Efektivitas Kinerja International Committee Of The Red Cross (ICRC) Dalam Penegakan Hukum Humaniter Internasional Pada Konflik Bersenjata Israel - Hezbollah Tahun 2006

(1)

(2)

HEZBOLLAH TAHUN 2006

The Effectiveness of International Committee of the Red Cross (ICRC) in Strenghtening International Humanitarian Law Towards Israel – Hezbollah Armed Conflict on 2006

S K R I P S I

Diajukan untuk menempuh Sidang Sarjana Strata-1 (S-1) pada

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia

Oleh,

WENALDY ANDARISMA NIM. 44308002

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

2012


(3)

(4)

v

EFEKTIVITAS KINERJA INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS (ICRC) DALAM PENEGAKAN HUKUM HUMANITER

INTERNASIONAL PADA KONFLIK BERSENJATA ISRAEL – HEZBOLLAH TAHUN 2006

oleh :

WENALDY ANDARISMA NIM : 44308002

Skripsi ini dibawah bimbingan : H. Budi Mulyana, S.IP,.M.Si

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana efektivitas kinerja International Committee of the Red Cross (ICRC) dalam penegakan Hukum Humaniter Internasional pada konflik bersenjata Israel – Hezbollah pada tahun 2006. Sehingga peneliti mencoba untuk menganalisis dengan pendekatan-pendekatan Hukum Internasional, Hukum Humaniter Internasional, Konflik, Organisasi Internasional dan Teori Efektivitas Organisasi terkait kinerja ICRC dalam menjalankan tugas-tugasnya semasa konflik Israel - Hezbollah.

Tipe penelitian adalah kualitatif, Metode penelitian yang digunakan adalah teknik analisa deskriptif. Sebagian besar data dikumpulkan melalui studi pustaka, penelusuran website, dan wawancara. Data-data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan pendekatan teori yang berhubungan dengan Organisasi Internasional, Hukum Humaniter Internasional (HHI) serta Efektivitas Organisasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ICRC menjalankan program-programnya berupa Protection, Assistance dan Prevention semasa konflik meletus dalam tujuannya melakukan intervensi kemanusiaan serta menjaga dan mempromosikan prinsip HHI di kedua wilayah konflik.

Kesimpulan penelitian menunjukkan, bahwa ICRC berhasil dan efektif menjalankan program-programnya yang ditandai dengan terjaminnya perlindungan HAM penduduk sipil dan tahanan perang, manfaat bantuan logistik dan medis bagi sipil serta diseminasi penghormatan nilai HHI yang dijangkau seluruh lapisan masyarakat sipil dan militer. Acceptance dan Access adalah faktor penting bagi ICRC dalam menjalankan programnya. Tanggung jawab dalam menjaga prinsip HHI tidak hanya merupakan kewajiban ICRC semata, namun juga subjek Hukum Internasional lainnya seperti negara dan pihak yang berkonflik.

Kata Kunci : Organisasi Internasional, ICRC, Hukum Internasional, Hukum Humaniter Internasional, Konflik Bersenjata


(5)

vi

ABSTRACT

THE EFFECTIVENESS OF INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS (ICRC) IN STRENGHTENING INTERNATIONAL HUMANITARIAN LAW

TOWARDS ISRAEL – HEZBOLLAH ARMED CONFLICT ON 2006 by

WENALDY ANDARISMA NIM : 44308002

This research is under guidance of: H. Budi Mulyana, S.IP,.M.Si

The purpose of this research is to acknowledge how effective International Committee of the Red Cross (ICRC) is in order to strenghtening International Humanitarian Law towards that have been violated by Israel and Hezbollah in armed conflict on 2006. Thus, researcher tries to analyze the performance of ICRC in carrying out their duties on conflict by using International Law, International Humanitarian Law,Conflict, International Organization and Organization Effectivity approach.

Research type is a qualitative; the method is descriptive analyzing technique. Data were collected through library research, website research, and interview. Those data were analyzed by theory approach based on International Organization and Organization Effectivity.

The Result of this research showed ICRC implemented their programs through Protection, Assistance and Prevention by the time of conflict enraged in purpose of humanitarian intervention and as well as to safeguard and promote the principles of International Humanitarian Law (IHL).

Conclusion of this research shows ICRC managed and effectively run their programs, marked with the guarantee of human rights protection of civilians and prisoners of war, the benefits of logistic and medical assistance for civil, as well as dissemination for the respect of principles of IHL that reaches all segments of civil society and military. Acceptance and Access are important factors for ICRC in carrying out their duties. Responsibility in maintaing the principles of IHL is not solely carried by ICRC, but also the other International Law subjects such as State and party of conflict.

Keywords: International Organization, ICRC, International Law, International Humanitarian Law, Armed Conflict


(6)

vii

Subhanawata’ala atas izin dan ridho-Nya peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini, serta shalawat dan salam dihaturkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad S.A.W. Peneliti menyadari dalam penyusunan skripsi ini, banyak menemukan kesulitan dan hambatan yang disebabkan keterbatasan dan kemamupuan peneliti dan disertai keinginan kuat dan usaha yang sungguh serta do’a, maka akhirnya penelitian ini dapat diselesaikan sebagaimana yang diharapkan.

Untuk kedua orang tua yang aku sayangi dan hormati, Bapak Ir.H.Wisnu Haris, MM dan mamah Hj. Normala terima kasih atas segala do’a, dukungan, nasihat dan kasihnya yang luar biasa, serta dukungan moral dan materiil. Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari pihak-pihak yang telah membantu baik itu penelitian maupun dalam penyusunan skripsi, peneliti tidak mungkin menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti menghaturkan rasa terima kasih yang mendalam dan sebesar-besarnya kepada:

1. Yth. Bapak Prof. Dr. Samugyo Ibnu Redjo Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia bandung, yang telah mengeluarkan surat pengantar untuk penelitian skripsi dan menandatangani surat pengesahan.

2. Yth. Bapak H. Budi Mulyana, S.IP., M.Si yang telah menjadi dosen pembimbing peneliti dengan memberikan pengarahan penyusunan skripsi secara cermat dan teliti. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada bapak atas kesabarannya dalam menghadapi dan membimbing saya, baik dalam masa proses pembuatan usulan penelitian hingga detik-detik akhir skripsi untuk disidangkan.


(7)

UNIKOM yang telah membantu peneliti dalam proses revisi skripsi serta berjalannya usulan penelitian hingga sidang akhir penelitian. Terima kasih atas bimbingannya selama ini serta dedikasi dan pengertiannya dalam

4. Yth. Seluruh Bapak/ Ibu Dosen Ilmu Hubungan Internasional UNIKOM yang telah membantu peneliti dalam memberikan arahan pada masa revisi bimbingan skripsi dan masukan khususnya kepada Ibu Yesi Marince, S.IP., M.Si, terima kasih atas petunjuknya yang mendetail mengenai penyusunan konten skripsi dan Ibu Dewi Triwahyuni, S.IP., M.Si atas proses revisi yang simple namun berbobot. Tak lupa ucapan terima kasih kepada Ibu Sylvia Octa Putri, S.IP.

5. Yth. teteh Dwi Endah Susanti, S.E Sekretariat Jurusan Prodi Hubungan Internasional UNIKOM yang tanpa lelah membantu peneliti dalam membantu peneliti dalam administrasi selama berkuliah di UNIKOM dan selama proses skripsi. 6. Yth. Jajaran Delegasi International Committee of the Red Cross untuk Indonesia

dan Timor Leste yang telah memberikan kesempatan peneliti untuk melakukan kunjungan penelitian.

7. Yth. Mr. Frederic Fournier Kepala Delegasi International Committee of the Red Cross untuk Indonesia dan Timor Leste yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di ICRC.

8. Yth. Ibu Rina Rusman SH, MH Legal Advisor untuk Delegasi International Committee of the Red Cross untuk Indonesia dan Timor Leste yang telah mengedarkan surat penelitian dan juga sebagai narasumber peneliti.


(8)

of the Red Cross untuk Indonesia dan Timor Leste yang telah menjadi narasumber dan menyediakan ruang kerjanya sebagai tempat peneliti melakukan pengumpulan data pustaka.

10.Yth. International Committee of the Red Cross Geneva Headquarters atas penyediaan publikasi dan Annual Report kepada peneliti.

11.Yth. Ibu Arlina Permanasari SH, MH Akademisi Hukum Humaniter Internasional Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta atas kesempatannya berdiskusi mengenai konten penelitian.

12.Kawan-kawan dari Forum Komunikasi Mahasiswa Hubungan Internasional se-Indonesia dan Bandung Circle Community khususnya kawan-kawan dari prodi HI Universitas Jenderal Ahmad Yani, Universitas Katholik Parahyangan, Universitas Padjajajran dan Universitas Pasundan terima kasih atas pertemanan yang harmonis dan hangat.

13.Terima kasih untuk Adi Mulia Pradana dari Universitas Gadjah Mada atas bantuan referensinya serta obrolan diskusi akademis yang nyeleneh  dan juga sahabat sesama Korwil FKMHII; Fajril Universitas Riau, Lusia Universitas Pelita Harapan, Effendi Wahid Hasyim, Aning Universitas Mulawarman dan Diah Universitas Muhammadiyah Malang.

14.Sahabat peneliti, Alfian Al’Ayubbi Pelu, Chrisnanta Amijaya, Ira Karmina, Rizki Rakhmawati, Panji Permata Rasmi dan Fahmi Frizana Sinaga untuk dukungan, kekompakan, kebersamaan dan persahabatan yang luar biasa.


(9)

Akbarizal, Nuel Hutahaean, Reza Fauzan segera menyusul dan tetap semangat. Serta seluruh mahasiswa Hubungan Internasional Angk. 2007-2011 terima kasih atas pertemanan dan dukungannya.

16.Keluarga Besar yang ada di Berau, Kalimantan Timur terima kasih atas dukungannya.

17.Semua pihak yang telah membantu sebelum dan selama pelaksanaan penelitian skripsi yang tak dapat peneliti sebutkan satu per satu.

Peneliti menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih diperlukan penyempurnaan dari berbagai sudut, baik dari segi isi maupun pemakaian kalimat dan kata-kata yang tepat, oleh karena itu, peneliti mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan penyusunan skripsi ini. Peneliti berharap kepada siapa saja (terutama mahasiswa Hubungan Internasional) yang ingin melanjutkan/ melakukan penelitian dengan subjek/objek yang serupa agar mampu membuat penelitian yang lebih baik dari apa yang peneliti telah susun.

Terima kasih atas saran dan kritik dari pembaca. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Bandung, September 2012


(10)

xi

LEMBAR PENGESAHAN……….. ii

SURAT PERNYATAAN……….. iii

LEMBAR PERSEMBAHAN………... iv

ABSTRAK………. v

ABSTRACT………... vi

KATA PENGANTAR………... vii

DAFTAR ISI ………. xi

DAFTAR TABEL………. xv

DAFTAR BAGAN……… xvi

DAFTAR LAMPIRAN………. xvii

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah……… 1

1.2Rumusan Masalah………. 13

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian……….. 14

1.4Kegunaan Penelitian……….. 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Konsep Efektivitas dan Kinerja sebuah Organisasi………. 17

2.1.2 Tinjauan Humanitarian Organization dalam Suatu Konflik…………... 24

2.1.3 Tinjauan terhadap International Committee of the Red Cross………... 26

2.1.4 Hukum Humaniter Internasional (International Humanitarian Law)…. 30 2.2 Kerangka Pemikiran 2.2.1 Kerangka Teoritis………. 32

2.2.1.1 Teori Organisasi Internasional………. 32

2.2.1.2 Teori Hukum Internasional……….. 37

2.2.1.3 Teori Hukum Humaniter Internasional……….... 39

2.2.1.4 Teori Konflik………... 43


(11)

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian

3.1.1 Tinjauan International Committee of the Red Cross (ICRC)…………. 50

3.1.1.1 Sejarah Organisasi ICRC……… 50

3.1.1.2 Tujuan Organisasi……….. 57

3.1.1.3 Prinsip-prinsip Dasar ICRC……….. 69

3.1.1.4 Struktur Organisasi ICRC ………. 64

3.1.1.5 Funding (Pendanaan)………. 68

3.1.1.6 Kegiatan yang Dilakukan ICRC……… 69

3.1.1.7 Operational Framework ICRC……….. 70

3.1.2 Hukum Humaniter Internasional (International Humanitarian Law)... 85

3.1.2.1 Pengertian Hukum Humaniter Internasional………. 85

3.1.2.2 Perkembangan dan Sejarah HHI………... 86

3.1.2.3 Pembentukan Konvensi-konvensi Hukum Humaniter Internasional……….. 89

3.1.2.4 Perkembangan HHI berkaitan dengan Perlindungan Korban dan Pembatasan Alat Serta Metode Perang………... 92

3.1.2.5 Sumber-sumber HHI………. 93

3.1.2.6 Prinsip-prinsip HHI………... 98

3.1.3 Konflik Bersenjata Israel – Hezbollah Tahun 2006……….. 99

3.1.3.1 Sejarah Konflik……….. 99

3.1.3.2 Latar Belakang Konflik………. 106

3.1.3.3 Peristiwa Konflik………... 107

3.1.3.4 Pasca Konflik………. 112

3.2 Metode Penelitian 3.2.1 Desain Penelitian………... 114

3.2.1.1 Subjek Penelitian………... 115

3.2.1.2 Informan Penelitian………... 116

3.2.2 Teknik Pengumpulan Data……… 117


(12)

3.2.5 Waktu dan Lokasi Penelitian

3.2.5.1 Tempat Penelitian……….. 119

3.2.5.2 Waktu Penelitian……… 120

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Program-program yang Dijalankan oleh ICRC Pada Saat Konflik (12 Juli – 14 Agustus 2006)……….. 121

4.1.1 Lebanon 4.1.1.1 Protection 4.1.1.1.1 Respect for Persons Deprived of Their Freedom…… 123

4.1.1.1.2Respect for Civilians……… 125

4.1.1.1.3 Restoring Family Links……….. 127

4.1.1.1.4 Missing Persons ………. 128

4.1.1.2 Assistance 4.1.1.2.1 Economic Security……….. 128

4.1.1.2.2 Water and Habitat………... 129

4.1.1.2.3 Health Services………... 129

4.1.1.2.3 Physical Rehabilitation ………. 130

4.1.1.3 Prevention 4.1.1.3.1 Implementation of IHL, Development of IHL and Communication………. 131

4.1.1.3.2 Mine Action and Other Weapon Issue………... 133

4.1.2 Israel 4.1.2.1 Protection 4.1.2.1.1 Respect for Persons Deprived of Their Freedom…… 134

4.1.2.1.2 Respect for Civilians………... 135

4.1.2.1.3 Restoring Family Links and Missing Persons………. 135

4.1.2.2 Assistance 4.1.2.2.1 Economic Security, Water and habitat……… 136

4.1.2.2.2 Health Services and Physical Rehabilitation……….. 137 4.1.2.3 Prevention


(13)

and Communication……….. 138

4.1.2.3.2 Mine Action and Other Weapon Issue……… 139

4.2 Kendala yang Dihadapi ICRC dalam menjalankan Programnya ………. 141

4.3 Upaya yang Dilakukan ICRC dalam Mengatasi Kendala yang Dihadapi……… 144

4.4 Hasil-hasil yang Telah Dicapai ICRC dalam Menjalankan Programnya ………. 146

4.5 Analisis Efektivitas Kinerja International Committee of the Red Cross (ICRC) dalam Penegakan Hukum Humaniter Internasional pada Konflik Bersenjata Israel – Hezbollah Tahun 2006………...………. 149

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan………. 158

5.2 Saran………... 161

DAFTAR PUSTAKA………... 164

LAMPIRAN……….. 169


(14)

xv


(15)

xvi

Bagan 2.1 Pendekatan Gabungan Pengukuran Efektivitas 24

Bagan 2.2 Kerangka Konseptual 49


(16)

xvii


(17)

1 1.1Latar Belakang Masalah

Dalam sejarah kehidupan manusia, peristiwa yang banyak dicatat adalah perang dan damai. Peristiwa-peristiwa besar yang menjadi tema-tema utama dalam literatur-literatur politik dan juga hubungan internasional berkisar antara macam interaksi tersebut. Ungkapan bahwa peace to be merely a respite between wars atau bahkan dari yang klasik seperti sivis pacem para bellum menunjukkan, situasi perang dan damai terus silih berganti dalam interaksi manusia. Secara definitif, perang adalah suatu kondisi tertinggi dari bentuk konflik antarmanusia. Dalam studi hubungan internasional, perang secara tradisional adalah penggunaan kekerasan yang terorganisasi oleh unit-unit politik dalam sistem internasional. Perang akan terjadi apabila negara-negara dalam situasi konflik dan saling bertentangan merasa bahwa tujuan-tujuan ekslusif mereka tidak bisa tercapai, kecuali dengan cara kekerasan. Dalam arti yang luas, perang menyangkut konsep-konsep seperti krisis, ancaman, penggunaan kekerasan, aksi gerilya, penaklukan, pendudukan, bahkan teror. Peneliti mengangkat dan meneliti sebuah konflik klasik yang sarat dengan latar belakang etnis, agama dan kepentingan negara. Konflik yang tak hanya melibatkan pihak yang bertikai, tetapi negara luar yang oportunis (Ambarwati, 2009 : 1).


(18)

Wilayah Timur Tengah telah lama menjadi sebuah pusaran pertentangan antar manusia yang dimanifestasikan ke dalam bentuk konflik internal, konflik antar negara dalam kawasan hingga melibatkan pihak (baca: negara) luar yang ingin memanfaatkan situasi krisis untuk mencapai kepentingan mereka. Berbagai bentuk konflik yang berlangsung di wilayah Timur Tengah menjadikannya serangkaian konflik yang hingga saat sekarang belum ditemukan penyelesaian masalahnya. Salah satu pecahan konflik yang terjadi dalam tubuh Timur Tengah yang fragile adalah Konflik Arab – Israel. Mendengar sebuah pertentangan klasik antara bangsa Arab dengan bangsa Israel, maka yang terlintas di dalam benak adalah Konflik Palestina – Israel. Sebenarnya konflik yang terjadi tidak hanya berkaitan dengan Palestina saja, tetapi juga melibatkan negara-negara Arab lainnya.

Salah satu konflik yang melibatkan negara Arab di luar Palestina adalah Konflik Israel dengan Lebanon. Penyebab konflik tersebut mempunyai alasan yang relatif sama dengan negara – negara Arab lainnya. Aksi pendirian sebuah negara Zionis yang “mencaplok” wilayah Palestina pada tahun 1948, membuat negara-negara tetangga yang berada disekitar Israel berang. Ditambah dengan opresi Israel yang kejam dan semena-mena terhadap penduduk Palestina, maka tidak heran negara – negara seperti Mesir, Syria dan Yordania mengumumkan perang atas Israel. Peperangan seperti Six Days Wars dan Yom Kippur Wars

adalah katalisasi dari sebuah pernyataan penolakan atas berdirinya negara Israel menjadi benih permusuhan negara – negara Arab dengan Israel secara konkrit. Lebanon sendiri telah terlibat perseteruan yang berujung dengan konflik


(19)

bersenjata dengan pihak Israel sejak terjadinya Perang Lebanon tahun 1982. Kemudian konflik kembali terulang yang kali ini Israel berhadapan dengan para – militer Hezbollah (representasi Lebanon) pada tahun 2006 yang dikenal dengan Perang Israel – Hezbollah tahun 2006.

Pasca meletusnya Perang Lebanon pertama, Israel masih menempatkan pasukannya di daerah Lebanon Selatan hingga akhirnya menarik diri tahun 2000. Pada saat yang bersamaan South Lebanese Army yang gencar memerangi faksi sayap kiri Lebanon kehilangan bantuan yang signifikan dan akhirnya runtuh. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh faksi Hezbollah untuk semakin memperkuat diri dalam eksistensinya sebagai kelompok yang berpengaruh di Lebanon. Clash

antara Hezbollah dan pasukan Israel masih saja terjadi, walau dalam skala kecil di sepanjang tahun 2000-an. Hingga pada pertengahan tahun 2006, pertempuran berdarah akhirnya terjadi kembali, yang dikenal dengan Perang Israel – Hezbollah tahun 2006.

Pada tanggal 12 Juli 2006 pasukan Israel melancarkan serangan terhadap kelompok Hezbollah di perbatasan Israel – Lebanon. Pertempuran pecah sebagai respon atas Hezbollah yang telah mengklaim menahan dua orang tentara Israel, yaitu Kopral Eldad Regev dan Ehud Goldwasser di desa Zahit Ztula sebuah desa kecil di dekat perbatasan Lebanon - Israel. Israel meminta Hezbollah bertanggungjawab atas keselamatan kedua tentaranya. Pada sisi lain Hezbollah mengatakan bahwa penangkapan itu untuk mengusahakan pembebasan para tahanan yang ada di berbagai penjara Israel (Yulianto, 2010 :191). Sejak itu perang 34 hari dimulai yang mengakibatkan kehancuran di pihak Libanon


(20)

terutama di Libanon Selatan yang merupakan daerah basis Hezbollah sedangkan di ibukota Lebanon, Beirut, juga mengalami kehancuran yang parah. Sedangkan dari pihak Israel kota – kota yang berada di perbatasan Israel – Lebanon turut mengalami kehancuran.

Dampak yang ditimbulkan oleh peperangan yang berkecamuk diantaranya adalah:

a) Banyaknya penduduk sipil yang tidak ikut serta berperang ( non-combatant) ikut menjadi korban. Dalam menyatakan korban sipil akibat peperangan selama 34 hari tersebut, Menteri Kesehatan Lebanon memberikan angka secara resmi sesuai dengan surat kematian, laporan dari pemerintah Lebanon, keluarga, dan saksi mata, yakni 1.123 tewas. Jumlah itu terdiri dari 37 orang militer dan polisi Lebanon, 894 orang sipil dengan identifikasi yang jelas, dan 192 tanpa identitas. Sedangkan korban terluka 4.409 orang. Sebagian dari mereka, 15 persen mengalami cacat permanen. Jumlah tersebut belum termasuk korban akibat ranjau darat dan cluster bomb, yang membunuh 29 warga sipil Lebanon dan mencederai lebih dari 219 orang, termasuk 90 anak – anak. Dalam keterangan resminya, Israel mengatakan bahwa warga sipil Israel yang tewas akibat serangan roket Hezbollah berjumlah 43 orang. Sedangkan jumlah warga sipil yang terluka adalah 4.262 orang, dengan kriteria 33 orang luka serius, 68 luka sedang, dan 1.388 luka ringan. Sedangkan sisanya, 2.773 orang adalah mereka yang mengalami syok dan kegelisahan sehingga memerlukan perawatan dan terapi (Yulianto, 2010:265).


(21)

b) Penggunaan persenjataan yang ditujukan kepada pasukan militer menimbulkan penderitaan yang tidak perlu, bahkan turut menimbulkan korban jiwa di pihak penduduk sipil (penggunaan bom fosfor putih dan bom curah oleh Israel dan serbuan roket Katyusha yang membabi-buta oleh Hezbollah). Menteri kabinet Israel Jacob Edery mengukuhkan bahwa beberapa bom dijatuhkan "di sasaran-sasaran militer di medan terbuka". Israel sebelumnya mengatakan bom fosfor hanya digunakan untuk menandai sasaran. Bom fosfor menyebabkan luka bakar akibat zat kimia. Palang Merah dan kelompok-kelompok hak asasi manusia mengatakan bom ini seharusnya digolongkan sebagai senjata kimia. Konvensi Jenewa melarang pemakaian fosfor putih sebagai senjata terhadap penduduk sipil dan dalam serangan udara melawan pasukan militer lawan di dearah-daerah sipil. Singkat kata bom fosfor masuk kategori senjata kimia yang jelas-jelas dilarang penggunannya oleh hukum internasional di bawah Konvensi Senjata Kimia (http://www.voaindonesia.com/content/a-32-2006-10-23-voa3-85256622/40627.html Diakses pada tanggal 20 April 2012). Pasukan Pertahanan Israel/ Israeli Defense Force (IDF) mengakui bahwa mereka telah menembakkan roket-roket yang membawa bom curah (cluster bomb) ke kawasan berpenduduk di Libanon. Sebuah roket jenis ini akan menyiram suatu kawasan dengan ratusan bom kecil (bomblet). Banyak dari bom ini jatuh ke tanah tapi tak meledak, yang menjadikannya bahaya laten bagi penduduk setempat. Israel mengakui pemakaian bom jenis itu tapi pemakaian bom curah di kawasan berpenduduk hanya


(22)

dilakukan ke sasaran militer yang diketahui sebagai tempat menembakkan roket ke arah Israel dan sesudah memperingatkan penduduk sipil setempat. Sebelumnya, tentara Israel mengklaim bahwa pemakaian bom curah dilakukan sesuai dengan hukum internasional. Angkatan Udara Israel bahkan tak memakai bom ini sama sekali. Namun, bahaya sebenarnya akan nampak ketika Sejak perang berakhir dengan gencatan senjata pada 14 Agustus, menurut perhitungan AFP, 23 orang, termasuk anak-anak, tewas dan 136 orang cedera setelah terinjak atau menyentuh bom ini. Tim penjinak bom Perserikatan Bangsa-Bangsa menemukan 185 bom curah dalam beberapa hari seusai perang. Yediot Aharonot, harian Yahudi di Israel, mencatat di awal perang, 1.200 bom curah Israel telah ditembakkan ke Libanon, yang setiap bom mengandung ratusan bom kecil. Sekitar 1.200 bom lagi ditembakkan menjelang perang selesai. Lembaga penyapu ranjau darat yang membantu membersihkan bom itu juga baru mengangkat 45 ribu bom, sedangkan sejuta bom diperkirakan masih tersebar di kawasan bekas perang berkecamuk.

Amnesty International, lembaga hak-hak asasi manusia yang berbasis di London, menilai bom curah yang tertinggal itu menjadi warisan mematikan bagi warga sipil. Di pihak Hezbollah, mereka meluncurkan rudal/ roket Katyusha tanpa pemandu sasaran secara membabi-buta. Dan serangan itu kebanyakan mengenai warga sipil Israel. Hezbollah secara tidak langsung telah membunuh warga sipil Israel


(23)

(http://www.tempo.co/read/news/2006/11/23/05988246/Militer-Israel-Mengaku-Pakai-Bom-Curah Diakses pada tanggal 20 April 2012).

c) Properti penduduk sipil yang bersifat vital banyak yang musnah dikarenakan oleh serangan pasukan militer seperti: tempat tinggal, jalan raya, bandara sipil (terutama dari pihak Lebanon), rumah sakit, sekolah, tempat ibadah dan sebagainya. Tindakan ini melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan mengabaikan aturan Hukum Humaniter Internasional (HHI) seperti yang terdapat dalam Protokol Tambahan Konvensi Jenewa tahun 1977 Pasal 48. Protokol I yang berbunyi “pihak-pihak yang terlibat dalam konflik setiap saat harus dapat membedakan antara penduduk sipil dan kombatan, antara objek sipil dan objek militer dan karena itu pula pihak-pihak yang terlibat dalam konflik harus mengarahkan operasinya semata-mata hanya untuk menyerang objek-objek militer” (Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2003:61).

d) Musnahnya akses jalan menyebabkan sulitnya mengirim pasokan logistik bagi pengungsi.

e) Banyak korban pengungsi yang kehilangan/ terpisah dari sanak keluarganya.


(24)

Perang Israel – Hezbollah Tahun 2006 memang berjalan hanya kurang lebih dari 1 bulan, tetapi kerusakan yang ditimbulkan begitu besar. Korban jiwa dan hancurnya fasilitas sipil di kedua belah pihak menunjukkan bahwa inisiasi penyerangan tidak memikirkan nasib rakyat sipil yang tidak ikut berperang dan rentan terhadap serangan yang mematikan. Penderitaan rakyat sipil oleh akibat peperangan yang seharusnya bukan bagian dari mereka secara eksplisit dapat dihubungkan sebagai suatu aksi pelanggaran HAM.

Dampak diatas tidak lain dikarenakan kedua kubu tidak menaati aturan – aturan Hukum Humaniter Internasional yang berlaku pada saat terjadinya konflik bersenjata. Terjadinya pelanggaran HAM disertai pelanggaran terhadap aturan yang terdapat dalam Hukum Humaniter Internasional, telah menjadi isu sentral dunia dewasa ini, seharusnya menjadi tolak ukur bagi negara dalam berinteraksi dengan negara lain. Juga secara jelas mereka (pihak yang bertikai) termasuk dalam kategori subjek Hukum Humaniter Internasional yang harus mentaati aturan yang ada. Hukum Humaniter Internasional (HHI), sebagai salah satu bagian hukum internasional, merupakan salah satu alat dan cara yang dapat digunakan oleh setiap negara, termasuk oleh negara damai atau negara netral, untuk ikut serta mengurangi penderitaan yang dialami oleh masyarakat akibat perang yang terjadi di berbagai negara. Dalam hal ini, HHI merupaka suatu instrumen yang digunakan semua aktor internasional untuk mengatasi isu internasional berkaitan dengan kerugian dan korban perang. Mengurangi penderitaan korban perang tidak cukup dengan membagikan makanan dan obat-obatan, tetapi perlu disertai dengan upaya mengingatkan para pihak yang


(25)

berperang agar operasi tempur mereka dilaksanakan dengan batas-batas perikemanusiaan. Hal tersebut dapat terlaksana apabila pihak-pihak yang terkait menghormati dan mempraktikkan HHI, karena HHI memuat aturan tentang perlindungan konflik-konflik serta tentang pembatasan alat dan cara perang.

Kehadiran sebuah organisasi humanitarian yang netral dalam sebuah konflik bersenjata diperlukan agar Hukum Humaniter Internasional senantiasa dihormati dan asas kemanusiaan dapat dijunjung tinggi. International Committee of the Red Cross (ICRC) berdasarkan aturan konvensi Jenewa tahun 1949 ditunjuk secara langsung sebagai organisasai pengawal dan pelindung HHI. ICRC secara umum diakui sebagai organisasi internasional yang memiliki kedudukan sebagai subjek hukum internasional walaupun dengan ruang lingkup yang terbatas. Sebagai promotor dan pemelihara HHI, harus mendorong penghormatan terhadap hukum humaniter internasional tersebut. ICRC melakukan hal itu dengan menyebarluaskan pengetahuan mengenai ketentuan-ketentuan HHI, karena ketidaktahuan terhadap HHI merupakan hambatan bagi implementasi hukum humaniter itu sendiri.

Dalam perkembangan setelah ICRC didirikan, kenyataan menunjukkan bahwa keberadaan ICRC sebagai salah satu lembaga netral yang bergerak dibidang humaniter semakin dibutuhkan oleh masyarakat internasional. ICRC memiliki peran yang besar dalam upaya memberikan bantuan dan pertolongan bagi korban – korban pertikian bersenjata, baik yang terjadi di dalam wilayah suatu negara maupun dalam konflik antar negara. Hal ini terlihat dengan diberikannya mandat oleh masyarakat internasional kepada ICRC untuk menjalankan fungsi dan


(26)

peranannya terutama dalam lingkup hukum humaniter. Fungsi dan peranan ICRC selain tercantum dalam Statuta ICRC juga terdapat dalam empat buah Konvensi Jenewa 1949 dan dua buah Protokol Tambahannya, yang perumusannya didukung secara aktif oleh ICRC.

Berdasarkan prinsip HHI, pihak – pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata diwajibkan menghormati prinsip HHI itu sendiri. HHI tidak dimaksudkan untuk melarang perang, karena dari sudut pandang HHI, perang merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari. HHI mencoba untuk mengatur agar suatu perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan. Pada kenyataannya, pelanggaran demi pelanggaran terus saja terjadi (Henckaerts, 2005:3).

Eksistensi ICRC dalam misi humanitarian terutama di wilayah Timur Tengah telah lama hadir semenjak dimulainya perseteruan Arab – Israel. Rentetan berbagai konflik yang sarat dengan pelanggaran humanitarian menjadikan Timur Tengah sebagai salah satu wilayah operasi utama ICRC. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya berbagai bentuk pelanggaran terjadi dalam konflik Israel - Lebanon seperti penggunaan bom fosfor dan bom curah oleh Israel, penembakan roket membabi buta ke arah pemukiman sipil oleh Hezbollah, pelanggaran prinsip pembedaan combatant dan non-combatant dan penghancuran fasilitas vital rakyat sipil.


(27)

Kritik tentang relevansi ICRC dalam melaksanakan misi penegakan HHI pada konflik bersenjata akhirnya muncul, sebab selama ICRC diterjunkan semenjak bermulanya konflik Israel – Hezbollah banyak pelanggaran yang terjadi dan bertentangan dengan kodifikasi pasal – pasal HHI dan kejadian tersebut bukanlah pelanggaran yang untuk pertama kalinya (Henckaerts, 2005:3), ditambah dengan banyaknya kritikan tentang transparansi dan akuntabilitas yang diakibatkan oleh sifat alami ICRC yang cenderung confidential (Ambarwati, 2009:144) dan kekhawatiran sikap imparsial dan independen ICRC yang dapat dipengaruhi oleh kebijakan negara pendonor

(http://old.nationalreview.com/comment/rivkin_casey_delaquil200412200800.asp Diakses pada tanggal 21 April 2012).

Sesuai dengan konteks yang ingin dibawa oleh peneliti ke depannya, peneliti tertarik untuk meneliti lebih dalam tentang bagaimana kinerja ICRC dalam penegakan hukum humaniter. Penegakan di sini diartikan bahwa subjek hukum yang bersangkutan (dalam hal ini ICRC) menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, yaitu hukum humaniter internasional. HHI yang merupakan kodifikasi dari Konvensi Jenewa dan dalam pasalnya menunjuk ICRC secara eksplisit sebagai subjek hukum internasional dan menjadi organisasi kemanusiaan yang melakukan bantuan kemanusiaan semasa konflik serta sebagai penjaga dan promoter HHI, yang kemudian menjadi tujuan utama ICRC menjalankan tugasnya sebagai organisasi kemanusiaan sekaligus sebagai penjaga dan promotor HHI. Melihat status ICRC yang merupakan sebuah subjek HHI dan


(28)

merupakan lembaga yang secara eksplisit oleh Konvensi Jenewa ditunjuk sebagai promotor HHI, ICRC dinilai mampu melakukan misi dan kewajibannya dalam menjaga prinsip HHI dari pelanggaran seminimal mungkin sesuai dengan nilai-nilai prinsip ICRC.

Atas dasar inilah yang melatarbelakangi peneliti untuk mengambil judul penelitian:

“Efektivitas Kinerja International Committee of the Red Cross (ICRC) dalam Penegakkan Hukum Humaniter Internasional pada Konflik Bersenjata Israel – Hezbollah tahun 2006”

Peneliti mengambil rentang waktu penelitian yaitu dari dimulainya konflik pada pertengahan Juli 2006, pasca konflik hingga akhir tahun 2006. Ketertarikan peneliti terhadap penelitian ini didukung oleh beberapa mata kuliah Ilmu Hubungan Internasional yaitu antara lain:

1. Organisasi dan Administrasi Internasional, merupakan fokus kajian peneliti terhadap permasalahan yang akan diteliti menyangkut keterlibatan salah satu Organisasi Internasional yang memberikan suatu rekomendasi terhadap negara terkait pembuatan kebijakan negara tersebut.

2. Hukum Internasional, merupakan dasar kajian peneliti mengenai Hukum Humaniter Internasional, di mana Hukum Humaniter Internasional itu sendiri merupakan produk dari Hukum Internasional secara umum.


(29)

3. Politik Internasional, merupakan subjek dari aktor – aktor non – negara salah satunya, organisasi Internasional. Dimana suatu organisasi Internasional bisa saja memainkan peran yang cukup penting dalam percaturan politik Internasional.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Rumusan Masalah Mayor

Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah, untuk memudahkan penulis dalam melakukan pembahasan, penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

“Bagaimana efektivitas kinerja International Committee of the Red

Cross dalam penegakan Hukum Humaniter Internasional pada

konflik bersenjata Israel – Hezbollah tahun 2006?”

1.2.2 Rumusan Masalah Minor

Rumusan masalah mayor kemudian diturunkan menjadi rumusan minor, dimana dalam mengukur sebuah efektivitas sebuah organisasi dapat dilakukan dengan menekankan pada pencapaian organisasi dalam mencapai tujuannya, di mana tujuan dari pada ICRC adalah sebagai penjaga dan promotor Hukum Humaniter Internasional sekaligus sebagai organisasi kemanusiaan yang melakukan humanitarian aid (bantuan kemanusiaan).


(30)

Dalam mencapai sasaran atau tujuan tersebut, ICRC menetapkan dan menjalankan program dan tentunya program-program tersebut berlandaskan kepada tujuan dari ICRC itu sendiri. Rumusan tersebut berupa:

1. Program-program apa yang dilakukan oleh ICRC dalam tugasnya menegakkan Hukum Humaniter Internasional yang telah dilanggar oleh kedua belah pihak selama berlangsungnya konflik?

2. Apa kendala-kendala yang dihadapi oleh ICRC dalam menjalankan program-programnya?

3. Upaya apa yang dilakukan oleh ICRC dalam mengatasi kendala yang dihadapi?

4. Hasil apa saja yang telah dicapai dari program-program yang dijalankan oleh ICRC dalam usahanya menegakkan Hukum Humaniter Internasional.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana efektivitas kinerja International Committee of the Red Cross (ICRC) dalam penegakan Hukum Humaniter Internasional pada konflik bersenjata Israel – Hezbollah pada tahun 2006.


(31)

1.3.2 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui program-program yang dilakukan oleh ICRC dalam tugasnya menegakkan Hukum Humaniter Internasional yang telah dilanggar oleh kedua belah pihak selama berlangsungnya konflik.

2. Untuk mengetahui berbagai kendala yang dihadapi oleh ICRC dalam menjalankan program-programnya.

3. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan oleh ICRC dalam mengatasi kendala yang dihadapi ICRC.

4. Untuk mengetahui hasil yang telah dicapai dari program-program yang dijalankan oleh ICRC dalam usahanya menegakkan Hukum Humaniter Internasional.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis

Diharapkan dapat berguna untuk menguji konsep – konsep yang dipergunakan dalam studi hubungan internasional, menjelaskan berbagai fenomena terkait manajemen konflik bersenjata, dan peran yang dijalankan oleh organisasi humanitarian internasional.


(32)

1.4.2 Kegunaan Praktis

1. Diharapkan dapat menambah wawasan peneliti dan pembaca mengenai aplikasi Hukum Humaniter Internasional pada konflik bersenjata, klasifikasi yang dianggap melanggar Hukum Humaniter Internasional serta kinerja ICRC dalam menegakkan prinsip Hukum Humaniter Internasional terutama dalam konflik bersenjata Israel – Hezbollah tahun 2006.

2. Sebagai bahan referensi bagi penstudi Hubungan Internasional dan umum.


(33)

17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Konsep Efektivitas dan Kinerja sebuah Organisasi

Dalam jurnal Organizational Effectiveness = Corporate Performance? Why and How Two Research Traditions Need to be Merged, Glunk dan Wilderom mengemukakan bahwa dalam menilai sebuah efektivitas organisasi terdapat berbagai pendekatan (approach), di mana salah satunya dengan menggunakan pendekatan Rational-Goal Approach (Glunk, 1996:5). Rational-Goal Approach (yang secara harafiah diartikan sebagai Pendekatan Tujuan-Rasional) merupakan sebuah pendekatan yang berpusat kepada bagaimana sebuah organisasi menyadari output dari tujuan (seperti produktivitas, pertumbuhan atau profitabilitas). Menyadari bahwa dalam berdirinya sebuah organisasi terdapat berbagai tujuan yang telah dibentuk dan untuk mengevaluasi bagaimana kinerja sebuah organisasi mencapai tujuan-tujuan yang telah ditentukan, maka penggunaan rational-goal approach secara praktikal adalah relevan. Namun, rational-goal approach, dalam studi mengenai efektivitas organisasi dinilai rumit, karena disadari sifat alami sebuah organisasi yang multifungsional dan terkadang implisit dalam mengemukakan goals/ tujuannya. Hal ini menjadi tantangan besar untuk para peneliti dalam meneliti sebuah efektivitas organisasi, ditambah jika hanya


(34)

mengandalkan dalam melihat tujuan-tujuan resmi dari sebuah organisasi yang kemungkinan besar misleading/ disalahartikan. Operative goals/ tujuan operatif merupakan refleksi yang lebih tepat dalam melihat sebuah arah organisasi. Sementara hal tersebut dinilai sulit untuk diidentifikasi, berbagai tujuan inilah yang lebih berharga untuk dinilai dalam sebuah efektivitas organisasi. Kesimpulannya, penggunaan pendekatan rational-goal approach dalam menilai sebuah efektivitas organisasi hanya berlaku bagi organisasi yang mempunyai tujuan yang secara jelas ditentukan, terikat pada waktu dan terukur secara tepat tujuan operatifnya.

Sementara itu, Wesley A. Martz dalam disertasinya Evaluating Organizational Effectiveness mengemukakan bahwa model dalam menilai efektivitas suatu organisasi terdiri dari berbagai klasifikasi penilaian, di mana diantaranya adalah Goal Model (Martz, 2008:33). Model atau pendekatan ini secara umum mendefinisikan efektivitas (dalam organisasi) sebagai keseluruhan atau sebagian realisasi dari tujuan-tujuan organisasi. Goals/ tujuan secara umum diterima sebagai bagian dari budaya, desain, struktur dan maksud dari sebuah organisasi yang dioperasionalkan ke dalam bentuk tujuan yang lebih spesifik/ telah ditentukan. Pendukung awal dari pendekatan goal-oriented (dalam rangka mengevaluasi efektivitas organisasi) ini berfokus kepada hasil akhir dari aktivitas organisasi. Selanjutnya dilakukan penggunaan criterion model dan behavioral objective approach yang keduanya berfokus dalam mengidentifikasi tugas-tugas


(35)

organisasi yang spesifik dan perilaku (behavioral) yang diikuti penentuan apakah serangkaian objektif/ tujuan ini dapat dicapai. Kemudian dilakukan manajemen tujuan (management by objectives), yang menganggap bahwa kriteria utama dalam efektivitas adalah bagaimana organisasi berhasil menjalankan tugas/ mencapai tujuannya yang sebelum telah diidentifikasi dan dianggap perlu. Pada akhirnya Martz menyimpulkan bahwa pengukuran efektivitas yang relevan adalah penentuan tujuan – tujuan mana saja yang telah dicapai dan mana yang tidak.

Dalam Tesis penelitian Efektivitas Pelaksanaan Diklat Jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan di BPSDM Hukum dan HAM, Siti Fajar Ningrum memaparkan penilaian efektivitas organisasi dengan menggunakan pendekatan tradisional (Ningrum, 2009:18). Penilaian itu terdiri dari:

1. Pendekatan sasaran (goal approach) dimana dalam pengukuran efektivitas memusatkan perhatian terhadap aspek input, yaitu dalam mengukur keberhasilan organisasi dalam mencapai tingkatan output yang direncanakan. Pendekatan sasaran dalam pengukuran efektivitas dimulai dengan identifikasi dan mengukur tingkat keberhasilan organisasi dalam mencapai sasaran tersebut. Sasaran yang penting diperhatikan dalam pengukuran efektivitas dengan pendekatan ini adalah sasaran/ tujuan yang sebenarnya (operative goal). Pengukuran efektivitas dengan menggunakan sasaran yang sebenarnya akan memberikan hasil yang lebih realistis daripada pengukuran efektivitas


(36)

berdasarkan sasaran/ tujuan resmi (official goal), dengan memperhatikan permasalahan yang ditimbulkan oleh beberapa hal berikut :

a. Adanya macam-macam output (multiple outcomes)

Adanya bermacam-macam output yang dihasilkan menyebabkan pengukuran efektivitas organisasi dengan pendekatan sasaran menjadi sulit untuk dilakukan. Pengukuran juga semakin sulit jika ada sasaran organisasi yang saling bertentangan dengan sasaran lainnya. Efektivitas organisasi tidak akan dapat diukur hanya dengan satu indikator saja. Efektivitas yang tinggi pada suatu sasaran seringkali disertai dengan efektivitas yang rendah pada sasaran lainnya.

b. Adanya subyektivitas dalam penilaian

Pengukuran efektivitas organisasi dengan menggunakan pendekatan sasaran seringkali mengalami hambatan karena sulitnya mengidentifikasikan sasaran organisasi yang sebenarnya, dan juga karena kesulitan dalam pengukuran keberhasilan organisasi dalam mencapai sasarannya. Untuk organisasi usaha, hal ini lebih mudah dilakukan karena tujuan perusahaan, sasaran yang dikehendaki, dan ukuran-ukuran keberhasilan perusahaan seperti keuntungan, besarnya omset, biasnya tertulis secara jelas. Tetapi pada beberapa jenis organisasi terutama pada beberapa jenis organisasi yang tidak mengejar keuntungan (non-profit maupun Non-Governmental Organization), sasaran lebih sulit


(37)

diidentifikasikan sehingga juga akan membawa kesulitan dalam melakukan pengukuran efektivitas organisasi. Hal ini terjadi karena sasaran/ tujuan organisasi yang secara resmi tertulis berbeda dengan sasaran sebenarnya dalam pengelolaan organisasi. Karena itu, kita perlu masuk ke dalam organisasi yang sebenarnya, dan karena sasaran yang dipilih sangat tergantung pada nilai-nilai yang dianut oleh pimpinan, sumber informasi yang terbaik untuk mengetahui sasaran organisasi adalah para pimpinan organisasi. Tetapi, informasi yang diperoleh dari para pimpinan ini seringkali dipengaruhi oleh subyektivitas para pimpinan tersebut. Untuk sasaran yang dinyatakan dalam bentuk kuantitatif unsur subyektif itu tidak berpengaruh, tetapi untuk sasaran-sasaran yang harus dideskripsikan secara kualitatif, informasi yang diperoleh akan sangat tergantung pada persepsi para pimpinan tersebut mengenai sasaran organisasi. Karena itu, subyektivitas para pimpinan akan berpengaruh terhadap informasi yang mereka berikan mengenai sasaran organisasi.

c. Pengaruh Kontekstual

Lingkungan dan keseluruhan elemen-elemen kontekstual berpengaruh terhadap performansi organisasi. Pengaruh kontekstual ini dapat memberikan kesempatan untuk berprestasi dengan baik bagi organisasi, ataupun sebaliknya. Karena itu, perbedaan karateristik


(38)

faktor-faktor kontekstual ini perlu diperhatikan apabila kita bermaksud mengukur efektivitas beberapa organisasi yang terdapat pada lingkungan yang berbeda. Perbedaan itu, terlihat misalnya pada elemen-elemen tertentu dari lingkungan, seperti mutu tenaga kerja, kemudahan dalam mendapatkan sumber-sumber yang diperlukan, peraturan pemerintah, dan sebagainya.

2. Pendekatan sumber (system resource approach), yaitu pendekatan yang mengevaluasi awal proses kegiatan organisasi dan apakah organisasi memperoleh sumber dayanya secara efektif untuk mencapai performa tinggi. Dalam pandangan sistem, efektivitas organisasi adalah kemampuan organisasi baik secara relatif atau mutlak dalam mengeksploitasi lingkungannya dalam memperoleh sumber daya yang bernilai tinggi dan langka atau Menurut Lubis dan Huseini, dalam bukunya Teori Organisasi (1987), efektivitas organisasi dapat dinyatakan sebagai tingkat keberhasilan organisasi dalam memanfaatkan lingkungannya untuk memperoleh berbagai jenis sumber yang bersifat langka maupun yang nilainya tinggi.

3. Pendekatan Proses (Internal process approach), Lubis dan Huseini (1987) menyatakan, pendekatan ini menganggap efektitifitas sebagai efisiensi dan kondisi dari organisasi internal. Pada organisasi yang efektif proses internal berjalan dengan lancar, karyawan bekerja dengan kegembiraan serta kepuasan yang tinggi, kegiatan masing-masing bagian terkoordinasi secara baik dengan


(39)

produktivitas yang tinggi. Pendekatan ini tidak memperhatikan lingkungan organisasi, dan memusatkan perhatian terhadap kegiatan yang dilakukan terhadap sumber-sumber yang dimiliki oleh organisasi, yang menggambarkan tingkat efisiensi serta kesehatan organisasi. Pendekatan proses umumnya digunakan oleh penganut pendekatan neo-klasik (human relation) dalam teori organisasi yang terutama meneliti hubungan antara efektivitas dengan sumber daya yang dimiliki oleh organisasi.

4. Pendekatan Gabungan, ketiga pendekatan yang telah dijelaskan masing-masing mempunyai kelemahannya sendiri-sendiri. Karena itu salah satu cara yang sering digunakan untuk mengukur efektivitas organisasi adalah dengan menggunakan ketiga jenis pendekatan tersebut secara bersamaan, terutuma jika informasi yang diperlukan seluruhnya tersedia. Dengan demikian diharapkan bahwa kelemahan dari suatu pendekatan dapat ditutup oleh kelebihan yang dimiliki oleh pendekatan lainnya. Pengukuran efektivitas organisasi dengan pendekatan gabungan ini akan mencakup pengukuran pada sisi input, efisiensi proses, dan keberhasilan dalam mencapai output.


(40)

Dengan demikian diharapkan pengukuran yang dilakukan dapat memberikan gambaran mengenai seluruh dimensi daripada efektivitas organisasi saja. Pengukuran efektivitas dengan metode pendekatan gabungan yang secara singkat dapat digambarkan dengan menggunakan bagan sebagai berikut:

Bagan 2.1

Pendekatan Gabungan Pengukuran Efektivitas

Sumber: Ningrum, 2009:18

2.1.2 Tinjauan Mengenai Humanitarian Organization dalam Suatu Konflik Dalam lingkup organisasi yang berdedikasi kepada bantuan humaniter (humanitarian aid) dalam terjadinya suatu konflik, terdapat berbagai macam kriteria dalam mengukur sebuah efektivitas. Dalam jurnal Politics and the Effectiveness of Humanitarian NGOs in Civil Conflict, Daniel C. Tirone memaparkan bahwa sebelum memahami faktor-faktor yang menentukan mengapa sebuah intervensi humaniter (humanitarian intervention) itu dapat berhasil atau


(41)

tidak, penting untuk mengkonsepkan tentang bagaimana membedakan diantara keduanya (Tirone, 2012:7). Non-Governmental Organizations yang bergerak dalam bidang humaniter bertugas untuk melindungi dan menyediakan bantuan (seperti akses mendapatkan makanan dan perawatan medis) terhadap individual yang menghadapi ancaman yang muncul seperti konflik sipil dan bencana alam. Selanjutnya Tirone memaparkan argumen bahwa cara yang paling jelas dalam bagaimana mengukur sebuah efektivitas ialah dengan melihat banyaknya individual yang dibantu oleh organisasi tersebut. Namun, cara pengukuran seperti ini tidak selamanya menyampaikan sebuah informasi tentang efektifnya individu-individu tersebut dibantu. Sebuah ukuran yang lebih berguna dalam mengukur sebuah efektivitas adalah dengan melihat outcome (hasil), dibandingkan dengan kuantitas. Maksudnya, tentang bagaimana seorang individu menanggapi bantuan tersebut dan untuk hasil apa bantuan tersebut diberikan.

Sementara itu, dalam publikasi Measuring Effectiveness in Complex Operations: What is Good Enough, Sarah Jane Meharg menawarkan opsi dalam meningkatkan kapasitas dalam pengukuran sebuah efektivitas dalam sebuah organisasi humaniter (Meharg, 2009:10).

1. Define operational effectiveness to support cooperative mandates Sebuah definisi efektivitas yang jelas harus didapatkan terlebih dahulu, karena tidak ada definisi yang clear mengenai efektivitas diantara


(42)

stakeholder yang terlibat dalamorganisasi. Stakeholder disini diartikan sebagai negara, donor atau pemerintah yang terlibat.

2. Understand effectiveness through cooperative intervention approaches Pemahaman dan penerimaan perspektif stakeholder mengenai efektivitas, memungkinkan terjadinya pengembangan lebih lanjut, pematangan dalam pendekatan kerja sama dan pada akhirnya efektivitas dapat terukur. Maksudnya, efektivitas dicapai berdasarkan atas perubahan sikap untuk mengetahui dan menerima anggota lain dalam sebuah pendekatan kerja sama.

3. Adopt a framework that measures effectiveness across the spectrum of complex operation activities

Membuat sebuah framework/ rangka kerja dalam mengukur sebuah efektivitas secara akurat dan konsisten. Informasi yang didapat dari pengukuran ini kemudian disebarkan kepada stakeholders (donor, pemerintah dan konstituen) yang pada akhirnya organisasi tersebut mendapatkan pengertian dari perspesktif stakeholders tadi. Framework dibuat berdasarkan asumsi setiap sektor yang bekerja di dalam organisasi mempunyai scope dan scale yang berbeda-beda.


(43)

2.1.3 Tinjauan terhadap International Committee of the Red Cross

Dalam jurnal Multilateral Aid Review: Assessment of International Committee of the Red Cross (ICRC) yang dirilis oleh Department for International Development, terdapat penilaian (assessment) terhadap performa ICRC selama dalam kurun waktu 2010 – 2011 (http://www.dfid.gov.uk/What-we- do/Who-we-work-with/Multilateral-agencies/Multilateral-Aid-Review-summary---International-Committee-of-the-Red-Cross-ICRC/ Diakses pada tanggal 25 April 2012). Penilaian ini didasarkan atas kerjasama ICRC dengan pemerintah United Kingdom (dalam lingkup UK Aid) dan menggunakan kriteria Goal-approach (output) dan Internal process-approach (proses) yang terdiri dari: 1. Contribution to UK development objectives (kontribusi terhadap sasaran UK

development)

a. Critical role in meeting international objectives (peran kritikal dalam mencapai sasaran internasional)

b. Critical role in meeting UK Aid objectives (peran kritikal dalam mencapai sasaran UK Aid)

c. Attention to cross-cutting issues (perhatian terhadap isu-isu lintas sektor) d. Focus on poor countries ( fokus terhadap negara-negara miskin)

e. Contribution to results (kontribusi terhadap hasil) 2. Organisational Strenghts (kekuatan organisatoris)


(44)

b. Financial resources management (manajemen keuangan) c. Cost and value consciusness (kesadaran akan nilai-nilai) d. Partnership behaviour (perilaku dalam bermitra)

e. Transparency and accountability (transparansi dan akuntabilitas)

3. Likelihood of Positive Change (kemungkinan dalam perubahan yang positif) Kemudian kriteria tersebut dinilai dengan menggunakan skala likert dengan rentangan skor 1-4 (very weak, weak, satisfactory, strong) yang kemudian disimpulkan bahwa ICRC telah menjalankan fungsi dan tujuannya dengan baik atau telah berhasil mencapai hasil target yang telah ditentukan.

Sementara itu, ICRC sendiri dalam jurnal ICRC Annual Report pada tahun 2011 memaparkan key success factors dalam menjalankan tugas dan fungsinya yang terdiri dari:

a. Relevance: Relevansi mengacu kepada pemenuhan kebutuhan yang paling mendesak dari korban yang terkena dampak konflik bersenjata dan situasi kekerasan lainnya dengan berbasis bukti, berorientasi hasil dan tepat waktu dan menggunakan bentuk aksi tradisional ICRC (bantuan, subtitusi, persuasi, mobilisasi dan pengaduan).

b. Organization and processes: Organisasi dan proses berkaitan dengan struktur ICRC dan pembuatan keputusan, kerja dan proses manajemen informasi. Hal ini termasuk kepada manajemen model, struktur, prosedur dan rules yang mengatur karyawan/ staf, di mana staff tersebut berkontribusi


(45)

ke dalam reputasi ICRC sebagai organisasi yang profesional, efektif dan efisien.

c. Human resources capacity and mobility: Kapasitas dan mobilitas sumber daya manusia dalam ICRC mengacu kepada nilai-nilai dari organisasi, kebijakan dan metode untuk mengelola stafnya. Hal ini juga mengacu pada kesediaan dan kesiapan anggota staf untuk melayani secara lebih baik bagi ICRC dan orang-orang yang terkena dampak konflik bersenjata serta situasi kekerasan lainnya.

d. Access: Akses terhadap korban mengacu kepada menjangkau orang-orang yang terkena dampak konflik bersenjata dan situasi kekerasan lainnya untuk selanjutnya menilai situasi mereka, memberikan bantuan dan mendokumentasikan tuduhan pelecehan atau pelanggaran hukum yang berlaku dalam Hukum Humaniter Internasional dan hukum yang relevan selama konflik berlaku. Akses ICRC kepada mereka yang membutuhkan sangat tergantung pada reputasi dan pada penerimaan organisasi oleh pihak yang berkonflik dan para pembuat keputusan.

e. reputation/acceptance: Reputasi ICRC mengacu pada cara di mana organisasi itu diterima oleh pihak dalam suatu konflik dan juga dengan stakeholder kunci lainnya. Penerimaan organisasi melibatkan pihak dalam konflik dan stakeholder kunci lainnya yang mengakui dan menerima sifat netral, tidak memihak dan independen dari ICRC. Reputasi ICRC dan sejauh


(46)

mana organisasi ini diterima secara langsung turut mempengaruhi kemampuannya dalam mendapatkan akses kepada korban dan juga menarik staf yang berkualitas (yang ingin bergabung ke dalam ICRC) dan juga dalam masalah pendonoran/pendanaan.

f. Positioning: Posisi mengacu pada posisi ICRC dalam bidang bantuan kemanusiaan (dalam hal tujuan, saling melengkapi, benchmarking dan sebagainya), yang dirasakan nilai tambahnya bagi masyarakat yang terkena dampak konflik bersenjata dan situasi kekerasan lainnya, dan persepsi pendonor terhadap relevansi ICRC, juga efektivitas dan efisiensi (ICRC, 2010:9).

2.1.4 Hukum Humaniter Internasional (International Humanitarian Law) Dalam jurnal Studi (kajian) tentang Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan: Sebuah sumbangan bagi pemahaman dan penghormatan terhadap tertib hukum dalam konflik bersenjata, Jean-Marie Henckaerts memaparkan dalam kurun waktu sekitar 50 tahun semenjak diadopsinya Konvensi-konvensi Jenewa 1949, umat manusia mengalami konflik bersenjata dalam jumlah yang mencemaskan. Konflik konflik bersenjata ini terjadi di hampir semua benua. Dalam kurun waktu tersebut, keempat Konvensi Jenewa 1949 beserta kedua Protokol Tambahan 1977 menyediakan perlindungan hukum bagi orang-orang yang tidak, ataupun yang tidak lagi, ikut serta secara langsung dalam permusuhan


(47)

(yaitu korban luka, korban sakit, korban karam, orang yang ditahan sehubungan dengan konflik bersenjata, dan orang sipil). Meskipun demikian, dalam kurun waktu yang sama juga telah terjadi banyak sekali pelanggaran terhadap perjanjian-perjanjian internasional tersebut, sehingga timbul penderitaan dan korban tewas yang mungkin dapat dihindari seandainya Hukum Humaniter Internasional (HHI) dihormati dengan lebih baik.

Pandangan umum yang ada ialah bahwa pelanggaran-pelanggaran terhadap HHI bukan disebabkan oleh kurang memadainya aturan-aturan yang termaktub dalam hukum tersebut, tetapi lebih disebabkan oleh ketidakmauan untuk menghormatinya, oleh kurang memadainya sarana yang tersedia untuk menegakkannya, oleh ketidakpastian mengenai penerapan hukum tersebut dalam situasi-situasi tertentu, dan oleh kurangnya pengetahuan para pemimpin politik, komandan, kombatan, dan masyarakat umum tentang hukum tersebut (Henckaerts, 2005:3).

Sementara itu dalam jurnal Non-State Actors and International Humanitarian Law, Cedric Ryngaert memaparkan bahwa HHI mendapatkan tantangan dalam pengaplikasiannya semasa terjadinya konflik bersenjata terutama jika aktor yang terlibat di dalamnya bukan hanya state actor, tetapi entitas non-state actor turut pula terlibat. Posisi non-State actor memang tidak tercakup di dalam HHI, tetapi dalam masa sekarang konflik bersenjata yang terjadi telah masuk ke dalam era kontemporer dan tidak selalu state actor yang menjadi tokoh sentral. HHI


(48)

berdasarkan kebiasaan (customary IHL) dapat menjawab tantangan ini dikarenakan kodifikasi Konvensi Jenewa terkadang secara eksplisit tidak memaparkan secara lebih spesifik mengenai aturan-aturannya (Ryngaert, 2008:11).

2.2 Kerangka Pemikiran 2.2.1 Kerangka Teoritis

Dalam kerangka penelitian ini, secara teoritis dibutuhkan adanya suatu kerangka pemikiran yang dapat berguna dalam menguji konsep – konsep dasar yang dipergunakan dalam studi ilmu hubungan internasional ketika meneliti suatu fenomena yang ada. Kerangka pemikiran ini diartikan sebagai konsep – konsep, model, analogi – analogi, pendekatan, generalisasi dan teori – teori yang dapat merangkum semua pengetahuan secara sistematis. Yang kesimpulannya bahwa, teori ini akan memberikan suatu kerangka pemikiran bagi upaya penelitian. Upaya ini juga tidak terkecuali yang mendasari akan adanya suatu penelitian didalam disiplin ilmu hubungan internasional.

2.2.1.1 Teori Organisasi Internasional

Dalam studi hubungan internasional, terdapat sebuah interaksi internasional yang melewati batas-batas negara atau yang dikenal dengan organisasi internasional yang merupakan suatu wadah dimana interaksi


(49)

tersebut diatur untuk menjaga kerjasama antarnegara. Teuku May Rudy dalam buku Administrasi dan Organisasi Internasional memaparkan pengertian Organisasi Internasional sebagai berikut :

“Pola kerjasama yang melintasi batas-batas negara, dengan didasari struktur organisasi yang jelas dan lengkap serta melaksanakan fungsinya secara berkesinambungan dan melembaga guna mengusahakan tercapainya tujuan-tujuan yang diperlukan serta disepakati bersama, baik antara sesama kelompok non-pemerintah pada negara berbeda.” (Rudy, 2005:3)

Organisasi Internasional dalam suatu pengertian ialah kolektivitas dari entitas-entitas yang independen, kerjasama yang terorganisasi (organized cooperation) dalam bentuk yang lebih konkret. Organisasi internasional merupakan produk dari perjanjian-perjanjian multilateral (Suherman).

Sedangkan Organisasi Internasional dalam pengertiannya, dalam hal ini seperti yang diungkapkan oleh Michael Haas memiliki dua pengertian :

“Pertama, organisasi internasional sebagai suatu lembaga atau struktur yang mempunyai serangkaian aturan, anggota, jadwal, tempat, dan waktu pertemuan. Kedua, organisasi internasional merupakan pengaturan bagian-bagian menjadi satu kesatuan yang utuh dimana tidak ada aspek non lembaga dalam istilah organisasi internasional.” (Perwita dan Yani,2005:93)

Terdapat dua kategori utama organisasi internasional, yaitu :

1.) Organisasi antar pemerintah (inter-Governmental Organizations / IGO), anggotanya terdiri dari delegasi resmi pemerintah


(50)

negara-negara. Contoh, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), World Trade Organizations (WTO).

2.) Organisasi non-pemerintah (Non – Governmental Organizations / NGO), terdiri dari kelompok – kelompok swasta di bidang keilmuan, keagamaan, kebudayaan, bantuan teknis, atau ekonomi dan sebagainya. Contoh, Palang Merah Internasional (International Committee of Red Cross / ICRC). (Le Roy,1997:2)

Suatu organisasi internasional dapat sekaligus menyandang lebih dari satu macam penggolongan, begantung kepada segi yang ditinjau dalam menggolongkannya. Secara terperinci penggolongan organisasi internasional ada bermacam-macam menurut segi tinjauan berdasarkan 8 hal, yaitu sebagai berikut:

1.) Kegiatan administrasi: organisasi internasional antarpemerintah (IGO/International Governmental Organization) dan Organisasi Internasional nonpemerintah (INGO/International nongovernmental Organization);

2.) Ruang lingkup (wilayah) kegiatan dan keanggotaan: Organisasi Internasional global dan organisasi internasional regional;

3.) Bidang kegiatan (operasional) organisasi, seperti ekonomi, lingkungan hidup, pertambangan, perdagangan internasional, dst;


(51)

4.) Tujuan dan luas bidang kegiatan organisasi: Organisasi Internasional umum dan organisasi internasional khusus;

5.) Ruang lingkup (wilayah) dan bidang kegiatan: umum, global-khusus, regional-umum, regional-khusus;

6.) Menurut taraf kewenangan (kekuasaan): organisasi supranasional (supranational organization) dan organisasi kerjasama (co-operative organization);

7.) Bentuk dan pola kerjasama : kerjasama pertahanan – keamanan (Collective security) yang biasanya disebut ”institutionalized alliance” dan kerjasama fungsional (functional organization);

8.) Fungsi organisasi:

a. Organisasi politik: yaitu organisasi yang didalam kegiatannya menyangkut masalah-masalah politik dalam hubungan internasional.

b. Organisasi administratif: yaitu organisasi yang sepenuhnya hanya melaksanakan kegiatan teknis secara administratif.

c. Organisasi peradilan (judicial organization): yaitu organisasi yang menyangkut penyelesaian sengketa pada berbagai bidang atau aspek (politik, ekonomi, sosial, dan budaya) menurut prosedur hukum dan melalui proses peradilan (sesuai dengan ketentuan internasional dan perjanjian internasional).


(52)

Organisasi internasional mempunyai beragam macam jenis sesuai dengan fungsi dan tujuan yang hendak dicapai. Salah satunya adalah organisasi internasional yang bergerak dalam bidang humaniter. ICRC merupakan organisasi internasional yang mempunyai tujuan dan landasan hukum yang berdedikasi kepada pemberian bantuan korban yang terluka akibat konflik bersenjata dan sebagai promoter serta penjaga HHI.

Dalam buku Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, Denny Ramdhany memaparkan bahwa:

“Jika menghubungkan perkuliahan Hukum Humaniter Internasional dengan pokok bahasan mengenai prinsip-prinsip dan fungsi-fungsi daripada ICRC dalam menjalankan tugasnya, baik dalam sengketa senjata internasional maupun non-internasional, maka kedudukan ICRC adalah sebagai NGOs karena anggotanya bukan negara. Meskipun statusnya sebagai NGOs, ICRC memperoleh mandat internasional (baca: Konvensi Jenewa) untuk melindungi dan membantu para korban konflik bersenjata oleh negara-negara dalam empat Konvensi Jenewa tahun 1949 dan Protokol Tambahan tahun 1977. Mandat dan status hukumnya yang membedakan ICRC dari badan-badan antar pemerintah, seperti PBB maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM). Pada kebanyakan negara tempat organisasi kemanusiaan ini bekerja, ICRC mengadakan perjanjian kantor pusat dengan para pihak yang berwenang. Melalui perjanjian ini, ICRC memperoleh hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik yang diberikan kepada organisasi-organisasi pemerintahan maupun anggota perwakilan diplomatik. Misalnya, kekebalan terhadap proses hukum negara tuan rumah, baik pidana maupun perdata; tidak dapat dijadikan saksi oleh pengadilan; dan tidak dapat diganggu gugatnya gedung, arsip, dokumen-dokumen ICRC sebab hak-hak tersebut dijamin dalam menjalankan tindakannya, yaitu kenetralan dan kemandirian” (Ambarwati, 2009:137).


(53)

Maka dapat disimpulkan bahwa ICRC adalah sebuah organisasi internasional yang hybrid karena mempunyai sifat NGO tetapi mempunyai keistimewaan hukum yang tidak dimiliki oleh NGO secara umum.

Selanjutnya, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya selain merawat dan melindungi korban yang terluka akibat konflik bersenjata, tujuan ICRC yang fundamental adalah menjaga serta mempromosikan Hukum Humaniter Internasional. HHI (Hukum Humaniter Internasional) sebagai salah satu bagian hukum internasional merupakan salah satu alat dan cara yang dapat digunakan oleh setiap negara, termasuk oleh negara damai atau negara netral, untuk ikut serta mengurangi penderitaan yang dialami oleh masyarakat akibat perang yang terjadi di berbagai negara. Dalam hal ini, HHI merupakan suatu instrumen kebijakan dan sekaligus pedoman teknis yang dapat digunakan oleh semua aktor internasional untuk mengatasi isu internasional berkaitan dengan kerugian dan korban perang (Ambarwati, 2009:27).

2.2.1.2Teori Hukum Internasional

HHI merupakan salah satu produk dari Hukum Internasional. Menurut J.G. Starke:

“hukum internasional merupakan keseluruhan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku terhadapnya negara-negara merasa dirinya terikat untuk menaati, dan


(54)

karenanya, benar-benar ditaati secara umum dalam hubungan-hubungan mereka dan meliputi juga:

a. kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi internasional, hubungan mereka antara satu sama lain, dan hubungan mereka dengan nehgara-negara dan individu-individu; dan

b. kaidah-kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan individu-individu dan badan-badan non-negara tersebut penting bagi masyarakat internasional.” (Starke, J.G, 2010:3)

Jelas bagaimana negara, individu, badan non negara diwajibkan menaati prinsip-prinsip hukum yang mengikat di antaranya dalam rangka agar pergaulan dan hubungan antar bangsa dapat berjalan dengan baik apabila masing-masing negara menghargai dan menaati hukum internasional, untuk mencegah dan mengatasi perselisihan atau kesalahpahaman dalam hubungan Internasional dan membawa dunia yang tertib dan damai sehingga akan membawa kesejahteraan umat manusia lebih lanjut.

Subjek yang dikenakan kewajiban untuk menaati kaidah/ prinsip dari hukum internasional dinamakan subjek hukum internasional. Mochtar Kusumaatmadja memaparkan bahwa yang menjadi subjek hukum internasional antara lain:

1. Negara 2. Vatikan

3. Palang Merah Internasional (ICRC) 4. Organisasi Internasional


(55)

6. Beligerents (pemberontak) dan pihak bersengketa (Kusumaatmadja, 2003:20).

ICRC termasuk ke dalam kategori subjek hukum internasional (sebenarnya juga termasuk ke dalam organisasi internasional) dikarenakan faktor sejarah oleh karenanya ICRC mempunyai tempat tersendiri yang unik dalam sejarah hukum internasional. Kemudian kedudukannya itu, diperkuat dengan berbagai perjanjian dan Konvensi Palang Merah Internasional antara lain: Konvensi Jenewa Tahun 1949 tentang Perlindungan Korban Perang. Dewasa ini, ICRC secara umum telah diakui sebagai organisasi internasional yang memiliki kedudukan sebagai salah satu subyek hukum internasional walaupun dalam ruang lingkup yang terbatas (Phartiana, 2003: 123).

2.2.1.3 Teori Hukum Humaniter Internasional

Selanjutnya, penggunaan istilah HHI (international humanitarian law atau IHL) sering digunakan secara bergantian dengan istilah “hukum humaniter” (humanitarian law) maupun “HHI yang berlaku pada waktu sengketa bersenjata” (IHL applicable in armed conflict). Istilah yang terakhir inilah yang paling lengkap. Istilah ini digunakan dalam Protokol Tambahan I/1977 atas Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 tentang perlindungan korban sengketa bersenjata internasional (Ambarwati,


(56)

2009:29). HHI secara keseluruhan terangkum berdasarkan konvensi yang telah diadakan sebanyak empat kali yaitu:

1. Konvensi Jenewa tahun 1864 mengenai perbaikan keadaan anggota Angkatan Perang yang luka dan sakit di medan pertempuran darat. 2. Konvensi Jenewa tahun 1906 mengenai perbaikan keadaan

anggota-anggota yang perang di laut, sakit dan korban karam.

3. Konvensi Jenewa tahun 1929 mengenai perlakuan terhadap tawanan perang.

4. Konvensi Jenewa tahun 1949 mengenai perlindungan orang-orang sipil di waktu perang; ditambah pula dengan penambahan pasal pada protokol tambahan I dan II tahun 1977.

Secara rinci, ICRC menguraikan maksud dari istilah HHI ini adalah sebagai berikut:

“HHI berarti aturan-aturan internasional, yang dibentuk oleh perjanjian internasional atau kebiasaan, yang secara spesifik, diharapkan untuk mengatasi problem-problem kemanusiaan yang muncul secara langsung dari sengketa-sengketa bersenjata internasional maupun noninternasional, dan untuk alasan-alasan kemanusiaan membatasi hak dari pihak-pihak yang berkonflik untuk menggunakan metode dan alat perang pilihan mereka atau untuk melindungi orang-orang dan harta milik mereka yang mungkin terkena dampak konflik.” (Ambarwati, 2009:29)

HHI terdiri dari sekumpulan aturan internasional (selanjutnya dikodifikasi dalam Konvensi Jenewa) yang bertujuan untuk membatasi akibat-akibat dari peperangan, baik orang maupun objek-objek lainnya.


(57)

HHI mencoba untuk mengatur agar suatu perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan. Secara umum tujuan yang paling mendasar dari HHI adalah untuk memberikan perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu, juga menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan lawan, harus dilindungi dan dirawat serta berhak diberlakukan sebagai tawanan perang, dan untuk mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas, dan yang terpenting adalah asas-asas perikemanusiaan.

Secara singkat, aturan-aturan dasar yang terkandung di dalam HHI memuat aturan bahwa:

1. Pihak yang terlibat konflik harus setiap saat membedakan antara penduduk sipil dan kombatan agar dapat menyelamatkan penduduk sipil dan harta benda sipil.

2. Penduduk sipil secara keseluruhan maupun secara individual tidak boleh diserang.

3. Penyerangan hanya boleh dilakukan terhadap objek militer.

4. Orang yang tidak ikut serta, atau tidak dapat lagi ikut serta, dalam peperangan berhak dihormati kehidupannya dalam segala keadaan dan diperlakukan secara manusiawi, tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun.


(58)

5. Dilarang membunuh atau melukai musuh yang sudah tidak dapat lagi ikut serta dalam pertempuran.

6. Pihak yang terlibat konflik maupun para anggota angkatan bersenjatanya tidak mempunyai hak yang terbatas untuk memilih sarana dan cara berperang dan dilarang menggunakan senjata atau cara berperang yang berkemungkinan menimbulkan kerugian yang tidak perlu dan penderitaan yang berlebihan (ICRC, 2008:6).

Berdasarkan paparan diatas, HHI berlaku jika terjadi sebuah konflik bersenjata yang melibatkan dua negara atau lebih (internasional) serta terjadinya konflik yang melibatkan satu negara melawan entitas non-negara/ non-internasional (seperti pemberontak, gerakan revolusi). Berdasarkan statuta Konvensi Jenewa tahun 1949 pasal 2, konflik bersenjata internasional ialah sengketa/ konflik bersenjata yang melibatkan dua negara atau lebih, baik perang yang diumumkan maupun yang tidak diakui oleh salah satu mereka (Ambarwati, 2009:56). Sedangkan konflik bersenjata non-internasional menurut aturan Protokol Tambahan II/1977 adalah sengketa bersenjata yang terjadi di dalam suatu wilayah negara antara pasukan negara tersebut dengan pasukan bersenjata pemberontak atau dengan kelompok bersenjata terorganisasi lainnya yang terorganisasi di bawah komando yang bertanggung jawab, melaksanakan kendali sedemikian rupa atas sebagian dari wilayahnya sehingga memungkinkan


(59)

kelompok tersebut melakukan operasi militer yang berkelanjutan dan berkesatuan serta menerapkan aturan-aturan HHI yang termuat dalam Protokol Tambahan II/1977 (Ambarwati, 2009:60).

2.2.1.4 Teori Konflik

Konflik dapat dipahami sebagai kondisi dimana sekelompok manusia terlibat dalam perlawanan secara sadar terhadap satu atau lebih sekelompok manusia lain karena perbedaan tujuan . Jadi, dapat disimpulkan bahwa konflik adalah pertentangan antar manusia dan bukan perjuangan manusia dalam lingkungan fisiknya. Yang membedakan konflik dengan kompetisi adalah upaya untuk mengurangi apa yang layak didapatkan oleh orang lain, yang tidak ada pada kompetisi. Konflik sosial meliputi perang, revolusi, kudeta, gerilyawan, sabotase, teror, huru hara, demonstrasi dan lain sebagainya. Dalam mengkaji konflik berdasar ruang lingkupnya, teori konflik dapat dibedakan menjadi teori konflik mikro dan makro. Teori mikro melihat konflik sebagai sifat dasar manusia, dimana dalam kajian ini ilmu psikologi menjadi kerangka pikir dominan. Sedangkan teori makro lebih melihat konflik sebagai interaksi antar kelompok baik institusi, negara ataupun organisasi yang dapat dijelaskan dalam kerangka pemikiran sosiologi, hubungan internasional, dan lain sebagainya (Grewal, 2003:56).


(60)

Dapat disimpulkan bahwa HHI di dalam konflik bersenjata Israel – Hezbollah pada tahun 2006 berlaku karena kriteria Israel sebagai entitas negara yang berkonflik terhadap Hezbollah yang merupakan organisasi paramiliter yang terorganisasi dan mempunyai pemimpin yang memegang komando (Hasan Nasrallah). Mengenai apakah konflik tersebut termasuk ke dalam kategori internasional atau non-internasional, peneliti berargumen bahwa konflik tersebut masuk ke dalam jenis konflik bersenjata internasional. Hezbollah walaupun berbentuk organisasi partai yang memiliki kekuatan militer, mempunyai pengaruh yang besar dalam tubuh pemerintahan Lebanon. Bahkan rakyat Lebanon secara langsung menggantungkan harapannya kepada Hezbollah dalam menangkal serangan Israel dan juga Hezbollah juga yang membantu pembangunan kembali permukiman, mesjid dan sekolah yang luluh-lantak akibat serangan pasukan Israel. Singkat kata Hezbollah merupakan representasi Lebanon. Namun, argumen tersebut tidak mengurangi aplikasi HHI pada konflik Israel – Hezbollah karena Konvensi Jenewa secara implisit mencakup semua jenis konflik yang terjadi.

2.2.1.5 Teori Efektivitas

Perlunya pengormatan HHI oleh pihak – pihak yang berkonflik serta pentingnya bantuan korban – korban akibat konflik bersenjata


(61)

membuat ICRC perlu merumuskan berbagai program dan melaksanakannya sehingga tujuan fundamental ICRC tersebut bisa tercapai. ICRC merupakan sebuah bentuk organisasi yang pada dasarnya mempunyai fungsi dan tujuan yang ingin dicapai. Kriteria sebuah organisasi yang baik adalah salah satunya adalah organisasi yang efektif.

Penelitian kepustakaan yang ada mengenai teori efektivitas memperlihatkan keanekaragaman dalam hal indikator penilaian tingkat efektivitas suatu hal. Hal ini terkadang mempersulit penelaahan terhadap suatu penelitian yang melibatkan teori efektivitas, namun secara umum, efektivitas suatu hal diartikan sebagai keberhasilan dalam pencapaian target atau tujuan yang telah ditetapkan.

Efektivitas memiliki beragam jenis, salah satunya adalah efektivitas organisasi. Sama halnya dengan teori efektivitas secara umum, para ahli pun memiliki beragam pandangan terkait dengan konsep efektivitas organisasi. Umumnya teori efektivitas organisasi masih terkait dengan targetan dan tujuan organisasi, walaupun indikator penilaian pencapaian target tersebut berbeda-beda.

Menurut Richard M. Steers dalam Efektivitas Organisasi menyatakan bahwa:

“Makin rasional suatu organisasi, makin besar upayanya pada kegiatan yang mengarah ke tujuan. Makin besar kemajuan yang diperoleh ke arah tujuan, organisasi makin efektif pula. Efektivitas dipandang sebagai tujuan akhir organisasi”. (Steers, 1997:2)


(1)

173

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama : Wenaldy Andarisma

Nama Panggilan : Anda

Tempat, Tanggal Lahir : Tanjung Redeb , 26 Oktober 1990 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Telepon : 0812 540 6595

Status : Belum Menikah

Nama Ayah : Ir. H. Wisnu Haris, MM. Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil (PNS) Nama Ibu : Hj. Normala, S.AP.

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Alamat Orang Tua : Jl. Mawar, No. 1, Kel. Gayyam, Kec. Tanjung Redeb, Kab. Berau, Kalimantan Timur.

Motto : “Life is what you make it, Can’t escape it”.


(2)

PENDIDIKAN FORMAL

No. Tahun Uraian Keterangan

1. 2008-2012 Program Studi Ilmu Hubungan Internasional. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia

Berijazah

2. 2005-2008 SMA Negeri 1 Berau Berijazah 3. 2002-2005 SMP Negeri 3 Berau Berijazah 4. 1995-2002 SD Negeri 1 Berau Berijazah

PENDIDIKAN NON FORMAL

No. Tahun Uraian Keterangan

1. 2009 Pelatihan Latihan Dasar

Kepemimpinan Prodi HI Bersertifikat 2. 2010 Table Manner Course di Hotel

Golden Flower Bandung Bersertifikat 3. 2010 Short Diplomatic Course PNMHII

XXI Universitas Jember Bersertifikat

4. 2010

Short Diplomatic Course PNMHII XXII Universitas Nasional,

Jakarta

Bersertifikat

5 2011

Short Diplomatic Course PNMHII XXIII Universitas Katholik

Parahyangan, Bandung

Bersertifikat

6. 2011

Training Pengembangan Aplikasi GIS untuk Pengelolaan Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan, ITB Bandung


(3)

PENGALAMAN ORGANISASI

No. Tahun Uraian Keterangan

1. 2010-2011 Presidium Nasional Forum Komunikasi Mahasiswa Hubungan Internasional se-Indonesia, Koodinator Wilayah 3 Jawa barat

-

2. 2009-2010 Ketua Divisi Eksternal HIMAHI

Unikom -

3. 2008-2010 Coach English Language Forum

(ELF) Unikom -

PELATIHAN DAN SEMINAR

No. Tahun Uraian Keterangan

1. 2009 Peserta, Pertemuan Sela Nasional

Mahasiswa Hubungan

Internasional se Indonesia (PSNMHII) ke XXI di Universitas Airlangga Surabaya

Bersertifikat

2. 2009 Peserta, A Half-Day Seminar: The Australia’s Stolen Generation UPI Bandung

Bersertifikat

3. 2009 Peserta, workshop “Pembuatan Program TV” Birama Unikom

Bersertifikat 4. 2010 Peserta, Pertemuan Nasional

Mahasiswa Hubungan

Internasional se Indonesia (PNMHII) XXI di Universitas Jember.

Bersertifikat

5. 2010 Peserta, Karya Ilmiah pada Pertemuan Nasional Mahasiswa Hubungan Internasional se Indonesia (PNMHII) XXI di Universitas Jember.

Bersertifikat

6. 2010 Pelatihan LKMM BEM Unikom Bersertifikat

7. 2010

Peserta, Pertemuan Sela Nasional

Mahasiswa Hubungan

Internasional se Indonesia


(4)

(PSNMHII) ke XXII di Universitas Pasundan Bandung

8. 2010

Peserta, Pertemuan Nasional

Mahasiswa Hubungan

Internasional se-Indonesia XXII Universitas Nasional, Jakarta

Bersertifikat

9. 2011

Peserta, Kuliah Umum “Strategi Politik Luar Negeri Indonesia” Auditorium Miracle UNIKOM Bandung

Bersertifikat

10. 2011

Lokakarya Nasional “Reformasi dewan Keamanan PBB” Kemlu RI Bandung

Bersertifikat

11. 2011

Presidium Nasional, Pertemuan Sela Nasional Mahasiswa Hubungan Internasional se-Indonesia XXIII Universitas Slamet Riyadi, Solo

Bersertifikat

12. 2011 Peserta, Seminar Pengembangan Aplikasi GIS untuk Pengelolaan, Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan, US Com Labs, ITB, Bandung

Bersertifikat

13. 2011 Presidium Nasional, Pertemuan Nasional Mahasiswa Hubungan Internasional se-Indonesia XXIII Universitas Katholik Parahyangan, Bandung

Bersertifikat

14. 2011

Peserta, Seminar Net Preneur : Meraih Peluang Bisnis Melalui Internet, Auditorium Miracle UNIKOM

Bersertifikat

15. 2011

Peserta, Seminar Internasional “ Revitalisasi Gerakan Non-Blok dalam Dunia yang Berubah: Peran Indonesia dan Tantangan ke Depan, Gedung KAA Bandung.

Bersertifikat

16. 2012

Peserta, Simulasi Sidang ASEAN “Asean Community Building”. Auditorium Miracle UNIKOM

Bersertifikat 17. 2012 Peserta, Seminar

Kewarganegaraan “Proud To Be


(5)

Indonesian : Generasi

Kebanggaan Bangsa. Auditorium Miracle UNIKOM

18. 2012 Peserta, Seminar “Reaktualisasi Nilai-nilai Pancasila di Kalangan Generasi Muda”. Auditorium Miracle UNIKOM

Bersertifikat

19. 2012 Simulasi Sidang ASEAN “Asean Community Building 2015’. Auditorium Miracle UNIKOM

Bersertifikat

KOMPETISI

No. Tahun Uraian Keterangan

1. 2011 Mahasiswa Berprestasi Tingkat FISIP 2010-2011 Unikom

Peringkat III

2. 2011

2011 National debate Competition on international Humanitarian Law, Gajah Mada University

Peringkat VI 3. 2011 National University English

Debate Championship 2011 - 4. 2010 Democracy Video Challenge 2010

United States Embassy Indonesia

Perwakilan Asia Pasifik 5. 2010 National University English

Debate Championship 2010 -

6. 2009

Asian Law Students Association National English Competition 2009, University of Indonesia

- 7. 2009 The ICON Universitas


(6)

KEAHLIAN/BAKAT

No. Uraian

1. Operasionalisasi Microsoft Office 2. Bahasa Inggris Pasif dan Aktif

3 English Debate

4. Operasionalisasi Geography Information System 5. Fotografi, Film-Making dan Grafis

Bandung, 4 September 2012 Hormat Saya,