenaikan jumlah spike tiap burst yang tinggi di awal terjadinya
perubahan suhu. Respon dinamik tersebut telah berhasil dimodelkan dengan
menggunakan persamaan tambahan yang terkopel dengan persamaan sinyal
termoreseptor pada bab sebelumnya. Persamaan ini dapat menggambarkan sinyal
termoreseptor yang menghasilkan burst dengan jumlah spike yang tinggi di awal
terjadinya perubahan suhu.

4

PEMBAHASAN UMUM

Modifikasi fungsi b, A, dan Ω menjadi fungsi tangen hiperbolik dapat
menggambarkan sinyal termoreseptor pada rentang suhu yang lebih lebar. Model
ini pada rentang suhu antara 15 C hingga 40 C menggambarkan sinyal yang
mirip dengan model Roper et al. (2000) yang fungsi b, A, dan Ω diset linear
terhadap suhu seperti ditunjukkan pada Gambar 4.1. Pada suhu di bawah 15 C
perbedaannya terlihat lebih jelas seperti ditunjukkan pada Gambar 4.2. Jadi,
kelebihan dari model ini adalah jumlah spike tiap burst pada suhu yang sangat
rendah tidak terlalu besar. Periode antar-burst pada suhu yang sangat rendah juga
tidak terlalu besar dibandingkan dengan model Roper et al. (2000). Periode antarburst terkait dengan nilai Ω. Semakin kecil nilai Ω semakin besar periodenya.
Nilai Ω juga berpengaruh terhadap jumlah spike tiap burst. Pemodelan pada suhu
transien dirancang dengan merekayasa nilai ini. Nilai b dan A juga disesuaikan
nilainya.

Gambar 4.1 Perbedaan kurva yang nilainya diset linear
dan yang diset tangen hiperbolik pada
rentang suhu 15 C hingga 40 C

Gambar 4.2 Perbedaan kurva yang nilainya diset linear
dan yang diset tangen hiperbolik di bawah
suhu 15 C

18
Untuk memudahkan pembuatan model pada suhu transien, nilai b, A, dan Ω
diatur dengan mengubah nilai T karena nilai-nilai tersebut merupakan fungsi dari
T. Semakin kecil nilai T, semakin besar jumlah spike-nya. Untuk menghasilkan
jumlah spike yang tinggi, nilai T diturunkan lebih rendah daripada suhu akhir.
Besar penurunan nilai T yang dianggap suhu semu ditentukan dengan konstanta D
pada persamaan (3.3). Dalam penelitian ini, nilai D dirumuskan sebagai fungsi
dari perbedaan suhu awal dan suhu akhir. Untuk menghasilkan model yang lebih
sesuai dengan eksperimen, nilai D dapat diatur kembali. Dari Gambar 3.1 dapat
diketahui bahwa semakin besar nilai D akan semakin besar pula penurunan suhu
semunya yang mengakibatkan kenaikan jumlah spike-nya semakin besar. Jadi,
untuk meningkatkan kenaikan jumlah spike ketika terjadi perubahan suhu dapat
dilakukan dengan memperbesar nilai D. Akan tetapi, ketika nilai D diubah, nilai
a juga perlu diatur lagi hingga dapat menghasilkan sinyal yang bagus kembali,
sedangkan nilai T0 tidak perlu diatur ulang karena nilainya menyesuaikan dengan
nilai D.
Di sisi lain ada perbedaan dengan yang didapatkan oleh Braun et al. (1980).
Mereka mendapatkan hasil bahwa periode antar-burst menurun saat terjadinya
penurunan suhu, sedangkan pemodelan dalam penelitian ini menghasilkan periode
antar-burst yang meningkat saat terjadi penurunan suhu. Peningkatan ini terjadi
karena suhu di dalam model, yang diasumsikan sebagai suhu semu, dianggap
turun secara tajam saat terjadi penurunan suhu yang sebenarnya. Penurunan suhu
semu yang tajam ini mengakibatkan meningkatnya jumlah spike tiap burst
sekaligus meningkatnya periode antar-burst. Walaupun ada perbedaan dengan
hasil eksperimen, model ini cukup dapat menjelaskan sinyal termoreseptor secara
sederhana akibat perubahan suhu.

5

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

Model yang telah dimodifikasi dengan menggunakan fungsi tangen
hiperbolik dapat memberikan hasil yang mirip dengan model sebelumnya pada
rentang suhu 15 C hingga 40 C untuk menampilkan sinyal termoreseptor dingin
pada suhu tunak. Jumlah spike tiap burst yang dihasilkan tidak jauh berbeda
dengan model sebelumnya pada rentang suhu tersebut. Kelebihan model ini
adalah dapat menggambarkan sinyal dengan jumlah spike tiap burst yang tidak
terlalu besar pada suhu yang lebih rendah.
Selain dapat memodelkan sinyal termoreseptor pada suhu tunak, model ini
juga dikembangkan dengan persamaan tambahan yang terkopel sehingga dapat
menggambarkan sinyal saat terjadinya penurunan suhu dengan adanya
peningkatan jumlah spike tiap burst yang tinggi di awal perubahan suhu. Lalu
jumlah spike tersebut turun kembali menuju keadaan tunak dengan jumlah spike
akhir lebih tinggi daripada jumlah spike sebelum suhunya diturunkan.
Peningkatan jumlah spike tiap burst lebih terlihat pada penurunan suhu yang lebih
rendah, tetapi peningkatan ini tidak terlalu tinggi karena persamaannya telah
dimodifikasi sebagai fungsi tangen hiperbolik terhadap suhu. Pola perubahan
jumlah spike tiap burst tersebut sesuai dengan data eksperimen. Jadi, model yang
dirancang dalam penelitian ini dapat diusulkan sebagai rujukan untuk
menggambarkan sinyal termoreseptor akibat perubahan suhu.
Saran
Model ini masih memiliki kekurangan karena periode antar-burst ketika
terjadi penurunan suhu mengalami kenaikan, tidak seperti data eksperimen yang
justru mengalami penurunan. Oleh sebab itu perlu dibuat model yang dapat
mengakomodasi hal itu.

DAFTAR PUSTAKA
Braun HA, Bade H, dan Hensel H. 1980. Static, dynamic discharge patterns of
bursting cold fibres related to hypothetical receptor mechanisms. Pflügers
Archiv—European Journal of Physiology. 386(1):1–9.
Latorre R, Brauchi S, Madrid R, dan Orio P. 2011. A Cool Channel in Cold
Transduction. Physiology 26(4):273-285.
Longtin A dan Hinzer K. 1996. Encoding with bursting, subthreshold oscillations,
and noise in mammalian cold receptors. Neural Computation. 8(1):215–255.
Martini FH dan Nath JL. 2009. Fundamentals of Anatomy & Physiology. San
Fransisco (USA): Pearson Education.
Ring, JW dan de Dear, Richard. 1991. Temperature Transients: a Model for Heat
Diffusion through the Skin, Thermoreceptor Response and Thermal
Sensation. Indoor Air. 4(1):448-456.
Roper P, Bressloff PC, dan Longtin A. 2000. A Phase Model of TemperatureDependent Mammalian Cold Receptors. Neural Computation. 12(1):10671093.
Schäfer K, Braun HA, dan Isenberg C. 1986. Effect of Menthol on Cold Receptor
Activity. Analysis of Receptor Processes. The Journal of General Physiology.
88:757-776.
Yong-Gang Lv dan Liu J. 2007. Effect of transient temperature on thermoreceptor
response and thermal sensation. Building and Environment. 42(1):656-664.

21

LAMPIRAN
Lampiran 1 Pengkodean pada MATLAB dengan judul file Ttransient3.m
function fungsi = Ttransient3(t,y,k);
D = k(1);
T0 = k(2);
% akar(T-T0)=y(2)
T=y(2)^2+T0;
tstart = 0;
a=0.0004;
% A0=0.3;
% AT=0.001;
% b0=0.675;
% bT=0.007;
% omega0=-pi/150;
% omegaT=pi/1500;
% A=A0+AT*T;
% b=b0-bT*T;
% omega=omega0+omegaT*T;
A0=0.3325;
AT=0.0225;
b0=0.4475;
bT=0.1575;
omega0=3*pi/200;
omegaT=3*pi/200;
C=0.055;
Tt=33.75;
A=A0+AT*tanh(C*(T-Tt));
b=b0-bT*tanh(C*(T-Tt));
omega=omega0+omegaT*tanh(C*(T-Tt));
if t