Pengelolaan Sumberdaya Paus Biru (Balaenoptera Musculus Linnaeus, 1758) Berbasis Traditional Ecological Knowledge (Tek) Di Lamakera Nusa Tenggara Timur

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PAUS BIRU
(Balaenoptera musculus Linnaeus, 1758)
BERBASIS TRADITIONAL ECOLOGICAL KNOWLEDGE (TEK)
DI LAMAKERA, NUSA TENGGARA TIMUR

CICILIA AYU DWI WAHYUNI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

ii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengelolaan
Sumberdaya Paus Biru (Balaenoptera musculus Linnaeus, 1758) Berbasis
Traditional Ecological Knowledge (TEK) di Lamakera, Nusa Tenggara Timur
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum

diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2016

Cicilia Ayu Dwi Wahyuni
NIM. C24110037

iv

ABSTRAK
CICILIA AYU DWI WAHYUNI.
Pengelolaan Sumberdaya Paus Biru
(Balaenoptera musculus Linnaeus, 1758) berbasis Traditional Ecological
Knowledge (TEK) di Lamakera Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh M.
MUKHLIS KAMAL dan YUSLI WARDIATNO.
Paus biru (Balaenoptera musculus) merupakan salah satu hewan yang
menjadi target penangkapan paus secara tradisional di Lamakera, Nusa Tenggara

Barat. Paus biru mengalami ancaman kepunahan dan masuk dalam daftar merah
IUCN (EN). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aspek bio-ekologi dan
morfologi paus biru serta mengidenfifikasi komponen Traditional Ecological
Knowledge (TEK) pada kegiatan penangkapan paus biru di Lamakera. Metode
yang digunakan adalah observasi, wawancara mendalam, dan studi literatur. Paus
biru yang ditangkap masyarakat Lamakera pada Maret 2015 memiliki panjang
tubuh 11 m, berat tubuh 7 ton, volume tubuh 6,86 m3, luas permukaan tubuh 0,69
m2, dan koefisien volumetrik 5,15. Nelayan Lamakera merupakan nelayan kecil
dengan kapal perikanan kurang dari 5 GT. Hasil tangkapannya berupa pari manta,
pari, hiu, tuna, selar, paus, dan lumba-lumba. Penangkapan paus menggunakan
perahu (tena) bermotor, tombak besar (kohawek), tombak kecil (beladek), dan tali.
Pengetahuan ekologi tradisional ditemukan berupa pengenalan jenis, tingkah laku,
jenis kelamin, area migrasi serta musim migrasi mendasari pengelolaan
penangkapan paus biru di Lamakera.
Kata kunci: Daftar merah IUCN (EN), lamakera, paus biru, penangkapan paus,
pengetahuan ekologi tradisional

ABSTRACT
CICILIA AYU DWI WAHYUNI. Traditional Ecological Knowledge (TEK)-based
Management of Blue Whale (Balaenoptera musculus Linnaeus, 1758) Resources:

The study of Lamakera, East Nusa Tenggara. Supervised by M. MUKHLIS
KAMAL and YUSLI WARDIATNO.
Blue whales (Balaenoptera musculus) is one of the targeted whale in
traditional whaling in Lamakera, West Nusa Tenggara. Blue whales is in under
threat of extinction and included into IUCN Red List species with endangered (EN)
status. This study aims to assess bio-ecology and morphology aspects of blue whale
and to identify traditional ecological knowledge component on whaling activities
in Lamakera. This study consisted of: observation, interview and literature study.
Blue whales were recently captured in March 2015 by Lamakera community is 11
m long, 7 tons of weight, 6.86 m3 of body volume, 0.69 m2 of body surface area,
and 5.15 of volumetric coefficient. Fisheries activity in Lamakera may be
categorized into small scale fisheries, as the fishing is based on less than 5 GT
fishing vessel. Their fishing target including manta rays, stingrays, sharks, tuna,
trevally, whales, and dolphins. Whaling uses motor boat (tena), big harpoon
(kohawek), small harpoon (beladek), and rope. Traditional ecological knowledge
is in the form of the introduction of species, behavior, sexes, area of migration as
well as migration season of Lamakera whaling.

vi


Keywords: Blue whale, lamakera, red list IUCN (EN), traditional ecological
knowledge, whaling.

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PAUS BIRU
(Balaenoptera musculus Linnaeus, 1758)
BERBASIS TRADITIONAL ECOLOGICAL KNOWLEDGE (TEK)
DI LAMAKERA, NUSA TENGGARA TIMUR

CICILIA AYU DWI WAHYUNI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
pada
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2016

viii

x

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini
dilaksanakan sejak bulan Februari 2015, dengan judul Pengelolaan Sumberdaya
Paus Biru (Balaenoptera musculus Linnaeus, 1758) Berbasis Traditional
Ecological Knowledge (TEK) di Lamakera, Nusa Tenggara Timur.
Terima kasih penulis ucapkan kepada:
1 Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan untuk
menempuh studi di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan.
2 Beasiswa Bidik Misi yang telah memberikan bantuan dana selama
perkuliahan.
3 Dr Ir Yusli Wardiatno, MSc selaku pembimbing akademik yang telah
memberikan saran dan masukan selama masa perkuliahan.
4 Dr Ir M. Mukhlis Kamal, MSc dan Dr Ir Yusli Wardiatno, MSc selaku dosen

pembimbing skripsi yang telah memberi dukungan finansial dan arahan saat
penelitian serta arahan dan masukan dalam penulisan skripsi.
5 Dr Ir Zairion, MSc dan Dr Ir Isdrajat Setyobudiandi, MSc selaku penguji
yang telah bersedia memberikan kritik dan saran dalam karya ilmiah ini.
6 Keluarga penulis: Aloysius Turiswan (Ayah), F. Tunjiyah (Ibu), Christian
Dian Wibowo (Kakak), Albertus Hari Gunadi (Adik), Alexander Juniar
Pamungkas (Adik), T. Paryati dan Tukijan, Susilowati, Mangirah (Nenek)
serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
7 Saudara Muhammad Ardhi Pratama Kuswara yang telah memberi bantuan,
dukungan serta masukan selama proses penelitian dan penyusunan karya
ilmiah ini.
8 Sahabat penulis: Rebo Elfida Karo-Karo, Dewi Maya Sari Sihombing,
Qurotu Aini, Icen Fragolia, Sukma Violina Pelawi, Surya Gentha Akmal,
Nur Ainun Nasution, Desmalina Agustini, Siti Maesaroh, Ervina Riani, Dita
Cicilia, Irma Bismark, Hasfan L Nainggolan, Sherly Agustini dan keluarga
MSP48.
9 Segenap keluarga Fisheries Diving Club IPB khususnya Diklat 31: Aflaha
Abdul Munib, A Mujrini Yasir, Boy M Kenedi, Eko Sugiarta, Hapsari K
Palupi, Intan Destianis H, Muslim, Sari Indriani P, Rizky Ramadhan P,
Praditio Anggoro, Tri Nur Sujatmiko, dan Varrenco J Aprillano

10 Kepada Keluarga Rugaya Belaga, Bapak M Nasir dan Bapak Moh Songgae
di Lamakera, serta Keluarga Bapak Jamal di Larantuka yang telah banyak
memberikan bantuan selama kegiatan observasi lapang.
Demikian skripsi ini disusun, semoga dapat bermanfaat.

Bogor, Maret 2016

Cicilia Ayu Dwi Wahyuni

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan
Manfaat
METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian
Metode Pengambilan Data
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

xi
xii
xii
xii
1
1
2

2
2
2
2
3
4
4
4
17
20
20
20
20
23
27

xii

DAFTAR TABEL
1 Jenis dan sumber data sekunder

3
2 Hasil analisis morfologi paus biru (B. musculus)
7
3 Jumlah tangkapan mega fauna laut Desa Motonwutun dan Desa Watobuku
(2014)
14
4 Pengetahuan ekologi tradisional pada kegiatan penangkapan paus biru (B.
musculus) di Lamakera
15
5 Pengetahuan tradisional masyarakat Lamakera
15
6 Komponen pengetahuan ekologi tradisional pada kegiatan penangkapan paus
sperma di Lamalera
16
7 Perubahan tradisi penangkapan paus di Lamakera
16

DAFTAR GAMBAR
1
2

3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Peta lokasi penelitian di wilayah Lamakera
3
Morfologi paus biru (B. musculus)
6
Struktur kemasyarakatan Lamakera
8
Tombak besar (kohawek) dan tali
9
Tombak kecil (beladek)
9
Perahu (tena) bermotor
9
Paledang (miniatur)
9
Daerah penangkapan mamalia laut dan pari manta oleh nelayan Lamakera dan
Lamalera
10
Pergerakan migrasi paus biru kerdil (B.m. brevicauda)
11
Pembagian hasil tangkapan secara tradisional
12
Pembagian hasil tangkapan paus sperma (Physeter macrocephalus)
13
Pari manta
14
Daging pari yang dikeringkan
14

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

Panduan pertanyaan penelitian
Daftar penombak atau belwaeng di Lamakera
Produksi perikanan nelayan Lamakera

23
24
25

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia termasuk negara yang kaya sumberdaya mamalia laut. Terdapat
setidaknya 12 spesies lumba-lumba dan 18 spesies paus, termasuk paus biru
(Balaenoptera musculus), paus sperma (Physeter macrocephalus), paus punggung
bongkok (Megaptera novaeangliae) (Rudolph et al. 1997). Di samping itu laut
nusantara merupakan area migrasi penting bagi mamalia laut tersebut, khususnya
di bagian timur wilayah Indonesia yaitu di perairan Laut Sawu (Yusron 2012).
Perairan Laut Sawu memiliki keanekaragaman mamalia laut yang cukup tinggi,
ditemukan sebanyak 22 spesies jenis cetacea yang terdiri dari 14 spesies paus, 7
spesies lumba-lumba, dan 1 spesies dugong. Pengamatan pergerakan atau migrasi
paus menunjukan pola pergerakan paus biru dan paus sperma dari Solor dan Alor
(KKP 2014).
Paus biru (B. musculus) merupakan salah satu mamalia laut yang melewati
perairan Indonesia pada jalur migrasinya. Hewan chondricthyes ini memiliki
populasi yang rendah dan menghadapi banyak ancaman kepunahan oleh perburuan,
perubahan iklim, polusi, terjerat jaring nelayan, benturan kapal, dan kebisingan
antropogenik seperti Sound Navigation And Ranging (SONAR). Perburuan paus di
abad 20 ini mengeliminasi hampir 90% popaulasi paus biru dunia. Estimasi
populasi setelah perburuan paus adalah sekitar 350.000 individu. Paus biru
ditetapkan sebagai satwa yang dilindungi oleh pemerintah Indonesia dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan
Jenis Tumbuhan dan Satwa (Pemerintah Republik Indonesia 1999) dan dilindungi
oleh Marine Mammals Protection Act (MMPA) (Bailey et al. 2011). Paus biru
masuk dalam Red List oleh Internatioal Union for Conservation of Nature (IUCN)
dengan kategori Endangered (EN) atau terancam dan masuk dalam daftar
Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) Apendix II
(endangered species).
Paus biru adalah salah satu spesies dari jenis paus baleen yaitu paus tidak
bergigi dari ordo Mysticeti yang menggunakan baleen (berbentuk seperti sikat)
sebagai alat penyaring makanan. Hewan ini dimanfaatkan oleh masyarakat
Lamakera di Pulau Solor, Nusa Tenggara Timur. Penangkapan paus di Lamakera
dilakukan secara tradisional dan berlangsung sejak terbentuknya wilayah Lamakera
pada sekitar abad ke 17 saat sebelum masa pendudukan bangsa Belanda (Mustika
2006). Penangkapan paus dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat lokal dan dilakukan dalam skala kecil. Pengelolaan sumberdaya paus
biru oleh masyarakat Lamakera menggunakan pengetahuan tradisional dan
pengetahuan ekologi tradisional atau traditional ecological knowledge sebagai
dasar pengelolaannya.
Pengelolaan secara tradisional bertujuan untuk menjamin kelestarian
sumberdaya alam dan kesejahteraan masyarakat. Penangkapan sumberdaya
perikanan, termasuk paus, dilakukan secara tradisional dan dalam skala kecil
dilakukan oleh masyarakat nelayan Lamakera untuk memenuhi kebutuhan.

2

Perumusan Masalah
Perairan Lamakera termasuk ekosistem Laut Sawu merupakan area yang
sangat penting bagi migrasi berbagai jenis cetacea termasuk paus biru (B.
musculus). Kegiatan penangkapan paus menggunakan kapal dan alat tradisional
telah dilakukan secara turun temurun yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat lokal. Penangkapan paus dilakukan berdasarkan teknik dan teknologi
tradisional serta berdasarkan Traditional Ecological Knowledge (TEK). Informasi
mengenai aktivitas penangkapan dan komponen TEK serta informasi bio-ekologi
paus biru sangat sedikit, sehingga sangat penting untuk dikaji. Informasi tersebut
diharapkan dapat bermanfaat dalam upaya untuk menyusun strategi pengelolaan
sumberdaya paus biru (B. musculus) di Lamakera.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menelaah bioekologi paus biru dan
mengidentifikasi komponen pengetahuan ekologi tradisional atau Traditional
Ecological Knowledge (TEK) pada kegiatan penangkapan paus biru oleh
masyarakat nelayan Lamakera sebagai bahan rekomendasi pengelolaan
sumberdaya paus biru di Lamakera.

Manfaat
1

2
3

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada:
Institusi, dalam hal ini Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Institut
Pertanian Bogor berupa sumbangan ilmu dan informasi mengenai pengelolaan
sumberdaya paus biru berbasis pengetahuan ekologi tradisional atau
Traditional Ecological Knowledge (TEK) di Lamakera, Nusa Tenggara Timur.
Masyarakat lokal, berupa informasi terkini mengenai kondisi sumberdaya paus
biru sehingga dapat dijadikan acuan untuk pengelolaan di masa depan.
Negara, dalam hal ini Kementrian Perikanan dan Kelautan berupa informasi
yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam perumusan
kebijakan yang terkait pengelolaan dan perlindungan paus biru di perairan Laut
Sawu, khususnya di Lamakera, Nusa Tenggara Timur.

METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dimulai dengan penyiapan proposal penelitian pada bulan
Februari 2015 hingga Maret 2015. Persiapan alat dan bahan, persiapan
keberangkatan, dan observasi lapang secara langsung dilaksanakan pada bulan Juni
2015 selama 2 minggu. Penelitian ini dilaksanakan di Lamakera, Kecamatan Solor
Timur, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (Gambar 1).

3

Gambar 1 Peta lokasi penelitian di wilayah Lamakera
Sumber: DISHIDROS TNI AL (2004)
Metode Pengambilan Data
Data primer
Data primer diperoleh melalui observasi dan wawancara mendalam (indepth interview). Observasi dilakukan dengan mengamati kegiatan penangkapan
paus yang dilakukan oleh nelayan. Wawancara mendalam dilakukan dengan
menggunakan panduan pertanyaan atau kuesioner (Lampiran 1) terkait
penangkapan paus biru dan kegiatan nelayan kepada responden yang dipilih secara
sengaja (purposive). Responden tersebut adalah nelayan yang terlibat secara
langsung dengan penangkapan paus biru (Lampiran 2), stake-holder, tokoh
masyarakat setempat, serta nelayan. Data primer yang diperoleh berupa data faktor
ekologis dan ekonomis terkait dengan pengelolaan sumberdaya paus biru dan data
komponen pengetahuan ekologi tradisional atau Traditional Ecological Knowledge
(TEK) untuk sumberdaya paus biru.
Data sekunder
Data sekunder diperoleh melalui studi dokumentasi dan studi literatur.
Studi dokumentasi dilakukan dengan mencatat data yang diperlukan dari sumber
tertentu seperti tersaji pada Tabel 1. Studi literatur diperoleh melalui hasil
penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan penelitian ini.
Tabel 1 Jenis dan sumber data sekunder
No
Jenis Data
1 Data kependudukan:Jumlah penduduk
2 Data sosial-ekonomi:Jenis mata
pencaharian dan pendapatan
3 Data perikanan:Jumlah tangkapan paus
biru dan kebijakan terkait penangkapan
paus

Sumber Data
Kantor desa
Kantor desa
Dinas Perikanan dan
Kelautan (DKP) Kab. Flores
Timur dan tokoh masyarakat

4

Analisis Data
Analisis morfologi paus biru
Analisis morfologi dilakukan menggunakan data panjang tubuh paus biru.
Morfologi paus diestimasi berdasarkan ukuran panjang tubuh, tahapannya adalah
sebagai berikut (Woodward et al. 2006):
1
Massa tubuh (M, kg) diestimasi menggunakan formula Lockyer (1976)
untuk memprediksi berat paus (W, ton) berdasarkan panjang tubuh paus
(L, m).
W = a x Lb

2

Dimana a dan b adalah koefisien spesies. Nilai koefisien tersebut telah
dikoreksi untuk hilangnya darah dan cairan: paus biru; a = 0,0029, b = 3,25,
paus bongkok; a = 0,0165, b = 2,95, paus abu-abu; a = 0,0054, b =3,28, dan
right whale; a = 0,0132, b = 3,06.
Volume tubuh (V, m3) dihitung berdasarkan asumsi bahwa paus memiliki
buoyancy yang hampir netral di dalam air laut (Bose et al. 1990 dalam
Woodward et al. 2006). Estimasi M (massa tubuh) digunakan dalam
konjungsi dengan densitas air laut (ρairlaut =1.025 kg/m3), menurut
persamaan berikut:
V=

3

M
ρairlaut

Luas permukaan tubuh (SA, m2) ditentukan menggunakan persamaan
prediksi (Fish 1993b dalam Woodward et al. 2006)
SA = 0,08 x M x 0,65

4

Koefisien volumetrik (Cv) adalah rasio volume tubuh dengan length cubed
dan meberikan ukuran kegemukan tubuh (Bose et al. 1990 dalam
Woodward et al. 2006). Semakin tinggi nilainya maka semakin gemuk
bentuk tubuhnya.
Cv =

V
(0,1 x L)3

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Keadaan umum wilayah penelitian
Lamakera merupakan wilayah yang terletak paling timur dari Pulau Solor,
yaitu pulau yang terletak diantara Flores Timur dan Pulau Lembata. Secara

5

administratif, Lamakera terbagi menjadi dua desa, yaitu Watobuku dan
Motonwutun. Kedua desa ini termasuk dalam wilayah Kecamatan Solor Timur,
Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kecamatan Solor Timur
terdiri dari 17 desa dengan luas wilayah 66,56 km2.
Lamakera memiliki wilayah total seluas 1,84 km2 dengan jumlah penduduk
total 2302 jiwa yang terdiri atas 648 kepala keluarga dan seluruhnya memeluk
Agama Islam. Sebagian besar penduduk Lamakera berasal dari luar Pulau Solor
yaitu Sikka dan Maumere (Pulau Flores) yang bermigrasi akibat bencana alam
tsunami.
Lamakera memiliki karakteristik topografi berbukit batu dengan kondisi
tanah yang tandus. Kondisi tersebut menyebabkan tidak memungkinkan adanya
kegiatan pertanian, sehingga mata pencaharian utama penduduk adalah nelayan
tradisional.
Sumberdaya paus biru (B. musculus)
Aspek biologi paus biru
Paus biru (B. musculus) termasuk dalam kelas cetacea, yaitu kelompok
mamalia laut termasuk di dalamnya paus, lumba-lumba, dan porpoise. Terdapat
sekitar 87 spesies yang terbagi dalam dua kelompok utama yaitu paus baleen
(Mysticeti) dan paus bergigi (Odontoceti). Berikut adalah klasifikasi paus biru
berdasarkan Linnaeaus (Wilson dan Reeder 2005):
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Class
: Mammalia
Ordo
: Cetacea
Subordo
: Mysticeti
Family
: Balaenidae
Genus
: Balaenoptera
Species
: Balaenoptera musculus (Linnaeus, 1758)
Nama umum : Paus biru atau Blue Whale
Nama lokal : Keraru
Paus biru termasuk dalam subordo Mysticeti tidak memiliki gigi, melainkan
baleen yaitu penyaring besar dalam mulut. Famili Balaenidae mempunyai lipatan
di sekeliling tenggorokannya yang memungkinkan mereka menahan sejumlah besar
air. Paus biru terbagi dalam tiga subspesies yaitu B.m. intermedia (Burmeister,
1871) dari Pasifik Utara, B.m. brevicauda (Ichihara, 1966) dari Samudra Hindia,
B.m. musculus dari Atlantik Utara, dan B.m. indica (Blyth, 1859) (Monnahan et al.
2014).
Paus biru memiliki bentuk tubuh yang ramping memanjang, kulit biru
keabu-abuan dan bintik putih keabu-abuan dengan sisi terang. Menurut National
Marine Fisheries Service (NMFS), paus biru memiliki panjang total rata-rata
mencapai 21 hingga 24 meter (tercatat yang terpanjang adalah 32 meter) dan dapat
mencapai bobot 90 hingga 150 ton (NMFS 1998). Hewan ini memiliki dua buah
blowhole atau lubang tiup yang terletak di sisi atas kepala, fluke dan flipper sebagai
alat gerak dan sirip dorsal berbentuk sabit. Paus biru memiliki lapisan minyak atau
blubber setebal 5-30 cm di tubuhnya. Morfologi paus biru disajikan pada Gambar
2.

6

Gambar 2 Morfologi paus biru (B. musculus)
Sumber: Scott (2015)
Keterangan:
1
2
3
4

Mulut (300-400 pasang baleen)
Blowhole (2 buah)
Sirip dorsal kecil berbentuk sabit
Fluke

5 Blubber
6 Flipper/sirip
7 Lekuk tenggorokan

Paus biru matang seksual pada umur 5-10 tahun, betinanya melahirkan satu
anak tiap dua atau tiga tahun sekali dengan waktu kehamilan 10 hingga 12 bulan.
Paus betina berukuran lebih besar dibanding jantan. Makanan utama paus biru
adalah krill yaitu udang-udang kecil atau organisme kecil. Paus biru mempunyai
300 hingga 400 pasang baleen berwarna hitam yang digunakan untuk menyaring
makanan dari air laut. Menurut National Marine Fisheries Service (NMFS), Baleen
adalah struktur berbentuk sikat terbuat dari keratin yang tersusun dalam pelat di
rahang atas paus (NMFS 1998).
Angka harapan hidup hewan ini adalah 80 tahun. Paus biru biasanya hidup
soliter atau membentuk kelompok kecil yang terdiri dari dua atau empat individu.
Paus biru dapat ditemukan di seluruh lautan kecuali di Arktik, dan beberapa laut
regional seperti di Lautan Mediterania, Okhotsk dan Bering (Reilly et al. 2008).
Paus biru mulai diburu secara intensif sejak sekitar tahun 1920 hingga tahun 1960
sehingga mengakibatkan populasinya hampir langka. Hewan ini menghadapi
ancaman dari belitan jaring penangkapan ikan, polusi, dan perburuan ilegal (Osis et
al. 2008). Paus biru masuk dalam Red List Internatioal Union for Conservation of
Nature (IUCN) dengan kategori Endangered (EN).
Paus biru diketahui banyak menghasilkan suara secara sering dan kompleks.
Banyak dari suara yang dihasilkan tersebut diasosiasikan dengan konteks yang
spesifik seperti mencari makan, bersosialisasi dan reproduksi (Recalde-Salas et al.
2014). Suara-suara asing yang ditimbulkan dari kegiatan manusia menyebabkan
gangguan pada level individual seperti respon perilaku, peyamaran sinyal biologis,

7

hilangnya pendengaran baik temporal maupun permanen (Thompsen et al. 2011).
Kebisingan di laut juga mengubah tingkah laku paus dan menyebabkan paus
menjauh dari habitat asalnya (WWF 2014).
Morfologi paus biru (B. musculus)
Kebiasaan makan, jenis makanan, dan habitat dapat diasosiasikan dengan
desain morfologi dari tubuh, fluke, dan flippers pada paus baleen. Cetacean
mengembangkan bentuk tubuh yang halus, streamlined, dan fusiform didorong oleh
fluke yang terhubung dengan tubuh oleh tungkai yang sempit. Konfigurasi bentuk
ini memaksimalkan efisisiensi dan pergerakan. Morfologi paus dianalisis
berdasarkan data panjang paus biru hasil tangkapan nelayan pada bulan Maret 2015
disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2 Hasil analisis morfologi paus biru (B. musculus)
Referensi*
Komponen morfologi
Nilai
(Paus Dewasa)
11
20-22
Panjang tubuh (L)
7,03
88,5
Berat tubuh (W)
6,86
86,43
Volume tubuh (V)
25,33
131,49
Luas permukaan tubuh (SA)
5,15
5,72
Koefisien volumetrik (Cv)

Satuan
m
ton
m3
m2
-

*Referensi data bersumber dari catatan perburuan paus dan data paus terdampar terbaru dari seluruh
dunia dalam Journal of Morphology (Woodward et al. 2006)

Melalui Tabel 2, disajikan hasil pendugaan ukuran tubuh paus biru
berdasarkan analisis morfologi menurut Woodward et al. (2006). Panjang paus
yang ditangkap oleh masyarakat Lamakera berukuran 11 meter sedangkan tubuh
paus dewasa adalah 20-22 meter sehingga diduga paus tersebut belum berusia
dewasa. Berat tubuh berbanding lurus dengan panjang tubuh. Berat tubuh
diestimasi berdasarkan panjang tubuh dan mempertimbangkan faktor hilangnya
darah dan cairan tubuh. Nilai perhitungan yang diperoleh yaitu 7,03 ton dengan
panjang tubuh 11 meter, sedangkan sebegai referensi paus dewasa berukuran 21-22
meter memiliki berat tubuh 88,5 ton. Berat tubuh yang sebenarnya bervariasi sesuai
musim, kondisi tubuh, umur, dan status reproduksi (Woodward et al. 2006).
Sama seperti berat tubuh, volume tubuh berbanding lurus dengan panjang
dan berat tubuh. Paus hasil tangkapan memiliki volume tubuh 6,86 m3, sedangkan
paus dewasa memiliki volume tubuh 86,43 m3. Volume tubuh (V, m3) dihitung
berdasarkan asumsi bahwa paus memiliki buoyancy yang hampir netral di dalam
air laut (Bose et al. 1990 dalam Woodward et al. 2006). Buoyancy dari jenis paus
tertentu tergantung pada komposisi tubuh, kuantitas relatif otot dan blubber atau
lapisan lemak. Paus balaenopterid mempunyai proporsi lapisan otot tertinggi dan
cenderung mempunyai buoyancy negatif dan sebaliknya pada right whales. Selain
itu, ketebalan blubber berfluktuasi pada level individual dengan penggemukan
musiman dan status reproduktif (Rice dan Wolman 1971 dalam Woodward et al.
2006).
Koefisien volumetrik menggambarkan tingkat kegemukan tubuh
berdasarkan panjang tubuh, semakin tinggi nilai koefisien volumetrik maka
semakin gemuk bentuk tubuhnya. Paus biru memiliki koefisien volumetrik

8

terendah dibandingkan paus bongkok (Megaptera novaeangliae), paus abu-abu
(Eschrichtusn robustus) dan right whale (Eubalaena glacialis). Paus biru memiliki
bentuk tubuh paling langsing dengan aspek rasio fluke tinggi, yang mana
merupakan perangkat hidrodinamik untuk meningkatkan efisiensi daya dorong.
Semakin tinggi efisiensi memungkinkan paus menambah lebih banyak daya dorong
pada area fluke untuk menambah kecepatan, tenaga, dan gerakan fluke sambil
meminimalkan gesekan. Kecepatan ini berguna untuk penjelajahan saat mencari
makan. Jenis makanan paus biru terdiri dari zooplankton yang terdistribusi secara
luas dalam kelompok-kelompok. Meskipun jenis makanannya bukan jenis yang
dapat bergerak cepat, namun kecepatan gerakan berguna ketika berpindah dari satu
kelompok makanan ke kelompok lainnya (Woodward et al. 2006).
Penangkapan sumberdaya paus biru (B. musculus)
Penangkapan paus secara tradisional oleh masyarakat Lamakera telah
dilakukan sejak 500 tahun lalu (Wiadyana 2014). Tradisi ini terbentuk seiring
terbentuknya wilayah Lamakera. Masyarakat Lamakera berasal dari Sikka dan
Maumere (Pulau Flores) yang melakukan perpindahan karena terjadi bencana alam
tsunami. Kedatangan dengan membawa hasil buruan paus yang kemudian
diberikan kepada pemilik tanah daerah tersebut (awalnya bernama Tanahwerang)
untuk dibagikan kepada warganya dan meminta supaya diperbolehkan menempati
wilayah tersebut. Setelah terbentuk, Lamakera didatangi oleh suku-suku lain
sehingga berkembang menjadi tujuh suku besar (Gambar 3).

Watobuku

Fishing village

Lamakera
Motonwutun
 Suku Kampung
Lamakera
 Suku Lawerang
 Suku Kuku Onang
 Suku Lewoklodo
 Suku Ema Onang
 Suku Harionang
 Suku Kiko Onang

Keterangan:

Whaling and Fishing
village

: Memanfaatkan

Gambar 3 Struktur kemasyarakatan Lamakera
Lamakera secara administratif terbagi menjadi dua desa yaitu Desa
Watobuku dan Desa Motonwutun. Nelayan Desa Watobuku adalah tipikal nelayan
biasa yang mencari ikan dengan menggunakan pancing. Secara turun temurun
kegiatan memburu paus dan hewan-hewan laut berukuran besar lainnya merupakan
mata pencaharian nelayan Desa Motonwutun, hingga saat ini hanya nelayan dari

9

Desa Motonwutun saja yang dapat memburu paus. Walaupun demikian, hasil
tangkapan paus dimanfaatkan oleh masyarakat Motonwutun maupun Watobuku.
Masyarakat Lamakera terdiri dari 7 suku besar yang terbagi lagi menjadi beberapa
fam atau marga.
Alat tangkap dan proses penangkapan paus
Penangkapan paus di Lamakera menggunakan alat tangkap tradisional yang
terdiri atas; tombak besar atau kohawek dan tali (Gambar 4), tombak kecil atau
beladek (Gambar 5) dan kapal atau tena bermotor (Gambar 6). Tombak diikatkan
pada tali dengan panjang ±100 meter. Gambar 7 adalah miniatur kapal tradisional
atau paledang yang digunakan untuk menangkap paus.

Gambar 4 Tombak besar (kohawek)
dan tali

Gambar 5 Tombak kecil (beladek)

Gambar 6 Perahu (tena) bermotor

Gambar 7 Paledang (miniatur)

Dalam satu armada kapal biasanya terdapat hingga 5 tombak dan 3 atau 4
gulung tali dengan ukuran tertentu (±100 m) dan terdapat minimal dua kapal dalam
satu operasi penangkapan. Armada yang digunakan adalah perahu berbahan kayu
berukuran 9-11,5 meter yang digerakan dengan motor berukuran 2,5-3,5 gross ton
(GT). Sebelum adanya kapal bermesin, masyarakat Lamakera menggunakan kapal
tradisional yang disebut paledang. Masyarakat Lamakera menjual perahu
tradisional terakhir mereka pada pembeli dari Belanda pada tahun 1990-an
(Mustika 2006).
Operasi penangkapan tidak dilakukan setiap hari, operasi penangkapan
dilakukan apabila paus melintas di perairan Lamakera dan dideteksi
kemunculannya melalui pengetahuan masyarakat lokal. Bila paus terlihat muncul
di perairan Selat Lamakera atau sekitarnya, maka siapapun yang melihat melapor
ke penombak atau belwaeng, kemudian penombak beserta anak buah kapal yang

10

lain segera mengejar paus tersebut lalu menombaknya. Tombak yang digunakan
untuk menombak pertama kali adalah kohawek atau tombak besar. Penombak
melompat dari kapal kemudian menancapkan tombak pada tubuh paus. Kemudian
paus berenang menjauh sambil menarik kapal. Saat paus menarik kapal, mesin
tidak boleh langsung dimatikan agar memberatkan paus. Bila paus terlalu besar
dan tarikan terlalu kuat, kapal lain datang membantu. Penombakan kedua
dilakukan dengan menggunakan tombak kecil atau beladek yang bertujuan untuk
membunuh paus dengan menikam bagian bawah sirip atau flipper. Mesin kapal
lalu dimatikan dan dibiarkan tertarik oleh paus sampai paus lelah dan mati. Paus
kemudian ditarik ke pantai untuk dipotong dan dibagikan sesuai dengan sistem
pembagian tradisional.
Target dan area penangkapan
Target utama penangkapan paus di Lamakera adalah paus baleen (keraru)
atau paus tak bergigi dari sub ordo Mysticeti. Berdasarkan pengenalan spesies oleh
masyarakat lokal, paus baleen yang pernah ditangkap masyarakat Lamakera
diataranya adalah paus biru, pygmy right whale, paus minke, paus bryde dan paus
abu-abu. Masyarakat nelayan Lamakera menangkap paus di perairan sekitar Pulau
Solor yaitu perairan di Selat Lamakera dan bagian selatan Pulau Solor, Selat Solor,
dan Selat Flores (Wiadyana et al. 2014). Peta area perburuan paus, lumba-lumba
dan pari manta oleh masyarakat Lamakera dan Lamalera tersaji pada Gambar 8.

Gambar 8 Daerah penangkapan mamalia laut dan pari manta oleh nelayan
Lamakera dan Lamalera
Sumber: Mustika 2006
Paus biru, khususnya paus biru kerdil (B.m. brevicauda) bermigrasi dari
perairan Australia menuju Indonesia melewati Laut Sawu untuk bereproduksi
(Double et al. 2014). Pergerakan migrasi paus biru kerdil tersaji pada Gambar 9.

11

Gambar 9 Pergerakan migrasi paus biru kerdil (B.m. brevicauda)
Sumber: Double et al. 2014

12

Paus biru khususnya subspesies paus biru kerdil (B.m. brevicauda) yang
terdapat di perairan Australia bermigrasi diantara Australia dan Indonesia melalui
pesisir barat Australia. Paus biru kerdil bermigrasi pada Maret/April ke utara dari
Ngarai Perth atau wilayah Naturaliste Plateu menuju Indonesia melalui bagian
tenggara benua Australia. Pada bulan Juni, paus biru kerdil tiba di perairan
Indonesia melewati Laut Sawu dan Laut Timor menuju Laut Banda dan Laut
Molucca kemudian menetap hingga September. Selanjutnya, paus biru kerdil
kembali melakukan migrasi menuju Australia hingga bulan Desember mencapai
zona subtropikal depan. Pergerakan paus kemudian melambat hingga tiba di Ngarai
Perth atau wilayah Naturaliste Plateu pada Maret atau April (Double et al. 2014)
Pembagian dan pengolahan hasil tangkapan
Sistem pembagian hasil tangkapan mengikuti kebiasaan yang telah ada.
Pembagian ini didasarkan pada tradisi lokal dan keterlibatan dalam kegiatan
penangkapan paus. Sistem pembagian hasil tangkapan paus oleh masyarakat
Lamakera tersaji pada Gambar 10.

Gambar 10 Pembagian hasil tangkapan secara tradisional
Sumber: Mustika (2006)
Keterangan:
I
: Saudara perempuan pemilik kapal/penombak
IIa, III dan IV : Pemilik kapal dan penombak
IIb dan V
: Anak buah kapal (ABK)
VI dan VIII : Pemilik kapal
Hasil tangkapan paus dipotong dan dibagikan kepada saudara perempuan
pemilik kapal, pemilik kapal/penombak dan ABK kapal. Keluarga saudara
perempuan pemilik kapal mendapat bagian hasil tangkapan karena kapal yang
digunakan adalah kapal warisan dari generasi sebelumnya. Selebihnya, hasil
dibagikan berdasarkan keterlibatan dalam proses penangkapan paus.
Selanjutnya, daging dibagikan kepada papalele yaitu istri nelayan penjual
hasil laut. Daging dijual ke papalele sejumlah 40 potong dengan dimensi masingmasing sekitar 20 x 14 x 3 cm seharga Rp250 000 yang kemudian dijual ke seluruh
desa. Masyarakat bisa membeli daging beserta kulit seharga Rp10 000. Produk
olahan tradisional yang dibuat adalah dendeng paus dan minyak yang terbuat dari
lemak paus.

13

Nelayan tidak memiliki catatan mengenai jumlah tangkapan paus, namun
sejak 2013 mulai dilakukan pencatatan terhadap hasil tangkapan nelayan Lamakera.
Paus yang ditangkap sejak 2013-2015 berjumlah tiga ekor, yaitu dua ekor di tahun
2014 dan satu ekor pada tahun 2015. Paus yang ditangkap pada 2015 adalah paus
biru dengan panjang tubuh 11 meter.
Pembagian hasil tangkapan paus nelayan Lamakera lebih sederhana jika
dibandingkan pembagian hasil tangkapan nelayan Lamalera. Hasil tangkapan paus
sperma di Lamalera dibagi berdasarkan tiga unsur utama yaitu Tuan tanah, suku
pemilik perahu dan meng atau awak perahu. Sistem pembagian ini lebih kompleks
dibandingkan sistem pembagian nelayan Lamakera (Ramadhan 2015). Berikut
disajikan gambar pembagian hasil tangkapan paus sperma oleh masyarakat
Lamalera pada Gambar 11.

Gambar 11 Pembagian hasil tangkapan paus sperma (Physeter macrocephalus)
Sumber: Ramadhan 2015
Hasil tangkapan dibagikan kepada:(1) Semua awak perahu yang melaut dan
semua warga kampung, (2) Juru tikam (lamafa), (3) Oranng tua lamafa dan rumah
adat lamafa, (4) Orang yang menikam paus pertama, (5) Pembuat tempuling yang
digunakan oleh lamafa, (6) Anggota pemilik perahu dan penjaga perahu (tena alep),
(7) Awak perahu yang ikut melaut, (8) Anggota pemilik perahu, (9) Pembuat
perahu, (10) Penjaga perahu, para janda, para yatim piatu dan orang yang tidak ikut
dalam penangkapan karena kondisi fisik tidak memungkinkan, (11) Anggota suku
dari perahu yang turut membantu mengadakan kayu dan bahan makanan pada
proses pembuatan perahu, (12) Orang yang ikut mendorong perahu saat melaut
maupun mendarat, (13) Orang yang memotong tubuh paus untuk memepercepat
kematian, (14) Tena alep yang menikam pertama, dan (15) Paledang yang membuat
paus mati. Sementara itu bagian isi perut serta usus dan jantung menjadi milik ume
alep atau para penanam saham, sedangkan bagian usus diberikan kepada para
matros (Ramadhan 2015).
Daerah penangkapan masyarakat Lamalera yaitu Tanjung Suba-Tanjung
Atadei ke arah selatan sejauh 20 mil. Musim penangkapannya terbagi menjadi dua,
yaitu: Musim Lefa (Mei-September) dan Musim Baleo (Oktober-April). Musim
Lefa adalah musim ketika aktif mencari paus, hiu serta pari, sedangkan Musim
Baleo hanya menunggu tanda-tanda adanya paus dari pantai (Ramadhan 2015).
Kegiatan perikanan di Lamakera
Penduduk Lamakera hampir seluruhnya berprofesi sebagai nelayan.
Nelayan di Lamakera termasuk dalam kategori nelayan kecil yaitu orang yang mata
pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup

14

sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 (Lima)
gross ton (GT) (UU No. 45 Tahun 2009). Armada yang digunakan adalah perahu
dengan mesin motor tempel 16-32 PK dan berukuran 1,0-4,0 GT. Alat tangkap
yang digunakan adalah pancing, bubu, jaring insang, tombak, dan bom. Armada
penangkapan beranggotakan 4-6 orang anak buah kapal (ABK) dengan biaya
operasional Rp200 000-Rp300 000/hari. Hasil tangkapan mega fauna pada tahun
2014 tersaji pada Tabel 3.
Tabel 3 Jumlah tangkapan mega fauna laut Desa Motonwutun dan Desa Watobuku
(2014)
Jumlah Tangkapan (ekor)
Jenis Ikan
Mar
Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Jumlah
Hiu Bintang
35
5
1
1
1
43
Hiu Korea
5
42
47
Pari (manta
dan pari lain)
30
57 101 18 4
3
213
Paus
1
1
2
Hasil tangkapan pari sangat tinggi jika dibandingkan dengan hasil
tangkapan mega fauna lain. Pari merupakan target tangkapan utama masyarakat
Lamakera khususnya nelayan dari Desa Motonwutun. Pari manta (Gambar 12),
adalah jenis mega fauna yang paling banyak ditangkap oleh masyarakat Lamakera.
Hasil tangkapan pari manta dijual dalam bentuk segar atau dikeringkan (Gambar
13). Daging pari manta dijual seharga Rp125 000 per potong.

Gambar 12 Pari manta
Sumber: Kkji.kp3k.kkp.go.id

Gambar 13 Daging pari yang
dikeringkan

Hasil tangkapan nelayan Lamakera berupa ikan pelagis, ikan demersal, serta
mamalia laut. Hasil produksi perikanan Desa Watobuku dan Desa Motonwutun
disajikan pada Lampiran 3. Hasil tangkapan masyarakat Lamakera di antaranya
ikan pelagis seperti madidihang, tuna mata besar, cakalang, selayar, selar, dll.
Pengetahuan ekologi tradisional (traditional ecological knowledge)
Kegiatan penangkapan paus di Lamakera didasarkan pada Traditional
Ecological Knowledge (TEK) atau pengetahuan ekologi tradisional masyarakat dan
pengetahuan lokal yang telah diketahui secara turun-temurun. Pengetahuan ekologi

15

tradisional atau Traditioal Ecological Knowledge (TEK) sumberdaya paus biru dan
pengetahuan tradisional mengenai manajemen penangkapan yang terdapat pada
maysarakat Lamakera disajikan pada Tabel 4 dan 5.
Tabel 4 Pengetahuan ekologi tradisional pada kegiatan penangkapan paus biru (B.
musculus) di Lamakera
Komponen
TEK
Manajemen Lokal
Identifikasi
Identikasi dengan melihat Jenis paus yang ditangkap
spesies
bentuk tubuh, tipe
adalah paus tidak bergigi.
semburan, dan tingkah
Masyarakat mampu
laku saat ditangkap.
membedakan dengan
melihat bentuk tubuh.
Identifikasi
Identifikasi jenis kelamin
Sulit membedakan sehingga
jenis kelamin berdasarkan bentuk tubuh, nelayan menangkap semua
jantan bertubuh ramping
jenis paus baleen baik
dan panjang, sedangkan
jantan maupun betina
betina lebih pendek dan
besar (gemuk).
Identifikasi
Memperkirakan dalam
Nelayan mengejar paus
tingkah laku atau tidaknya paus
yang muncul tiga kali secara
menyelam dengan
berturut-turut.
menghitung jumlah
kemunculan.
Tabel 5 Pengetahuan tradisional masyarakat pada kegiatan penangkapan paus biru
(B. musculus) di Lamakera
Komponen
Pengetahuan tradisional
Teknologi
Alat
penangkapan
Daerah
penangkapan
Musim
penangkapan
Sistem
ekonomi

Sistem bagi
hasil
Sistem
pemasaran
hasil

Alat yang digunakan adalah perahu kayu (tena)
bermotor, tali, tombak besar (belwaeng) dan
tombak kecil (kohawek).
Penangkapan dilakukan dimana paus terlihat
melintas yaitu di bagian selatan Pulau Solor,
Selat Solor, dan Selat flores
Maret–Desember, arah migrasi April-Juni ke
utara, September hingga Desember ke selatan.
Sistem bagi hasil didasarkan adat dan
keterlibatan pada proses penangkapan.
Sistem pemasaran hasil tangkapan ke seluruh
desa oleh para papalele.

Sebagi pembanding, di Indonesia terdapat masyarakat yang memburu paus
secara tradisional yaitu masyarakat Lamalera di Pulau Lembata (Ramadhan 2015).
Jarak kedua wilayah ini tergolong dekat, Pulau Lembata terletak tepat di sebelah
timur Pulau Solor. Namun demikian, terdapat perbedaan pada tradisi penangkapan
dan pengetahuan ekologi tradisional yang terdapat pada kedua masyarakat tersebut.

16

Pengetahuan ekologi tradisional pada penangkapan paus oleh nelayan Lamalera
berdasarkan Ramadhan (2015) disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Komponen pengetahuan ekologi tradisional pada kegiatan penangkapan
paus sperma di Lamalera
Komponen
TEK
Manajemen Lokal
Identifikasi
Identikasi dengan melihat Jenis paus yang ditangkap
spesies
tipe semburan.
paus sperma sedangkan
paus biru tidak ditangkap.
Identifikasi
Perbedaan jantan dan
Sulit untuk membedakan
jenis kelamin betina dari bentuk tubuh, sehingga nelayan
jantan ukuran lebih
menangkap tanpa
panjang dan besar
mempertimbangkan jenis
sedangkan betina lebih
kelamin
pendek dan lebar
(gemuk).
Pengetahuan
Pengetahuan tentang pola Sulit untuk membedakan
mengenai
reproduksi
paus hamil atau tidak.
reproduksi
Tidak pernah menangkap
dan mengasuh
paus kecil dan sedang
anak
menyusui atau diasuh
induknya.
Nelayan Lamalera memburu paus sperma (Physeter macrocephalus)
menggunakan perahu tradisional (paledang atau tena laja) dan tombak (tempuling).
Teknologi penangkapan yang ada di Lamalera tidak jauh berbeda yaitu perahu
(tena) bermotor, tombak, dan tali.
Kegiatan penangkapan tradisional yang dilakukan oleh masyarakat
Lamakera mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan pada tradisi
penangkapan paus di Lamakera tersaji pada Tabel 5.
Tabel 7 Perubahan tradisi penangkapan paus di Lamakera
Subyek
Dahulu
Sekarang
Menggunakan tena/perahu
Kapal
Tradisional (paledang)
bermotor sebagai penggerak
Tali terbuat dari anyaman
Tali terbuat dari anyaman
Tali pengikat
benang, atau tali tambang
lontar atau serat tumbuhan
dari plastik
Dikonsumsi dan dijual secara
Daging dan tulang
Hasil
barter. Tulang disimpan di
dikonsumsi dan dijual.
rumah adat
Tidak ada, tradisi tersebut
Ada, dilakukan sebelum
Ritual adat
tergerus oleh masuknya
kegiatan penangkapan
kepercayaan Islam.
Masyarakat Lamakera tidak lagi melakukan ritual adat sebelum menangkap
paus. Hal ini disebabkan karena masuknya kepercayaan Islam yang melarang
adanya kegiatan ritual adat. Meskipun demikian, penghormatan terhadap tombak

17

masih terlihat dari cara menyimpan dan membawa tombak. Tombak disimpan di
atas meja khusus dengan alas kain bersih. Perubahan pada alat tangkap terlihat dari
penggunaan motor pada perahu sebagai penggerak dan perubahan pada bahan
pembuat tali.

Pembahasan
Traditional Ecological Knowledge (TEK) dideskripsikan sebagai kumulatif
dari pengetahuan dan kepercayaan, yang diturunkan antar generasi oleh transmisi
kebudayaan, mengenai hubungan antar makhluk hidup serta hubungan makhluk
hidup dengan lingkungannya (Berkes 1993 dalam Mustika 2006). Pendekatan ini
sering digunakan dalam sains modern untuk membantu memahami pentingnya
aspek biologi pada kebudayaan tradisional seperti bowhead whales dan beluga di
Alaska (Freeman 2003 dalam Mustika 2006).
Analisis pengetahuan ekologi tradisional atau traditional ecological
knowledge (TEK) memiliki beberapa level analisis yang saling berhubungan
menurut Berkes (2008). Level analisis tersebut yaitu pengetahuan lokal mengenai
tanah, tumbuhan dan binatang, sistem manajemen sumberdaya, institusi sosial dan
pandangan hidup.
Pengetahuan lokal dan empiris masyarakat Lamakera mengenai ekologi
paus tergolong sedikit. Masyarakat mengidentifikasi jenis paus yang menjadi
buruan dari tipe semburan dan bentuk tubuh. Indentifikasi ini digunakan untuk
membedakan jenis paus yang menjadi target penangkapan nelayan Lamakera
dengan jenis paus yang menjadi target Lamalera yaitu paus sperma.
Paus yang ditangkap adalah paus baleen atau paus tidak bergigi, sedangkan
paus bergigi tidak ditangkap. Masyarakat mampu membedakan kedua jenis paus
tersebut dari bentuk tubuh, semburan dan tingkah laku paus. Pada umumnya,
masyarakat Lamakera tidak menangkap paus bergigi karena terlalu berbahaya
untuk ditangkap dan tidak menyukai rasa dagingnya. Paus sperma melakukan
perlawanan saat ditangkap dengan membenturkan badannya ke perahu dan
menyelam sehingga perahu beresiko tertarik dan tenggelam. Masyarakat Lamakera
menyebut paus sperma dengan sebutan “ikan bodoh”. Paus biru diketahui sebagai
perenang cepat yang berenang menjauh dengan cepat saat ditangkap.
Masyarakat tidak mengetahui mengenai reproduksi paus. Menurut Double
et al. (2014), paus biru berigrasi ke wilayah perairan Indonesia mencari tempat yang
hangat untuk bereproduksi. Mengenai pembedaa jenis kelamin, masyarakat hanya
mampu membedakan jenis kelamin paus ketika paus sudah ditangkap. Sehingga,
masyarakat cenderung memburu semua jenis paus baleen baik betina atau jantan.
Pengetahuan ekologi lainnya yaitu masyarakat mampu memperkirakan dalam atau
tidaknya paus biru menyelam dari jumlah kemunculan.
Sistem manajemen sumberdaya diperlihatkan pada teknologi dan teknik
penangkapan, sistem pembagian, dan penjualan.
Teknik dan teknologi
penangkapan paus biru diperoleh dari turun temurun menggunakan kapal
tradisional (paledang), tombak besar (kohawek) dan tobak kecil (beladek). Saat ini
penggunaan kapal tradisional digantikan dengan perahu (tena) bermesin. Teknik
penangkapan juga diperoleh secara turun temurun.

18

Selanjutnya, terdapat pengetahuan mengenai daerah penangkapan dan
musim penangkapan. Masyarakat Lamakera menangkap paus di perairan sekitar
Pulau Solor yaitu di Selat Lamakera dan bagian selatan Pulau Solor, Selat Solor,
dan Selat Flores (Wiadnyana et al. 2014). Masyarakat mengetahui bahwa paus
biasanya bermigrasi di wilayah tersebut pada bulan Mei hingga Desember.
Menurut pengamatan Double et al. (2014), paus biru kerdil (B.m. brevicauda) yaitu
subspesies dari paus biru (B. musculus), bermigrasi dari Australia melewati perairan
Laut Sawu menuju Laut Banda pada bulan Juni dan menetap hingga September.
Paus biru mempunyai pola migrasi musiman untuk bereproduksi pada musim panas
dan mencari makan pada musim dingin (Reilly et al. 2008).
Institusi sosial dalam TEK yaitu seperangkat peraturan dalam pemanfaatan,
norma-norma dan kode-kode dalam hubungan sosial (Destriani 2011). Paus biru
dimanfaatkan oleh nelayan Lamakera dengan sistem pembagian tradisional yang telah
ditetapkan. Daging yang diperoleh dijual dengan sistem barter dan tulangnya disimpan
di rumah adat. Namun saat ini, tradisi ini telah berubah. Sistem pembagian hasil
tangkapan tidak berubah namun hasilnya baik daging maupun tulang dijual untuk
memperoleh keuntungan. Aturan adat dan kepercayaan adat misalnya ritual dalam
memulai aktifitas perburuan tidak lagi dilakukan.
Kegiatan penangkapan paus di Lamakera dan Lamakera, keduanya
memiliki cukup banyak perbedaan. Segi spiritual dan aspek budaya pada
penangkapan paus di Lamakera tidak lagi menjadi hal yang penting seperti yang
terjadi pada masyarakat Lamalera. Masyarakat Lamalera masih menjalankan
aturan dan kepercayaan adat dalam kegiatan penangkapan paus sedangkan
masyarakat Lamakera sudah tidak lagi. Upacara adat yang tidak lagi dilakukan
telah mengurangi kepercayaan spiritual di Lamakera (Mustika 2006).
Ambarwati Kurnianingsih (2004) dalam Mustika (2006) menduga bahwa
perubahan tersebut merupakan pengaruh dari perbedaan kepercayaan dan tradisi
dari masyarakat Lamakera dan Lamalera. Penduduk Lamakera terlebih dahulu
berinteraksi dengan misionaris Katolik pada tahun 1886 (Barnes 1996 dalam
Destriani 2011) yang masih memperbolehkan keberlangsungan dari praktik ritual
adat. Namun di lain pihak, masyarakat Lamakera berhubungan dengan imam
Muslim yang melarang aktivitas mistik atau ritual seperti sesaji ataupun berdoa
untuk perburuan paus. Situasi serupa terjadi di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan
Kepulaun Seribu (Jakarta Utara).
Peran dan keterlibatan suku di Lamalera sangat kuat, tiap suku memiliki
peran masing-masing. Sebagai contoh pada kegiatan ritual adat sebelum memulai
musim penangkapan Lefa, suku tiga tungku (Bataona, Blikololong, dan Levotuan)
meminta suku pemilik tanah untuk memulai ritual adat. Selain itu, suku tiga tungku
memiliki peran untuk memimpin musyawarah yang membahas mengenai
penangkapan paus (Ramadhan 2015). Pembagian hasil tangkapan paus sperma juga
didasarkan pada suku, yaitu kepada suku pemilik tanah, suku pemilik perahu dan
meng (Ramadhan 2015). Hal serupa tidak terjadi di Lamakera, tidak terdapat
keterlibatan suku dalam pengelolaan sumberdaya paus biru.
Pengelolaan sumberdaya paus biru (B. musculus)
Paus biru merupakan hewan yang mengalami ancaman kepunahan,
populasinya menurun secara drastis pada abad ke-20 mengeliminasi sekitar 90%
dari populasinya. Di banyak bagian dunia, informasi tentang distribusi, ukuran

19

populasi dan perilaku mamalia laut kurang diketahui, sebagian karena kegiatan
survei mamalia laut relatif mahal, memakan waktu dan memerlukan alat logistik
yang menantang (Ender 2012). Populasi global paus biru tidak diketahui secara
pasti, namun berdasarkan informasi dari Internatioal Union for Conservation of
Nature (IUCN), populasi total untuk spesies ini ada di kisaran 10.000-25.000 yaitu
sekitar 3-11% dari ukuran populasi pada tahun 1911 (IUCN 2012).
Perburuan paus di Lamakera telah terjadi sejak 500 tahun yang lalu.
Perburuan secara tradisional diperbolehkan oleh International Whaling
Commission karena termasuk ke dalam subsistent whaling, yang mana tidak
menyebabkan penurunan populasi paus (Barnes 1996 dalam Mustika et al. 2009).
Alat yang digunakan dalam penangkapan adalah tombak, tali dan perahu tanpa
mesin, tapi hanya menggunakan dayung dan layar (Wiadnyana 2004).
Target utama penangkapan paus di Lamalera adalah paus sperma yang
disebut koteklema oleh masyarakat lokal (Rudolph et al. 1997). Setelah beberapa
tahun, jumlah tangkapan yang dicatat oleh masyarakat Lamalera mengalami
penurunan sejak 1959-2004 (Ramadhan 2015). Namun, masyarakat Lamalera
sendiri tidak mengetahui mengapa kondisi tersebut terjadi. Sejak 1980, masyarakat
Lamakera mengganti peralatan tradisional untuk penangkapan paus menggunakan
kapal dengan mesin (Wiadnyana 2004). Karena masyarakat menangkap paus
menggunakan cara-cara tradisonal (hasil tangkapan tidak lebih dari 10 ekor per
tahun), aktivitas perburuan di area ini tidak berpengaruh pada populasi paus di
dunia (Barnes 1996 dalam Mustika et al. 2009). Untuk mengharmoniskan antara
konservasi dan perburuan tradisional, harus dilakukan sebuah control untuk
melarang penggunaan kapal bermotor atau teknik dan peralatan modern dalam
aktivitas penangkapan paus.
Berdasarkan penelitian, salah satu upaya lain yang dapat dilakukan dalam
pengelolaan sumberdaya paus yaitu pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat.
Pengelolaan ini menitikberatkan pada pendekatan pengelolaan sumberdaya alam
dengan meletakan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai
dasar pengelolaanya (Nikijulum 2000 dalam Ramadhan 2015). Masyarakat dapat
diberi pengertian kesadaran lingkungan bahwa populasi paus saat ini sudah semakin
berkurang, kemudian dapat dibentuk kesepakatan pembatasan penangkapan untuk
paus per tahun atau bahkan tidak menangkap. Nelayan Lamakera sendiri
sebenarnya tidak terlalu bergantung pada hasil tangkapan paus, target utama
nelayan adalah pari manta, paus hanya sebagai tangkapan pelengkap (Mustika
2006).
Upaya konservasi paus biru (B. musculus)
Paus biru merupakan hewan yang terancam punah sehingga diperlukan
upaya konservasi. Beberapa upaya konservasi telah dilakukan baik oleh pemerintah
maupun oleh Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang konservasi
sumberdaya alam. Berikut adalah beberapa upaya konservasi yang telah dilakukan:
 Paus biru ditetapkan sebagai satwa yang dilindungi oleh pemerintah
Indonesia dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tahun
1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa (Pemerintah Republik
Indonesia 1999)
 Penetapan Kawasan Konservasi Perair