PENGARUH AROMATERAPI PEPPERMINT TERHADAP PENURUNAN SKALA MUAL PADA PASIEN KEMOTERAPI DI RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
KARYA TULIS ILMIAH
PENGARUH AROMATERAPI PEPPERMINT TERHADAP PENURUNAN SKALA MUAL PADA PASIEN KEMOTERAPI DI RSUD PANEMBAHAN SENOPATI
BANTUL
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh
Derajat Sarjana Keperawatan pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun oleh : DWI NOVI SUSANTI
20120320164
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016
(2)
i
SENOPATI BANTUL
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh
Derajat Sarjana Keperawatan pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun oleh : DWI NOVI SUSANTI
20120320164
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016
(3)
iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Dwi Novi Susanti NIM : 20120320164
Program Studi : Program Studi Ilmu Keperawatan
Fakultas : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Karya Tulis Ilmiah yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Karya Tulis Ilmiah ini.
Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Karya Tulis Ilmiah ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Yogyakarta, 4 Agustus 2016 Yang membuat pernyataan,
(4)
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Alhamdulillah...
Dengan segala jerih payah serta dukungan dari orang-orang tercinta, akhirnya
terwujudlah sebuah karya tulis yang Insya Allah dapat memberikan manfaat
serta ilmu kepada para pembacanya.
Untuk Bapak, Umi, Adik, dan Suamiku tercinta:
Kupersembahkan karya ini untuk kalian
Terimakasih...
Apa yang telah kalian berikan selama ini melebihi apa yang pernah saya
inginkan
“Dari titisan ilmu
-Mu kupersembahkan
goresan tanganku bagi ilmu pengetahuan
(5)
v
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Puji syukur peneliti panjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyusun Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “Pengaruh Aromaterapi Peppermint Terhadap Penurunan Skala Mual Pada Pasien Kemoterapi di RSUD Panembahan Senopati Bantul”. Karya tulis ini diajukan sebagai syarat untuk dapat menyelesaikan pendidikan Sarjana di Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Terwujudnya Karya Tulis Ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang telah mendorong dan membimbing peneliti. Oleh karena itu, peneliti ingin mengucapkan terimakasih yang tulus kepada:
1. Dr. Ardi Pramono, Sp.An., selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah menyetujui peneliti untuk melakukan penelitian.
2. Sri Sumaryani, S.Kep.,Ns.,M.Kep.,Sp.Mat.,HNC, selaku Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah menyetuji peneliti untuk melakukan penelitian.
3. Arianti, M.Kep.,Ns.,Sp.Kep.MB, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, dan motivasi kepada peneliti dalam penyusunan karya tulis ini.
(6)
4. Resti Yulianti Sutrisno, M. Kep.,Ns.,Sp.Kep.MB selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran dalam perbaikan karya tulis ini.
5. Seluruh staf di lingkup RSUD Panembahan Senopati Bantul.
6. Seluruh responden yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk menjadi responden penelitian.
Peneliti menyadari bahwa Karya Tulis Ilmiah ini masih banyak kekurangan baik dalam hal penulisan maupun isi, untuk itu peneliti mohon maaf dan demi kebaikan proposal ini, peneliti mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca.
Akhir kata, peneliti mengharapkan agar karya tulis ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat menambah pengetahuan terutama bagi Ilmu Keperawatan.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Yogyakarta, Agustus 2016 Peneliti
(7)
vii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN KTI ... ii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR BAGAN ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
INTISARI ... xiii
ABSTRACT ... xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 6
E. Keaslian Penelitian ... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka ... 10
1. Kemoterapi ... 10
a. Definisi Kemterapi ... 10
(8)
c. Toksisitas Kemoterapi ... 12
2. Mual pada Pasien Kemoterapi ... 13
a. Definisi Mual ... 13
b. Obat-obatan Kemoterapi yang Menyebabkan Mual ... 15
c. Patofisiologi CINV ... 16
d. Tipe CINV ... 17
e. Faktor Risiko CINV ... 18
f. Dampak CINV ... 18
g. Masalah Keperawatan CINV ... 19
h. Penatalaksaan CINV ... 20
i. Peran Perawat ... 24
j. Instrumen Mual ... 25
3. Aromaterapi Peppermint ... 27
a. Aromaterapi ... 27
b. Peppermint ... 31
c. Aromaterapi Peppermint Sebagai Penurun Mual ... 32
B.Kerangka Teori ... 34
C.Kerangka Konsep ... 35
D.Hipotesis ... 35
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 36
B. Populasi dan Sampel ... 36
(9)
ix
2. Sampel ... 37
C. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 39
D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 39
1. Variabel Penelitian ... 39
2. Definisi Operasional... 40
E. Instrumen Penelitian... 41
F. Cara Pengumpulan Data ... 41
G. Validitas dan Reliabilitas Instrumen ... 46
H. Pengolahan dan Analisa Data... 47
1. Pengolahan Data... 47
2. Analisa Data ... 48
I. Etika Penelitian ... 49
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum RSUD Panembahan Senopati Bantul ... 51
B. Hasil Penelitian ... 52
C. Pembahasan ... 57
D. Kesulitan dan Kelemahan Penelitian ... 64
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 66
B. Saran ... 67
DAFTAR PUSTAKA ... 68 LAMPIRAN
(10)
x
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 NOC dan NIC CINV... 19
Tabel 2.2 Pedoman Terapi Farmakologi acute dan delayed CINV... 21
Tabel 3.1 Desain penelitian... 36
Tabel 3.2 Definisi Operasional... 40
Tabel 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Usia di RSUD Panembahan Senopati Bantul... 52
Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Diagnosis Kanker, dan Siklus Kemoterapi di RSUD Panembahan Senopati Bantul... 53
Tabel 4.3 Distribusi Mual Pada Pasien Kemoterapi di RSUD Panembahan Senopati Bantul... 54
Tabel 4.4 Distribusi Skala Mual Sebelum Pemberian Aromaterapi Peppermint Pada Pasien Kemoterapi di RSUD Panembahan Senopati Bantul... 54
Tabel 4.5 Distribusi Skala Mual Setelah Pemberian Aromaterapi Peppermint Pada Pasien Kemoterapi di RSUD Panembahan Senopati Bantul... 55
Tabel 4.6 Hasil Uji Normalitas Data... 56
(11)
xi
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Kerangka Teori... 34 Bagan 2.2 Kerangka Konsep... 35 Bagan 3.1 Alur Pengumpulan Data... 45
(12)
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Ijin Survey Pendahuluan dari PSIK FKIK UMY
Lampiran 2 Surat Ijin Studi Pendahuluan dari RSUD Panembahan Senopati Bantul
Lampiran 3 Surat Keterangan Kelayakan Etika Penelitian dari FKIK UMY Lampiran 4 Surat Ijin Penelitian dari BAPPEDA Bantul
Lampiran 5 Surat Ijin Penelitian dari RSUD Panembahan Senopati Bantul Lampiran 6 Permohonan Menjadi Responden
Lampiran 7 Pernyataan Menjadi Responden Lampiran 8 Data Demografi
Lampiran 9 Prosedur Pemberian Aromaterapi Peppermint
Lampiran 10 Lembar Evaluasi Pemberian Aromaterapi Peppermint Lampiran 11 Lembar Conten Validity Index (CVI)
(13)
(14)
xiii INTISARI
Latar belakang: Prevalensi kanker semakin meningkat dari tahun ke tahun sehingga menyebabkan peningkatan kebutuhan untuk terapi kanker. Kemoterapi menjadi terapi modalitas kanker yang paling sering digunakan dan menjadi satu-satunya pilihan metode terapi yang efektif. Kebanyakan pasien mengeluh mual sebagai efek samping kemoterapi. Chemotherapy induced nausea and vomiting (CINV) dapat berdampak buruk pada kualitas hidup, keadaan fisik, serta dapat mengubah kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Kegagalan dalam penanganan CINV menggunakan obat antiemetik menyebabkan kebutuhan untuk melakukan terapi lain sebagai terapi komplementer dan alternatif dalam menangani masalah mual pada pasien kemoterapi.
Tujuan: Untuk menganalisis pengaruh aromaterapi peppermint terhadap penurunan skala mual pada pasien kemoterapi di RSUD Panembahan Senopati Bantul.
Metode: Jenis penelitian ini adalah pra-eksperimental dengan rancangan pra-paska tes dalam satu kelompok (one group pra-post test design). Sampel penelitian ini terdiri dari 15 responden dengan teknik purposive sampling. Alat ukur dalam penelitian ini menggunakan Numeric Rating Scale (NRS). Analisis data yang digunakan adalah paired t-test dengan nilai p = < 0,05.
Hasil: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata skala mual sebelum pemberian aromaterapi peppermint adalah 7,3 dan rata-rata skala mual setelah pemberian aromaterapi peppermint adalah 3,7. Perbedaan rata-rata skala mual sebelum dan setelah pemberian aromaterapi peppermint sebesar 3,6 dengan nilai p = 0,000 (p<0,05).
Kesimpulan: Terdapat pengaruh yang signifikan terhadap penurunan skala mual antara sebelum dan setelah pemberian aromaterapi peppermint pada pasien kemoterapi di RSUD Panembahan Senopati Bantul.
(15)
xiv ABSTRACT
Background: The prevalence of cancer increases year by year as well as the need of cancer therapy. Chemotherapy becomes the cancer modality therapy which is often used as the only option for an effective method. Mostly cancer patients are complaining about nausea as the side-effect of chemoterapy. Chemotherapy-induced nausea and vomiting (CINV) can be a bad impact for their quality of life, physical condition, and it can even change the patient’s obedience to the medication. The failure in handling CINV using antiemetic can cause the need for other therapy as a complementary and alternative therapy in handling CINV. Objective: To analyze the effect of peppermint aromatherapy on reduction of chemotherapy patient’s nausea scale in RSUD Panembahan Senopati Bantul. Methods: This research was pre-experiment with one group pra-post test design. The research sample consists of 15 respondents by purposive sampling technique. The measuring instrument in this research was Numeric Rating Scale (NRS). The data analysis used paired t-test with p value = < 0,05.
Results: The result showed that mean of the nausea scale before giving peppermint aromatherapy was 7,3 and after giving peppermint aromatherapy is 3,7. The difference of mean value was 3,6 with p value=0,000 (p<0,05).
Conclusion: There are significant effect of peppermint aromatherapy on reduction of chemotherapy patient’s nausea scale in RSUD Panembahan Senopati Bantul.
(16)
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Prevalensi penyakit kanker semakin meningkat dari tahun ke tahun. Menurut WHO(World Health Organization) (2015), berdasarkan data dari World Cancer Report 2014 diperkirakan bahwa ada 14 juta kasus baru kanker dan 8,2 juta kematian akibat kanker yang muncul di tahun 2012. Hal ini diperkirakan akan terjadi peningkatan dari 14 juta menjadi 22 juta dalam 2 dekade yang akan datang. Berdasarkan data dari GLOBOCAN (Global Burden Cancer)tahun 2012 dalam IARC (The International Agency for Research on Cancer) WHO (2013), kondisi ini diperkirakan akan meningkat mencapai 19,3 juta kasus per tahun di tahun 2025.
Prevalensi kanker yang semakin meningkat menyebabkan peningkatan kebutuhan untuk terapi kanker. Terapi modalitas kanker yang paling sering digunakan dan sering menjadi satu-satunya pilihan metode terapi yang efektif adalah kemoterapi (Desen, 2008). Hingga saat ini, kanker yang dapat disembuhkan dengan kemoterapi mencapai lebih dari 10 jenis kanker atau 5% dari seluruh pasien kanker (Desen, 2008). Menurut Fasching, dkk. (2011), 52% pasien kanker payudara dengan HER2-positif yang menerima pengobatan anti-HER2 (Trastuzumab) dalam kemoterapi neoadjuvant, yaitu kemoterapi yang diberikan pada saat pre-operasi atau pre-radiasi (Sukardja, 2000), mengalami PCR (Prognosis Complite Response). Sedangkan menurut Rezkin (2009), diperkirakan sekitar 70% pasien kanker ovarium stadium III
(17)
2
atau IV yang diberikan kemoterapi sitostatika akan memberikan respon klinik yang komplit.
Obat-obatan kemoterapi dapat menimbulkan beberapa toksisitas atau efek samping bagi pasien. Menurut Saleh (2006), toksisitas umum yang biasa muncul yaitu mielosupresi (seperti anemia, leucopenia, trombositopenia), mual-muntah, ulserasi membran mukosa, dan alopesia (kebotakan). Efek samping kemoterapi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah mual-muntah atau chemotherapy induced nausea and vomiting (CINV), yaitu sekitar 70-80% pasien (Otto, 2005; Firmansyah, 2010). Menurut American Cancer Society (2013), dosis tinggi intravena (IV) Cisplatin dan Cyclophosphamide tanpa terapi antiemetik dapat menyebabakan mual-muntah pada >90% pasien, namun penggunaan Bleomysin atau Vincristin dapat menyebabkan mual-muntah pada <10% pasien yang tidak diberikan antiemetik. Bourdeanu, dkk. (2012) juga menyatakan bahwa sebanyak 80% dari pasien yang menerima kemoterapi Siklofosfamid berbasis Anthracycline, yaitu sebuah ragimen adjuvant (tambahan) yang umumnya diresepkan untuk kanker payudara, akan mengalami beberapa derajat mual dan muntah.
Berdasarkan data yang didapatkan dari studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di bangsal Kemoterapi RSUD Panembahan Senopati Bantul pada hari Sabtu, 13 Juni 2015, dari 10 pasien kemoterapi terdapat 30% pasien mengalami mual saja, 40% mual-muntah, dan sisanya (30%) tidak mengalami mual ataupun muntah. Rata-rata pasien sudah menjalani kemoterapi lebih dari 2 kali siklus kemoterapi dan rata-rata pasien mengalami
(18)
delayed nausea and vomiting, yaitu mual yang terjadi lebih dari 24 jam setelah kemoterapi (American Cancer Society, 2013). Derajat mual yang diukur menggunakan Numeric Rating Scale, yaitu rentan skala 0-10 dengan angka 0 tidak mual dan angka 10 mual terburuk yang mungkin dirasakan (Voigt, dkk., 2011), didapatkan hasil yang berbeda-beda. Terdapat 30% pasien dengan skala 0, 20% skala 1-4, 10% skala 5-9, dan 40% skala 10.
Menurut Chan, dkk. (2015), Chemotherapy Induced Nausea and Vomiting (CINV) adalah salah satu dari efek samping yang paling bermasalah dari kemoterapi kanker dan sering berlangsung hingga 5 hari atau lebih setelah kemoterapi diberikan. CINV dapat berdampak buruk, baik pada kualitas hidup pasien maupun keadaan fisik mereka (Chan, dkk., 2015). Berdasarkan penelitian Perwitasari, dkk. (2012), 74,9% dari 179 pasien kanker dari Departemen Onkologi, RS Dr. Sardjito, Yogyakarta, mengalami delayed nausea and vomiting selama 5 hari setelah kemoterapi dan hal ini mengakibatkan dampak negatif yang signifikan terhadap kualitas hidup pasien. Dampak dari CINV juga dijelaskan oleh Bloechl-Daum, dkk. (2006), selain dapat berdampak pada masalah fisiologis dan kulitas hidup, juga dapat mengubah kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Oleh karena itu, diperlukan sebuah intervensi untuk menangani mual-muntah pada pasien kemoterapi.
Sampai saat ini, intervensi dalam penanganan mual muntah pasien kemoterapi yaitu dengan farmakologi yang melibatkan peresepan antiemetik (obat anti mual). Hal ini sesuai dengan fakta yang terjadi di Rumah Sakit dalam studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti, yaitu penanganan mual
(19)
4
pada pasien kemoterapi di RSUD Panembahan Senopati Bantul hanya sebatas pemberian terapi farmakologi. Obat-obatan yang digunakan yaitu Ondansentron (per IV dan oral), Omeprazol (per IV dan oral), dan Ranitidin (per IV). Rute pemberian obat-obatan ini diberikan pada pre-kemoterapi untuk per IV dan post-kemoterapi untuk per oral. Pemberian obat-obatan tersebut ternyata tidak semua pasien merasakan manfaatnya. Sekitar 40% pasien dari 10 pasien kemoterapimasih merasakan mual ketika sudah diberikan obat anti mual (antiemetik). Hal ini sesuai dengan penelitian Perwitasari, dkk., (2012) bahwa 74,9% dari 179 pasien mengalami delayed nausea and vomiting selama 5 hari setelah kemoterapi meskipun menggunakan profilaksis antiemetik.
Selain terapi farmakologi, terdapat beberapa intervensi yang dapat digunakan sebagai terapi komplementer dan alternatif yang digunakan untuk mengurangi efek samping kemoterapi. Menurut Mustian, dkk. (2011), salah satu terapi yang dapat digunakan yaitu herbal supplement dalam bentuk aromaterapi yang telah banyak direkomendasikan untuk mengurangi CINV. Ginger,Cinnamon bark, peppermint, chamomile, fennel, dan rosewood merupakan bahan-bahan yang biasa digunakan karena memiliki aktivitas antiemetik, antispasmodik, dan meningkatkan kesehatan sistem digestif (pencernaan) (Lua, dkk., 2015; McKenna, dkk., 2011; Mustian, dkk., 2011).
Beberapa penelitian telah menjelaskan bahwa peppermint efektif untuk menurunkan mual dan muntah. Menurut Lua & Zakaria (2012), aromaterapi inhalasi essential oil (EO) peppermint berpotensial memiliki manfaat dalam mengurangi mual dan muntah pasien post operasi dan pasien onkologi.
(20)
Menurut Boehm, dkk. (2012), aromaterapi atau EO sangat aman digunakan oleh pasien kanker dengan minimal efek samping. Tayarani-Najaran, dkk. (2013) juga menjelaskan bahwa EO Peppermint merupakan pilihan perawatan terapeutik yang murah, aman, dan efektif untuk perawatan pasien CINV. Berdasarkan analisis menggunakan GC–MC (Gas Chromatography–Mass Spectrometry) dalam penelitian Tayarani-Najaran, dkk. (2013), EO Peppermint (M. x piperita)mengandung 13 komponen dan terdapat 5 komponen utama yang dapat berfungsi sebagai antiemetik, yaitu Limonene (5,96%), Cis-Dihydrocarvone (19,19%), Pulegone (13,30%), Carvone (42,53%), β-Caryphyllene (6,78%). Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh aromaterapi peppermint terhadap penurunan skala mual pada pasien kemoterapi di RSUD Panembahan Senopati Bantul.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah berdasarkan latar belakang tersebut di atas adalah “Apakah ada pengaruh aromaterapi peppermint terhadap penurunan skala mual pada pasien kemoterapi di RSUD Panembahan Senopati Bantul?”
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum
Tujuan umum dari penelitian ini yaitu untuk menganalisispengaruh aromaterapipeppermint terhadap penurunan skala mual pada pasien kemoterapi di RSUD Panembahan Senopati Bantul.
(21)
6
2. Tujuan khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini yaitu untuk mengidentifikasi: a. Karakteristik responden penelitian dari pasien kemoterapi di RSUD
Panembahan Senopati Bantul.
b. Karakteristik mual yang dialami oleh pasien kemoterapi di RSUD Panembahan Senopati Bantul.
c. Skala mual sebelum pemberian aromaterapi peppermintpada pasien kemoterapi di RSUD Panembahan Senopati Bantul.
d. Skala mual setelah pemberian aromaterapi peppermintpada pasien kemoterapi di RSUD Panembahan Senopati Bantul.
e. Pengaruh aromaterapi peppermint terhadap penurunan skala mual pada pasien kemoterapi di RSUD Panembahan Senopati Bantul.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Bagi Responden
Penelitian ini dapat menjadi bahan evaluasi tentang keefektifan penanganan mual dengan nonfarmakologi yaitu dengan menggunakan aromaterapi peppermint.
2. Bagi Ilmu Keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan baru serta dapat digunakan sebagai dasar literatur bagi peneliti selanjutnya.
(22)
3. Bagi Perawat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu intervensi mandiri perawat dalam menangani masalah mual pasien kemoterapi.
4. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini dapat memberikan pengalaman secara langsung dalam melakukan penelitian dan pengetahun baru tentang penanganan mual pasien kemoterapi.
5. Bagi Instansi Rumah Sakit
Penelitian ini diharapkan dapat dimasukkan dalam SOP (Standard Operational Procedure) sebagai terapi komplementer dalam penanganan mual pasien kemoterapi di Rumah Sakit.
E. Keaslian Penelitian
Sejauh pengetahuan peneliti, ada beberapa penelitian terkait dengan penelitian yang akan dilakukan, yaitu:
1. Lua, P. L., & Zakaria, N. S. (2012) dengan judul A brief review of current scientific evidence involving aromatherapy use for nausea and vomiting.Penelitian ini merupakan sebuah tinjauan singkat dari bukti ilmiah saat ini yang melibatkan penggunaan aromaterapi untuk mual dan muntah. Tujuan dari penelitian tersebut yaitu untuk mengumpulkan bukti-bukti ilmiah yang ada yang berhubungan dengan pengaruh EO (Essential Oil) yang diberikan melalui inhalasi untuk mengatasi mual dan muntah. Hasilnya menyebutkan bahwa 5 artikel yang telah memenuhi kriteria
(23)
8
inklusi meliputi percobaan dengan 328 responden menunjukkan inhalasi uap EO peppermint atau jahe tidak hanya menurunkan insiden dan keparahan mual dan muntah tetapi juga menurunkan penggunaan obat antiemetik dan akibatnya meningkatkan kepuasan pasien. Perbedaan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan yaitu pada desain penelitian yang digunakan. Peneliti menggunakan desain penelitianpra-eksperimental sedangkan penelitian tersebut merupakan penelitian brief review atau tinjauan singkat.
2. Santosh, dkk. (2011) dengan judul Anxiolytic And Antiemetic Effects Of Aromatherapy In Cancer Patients On Anticancer Chemotherapy. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang bertujuan untuk menilai dampak aromaterapi yang berpotensi dalam perawatan ansietas dan CINV pada pasien kanker. Penelitian dilakukan pada 60 pasien kanker yang menjalani kemoterapi yang direkrut dari negara bagian Karala, India. Pasien dibagi ke dalam 2 kelompok, yaitu kelompok eksperimen (n=30) yang diberikan aromaterapi pijat sebelum periode kemoterapi dan kelompok kontrol (n=30) yang tidak diberikan aromaterapi pijat. Hasil penelitian menunjukkan pengaruh ansiolitik dan antiemetik yang signifikan dengan aromaterapi pijat ketika digunakan sebagai terapi tambahan untuk standar antiemetik pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi dengan p-value<0,01. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada metode penelitian, instrumen penelitian, jumlah sampel yang digunakan, dan tempat penelitian. Pada penelitian yang akan
(24)
dilakukan, metode penelitian yang digunakan adalah pra-eksperimental dengan satu kelompok tanpa kelompok kontrol,sedangkan instrumen penelitianmenggunakan EO sebagai aromaterapi dengan cara inhalasi secara langsung tanpa dilakukan pemijatan dengan jumlah sampel 15 pasresponden dan tempat penelitian di RSUD Panembahan Senopati Bantul, Indonesia.
3. Tayarani-Najaran, dkk. (2013) yang berjudul Antiemetic activity of volatile oil from Mentha spicata and Mentha × piperita in chemotherapy-induced nausea and vomiting. Penelitian ini bertujuan untuk memastikan keefektifan dari Mentha spicata dan Mentha x piperita dalam pencegahan CINV. Penelitian ini merupakan sebuah penelitian randomized, double-blind clinical trial. Hasil menunjukkan bahwa terdapat penurunan yang signifikan dalam intensitas dan jumlah kejadian emetik (mual-muntah) pada 24 jam pertama dengan M. spicata dan M. x piperita di kedua kelompok perawatan (p<0,05) dibandingkan dengan kelompok kontrol. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada metode penelitian yang digunakan dan instrument penelitian. Metode yang digunakan oleh penelitiyaitu pra-eksperimental sedangkan penelitian tersebut termasuk ke dalam eksperimen murni atau true experiment. Peneliti menggunakan M. x piperita (peppermint)saja sebagai instrumen dalam penelitian yang akan dilakukan.
(25)
10 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka
1. Kemoterapi
a. Definisi Kemoterapi
Menurut Smeltzer dan Bare (2002), kemoterapi adalah penggunaan preparat antineoplastik sebagai upaya untuk membunuh sel-sel tumor dengan mengganggu fungsi dan reproduksi seluler. Susanti dan Tarigan (2010) juga menjelaskan bahwa kemoterapi adalah cara pengobatan tumor dengan memberikan obat pembasmi sel kanker (sitostatika) yang diminum ataupun diinfuskan ke pembuluh darah.
Menurut Desen (2008), kemoterapi merupakan terapi modalitas kanker yang paling sering digunakan pada kanker stadium lanjut lokal, maupun metastatis dan sering menjadi satu-satunya pilihan metode terapi yang efektif. Kemoterapi dapat diberikan sebagai terapi utama, adjuvant (tambahan), dan neoadjuvant, yaitu kemoterapi adjuvant yang diberikan pada saat pra-operasi atau pra-radiasi (Sukardja, 2000). Terapi adjuvant mengacu pada perawatan pasien kanker setelah operasi pengangkatan tumor (Johnson, dkk., 2014).
Menurut Desen (2008) kanker yang dapat disembuhkan dengan kemoterapi mencapai lebih dari 10 jenis atau 5% dari seluruh pasien kanker, termasuk kanker derajat keganasan tinggi seperti kanker
(26)
trofoblstik, leukemia limfosit akut anak, limfom Hodgkin dan non-Hodgkin, kanker sel germinal testis, kanker ovarium, nefroblastoma anak, rabdomiosarkoma embrional, sarcoma Ewing, dan leukemia granulositik akut dewasa. Kanker dengan jenis yang lain (misalnya kanker mamae, kanker prostat, neuroblastoma, dan lain-lain) walaupun tidak dapat disembuhkan dengan kemoterapi, namun lama survivalnya dapat diperpanjang (Desen, 2008; Johnson, dkk., 2014). Menurut Fasching, dkk. (2011), 52% pasien kanker payudara dengan HER2-positif yang menerima pengobatan anti-HER2 (Trastuzumab) dalam kemoterapi neoadjuvant mengalami PCR (Prognosis Complite Response). Menurut Rezkin (2009), diperkirakan sekitar 70% pasien kanker ovarium stadium III atau IV yang diberikan kemoterapi sitostatika akan memberikan respon klinik yang komplit.
b. Obat-obatan Sitostatika
Menurut Desen (2008) dan Sukardja (2000), obat-obatan anti-kanker (sitostatika) yang umum digunakan di klinik yaitu:
1) Alkilator: Mostar Nitrogen, Siklofosfamid, Ifosfamid, Ttio-tepa, Myleran, Melfalan, Karmustin, Lomustin, Me-CCNU, Cisplatin, Karboplatin, Oksaliplatin, Dakarbazin, Temozolamid, Prokarbazin. 2) Antimetabolit: Metotreksat, Merkaptopurin, Tioguanin, Fluorourasil, Ftorafur, Urasil Tegafur, Xeloda, Sitarabin, Gemsitabin, Fludarabin, Hidroksiurea, L-Asparaginase.
(27)
12
3) Antimikrotubular: Onkovin/Vinkristin, Vinblastin, Vindesin, Navelbin, Taksol, Taksoter.
4) Inhibitor topoisomerase: Etoposid, Vumon, Topotekan, Irinotekan. 5) Antibiotic: Adriamisin, Epirubisin, Daunorubisin, Pirarubisin,
Bleomisin, Mitomisin-C, Aktinomisin D, Doksil.
6) Hormonal: Tamoksifen, Toremifen, Medroksi-progesteron, Megestrol, Flutamid, Aminoglutotimid, Lentaron, Letrozol, Anastrozol, Eksemestran, Goserelin, Lupron.
7) Target molecular: Gleevac, Mabthera, Herceptin, Iressa, Erbitux, Tarceva, Avastin.
c. Toksisitas Kemoterapi
Pemberian kemoterapi sebagai salah satu modalitas terapi kanker telah terbukti dalam memperbaiki hasil pengobatan kanker, baik untuk meningkatkan angka kesembuhan, ketahanan hidup, dan kualitas hidup penderita, namun kemoterapi juga membawa berbagai efek samping dan komplikasi (Susanto, 2006). Kemoterapi memberikan efek toksik terhadap sel-sel yang normal karena proliferasi juga terjadi di beberapa organ-organ normal, terutama pada jaringan dengan siklus sel yang cepat seperti sumsum tulang, mukosa epithelia, dan folikel-folikel rambut (Saleh, 2006). Semeltzer dan Bare (2002) juga menjelaskan bahwa sel-sel dengan kecepatan pertumbuhan yang tinggi (misalnya: epithelium, sumsum tulang, foikel rambut, sperma) sangat rentan terhadap kerusakan akibat obat-obatan
(28)
kemoterapi. Menurut Saleh (2006), hal-hal yang mempengaruhi terjadinya efek samping dan toksisitas dari obat kemoterapi yaitu: jenis obat, dosis, jadwal pemberian obat, cara pemberian obat, dan faktor predisposisi.
Efek toksik kemoterapi terdiri dari beberapa toksik jangka pendek dan jangka panjang (Desen, 2008). Efek toksik jangka pendek meliputi: depresi sumsum tulang, reaksi gastrointestinal (mual, muntah, ulserasi mukosa mulut, diare), trauma fungsi hati (infeksi virus hepatitis laten memburuk dan nekrosis hati akut), trauma fungsi ginjal (sistitis hemoragik, oliguria, uremia, nefropati asam urat, hiperurikemia, hiperkalemia, dan hiperfosfatemia), kardiotoksisitas, pulmotoksisitas (fibrosis kronis paru), neurotoksisitas (perineuritis), reaksi alergi (demam, syok, menggigil, syok nafilaktik, udem), efek toksik local (tromboflebitis), dan lainnya (alopesia, melanosis, sindroma tangan-kaki/ eritoderma palmar-plantar). Sedangkan efek jangka panjang meliputi: karsinogenisitas (meningkatkan peluang terjadinya tumor primer kedua), dan infertilitas. Menurut Saleh (2006), toksisitas umum yang diakibatkan oleh obat-obatan kemoterapi yaitu mielosupresi (seperti anemia, leucopenia, trombositopenia), mual muntah, ulserasi membran mukosa, dan alopesia (kebotakan).
2. Mual pada Pasien Kemoterapi a. Definisi Mual
Mual dan muntah sering terjadi bersama-sama dalam satu waktu, tetapi bisa menjadi 2 masalah yang berbeda (American Cancer
(29)
14
Society, 2013). Hal ini juga dijelaskan oleh Glare, dkk., (2011) bahwa muntah biasanya, tetapi tidak selalu, disebabkan oleh proses mual. Mual didefinisikan sebagai sebuah sensasi yang tidak enak di sekitaresofagus, di atas areagastrik (lambung), atau perut, dan biasa dideskripsikan sebagai perasaan “sakit perut”. Muntah dapat dikatakan sebagai “memuntahkan”, yaitu pengeluaran secara paksa dari isi perut lewat mulut atau cavitas nasal (rongga hidung) (Garret, dkk., 2003 dalam Lua & Zakaria, 2010; Glare, dkk., 2011).
Mual dan muntah adalah 2 masalah efek samping kemoterapi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien kanker (Otto, 2005). Menurut Smeltzer dan Bare (2002), mual dan muntah adalah efek samping yang lebih sering terjadi pada kemoterapi dan dapat menetap hingga 24 jam setelah pemberian obat kemoterapi. Firmansyah (2010) menyatakan bahwa 70-80% pasien kemoterapi mengalami mual dan muntah. Sebanyak 80% dari pasien yang menerima kemoterapi berbasis Siklofosfamid dan Anthracycline akan mengalami beberapa derajat mual dan muntah (Bourdeanu, dkk., 2012). Sedangkan menurut American Cancer Society (2013), dosis tinggi IV (intravena) Cisplatin dan Cyclophosphamide dapat menyebabkan mual dan muntah pada>90% pasien, namun di sisi lain, Bleomysin atau Vincristin dapat menyebabkan mual dan muntah pada <10% pasien.
(30)
b. Obat-obatan Kemoterapi yang Menyebabkan Mual
Banyak obat-obatan kemoterapi yang sering menimbulkan mual dengan derajat bervariasi, yaitu dosis tinggi DPP (Cisplatin), DTIC (Dacarbazine), HN2 (Mostar Nitrogen), Ara-C (Cytarabine),
CTX (Siklofosfamid), dan BCNU (Karmustin) dapat menimbulkan mual dan muntah yang hebat (Desen, 2008). Menurut Basch, dkk., (2011) melalui systematic review, obat-obatan kemoterapi yang berisiko menyebabkan mual dan muntah dibagi ke dalam beberapa tingkatan, antara lain:
1) High risk, terdiri dari: Carmustin, Cisplatin, Cyclophosphamide ≥1.500 mg/m2
, Dacarbazin, Dactinomycin, Mechlorethamine, Streptozoticin.
2) Moderate risk, terdiri dari: Azacitidin, Alemtuzumab, Bendamustine, Carboplatin, Clofarabine, Cyclophosphamide <1.500 mg/m2, Cytarabine >1.000 Mg/M2, Daunorubici, Doxorubicin, Epirubicin, Idarubicin, Ifosfamide, Irinotecan, Oxaliplatin.
3) Low risk, terdiri dari: Fluorouracil, Bortezomid, Cabazitaxel, Catumaxomab, Cytarabine ≤1.000 mg/m2
, Docetaxel, Injeksi Doxorubicin HCL Liposome, Etoposide, Gemcitabine, Ixabepilone, Methotrexate, Mitomycin, Mitoxantrone, Paclitaxel, Panitumumab, Pemetrexed, Temsirolimus, Topotecan, Trastuzumab.
(31)
16
4) Minimal risk, terdiri dari: 2-Chlorodeoxyadenosine, Bevacizumab, Bleomycin, Busulfan, Cetuximab, Fludarabine, Pralatrexate, Rituximab, Vinblastine, Vincistrine, Vinorelbine.
c. Patofisiologi Chemotherapy Induced Nausea and Vomiting (CINV) Neurotransmiter yang paling sering terlibat dalam kejadian mual dan muntah yaitu dopamine, serotonin, substansi P, acetylcholine, histamine, endorphin, dan GABA (Malamakal, 2015; Mustian, dkk., 2011). Menurut Mustian, dkk. (2011), senyawa yang paling banyak dipelajari terkait dengan mual dan muntah yang diakibatkan oleh kemoterapi atau Chemotherapy Induced Nausea and Vomiting(CINV) adalah serotonin (5-HT) yang diproduksi oleh sel enterochromaffin, yaitu suatu jenis sel yang unik yang tersebar di seluruh epitel usus. Serotonin (5-HT) akan meningkat setelah terpapar agen kemoterapi, sehingga pada tingkat tertinggi akan dilepaskan dari permukaan basal ke lamina propia. 5-HT yang berikatan dengan reseptor-reseptor yang serumpun dengan 5-HT3, yang terletak di
terminal saraf vagus, bertindak sebagai neurotransmitter yang mengubah sinyal ke otak belakang, sehingga memicu respon motorik mual dan muntah.
Menurut Janelsins, dkk. (2013), proses CINV dipicu oleh Agen kemoterapi yang melibatkan saraf pusat, saraf perifer, neurotransmitter, dan reseptor. Sitotoksik kemoterapi dapat merusak saluran gastrointestinal (GI) dan menyebabkan sel-sel
(32)
Enterochromaffin (EC) didistribusikan ke seluruh dinding GI untuk melepaskan sinyal-sinyal saraf melalui pelepasan neurotransmiter, yaitu serotonin (5-HT), substansial P (SP), dopamin (D2), monoamin (M), dan histamine (H1). Neurotransmiter ini kemudian mengaktifkan serabut aferen saraf vagus dengan mengikat reseptor-reseptor (5-HT3, NK-1, dan lain-lain) yang kemudian menstimuli kompleks dorsal saraf vagus yang terdiri dari pusat emetik/muntah (VC), Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ), dan Nucleus Tractus Solitarius (NTS). Kemudian sensori tersebut diintegrasikan dan mengakibatkan aktivasi respon muntah.
d. Tipe Chemotherapy Induced Nausea ad Vomitig (CINV)
Menurut American Cancer Society (2013), CINV dapat berupa: 1) Acute Nausea and Vomiting
Biasanya terjadi beberapa menit sampai beberapa jam setelah kemoterapi diberikan, akan berakhir dalam 24 jam, dan sering terjadi sekitar 5-6 jam setelah kemoterapi.
2) Delayed nausea and vomiting
Mulai terjadi lebih dari 24 jam setelah kemoterapi, biasanya muncul 48-72 jam setelah kemoterapi dan berakhir 6-7 hari
3) Anticipatory nausea and vomiting
Terjadi sebelum kemoterapi dilakukan dan merupakan sebuah respon yang muncul akibat hasil dari pengalamaan kemoterapi sebelumnya yang buruk terhadap mual dan muntah.
(33)
18
e. Faktor risiko Chemotherapy Induced Nause and Vomiting (CINV) Menurut Sekine, dkk. (2013) melalui studi prospektif analisis, faktor risiko yang berhubungan dengan beberapa derajad mual pada fase akut (acute CINV) adalah jenis kelamin (perempuan), usia (<55 tahun), konsumsi alkohol, serta kemoterapi berbasis Cisplatin dan AC/EC (Anthracycline and Cyclophosphamide-combination), sedangkan pada fase tertunda (delayed CINV) hanya jenis kelamin (perempuan), konsumsi alkohol, dan kemoterapi berbasis Cisplatin. f. Dampak Chemotherapy Induced Nausea and Vomiting (CINV)
Menurut Chan, dkk. (2015), Chemotherapy Induced Nausea and Vomiting (CINV) adalah salah satu dari efek samping yang paling bermasalah dari kemoterapi kanker, sering berlangsung hingga 5 hari atau lebih setelah kemoterapi diberikan dan dapat berdampak buruk, baik pada kualitas hidup pasien maupun keadaan fisik mereka. CINV dapat berdampak buruk, baik pada kualitas hidup pasien maupun keadaan fisik mereka (Chan, dkk., 2015). Dampak dari CINV juga dijelaskan oleh Bloechl-Daum, dkk. (2006) dalam Chan, dkk. (2015) bahwa CINV dapat mengubah kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Berdasarkan penelitin Perwitasari, dkk., 2012, CINV juga berdampak pada kualitas hidup pasien kanker di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 74,9% dari 179 pasien yang berasal dari Departemen Onkologi, RS Dr. Sardjito, Yogyakarta, Indonesia, mengalami delayed nausea and vomiting selama 5 hari setelah
(34)
kemoterapi meskipun menggunakan profilaksis antiemetik dan hal ini mengakibatkan dampak negatif yang signifikan terhadap kualitas hidup pasien yang diukur menggunakan European Organization for Research and Treatment for Cancer of Quality of Life Questionnaire (EORTC QLQ-30) versi Indonesia dan Short Form-36 (SF-36).
g. Masalah Keperawatan CINV
Menurut NANDA International 2012-2014, masalah keperawatan yang mungkin muncul pada pasien yang mengalami CINV yaitu mual berhubungan dengan gangguan biokimia (toksisitas kemoterapi) dan toksin (metabolit abnormal akibat kanker) dengan batasan karakteristik meliputi: keengganan terhadap makanan, sensai muntah, peningkatan saliva, melaporkan mual, dan rasa asam di dalam mulut.
Tabel 2.1
NOC dan NIC CINV (NOC & NIC team, 2008)
NOC NIC
Symptom Severity (2103) Chemotherapy Management (2240)
Definisi:
Tingkat perubahan-perubahan
yang dianggap merugikan
dalam fungsi fisik, emosi, dan sosial.
Definisi:
Membantu pasien dan keluarga untuk memahami tindakan dan mengurangi efek samping dari antineoplastic agent.
Indikator:
1. Intensitas gejala. 2. Frekuensi gejala.
3. Gejala sakit yang terus-menerus.
4. Berhubungan dengan
ketidaknyamanan.
5. Berhubungan dengan
kecemasan.
6. Penurunan nafsu makan.
Aktivitas:
1. Monitor efek samping dan
efek toksik dari
chemoterapy agent.
2. Monitor keefektifan
pengkajian untuk
mengontrol mual dan
muntah.
3. Tentukan pengalaman
pasien sebelumnya terkait
mual muntah yang
(35)
20
NOC NIC
Symptom Severity (2103) Chemotherapy Management (2240)
kemoterapi.
4. Ajarkan kepada pasien
teknik relaksasi dan imagery secara tepat untuk diguakan sebelum, selama, dan setelah perawatan.
5. Kolaborasi dalam pemberian
obat-obatan antiemetik
untuk mual dan muntah. h. Penatalaksanaan CINV
Penatalaksanaan CINV dapat dilakukan dengan tindakan farmakologi dan non-farmakalogi.
1) Farmakologi
Tindakan farmakologi yang sering digunakan untuk menangani mual dan muntah yaitu dengan melibatkan peresepan antiemetik. Menurut American Cancer Society (2013), tidak ada obat yang dapat 100% mencegah atau mengontrol CINV karena obat kemoterapi bereakasi dalam tubuh dengan cara yang berbeda dan setiap respon seseorang terhadap kemoterapi dan obat antiemetik juga berbeda. Obat-obatan yang dapat membantu mengurangi mual dan muntah yaitu bloker serotonin seperti Ondansetron (mengeblok reseptor serotonin dari CTZ), Bloker Dopaminergik seperti Metoklopramid (mengeblok reseptor dopamine dari CTZ), Fenotiasin, Sedative, Steroid, dan Histamine, baik secara sendiri atau dalam kombinasi (Smeltzer & Bare, 2002).
(36)
Menurut Basch, dkk., (2011), pedoman pemberian antiemetik untuk CINV terbaru yang direkomendasikan oleh American Society of Clinical Oncology adalah sebagai berikut. a) Highly emetogenic agents: kombinasi NK-1 receptor
antagonist (hari ke 1–3 untuk aprepitan; hanya hari ke-1untuk fosaprepitant), 5HT3 receptor antagonist (hanya hari ke-1), dan dexamethasone (hari ke 1–3 atau 1–4).
b) Moderately emetogenic agents: kombinasi palonosetron (hanya hari ke-1) dan dexamethasone (hari ke 1–3).
c) Low emetogenic agents: dosis tunggal 8 mg dexamethasone sebelum kemoterapi.
Sedangkan menurut Mustian, dkk., (2011) dan Janelsins, dkk., (2013), pedoman dalam pemberian terapi farmakologi yang direkomendasikan untuk acute dan delayed CINV dijelaskan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 2.2 Pedoman Terapi Farmakologi acute dan delayed CINV (Mustian, dkk., 2011; Janelsins, dkk., 2013)
Acute Nausea and Vomiting
Emetic risk Antiemetik yang direkomendasikan
High 5HT3 (Serotonin Receptor
Antagonist)+ DEX (Dexamethasone)
+ NK-1 (Neurokin-1 Receptor
Antagonist) atau APR (Aprepitant) Moderate-AC (anthrocycline +
Cyclophosphamide)
5HT3 + DEX + NK-1 atau APR Moderate selain AC PALO (Palonosetron) + DEX
Low DEX atau 5HT3 atau DRA
(Dopamine Receptor Antgonist) Minimal Sesuai kebutuhan atau tidak rutin
(37)
22
Emetic risk Antiemetik yang direkomendasikan
High DEX + NK-1 atau (APR)
Moderate-AC (anthrocycline + Cyclophosphamide)
NK-1 (APR) Moderate selain AC DEX
Low Sesuai kebutuhan atau tidak rutin Minimal Sesuai kebutuhan atau tidak rutin
Obat antiemetik juga menimbulkan beberapa efek samping. Menurut Fonte, dkk. (2015), 73% pasien yang menerima Olanzapine, yaitu reseptor neurotransmitter antagonis multiple yang terdiri dari dopaminergik pada reseptor D1, D2, D3, D4 di otak, serotonin pada 5-HT2a, 5-HT2c, 5-HT3, reseptor 5-HT6,
cathecolamines pada reseptor alpha1 adrenergic, acetylcholine pada reseptor muscarinic, and histamine pada reseptor H1, melaporkan mengantuk dan kelelahan. Hasil ini berbeda dengan efek samping yang dialami oleh pasien dengan masalah kesehatan mental yang menerima olanzapine setiap hari selama bertahun-tahun, terjadi peningkatan berat badan, peningkatan glukosa darah dan kolesterol, kelelahan, reaksi ekstrapiramidal seperti akatisia, gagal jantung kongesti, pneumonia, dyspnea, inkontinensia urin, dan efek dermatologi. Pada akhirnya, pasien tampak depresi, euphoria, delusi, reaksi manic, reaksi skizofrenia, gejala obsesif kompulsif dan usaha untuk bunuh diri.
2) Non-farmakologi
Selain terapi dengan farmakologi, ada intervensi non-farmakologi yang dapat digunakan sebagai terapi adjuvant(tambahan) untuk menurunkan mual dan muntah yang
(38)
terinduksi kemoterapi (Chemoterapy Induced Nausea and Vomiting). Berdasarkan artikel ilmiah yang ditulis oleh Mustian, dkk. (2011), terapi non-farmakologi yang dapat digunakan meliputi:
a) Herbal supplement
Menurut Mustian, dkk. (2011), banyak herbal supplement dalam bentuk tea (minuman) atau aromaterapi yang telah direkomendasikan untuk mengurangi CINV. Ginger,Cinnamon bark, peppermint, chamomile, fennel, dan rosewood merupakan bahan-bahan yang biasa digunakan (Mustian, dkk., 2011; Lua, dkk., 2015; McKenna, dkk., 2011). Bahan-bahan tersebut memiliki aktivitas antispasmodik dan meningkatkan kesehatan sistem digestif (pencernaan) (Essential Science Publishing, 2007 dalam Muatian, dkk., 2011).
b) Akupuntur
Lebih dari 20 tahun, clinical evidence telah mendukung akupuntur sebagai terapi CINV (Ma L, 2009 dalam Mustian, dkk., 2011). Hal ini dijelaskan bahwa akupuntur bekerja pada sistem saraf melalui stimulasi aktivasi atau deaktivasi otak. Efektivitas akupuntur sebagai terapi CINV juga dijelaskan dalam penelitian Rithirangsriroj, dkk. (2015) bahwa akupuntur
(39)
24
efektif dalam pencegahan delayed CINV dan dapat dijadikan sebagai pilihan terapi CINV tanpa efek samping.
c) Biopsychobehavioral
Terapi ini meliputi progressive muscle relaxation, guided imagery, hypnosis, dan exercise. Intervensi biopsychobehavioral lebih bermanfaat jika diimplementasikan dalam pencegahan dan dimulai sebelum siklus pertama kemoterapi atau sebelum onset pertama gejala CINV (Redd, 1994; Marrow, 1993 dalam Mustian, dkk., 2011).
i. Peran Perawat
Peran perawat secara umum dijelaskan dalam Standar Kompetensi Perawat Indonesia yang disusun oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) yang bekerjasama dengan Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia (AIPNI) dan Asosiasi Institusi Pendidikan Diploma Keperawatan Indonesia (AIPDiKI) (2012) adalah sebagai care providerataucare giver (pemberi pelayanan atau asuhan), community leader (pemimpin komunitas), educator (pendidik), manager (pengelola), dan researcher (peneliti). Melalui perannya sebagai researcher, perawat dapat melakukan penelitian sederhana keperawatan dengan cara mencari jawaban terhadap fenomena klien dan menerapkan hasil kajian dalam rangka membantu mewujudkan Evidence Based Nursing Practice (EBNP). EBNP yang dihasilkan dari penelitian tersebut dapat diterapkan oleh perawat di dalam
(40)
perannya sebagai care providerataucare giver, yaitu menerapkan keterampilan berfikir kritis dan pendektan sistem untuk penyelesaian masalah serta pembuatan keputusan keperawatan dalam konteks pemberian asuhan keperawatan yang komprehensif dan holistik berlandaskan aspek etik dan legal.
j. Instrumen Mual
Menurut Rhodes dan Daniel (2001, dalam Oktaviani 2013), instrumen yang digunakan untuk mengukur mual muntah yang telah teruji validitas dan reabilitasnya yaitu: Numerik rating scale (NRS), Duke Descriptive Scale (DDS), Visual Analog Scale (VAS), Index Nausea vomiting and Retching (INVR), Marrow Assessment Of Nausea and Emesis and Functional Living Index Emesis.
a. Numeric rating scale (NRS)
NRS merupakan instrumen yang mudah digunakan untuk mengukur mual (Lee Jiyeon, dkk., 2010 dalam Oktaviani, dkk., 2014). Skala ini telah digunakan untuk mengukur mual pada pasien dyspepsia pada penelitian Oktaviani (2013). NRS juga telah digunakan pada penelitian Imai, dkk. (2013) untuk mengukur intensitas mual pada pasien kanker yang mendapatkan scopolamine secara sublingual, tetapi dalam penelitian ini hanya menggunakan 6 poin NRS (NRS 0 = tidak mual sampai 5 = mual yang paling buruk).Selain itu, NRS juga digunakan dalam penelitian Voigt, dkk. (2011) untuk menilai pengalaman PONV (Postoperative
(41)
26
Nausea and Vomiting) pada pasien bedah elektif payudara dengan 0 = tidak PONV dan 10 = kejadian PONV yang terburuk.
NRS juga digunakan di dalam Edmonton Symptom Assessment System (ESAS), yaitu alat atau instrumen pengkajian yang valid dan reliabel untuk membantu dalam melakukan pengkajian 9 gejala (nyeri, kelelahan, mual, depresi, kecemasan, mengantuk, nafsu makan, kesejahteraan, dan sesak napas) yang dialami oleh pasien kanker, yang masing-masing gejala tersebut dinilai dari 0 – 10 dengan 0 berarti tidak ada gejala dan 10 keparahan yang mungkin terburuk (Cancer Care Ontario, 2005).Instrumen NRS yang terdapat di dalam ESAS tersebut merupakan instrumen yang akan digunakan oleh peneliti untuk menilai skala mual pada pasien kemoterapi dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan 11 poin NRS (0 = tidak mual sampai 10 = mual yang paling buruk).
b. Duke Descriptive Scale (DDS)
Instrument ini memuat data mual dan muntahdengan frekuensi, keparahan dan kombinasi aktifitas. Tipe dari kuesioner ini adalah skala check list. Kelemahan kuesioner adalah informasi yang terbatas (Rhodes & Daniel, 2001 dalam Oktaviani, 2013). c. Visual Analog Scale (VAS)
Menurut Oktaviani (2013), instrumen penelitian ini berupa rentan skala dengan menggunakan angka 0-10 untuk mengetahui
(42)
gejala. Instrumen ini instrumen yang simple dan paling banyak digunakan dalam penelitian-penelitian sebelumnya.
d. Index Nausea Vomiting and Retching (INVR)
Index Nausea Vomiting and Retching yang dipopulerkan oleh Rhodes digunakan untuk mengukur mual, muntah dan retching dengan skala Likert yaitu 0-4. Instrumen INVR merupakan instrumen yang digunakan dalam penelitian Apriany (2010).
e. Marrow Assessment Of Nausea and Emesis and Functional Living Index Emesis
Instrumen ini dilengkapi dengan data awal, intensitas, keparahan, dan durasi dari mual dan muntah(Rhodes dan Daniel, 2001 dalam Oktaviani, 2013).
3. Aromaterapi Peppermint a. Aromaterapi
Aromaterapi berasal dari kata aroma yang berarti harum atau wangi dan therapy yang dapat diartikan sebagai pengobatan atau penyembuhan, sehingga aromaterapi dapat diartikan sebagai suatu cara perawatan tubuh dan atau penyembuhan penyakit dengan menggunakan minyak esensial (Essential Oilatau EO) (Jaelani, 2009). Menurut Lua dan Zakaria (2012), aromaterapi mengarah kepada penggunaan terapeutik substansi wewangian untuk meningkatkan
(43)
28
kesehatan fisik dan mental, kualitas hidup, dan sebagai bentuk pengobatan komplementer dan alternatif atau Complementary and Alternative Medicine(CAM).
Efek aromaterapi inhaler (aromastik) terhadap kecemasan, mual, dan gangguan tidur pada 160 pasien dalam setting acute center caredi UK menunjukkan 77% dari semua pasien melaporkan satu atau lebih manfaat dari aromastik tersebut. Pada pasien cemas, 65% melaporkan merasa lebih santai dan 51% merasa setress kurang. 47% dari pasien mual mengatakan mual teratasi dan 55% dari pasien yang mengalami gangguan tidur mengalami peningkatan kualitas tidur (Stringer & Donald, 2010). Aromaterapi juga dapat menurunkan kejadian, keparahan, dan frekuensi CINV pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi di Negara Karala, India (Santosh, dkk., 2011).
Menurut Mayden (2012), aromaterapi dapat diaplikasikan dalam beberapa metode, antara lain:
1) Topikal: Metode ini biasanya diaplikasikan dalam bentuk pijat, salep, emulsi, dan gel.
2) Inhalasi: metode yang biasanya digunakan meliputi diffuser, lampu aroma, semprot ruangan, uap, atau inhalasi langsung dari minyak esensial.
3) Mandi: pencampuran EO dengan garam laut, garam Epsom, atau minyak yang dapat digunakan untuk mandi atau berendam.
(44)
4) Kompres: pengenceran EO dan diaplikasikan ke kain bersih atau kain flannel dalam keadaan dingin atau panas dan biasanya pengompresan dilakukan selama 1 – 3 jam.
Sedangkan menurut Buckle (2014), aplikasi aromaterapi melalui inhalasi dapat secara langsung atau direct (untuk satu pasien) atau tidak langsung atau indirect (untuk ruangan).
1) Direct inhalation (no steam)
Penggunaan aromaterapi tanpa uap (steam) yaitu dengan menggunakan beberapa cara di bawah ini.
a) Aromasticks: dengan cara meneteskan 15 – 20 tetes EO ke dalam wick (sumbu) dan masukkan wick ke dalam inhaler. b) Aromapatches: dengan cara menggunakan patch yang dapat
berisi 1 jenis EO atau campuran yang diaplikasikan ke kulit pasien.
c) Bola kapas (cotton ball): dengan cara menambahkan 1 – 5 tetes EO pada bola kapas dan menghirupnya selama 5 – 10 menit kemudian diulangi sesuai kebutuhan.
2) Direct inhalation with steam
Penggunaan aromaterapi dengan cara menambahkan 1 – 5 tetes EO ke dalam wadah steaming air kemudian meletakkan handuk di atas kepala pasien dan memintanya untuk menghirup selama 10 menit.
(45)
30
3) Indirect Inhalation
Aplikasi aromaterapi dalam bentuk room fresheners, burners, fans, humidifier, diffuser, nebulizer, spritzer sprays, aromastones.
Melalui inhalasi, molekul-molekul volatile EO yang melewati reseptor olfaktori di hidung mengenali karakteristik molekuler tersebut dan mengirimkan sinyal ke otak melalui saraf olfaktori. Selain itu, beberapa unsur pokok dari molekul tersebut masuk ke dalam aliran darah melalui paru-paru dan berpengaruh secara langsung terhadap saraf-saraf di otak setelah melewati barier darah di otak (Geiger, 2005 dalam Lua & Zakaria, 2012).
Selain itu, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi fungsi dari sistem olfaktorius (penghidu). Salah satu faktor yang berpengaruh adalah usia. Larsson, dkk. (2000 dalam Mullol, dkk., 2012) menjelaskan bahwa peningkatan usia berhubungan dengan kelemahan kemampuan untuk mendeteksi atau mengidentifikasi bau-bauan. Menurut penelitian Mullol, dkk., (2012), yang melakukan identifikasi terhadap prevalensi gangguan penghidu (anosmia) terhadap 75 responden menunjukkan bahwa paling banyak berusia 60 – 69 tahun (22,7%).Pengaruh usia terhadap fungsi penghidu juga dijelaskan oleh Doty dan Kamath (2014) melalui studi Cross-Sectional menunjukkan bahwa setengah dari populasi di United State antara usia 65 dan 80 tahun mengalami kehilangan fungsi penghidu.
(46)
Berdasarkan sistematic reviewoleh Boehm, dkk. (2012), dalam aspek keamanan aromaterapi atau EO dapat digunakan dengan aman oleh pasien kanker. Tes terhadap keamanan EO telah menunjukkan efek samping yang minimal. Beberapa EO (misal: camphora oil) dapat menyebabkan iritasi lokal, seperti dermatitis kontak, akibat kontak yang terlalu lama dengan EO ketika mendapatkanaromaterapi pijat. Hal ini juga dijelaskan dalam brief review tentang penggunaan aromaterapi untuk mual dan muntah oleh Lua dan Zakaria (2012), hanya beberapa kasus reaksi alergi yang didokumentasikan dalam literatur dan dilaporkan hanya ada 1 kasus reaksi alergi dengan minyak esensial Athemis nobilis (chamomile).
b. Peppermint
Peppermint yang memiliki nama latin Mintha piperita diklasifikasikan ke dalam kingdom Plantae, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, ordo Lamiales, famili Lamiaceae, genus Mentha, dan spesies Mentha arvensis (Sastrohamidjojo, 2004). Genus Mentha di Indonesia terdapat 2 jenis spesies yaitu Mentha arvensis dan Mentha piperita(peppermint) (Pribadi, 2010 dalam Toepak, dkk., 2013). Genus mentha yang digunakan sebagai penghasil minyak mint adalah minyak cornmintyang dihasilkan dari tanaman M. arvensis, minyak peppermint dihasilkan dari tanaman M. piperita, dan minyak spearmint dihasilkan dari tanaman M. spicata (Ma’mun & Shinta, 2006 dalam Aziza, dkk., 2013).
(47)
32
Berdasarkan analisis menggunakan GC–MC (Gas Chromatography–Mass Spectrometry) dalam penelitian Tayarani-Najaran, dkk. (2013), essential oil (EO) Peppermint (M. x piperita)mengandung 14 komponen yang terdiri dari Limonene (5,96%), Menthone (1,12%), Borneol (0,68%), Terpinen-4-ol (0,99%), cis-Dihydrocarvone (19,19%), trans-Dihydrocarvone (1,06%), Pulegone (13,30%), Carvone (42,53%), Piperitone (1,52%), α -Terpinenyl Acetate (3,45%), β-Carvyl Acetate (1,06%), β-Bourbonene (1,46%), β-Caryophyllene (6,78%), α-Humulene (0,88%). Berdasarkan evaluasi lebih lanjut, terdapat 5 komponen utama yang dapat berfungsi sebagai antiemetik, yaitu Limonene (5,96%), cis-Dihydrocarvone (19,19%), Pulegone (13,30%), Carvone (42,53%), β-Caryphyllene (6,78%).
c. Aromaterapi peppermint sebagai penurun mual
Beberapa penelitian telah menjelaskan bahwa aromaterapi peppermint efektif untuk menurunkan mual. Hasil penelitian Tayarani-Najaran, dkk. (2013) menunjukkan bahwa terdapat penurunan yang signifikan dalam intensitas dan angka kejadian mual dan muntah akibat kemoterapi dalam 24 jam pertama dengan M. spicata dan M. x piperita pada kedua kelompok perawatan dibandingkan kelompok kontrol (p < 0,005). Aromaterapi peppermint juga dapat menurunkan skala mual pada pasienPostoperative Nausea (PON). Hasil penelitian Hunt, dkk. (2013) menunjukkan bahwa skala mual pada pasien PON
(48)
menurun secara signifikan (p < 0,001) setelah diberikan EO campuran antara ginger, spearmint, peppermint, dan cardamom.
Sebuah tinjauan singkat(brief review) tentang penggunaan aromaterapi untuk mual dan muntah oleh Lua dan Zakaria (2012) menunjukkan bahwa dari 5 artikel yang memenuhi kriteria inklusi yang mencakup percobaan dengan 328 responden, didapatkan hasil bahwa inhalasi uap minyak esensial (Essential Oil/EO) peppermint tidak hanya mengurangi insiden dan keparahan mual dan muntah, tetapi juga mengurangi penggunaan obat antiemetik dan sebagai akibat peningkatan kepuasan pasien. Kesimpulan dari hasil tersebut bahwa pengguaan aromaterapi minyak esensial (Essential Oil/EO) peppermintmemiliki potensial keuntungan dalam mengurangi mual dan muntah pada pasien post operasi dan onkologi.
(49)
34
B. Kerangka Teori
Keterangan: Diteliti Tidak diteliti
Kemoterapi
Aromaterapi peppermint sebagai penurun mual Penatalaksanaan mual muntah akibat kemoterapi (CINV):
1. Farmakologi obat-obatan antiemetik 2. Non-farmakologi
a. Herbal suplement b. Akupuntur
c. Biopsychobehavioral
aromaterapi peppermint Toksisitas kemoterapi:
1. Mielosupresi (anemia, leucopenia, trombositopenia) 2.
3. Ulserasi membran mukosa 4. Alopesia
Mual muntah
(50)
C. Kerangka Konsep
Bagan 2.2Kerangka Konsep Keterangan:
Diteliti Tidak diteliti D. Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah:
H1: Ada pengaruh aromaterapi peppermint terhadap penurunan skala mual pada pasien kemoterapi di RSUD Panembahan Senopati Bantul.
H0: Tidak ada pengaruh aromaterapi peppermint terhadap penurunan skala mual pada pasien kemoterapi di RSUD Panembahan Senopati Bantul. Pasien kemoterapi
yang mengalami mual
Diberikan aromaterapi peppermint
Faktor yang mempengaruhi:
Usia (<55 tahun), jenis kelamin (perempuan), konsumsi alkohol, kemoterapi berbasis Cisplatin dan AC/EC
Menurunkan skala mual
Tidak menurunkan skala mual
(51)
36 BAB III
METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pra-eksperimentaldengan rancangan pra-paskates dalam satu kelompok (one group pra-post test design). Desain penelitian ini untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan satu kelompok subjek(Nursalam, 2013).Kelompok subjek pada penelitian ini dilakukan pengukuran skala mualterlebih dahulu sebelum diberikan intervensi aromaterapi peppermintkemudian dilakukan pengukuran skala mual lagi setelah intervensi
Tabel 3.1
Desain penelitian (Nursalam, 2013)
Subjek Pra-tes Intervensi Paska-tes
K O I OI
Waktu 1 Waktu 2 Waktu 3
Keterangan:
K : subjek (pasien kemoterapi yang mengalami mual)
O : Observasi pengukuran skala mual sebelum dilakukan intervensi I : Intervensi (pemberian aromaterapi peppermint)
OI : Observasi pengukuran skala mual setelah dilakukan intervensi
B. Populasi dan Sampel 1. Populasi
Populasi dalam penelitian adalah subjek (misalnya manusia; klien) yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam, 2013). Populasi
(52)
dalam penelitian ini adalahsemua pasien kemoterapi di RSUDPanembahan Senopati Bantul yang berjumlah 150 pasien dalam 1 minggu pada bulan Juni 2015(Sumber: Kepala Ruang dan Rekam Medis RSUD Panembahan Senopati Bantul, 2015). Sedangkan pada bulan Juni 2016, terjadi penurunan jumlah populasi menjadi 47 pasienyang terhitung dari tanggal 1
– 30 Juni 2016. Hal ini disebabkan karena dokter spesialis yang menjadi penanggungjawab pindah tugas ke rumah sakit lain sehingga sebagian pasien memutuskan untuk tidak melanjutkan siklus kemoterapisampai selesai (Sumber: Kepala Ruang dan Rekam Medis RSUD Panembahan Senopati Bantul, 2016).
2. Sampel
Sampel terdiri dari bagian populasi terjangkau yang dapat digunakan sebagai subjek penelitian melalui teknik sampling (Saryono, 2011). Teknik sampling merupakan cara-cara yang ditempuh dalam pengambilan sampel, agar memperoleh sampel yang benar-benar sesuai dengan keseluruhan subjek penelitian (Nursalam, 2013). Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan caranon probability sampling jenis purposive sampling, yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti (tujuan atau masalah dalam penelitian), sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya (Nursalam, 2013).
(53)
38
Sampel dalam penelitian ini memiliki kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut:
a. Kriteria Inklusi
1) Pasien dewasa (usia 18-60 tahun) (Hurlock, 2002). 2) Pasien kemoterapi yang mengalami mual.
3) Pasien yang tidak memiliki riwayat alergi pernapasan. 4) Pasien kooperatif dan bersedia menjadi responden. b. Kriteria Eksklusi
1) Pasien yang tidak menyukai aroma peppermint.
2) Pasien yang mengalami acuteataudelayed CINV yang tidak memberikan nomor telepon.
Jumlah sampel dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan rumus uji hipotesis 2 mean berpasangan sebagai berikut (Ariawan, 1998).
n =δ
2 Z
1−α/2+ Z1−β 2
μ1−μ2 2
Keterangan:
n : jumlah perkiraan sampel
δ : standar deviasi Z1-α/2 : derajat kemaknaan
Z1-β : kekuatan uji
(µ1-µ2) : perbedaan rata-rata kedua kelompok
Penelitin ini menggunakan derajat kemaknaan 5% dan kekuatan uji 95%. Untuk perhitungan besar sampel, peneliti menggunakan penelitian
(54)
yang dilakukan oleh Syarif (2009) dalam Apriyani (2010) dengan standar deviasi 8,68 dan perbedaan rata-rata 6,2.
n = 8,62
2 1,96 + 0,84 2
6,2 2 = 15,36 = 15
Berdasarkan perhitungan sampel di atas, sampel minimal yang diperlukan sebanyak 15 responden. Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi drop out, diperlukan penambahan jumlah sampel sebanyak 10% sehingga sampel yang diperlukan sebanyak 17 responden (Apriyani, 2010). Setelah dilakukan pengambilan sampel, jumlah sampel awal yang didapatkan sebanyak 17 responden.Namun, karena ada 2 responden yang mengalami drop out akibat 1 responden meninggal dan 1 responden sudah tidak mengalami mual lagi, sehingga jumlah sampel menjadi 15 responden. Peneliti mengambil jumlah sampel minimal tersebut karena telah terjadi penurunan jumlah populasi.
C. Lokasidan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RSUD Panembahan Senopati Bantul yang terletak di Jalan Dr. Wahidin Sudirohusodo, Trirenggo, Bantul, D.I. Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2016 – Juni 2016. D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
1. Variabel Penelitian
Variabel adalah setiap hal dalam suatu penelitian yang datanya ingin diperoleh (Sukardi, 2005). Ada dua variabel dalam penelitian ini, yaitu:
(55)
40
a. Variabel bebas (Independent), merupakan stimulus atau intervensi yang diberikan kepada klien untuk mempengaruhi tingkah laku klien (Nursalam, 2013). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah aromaterapi peppermint.
b. Variabel terikat (dependent), adalah faktor yang diamati dan diukur untuk menentukan ada tidaknya hubungan atau pengaruh dari variabel bebas (Nursalam, 2013). Variabel terikat pada penelitian ini adalah skala mual pada pasien kemoterapi.
2. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati dari yang didefinisikan tersebut (Nursalam, 2013).
Tabel 3.2 Definisi Operasional
No Variabel Definisi operasional
Hasil ukur Alat ukur Skala
1 Aromaterapi
peppermint
Penggunaan EO
peppermint yang diberikan sebagai terapi dengan cara inhalasi langsung (direct inhalation) menggunkan bola kapas yang ditetesi EO sebanyak 2
tetes kemudian
pasien diminta
untuk
menghirupnya selama 10 menit.
Ya = 2 Tidak = <2
Check list prosedur pemberian aromaterapi peppermint.
Nominal
2 Skala mual Penilaian secara
subjektif oleh
responden
terhadap Sensasi ketidaknyamann di area tenggorokan atau perut yang menimbulkan rasa
0 = tidak mual dan 10 = mual terburuk yang mungkin dirasakan Numeric Rating Scale (NRS) Rasio
(56)
No Variabel Definisi operasional
Hasil ukur Alat ukur Skala
ingin muntahke
dalam rentang
nilai 0 – 10. E. Instrumen Penelitian
Instrumen dalam penelitian ini menggunakan:aromaterapi peppermint dalam bentuk EO; lembar data demografi yang berisi data karakterisik responden seperti:nomor rekam medis, nama,usia, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, nomor telepon, diagnosis kanker, siklus kemoterapi saat ini, jenis obat kemoterapi, riwayat mual (meliputi: waktu mual, frekuensi mual, dan obat anti mual yang digunakan); dan lembar evaluasi pemberian aromaterapi peppermint yang berisi tanggal dan jam mual, skala mual sebelum pemberian aromaterapi peppermint dan skala mual setelah pemberian aromaterapi peppermint yang diukur menggunakan Numeric Rating Scale (NRS), dan check list prosedur pemberian aromaterapi peppermint dengan menggunakan skala Guttman dan pengkategorian nilai, yaitu ya = 2 dan tidak = <2.
F. Cara Pengumpulan Data 1. Tahap persiapan
a. Meminta ijin penelitian ke Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UMY.
b. Meminta ijin penelitian ke BAPPEDA Bantul.
c. Meminta ijin penelitian kepada pihak RSUD Panembahan Senopati Bantul.
(57)
42
d. Melakukan studi pendahuluan.
e. Melakukan uji etik penelitian ke Komisi Etika Penelitian Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UMY.
2. Tahap pelaksanaan
a. Proses pengambilan sampel sesuai dengan kriteria inklusi.
Dalam proses ini, peneliti setiap hari datang ke bangsal kemoterapi RSUD Panembahan Senopati Bantul. Kemudian peneliti mengecek jumlah pasien yang menjalani kemoterapi pada hari itu. Setelah itu, peneliti mendatangi pasien satu per satu, memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan, setamenanyakan berapa usia pasien, apakah pasien mengalami mual atau tidak, kapan mual mulai muncul (sebelum kemoterapi, 5 – 6 jam setelah kemoterapi, atau 48 – 72 jam setelah kemoterapi), dan ada riwayat alergi pernapasan atau tidak.Untuk pasien yang berusia 18 – 60 tahun, mengalami mual, dan tidak memiliki alergi pernapasan maka secara langsung dimasukkan sebagai responden penelitian. Pada proses ini, terdapat 2 responden yang mengalami eksklusi karena responden tidak memberikan nomor telepon dengan alasan tidak memiliki handphone dan tidak membawa handphone sehingga lupa nomor teleponnya.
b. Memberikan penjelasan tentang prosedur penelitian.
Dalam proses ini, peneliti menjelaskan kepada responden bahwa penelitian inidilakuakan ketika responden mulai merasakan mual. Pertama, responden diminta untuk mengukur skala mual yang
(58)
dirasakan dan untuk sementara waktu tidak minum obat anti mual jenis apapun terlebih dahulu. Kemudian responden mulai menggunakan minyak aromaterapi peppermint yang diteteskan ke bola kapas sebanyak 3 tetes lalu responden diminta menghirupnya selama 5 menit. Setelah 5 menit, responden diminta untuk melakukan pengukuran skala mual lagi. setelah itu, pasien dipersilahkan untuk minum obat anti mual jika mual yang dirasakan tidak berkurang. Responden juga diminta untuk mengisi lembar evaluasi pemberian aromaterapi peppermint. Selain itu, peneliti juga memberikan nomor telepon yang dapat dihubungi untuk digunakan oleh responden jika responden ingin mengajukan pertanyaan.
c. Informed consent
Pada proses ini, peneliti meminta pasien yang bersedia menjadi responden untuk menandatangani lembar pernyataan menjadi responden.
d. Pengumpulan data primer
Pada proses pengumpulan data primer, responden diminta untuk melengkapibeberapa data pada lembar data demografi. Karena sebagian besar responden meminta peniliti untuk mengisi sendiri, sehingga peneliti melakukan proses ini dengan wawancara.
e. Melakukan pre-test, intervensi, dan post-test
(59)
44
1) Responden yang mengalami mual di rumah sakit (anticipatory CINV), proses pre-test dilakukan secara langsung pada saat itu juga dengan bertanya kepada responden skala mual yang dirasakan saat itu kemudian peneliti langsung melakukan intervensi dengan memberikan bola kapas yang sudah diberi munyak aromaterapi untuk dihirup selama 5 menit, setelah itu peneliti melakukan post-test dengan menanyakan kembali skala mual yang dirasakan. 2) Responden yang mengalami mual di rumah (acute dan delayed
CINV), peneliti memberikan 1 paket instrumen penelitian yang berisi 1 botol minyak aromaterapi pepermint (isi 15 ml), 1 buah bola kapas, dan 1 lembar evalusi pemberian minyak aromaterapi peppermint untuk dibawa pulang. Peneliti kemudian menelepon responden 1 hari kemudian (bagi responden dengan acuteCINV) dan 3 hari kemudian (bagi responden dengan delayed CINV) untuk menanyakan apakah responden sudah mengalami mual atau belum, kapan mulai merasakan mual (tanggal dan jam), berapa skala mual yang dirasakan, sudah diberikan aromaterapi peppermint atau belum, setelah itu berapa skala mual yang dirasakan. Kemudian peneliti mencatat hasil evaluasi tersebut pada lembar data demografi sesuai nama masing-masing responden. Pada proses ini terdapat 2 responden yang mengalami drop out karena 1 responden meninggal dan 1 responden sudah tidak merasakan mual lagi. 3) Pengumpulan data dan pengecekan kelengkapan data
(1)
memiliki protokol standar kemoterapi masing-masing.3,22
B.Karakteristik Mual
Berdasarkan hasil analisis karakteristik mual pada responden
menunjukkan acute nausea (40%)
seimbang dengan delayed nausea
(40%) dan sisanya (20%) adalah anticipatory nausea. Sehingga hasil
tersebut menunjukkan bahwa
anticipatory nausea lebih sedikit atau jarang terjadi pada pasien CINV.
Penelitian sebelumnya
menjelaskan bahwa sekitar 1 dari 3
orang pasien akan mengalami
anticipatory nausea dan 1 dari 10
orang pasien akan mengalami
anticipatory vomiting.1 Selain itu, beberapa penelitian juga menjelaskan
bahwa 30% dari pasien yang
mengalami mual selama siklus penanganan kemoterapi awal dilaporkan telah mengalami
anticipatory nausea sedangkan fase acute emesis dan delayed emesis merupakan respon mual muntah terbanyak yang ditimbulkan oleh pemberian agen kemoterapi.15,23
C.Skala Mual
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan antara skala mual sebelum pemberian
aromaterapi peppermint dengan
setelah pemberian aromaterapi
peppermint dengan p value = 0,000. Sehingga ada pengaruh aromaterapi peppermint terhadap penurunan skala mual pada pasien kemoterapi di RSUD Panembahan Senopati Bantul.
Beberapa penelitian
sebelumnya telah menjelaskan
bahwa aromaterapi peppermint
efektif diberikan sebagai terapi dalam mencegah atau menurunkan efek samping kemoterapi seperti mual dan muntah.19,21 Berdasarkan
(2)
analisis menggunakan GC–MC (Gas Chromatography–Mass
Spectrometry), essential oil (EO) atau minyak atsiri Peppermint (M. x piperita) mengandung 5 komponen dari 14 komponen yang dievaluasi dapat berfungsi sebagai anti mual
muntah. Komponen tersebut
diantaranya yaitu Limonene (5,96%),
cis-Dihydrocarvone (19,19%),
Pulegone (13,30%), Carvone
(42,53%), β-Caryphyllene (6,78%).21
Sehingga aromaterapi peppermint
dapat menurunkan skala mual akibat kemoterapi.
Berdasarkan data primer dari
penelitian ini dan penelitian
sebelumnya yang sama-sama
dilakukan pada pasien kemoterapi di RSUD Panembahan Senopati Bantul menyatakan bahwa 100% responden telah mendapatkan obat anti emetik dari rumah sakit dengan jenis dan
dosis yang sama yaitu Ondansetron 16 mg, namun setelah minum obat
tersebut responden masih tetap
mengeluh mual.2 Ondansetron
merupakan obat selektif terhadap
reseptor antagonis
5-Hidroksi-Triptamin (5-HT3) di otak dan pada aferen vagal saluran cerna sehingga
selektif dan kompetitif untuk
mencegah mual dan muntah setelah operasi, radioterapi dan pengobatan lain seperti kemoterapi.18 Waktu paruh atau waktu kerja dari obat golongan antagonis serotonin seperti Ondansetron yaitu 3,9 jam.8 Oleh karena itu, pasien masih tetap merasakan mual walapun telah minum obat anti mual karena waktu kerja obat Ondansetron lebih lama dibandingkan dengan aromaterapi peppermint.
Penggunaan inhalasi
(3)
menit dapat berpengaruh terhadap penurunan skala mual pada pasien kemoterapi. Hal ini karena inhalasi aromaterapi peppermint berpengaruh secara langsung terhadap saraf-saraf di otak sehingga efeknya dapat dirasakan secara langsung oleh pasien setelah menghirupnya. Secara farmakologi, wewangian dari EO dapat mengirimkan efek secara langsung pada sistem saraf pusat dan
sistem endokrin tanpa sadar.9
Melalui inhalasi, molekul-molekul
volatile minyak esensial yang
melewati reseptor olfaktori di hidung mengenali karakteristik molekuler tersebut dan mengirimkan sinyal ke otak melalui saraf olfaktori. Selain itu, beberapa unsur pokok dari molekul tersebut masuk ke dalam aliran darah melalui paru-paru dan
berpengaruh secara langsung
terhadap saraf-saraf di otak setelah melewati barier darah di otak.12
Sedangkan Ondansetron
bekerja dengan memblok reseptor di gastrointestinal dan area postrema yang berikatan dengan serotonin di chemoreseptor triger zone (CTZ) menuju medulla oblongata sehingga
mencegah reflek mual dan muntah.18
Karena semua obat Ondansetron yang diberikan adalah per oral, maka obat ini membutuhkan waktu yang lebih lama untuk dapat dirasakan efeknya oleh pasien. Selain itu, tidak semua obat yang diminum oleh pasien akan bekerja secara maksimal. Hal ini dapat disebabkan karena proses absorbsi obat yang kurang
bagus di dalam tubuh yang
dipengaruhi oleh kelarutan obat, kemampuan obat berdifusi melalui membran sel, kadar yang diberikan, luas permukaan kontak obat, bentuk
(4)
sediaan obat dan rute pemberian obat sehingga kerja obat juga tidak akan maksimal.10
Penelitian sebelumnya
menjelaskan bahwa pengguaan
aromaterapi minyak esensial
peppermint memiliki potensial
keuntungan dalam mengurangi mual dan muntah pada pasien post operasi dan onkologi karena tidak hanya mengurangi insiden dan keparahan mual dan muntah, tetapi juga
mengurangi penggunaan obat
antiemetik dan sebagai akibat
peningkatan kepuasan pasien.12 Oleh karena itu, intervensi pemberian
aromaterapi peppermint dapat
dijadikan sebagai terapi
komplementer dan alternatif untuk
menangani masalah mual pada
pasien kemoterapi.
Kesimpulan
1. Karakteristik responden penelitian dari pasien kemoterapi di RSUD
Panembahan Senopati Bantul
menunjukkan bahwa rata-rata usia
responden 48,5 tahun yang
didominasi oleh perempuan
dengan kanker terbanyak yang diderita adalah ca mammae dan sebagian besar responden berada pada siklus kemoterapi ke 9 dan 10.
2. Karakteristik mual yang dialami oleh pasien kemoterapi di RSUD
Panembahan Senopati Bantul
menunjukkan bahwa jumlah
responden yang mengalami acute
nausea sama banyak dengan
responden yang mengalami
delayed nausea.
3. Skala mual sebelum pemberian
aromaterapi peppermint pada
(5)
Panembahan Senopati Bantul
menunjukkan bahwa rata-rata
berada pada skala 7,3.
4. Skala mual setelah pemberian
aromaterapi peppermint pada
pasien kemoterapi di RSUD
Panembahan Senopati Bantul
menunjukkan bahwa rata-rata
berada pada skala 3,7.
5. Terdapat pengaruh yang
signifikan terhadap penurunan skala mual antara sebelum dan setelah pemberian aromaterapi
peppermint pada pasien
kemoterapi di RSUD Panembahan Senopati Bantul.
Saran
Dari penelitian di atas,
disarankan untuk perlunya sebuah penelitian lanjutan bagi peneliti selanjutnya dengan menggunakan metode penelitian yang lain dan menggunakan jumlah sampel yang
lebih besar. Selain itu, perlu
dilakukan juga penelitian lanjutan
tentang efektivitas waktu
aromaterapi pada pasien CINV. Daftar Pustaka
1. American Cancer Society. (2013). Nausea and Vomiting. Amerika.
2. Angkara, S.B. (2016). Penanganan Delayed Nausea Akibat Kemoterapi Oleh Pasien dan Keluarga di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta. Skripsi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta.
3. Apriany, D. (2010). Pengaruh terapi musik terhadap mual muntah lambat akibat kemoterapi pada anak usia sekolah yang menderita kanker di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Thesis, Universitas Indonesia, Depok.
4. Bourdeanue, L., Frankel, P., Yu, W., Hendrix, G., Pal, S., Badr, L., dkk. (2012). Chemotherapy-Induced Nausea and Vomiting in Asian Women With Breast Cancer Receiving Anthracycline-Based Adjuvant Chemotherapy. The journal of supportive oncology,10(4), 149-154.
5. Chan, A., Kim, H., Hsieh R.K., Yu, S., Lopes, G.L., Su,W. dkk. (2015). Incidence and predictors of anticipatory nausea and vomiting in Asia Pacific clinical practice—a longitudinal analysis. Supportive Care in Cancer, 23(1), 283-291. 6. Desen, W. (2008). Buku Ajar Onkologi Klinis (ed.
2) (W. Japris, penerjemah). Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). 7. Firmansyah, MA, (2010), Penatalaksanaan Mual Muntah Yang Diinduksi Kemoterapi. Cermin Dunia
Kedokteran Vol. 37. Jakarta, Kalbe
Farma.Fitzpatrick, J. J. & Kazen M. (2011). Encyclopedia of Nursing Research (3rd ed.). New
York: Springer publishing company.
8. Goodman & Gilman. (2011). Dasar Farmakologi Terapi (ed. 10). Jakarta: EGC.
9. Herz RS. Aromatherapy facts and fictions: A scientific analysis of olfactory effects on mood, physiology and behavior.Int J Neurosci 2009;119:263–290
10. Kuntarti. 2011. Pengantar Farmakologi (Online). diakses pada 3 Desember 2015, http://www.staff.ui.ac.id/system/files/users/kuntarti /material/pengantarfarmakologi.pdf.
11. Lua, P. L., Salihah, N., & Mazlan, N. (2015). Effects of inhaled ginger aromatherapy on chemotherapy-induced nausea and vomiting and health-related quality of life in women with breast cancer. Complementary Therapies in Medicine. 12. Lua, P.L & Zakaria, N. S. (2012). A brief review of
current scientific evidence involving aromatherapy use for nausea and vomiting. The Journal of Alternative and Complementary Medicine,18(6), 534-540.
13. McKenna, D.J., Jones, K., Hughes, K., Humphrey, S. (2011). Botanical Medicines: The Desk
(6)
Reference for Major Herbal Suplements (2nd ed.).
New York: Routledge.
14. Molassiotis, A., dkk. (2014). Evaluation of risk factors predicting chemotherapy-related nausea and vomiting: results from a European prospective observational study. Journal of pain and symptom management, 47(5), 839-848.
15. Mustian, K.M., Devine, K., Ryan, J.L., Janelsins, M.C., Sprod, L.K., Peppon, L.J., dkk. (2011). Treatment of nausea and vomiting during chemotherapy. US oncology & hematology, 7(2), 91-97.
16. Otto, S.E. (2005). Buku Saku Keperawatan Onkologi. Jakarta: EGC.
17. Perwitasari, D. A., Atthobari, J., Mustofa, M., Dwiprahasto, I., Hakimi, M., Gelderblom, H., dkk. (2012). Impact of chemotherapy-induced nausea and vomiting on quality of life in indonesian patients with gynecologic cancer. International Journal of Gynecological Cancer, 22(1), 139-145. 18. Putri, K.N.D. (2010). Perbandingan Efektifitas
Ondansentron dan Metoklopramid dalam Menekan Mual Muntah Paska Laparatomi. Skripsi Strata Satu di Program Studi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Surakarta. 19. Santosh, D., Joseph, S., Jose, A., Satheendran, S.,
Ratnakar, U. P., Rao, S. P., & Ojeh, N. (2011). Anxiolytic and Antiemetic effects of Aromatherapy in cancer Patients on Anticancer Chemotherapy.
Pharmacologyonline, 3, 736-744.
20. Sekine, I., Segawa, Y., Kubota, K., & Saeki, T. (2013). Risk factors of chemotherapy‐induced nausea and vomiting: Index for personalized antiemetic prophylaxis. Cancer science, 104(6), 711-717.
21. Tayarani-Najaran, Z., Talasaz-Firoozi, E., Nasiri, R., Jalali, N., & Hassanzadeh, M. K. (2013). Antiemetic activity of volatile oil from Mentha spicata and Mentha × piperita in chemotherapy-induced nausea and vomiting.
ecancermedicalscience,7.
22. Utami, S. (2012). Aku Sembuh dari Kanker Payudara, Mendeteksi Gejala Dini, Pencegahan dan Pengobatan. Jakarta: Oryza.
23. Utaminingrum, W., Hakim, L., & Raharjo, B. (2013). Evaluasi Kepatuhan Dan Respon Mual Muntah Penggunaan Antiemetik Pada Pasien Kanker Payudara Yang Menjalani Kemoterapi Di Rsud Prof. Dr. Margono Soekarjo. Pharmacy, Jurnal Farmasi Indonesia, 10(02).
24. WHO. 2013. Latest World Cancer Statistics. International Agency for Research on Cancer (IARC).
25. WHO. (2015). Cancer. Diakses 17 November 2015, dari
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs297/e n/