. Analisis Filogenetik Spesies Dan Bioaktivitas Sekresi Kulit Katak Terhadap Streptococcus Pneumoniae.

ANALISIS FILOGENETIK SPESIES DAN
BIOAKTIVITAS SEKRESI KULIT KATAK
TERHADAP Streptococcus pneumoniae

JAJANG SUHYANA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Filogenetik
Spesies dan Bioaktivitas Sekresi Kulit Katak Terhadap Streptococcus pneumoniae
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015

Jajang Suhyana
NIM G 851130041

RINGKASAN
JAJANG SUHYANA. Analisis Filogenetik Spesies dan Bioaktivitas Sekresi Kulit
Katak terhadap Streptococcus pneumoniae. Dibimbing oleh I MADE ARTIKA dan
DODI SAFARI.
Indonesia memiliki sekitar 450 spesies katak. Sekresi kulit katak diduga
dapat dijadikan sumber alternatif bahan antibakteri Streptococcus pneumoniae
terkhusus spesies multi-drug resistant (MDR). Tujuan penelitian adalah melakukan
analisis filogenetik spesies katak dan menguji aktivitas antibakteri sekresi kulit
yang dihasilkan terhadap isolat S. pneumoniae multi-drug resistant (MDR).
Penelitian ini menggunakan dua spesies katak yaitu Fejervarya limnocharis dan
Limnonectes macrodon. Analisis filogenetik dilakukan berdasarkan sekuen
fragmen gen sitokrom oksidase subunit I (COI) mitokondria. Pengeluaran sekresi
kulit katak distimulasi dengan menggunakan hormon efinefrin. Aktivitas
antibakteri sekresi kulit katak diuji menggunakan teknik sumuran dan teknik

perendaman kertas cakram. Hasil analisis filogenetik menunjukkan bahwa katak F.
limnocharis memiliki hubungan kekerabatan dekat dengan Fejervarya sp asal Bali.
Sekresi kulit katak F. limnocharis diindikasikan mengandung senyawa antibakteri
S. pneumoniae multi-drug resistant (MDR) SPN1307 yang lebih kecil
dibandingkan kontrol kloramfenikol. Sebaliknya, sekresi kulit katak spesies L.
macrodon tidak menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap S. pneumoniae multidrug resistant (MDR) SPN1307. Oleh karena itu, sekresi kulit katak F.limnocahris
mempunyai kemampuan untuk dijadikan suatu sumber bahan antibakteri S.
pneumoniae multi-drug resistant (MDR) SPN1307.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekresi kulit katak dari F. limnocharis
mampu menjadi agen antibakteri terhadap S. pneumoniae MDR/non-MDR.
Kemampuan bioaktivitas terhadap S. pneumoniae SPN1307 dan ATCC49619
ditunjukkan dengan metode sumuran yaitu menghasilkan diameter zona bening
sebesar 9.00±0.001 mm dan 8.00±0.001 mm, sedangkan untuk L. macrodon tidak
menunjukkan adanya kemampuan antibakteri. Hasil pada metode perendaman
paper disk selama 5 menit sampel F. limnocharis terhadap S. pneumoniae SPN1307
dan ATCC49619 adalah 11.33±0.057 mm dan 9.70±0.001 mm, serta untuk
perendaman paper disk 30 menitnya adalah 9.00±0.032 mm terhadap SPN1307 dan
8.90±0.044 mm pada ATCC49619. Penentuan filogenetik berdasarkan DNA COI
untuk memastikan spesies katak yang digunakan adalah benar spesies
F. limnocharis dengan kesamaan 97% terhadap spesies F. limnocharis lain yang

sebelumnya pernah diteliti di Bali, Indonesia.
Kata kunci: Antimikroba, Filogenetik molekuler, Sekresi kulit katak, Streptococcus
pneumoniae.

SUMMARY
JAJANG SUHYANA. Spesies Filogenetic Analysis and Bioactivity Frog Skin
Secretion Against Streptococcus pneumoniae. Supervised by I MADE
ARTIKA and DODI SAFARI.
Indonesia houses about 450 frog species. Frog skin secretions are
considered to be a potential alternative source of antibacterial agents against
Streptococcus pneumoniae especially multi-drug resistant (MDR) species. The
aims of the study are to analyze the phylogenetic of frog species and test
antibacterial activity of its skin secretions against S. pneumoniae multi-drug
resistant (MDR). The study utilized two species of frog, Fejervarya limnocharis
and Limnonectes macrodon. Phylogenetic analysis was carried out based on DNA
sequence of a partial fragment of mitochondrial cytochrome oxidase subunit I (COI)
gene. The release of skin secretion was stimulated by epinephrine injection.
Antibacterial activity of the skin secretions was tested using the well and paper disc
methods. Phylogenetic analysis showed that the frog F. limnocharis is closely
related to Fejervarya sp from Bali. Skin secretions of F. limnocharis indicated

antibacterial activity against S. pneumoniae multi-drug resistant (MDR) SPN1307
smaller than chloramphenicol. On the other hand, skin secretions of Limnonectes
macrodon failed to inhibit the growth of S. pneumoniae multi-drug resistant (MDR)
SPN1307. Therefore the skin secretions of F. limnocharis had the potential to be
used as a source of antibacterial agents against S. pneumoniae multi-drug resistant
(MDR) SPN1307.
Results showed that skin secretion from frog species F. limnocharis could
be used antibacterial agent for S. pneumoniae MDR/non-MDR. Bioactivity for S.
pneumoniae SPN1307 dan ATCC49619 showed with using the well method that its
results for clear zone 9.00±0.001 mm and 8.00±0.001 mm, whereas L. macrodon
did not have antibacterial activity. Results of paper disc method for 5 minute F.
limnocharis sample against S. pneumoniae SPN1307 dan ATCC49619 were
11.33±0.057 mm and 9.70±0.001 mm, with result of paper disc method for 30
minute was 9.00±0.032 against SPN1307 and 8.90±0.044 mm in ATCC49619.
Molecular-based phylogeny based on DNA COI to ensure that frog species being
used in this research really as F. limnocharis with 97% related in another F.
limnocharis species in Bali, Indonesia.
Keywords: Antimicrobial agent, Frog skin secretion, Molecular-based phylogeny,
Streptococcus pneumoniae


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

ANALISIS FILOGENETIK SPESIES DAN BIOAKTIVITAS
SEKRESI KULIT KATAK TERHADAP Streptococcus pneumoniae

JAJANG SUHYANA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biokimia


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Syamsul Falah, S.Hut, M.Si

Judul Tesis : Analisis Filogenetik Spesies dan Bioaktivitas Sekresi Kulit Katak
terhadap Streptococcus pneumoniae
Nama
: Jajang Suhyana
NIM
: G851130041

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir I Made Artika, M.App,Sc
Ketua


Dodi Safari, Ph.D
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Biokimia

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr drh Maria Bintang, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 31 Agustus 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang

dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2014 ini ialah
Analisis Filogenetik Spesies dan Bioaktivitas Sekresi Kulit Katak terhadap
Streptococcus pneumoniae.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir I Made Artika, M.App,Sc
dan Bapak Dodi Safari, Ph.D selaku pembimbing, serta Sdr Miftahuddin Majid
Khoeri dan rekan peneliti pada Laboratorium Bakteriologi Lembaga Eijkman. Di
samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Mirza D. Kusrini
beserta staf Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas
Kehutanan IPB Darmaga. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada papa,
ibuk, bapak serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2015

Jajang Suhyana

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

vi


DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
4

6
6
6
6

2 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan
Alat
Persiapan Sampel
Persiapan Larutan
Pengukuran Karakteristik Fisik Katak
Isolasi DNA Genom Katak
Amplifikasi Fragmen DNA Penyandi COI
Sekuensing DNA dan Konstruksi Pohon Filogenetik
Uji Aktivitas Antibakteri Sekresi Kulit Katak
Analisis Data

7
7

7
9
9
11
11
12
12
13
13
14

3 HASIL

15

4 PEMBAHASAN

22

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

277
27
27
28
33
38

DAFTAR TABEL
Bioaktif peptida dari katak Pelophylax nigromaculatus
Aktivitas beberapa antibiotik terhadap ATCC 49619
Aktivitas beberapa antibiotik terhadap SPN1307
Karakteristik fisik dan dosis injeksi epinefrin pada F. limnocharis
Karakteristik fisik dan dosis injeksi epinefrin pada L macrodon
Konsentrasi DNA isolasi F. limnocharis dan L. macrodon
Aktivitas antibakteri sekresi spesies F. limnocharis (FL) dan L.
macrodon (LM) terhadap S. pneumoniae SPN1307 dan ATCC 49619
menggunakan metode sumuran
8 Aktivitas antibakteri sekresi spesies F. limnocharis (FL) dan L.
macrodon (LM) terhadap S. pneumoniae SPN1307 dan ATCC 49619
dengan perendaman sterile paper disk selama 5 menit
9 Aktivitas antibakteri sekresi spesies F. limnocharis (FL) dan L.
macrodon (LM) terhadap S. pneumoniae SPN1307 dan ATCC 49619
dengan perendaman sterile paper disk pada 30 menit

1
2
3
4
5
6
7

5
8
9
15
16
16

19

20

20

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

10
11

S. pneumoniae ATCC 49619
Kultur S. pneumoniae pada cawan petri
S. pnuemoniae SPN1307
Katak tegalan (F. limnocharis)
Bangkong batu (L. macrodon)
Lapisan kulit katak
Hasil elektroforesis fragmen DNA COI F. limnocharis menggunakan
pasangan primer LCO1490/ HCO2198
Hasil elektroforesis fragmen DNA COI L. macrodon menggunakan
pasangan primer LCO1490/ HCO2198
Pohon filogenetik berdasar sekuensing basa a partial fragment of
mitochondrial cytochrome oxidase subunit I COI dari F. limnocharis
terhadap beberapa spesies hewan
Aktivitas antibakteri sekresi spesies F. limnocharis terhadap S. SPN1307
(A) dan ATCC 49619 serta L. macrodon (C)
Aktivitas antibakteri sekresi spesies F. limnocharis terhadap S.
pneumoniae SPN1307 pada perendaman 5 menit (A) dan 30 menit (B)
serta L. macrodon (C)

7
8
9
10
11
12
17
17

18
19

20

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Bagan alir penelitian
Analisis BOLD Systems F. limnocharis
S. pneumoniae non-MDR/ATCC49619
Sampling dan Persiapan Sampel
Sekuens DNA F. limnocharis

34
35
35
36
37

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Saat ini organisme multidrug resistant/MDR (MDRO) merupakan suatu
fenomena global, dalam penyebarannya terdapat perbedaan tiap-tiap daerah secara
signifikan (Kaspar et al, 2015). Multidrug resistant/MDR (MDRO) diketahui
sebagai pengaruh negatif dari pasien (menyebabkan terjadinya penundaan dan
keterbatasan opsi pengobatan antibiotik) dan menjadikan suatu pertimbangan
pengobatan terhadap kesehatan masyarakat karena dapat ditransmisikan dari satu
orang ke orang lainnya (Lepelletier et al, 2011). Eropa, sebagai contoh, rata-rata
persentase resistensi terhadap Klebsiella pneumonia meningkat dalam kurun
beberapa tahun terakhir (21.5% pada 2009 menjadi 25.7% di tahun 2012) (ECDC,
2012).
Perkembangan yang cepatnya transportasi dan komunikasi, perubahan
lingkungan dan migrasi populasi menciptakan kesempatan penyebaram luas
penyakit infeksi terkhusus spesimen mutan yang telah mengalami kekebalan
terhadap bebagai antibiotik. Kemunculan dan perluasan dari patogenik dan
epidemik telah berlangsung selama 30 tahun belakangan. Terminologi tersebut
menggambaran perhatian terhadap evolusi resistensi obat dan kesulitan dalam hal
penanganan infeksi bakteri di saat ini dan kemudian hari (Livermore, 2009). Level
tertinggi resistensi yang mana saat ini berupa hasil observasi dari penggunaan
berlebih antibiotik, terhadap manusia maupun hewan telah diteliti lebih kurang
selama 50 tahun terakhir (American society for microbiology, 2009). Resistensi
antibiotik tidak terjadi dikarenakan patogen saja tapi juga dan mungkin kolonisasi
beberapa bakteri secara individual (baik manusia maupun hewan). Hal tersebut sulit
terdeteksi dikarenakan gejala bawaan.
Data yang berasal dari Badan Kesehatan Dunia/WHO (2014) menunjukkan
bahwa di seluruh dunia terjadi peningkatan signifikan jenis bakteri yang resisten
terhadap beberapa obat antibakteri (Multidrug Resistant/MDR). Salah satu spesies
bakteri yang sering menginfeksi masyarakat baik di dunia maupun di Indonesia
adalah Streptococcus pneumoniae. Namun, di Indonesia, permasalahan ini belum
menjadi prioritas dan perhatian utama bidang kesehatan. Walaupun telah dilakukan
riset resistensi antimikroba di Indonesia. Riset atas resistensi antimikroba di
Indonesia: pravalensi dan pencegahan (AMRIN) telah coba dilakukan antara tahun
2001 hingga 2005 (Hadi et al, 2013).
Antibiotik penisilin memberikan perubahan besar pada kesembuhan pasien
(90%) terhadap S. pneumoniae, namun resistensi terhadap turunan antibiotik
penisilin juga dilaporkan sejak awal penggunaannya di dunia medis tahun 1940.
Selanjutnya, hingga tahun 2014, WHO mencatat adanya infeksi S. pneumoniae
yang mengakibatkan lebih dari 826.000 kasus kematian di seluruh dunia akibat
resistensi S. pneumoniae terhadap penisilin yang mencapai 69%. Tidak
mengherankan, resistensi beberapa spesies bakteri terkhusus S. pneumoniae
terhadap antibiotik dengan cepat menjadi isu global.
S. pneumoniae adalah bakteri Gram positif penyebab infeksi pernafasan,
meningitis dan bakterimia pada anak dan orang dewasa serta paling sering
menimbulkan penyakit akut pada anak usia dibawah 2 tahun (Cobo, et al 2012).

2
Berdasarkan data WHO (2005) di seluruh dunia, hampir 1,6 juta orang meninggal
karena infeksi S. pneumoniae, termasuk 700.000 hingga 1 juta jiwa anak usia ratarata 1-59 bulan menjadi korban (WHO, 2014). Sejak tahun 1960an, S. pneumoniae
dianggap memiliki resintensi terhadap penisilin, namun tes yang sensitif terhadap
dugaan tersebut sulit dilakukan. Appelbaum, P.C tahun 1977 menyatakan bahwa
riset yang dimulai tahun 1965 hingga 1967 di Australia, untuk pertama kalinya
berhasil mengisolasi spesies S. pneumoniae yang resisten terhadap penisilin.
Margaret et al (1999) melaporkan S. pneumoniae yang resisten terhadap penisilin
juga telah diisolasi di Papua New Guinea dan Afrika Utara. Selain itu, 0.3% hingga
9% isolat S. pneumoniae dilaporkan resisten terhadap penisilin di Jerman.
Hingga kini terdapat hampir 4000 senyawa di dunia dengan kemampuan
sebagai antibiotik. Antibiotik digunakan untuk mengobati dan mencegah infeksi
pada hewan. Zhang (2014) menyatakan bahwa antibiotik didapat dari tiga sumber:
mold atau jamur, bakteri, senyawa sintetik atau non-sintetik. Mereka dapat
digunakan salah satunya di dalam tubuh dan salah satu fungsinya adalah untuk
menghambat pertumbuhan patogen atau membunuhnya. Antibiotik dapat juga
dibagi menjadi jenis bakteriostatik yang hanya menghambat pertumbuhan patogen
dan bakteriosidal dengan kemampuan membunuh bakteri. Walau begitu, perbedaan
dari keduanya tidaklah mutlak dan tergantung konsentrasi obat, spesies bakteri dan
fase pertumbuhan bakteri tersebut.
Subpopulasi dari bakteria dapat bertahan pada dosis maksimal antibiotik yang
menjadikannya resisten sementara waktu dan juga tidak serta merta sifat tersebut
diturunkan, disebut persistensi. Studi yang dilakukan Dorr et al (2009)
menunjukkan bahwa sebagian persistensi terhadap quinolone ciprofloxacin muncul
pada penggunaan antibiotik.
Pengaruh antibiotik pada bakteria mengakibatkan rata-rata elevasi mutasi
(hiper-mutator atau mutator). Ketika kemampuan alel tersebut bertambah karena
sokongan mutasi, maka dapat mengakselarasikan laju evolusi di berbagai kondisi.
Selama proses tersebut, mutator bakteria dapat menyesuaikan populasi hanya
dengan dua tahap seleksi sel, disebut ‘hitchhiking’ (Rojas et al, 2013).
Antibiotik melawan bakteria dengan menghambat proses vital tertentu pada
metabolisme selnya. Berdasarkan prosesnya, antibiotik dapat dibagi menjadi lima
kelas utama:
1. Inhibitor dinding sel, contohnya penisilin dan vancomycin
2. Inhibitor sintesis asam nukleat, contohnya fluoroquinolon yang
menghambat sintesis DNA dan rifamin menhambat sintesis RNA
3. Inhibitor sintesis protein, contohnya aminoglikosida
4. Anti-metabolit, contohnya obat sulfa
5. Antibiotik yang dapat menghancurkan membran sel, contohnya
polymyxin B, gramicidin dan daptomycin.
Hingga tahun 1950-an, bakteri yang resisten terhadap obat-obatan belum
secara pasti diketahui mekanismenya. Kemudian, Joshua Lederberg merancang
gambarannya dan mendemonstrasikan bahwa mutan yang resisten terhadap
antibiotik terlebih dahulu telah ada. Antibiotik juga hanya selektif terhadap mutan
tersebut. John Cairns, di tahun 1988, menunjukkan bahwa bakteri tidak tumbuh dan
berkembang, mereka tidak berdaya atau memiliki kemampuan untuk bermutasi
karena beberapa perubahan proses genetis. Mutasi tersebut dinamakan mutasi

3
adaptif. Hal ini secara normal membuktikan bahwa mutasi adaptif disebabkan
resitensi antibiotik, walaupun, hal ini mungkin terjadi, secara khusus pada nonpertumbuhan bakteria.
Terdapat lima mekanisme utama drug resistant antibiotik yang dikarenakan
mutasi kromosomal:
1. Reduksi permeabilitas dan penyerapan
2. Meningkatkan kebocoran obat dari target
3. Inaktivasi secara enzimatis
4. Perubahan atau ekspresi berlebih dari target obat
Hilangnya enzim yang terlibat dalam aktivasi obat. Mekanisme ini relatif
baru
Masalah resistensi antibiotik telah menjadi perhatian yang berkelanjutan
dalam riset peptida antimikrobial. Secara umum terjadinya pencarian terhadap
antimikrobial pada berbagai jenis organisme dan juga menggunakan proses sintesis
de novo peptida secara umum juga dihubungkan dengan kimia (Nguyen et al, 2011).
Berbagai cara dilakukan untuk mengidentifikasi peptida antimikrobial salah
satunya menyangkut modifikasi fragmen peptida dari protein dengan massa besar
menjadi sekuen baru. Salah satu strategi ini digunakan untuk mengidentifikasi
jumlah sekuen antimikroba termasuk lactoferin dan lactoferrampin (Haney et al,
2013), kedua derivat peptida antimikrobial berasa dari atom besi yang mengikat
protein, lactoferin. Contoh lain isolasi peptida antimikrobial dari protein besar
termasuk derivat dari lisosim (Hunter et al, 2005) dan histon (Kawasaki et al, 2008 ;
Tsao et al, 2009) yang butuh keahlian khusus. Sehingga diperlukan cara sederhana
lain yang dilakukan untuk mencari peptida antimikrobial dari alam terkhusus pada
hewan penghasil sekresi semisal katak.
Indonesia memiliki sekitar 450 spesies katak (Wulandari et al. 2013). Cairan
yang disekresikan dari kulit katak merupakan salah satu bahan baku potensial untuk
dikembangkan sebagai antibakteri multidrug resistant/MDR. Secara klinis, laporan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Conlon dan Sonnevend (2011), menunjukkan
bahwa ada bioaktivitas sekresi kulit katak terhadap bakteri yang telah resisten
antibiotika. Selain itu Amiche et al. (2000) telah berhasil mengisolasi 32-residu
peptida dinamakan dermatoksin dari spesimen katak pohon Phyllomedusa bicolor
yang berasal dari Amerika Utara, menunjukkan daya hambat terhadap mollicute
(eubakteria berdinding sel tipis) dan eubacteria Gram positif serta eubacteria Gram
negatif.
Penelitian lain di Indonesia oleh Pinontoan (2012) juga menunjukkan
adanya potensi sekresi kulit katak merah (Leptophryne cruentata) dan katak pohon
Jawa (Rhacophorus javanus) sebagai sumber senyawa bioaktif penghambat
pertumbuhan bakteri Gram negatif (Eschericia coli), bakteri Gram positif
(Staphylococcus aureus) serta jamur Trichophyton mentagrophytes. Eksplorasi
senyawa bioaktif dari amfibi terutama dari spesies yang ada di Indonesia masih
jarang dilakukan. Perlu dilakukan identifikasi jenis senyawa yang mampu menjadi
alternatif untuk mengatasi masalah resistensi spesies S. pneumoniae di Indonesia.
Diharapkan dapat dikembangkan bahan antibakteri baru, serta diperoleh informasi
akurat mengenai mekanisme kerja senyawa bioaktif sekresi kulit katak terhadap
spesies S. pneumoniae. Tujuan penelitian ini adalah melakukan analisis filogenetik
spesies katak asal Jawa Barat terkhusus daerah Bogor dan menguji aktivitas

4
antibakteri sekresinya terhadap isolat S. pneumoniae terkhusus MDR dan nonMDR.
Perumusan Masalah
Berdasarkan data penelitian tentang resistensi S. pneumoniae terhadap
penisilin, seperti yang dilaporkan Overweg et al pada tahun 1999 memberikan
informasi genetis mengenai berbagai variasi spesies multidrug resistant (MDR) S.
pneumoniae terhadap penisilin di Polandia. Merujuk hal tersebut di atas maka
diperlukan upaya bersama untuk menanggulangi permasalahan resistensi S.
pneumoniae terhadap antibiotika. Salah satu upaya yang dilakukan adalah
pengembangan senyawa antibakteri baru yang secara efektif dan efisien dalam
menanggulangi permasalahan tersebut.
Permasalahan ini memberikan tantangan besar bagi Ilmu Pengetahuan Sains
dan Kedokteran untuk terus berinovasi menemukan senyawa bioaktif pengganti
penisilin. Sekresi kulit katak berupa senyawa aktif menunjukkan prospek cerah
pengganti penisilin di masa depan, salah satu penelitian Wang et al di tahun 2012
menunjukkan bahwa peptida yang diisolasi dari kulit katak odorous Hainan, Cina
secara positif menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif (Enterococcus sp.,
Staphylococus sp., Bacillus sp. dan Rhodococcus sp.), Gram negatif (Salmonella
sp., Pseudomonas sp., E. coli, Psychrobacter sp.) serta jamur (Slime mould dan
Candida albicans). Oleh karena itu, perlu dilakukan eksplorasi dan uji aktivitas
senyawa bioaktif sekresi kulit katak di Indonesia yang dapat aktif menghambat
spesies multidrug resisistant (MDR) S. pneumoniae.
Menurut Song et al (2013), mulanya peptida antimikroba, margainin,
diisolasi dari Xenopus laevis, hingga kemudian lebih dari 2000 peptida antimikroba
berhasil diidentifikasi dari kulit amfibi. Beberapa tahun terakhir, banyak peptida
dengan kemampuan bioaktivitas berbeda diidentifikasi, termasuk inhibitor protease
dan peptida antioksidan. Keseluruhan bioaktif peptida tersebut memiliki fungsi
biologis yang penting. Peptida antimikroba merupakan baris pertahanan pertama
pada keimunitasan sel menghadapi invasi mikroba. Beberapa petogen
memproduksi protease ekstraseluler dan mendegradasi peptida antimikroba.
Sebagai contohnya, protease dari Staphylococcus aureus mendegradasi LL-37 dan
laktoferisin B. Membran terluar protease Salmonella enteria serovar typhimurium
menunjukkan resistensi terhadap peptida (alfa heliks) antimikroba.
Faktor lingkungan memberi dampak terhadap kemampuan organisme
terutama pada jenis amfibi secara umum berubah-ubah dari suatu waktu dan ruang
dan variasi yang seringkali menyebabkan ketidakcocokan antara fenotip dan
lingkungan. Lebih jauh, pada beberapa kasus terjadi variasi pada skala waktu
tertentu dimana keadaan yang tidak kondusif untuk menciptakan respon konstitutif
yang evolusioner. Akibatnya, kebanyakan organisme, dalam hal ini katak,
menunjukkan beberapa kapasitas untuk mengulang bentuk respon fenotip selama
siklus kehidupan agar dapat selaras anatar fenotip dan pengaruh lingkungan (Maher
et al, 2013), seperti adanya polusi dan penyakit.
Kulit amfibi secara langsung berinteraksi dengan lingkungan luar dan
menghalangi adanya luka, termasuk infeksi, parasitisme dan kerusakan oksidatif.
Sehingga, peptida bioaktif amfibi menunjukkan keragaman biologis. Lebih dari 110
polipeptida antimikroba dengan kemampuan sebagai inhibitor protease diisolasi

5
dari kulit Rana graham dan 197 bioaktif peptida diidentifikasi dari Odorrana
andersonii melalui screening yang dilakukan pada pustaka cDNA sebagai acuan
(Song et al, 2013).
Peptida antimikrobial adalah satu komponen penting dari sistem imun yang
dari awal kehidupan dari vertebrata dan memainkan peranan utama sebagai satu
jalur pertahanan pada perhanan selaput lendir (Zasloff, 2002; Hancock et al, 2012).
Seperti banyak spesies katak lain, kulit dari Rana pipiens memiliki dua set kelenjar
khusus. Kelenjar mucus menghasilakan suatu material yang kaya akan mucin
(glikoprotein mucus) terglikosilasi dan mukopolisakida, yang secara kontinu keluar
untuk melembabkan kulit katak. Antimikrobial peptida dan peptida defensif lainnya
diproduksi di kelenjar granular (terkadang disebut kelenjar racun) pada bagian
dalam lapisan kulit. Isi dari kelenjar granular akan kosong hingga lapisan tipis dari
mukus terproduksi secara khusus oleh kelenjar mukus (Gammill et al, 2012). R.
pipiens menunjukkan sekresi kontinu antimikrobial peptida dengan kapasitas yang
rendah serta tetap berlangsung beberapa jam setelah pengeluaran pertama. Tampak
juga sekresi tersebut tetap mengalir pada jumlah yang kecil dari antimikrobial
peptida untuk menghalangi patogen di kulit (Pask et al, 2012).
Penelitian variasi peptida antimikroba dari Lithobates chiricahuensisi di
Arizona utara dan tengah menghasilkan dua jenis peptida (brevinin-1CHc dan
palustrin-2Cha). Katak bercak hitam (Pelophylax nigromaculatus) terdistribusi luas
di Cina, Jepang, Korea dan Rusia, dari daerah dingin ke kawasan tropis, dari dataran
tinggi (pegunungan) ke dataran rendah (lembah). Distribusi P. nigromaculatus ini
mengindikasikan adaptasi spesies terhadap berbagai bentuk lingkungan hidup.
Sehingga, menghasilkan dua jenis peptida antimikroba yaitu, nigrocin-1 dan
nigrocin-2, kemudian dengan menggunakan teknik kloning cDNA berhasil
didapatkan delapan antimikroba.
Tabel 1 Bioaktif peptida dari katak Pelophylax nigromaculatus (Song et al, 2013)
Nama
Nigrocin-1
Nigrocin-2
Pelophylaxin-2
Esculentin-1

Sekuen asam amino
GLLDSIKGMAISAGKGALQNLLKVASCKLDKTC
GLLSKVLGVGKKVLCGVSGLC
GILLNTLKGAAKNVAGVLLDKLKCKITGGC
GIFSKLAGKKIKNLLISGKLNVGKEVGMDVVRTGIDIAGCKIKGEC
Esculentin-2P
GIFSLIKGAAKVVAKGLGKEVGKFGLDLMACKVTNQC
Pelophylaxin-2GY GLLLDTVKGAAKNVAGILLNKKLKCKMTGDC
Temporin-1GY
VIPIVSGLLSSLL-NH2
FIPLVSGLFSRLL-NH2
Temporin-1KM
FLPSSPWNEGTYVLKKLKS
Antioxidin

6
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan:
1. Menginduksi dan mengisolasi senyawa sekresi dari kulit katak
2. Mnguji aktivitas senyawa sekresi terhadap isolat S. pneumoniae MDR/nonMDR.
3. Menganalisis dan karakterisasi hubungan kekerabatan spesies DNA katak
Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah senyawa bioaktif dari sekresi kulit katak
memiliki kemampuan sebagai antibakteri S. pneumoniae multidrug resistant
(MDR)/non-MDR di Indonesia. Bioaktif sekersi kulit katak yang memiliki
kemampuan sebagai antibakteri merupakan golongan senyawa peptida.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan penemuan baru dalam
pengeksplorasian berbagai senyawa bioaktif terkhusus dari sekresi kulit katak Jawa
Barat terkhusus daerah Bogor yang mampu menjadi antibakteri S. pneumoniae
terutama bagi multidrug resistant (MDR) di Indonesia.
Ruang Lingkup Penelitian
Lingkup kegiatan penelitian meliputi koleksi spesies katak yang mengacu
kepada studi morfologi dan analisis kekerabatannya. Optimasi sekresi kulit katak
serta uji aktivitas senyawa bioaktif terhadap S. pneumoniae MDR/non-MDR.

7

2 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2014 sampai Januari 2015.
Penelitian dikerjakan di laboratorium Biokimia IPB dan Lembaga Eijkman Jakarta.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesies katak yang didapat
dari areal persawahan Kampus IPB Dramaga, Jalan Sawah Baru, Kelurahan
Babakan, Kecamatan Dramaga, Bogor-Jawa Barat. Eksplorasi dalam pencarian
katak dilakukan secara bebas dan acak di setiap sawah untuk mengetahui seberapa
besar kemungkinan spesies katak yang memiliki keunggulan sebagai antibakteri.
Bakteri uji adalah S. pneumoniae non-MDR/ATCC49619 serta yang telah
mengalami multi drug resistant (MDR)/SPN1307 berasal dari pustaka Eijkman
Institute, larutan buffer, epinefrin, media Mueller Hinton+Blood, Go taq Green,
kloramfenikol.
Streptococcus pnuemoniae adalah bakteri dengan karakteristik bentuk bulat
berantai, Gram positif, organisme fakultatif anaerobik. Pneumococcal Disease The
Pink Book Course Textbook - 12th Edition Second Printing (2012) menyebutkan
bahwa bakteri ini secara khusus ditemukan berpasangan (diplococci) namun
terkadang bentuk secara tunggal atau rantai pendek. Beberapa pneumococcus
memiliki kapsul, yang terdiri dari kompleks polisakarida.

Gambar 1 S. pnuemoniae ATCC 49619 (Koleksi Pribadi)
Streptococcus merupakan suatu spesies yang mendominasi komposisi bakteri
dalam plak. Bakteri ini merupakan mikroflora normal rongga mulut yang harus
mendapat perhatian khusus karena kemampuannya membentuk plak dari sukrosa,
melebihi jenis bakteri lainnya (Angelina, 2011). Kebanyakan Streptococcus
tumbuh dalam pembenihan padat sebagai koloni discoid dengan diameter 1-2 mm.
Galur yang menghasilkan senyawa tertentu sering membentuk koloni mukoid.

8

Gambar 2 Kultur S. pneumoniae pada cawan petri (Angelina, 2011)
Pneumococcus terdapat di bagian nasofaring dan seringkali bersama dengan
bakteri terkapsulasi, seperti Haemophilus influenza dan Moraxella catarrhalis.
Penyebarannya melalui pernafasan. Anak-anak merupakan sumber utama transmisi
kepada orang dewasa. Secara global, rata-rata penyebaran tertinggi pada anak-anak
usia muda (40-60%), untuk usia anak lebih tua (12%), remaja (6-10%) dan dewasa
(3-4%). Kolonisasi pneumococcus adalah proses yang dinamis seperti yang
dinyatakan oleh Mehr, S dan Wood, N (2012).
Martinez RM (2013) menyebutkan S. pneumoniae memproduksi kapsul yang
memproteksi lapisan, menyelubungi sel. Fungsi kapsul untuk menghindari sistem
imunitas dari inang dan memainkan peranan penting pada kolonisasi dari bagian
saluran pernasafan. Sebagai tambahan, fungsi kapsul pada S. pneumoniae yaitu
mengekspresikan berbagai faktor virulensi yang berkontribusi terhadap faktor
penyebab penyakit.
S. pneumoniae adalah bakteri α-hemolitik. α-hemolitik dikarakterisasi dengan
seringkali adanya warna agak kehijauan disekitaran koloni. Reaksi ini dihasilkan
dari hemolisis parsial dari sel darah merah dalam medium. Streptococcus
berdasarkan pada grup ini biasa disebut sebagai “Viridans” Streptococcus
(Microlab, 2007).
Tabel 2 Aktivitas beberapa antibiotik terhadap S. pneumoniae ATCC 49619
Golongan Antibiotik
Chloramphenicol
Lincosamide
Macrolide
Trimethoprim
Penicillin
Tetracyclines

Nama Antibiotik
Chloramphenicol
Clindamycin
Erytrhomycin
Trimethoprim
Oxacillin
Tetracyclines

Hasil Aktivitas
Sensitif
Sensitif
Sensitif
Sensitif
Resisten
Intermediate

Secara spesifik, isolat dikatakan S. pneumoniae adalah ketika lebih lanjut
dilakukan pemeriksaan secara molekukar menggunakan teknik PCR (Polymerase
Chain Reaction) berdasarkan pada gen cpsA, suatu gen kapsular polisakarida serta
gen ermB atau gen mefA yang menunjukan kemampuan Multi Drug Resistantnya.

9

Gambar 3 S. pnuemoniae SPN1307 (MDR) (Koleksi Pribadi)
Pengamatan secara morfologi pada isolat S. pneumoniae ditunjang juga
dengan data lain berupa kemampuannya terhadap antibiotik sehingga dapat
dipastikan bahwa isolat tersebut merupakan Multi Drug Resistant (MDR) atau tidak.
Tabel 3 Aktivitas beberapa antibiotik terhadap S. pneumoniae SPN1307
Golongan Antibiotik
Glycopeptide
Chloramphenicol
Ansamycin
Trimethoprim
Tetracyclines
Macrolide
Quinolones

Nama Antibiotik
Vancomycin
Chloramphenicol
Rifampin
Trimethoprim
Tetracyclines
Azithromycin
Erytrhomycin
Levofloxacin

Hasil Aktivitas
Sensitif
Sensitif
Sensitif
Resisten
Resisten
Resisten
Resisten
Sensitif

Alat
Alat yang digunakan adalah seperangkat alat Applied Biosystems 3100-Avant
Genetic Analyzer di Eijkman Institute, seperangkat alat Nanodrop
Spectrophotometer ND-1000, seperangkat alat freeze dryer Christ alpha 1-2/ LD
plus laboratorium Biokimia Pusat Studi Biofarmaka Bogor, kontainer plastik,
inkubator, HYUNDAI Micro syringe filter membran 0,22 µm (Cat. No.
HM020P25), jarum ose, micropipet, pipet tetes, pH meter, neraca analitik, tabung
reaksi, Erlenmeyer, serta autoklaf HIRAYAMA Hiclave HVE-50.
Persiapan Sampel
Spesies katak yang digunakan berasal dari areal persawahan di sekitar
Kampus IPB Dramaga, Jalan Sawah Baru, Kelurahan Babakan, Kecamatan
Dramaga, Bogor-Jawa Barat. Eksplorasi dilakukan dengan penangkapan katak
(tanpa alat bantu) secara bebas dan acak di setiap sawah untuk memperbesar
kemungkinan mendapatkan spesies katak yang diasumsikan menghasilkan sekresi
kulit dengan kemampuan antibakteri. Sampling dilakukan pada tanggal 03 Juli 2014
pada pukul 19.00-21.00 WIB. Jumlah sampel yang didapat untuk masing-masing

10
spesies sebanyak 9 ekor. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan
acak lengkap (RAL).
Pengendalian kehidupan hewan uji mengacu dari Robertson et al (2013) dan
Amiche et al (2000). Hewan uji yang digunakan adalah dari famili dicroglossidae
yaitu spesies Fejervarya limnocharis dan Limnonectes macrodon yang secara
morfologi telah diidentifikasi oleh Dr. Mirza D. Kusrini beserta staf Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB Darmaga.
Penggunaan kedua jenis katak ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi spesies hidup
di lingkungan pinggiran kota dan terbiasa terpapar polutan daerah perkotaan
sehingga memliki sekresi yang mampu menjadi agen antibakteri.
Katak tegalan, Grass Frog, memiliki ciri khusus tubuh berukuran kecil,
kepala runcing, dan pendek dengan tekstur kulit berkerut yang tertutup oleh bintilbintil panjang yang tampak tipis. Bintil-bintil ini biasanya memanjang, paralel,
dengan sumbu tubuh. Ujung jari tangan tumpul dan tidak melebar. Jari tangan
pertama lebih panjang dari yang kedua. Jari kaki runcing dengan ujung yang tidak
melebar. Kulit mempunyai benjolan-benjolan di bagian atas, benjolan sering
berbentuk tidak teratur. Penelitian genetik menunjukkan bahwa katak tegalan F.
limnocharis di Jawa merupakam jenis kompleks dan terdiri dari paling tidak dua
spesies yang berbeda yaitu F. limnocharis dan F. Iskandari (Kusrini, 2013).

Gambar 4 Katak tegalan (F. limnocharis) (IPB)
Jenis ini menghuni sawah dan padang rumput di daratan rendah, jarang
sampai 700 m dan dijumpai juga di sekitaran kolam dan sungai. Iskandar (1998)
memisahkan jenis yang serupa dengan katak tegalan ini yang dijumpai di dataran
tinggi F. Iskandari.
Bangkong batu, Stone Creek Frog, menurut Kusrini (2013) katak berukuran
sangat besar dengan kepala yang besar. Kulit halus dengan beberapa bintil yang
tersebar dan pada bagian belakang pelupuk mata terdapat bintil-bintil dengan jari
kaki berselaput sampai ujungnya. Kepala lebih panjang atau sama lebarnya.
Typanum jelas. Ujung jari melebar, jari pertama lebih panjang daripada yang kedua.
Bintil subarticular berbentuk sempurna. Ujung jari kaki melebar membentuk disk
kecil. Jari kaki penuh atau hampir dipenuhi selaput, selaput lebar mencapai disk
pada jari kaki kedua dan ketiga di kedua sisinya.

11

Gambar 5 Bangkong batu (L. macrodon) (IPB)
Bakteri uji yang digunakan adalah S. pneumoniae non-MDR/ATCC49619
serta yang bersifat multi drug resistant (MDR)/SPN1307 yang berasal dari koleksi
Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta. Isolat SPN1307 digolongkan MDR
jika tidak dapat terinhibisi minimal tiga jenis antibiotik pada konsentrasi tertentu
(Clinical and Laboratory Standards Institute/CLSI) yaitu golongan makrolida
(azithromycin, erythromycin) dan tetracycline.
Persiapan Larutan
Larutan HCl 1% dibuat dari HCl pekat (37%) sebanyak 6,8 mL dan
diencerkan menggunakan akuades hingga volume tepat 250 mL. Sedangkan larutan
buffer garam asetat dibuat dari garam NaCl (2,9225 g) + CH3COONa (2,05075 g)
hingga tepat volumenya 1 L, dan pH tepat 7,0 (Makhir larutan buffer adalah 50 mM
NaCl, 500 mL dan 25 mM CH3COONa, 500 mL).
Pengukuran Karakteristik dan Koleksi Sekresi Kulit Katak
Pengeluaran sekresi kulit katak dirangsang dengan penyuntikan epinefrin.
Jumlah epinefrin yang diinjeksikan dihitung berdasarkan berat tubuh sampel katak.
Karakteristik fisik sampel katak yang diukur meliputi SVL (Snout Vent Length) dan
berat tubuh, hal ini dilakukan untuk menstandarisasi katak ukuran katak yang akan
dijadikan sampel serta sebagai penentu jumlah senyawa stimulant yang akan
diinduksikan. Pengukuran SVL dilakukan dengan menggunakan jangka sorong.
Pengukuran standar SVL dimulai dari ujung mulut pada katak diteruskan secara
vertikal hingga mencapai ujung tulang ekor katak. Pengukuran dilakukan sebelum
injeksi senyawa stimulan dilakukan.
Pengeluaran sekresi kulit katak dirangsang dengan penyuntikan epinefrin di
bagian atas kulit (Gambar 6). Penyuntikan epinefrin (Pinontoan, 2012) dilakukan
menggunakan stok larutan induk epinephrine-base konsentrasi 1 mg/mL (Kimia
Farma, Corp). Variasi dosis yang disuntikkan adalah 0.01 mg, 0.015 mg dan 0.02
mg epinefrin per gram berat tubuh katak (Robertson et al, 2013) . Katak yang telah
disuntik lalu ditempatkan dalam kontainer yang berisi 100 mL buffer (50 mM
natrium klorida, 100 mM natrium asetat, pH 7.0). Katak kemudian dikeluarkan dari
kontainer setelah 15 menit. Sekresi kulit katak ditambahkan 1% HCl untuk
penyimpanan pada -20° C, kemudian dikeringbekukan (liofilisasi) dengan

12
menggunakan alat freeze dryer dengan konsep pengeringan vakum pada suhu
dingin (-20º C), lalu dilarutkan dalam buffer fosfat (PBS) ±1-2 mL dan disterilkan
dengan menggunakan membran 0,22 µm (Hyundai Micro, Cat. No. HM020P25)
dan selanjutnya digunakan dalam uji aktivitas antibakteri.

Gambar 6 Lapisan kulit katak (McGran-Hill Companies)
Isolasi DNA Genom Katak
Analisis filogenetik katak dilakukan berdasarkan sekuen fragmen DNA
penyandi partial fragment of mitochondrial cytochrome oxidase subunit I COI
mitokondria. Sampel DNA genom diisolasi dari potongan jari depan dan jari
belakang katak. Semua tahap pengerjaan ekstraksi DNA menggunakan DNeasy
Blood & Tissue Kit keluaran Qiagen, pengerjaannya menggunakan Protainase K
dan inkubasi selama ±3-6 jam, lalu ditambahkan beberapa kali washing buffer dan
sentrifus 8000-14000 rpm hingga diperoleh DNA murni. DNA hasil isolasi dari
sampel katak diukur konsentrasinya menggunakan seperangkat alat Nanodrop
Spectrophotometer ND-1000 pada λ=260.
Amplifikasi Fragmen DNA Penyandi COI
Fragmen DNA COI diamplifikasi menggunakan metode PCR dengan dua
pasang primer, kondisi PCR yang dilakukan: 95° C 5 menit, 94° C 4 menit, 46º C
1 menit, 72° C 1 menit, 72º C 10 menit, 25° C ∞, 35 siklus. Penggunaan 2 pasang
primer merujuk Che et al. (2011) yang bertujuan untuk memilih primer terbaik dari
Universal COI Primer (a partial fragment of mitochondrial cytochrome oxidase
subunit I COI) yaitu :
(a) LCO1490: 5’-GGTCAACAAATCATAAAGATATTGG-3’ (Forward)
(b) HCO2198: 5’-TAAACTTCAGGGTGACCAAAAAATCA-3’ (Reverse)
(c) LepF1
: 5’-ATTCAACCAATCATAAAGATATTGG-3’ (Forward)
(d) LepR1
: 5’-TAAACTTCTGGATGTCCAAAAAATCA-3’ (Reverse)
Produk PCR yang telah dipastikan memiliki pita tunggal gen yang dituju (±500700bp) dengan validasi hasil elektroforesis (kondisi: 85 Volt, 45 menit) dibaca

13
menggunakan Bio-Rad Gel Doc kemudian dimurnikan dengan PCR DNA
Fragments Extraction Kit keluaran Geneaid (Cat. No. DF300). Pengerjaan
dilakukan sesuai instruksi rinci dari kit tersebut.
Sekuensing DNA dan Konstruksi Pohon Filogenetik
Penentuan sekuen DNA dilakukan dengan merujuk prosedur pengerjaan oleh
Gonser & Collura (1996). Sekuensing DNA menggunakan sampel hasil
amplifikasi PCR yang sebelumnya telah divalidasi kebenaran pita tunggalnya
melalui proses elektroforesis agarosa. Cycle Sequencing dilakukan dengan
menggunakan BigDye Terminator Sequencing. Campuran larutan PCR untuk cycle
sequencing: BigDye sebanyak 6 µL+ primer forward/reverse (konsentrasi 2 µM)
sebanyak 1.5 µL + DNA 1 µL serta ddH2O hingga volume total 15 µL. Kondisi
PCR yang digunakan yaitu: 96° C 3 menit, 96° C 10 detik, 50° C 5 detik dan 60° C
4 menit, 35 siklus. Hasil PCR dilanjutkan dengan tahapan presipitasi. Precipitation
mix (Fresh) dibuat sebagai berikut: EDTA 125 µM (0.75 µL EDTA 250 µM + 0.75
µL H2O) lalu tambahkan 1.5 µL NaAc 3 M serta ethanol absolute 37.5 µL. Larutan
divortex kemudian inkubasi pada suhu ruang 10 menit, lalu pada 4° C selama 10
menit. Selanjutnya dilakukan sentrifugasi pada 15000xg selama 20 menit pada 4°C.
Supernatan dibuang, lalu ditambahkan 250 µL ethanol 70%. Larutan divortex dan
disentrifus 15000xg selama 10 menit pada suhu 4° C. Supernatan dibuang,
kemudian di vacuum vortex ±10 menit. Sampel siap dibaca dengan menggunakan
DNA Sequencer: Applied Biosystems 3100-Avant Genetic Analyzer. Pohon
filogenetik dikonstruksi menggunakan software MEGA6 dengan membandingkan
sekuen fragmen DNA COI hasil percobaan terhadap sekuen fragmen DNA COI
dari beberapa spesies yang tersimpan di GenBank dan BOLD System.
Uji Aktivitas Senyawa Sekresi Kulit Katak
Sebelum digunakan untuk pengujian aktivitas antibakteri, bakteri uji
diremajakan. Regenerasi bakteri multi drug resistant (MDR)/non-MDR isolat S.
pneumoniae yaitu SPN1307 dan ATCC49619, dilakukan dengan menggoreskan
masing-masing koloni ke dalam cawan petri yang berisi media Mueller
Hinton+Blood (MHB) menggunakan jarum ose. Biakan disimpan dalam inkubator
selama 24 jam dengan suhu 37° C dan 5% CO2. Setelah inkubasi, biakan bakteri
yang telah diregenerasi diambil 1 jarum ose kemudian dimasukkan ke dalam tabung
berisi larutan steril NaCl 0.9%, lalu dilakukan pengenceran hingga konsentrasi
menjadi 3x108 CFU/mL (Mc Farland). Hasil pengenceran tersebut diambil
secukupnya lalu digoreskan pada media padat biakan bakteri (Mueller
Hinton+Blood). Uji aktivitas antibakteri menggunakan teknik sumuran dan sterile
paper disk. Penggunaan kedua teknik ini merupakan suatu cara sederhana dalam
bioassay. Sehingga, dari kedua metode sederhana ini dapat ditentukan metode mana
yang paling efektif. Untuk teknik sumuran, media MHB yang telah disiapkan
dilubangi dengan diameter tertentu (±5 mm) menggunakan pangkal tip steril
sehingga dapat ditambahkan larutan sekresi kulit katak. Sekresi kulit katak yang
dimasukkan dalam sumuran adalah sebanyak 50 µL dan sebagai kontrol adalah

14
kloramfenikol. Konsentrasi kontrol positif antibiotik kloramfenikol adalah 0.4
mg/mL sebanyak 40 µL (Pinontoan, 2012). Setelah dilakukan inkubasi selama 24
jam pada suhu 37° C dan 5% CO2. Zona bening yang terbentuk diukur sebagai
indikator aktivitas antibakteri. Selain itu juga digunakan teknik paper disk, melalui
perbandingan lama perendaman sterile paper disk dalam senyawa sekresi kulit
katak, yaitu pada selang waktu 5 menit dan 30 menit. Teknik uji menggunakan
metode paper disk dilakukan dengan cara merendam paper disk sterile ke dalam
larutan sekresi kulit katak selama selang waktu 5 menit dan 30 menit. Setelah itu,
paper disk hasil perendaman ditempelkan di permukaan media MHB yang
sebelumnya telah diinokulasikan bakteri S. pneumoniae MDR/non-MDR. Sehingga
interpretasi hasil akan menunjukkan adanya zona bening jika dapat menghambat
pertumbuhan bakteri setelah masa inkubasi selesai.
Analisis Data
Analisis data secara statistik serta analisis data lainnya dapat berupa tabel
rincian atau gambar serta foto-foto yang dirasa perlu untuk ditunjukkan.

15

3 HASIL
Karakteristik Fisik Sampel Katak dan Dosis Epinefrin
Pengeluaran sekresi kulit katak distimulasi dengan penyuntikan hormon
epinefrin. Volume hormon epinefrin yang diinjeksikan bergantung pada berat
badan katak. Hasil pengamatan yang ditampilkan pada Tabel 4 dan 5 menunjukkan
bahwa aktivitas fisik katak berkurang setelah penyuntikan senyawa stimulan
epinefrin, bahkan beberapa ekor katak memperlihatkan tidak adanya stres berlebih.
Hasil pengukuran baik berupa SVL maupun berat katak masing-masing
menunjukkan bahwa katak yang digunakan memiliki panjang rata-rata antara 3.005.00 cm serta 4.00-11.00 g pada pengukuran spesies F. limnocharis, sedangkan
untuk pengukuran SVL dan berat pada L. macrodon masing-masingnya adalah ratarata antara 6.00-8.00 cm dan 33.00-66.00 g. hasil pengukuran ini akan sikron
dengan standar minimal rata-rata kebutuhan katak dewasa.
Hasil pengamatan menunjukkan aktivitas fisik katak berkurang setelah
dilakukan stimulasi dengan senyawa stimulan epinefrin, bahkan untuk beberapa
ekor katak menyebabkan efek yaitu tidak gelisah dan tidak menunjukkan adanya
stres berlebihan. Bagian bola mata katak yang sebelumnya normal tampak menjadi
hitam keseluruhan disebabkan pengaruh stimulan yang efektif.
Tabel 4 Karakteristik fisik dan dosis injeksi epinefrin pada F. limnocharis
Nama
SVL
Berat
Dosis
Volume
Rata-rata
katak (snout vent
katak
epinefrin
injeksi
berat
(mg/g berat
length)
(g)
epinefrin
senyawa
(cm)
badan
(1 mg/mL) sekresi (g)
katak)
(mL)
setelah
liofilisasi
FL1
4.65
9
0.090
FL2
4.11
6
0.010
0.060
0.36
FL3
3.63
6
0.060
FL4
5.16
11
0.165
FL5
3.79
7
0.015
0.105
0.21
FL6
3.62
5
0.075
FL7
4.28
10
0.200
FL8
4.09
6
0.020
0.120
0.18
FL9
3.50
4
0.080
Pengukuran SVL (Snout Vent Length) dan berat pada sampel katak
dilakukan dengan menggunakan jangka sorong. Ukuran standar SVL adalah
dimulai dari ujung mulut pada katak diteruskan secara vertikal hingga mencapai
ujung tulang ekor katak. Pengukuran dilakukan sebelum injeksi senyawa stimulan
disuntikkan pada tubuh bagian atas katak.

16
Tabel 5 Karakteristik fisik dan dosis injeksi epinefrin pada L. macrodon
Nama
SVL
Berat
Dosis
Volume
Rata-rata
katak
(snout vent
katak
epinefrin
injeksi
berat
length)
(g)
epinefrin
(mg/g berat
senyawa
(cm)
badan
(1 mg/mL) sekresi (g)
(mL)
katak)
setelah
liofilisasi
LM1
7.70
44.5
0.44
LM2
7.30
48.3
0.010
0.48
0.91
LM3
7.74
51.1
0.51
LM4
7.14
44.4
0.66
LM5
7.24
38.9
0.015
0.58
0.98
LM6
7.94
55.9
0.84
LM7
7.50
44.1
0.88
LM8
6.92
34.0
0.020
0.68
0.37
LM9
7.33
44.6
0.89
DNA Genom Katak
DNA genom katak berhasil diisolasi. Hasil isolasi DNA genom katak
disajikan pada Tabel 6 berikut. Konsentrasi DNA genom katak spesies F.
limnocharis berkisar antara 13-59 ng/µL. Konsentrasi DNA genom katak spesies
L. macrodon berkisar antara 11-65 ng/µL.
Tabel 6 Konsentrasi DNA isolasi F. limnocharis (FL) dan L. macrodon (LM)
Nama katak Konsentrasi
Nama katak
Konsentrasi
DNA (ng/µL)
DNA (ng/µL)
FL1
13
LM1
23
FL2
27
LM2
11
FL3
21
LM3
19
FL4
37
LM4
39
FL5
22
LM5
20
FL6
59
LM6
65
FL7
22
LM7
26
FL8
34
LM8
33
FL9
20
LM9
39
Amplikon Fragmen Gen Sitokrom Oksidase Subunit I
DNA genom katak hasil isolasi digunakan sebagai templat untuk amplifikasi
fragmen Gen COI. Hasil amplifikasi fragmen DNA COI katak disajikan pada
Gambar 7 dan 8 di bawah ini. Hasil terbaik ditunjukkan oleh pasangan primer
pertama yaitu LCO1490/ HCO2198. Sampel DNA COI F. limnocharis yang
menghasilkan pita tunggal pada elektroforesis sebesar 580bp, sesuai hasil yang
dilaporkan oleh Che et al tahun 2011 yaitu berkisar pada rentang 565-602bp.
Sedangkan hasil elektroforesis DNA COI L. macrodon menghasilkan 2 pasang pita
(700bp dan 300bp). Hasil elektroforesis digunakan untuk penentuan sekuen DNA

17
hanya pada spesies F. limnocharis karena spesies ini sajalah yang memberikan
aktivitas antibakteri.

Gambar 7 Hasil elektroforesis fragmen DNA COI F. limnocharis menggunakan
pasangan primer LCO1490/ HCO2198

Gambar 8 Hasil elektroforesis DNA COI L. macrodon menggunakan pasangan
primer LCO1490/ HCO2198
Filogenetik Molekuler Katak
Sekuen fragmen gen COI F. limnocharis dianalisis menggunakan mesin DNA
Sequencer, sedangkan sekuen amplikon fragmen DNA L. macrodon tidak dianalisis.
Hasil sekuensing berupa urutan basa DNA yang berjumlah 500bp hingga 600bp,
kemudian digunakan untuk mengkonstruksi pohon filogenetik. Pohon filogenetik
katak disajikan pada Gambar 8. Spesies F. Limnocharis yang terdapat di Bogor
memiliki 97% tingkat kekerabatan dengan spesies lain di Bali yang sebelumnya
berhasil dianalisis, sehingga memiliki sub-cabang tersendiri dibandingkan dengan
kekerabatan spesies lainnya.
Analisis filogenetik molekuler dilakukan untuk memastikan hasil identifikasi
morfologi spesies katak. Selain itu juga untuk menginventarisasi keragaman sekuen
DNA COI dari spesies katak tersebut. Sekuen gen COI digunakan untuk analisis
filogenetik karena urutan basa gen ini tidak mudah berubah atau bermutasi.

18

Gambar 9 Pohon filogenetik berdasar sekuensing basa a partial fragment of
mitochondrial cytochrome oxidase subunit I COI dari F. limnocharis
terhadap beberapa spesies hewan
Hasil analisis genetik menggunakan BOLD Systems sebagai rujukan data
DNA COI menunjukkan 97% kekerabatan dengan spesies F. limnocharis yang
telah diidentifikasi sebelumnya di Bali. Pohon filogenetik yang ditampilkan juga
mencakup analisis kekerabatan dengan beberapa data DNA COI spesies lain dari
GenBank. Tingkat kekerabatan yang tidak mencapai 100% bila dibandingkan
dengan spesies lain di Bali terjadi karena ada beberapa perbedaan dalam sekuen
DNA COI spesies.
Aktivitas Antibakteri Sekresi Kulit Katak
Isolat bakteri MDR/SPN1307 dan non-MDR/ATCC49619 yang
ditumbuhkan dalam media MHB agar selama 24 jam pada 37° C dan 5% CO2
menunjukkan profil isolat S. pneumoniae yaitu kokus tunggal berbentuk bulat dan
tersusun dalam bentuk rantai. Ciri khusus spesies ini adalah kemampuannya untuk
melakukan reaksi hemolitik pada agar darah, dikenal sebagai α-hemolitik
(hemolisis sebagian).
Uji aktivitas antibakteri metode sumuran dari rata-rata berat senyawa setelah
liofilisasi F. limnocharis (0.36 g/3 mL PBS) terhadap S. pnemoniae SPN1307 dan
ATCC49619 adalah 9.00±0.001 mm dan 8.00±0.001 mm disajikan lengkap pada
Tabel 7, sedangkan untuk L. macrodon tidak menunjukkan adanya kemampuan
antibakteri (Gambar 9). Pada metode perendaman paper disk selama 5 menit
sampel F. Limnocharis (rata-rata berat senyawa setelah liofilisasi 0.36 g/3 mL PBS)
terhadap S. pneumoniae SPN1307 dan ATCC49619 adalah 11.33±0.057 mm dan
9.70±0.001 mm (data lengkap pada Tabel 8), serta untuk perendaman paper disk 30
menitnya adalah 9.00±0.032 mm (Gambar 10) terhadap SPN1307 dan 8.90±0.044
mm pada ATCC49619 disajikan pada Tabel 9.

19

0.015 mg/g
0.015 mg/g
0.010 mg/g
0.010 mg/g

0.020