Perubahan Kualitas Mutu Sawi Hijau (Brasicca juncea. L) Segar yang Disimpan pada Suhu Dingin dan Ruang.

Perubahan Kualitas Sawi Hijau (Brasicca juncea. L) Segar yang
Disimpan pada Suhu Dingin dan Ruang

MUHAMMAD INDARTO BUDIONO

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perubahan Kualitas
Sawi Hijau (Brasicca juncea. L) Segar yang disimpan pada Suhu Dingin dan
Ruang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Muhammad Indarto Budiono
NIM F14090090

ABSTRAK
MUHAMMAD INDARTO BUDIONO. Perubahan Kualitas Sawi Hijau (Brasicca
juncea. L) Segar Yang Disimpan Pada Suhu Dingin dan Ruang. Dibimbing oleh
Y. Aris Purwanto
Brasicca juncea L yang dikenal dengan nama sawi hijau adalah salah satu
tanaman sayuran yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Penanganan pasca
panen pada pasar tradisional dan pasar modern akan tanaman ini relatif berbeda.
Teknik penyimpanan pada pasar modern menggunakan penyimpanan pada suhu
rendah yaitu suhu 13oC sedangkan pada pasar tradisional menggunakan teknik
penyimpanan pada suhu ruang. Perbedaan teknik penyimpanan akan
mempengaruhi kualitas dari suatu produk. Penelitian ini berguna untuk melakukan
kajian perubahan kualitas sawi hijau yang disimpan pada suhu 13oC dan suhu
ruang. Parameter mutu yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah
perubahan kadar air bahan, kadar vitamin C, perubahan warna,jumlah koloni
bakteri, padatan terlarut dan susut bobot. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa

kualitas sawi hijau yang ditempatkan pada suhu 13oC lebih baik dari suhu ruang.
Laju pertumbuhan bakteri juga dapat diperlambat akibat dari penyimpanan suhu
rendah.
Kata kunci: sawi hijau, suhu ruang, suhu rendah, parameter mutu, kualitas

ABSTRACT
MUHAMMAD INDARTO BUDIONO. Quality Changes of Fresh Green Mustard
Stored at Low and Room Temperature. Supervised by Y. Aris Purwanto
Brasicca juncea L known as green mustard is one of vegetables which
many cultivated in Indonesia. Postharvest handling for it in traditional market and
modern market is relatively different. For modern market, low temperature
storage is commonly applied for this product. However, there is no cold storage
facility in traditional market. The fresh vegetables are placed in room temperature.
The applicated of different storage method may affect the quality of vegetables
during storage period. The objective of this study was to examine the different of
the quality changes of fresh green mustard stored at low temperature (13oC) and
room temperature. The changes in water content of material, vitamin C, colour,
colony bactery, soluble solid content and weight loss were observed during
storage period. The result shows that the quality of green mustard stored at low
temperature storage was better than that stored at room temperature. The growth

rate of bactery in green mustard stored at low temperature could be reduced.
Keywords: green mustard, room temperature, low temperature, pearl parameters,
quality

Perubahan Kualitas Sawi Hijau (Brasicca juncea. L) Segar yang
Disimpan pada Suhu Dingin dan Suhu Ruang

MUHAMMAD INDARTO BUDIONO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknik Mesin dan Biosistem

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


Judul Skripsi : Perubahan Kualitas Mutu Sawi Hijau (Brasicca juncea. L) Segar
yang Disimpan pada Suhu Dingin dan Ruang.
Nama
: Muhammad Indarto Budiono
NIM
: F14090090

Disetujui oleh

Dr.Ir. Y. Aris Purwanto M.Sc
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr.Ir Desrial, M.Eng.
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang
berjudul Perubahan Kualitas Sawi Hijau (Brasicca juncea L) Segar yang
Disimpan pada Suhu Dingin dan Ruang dilaksanakan di Laboratorium Teknik
Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian sejak bulan Agustus sampai September
2013.
Dengan telah selesainya karya ilmiah ini, penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Ir. Y. Aris Purwanto M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, saran dan kritik kepada penulis.
2. Pak Sulyaden, Sugihartati S.Si dan Baskara Edi Nugraha S.P selaku teknisi
laboratorium atas bantuan, arahan serta masukannya selama penelitian
berlangsung
3. Ayahanda Martono dan Ibunda Siti Awanah ,serta Kakakku tersayang Siti
Budi Asih, Siti Umi Asih Siti Kurni Asih, Siti Kurni Ati, M. Ibnu Hambali,
M. Munip Gozali, Rizal Ismail dan Yulita Iin Astiyawati atas doa, dukungan
dan semangat positifnya untuk penulis selama pembuatan karya ilmiah ini.
4. Teman sebimbingan Eti Supriati, Ririn Noeriyanti, Ivan Setiawan, dan
Pahlevi Manahara terima kasih atas bantuan selama penelitian berlangsung

5. Teman-teman seperjuangan Teknik Mesin dan Biosistem angkatan 46 terima
kasih atas kebersamaannya dan kenangan selama menimba ilmu di kampus
tercinta IPB.
6. Semua pihak yang secara langsung dan tidak langsung telah membantu
penulis selama penelitian dan penyelesaian karya ilmiah ini.
Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan memberikan
kontribusi nyata terhadap ilmu pengetahuan di Indonesia

Bogor, Januari 2015

Muhammad Indarto Budiono

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

i

DAFTAR TABEL

ii


DAFTAR GAMBAR

ii

DAFTAR LAMPIRAN

ii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2


Manfaat Penelitian

2

Ruang Lingkup Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Sawi Hijau

2

Penyimpanan Dingin

3


Parameter Perubahan Mutu

5

METODELOGI

8

Waktu dan Tempat

8

Bahan dan Alat

8

Prosedur Penelitian

8


HASIL DAN PEMBAHASAN

13

Kadar Air

13

Kadar Vitamin C

15

Perubahan Warna

16

Pengukuran Koloni Bakteri

19


Pengukuran Total Padatan Terlarut

21

Persentase Susut Bobot

22

SIMPULAN DAN SARAN

23

Simpulan

23

Saran

24

DAFTAR PUSTAKA

24

LAMPIRAN

26

RIWAYAT HIDUP

32

DAFTAR TABEL
1 Kandungan gizi sawi hijau dalam 100 gram

3

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

Sawi hijau
Bagan alir penelitian
Proses penyortiran sawi hijau
Filtrat sawi hijau
Perubahan warna filtrat setelah ditetesi iodine 0.01 N
Pegukuran warna daun sawi dengan Chromameter Minolta
Cawan petri yang berisi bakteri
Cara mengukur padatan terlarut pada daun sawi
Kadar air batang sawi hijau selama penyimpanan
Kadar air daun sawi hijau selama penyimpanan
Penurunan kadar vitamin C pada batang sawi
Indeks warna L daun sawi hijau selama penyimpanan
Indeks warna a daun sawi hijau selama penyimpanan
Indeks warna b daun sawi hijau selama penyimpanan
Jumlah koloni bakteri pada sawi hijau
Derajat brik batang sawi selama penyimpanan
Derajat brik daun sawi selama penyimpanan
Susut bobot sawi hijau suhu 13oC dan suhu ruang

3
9
10
11
12
12
13
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Peralatan yang digunakan dalam penelitian
Hasil pengukuran kadar air sawi hijau
Hasil pengukuran kadar vitamin C pada sawi hijau
Perubahan warna daun sawi hijau
Perubahan jumlah koloni bakteri pada sawi hijau
Perubahan jumlah padatan terlarut pada sawi hijau
Susut bobot sawi hijau selama penyimpanan

26
27
28
29
29
29
31

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil produk hortikultura yang
potensial. Banyak produk hortikultura seperti sayuran dan buah-buahan yang
tumbuh subur di Indonesia. Sayuran merupakan salah satu produk hortikultura
yang berperan dalam memenuhi kebutuhan gizi manusia, karena banyak
mengandung serat, vitamin dan mineral yang sangat dibutuhkan oleh tubuh
manusia. Konsumsi masyarakat Indonesia terhadap sayuran hijau mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Salah satu jenis sayuran hijau yang digemari
oleh masyarakat Indonesia adalah sawi hijau. Menurut Pradani dan Hariastuti
(2009), sawi adalah tumbuhan dari marga Brassica yang dimanfaatkan daun atau
bunganya sebagai bahan pangan (sayuran), baik segar maupun yang diolah. Sawi
hijau tergolong sayuran yang banyak digemari oleh masyarakat karena rasanya
yang renyah dan segar dengan sedikit rasa pahit.
Sawi hijau adalah sayuran daun yang mudah rusak karena pengaruh mekanis,
fisiologis, fisiokimia maupun kimiawi sehingga kandungan vitamin dan zat gizi
lainya yang terkandung di dalam sawi hijau dapat berkurang. Kandungan air yang
cukup tinggi pada sawi hijau memungkinkan terjadinya aktivitas enzimatis dan
mikroorganisme yang dapat menyebabkan terjadinya pembusukan pada produk.
Kondisi ini merupakan kendala utama dalam proses penyimpanan maupun
pendistribusiannya. Selain faktor enzimatis dan mikroorganisme, kerusakan yang
terjadi pada sawi hijau juga dapat terjadi selama proses penyimpanan. Menurut
Acedo (2010), suhu optimum untuk penyimpanan sawi hijau adalah suhu 13oC.
Apabila sawi hijau disimpan pada suhu dibawah suhu tersebut maka akan terjadi
kerusakan fisiologis.
Perbedaan metode penyimpanan pada sawi hijau dapat menyebabkan
perbedaan kualitas yang cukup signifikan antara penyimpanan dingin dan
penyimpanan suhu ruang. Perbedaan mutu tersebut meliputi kadar vitamin, kadar
air, kenampakan fisik, jumlah koloni bakteri dan kadar kandungan gizi lainya.
Mutu simpan sayuran sangat erat kaitanya dengan proses respirasi dan transpirasi
selama penanganan dan penyimpanan dimana akan menyebabkan susut pasca
panen seperti susut fisik yang diukur dengan berat, susut kualitas karena
perubahan kenampakan, cita rasa, warna atau tekstur yang menyebabkan bahan
pangan kurang disukai konsumen dan susut nilai gizi yang berpengaruh terhadap
kualitas sayuran. Pada umumnya komoditas yang mempunyai umur simpan
pendek mempunyai laju respirasi tinggi atau peka terhadap suhu rendah
(Tranggono 1990). Kebanyakan konsumen saat ini lebih memperhatikan faktor
harga daripada faktor kualitas. Konsumen lebih memilih sawi hijau dengan harga
murah yang dijual di pasar tradisional dari pada sawi yang dijual dipasar modern.
Konsumen cenderung tidak memperhatikan kandungan gizi yang dikandung
dalam sawi hijau dan berapa jumlah koloni bakteri yang terdapat di dalam produk
tersebut yang dapat menyebabkan penyakit.

2
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengamati dan membandingkan kualitas sawi hijau yang disimpan pada
penyimpanan dingin dan penyimpanan pada suhu ruang.
2. Menganalisis pengaruh suhu penyimpanan dingin terhadap perubahan kualitas
sawi hijau.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui besarnya penurunan mutu sawi
hijau yang disimpan pada penyimpanan dingin dan penyimpanan suhu ruang.
Selain itu, hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
bagi konsumen sayur dalam membeli sayuran baik untuk distributor maupun
pedagang.
Ruang Lingkup Penelitian
Sawi hijau yang diteliti diberikan dua perlakuan penyimpanan yang berbeda
yaitu penyimpanan dingin dengan suhu sebesar 13oC dan penyimpanan pada suhu
ruang. Setiap hari dilakukan pengamatan dan pengukuran pada kedua bahan yang
meliputi pengukuran kadar air, kenampakan warna berdasarkan nilai kecerahan
(L), nilai a dan nilai b, jumlah koloni bakteri, jumlah padatan terlarut pada bahan
(Brix) serta jumlah kadar vitamin C yang dikandung dalam bahan. Kadar air yang
dianalisis meliputi kadar air batang dan daun sawi sedangkan kenampakan warna
yang diamati adalah kenampakan warna daun sawi. Pengukuran kadar air
dilakukan dengan menggunakan metode oven dan kenampakan warna dilakukan
dengan menggunakan alat ukur Chromameter Minolta. Pengukuran jumlah koloni
bakteri diukur pada bagian batang dan daun sawi. Pengukuran jumlah koloni
bakteri dilakukan dengan menggunakan metode hitungan cawan (Total Plate
Count). Kadar vitamin C yang dianalisa adalah kadar vitamin C pada batang sawi.
Metode yang diterapkan untuk mengukur kadar vitamin C dalam bahan adalah
dengan menggunakan metode titrasi Iodin. Penelitian dihentikan pada hari
keempat setelah penyimpanan untuk sawi hijau yang disimpan pada suhu 13oC
maupun suhu ruang sebab sawi hijau yang disimpan pada suhu ruang sudah
mengalami pembusukan dan tidak memungkinkan untuk diteliti.

TINJAUAN PUSTAKA

Sawi Hijau
Sawi adalah tumbuhan dari marga Brasica yang dimanfaatkan daun atau
bunganya sebagai bahan pangan (sayuran), baik segar maupun diolah. Tanaman
sawi dapat tumbuh dengan baik di tempat yang berhawa panas maupun berhawa
dingin. Meskipun demikian, tanaman sawi dapat tumbuh dengan baik apabila di
tanam di dataran tinggi dengan ketinggian antara 100 meter sampai 500 meter dpl
dengan derajat keasaman (pH) tanah antara pH 6 sampai pH 7. Sawi mencakup

3
beberapa spesies Brasica yang kadang kadang mirip satu sama lain. Di Indonesia
penyebutan sawi biasanya mengacu pada sawi hijau.

Gambar 1 Sawi hijau
Kandungan zat gizi yang terdapat pada sawi hijau pun cukup lengkap
sehingga dapat dikonsumsi dengan sangat baik untuk mempertahankan kesehatan
tubuh. Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, kandungan gizi sawi
hijau yang segar seperti pada Tabel 1.
Tabel 1 Kandungan gizi sawi hijau dalam 100 gram
No
Komposisi
Jumlah
1
Energi (kilokalori)
20
2
Protein (gram)
1.7
3
Karbohidrat (gram)
3.4
4
Lemak (gram)
0.4
5
Kalsium (miligram)
123
6
Fosfor (miligram)
40
7
Zat besi (miligram)
1.9
8
Vitamin A (IU)
10
9
Vitamin B (miligram)
0.04
10
Vitamin C (miligram)
3
Sumber: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2001)

Penyimpanan Dingin
Karakteristik penting produk pascapanen sayuran adalah bahan tersebut
masih hidup dan masih melanjutkan fungsi metabolisme. Akan tetapi metabolisme
yang berlangsung tidak sama dengan tanaman induknya yang tumbuh dengan
lingkungan aslinya, karena produk yang telah dipanen mengalami berbagai bentuk
kondisi seperti hilangnya pasokan nutrisi, proses panen sering menimbulkan
pelukaan dan proses pengemasan dan transportasi dapat menimbulkan kerusakaan
mekanis lebih lanjut. Untuk mempertahankan mutu suatu produk sayuran agar
tetap segar, beberapa perlakuan diterapkan seperti pengaturan suplai O2 dan CO2,
pengemasan yang baik serta penempatan bahan dengan suhu rendah.

4
Penyimpanan dingin adalah penyimpanan bahan produk pada suhu di atas
titik beku yaitu di antara -2oC dan 16oC. Suhu lemari es umumnya berkisar antara
4-7oC (Tjahjadi 2011). Tujuan penyimpanan suhu dingin (cold storage) adalah
untuk mencegah kerusakan tanpa mengakibatkan pematangan abnormal atau
perubahan yang tidak diinginkan sehingga mempertahankan komoditas dalam
kondisi yang dapat diterima oleh konsumen selama mungkin (Tranggono 1990).
Pengaruh penyimpanan dingin terhadap sayuran yaitu:
1. Penurunan suhu akan mengakibatkan penurunan proses kimia, mikrobiologi
dan biokomia yang berhubungan dengan kelayuan (senescence), kerusakan
(decay), pembusukan dan lain-lain
2. Penyimpanan produk sayuran pada suhu rendah akan mengurangi proses
pertumbuhan yang tidak dikehendaki seperti pertumbuhan tunas atau akar.
3. Pada suhu di bawah 0oC air akan membeku dan terpisah dari larutan
membentuk es, yang mirip dalam hal air yang diuapkan pada pengeringan atau
suatu penurunan aw (Buckle 1985)
Daya tahan simpan sayuran yang disimpan dengan pendinginan berkisar
antara beberapa hari sampai beberapa minggu tergantung pada jenis sayurannya.
Tiap jenis sayuran mempunyai sifat karakteristik penyimpanan tersendiri. Sifat –
sifatnya selama dalam penyimpanan dipengaruhi oleh faktor varietas, iklim
tempat tumbuh, kondisi tanah, cara budidaya tanaman, derajat kematangan dan
cara penanganan yang dilakukan sebelum disimpan. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam melakukan penyimpanan dingin agar kualitas produk pangan
yang disimpan tetap terjaga adalah :
1. Pendinginan pendahuluan
2. Pembersihan, pembuangan bagian bagian yang tidak dikehendaki, grading dan
sortasi serta pengemasan
3. Pemilihan suhu penyimpanan
4. Suhu ruangan penyimpanan harus dipertahankan konstan (Tjahjadi, 2011)
Kelembapan nisbi dalam ruang penyimpanan dingin secara langsung
mempengaruhi mutu sayuran yang disimpan. Jika suatu ruang penyimpanan
memiliki kelembapan nisbi yang rendah maka akan terjadi pelayuan atau
pengkriputan pada sayuran yang disimpan. Hal ini disebabkan oleh keluarnya air
dari dalam produk keluar lingkungan. Sebaliknya, apabila kelembapan nisbi
didalam ruang penyimpanan tinggi maka akan merangsang proses pembusukan
pada sayuran karena kemungkinan terjadinya kondensasi air.
Sawi hijau merupakan salah satu sayuran yang tidak tahan terhadap suhu
udara yang tinggi. Suhu lingkungan yang tinggi dapat menyebabkan proses
respirasi pada sawi hijau meningkat sehingga kandungan air didalam bahan ikut
keluar dari dalam sel yang mengakibatkan sawi menjadi layu. Pengelolaan suhu
yang baik mulai dari panen dan berlanjut pada periode pendistribusianya akan
mampu memaksimalkan retensi mutu dan masa simpan. Selama pendinginan, air
dalam produk berubah dari cair menjadi gas (uap air). Perubahan fase ini disertai
dengan pengambilan panas dari produk sehingga suhu produk menjadi turun. Laju
pendinginan suatu produk ditentukan oleh banyak faktor diantaranya adalah
perbedaan suhu dari produk dan pendingin atau coolant.

5
Parameter Perubahan Mutu
Sayuran serta hasil pertanian pada umumnya, apabila setelah dipanen tidak
ditangani dengan baik akan mengalami perubahan-perubahan akibat pengaruh
fisiologis, fisik, kimiawi, parasitik atau mikrobiologis. Beberapa perubahan
fisiologis dan kimiawi ada yang menguntungkan, misalnya perubahan warna,
flavor dan lain-lain. Perubahan fisiologis dan kimia tersebut apabila tidak
dikendalikan maka akan menyebabkan kerusakan pada bahan pertanian.
Kerusakan yang terjadi pada sayuran yang telah dipanen, disebabkan karena organ
sayuran tersebut masih melakukan proses metabolisme. Proses metabolisme yang
terjadi pada sayuran yang telah dipanen menggunakan cadangan makanan yang
tidak dapat digantikan karena sayuran tersebut sudah terpisah dari pohonnya
ataupun telah dicabut (untuk bayam,sawi) sehingga mempercepat proses
hilangnya nilai gizi sayur dan mempercepat senescence (kelayuan).
Kondisi suatu mutu produk pertanian dapat dilihat dari beberapa parameter
yang dapat diukur secara kualitatif sehingga mencerminkan kualitas suatu produk
pertanian. Beberapa parameter yang sering digunakan untuk menilai penurunan
mutu sayuran adalah :
a. Kadar Air
Kadar air suatu bahan merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap
penurunan mutu produk pangan. Transpirasi adalah proses penguapan dari
tanaman yang mengakibatkan produk kehilangan air. Menurut Ryall dan Lipton
(1983), kecepatan kehilangan air tergantung dari stuktur dan kondisi komoditas
dari lingkunganya seperti suhu, kelembapan, aliran udara dan kondisi tekanan
atmosfer. Semakin tinggi suhu suatu lingkungan penyimpanan, semakin besar
pula proses kehilangan air pada bahan. Sebaliknya, apabila suhu lingkungan
penyimpanan semakin rendah, persentase kehilangan air dari bahan ke luar
semakin rendah. Kehilangan air yang berlebihan dari dalam bahan dapat
menyebabkan kerusakan komoditas. Hal ini akan mempengaruhi kuantitas dan
kualitas produk seperti berkurangnya bobot, penampilan menjadi tidak menarik,
tekstur menjadi jelek dan adanya penurunan nilai gizi pada produk.
Kadar air bahan merupakan banyaknya kandungan air yang terdapat
didalam bahan persatuan bobot bahan. Buah-buahan dan sayuran umumnya
mempunyai kadar air yang tinggi yaitu sekitar 80-90%, tergantung pada kultivar
dan asal produknya. Buah-buahan dan sayuran terus mengalami kehilangan air
setelah pemanenan dan selama penyimpanan. Kehilangan kandungan air pada
bahan dapat dikurangi dengan cara mengemas produk kedalam bahan penghalang
kedap uap air. Hal ini dapat mempertahankan umur komoditas karena turunnya
kehilangan kandungan air pada bahan akibat respirasi yang berlebihan. Selain itu,
penanganan pada sayuran perlu dilakukan secara hati-hati untuk mengurangi
kerusakan pada sayuran agar kualitas dari sayuran tetap terjaga dalam waktu yang
lama.
b. Vitamin C
Vitamin C disebut juga dengan asam askorbat, merupakan vitamin yang
paling sederhana, mudah berubah akibat oksidasi, tetapi sangat berguna bagi
tubuh. Struktur kimia vitamin C terdiri dari 6 atom C dengan kedudukan dari atom

6
C tersebut tidak stabil (C6H8O6). Ketidakstabilan dari struktur tersebut
dikarenakan Vitamin C mudah bereaksi dengan O2 di udara menjadi asam
dehidroaskorbat. Vitamin C mudah teroksidasi jika terkena udara dan proses ini
dipercepat oleh panas, sinar, alkali, enzim, oksidator, serta katalis tembaga (Cu)
dan besi (Fe) (Martin, et.al 1981). Fungsi vitamin C pada tumbuhan saat ini belum
diketahui, tetapi fungsi vitamin C untuk tubuh adalah untuk membentuk kolagen
interselluler guna menyempurnakan tulang dan gigi, mencegah bisul dan
pendarahan. Kekurangan vitamin C dapat menyebabkan sariawan, gusi dan kulit
udah berdarah, sendi-sendi sakit dan penyembuhan luka menjadi lebih lama
(Harper 1986).
Kandungan vitamin C dalam sayuran dan buah-buahan dapat berkurang
sampai 50% hanya dalam beberapa hari, tetapi kehilangan ini dapat dicegah
dengan penyimpanan pada suhu rendah (Pracaya 1999). Penyimpanan sayuran
dan buah-buahan pada suhu rendah dapat mengurangi kegiatan respirasi dan
metabolisme pada produk, mencegah kehilangan air dan kelayuan (Wills et al
1981) akan tetapi vitamin C didalam sayuran dan buah-buahan dapat hilang
dalam waktu 3 sampai 5 bulan walaupun disimpan pada suhu rendah dan
kelembaban terpelihara (Linder 1992).
c. Perubahan Warna
Perubahan warna sebagai salah satu indeks mutu pangan sering
dipergunakan sebagai parameter untuk menilai mutu fisik produk pertanian.
Selain itu, warna dapat mempengaruhi daya tarik konsumen terhadap mutu produk.
Salah satu warna tersebut adalah warna hijau pada sayuran. Klorofil merupakan
salah satu zat warna (pigmen) yang terdapat pada sayuran dan buah-buahan dan
menjadi salah satu pembentuk warna dari sayuran dan buah-buahan. Sayuran
terutama yang berwarna hijau mengandung banyak klorofil. Klorofil terdapat
didalam suatu organ sel yang disebut kloroplas dan sangat peka terhadap
kerusakan selama pengolahan yang menyebabkan perubahan warna pada makanan
(Schwartz 1983). Pigmen pada sayuran dan buah-buahan mudah mengalami
kerusakan oleh perlakuan-perlakuan yang dilakukan selama penanganan dan
pengolahan diantaranya adalah oleh pengaruh panas, asam, alkali atau enzim
(Muchtadi 1992).
Sayuran yang telah dipanen klorofil yang dikandungnya akan mengalami
degradasi yang mengakibatkan perubahan warna buah dan sayuran dari hijau
menjadi kuning, sehinggga sering digunakan sebagai indeks kesegaran khususnya
untuk sayuran daun (Koca et al 2003). Pigmen warna hijau yang terdapat di
dalam kloroplas, dimana dalam pigmen daun terdapat klorofil a yang berwarna
biru-hijau, klorofil b yang berwarna biru-hijau dan karoten.
d. Koloni Bakteri
Produk hortikultura setelah dipanen dipenuhi oleh beragam jenis
mikroorganisme pembusukan (pathogenic microorganisms) maupun tidak
penyebab pembusukan (non-microorganism). Buah dan sayuran mengandung air
dan juga nutrisi dalam jumlah yang banyak, hal ini memungkinkan
mikroorganisme tumbuh subur dengan memanfaatkan air dan nutrisi tersebut.
Mikroorganisme penyebab pembusukan dapat tumbuh apabila kondisinya
memungkinkan seperti adanya pelukaan pada permukaan buah atau sayuran,

7
kondisi suhu dan kelembapan lingkungan sesuai dengan pertumbuhan
mikroorganisme. Mikroorganisme yang terdapat pada buah dan sayuran dapat
menurunkan kualitas mutu dan umur simpan dari suatu produk. Mikroorgaisme
pembusuk yang menyebabkan susut pascapanen buah dan sayuran secara umum
disebabkan oleh jamur dan bakteri. Infeksi awal dapat terjadi selama pertumbuhan
dan perkembangan produk tersebut masih dilapangan akibat adanya kerusakan
mekanis selama operasi pemanenan atau melalui kerusakan fisiologis akibat dari
penyimpanan yang tidak baik. Pembusukan pada buah-buahan umumnya sebagai
akibat infeksi jamur sedangkan pada sayuran lebih banyak diakibatkan oleh
bakteri.
Bakteri yang terdapat dalam bahan pangan mempunyai ukuran yang sangat
kecil, yaitu sebagian besar mempunyai ukuran panjang sel satu sampai beberapa
mikron (1 mikron = 1/100 mm). Menurut Singh (1994), faktor faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan mikroba antara lain suhu, air, gas seperti oksigen dan
karbondioksida dan pH. Beberapa bakteri dan semua kapang membutuhkan
oksigen untuk tumbuh (Muchtadi 2000). Batas maksimum jumlah mikroba dalam
produk pangan untuk dikonsumsi manusia adalah sebesar 107 sampai 108 koloni
per gram produk.
e. Total Padatan Terlarut
Adanya gula dalam produk akan dipecah menjadi asam untuk pertumbuhan
mikroorganisme sebagai substrat dalam jaringan sayuran yang disimpan. Selama
penyimpanan terjadi penurunan nilai total padatan terlarut pada setiap sayuran
termasuk sayuran sawi hijau. Total padatan terlarut dalam produk pangan
dinyatakan dengan satuan oBrix. Total padatan terlarut dalam bahan dapat diukur
dengan refraktometer. Untuk mendapatkan nilai padatan terlarut pada produk
dengan menggunakan refraktometer, bahan dihancurkan terlebih dahulu kemudian
diteteskan pada prisma refraktometer.
f. Susut Bobot
Proses respirasi dan transpirasi akan menyebabkan komoditi mengalami
susut bobot. Susut bobot yaitu massa sayuran yang berkurang sejalan dengan
waktu selama proses penyimpanan. Air dibebaskan dalam bentuk uap air pada
proses transpirasi dan respirasi melalui stomata, lenti sel, dan berbagai jaringan
tumbuhan lain yang berhubungan dengan sel epidermis. Kehilangan air selama
penyimpanan tidak hanya menurunkan susut bobot tetapi juga menurunkan mutu
dan menimbulkan kerusakan. Perhitungan susut bobot dilakukan berdasarkan
persentase penurunan bobot bahan sejak awal penyimpanan sampai dengan akhir
penyimpanan.

8
METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan
Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Laboratorium
Mikrobiologi Pangan Departemen Teknologi Pangan, Fateta IPB-Bogor. Waktu
pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Juli 2013 hingga Desember 2013
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan selama penelitian adalah sayuran sawi hijau segar
dari petani Situ Daun, larutan iodine dengan Molaritas 0.01 M, larutan amilum
dan aquades. Alat yang digunakan adalah timbangan digital dan timbangan
analitik, lemari pendingin (Refrigerator) untuk penyimpanan dingin, keranjang
plastik untuk wadah penyimpanan. Termometer untuk mengukur suhu ruang
pendingin dan suhu bahan, Chromameter Minolta Tipe CR-400 untuk mengukur
warna daun sawi hijau. Refraktometer untuk mengukur nilai padatan terlarut pada
sawi hijau, cawan petri untuk menghitung koloni bakteri pada bahan, oven untuk
mengukur nilai kadar air,biuret dan blender untuk mengukur kandungan vitamin C
pada bahan.
Prosedur Penelitian
Penelitian diawali dari pengambilan bahan dari petani di daerah Situ Daun,
Kabupaten Bogor pada tanggal 29 Agustus, 16 September dan 30 September.
Selanjutnya sawi dibawa ke Laboratorium TPPHP untuk dilakukan pembersihan
dari kotoran yang menempel dan dilakukan sortasi pada keutuhan daun tidak
terdapat sobekan, keutuhan batang tidak terdapat goresan atau luka. Menurut
(Muchtadi 1995) sortasi pada sawi yang memiliki tangkai sudah liat dan tangkai
atau daun yang rusak melebihi 10%. Proses sortasi ini bertujuan memisahkan
produk busuk yang dapat menyebarkan infeksi ke produk lainnya. Sawi yang telah
disortasi selanjutnya di masukan ke dalam dua keranjang plastik dengan berat
masing masing keranjang 6.5 Kg dengan tiga kali pengulangan. Salah satu
keranjang yang telah berisi sawi hijau kemudian dimasukan ke dalam refrigerator
dengan suhu 13oC dan keranjang lainya diletakkan pada suhu ruang. Penelitian
dilakukan sampai salah satu dari dua perlakuan tersebut mengalami pembusukan
sehingga tidak memungkinkan lagi bahan untuk diteliti. Parameter yang diukur
setiap hari sampai sawi hijau mengalami pembusukan adalah susut bobot, oBrix,
kadar air, kadar vitamin C, jumlah koloni bakteri dan penampakan warna.
Prosedur penelitian selengkapnya dapat dilihat pada gambar 2.

9

Persiapan bahan

Sortasi

Cleaning

Sizing

Penyimpanan bahan pada suhu
ruang (25-30oC)

Penyimpanan bahan pada suhu
dingin (13oC)

Pengukuran
-

Kadar Air
Kadar Vitamin C
Penampakan Warna Daun
Koloni Bakteri
Total Gula
Susut Bobot

Pengolahan dan Analisis Data

Simpulan dan Saran

Selesai

Gambar 2 Bagan alir penelitian

10
1. Persiapan Bahan
Sawi hijau segar yang diperoleh dari kebun petani di daerah Situ Daun
sebelum digunakan sebagai bahan penelitian harus melewati beberapa perlakuan
persiapan bahan. Perlakuan yang diberikan meliputi pra-sortasi (pre-sorting),
pembersihan (cleaning) dan penyeragaman ukuran (sizing). Tujuan dari perlakuan
persiapan bahan adalah untuk mendapatkan bahan yang memiliki ukuran yang
seragam, bebas dari kotoran dan bebas dari bahan yang mengalami pembusukan
dan pelukaan selama proses panen sehingga dapat menyebarkan ke bahan lainya.
a. Pra-Sortasi (Pre-Sorting)
Pra-sortasi dilakukan untuk memisahkan bahan yang luka,busuk atau cacat
lainya sebelum bahan mengalami proses penanganan lainya. tujuan dari
pemisahan ini adalah mencegah penyebaran infeksi dari produk yang mengalami
pembusukan ke produk lainya.

Gambar 3 Proses pensortiran sawi hijau
b. Pembersihan (Cleaning)
Pembersihan adalah proses pemisahan kotoran dan bahan bahan yang tidak
diharapkan dari suatu produk yang ikut serta pada saat panen atau pun transportasi
dari lahan ke tempat penyimpanan. Proses pembersihan pada sawi hijau meliputi
pemisahan tanah yang menempel pada batang dan daun sawi dengan cara
membuang tanah yang menempel pada bahan, pembuangan tanaman lain seperti
rumput dan bahan lainya yang ikut pada saat panen dan transportasi. Proses
pembersihan antara satu produk dengan produk lainya tidak mengalami proses
yang sama, proses pembersihan tergantung dari jenis bahan yang ditangani.
c. Penyeragaman Ukuran
Penyeragaman ukuran adalah proses sortasi atau pengelompokan bahan
kedalam ukuran yang sama atau hampir sama. Tujuan dari proses ini adalah
mengelompokan bahan ke dalam ukuran yang sejenis agar mudah dalam
penanganan selanjutnya.
2. Pengukuran Kadar Air Bahan
Pengukuran kadar air contoh uji dilakukan dengan metode perhitungan berat
kering dan berat basah. Kadar air yang diukur meliputi kadar air batang sawi dan
daun sawi. Proses pengukuran kadar air dengan menggunakan metode oven
adalah cawan kosong dikeringkan dalam oven selama 15 menit kemudian
didinginkan dalam desikator. Setelah cawan dingin, cawan ditimbang dengan
menggunakan timbangan analitik dan catat berat kosong cawan. Masukan sample

11
kedalam cawan dengan berat untuk batang sawi 5 gram dan untuk daun sawi 3
gram. Cawan ditimbang beserta contoh uji dan catat sebagai berat cawan berisi.
Cawan yang telah berisi contoh uji dimasukan ke dalam oven yang bersuhu 105oC
selama 6 jam. Setelah 6 jam, cawan dikeluarkan dari oven dan didinginkan dalam
desikator. Cawan yang telah dingin kemudian ditimbang kembali menggunakan
timbangan analitik dan catat beratnya sebagai berat akhir bahan. Pengukuran
kadar air sawi diulangi sebanyak 3 kali. Rumus menghitung kadar air didalam
bahan adalah :
Kadar air (%) =
3. Pengukuran Kadar Vitamin C
Vitamin C disebut juga asam askorbat, merupakan vitamin yang paling
sederhana, mudah berubah akibat oksidasi, tetapi sangat berguna bagi tubuh
manusia. Struktur kimia dari vitamin C terdiri dari rantai 6 atom C dan
kedudukanya tidak stabil (C6H806) karena mudah bereaksi dengan O2 di udara
menjadi asam dehidroaskorbat. Pada penelitian ini, pengukuran kadar vitamin C
(mg dalam tiap 100 gram bahan uji) dalam sawi diukur menggunakan metode
titrasi iodine.
Langkah awal untuk mengukur kadar vitamin C dalam bahan adalah dengan
cara mengambil filtrat dari sawi hijau dengan cara diblender seperti Gambar 4 .
Kemudian filtrat tersebut dimasukan kedalam erlenmeyer sebanyak 10 ml dan
ditambahkan 2 ml larutan amilum 1%. Larutan yang telah ditetesi amilum
selanjutnya dititrasi dengan larutan standar Iodine 0.01 N sampai terbentuk warna
biru tua yang tidak hilang selama 1 menit seperti Gambar 5. Titrasi dilakukan
sebanyak 3 kali pengulangan.
Rumus untuk menghitung kandungan vitamin C dalam bahan :
Vit C =

Gambar 4 Filtrat sawi hijau

12

Gambar 5 Perubahan warna filtrat setelah ditetesi iodine 0.01 N
4. Pengukuran Warna Daun
Pengukuran perubahan warna dilakukan dengan menggunakan alat
Chromameter Minolta tipe CR-400. Data warna yang dinyatakan dengan nilai L
(kecerahan), nilai a (warna kromatik), dan nilai b (warna kromatik biru kuning).
Nilai L menyatakan kecerahan (cahaya pantul yang menghasilkan warna
akromatik putih, abu-abu, dan hitam), bernilai 0 untuk warna hitam dan bernilai
100 untuk warna putih. Nilai a menyatakan warna akromatik merah hijau,
bernilai +a dari 0-100 untuk warna merah dan bernilai a dari 0-(-80) untuk warna
hijau. Pengujian dilakukan dengan menempelkan sensor pada produk dan
menembakkan sinar pada tiga bagian yang berbeda seperti Gambar 6. Nilai b
positif berkisar antara 0 sampai +70 yang menyatakan intensitas warna kuning
sedangkan nilai b negatif yang menyatakan intensitas warna biru berkisar antara 0
sampai -80. Penembakan warna pada daun sawi hijau dilakukan tiga kali ulangan.

Gambar 6 Pengukuran warna daun sawi dengan Chromameter Minolta
5. Pengukuran Koloni Bakteri
Penghitungan jumlah sel pada penelitian ini dilakukan melalui metode
hitungan cawan (Total Plate Count). Metode hitungan cawan menggunakan
anggapan bahwa setiap sel akan hidup dan berkembang menjadi satu koloni.
Jumlah koloni yang muncul menjadi indeks bagi jumlah organisme yang
terkandung di dalam contoh uji. Teknik penghitungan ini meliputi pengenceran
dan mencawankan hasil pengenceran. Cawan yang dipilih untuk penghitungan
koloni sesuai dengan kaidah statistik adalah cawan yang berisi 25 sampai 250
koloni sesuai dengan SNI 01-2897-1992 tentang Cara Uji Cemaran Mikroba.
Jumlah organisme yang terdapat dalam contoh uji asal dihitung dengan cara
mengalikan jumlah koloni yang terbentuk dengan faktor pengenceran seperti
Gambar 7. Tahapan dalam penghitungan jumlah bakteri adalah media disiapkan
sesuai dengan bakteri pendegradasi selulosa, pati, dan protein.

13

Gambar 7 Cawan petri yang berisi bakteri
6. Pengukuran Total Padatan Terlarut
Pengukuran total padatan terlarut pada sawi hijau dilakukan dengan alat
ukur bernama handy refractometer. Refraktometer merupakan salah satu alat
untuk menganalisis kandungan padatan terlarut pada bahan makanan. Tahap
pertama dalam mengukur total padatan terlarut pada sawi hijau adalah bahan
harus dihancurkan terlebih dahulu untuk diambil sarinya. Kemudian sari dari
bahan uji tersebut diteteskan diatas prisma refraktometer yang sebelumnya
dibersihkan terlebih dahulu dengan tissue seperti Gambar 8. Jumlah padatan
terlarut yang terbaca pada layar refraktometer dalam satuan oBrix. Satuan oBrix
merupakan satuan skala yang digunakan untuk pengukuran kandungan padatan
terlarut (Purwono 2002).

Gambar 8 Cara mengukur padatan terlarut pada sawi

HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kadar Air
Kadar air bahan merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk
menentukan kualitas mutu suatu produk pangan. Kadar air yang diukur dalam
penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu, kadar air batang dan kadar air daun sawi
hijau. Hasil pengukuran kadar air batang selama penyimpanan seperti pada
Gambar 9.

14

Kadar Air Batang (%)

97
95
93
91
Suhu1313oC
Suhu

89

SuhuRuang
ruang
Suhu
87
0

1

2

3

4

Waktu Penyimpanan (Hari)

Gambar 9 Kadar air batang sawi hijau selama penyimpanan.
Pada Gambar 9 dapat dilihat bahwa hasil pengukuran kadar air batang sawi
hijau pada suhu 13oC maupun pada suhu ruang mengalami penurunan nilai kadar
air dari hari ke-0 penyimpanan sampai dengan hari ke-4 penyimpanan. Nilai kadar
air batang tertinggi pada penyimpanan suhu dingin yaitu sebesar 96.18% pada hari
ke-0 penyimpanan dan nilai kadar air terendah sebesar 95.11% pada hari terakhir
penyimpanan. Apabila dibandingkan dengan nilai kadar air batang pada
penyimpanan suhu ruang, penurunan nilai kadar air dari hari ke-0 penyimpanan
sampai dengan hari ke-4 lebih besar dari kadar air pada penyimpanan suhu 13oC.
Nilai kadar air batang tertinggi pada penyimpanan suhu ruang yaitu sebesar
96.18% pada hari ke-0 penyimpanan dan nilai kadar air terendah sebesar 93.64%
pada hari terakhir penyimpanan. Perbedaan nilai kadar air batang pada kedua
bahan dikarenakan perbedaan suhu penyimpanan yang cukup besar dimana
semakin tinggi suhu penyimpanan maka akan semakin besar kehilangan air.
Penurunan nilai kadar air juga terjadi pada daun sawi hijau selama
penyimpanan. Nilai kadar air daun sawi pada penyimpanan suhu dingin dan suhu
ruang dapat dilihat pada Gambar 10. Pada Gambar 10 dapat dilihat bahwa hasil
pengukuran kadar air daun sawi hijau pada suhu 13oC maupun pada suhu ruang
mengalami penurunan nilai kadar air dari hari ke-0 penyimpanan sampai dengan
hari terakhir penyimpanan. Nilai kadar air daun tertinggi pada penyimpanan suhu
dingin yaitu sebesar 91. 32% pada hari ke-0 penyimpanan dan nilai kadar air
terendah sebesar 88.54% pada hari terakhir penyimpanan.
Kadar air daun pada penyimpanan suhu ruang mengalami penurunan kadar
air yang lebih besar apabila dibandingkan dengan penurunan nilai kadar air yang
disimpan pada suhu dingin. Nilai kadar air daun pada penyimpanan hari ke-0
sebesar 91.32% dan terus mengalami penurunan dari hari ke-0 penyimpanan
dengan nilai kadar air sebesar 87.56% pada hari terakhir penyimpanan. Perbedaan
penurunan nilai kadar air pada daun sawi hijau juga disebabkan oleh perbedaan
suhu penyimpanan pada kedua bahan.

15
97

Kadar Air Daun (%)

Suhu13
13oC
Suhu
95

Suhu
Suhuruang
ruang

93
91
89
87
0

1

2

3

4

Waktu Penyimpanan (Hari)

Gambar 10 Kadar air daun sawi hijau selama penyimpanan.
B. Kadar Vitamin C
Berdasarkan hasil penelitian, kadar vitamin C pada batang sawi hijau yang
ditempatkan pada suhu ruang maupun suhu dingin mengalami degradasi kadar
vitamin C. Hasil pengukuran kadar vitamin C pada suhu ruang dan suhu dingin
dapat dilihat pada Gambar 11. Kadar vitamin C batang sawi yang disimpan pada
suhu ruang berdasarkan Gambar 11 mengalami penurunan kadar vitamin C yang
lebih besar apabila dibandingkan dengan penurunan kadar vitamin C pada suhu
13oC. Hal ini menunjukan bahwa suhu rendah dapat mengurangi penurunan kadar
vitamin C selama proses penyimpanan berlangsung. Sawi hijau yang disimpan
pada suhu ruang memiliki kadar vitamin C sebesar 96.17 mg pada hari ke-0
penyimpanan. Nilai ini terus mengalami penurunan pada hari berikutnya karna
sifat dari vitamin C yang mudah bereaksi oleh udara dan cahaya. Pada hari
pertama penyimpanan pada suhu ruang, nilai vitamin C yang dikandung bahan
sebesar 84.04 mg, 80.52 mg pada hari ke-2, 71.49 mg pada hari ke-3 dan 56.27
pada hari ke-4.
Penurunan kadar vitamin C batang sawi hijau yang disimpan pada suhu
o
13 C memiliki penurunan nilai vitamin C yang lebih kecil apabila dibandingkan
dengan sawi yang disimpan pada suhu ruang. Pada hari ke-0 penyimpanan, nilai
vitamin C yang dikandung sebesar 96.99 mg, hari pertama penyimpanan sebesar
90.267 mg, hari ke-2 sebesar 86.39mg, hari ke-3 sebesar 80.09 mg dan hari ke-4
sebesar 73.56 mg. Kehilangan vitamin C selama penyimpanan pada sawi hijau
tidak dapat dicegah walaupun menggunakan penyimpan pada suhu rendah.
Penyimpanan bahan pada suhu rendah hanya dapat mengurangi kehilangan kadar
vitamin C selama penyimpanan berlangsung.
Sawi hijau yang disimpan pada suhu ruang lebih cepat mengalami
penurunan vitamin C dibandingkan dengan sawi hijau yang disimpan pada
penyimpanan dingin. Pada suhu ruang kadar vitamin C dalam sayuran sawi hijau
yang disimpan dalam waktu 4 hari mengalami penurunan sebesar 41% sedangkan
pada penyimpanan suhu 13oC hanya mengalami penurunan sebesar 25%. Hal ini
karena vitamin C bersifat tidak stabil, mudah teroksidasi jika terkena udara
(oksigen) dan proses ini dipercepat oleh panas (Martin et.al 1981). Vitamin C

16
mudah teroksidasi karena senyawanya mengandung gugus fungsi hidroksi (OH)
yang sangat reaktif. Gugus fungsi hidroksi ini akan berubah menjadi gugus
karbonil apabila adanya oksidator. Proses oksidasi akan dihambat apabila vitamin
C berada dalam keadaan sangat asam atau pada suhu rendah. Selain itu, lamanya
penyimpanan sangat berpengaruh terhadap penurunan vitamin C dalam sawi hijau.
120

Kadar Vitamin C (mg)

100
80
60
40
Suhu1313oC
Suhu
20

Suhu
SuhuRuang
ruang

0
0

1

2

3

4

Waktu Penyimpanan (Hari)

Gambar 11 Penurunan kadar vitamin C pada batang sawi
C. Perubahan Warna
Parameter warna merupakan salah satu indikator untuk menentukan kualitas
suatu produk pangan yang mudah diamati. Sawi hijau yang memiliki kualitas baik
ditandai dengan warna hijau tua pada bagian daunnya. Warna daun sawi hijau
selama penyimpanan terus mengalami degradasi warna daun dari hijau menjadi
kuning hingga busuk. Degradasi perubahan warna pada sawi hijau dapat
diturunkan dengan cara menyimpan produk pada suhu rendah. Pengukuran
perubahan warna daun sawi hijau dilakukan setiap hari dengan tiga kali ulangan.
Pengukuran perubahan warna dilakukan dengan menggunakan alat Chromameter
Minolta tipe CR-400. Indeks warna yang diamati meliputi indeks warna L, indeks
warna a dan indeks warna b.
Indeks warna L menyatakan kecerahan (cahaya pantul yang menghasilkan
warna akromatik putih, abu-abu, dan hitam), bernilai 0 untuk warna hitam dan
bernilai 100 untuk warna putih. Indeks warna a menyatakan warna akromatik
merah hijau, bernilai +a dari 0-100 untuk warna merah dan bernilai a dari 0-(-80)
untuk warna hijau sedangkan indeks warna b menunjukkan peningkatan warna
kuning. Hasil pengukuran indeks warna L dapat dilihat pada Gambar 12.
Berdasarkan Gambar 12, peningkatan indeks warna L secara signifikan
terjadi pada sawi yang disimpan pada suhu ruang. Indeks warna L menyatakan
kecerahan (cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu,
dan hitam), bernilai 0 untuk warna hitam dan bernilai 100 untuk warna putih.
Nilai indeks L pada hari ke nol penyimpanan sebesar 38.65. Indeks nilai L ini
mengalami peningkatan dari hari ke-0 sampai dengan hari ke-4 selama
penyimpanan. Nilai indeks L secara berurutan dari hari ke pertama sampai hari
ke-4 selama penyimpanan pada suhu ruang adalah : 38.2, 40.23, 44.3 dan 48.79.

17
Hal ini menandakan bahwa warna daun sawi yang disimpan pada suhu ruang
mengalami peningkatan kecerahan berdasarkan peningkatan nilai L.
50
48
46

Nilai L

44
42
40
38
36
34

Suhu13)
13oC
LL(suhu

32

Suhuruang)
ruang
LL(suhu

30
0

1

2

3

4

Waktu Penyimpanan (Hari)

Gambar 12 Indeks warna L daun sawi hijau selama penyimpanan.
Peningkatan indeks warna L juga terjadi pada sawi hijau yang disimpan
pada suhu 13oC. Berdasarkan Gambar 12, peningkatan indek warna L relatif kecil
apabila dibandingkan dengan peningkatan indeks warna L yang disimpan pada
suhu ruang. Nilai indeks L pada hari ke-0 penyimpanan sebesar 38.65. Indeks
nilai L ini mengalami peningkatan dari hari ke-0 sampai dengan hari ke-4 selama
penyimpanan. Nilai indeks L secara berurutan dari hari pertama sampai hari
terakhir selama penyimpanan pada suhu 13oC adalah : 38.72, 38.85, 38.96 dan
39.03. selama penyimpan, perubahan warna juga terjadi pada daun sawi yang
disimpan pada suhu 13oC, akan tetapi perubahan yang terjadi jauh lebih lambat
dari sawi hijau yang disimpan pada suhu ruang.
Selain indeks warna L yang mengalami peningkatan, indeks yang ikut
mempengaruhi perubahan warna adalah indeks warna a. Tidak seperti indeks
warna L yang mengalami peningkatan, indeks warna a mengalami penurunan
selama proses penyimpanan. Hasil pengukuran indeks warna a dapat dilihat pada
Gambar 13. Berdasarkan Gambar 13, indeks warna a daun sawi yg disimpan pada
suhu ruang mengalami penurunan yang sangat tajam dari hari ke-0 sampai hari
terakhir penyimpanan. Pada hari ke-0 penyimpanan, indeks warna a pada
penyimpanan suhu ruang sebesar -11.54. Nilai ini terus mengalami penurunan
sebesar -11.47 pada hari ke-1, -12.59 pada hari ke-2, -13.6 pada hari ke-3 dan 13.18 pada hari ke-4. Sawi yang disimpan pada suhu dingin juga mengalami
penurunan nilai indeks a, akan tetapi penurunan yang terjadi tidak sebesar
penurunan yang terjadi pada sawi yang disimpan pada suhu ruang. Indeks warna a
pada sawi yang disimpan pada suhu 13oC dari hari ke-0 penyimpanan sampai hari
ke-4 sebesar -11.54, -12.01, -11.93, -12.06 dan -12.32.

18

-10
-10,5

0

1

2

3

4

Suhu13)
13oC
a a(suhu

-11

Suhuruang)
ruang
a a(suhu
Nilai a

-11,5
-12

-12,5
-13
-13,5
-14
Waktu Penyimpanan (Hari)

Gambar 13 Indeks warna a daun sawi hijau selama penyimpanan.
Indeks warna b menunjukan peningkatan warna kuning yang terjadi pada
bahan selama penyimpanan. Semakin besar indeks warna b pada saat pengukuran,
maka peningkatan warna kuning pada produk akan semakin besar. Hasil
pengukuran indeks warna b selama penyimpanan pada suhu ruang dan suhu
dingin dapat dilihat pada Gambar 14. Berdasarkan Gambar 14, indeks warna b
pada sawi hijau yang disimpan pada suhu ruang mengalami peningkatan yang
signifikan. Nilai indeks warna b selama penyimpanan dari hari ke-0 sampai
dengan hari ke-4 secara berurutan adalah 13.66, 13.77, 16.75, 21.27 dan 25.44.
Indeks warna b ini relatif lebih besar apabila dibandingkan dengan nilai b sawi
hijau yang disimpan pada suhu 13oC.
30
25

Nilai b

20
15
10

bb(suhu
Suhu 13)
13oC

5

bb(suhu
Suhu Ruang)
ruang

0
0

1

2

3

4

Waktu Penyimpanan (Hari)

Gambar 14 Indeks warna b daun sawi hijau selama penyimpanan.

19
Indeks warna b pada suhu 13oC juga mengalami peningkatan, akan tetapi
peningkatan yang terjadi tidak sebesar peningkatan pada sawi yang disimpan pada
suhu ruang. Nilai indeks warna b selama penyimpanan dari hari ke-0 sampai
dengan hari ke-4 secara berurutan adalah 13.66, 14.82, 15.19, 15.76 dan 16.28.
peningkatan indeks warna b pada suhu 13oC relatif mengalami sedikit perubahan.
Hal ini dikarenakan sawi disimpan pada suhu rendah yang menyebabkan
perubahan warna dapat dihambat.
Berdasarkan hasil pengamatan, sawi yang disimpan pada suhu ruang
cenderung mengalami perubahan warna dari hijau ke kuning lebih cepat dari sawi
yang disimpan pada suhu dingin. Warna daun sawi yang disimpan pada suhu
ruang mengalami perubahan warna setelah 2 sampai 3 hari setelah penyimpanan
Sedangkan sawi yang disimpan pada suhu dingin relatif mempertahankan warna
hijau pada daunya. Apabila dilihat dari indeks warna L, a, b selamaa
penyimpanan pada kedua kondisi, sawi hijau yang disimpan pada suhu ruang
mengalami perubahan indeks L, a, b yang signifikan selama penyimpanan
berlangsung.
D. Pengukuran Koloni Bakteri
Berdasarkan hasil penelitian, jumlah koloni yang terkandung dalam sawi
hijau yang disimpan pada suhu ruang mengalami peningkatan jumlah bakteri yang
tinggi apabila dibandingkan dengan peningkatan bakteri pada sawi yang disimpan
pada suhu dingin. Hasil pengukuran jumlah koloni bakteri pada sawi hijau yang
disimpan pada suhu ruang dan suhu dingin dapat dilihat pada Gambar 15. Jumlah
koloni bakteri yang disimpan pada suhu ruang berdasarkan Gambar 15 mengalami
kenaikan yang signifikan. Pada hari ke-0 penyimpanan, jumlah koloni bakteri
yang disimpan pada suhu ruang sebesar 6,55 x 106. Nilai ini terus meningkat pada
hari pertama penyimpanan sampai hari terakhir penyimpanan. Jumlah koloni
bakteri dari hari ke-1 sampai hari ke-4 penyimpanan secara berurutan adalah 8.53
x 106, 8.73 x 106, 1.287 x 107 dan 2.033 x 107. Pada hari kedua, sawi hijau yang
disimpan pada suhu ruang sudah mulai membusuk dan mengeluarkan bau
sedangkan sawi hijau yang disimpan pada suhu 13oC masih terlihat segar.
Jumlah koloni bakteri sawi yang disimpan pada suhu 13oC juga mengalami
peningkatan akan tetapi besarnya peningkatan yang terjadi tidak sebesar sawi
yang disimpan pada suhu ruang. Jumlah koloni bakteri pada sawi hijau yang
disimpan pada suhu 13oC dari hari ke-0 penyimpanan sampai dengan hari ke-4
penyimpanan secara berurutan adalah 6.55 x 106, 6.53 x 106, 7.20 x 106, 8.23 x
106 dan 8.50 x 106. Peningkatan koloni bakteri pada sawi yang disimpan pada
suhu 13oC relatif kecil dari peningkatan bakteri yang disimpan pada suhu ruang.
Hal ini diakibatkan oleh pertumbuhan bakteri terhambat akibat penyimpanan
bahan pada suhu rendah. Selain menghambat pertumbuhan bakteri pada produk
pangan, penyimpanan dingin juga mempertahankan warna, kadar air bahan,
kenampakan dan kualitas dari produk pangan.

20
25,00
Suhu
Suhu1313oC
Jumlah Bakteri (106)

20,00

SuhuRuang
ruang
Suhu

15,00
10,00
5,00
0,00
0

1

2

3

4

Waktu Penyimpanan (Hari)

Gambar 15 Jumlah koloni bakteri pada sawi hijau
Pada Gambar 15 terlihat bahwa semakin lama waktu penyimpanan
menyebabkan total koloni bakteri pada sawi hijau mengalami peningkatan.
Penyimpanan pada suhu 13oC menyebabkan terhambatnya pertumbuhan bakteri
sawi hijau sehinggga pertumbuhan bakteri pada suhu 13oC relatif lebih kecil
dibandingkan dengan pertumbuhan bakteri sawi hijau yang disimpan pada suhu
ruang. Kandungan total bakteri tertinggi pada penelitian ini adalah pada
penyimpanan sawi hijau yang disimpan pada suhu ruang setelah hari ke-4
penyimpanan yaitu sebesar 2.033 x 107. Batas maksimum jumlah koloni bakteri
yang berada pada buah atau sayur yang dikonsumsi secara segar adalah 10 6
CFU/g (Agar et al 1999). Jumlah koloni bakteri sawi hijau yang disimpan pada
suhu ruang pada hari keempat yaitu sebesar 2.033 x 107 sehingga sawi hijau yang
disimpan pada suhu ruang sudah tidak aman untuk dikonsumsi dikarenakan
jumlah koloni bakteri yang dikandung sudah melebihi batas aman yang
diperbolehkan. Sedangkan jumlah koloni bakteri sawi hijau yang disimpan pada
suhu 13oC pada hari ke-4 sebesar 8.50 x 106 sehingga masih aman untuk
dikonsumsi dikar