PERAN INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS (ICRC) DALAM KONFLIK ACEH MELALUI PROGRAM RESTORING FAMILY LINK

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sepanjang sejarah umat manusia, selalu timbul perbedaan kepentingan dan tujuan di antara negara-negara yang ada. Perbedaan-perbedaan tersebut kemudian berdampak pada dinamika hubungan internasional. Dampak positif dari dinamika interaksi internasional ini ialah munculnya ide untuk bekerjasama. Akan tetapi dampak negatifnya adalah timbulnya konflik. Konflik merupakan akibat yang terjadi karena keinginan para pihak yang tidak sejalan. Lebih jauh tidak jarang kemudian konflik diselesaikan dengan mengangkat senjata. Namun satu hal yang tidak dapat dipungkiri ialah bahwa konflik atau perang akan selalu meminta banyak korban baik harta benda maupun korban jiwa yang secara langsung atau tidak langsung terlibat di dalamnya. Korban perang tidak memandang status sipil atau kombatan akan menjadi pihak yang paling menderita akibat pecahnya perang.

Di antara peperangan yang terjadi di dunia ialah perang Solferino1 pada 24

Juni tahun 1859. Sebagai saksi mata, Jean Henry Dunant seorang warga negara Swiss melihat dampak korban perang ini sangat memperihatinkan karena ia melihat banyak korban yang meninggal tanpa ada yang mengurusi dan korban yang terluka tanpa ada yang merawat. Berdasar pengalaman tersebut Henry Dunant tergerak hatinya untuk membantu korban perang baik dari kombatan maupun penduduk sipil tanpa memandang status apapun. Dibantu beberapa

1

Solferino sebuah kota di utara Italia. Tentara Austria dan Prancis terjebak dalam pertempuran pahit dan setelah 16 jam pertempuran, tanah dipenuhi dengan 40.000 orang tewas dan terluka. Lihat Discover ICRC. September 2005. Hal 6


(2)

2 rekannya ia mendirikan suatu komite yang tujuannya membantu korban perang hingga sekarang dikenal sebagai International Committee of The Red Cross (ICRC).

ICRC memprakarsai kegiatan kemanusiaan sesuai peranannya sebagai organisasi yang netral dan tidak memihak. Dalam kaitannya dengan operasi kemanusiaan di suatu negara, ICRC perlu bekerjasama dengan perhimpunan nasional (organisasi Palang Merah atau Bulan Sabit Merah di suatu negara). Salah satu tujuannya adalah membantu perhimpunan nasional dalam membantu korban konflik bersenjata di dalam negeri, mempromosikan Hukum Humaniter Internasional dan memulihkan kontak antara anggota keluarga yang terpisah sebagai bagian dari jaringan penelusuran Palang Merah dan Bulan Sabit Merah di

seluruh dunia2. Sejak didirikan tahun 1863, kini ICRC telah beroperasi di delapan

puluh negara3. Adapun misi yang diemban ICRC ialah melindungi kehidupan dan

martabat para korban perang dan kekerasan dalam negeri dan memberi mereka bantuan, berusaha untuk mencegah penderitaan dengan memajukan dan memperkuat Hukum Humaniter Internasional (HHI) dan prinsip-prinsip kemanusiaan universal, juga mengatur dan mengkoordinasi kegiatan bantuan darurat kemanusiaan Internasional yang dilakukan oleh Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional dalam situasi konflik.

Di banyak negara yang terkena dampak konflik kekerasan, ICRC mengunjungi orang-orang yang dirampas kebebasannya dan berusaha untuk memastikan bahwa mereka memiliki kontak teratur dengan keluarga mereka. Jika

2

Ibid. hal 45 3


(3)

3 diperlukan dan dalam kordinasi dengan pihak berwenang dalam tahanan, ICRC memfasilitasi kunjungan keluarga, memfasilitasi percakapan telepon dan memungkinkan para tahanan untuk mengirim pesan tertulis kepada keluarga mereka. Tetap berhubungan dengan sanak saudara dapat berkontribusi untuk kesejahteraan psikologis setiap orang yang bersangkutan. Dan untuk tahanan di beberapa negara, kunjungan keluarga merupakan dukungan penting untuk memastikan bahwa mereka menerima makanan yang cukup atau bantuan dasar lainnya. Inilah dampak yang ditimbulkan akibat konflik karena pada saat konflik terjadi terkandung di dalamnya suasana panik, kacau, dan teror sehingga dalam beberapa menit anggota keluarga dapat dipisahkan dan kadang-kadang menyebabkan trauma bertahun-tahun karena ketidakpastian tentang nasib anak-anak, pasangan atau orang tua.

Di antara pengalaman ICRC di negara lain dalam membantu korban konflik agar tetap terhubung dengan anggota keluarga mereka ialah, pengalaman pemulihan hubungan keluarga di Liberia. Pengalaman pemulihan hubungan keluarga di Liberia menunjukkan bahwa terjadi migrasi pengungsi korban konflik di Pantai Gading beberapa waktu lalu. PBB memperkirakan pengungsi di Liberia

berjumlah 90.0004. Sejak arus pengungsian dimulai, ICRC telah mencatat 54

anak-anak yang terpisah dari orang tua mereka. Di samping itu, ICRC juga telah menyediakan 600 panggilan telepon gratis bagi pengungsi Pantai Gading dalam

4Liberia/Cote d’Ivoire: Red Cross Steps Up Work to Restrore Family Links. Dalam

http://www.icrc.org/eng/resources/documents/news-release/2011/liberia-cote-d-ivoire-news-2011-03-24.htm. diakses pada 16 November 2011


(4)

4 rangka memulihkan hubungan keluarga dan juga ditunjang dengan lebih dari 350

pesan kepada orang-orang tercinta5.

Demikian juga dengan krisis kemanusiaan di Somalia yang mendorong arus pengungsian ke negara tetangga Kenya, tepatnya di daerah Dadaab, sebuah daerah

sekitar 70 kilometer perbatasan dengan Somalia6. Dalam merespon kebutuhan

psiko-sosial pengungsi di daerah tersebut, maka dilakukan upaya preventif untuk mencegah putusnya tali hubungan dengan keluarga yang terpisah. Salah satu kebutuhan yang paling mendesak bagi para pendatang baru dari Somalia adalah untuk bisa terhubung dengan anggota keluarga yang mereka tinggal untuk

memberi kabar bahwa mereka telah tiba dengan selamat. Layanan RFL di camp

pengungsian ini telah dimulai pada tahun 1980.Pada waktu itu para pengungsi diberi kesempatan untuk menulis pesan Palang Merah (Red Cross Message) untuk kerabat mereka di Somalia dan seluruh dunia. Akan tetapi pada perkembangannya dilakukan cara yang inovatif yaitu menghubungi keluarga yang terpisah melalui telephone mobile. Hal ini dikarenakan sulitnya medan konflik dan mamakan

waktu lama. Ternyata cara ini merupakan cara yang cepat, efisien dan murah7.

Di Indonesia, ketegangan dalam negeri yang melibatkan pemerintah pusat dan gerakan separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dimulai pada tahun 1976

ketika GAM mendeklarasikan berdirinya negara Aceh8. Ini adalah pengalaman

kedua bagi masyarakat Aceh setelah sebelumnya keterangan politik dikeluarkan

5

Ibid

6

Somalia/Kenya: Preventing Loss of Family Ties Refugees with A Phone Call. Dalam http://www.icrc.org/eng/resources/documents/interview/2011/somalia-interview-2011-09-20.htm. diakses pada 16 November 2011

7

Ibid

8


(5)

5 oleh para ulama pada tanggal 21 September 1953 yang menggabungkan Aceh ke dalam Gerakan Darul Islam. Hal itu yang kemudian memicu konflik bersenjata antara pemerintah pusat dan GAM. Pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan GAM dan juga kebijakan pemerintah Indonesia dalam bentuk Daerah Operasi Militer (DOM) semakin meningkatkan ketegangan dalam negeri yang memicu terjadinya pelanggaran HAM terhadap warga sipil maupun korban

angkatan bersenjata kedua belah pihak9. Data yang dicatat dari Koalisi

Pengungkap Kebenaran Aceh, terungkap bahwa rentang waktu kekerasan yang terjadi dimulai dari tahun 1950-an, yaitu sejak periode DI/TII (tahun 1953-1963), konflik politik 1965 (1965-1970), pra DOM (1976-1989), DOM (1989-1998)

hingga pasca dicabutnya status DOM (tahun 1998-2005)10.

Konflik berkepanjangan di Aceh telah membuat penderitaan begitu nyata yang diakibatkan oleh pecahnya konflik bersenjata antara GAM dan pemerintah Indonesia. Ribuan wanita menderita karena menjadi janda saat suami mereka

dibunuh atau diculik dan anak-anak menjadi yatim piatu11. Perekonomian

masyarakat Aceh juga mengalami stagnasi. Hal ini disebabkan karena menurunnya daya beli masyarakat yang sangat drastis, pasar menjadi sepi karena masyarakat takut keluar rumah, banyak pedagang yang tidak berani mendatangkan barang karena terlalu riskan berspekulasi dengan situasi keamanan

9

Farhan Hamid. 2008. Partai Politik Lokal Di Aceh Desentralisasi Politik Dalam Negara Kebangsaan. Jakarta: Kemitraan. Hal 206

10

Koalisi Pengungkap Kebenaran Aceh. 2007. Tawaran Model Penyelesaian Pelanggaran Berat HAM di Aceh. Hal 17

11

Suraiya Kamaruzzaman. Violence, Internal Displacement and its Impact on the Women of Aceh. Dalam Violent Conflict in Indonesia Analysis, Representation, Resolution (Ed). 2006. New York: Routledge. Hal 259


(6)

6 yang tidak pasti. Efek jangka panjang dari semua penderitaan ini ialah trauma psikologis yang cukup besar.

Konflik yang panjang, deretan data korban dan kerugian yang diakibatkan konflik menjadikan konflik di Aceh dengan cepat menjadi isu internasional sehingga menggerakkan ICRC dalam melakukan operasi kemanusiaan utamanya berkaitan dengan suatu program reunifikasi keluarga yang terpisah karena pecahnya konflik bersenjata. Dalam ICRC program reunifikasi tersebut disebut

dengan istilah Restoring Family Link atau pemulihan hubungan keluarga. Program

ini didasari pada kenyataan bahwa penduduk sipil maupun kombatan tidak luput menjadi korban konflik bersenjata. Pada saat bersamaan penduduk sipil berada dalam pusat peperangan dan di tempat tersebut tidak ada pihak yang menengahi

selain pihak ketiga12. Dengan seperti ini baik sipil maupun kombatan berpotensi

terpisah dari keluarganya karena konflik bersenjata meninggalkan lebih dari luka fisik.

Alasan mengapa keluarga dapat terpisah selama konflik bersenjata memang banyak dan bervariasi. Selain fakta bahwa orang-orang mudah kehilangan jejak satu sama lain ketika melarikan diri dari zona konflik, mereka juga diculik dan dibunuh. Sayangnya tubuh orang mati sering tidak teridentifikasi dengan benar. Orang-orang kadang ditahan tanpa keluarga mereka mendapat informasi tentang keberadaan mereka. Dalam hal konflik status ICRC yang netral dan independen menjadi landasan utama dalam memfasilitasi upaya penyatuan kembali hubungan keluarga yang terpisah akibat pecahnya konflik bersenjata.

12

Andi Widjajanto, 2003, “Peran Masyarakat Sipil Dalam Konflik. Jurnal Civic Vol 1 no 3, UI Hal 43


(7)

7 Konflik bersenjata di Aceh mungkin tidak bisa disamakan dengan konflik di belahan dunia yang lain karena ada beberapa unsur perbedaaan di dalamnya. Namun yang pasti adalah bahwa dengan pecahnya konflik bersenjata baik penduduk sipil maupun kombatan berpotensi terpisah dengan orang yang mereka

cintai, maka kebutuhan yang mendesak ialah kebutuhan akan kabar (need to

know) dari anggota keluarga. Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas,

lebih lanjut penulis ingin meneliti lebih jauh lagi tentang peran ICRC dalam konflik bersenjata di Aceh melalui program RFL ini.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang permasalahan tersebut ada satu pertanyaan yang kemudian menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu: Bagaimana

peranan ICRC dalam konflik bersenjata di Aceh melalui program Restoring

Family Link?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini penulis bertujuan untuk mengetahui bentuk program Restoring Family Link yang dilakukan oleh ICRC sebagai upaya membantu meringankan penderitaan korban konflik bersenjata antara pemerintah RI dan

GAM. Di samping itu penulis juga ingin mengetahui manfaat Restoring Family


(8)

8 1.3.2 Manfaat Penelitian

1.3.2.1 Manfaat Teoritis

Besar harapan penulis bahwa dengan penelitian ini, akan memperluas wacana dan kajian dalam disiplin ilmu Hubungan Internasional terutama mengenai transformasi aktor dalam hubungan internasional dari aktor negara (state actor) kepada aktor non negara (non-state actor) yang belakangan peran aktor non negara juga sama besarnya dengan peran yang dimiliki negara.

1.3.2.2Manfaat Praktis

Dari sisi praktis penulis juga berharap penelitian ini menambah referensi wacana keilmuan dan menambah wawasan bagi mahasiswa maupun umum yang berminat dalam meneliti ICRC sehingga bisa dikembangkan dalam bentuk penelitian-penelitian sejenis.

1.4 Studi Terdahulu

Studi dan riset tentang operasi kemanusiaan ICRC di Indonesia yang penulis temui lebih mengarah pada konteks hukum internasional namun mempunyai beberapa permasalahan yang sama dengan topik penulisan yang diangkat. Dalam skripsi yang ditulis Kukuh Tejomurti dipaparkan bahwa peran ICRC dalam situasi konflik bersenjata meliputi perlindungan yang dilakukan

dalam upayanya mempertahankan dan melindungi hukum humaniter

internasional. Perlindungan-perlindungan tersebut antara lain memulihkan

hubungan keluarga13. Dalam program pemulihan hubungan keluarga (Restoring

13

Kukuh Tejomurti .Peranan International Committee of The Red Cross dalam Konflik Bersenjata (Studi dalam Konflik Bersenjata di Aceh). 2010. Laporan Penelitian Fakultas Hukum Universitas


(9)

9 Family Link) ICRC memiliki badan khusus yaitu Biro Pusat Pencarian atau Central Tracing Agency. Melalui biro tersebut setiap tahun dibuka ratusan ribu kasus mengenai orang yang dicari oleh keluarganya baik itu pengungsi internal, pengungsi eksternal, tahanan ataupun orang hilang.

Bagi tahanan perang dan keluarganya, memperoleh berita dari satu sama lain adalah sesuatu yang sangat penting. ICRC memberi kesempatan kepada tahanan perang, internir sipil, tahanan keamanan, kadang-kadang juga tahanan

hukum untuk berkomunikasi dengan keluarganya14. Oleh karena itu dalam situasi

konflik bersenjata keadaan menjadi tidak menentu dan keluarga dicekam oleh ketidakpastian tentang nasib anggota keluarganya yang hilang. Dengan hukum humaniter internasional, ICRC membantu mekanisme bersama dengan pihak berwenang yang bertujuan untuk mengklarifikasi keberadaan orang yang hilang dan memberikan informasi kepada keluarganya.

Pelaksanaan operasi ICRC di Indonesia sendiri sebenarnya telah berjalan sekian lama dimulai pada tahun 1977 dengan disepakatinya kerja sama antara

Indonesia dan ICRC. Perjanjian bilateral tersebut adalah: pertama, Memorandum

of Understanding between the International Committee of the Red Cross and the Government of the Republic of Indonesia on the Visit to Detainee Camps in Indonesia of 1977. Untuk mempersingkat, perjanjian ini disebut MoU 1977.

Kemudian yang kedua adalah, Agreement between the Government of the

Republic of Indonesia and the International Committee of the Red Cross on the Sumatera Utara. Dalam

http://library.usu.ac.id/index.php?option=com_journal_review&id=14991&ask=viewt. Diakses pada 16 Januari 2012

14


(10)

10 Establishment of the ICRC Regional Delegation in Jakarta of 17 October 1987. Demikian pula perjanjian yang kedua penulis sebut Agreement 1987. Dengan kedua perjanjian tersebut ICRC tentunya seizin pemerintah dapat melakukan operasi kemanusiaan di Indonesia. Melalui MoU 1977, ICRC diperkenankan mengunjungi tahanan di lembaga pemasyarakatan di Indonesia begitu juga dengan disepakatinya Agreement 1987 ICRC dapat membuka kantor delegasi di Jakarta.

Agustinus Supriyanto dalam tulisannya Dampak Pelaksanaan Tugas ICRC

di Indonesia terhadap Prospek Kerjasama Indonesia dan ICRC di Bidang Perlindungan Kemanusiaan membagi masa pelaksanaan tugas ICRC di Indonesia

yaitu sebelum tahun 1977 dan sesudah tahun 197715. Bagian pertama sebelum

tahun 1977. Meskipun perjanjian bilateral baru disepakati pada tahun 1977, akan tetapi sebelum itu kerjasama ICRC dengan pemerintah Indonesia telah terjalin sejak tahun 1950, kegiatan antara tahun 1950 hingga tahun 1977 antara lain:

1. 1950-1952: ICRC mengunjungi tahanan militer dan sipil dalam bentrokan

penolakan masuknya Maluku Selatan ke Republik Indonesia.

2. 1969: ICRC melakukan kunjungan tahanan-tahanan politik setelah empat

tahun upaya kudeta komunis tahun 1965.

3. 1975: pada konflik Timor Timur, ICRC saat itu dapat memberikan

perlindungan dan bantuan berupa kunjungan tahanan, pertukaran berita Palang Merah, pencatatan data-data orang hilang, pencarian jejak dan penyelamatan.

15

Agustinus Supriyanto. “Dampak Pelaksanaan Tugas ICRC di Indonesia Terhadap Prospek Kerjasama Indonesia dan ICRC di Bidang Perlindungan Kemanusiaan”.1998, Jurnal Mimbar Hukum, VIII (31). Dalam http://i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId=2026. Diakses pada 22 Oktober 2011


(11)

11 Sedangkan setelah tahun 1977 kegiatan operasi ICRC meliputi:

1. Mengunjungi Tahanan Politik

2. Kunjungan terhadap Keluarga Tahanan Politik

3. Tugas ICRC melalui Badan Pusat Pencarian

4. ICRC sebagai Penengah yang Netral

5. Pertolongan terhadap Bencana Alam, dan

6. Penyebaran Hukum Humaniter Internasional16

Yang menarik di sini adalah pada poin tiga masa operasi ICRC setelah tahun 1977 yaitu Tugas ICRC melalui sebuah badan pencarian (The Central Tracing Agency/CTA). CTA lahir dari kebutuhan pada saat terjadinya konflik bersenjata, khususnya yang berhubungan dengan tawanan perang. Dengan kata lain jika tujuan ICRC adalah meringankan penderitaan fisik maka sejalan dengan itu tujuan CTA adalah meringankan penderitaan mental. Apabila seseorang menjadi tawanan perang maka semakin besar pula penderitaaan yang dialami keluarganya karena tidak mengetahui nasibnya. Maka hal yang mesti dilakukan ialah tersedianya informasi untuk menyampaikan kabar berita kepada keluarga. Dengan menghubungkan kembali komunikasi yang terputus antar keluarga badan ini telah berupaya meringankan beban psikologisnya.

Pada perkembangan berikutnya, badan ini tidak saja menangani situasi tawanan perang, akan tetapi ruang lingkupnya menjadi luas dan mencakup berbagai kasus yaitu menjalin hubungan antara pihak keluarga yang terpisah karena perang, ketegangan dalam negeri dan bencana. Operasi di lokasi

16


(12)

12 pengungsian juga dilakukan dalam menyalurkan berita keluarga dengan merilis daftar orang hilang maupun daftar keluarga yang mencari anggota keluarganya yang kehilangan kontak. Pusat badan ini yang berada di Jenewa menyimpan arsip nama-nama tawanan, pengungsi dan orang hilang. Data-data tersebut sangat dirahasiakan. Dalam usaha menghubungkan dengan keluarga, CTA melakukan

kerjasama yang erat dengan perhimpunan nasional di masing-masing negara17.

Hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian terdahulu ialah dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada peran yang dimainkan ICRC

yaitu program Restoring Family Link, suatu program upaya penyatuan kembali

hubungan antar keluarga yang terpisahkan akibat pecahnya konflik bersenjata. Program ini juga satu hal yang belum banyak dibahas secara khusus dalam penelitian-penelitian terdahulu melainkan membahasnya secara umum saja. Dalam penelitian yang telah dipaparkan penulis melihat bahwa pembahasan

program Restoring Family Link kurang mendalam karena program ini merupakan

salah satu bagian dari peran ICRC dalam konflik bersenjata di Aceh melalui kesepakatan hubungan bilateral dengan Indonesia.

1.5 Kerangka Konseptual 1.5.1 Teori Global Civil Society

Global Civil Society telah lama menjadi bahan diskusi berbagai kalangan yang menekankan pada keadaan masyarakat yang memiliki akses terbatas pada ekonomi, sosial dan politik yang memicu timbulnya asosiasi-asosiasi masyarakat

mandiri dimana antara mereka saling mendukung. Global Civil Society adalah:

17


(13)

13

“Ruang ide, nilai, organisasi, individu yang terletak terutama di luar kompleks

kelembagaan keluarga, pasar dan negara, dan di luar batas-batas masyarakat

nasional, politik dan ekonomi”18

. Dari definisi ini terdapat dua unsur penting

dalam Global Civil Society yaitu; pertama, ia berada di luar area kelembagaan

seperti negara. Kedua, gerakannnya melewati batas-batas tradisional negara baik

secara sosial, politik dan ekonomi. Anthony Giddens menyebutkan bahwa global

civil society erat kaitannya dengan fenomena globalisasi19. Dikatakan demikian karena globalisasi merupakan kondisi terkompresinya ruang dan waktu sehingga dalam dunia yang luas ini batas territorial negara seperti tidak ada dan perbedaan waktu menjadi tidak penting karena kemajuan teknologi informasi. Dan dengan perkembangan teknologi informasi ini globalisasi telah menampilkan gejala

menjamurnya kesadaran (awareness) masyarakat global akan gagasan-gagasan

baru tentang pemenuhan kebutuhan publik secara mandiri tanpa mengganggu peran negara.

Global Civil Society mencakup spektrum luas dari perserikatan-perserikatan sukarela dan gerakan-gerakan sosial. NGO, kelompok penekan, gerakan sosial, dan jaringan advokasi merupakan pihak yang paling disebut

sebagai aktor transnasional20. Global Civil Society tidak ada hubungannyadengan

negara dimana tidak ada batas untuk melakukan hubungan dengan negara lain dan mempunyai kekuatan untuk menuntut dilaksanakannya nilai-nilai seperti hak-hak

18

Mary Kaldor, Helmut Anheier, Marlies Glasius, eds., 2003. Global Civil Society. London: Oxford, O.U.P. Hal 4.

19

Philips Jusario Vermonte.Globalisasi dan Wacana Global Civil Society. Pikiran Rakyat edisi 26 Maret 2002

20

Victor Marques. Global Civil Society. The Rise A New Global Actor?. Dalam

http://comum.rcaap.pt/bitstream/123456789/1108/1/NeD113_VictorMarquesSantos.pdf diakses pada 03 November 2012


(14)

14

asasi manusia, lingkungan dan lain-lain. Kekuatan global civil society berasal dari

kemampuannya untuk memanfaatkan arus globalisasi dimana global civil society

mencerminkan kompleksitas masyarakat dunia sehingga masyarakat sipil secara bersama melalui kemampuannya mempengaruhi pandangan internasional.

Dengan demikian Global Civil Society membentuk suatu jejaring kerja

yang terdiri atas asosiasi atau perserikatan mandiri. Jejaring kerja ini bergerak secara simultan dan berupaya untuk mengimplementasikan: 1). Proses demokratisasi melalui perluasan partisispasi rakyat dalam proses pembuatan

kebijakan-kebijakan publik; 2). Prinsip good governance dalam pencapaian

political public goods; 3). Pemerataan distribusi kesejahteraan; dan 4). Prinsip

non-kekerasan untuk mengatasi masalah-masalah sosial21.

ICRC diklasifikasikan dalam global civil society dikarenakan di dalamnya

terdapat perjuangan masyarakat internasional yang sadar akan masalah-masalah kemanusiaan dan sensitif terhadap isu-isu global yang berbasis pada aspek kemanusiaan yang sering terabaikan bila pecah konflik bersenjata baik yang berskala internasional maupun dalam lingkup internal. ICRC dengan keunikan statusnya juga memanfaatkan kekuatan arus globalisasi dengan secara ketat menyebarkan Hukum Humaniter Internasional kepada berbagai kalangan.

1.5.2 Konsep Organisasi Internasional

Munculnya organisasi internasional bertolak dari adanya perkembangan yang pesat di bidang teknologi, komunikasi dan transportasi. Perkembangan tersebut memicu individu-individu dan kelompok lain untuk tidak bergerak

21


(15)

15 sebagai aktor negara saja melainkan dapat juga berperan sebagai aktor non negara dalam hubungan internasional. Semakin besarnya frekuensi kerjasama ditambah dengan adanya suatu kesamaan maksud dan tujuan dalam kerjasama tersebut membuat para aktor tersebut membentuk suatu organisasi internasional. Menurut

Clive Archer, organisasi internasional ialah: “Suatu struktur formal dan

berkelanjutan yang dibentuk atas suatu kesepakatan antara anggota-anggota (pemerintah dan non-pemerintah) dari dua atau lebih negara berdaulat dengan

tujuan untuk mengejar kepentingan bersama para anggotanya”22

May Rudy mendefinisikan organisasi internasional sebagai:

Pola kerja sama yang melintasi batas-batas negara dengan didasari struktur organisasi yang jelas dan lengkap serta diharapkan untuk berlangsung serta melaksanakan fungsinya secara berkesinambungan dan melembaga guna mengusahakan tercapainya tujuan-tujuan yang diperlukan serta disepakati bersama baik antara pemerintah dengan pemerintah maupun antara sesama

kelompok non pemerintah pada negara yang berbeda23.

Organisasi Internasional juga dapat diklasifikasi menurut keanggotaannya, Clive Archer membaginya menjadi dua macam, yaitu;

1. Type of Membership (tipe keanggotaan)

a. Inter-Governmental Organizations (IGO), yaitu organisasi internasional dengan wakil pemerintahan-pemerintahan sebagai angota.

b. International Non-Governmental Organizations (INGO), yaitu

organisasi internasional dimana anggotanya bukan mewakili

pemerintahan.

2. Extent of Membership (jangkauan keanggotaan)

a. Keanggotaan yang terbatas dalam wilayah tertentu.

22

Clive Archer. 1983. International Organizations. London: Routledge. Hal 63 23


(16)

16

b. Keanggotaan yang mencakup seluruh wilayah di dunia24

Dari pemaparan klasifikasi organisasi internasional berdasarkan

keanggotaannya tersebut bisa disimpulkan bahwa ICRC merupakan International

Non-Governmental Organization (INGO), karena bentuk gerakan dan anggotanya bukan merupakan pihak-pihak yang mewakili pemerintah suatu negara. Selain itu dalam jangkauan keanggotaannya, ICRC memiliki anggota yang mencakup seluruh wilayah di dunia tanpa terbatas pada suatu wilayah tertentu. Adapun kriteria persyaratan bagi suatu INGO menurut The Union of International Associations, sebagaimana dikutip oleh May Rudy ialah:

1. Tujuan organisasi harus sepenuhnya bersifat/berciri internasional dengan

menegaskan keterlibatan organisasi lebih daripada sekedar hubungan bilateral (antara dua negara), atau sekurang-kurangnya mencakup kegiatan organisasi pada tiga negara.

2. Keanggotaannya harus terbuka, mencakup individu-individu serta

kelompok-kelompok di wilayah atau negara yang termasuk dalam ruang lingkup organisasitersebut, dengan sekurang-kurangnya mencakup individu atau kelompok dari tiga negara.

3. Anggaran Dasar organisasi harus mengandung ketentuan mengenai

pemilihan atau penggantian pimpinan dan pengurus secara berkala atau periodik, dengan tata cara pemilihan yang disusun sedemikian rupa guna menghindari pengisian jabatan-jabatan dan pengendalian organisasi hanya oleh satu negara saja.

24


(17)

17

4. Pendanaaan atau pembiayaaan pokok (substansial) bagi kegiatan

organisasi harus berasal, atau mencakup sumbangan dari

sekurang-kurangnya tiga negara25.

Sebagai organisasi yang ruang lingkupnya melewati batas-batas negara, ICRC dapat menyelenggarakan kegiatan-kegiatan perlindungan kemanusiaan di berbagai negara sesuai dengan mandat yang diberikan masyarakat internasional melalui konvensi Jenewa 1949 yaitu melindungi korban konflik bersenjata internasional dan non-internasional.

1.5.3 Konsep Resolusi Konflik

Resolusi Konflik merupakan terminologi ilmiah yang menekankan kebutuhan untuk melihat perdamaian sebagai suatu proses terbuka dan membagi proses penyelesaian konflik dalam beberapa tahap sesuai dengan dinamika siklus

konflik26. Menurut Johan Galtung ada tiga tahap dalam penyelesaian konflik

yaitu: peacemaking, peacekeeping dan peacebuilding27.

Peacemaking adalah proses menghentikan atau mengurangi aksi kekerasan melalui intervensi militer yang menjalankan peran sebagai penjaga perdamaian

yang netral. Peacemaking adalah proses yang tujuannya mempertemukan atau

merekonsiliasi sikap politik dan strategi dari pihak yang bertikai melalui mediasi,

negosiasi, arbitrasi terutama pada level elit atau pimpinan. Peacebuilding adalah

25

T. May Rudy. Op.cit. Hal 20 26

Andi Widjajanto. OpCit 27

Yulius Hermawan (ed). 2007. Transformasi Dalam Studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu dan Metodologi. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal 93


(18)

18 proses implementasi perubahan atau rekonstruksi sosial, politik, dan ekonomi

demi terciptanya perdamaian yang langgeng28.

Peacebuilding menurut Miall et.al dimulai ketika Sekjen PBB,

Boutros-Ghali yang menyatakan pembangunan perdamaian “as action to identify and

support structures which will tend to strengthen and solidify peace in order to avoid relapse into conflict”29. Rizal Sukma mengatakan bahwa setelah dikenalkan

oleh Boutros-Ghali, peacebuilding mencakup juga berbagai upaya untuk

menanggulangi akibat-akibat yang ditimbulkan oleh konflik dan menghilangkan

akar penybebab konflik (root causes of conflict)30.

Untuk itu peacebuilding bertujuan; 1. Menciptakan keamanan dan

ketertiban publik, 2. Membangun kerangka kelembagaan dan politik bagi terwujudnya perdamaian jangka panjang. 3. Menjamin keadilan dan penegakan

hukum (rule of law). 4. Mendukung pemulihan psiko-sosial dan trauma konflik,

dan 5. Meletakkan dasar sosial-ekonomi bagi terwujudnya perdamaian jangka

panjang31. Tidak semua tujuan tadi bisa menjelaskan peran ICRC dalam konflik

Aceh melainkan, program RFL yang diangkat dalam tulisan ini utamanya untuk mendukung proses pemulihan psiko-sosial karena konflik. Bagaimanapun peacebuilding merupakan hal penting dalam situasi konflik untuk meningkatkan hubungan para pihak dan memenuhi kebutuhan dasar yang terhambat oleh

28

Aleksius Jemadu. 2008. Politik Global dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal 208

29

Hugh Miall, Oliver Rambsbotham & Tom Woodhouse. 2000. Reflections on UN Post-Settlement Peacebuilding”, dalam International Peacekeeping 7, no. 1: 169–89. Oxford: Polity Press.

30

Rizal Sukma. Peacebuilding: Arti penting dan Tujuan. Makalah hasil FGD Propatria 5 Februari 2009. Dalam: http://www.propatria.or.id/loaddown/Paper%20Diskusi/Peacebuilding%20--%20Arti%20Penting%20dan%20Tujuan%20%5BRS%5D.pdf diakses 16 November 2012 31


(19)

19

pecahnya konflik. Sehingga melalui proses peacebuilding diharapkan negative

peace (atau the absence of violence) berubah menjadi positive peace dimana masyarakat merasakan adanya keadilan sosial, kesejahteraan ekonomi dan

keterwakilan politik yang efektif32.

Peacebuilding merupakan tahapan penting dalam konflik bersenjata di Aceh karena meningkatnya kebutuhan-kebutuhan dasar seperti informasi keberadaan dan nasib anggota keluarga yang terpisah. Dan dengan reunifikasi keluarga, berarti kegiatan proses pembangunan pada saat maupun pasca konflik

telah berjalan. Dan dengan internalisasi proses peacebuilding dalam jangka waktu

yang lama akan memperkecil peluang kembali terjadinya konflik dan penggunaan kekerasan.

1.5.4 Konsep Humanitarian Action

Untuk memahami konsep humanitarian action, maka perlu diketahui dari

mana gagasan aksi kemanusiaan ini lahir. Akibat dari adanya konflik sepanjang sejarah manusia konflik tersebut telah menciptakan kehancuran dan menimbulkan penderitaan terutama masyarakat sipil. Penduduk sipil selalu menjadi pihak yang dikorbankan walaupun sebenarnya mereka bukan merupakan pihak yang berkonflik. Mereka hampir kehilangan semua hal, penduduk sipil telah meninggalkan rumah mereka untuk menghindari medan perang. Orang dari seluruh dunia menyadari bahwa perlu dilakukan sesuatu untuk mencegah akibat yang ditimbulkan dari konflik yang mungkin lebih parah.

32


(20)

20 Oleh karena itu dasar tindakan kemanusiaan adalah untuk mencegah penderitaan manusia dan menjaga kelangsungan hidup mereka. Kemudian mencoba untuk menjamin akses semua pihak terhadap air, sanitasi, pangan,

kesehatan dan psikologis. Singkatnya gagasan humanitarian action berangkat dari

situasi dimana orang-orang terasing dari esensi mereka sebagai manusia, untuk menjamin akses terhadap kebutuhannya perlu bantuan segera dari masyarakat internasional.

Menurut Kelly, konsep humanitarian action dibangun atas dasar

prinsip-prinsip yang tercantum dalam konvensi-konvensi Jenewa 1949, yaitu: prinsip-prinsip

kemanusiaan, netralitas dan imparsialitas33. Setelah Perang Dunia II

negara-negara sepakat untuk meratifikasi Konvensi Jenewa yang mengatur cara-cara perang guna meminimalisir efek perang terhadap warga sipil. Namun demikian konvensi tersebut dibuat untuk memberikan aturan main bahwa semua pihak harus menghormati martabat sebagai manusia.

Barnnet sebagaimana dikutip Srikandi menekankan bahwa prinsip kemanusiaan merupakan komitmen paling dasar dari kerja kemanusiaan yang

dilakukan para aktor dalam humanitarian action34. Kemudian prinsip netralitas

mensyaratkan aksi kemanusiaan untuk tidak memihak salah satu pihak yang bertikai dalam konflik, dan prinsip imparsialitas mengacu pada pola kerja kemanusiaan yang dilakukan tanpa diskriminasi dengan tidak mempertimbangkan kewarganegaraan, suku, agama atau ras pada saat menolong mereka yang

33Jocelyn Kelly.“

When NGOs beget NGOs: Practicing Responsible Proliferation”. Journal of Humanitarian Assistance 29 April 2009. Dalam http://sites.tufts.edu/jha/archives/451 diakses pada 22 Oktober 2011

34Annisa Gita Srikandi. 2010. “ComprehensiveSecurity dan Humanitarion Action”. Jurnal Multiversa, vol 01 No. 2 UGM Yogyakarta. Hal 245


(21)

21 membutuhkan. Prinsip-prinsip dasar tersebut harus menjadi prioritas utama di atas kepentingan apapun.

Dalam Journal of Humanitarian Assistance, Nockerts dan Arsdale

mendefinisikan humanitarianism sebagai kerja kemanusiaan lintas batas negara

guna menolong mereka yang membutuhkan35. Jika digambarkan sebagai berikut:

Humanitarianism

Human Rights

Pada bagan di atas terlihat bahwa kewajiban (obligation) berperan penting

dalam mendefinisikan humanitarianism. Jocelyn Kelly memaparkan bahwa

kewajiban moral adalah salah satu hal yang melatarbelakangi humanitarianism36.

Kewajiban moral diartikan sebagai keharusan untuk melakukan sesuatu bagi

mereka yang membutuhkan. Bantuan kemanusiaan (humanitarian aid) kemudian

dijelaskan sebagai kegiatan memberikan sesuatu kepada mereka yang tidak memiliki37.

Lebih lanjut lembaga kemanusiaan yang menjadi struktur bagi para aktor

dalam humanitarian action dibangun dengan pendekatan liberal institutionalism

35

Regina A. Nockerts dan Peter W. Van Arsdale, “Theory of Obligation”. Journal of Humanitarian Assistance. 12 Mei 2008.http://sites.tufts.edu/jha/archives/138. diakses pada 22 Oktober 2011 36

Kelly Op.Cit

37

Nockerts dan Arsdale Op.Cit

Need

OBLIGATION


(22)

22 yang menekankan bahwa negara memainkan peran penting namun bukan

satu-satunya aktor dalam politik internasional38. Artinya ada ruang bagi aktor non

negara untuk dapat berperan aktif dalam dinamika hubungan internasional. Dalam beberapa kasus dimana negara tidak mampu mengatasi konflik maka dengan cepat konflik tersebut berubah menjadi krisis kemanusiaan akibat blokade bantuan kemanusiaan. Hal ini yang kemudian mendorong negara untuk berkomitmen

terhadap humanitarian action dan di sini pula aktor non negara berkeinginan

untuk intervensi dan mengemban tugas yang tidak bisa sepenuhnya dilakukan oleh negara.

Dalam hal ini prinsip kemanusiaan dan tidak memihak menjadi penting bagi organisasi internasional seperti ICRC dalam upaya memenuhi kewajiban moral mereka sebagai organiasasi kemanusiaan untuk dapat memberikan perlindungan bagi korban-korban konflik bersenjata di Aceh mengenai upaya menyatukan kembali antar anggota keluarga.

1.5.5 Hukum Humaniter Internasional

Pendekatan Hukum Humaniter Internasional dijadikan landasan pemikiran untuk melihat peran ICRC dalam konflik bersenjata di Aceh karena hukum humaniter internasional menjadi kekuatan dan payung hukum yang digunakan ICRC dalam melakukan operasi kemanusiaan di daerah konflik termasuk dalam kasus Aceh. Kemajuan teknologi persenjataan dengan daya rusak yang masif menegaskan bahwa betapa pentingnya hukum yang mengatur perilaku aktor-aktor hubungan internasional dalam memilih jalan penyelesaian konflik.

38


(23)

23 Mohtar Kusumaatmaja berpendapat bahwa Hukum Humaniter adalah: bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri39. Lebih lanjut Mohtar membagi humaniter menjadi dua yaitu:

a. Jus Ad Bellum yaitu hukum yang mengatur tentang perang. Mengatur dalam hal ini ialah mengatur dalam hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan senjata

b. Jus In Bello yaitu hukum yang berlaku dalam perang, hukum ini kemudian dibagi menjadi dua antara lain: pertama yang mengatur cara dilakukannya

perang (conduct of war). Kedua yang mengatur perlindungan orang-orang

yang menjadi korban perang40.

Berikut adalah instrumen hukum humaniter, yaitu; pertama adalah

Konvensi-konvensi Jenewa 1949 meliputi41:

1. Konvensi Jenewa I: tentang perbaikan keadaan anggota angkatan perang yang terluka dan sakit di medan pertempuran darat.

2. Konvensi Jenewa II: tentang perbaikan keadaan anggota angkatan perang

di laut yang terluka, sakit dan korban kapal karam.

3. Konvensi Jenewa III: tentang perlakuan terhadap tawanan perang.

39

Mochtar Kusumaatmadja. 1980. Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia. hal. 5

40

Haryomataram. 1994. Hukum Humaniter. Jakarta: CV. Rajawali. Hal 2-3 41

The Geneva Conventions and their Additional Protocols. Dalam

http://www.icrc.org/eng/war-and-law/treaties-customary-law/geneva-conventions/overview-geneva-conventions.htm diakses pada 22 Oktober 2011


(24)

24 4. Konvensi Jenewa IV: tentang perlindungan orang-orang sipil di waktu

perang.

Kemudian yang kedua adalah Protokol-protokol Tambahan yang disepakati pada tahun 1977 meliputi:

1. Protokol Tambahan I: perlindunngan korban sengketa bersenjata internasional.

2. Protokol Tambahan II: perlindungan korban sengketa bersenjata non internasional.

3. Protokol Tambahan III: adopsi tentang penggunaan lambang kristal merah sebagai tambahan dari lambang yang sudah ada yaitu palang merah dan bulan sabit merah.

Dalam program RFL yang dilakukan, ICRC mendasarinya pada ketentuan sebagai berikut:

1. Pasal 25 Konvensi Jenewa IV. Pasal ini berbunyi:

All persons in the territory of a Party to the conflict, or in a territory occupied by it, shall be enabled to give news of a strictly personal nature to members of their families, wherever they may be, and to receive news from them. This correspondence shall be forwarded speedily and without undue delay”.

2. Pasal 26 Konvensi Jenewa IV, yang berbunyi:

“Each Party to the conflict shall facilitate enquiries made by members of families dispersed owing to the war, with the object of renewing contact with one another and of meeting, if possible. It shall encourage, in particular, the work of organizations engaged on this task provided they

are acceptable to it and conform to its security regulations”.

Hukum Humaniter Internasional merupakan landasan bagi ICRC untuk melindungi korban konflik di Aceh karena konflik bersenjata telah diatur


(25)

25 batasannya dalam hukum tersebut dan merupakan tugas ICRC juga dalam mempromosikan nilai-nilai hukum humaniter baik di kalangan TNI/POLRI ataupun angkatan bersenjata lain seperti GAM sebagai tindakan preventif demi mengurangi dampak kebrutalan konflik bersenjata.

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Ruang Lingkup Penelitian

Dalam penelitian ini diperlukan adanya ruang lingkup penelitian, yang mana tujuannya adalah agar pembahasan masalah berkembang ke arah sasaran yang tepat dan tidak keluar dari kerangka permasalahan yang ditentukan.Ruang lingkup atau batasan meliputi batasan materi dan batasan waktu. Adapun batasan materi dalam penelitian ini adalah peran ICRC dalam konflik bersenjata di Aceh

melalui program Restoring Family Link. Sedangkan batasan waktunya adalah

kurun waktu antara tahun 1989 hingga 2005. Penulis melihat kurun waktu tersebut adalah masa-masa dimana eskalasi konflik menjadi menarik karena sifatnya yang fluktuatif sehingga potensi jatuhnya banyak korban sangat mungkin terjadi hilangnya kontak dengan keluarga dan kemudian mendorong ICRC untuk melakukan pemulihan hubungan keluarga.

1.6.2 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara cermat karakteristik dari suatu gejala atau masalah yang

diteliti, penelitian deskriptif juga fokus pada pertanyaan dasar “bagaimana”42.

42


(26)

26 Ulber Silalahi mengutip pendapat Mayer dan Greenwood dalam bukunya Metode Penelitian Sosial bahwa penelitian deskriptif mempunyai dua jenis yaitu deskripsi kuantitatif dan deskripsi kualitatif. Deskripsi kualitatif semata-mata mengacu pada identifikasi sifat-sifat yang membedakan atau karakteristik sekelompok manusia, benda atau peristiwa. Deskripsi seperti ini melambangkan tahap permulaan dari perkembangan suatu disiplin. Deskripsi kuantitatif sebaliknya menyajikan tahap yang lebih lanjut dari observasi. Setelah memiliki seperangkat skema klasifikasi seperti itu, penyelidik kemudian mengukur besar atau distribusi sifat-sifat itu di antara anggota-anggota kelompok tertentu. Dalam hal ini muncul peranan teknik-teknik statistik. Karena tujuan penelitian yang tidak menggunakan metode-metode statistik dalam penelitian ini, maka kemudian jenis penelitian ini juga tergolong deskriptif kualitatif.

1.6.3 Metode Pengumpulan Data

Dalam proses penulisan penelitian dibutuhkan data-data yang diperlukan. Selain itu metode pengumpulan data juga penting untuk diperhatikan di sini. Adapun metode pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan melakukan studi pustaka untuk lebih mengakuratkan dari sisi keilmuan. Hal ini dilakukan dengan cara mencari data-data yang relevan dengan topik permasalahan yang diangkat dengan mempelajari dan memahami literatur-literatur melalui buku, jurnal, artikel, maupun media massa baik cetak maupun elektronik. Proses pengumpulan data dilakukan di laboratorium jurusan Hubungan Internasional, pepustakaan Universitas Muhammadiyah Malang dan juga perpustakaan digital yang disediakan universitas lain melalui internet. Lebih lanjut penulis juga


(27)

27 mengunjungi kantor ICRC di Jakarta untuk memperoleh data yang akurat dan relevan dengan topik permasalahan. Dengan demikian data yang dikumpulkan adalah data sekunder dan primer.

1.6.4 Metode Analisa Data

Tahap berikutnya adalah menganalisa data-data yang telah dikumpulkan.

Untuk memaparkan dan menjelaskan secara mendalam tentang program Restoring

Family Link yang dilakukan ICRC dalam konflik bersenjata antara pemerintah RI dan GAM penulis menggunakan analisa kualitatif yang dilakukan apabila data empiris yang diperoleh berupa kumpulan data berwujud kata-kata dan bukan rangkaian angka-angka.

Dalam penelitian ini kemudian peneliti merujuk pendapat Miles dan Huberman tentang kegiatan analisa yang terdiri dari tiga alur yaitu:

Reduksi Data

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstraksian dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Ia juga merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.

Penyajian Data

Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Melalui data yang disajikan kita melihat dan akan dapat memahami apa yang sedang


(28)

28 terjadi dan apa yang harus dilakukan berdasar atas pemahaman yang didapat dari penyajian-penyajian tersebut.

Menarik Kesimpulan

Ini adalah tahapan terakhir dari analisa data yaitu menarik kesimpulan dan verifikasi. Ketika kegiatan pengumpulan data dilakukan seorang penganalisis kualitatif mulai mencari arti benda-benda, pola-pola- penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab dan proposisi. Dalam tahap ini makna-makna yang muncul dari data harus diuji kebenarannya, kekukuhannya, dan

kecocokannya yakni yang merupakan validitasnya43.

1.7 Argumen Dasar

Dalam berbagai tindakannya ICRC mendasarinya dengan hukum humaniter internasional yang mana itu merupakan mandat yang diberikan masyarakat internasional untuk memberikan perlindungan korban konflik bersenjata internasional maupun non-internasional seperti konflik di Aceh. Program Restoring Family Link merupakan satu program yang dimiliki ICRC untuk membantu korban konflik atau bencana supaya mereka dapat terus berhubungan dengan anggota keluarganya. Dalam konflik bersenjata di Aceh, ICRC melakukan operasi kemanusiaan melalui upaya reunifikasi keluarga melalui pertukaran pesan palang merah dan juga kunjungan tahanan keluarga mereka yang mendekam di penjara yang berlokasi di Jawa.

Dengan sistem kerjasama yang baik dengan Palang Merah Indonesia, memungkinkan ICRC juga melakukan tindakan preventif terhadap dampak

43


(29)

29 pecahnya munculnya konflik bersenjata di Aceh yaitu dengan mempromosikan nilai-nilai dalam hukum humaniter internasional yang dipaparkan terhadap angkatan bersenjata kedua belah pihak yang bertikai yaitu TNI/POLRI maupun angkatan bersenjata GAM.

Sejarah telah membuktikan bahwa konflik telah mengakibatkan beberapa orang terpisah dari keluarganya. Perlu suatu tindakan untuk menyatukan mereka dengan keluarga yang terpisah. ICRC merupakan salah satu organisasi lintas negara yang mempunyai program perlindungan warga sipil melalui reunifikasi anggota keluarga. Dan operasinya di Indonesia, ICRC telah memiliki perjanjian yang disepakati bersama pemerintah, sehingga memungkinkan ICRC dalam

menjalankan program Restoring Family Link dalam kaitannya dengan konflik di

Aceh.

1.8Struktur Penulisan

Penelitian ini akan dijabarkan dalam beberapa bab. Pembagian bab disesuaikan dengan urutan kerangka pemikiran yang membentuk keseluruhan dari penelitian ini. Secara sederhana format kajian atau sistematika penulisan dalam penelitian ini dijabarkan secara urut dari bab pertama hingga bab terakhir sebagai berikut:

Bab I: Pendahuluan

Bab ini merupakan susunan kerangka penulisan yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Studi Terdahulu, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian, Argumen Dasar dan Struktur Penulisan.


(30)

30 Bab II: Konflik Aceh dan kehadiran ICRC

Pada bagian bab ini akan dibahas tentang Sejarah konflik Aceh dan berbagai masalah kemanusiaan yang hadir di dalamnya. Kemudian dibahas juga mengenai sejarah ICRC sebagai promotor Konvensi Jenewa yang mengikat beberapa negara untuk memberikan akses kpada ICRC dalam intervensi terhadap berbagai konflik bersenjata tertentu. Kemudian pada bab ini dibahas juga tentang seluk beluk operasi ICRC di Indonesia dan karena konteks permasalahannya adalah konflik bersenjata di Aceh maka dibahas juga mengenai peran ICRC dalam konflik di Aceh.

Bab III: Restoring Family Link Sebagai Program ICRC

. Dalam bab ini penulis akan membahas tentang program RFL, mulai dari sejarah diadakannya kemudian urgensi dan landasan hukum dari program ini dan terkahir dipaparkan mengenai bentuk-bentuk implementasi dari program RFL ini. Bab IV: Posisi dan Peran ICRC Dalam Konflik Aceh Melalui Program Restoring Family Link

Pada bab ini akan disajikan data-data hasil penelitian yang diolah kemudian dianalisa melalui kerangka konseptual yang telah dipaparkan sebelumnya. Sehingga diperoleh hasil analisa yang obyektif

Bab V : Penutup

Merupakan bab terakhir. Pada Bab ini berisi tentang kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan dan juga berisi saran-saran guna kebutuhan serta masukan-masukan kepada penulis ataupun pembaca yang hendak meneliti topik permasalahan yang sama.


(31)

31

BAGIAN BAB JUDUL PEMBAHASAN

Satu I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian 1.3.2 Manfaat Penelitian 1.3.2.1 Manfaat Teoritis 1.3.2.2 Manfaat Praktis 1.4 Studi Terdahulu

1.5 Kerangka Konseptual

1.51 Teori Global Civil Society

1.5.2 Konsep Organisasi Internasional

1.5.3 Konsep Resolusi Konflik

1.5.4 Konsep Humanitarian Action

1.5.5 Hukum Humaniter Internasional 1.6 Metodologi Penelitian

1.6.1 Ruang Lingkup Penelitian 1.6.2 Jenis Penelitian

1.6.3 Metode Pengumpulan Data 1.6.4 Metode Analisa Data 1.7 Argumen Dasar

1.8 Struktur Penelitian Dua II Konflik Aceh

dan Kehadiran ICRC

2.1 Konflik di Aceh

2.1.1 Sekilas Konflik Aceh 2.1.2 Masalah Kemanusiaan 2.2 Sejarah ICRC

2.2.1 Fungsi ICRC menurut Konvensi Jenewa 1949


(32)

32 2.2.2 Intervensi terhadap Konflik

Tertentu

2.3 Operasi ICRC di Indonesia 2.3.1 Hubungan Bilateral ICRC-

Indonesia

2.3.2 Aktifitas Gerakan di Indonesia 2.3.3 Intervensi ICRC dalam Konflik

Aceh Tiga III Restoring

Family Link Sebagai Program ICRC

3.1 Sejarah RFL 3.2 Urgensi RFL

3.3 Landasan Hukum Humaniter 3.4 Bentuk-bentuk Program RFL 3.5 Kegiatan RFL pada masa Orde Baru 3.6 Kegiatan RFL pasca Reformasi

Empat IV Posisi dan

Peran ICRC dalam Konflik Aceh

melalui Program RFL

4.1 Kegiatan Peace Building

4.2 Posisi dan Peran ICRC 4.3 Tindakan Preventif

Lima V Kesimpulan

dan Saran

5.1 Kesimpulan 5.2 Saran


(33)

i SKRIPSI

PERAN INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS (ICRC) DALAM KONFLIK ACEH

MELALUI PROGRAM RESTORING FAMILY LINK

Disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Memperoleh gelar Sarjana Strata-1

Jurusan Hubungan Internasional

Oleh : KHUNAIPI

07260059

Oleh : KHUNAIPI NIM : 07260059

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2012


(34)

ii

LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Khunaipi

NIM : 07260059

Jurusan :Hubungan Internasional

Judul :PERAN INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED

CROSS DALAM KONFLIK ACEH MELALUI PROGRAM RESTORING FAMILY LINK

Telah dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jurusan Hubungan Internasional Dan Dinyatakan Lulus Pada hari : Rabu

Tanggal : 12 November 2012

Mengesahkan,

Dekan FISIP - UMM:

Dr. Wahyudi, M.Si

DewanPenguji TandaTangan

1. Tonny D. Effendi, M.Si 1.(_________)

2. Ruli Inayah Ramadhoan, M.Si 2.(_________)

3. Ayusia Sabhita, M.Soc. Sc 3.(_________)


(35)

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat, Taufik, serta Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul

“Peran International Committee of The Red Cross (ICRC) Dalam Konflik Aceh

melalui program Restoring Family Link”. Kalimat shalawat selalu teriring kepada

Nabi Muhammad SAW atas bimbingan yang diberikan kepada para pengikutnya. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan berkat bantuan, dukungan, bimbingan serta arahan dari banyak pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terina kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ayah dan ibuku yang telah berjuang dengan tetesan keringat, tetesan air mata,

kucuran do’a sepanjang jalan, membesarkan, memberi dukungan moriil dan

spiritual sehingga aku dapat melewati masa-masa sulit selama ini.

2. Para Dosen di jurusan Hubungan Internasional, terima kasih atas kedalaman

ilmu yang telah ditransfer.

3. Kedua pembimbing Bapak Tonny Dian Effendi, M.Si dan Bapak Ruli Inayah

Ramadhoan, M.Si yang telah bersedia dengan tulus ikhlas meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, arahan demi terselesaikannya skripsi ini.

4. Kakak dan Adekku; angNung & angupan, ang Een & mas Nasori, Shol &

Isyanto. Pasukan cilik di rumah; Hasin, Neha, Nela, twin Nanda-Nindi, Kirey dan Zahwa. Inget yang akur jadi anak yang baik.


(36)

iv

5. Keluargaku relawan KSR-PMI UMM, Mie Mie (rururu), Puri, Anik, Putri,

James, Nyanyuk Ikhwan dan semua. Dari markas saya menemukan ide skripsi tentang ICRC dan RFL ini.

6. Penghuni kos Toha Jaya gang 8 Tirto; Darsen, Gino, Antok, Fery, Anjar, Hadi,

Hilman, Alung, Dido, Rambo, Pitik, ning Ipe, mba Lely dan mba Pipit.

7. Sunser 317 Malang; Abror, Sukijan, Samzuke, Jalal, Hamdan, Ariel, Luken

dan Agus. Para srikandi Firda, Ipeh, Uus, Putri dan Ana

8. Teman-teman terbaik di HI; Abe, Samsul, Faridi, Fuad, Andrea, Aziz dan

Hafid terima kasih telah menjadi temanku. Tak lupa all members IR 2007.

9. Kepada neng Siti Jail Ghufiroh, S.Si yang tanpa lelah membantu dalam

berbagai hal. Terima kasihku untuk semua waktumu…

10.Kepada semua pihak yang telah banyak membantu.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan. Segala kritik dan saran yang bersifat membangun akan penulis terima dengan sengang hati. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri maupun orang lain yang memerlukan.

Malang, 10 November 2012


(37)

v DAFTAR ISI

Halaman Judul ... ... i

Lembar Persetujuan ... ... ii

Lembar Pengesahan ... ... iii

Lembar Pernyataan... ... iv

Kronologi Bimbingan Skripsi ... ... v

Abstraksi ... ... vi

Abstract ... ... vii

Halaman Moto ... ... viii

Kata Pengantar ... ... ix

Daftar Isi... ... xi

BAB I: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 7

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 8

1.3.2.1 Manfaat Teoritis ... 8

1.3.2.2 Manfaat Praktis ... 8

1.4 Studi Terdahulu ... 8

1.5 Kerangka Konseptual ... 12

1.5.1 Teori Global Civil Society ... 12


(38)

vi

1.5.3 Konsep Resolusi Konflik ... 17

1.5.4 Konsep Humanitarian Action ... 19

1.5.5 Hukum Humaniter Internasional ... 22

1.6 Metodologi Penelitian ... 25

1.6.1 Ruang Lingkup Penelitian ... 25

1.6.2 Jenis Penelitian ... 25

1.6.3 Metode Pengumpulan Data ... 26

1.6.4 Metode Analisa Data ... 27

1.7 Argumen Dasar ... 28

1.8 Struktur Penelitian ... 29

BAB II: KONFLIK ACEH DAN KEHADIRAN ICRC 2.1 Konflik di Aceh ... 33

2.1.1 Sekilas Konflik Aceh ... 33

2.1.2 Masalah Kemanusiaan ... 37

2.2 Sejarah ICRC ... 39

2.2.1 Fungsi ICRC menurut Konvensi Jenewa 1949 ... 43

2.2.2 Intervensi terhadap Konflik tertentu ... 44

2.3 Operasi ICRC di Indonesia ... 45

2.3.1 Hubungan Bilateral ICRC-Indonesia ... 45

2.3.2 Aktifitas Gerakan di Indonesia ... 46


(39)

vii

BAB III: RESTORING FAMILY LINK (RFL) SEBAGAI PROGRAM ICRC

3.1 Sejarah RFL ... 50

3.2 Urgensi RFL ... 53

3.3 Landasan Hukum Humaniter ... 57

3.4 Bentuk-bentuk Program RFL ... 65

3.5 Kegiatan RFL pada masa Orde Baru ... 70

3.6 Kegiatan RFL pasca Reformasi ... 72

BAB IV: POSISI DAN PERAN ICRC DALAM KONFLIK ACEH MELALUI PROGRAM RFL 4.1 Kegiatan Peacebuilding ... 77

4.2 Posisi dan Peran ICRC ... 80

4.3 Tindakan Preventif ... 81

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 87


(40)

viii

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:

Ambarwati dkk. 2009. Hukum Humaniter Internasional Dalam Studi Hubungan Internasional. Jakarta: Rajawali Pers

Archer, Clive. 1992. International Organizations. London and New York: Routledge

Barnnet, Michael & Weiss, Thomas (ed). 2008. Humanitarian Action in Question: Politics, Power, Ethics. New York: Cornell University Press.

Bennet, A. LeRoy & Oliver, James K. 2002. International Organizations Principles and Issues. New Jersey: Prentice Hall

Brown, Pam. 1993. Henry Dunant, Mereka yang Berjasa Bagi Dunia. Jakarta: PT. Gramedia Utama

Fisher, Ronald., J. 1997. Interactive Conflict Resolution. New York: Syracuse University Press

Hamid, Farhan. 2008. Partai Politik Lokal Di Aceh Desentralisasi Politik Dalam Negara Kebangsaan. Jakarta: Kemitraan.

Haryomataram. 1994. Hukum Humaniter. Jakarta: CV. Rajawali

Hermawan, Yulius (ed). 2007. Transformasi Dalam Studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu, dan Metodologi. Yoyakarta: Graha Ilmu

ICRC. 2009. Kenali ICRC. Jakarta: ICRC

Jemadu, Aleksius. 2008. Politik Global Dalam Teori Dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu.


(41)

ix

Kaldor Mary (eds). 2003. Global Civil Society. London: Oxford, O.U.P

Kamaruzzaman, Suraiya. Violence, Internal Displacement and its Impact on the

Women of Aceh. Dalam Violent Conflict in Indonesia Analysis, Representation, Resolution (Ed). 2006. New York: Routledge

Kontras. 2004. Mempertimbangkan Pemilu Aceh Di Bawah Darurat Militer. Jakarta: Kontras

Kontras. 2006. Aceh Damai Dengan Keadilan?. Mengungkap Kekerasan Masa Lalu. Jakarta: Kontras

Kusumaatmadja, Mochtar. 1980. Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia. Bandung: Bina Cipta.

Mas’oed, Mohtar. 1990. Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi. Jakarta: LP3ES.

Mu’in, H.Umar, 1999. Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah

Internasional & Perhimpunan Palang Merah Indonesia. Jakarta:Gramedia Pustaka

Utama.

Nurhasim dkk. 2003. Konflik Aceh Analisis Atas Sebab-Sebab Konflik, Aktor Konflik, Kepentingan Dan Upaya Penyelesaian. Jakarta: LIPI

Marzuki, Nashrun dan Warsidi, Adi (ed). 2001. Fakta Bicara Mengungkap pelanggaran HAM Di Aceh 1989-2005. Banda Aceh: Koalisi NGO HAM

Oemar, Nadjmuddin. 2001. Rindu Damai Di Tanah Rencong. Dalam Demokrasi, Kekerasan, Disintegrasi. Jakarta: Kompas

Rudy, T. May. 2006. Hukum Internasional 1. Bandung: Refika Aditama Rudy, T. May. 2006. Hukum Internasional 2. Bandung: Refika Aditama


(42)

x

Rudy, T. May. 2005. Administrasi & Organisasi Internasional. Bandung: Refika Aditama

Silalahi, Ulber 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Refika Aditama

Sjamsuddin, Nazaruddin. 1989. Integrasi Politik Di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia

Starke, J.G. 2000. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Sinar Grafika

Susan, Novri. 2009. Pengantar Sosiologi Konflik Dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana

Taras, Raymond C. dan Ganguly, Rajat. 2002. Understanding Ethnic Conflict

The International Dimension. New York: Longman

Sumber Internet:

ICRC. www.icrc.org

ICRC Delegasi Jakarta. www.icrcjakarta.info

Kukuh, Tejomurti. Peranan International Committee of The Red Cross dalam

Konflik Bersenjata (Studi dalam Konflik Bersenjata di Aceh). Laporan Penelitian Jurusan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Tahun 2010.

http://library.usu.ac.id/index.php?option=com_journal_review&id=14991 &task=viewDiakses pada 16 Januari 2012


(43)

xi

Supriyanto, Agustinus. Dampak Pelaksanaan Tugas ICRC di Indonesia Terhadap

Prospek Kerjasama Indonesia dan ICRC di Bidang Perlindungan Kemanusiaan. Jurnal Mimbar Hukum 1998, VIII (31).

http://i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId=2026. Diakses pada 22 Oktober 2011

Kelly, Jocelyn. When NGOs beget NGOs: Practicing Responsible Proliferation.

Journal of Humanitarian Assistance 29 April 2009.

http://sites.tufts.edu/jha/archives/451 diakses pada 22 Oktober 2011

Nockerts, Regina A. dan Arsdale, Peter W. Van. Theory of Obligation. Journal of

Humanitarian Assistance. 12 Mei 2008.

http://sites.tufts.edu/jha/archives/138. diakses pada 22 Oktober 2011

Iskandar Zulkarenaen. Peran Pihak Ketiga Dalam Penyelesaian Konflik Aceh;

Kegagalan HDC Serta prospek Damai MoU Helsinki.

http://www.aceheye.org/data_files/bahasa_format/analysis_bhs/analysis_o thers/analysis_others_2005_00_00.pdf. diakses pada 01 Mei 2012

Sumber Jurnal

Agustinus Supriyanto. “Revisi Perjanjian Bilateral ICRC dan Indonesia Sebagai

Sarana Mengoptimalkan Tugas Kemanusiaan ICRC”. Jurnal Mimbar Hukum.UGM Yogyakarta

Alain Aeschlimann. 2005. “Perlindungan Tahanan: Kegiatan ICRC di Tempat Penahanan”. Jurnal International Review of The Red Cross. Vol 87 No 857 Andi Widjajanto, 2003, “Peran Masyarakat Sipil Dalam Konflik”. Jurnal Civic Vol 1 no 3, UI


(44)

xii

Annisa Gita Srikandini. 2010. “Comprehensive Security dan Humanitarion

Action”. Jurnal Multiversa, vol 01 No. 2 UGM Yogyakarta

David P. Forsythe, 2007, “The ICRC: A Unique Humanitarian Protagonist”,

Jurnal International Review of the Red Cross, Volume 89 Number 865

Jacob Kellenberger, 2009, “Respon ICRC terhadap Pengungsi Internal:

Kekuatan, tantangan, dan Kendala”, Jurnal International Review of The Red Cross. Vol 91 No 87

Maarten Merkelbach, 2000,” Reuniting Children Separated from Their Families

after The Rwandan Crisis of 1994: The Relative Value of a Centralized Database”, Jurnal International Review of the Red Cross, vol 82 No. 838

Marco Sassòli dan Marie-Louise Tougas, 2002, “The ICRC and The Missing”.

Jurnal International Review of The Red Cross, Vol 84

Marion Harroff-Tavel, 1993, “Kegiatan Komite Internasional Palang Merah

(ICRC) Pada Waktu Kekerasan Dalam Negeri, Jurnal International Review of The Red Cross. Vol 75 No 294

Riyanto. “Intervensi Kemanusiaan Melalui Organisasi Internasional”. Jurnal Mimbar Hukum, vol 19 No 02. UGM Yogyakarta


(1)

vii

BAB III: RESTORING FAMILY LINK (RFL) SEBAGAI PROGRAM ICRC

3.1 Sejarah RFL ... 50

3.2 Urgensi RFL ... 53

3.3 Landasan Hukum Humaniter ... 57

3.4 Bentuk-bentuk Program RFL ... 65

3.5 Kegiatan RFL pada masa Orde Baru ... 70

3.6 Kegiatan RFL pasca Reformasi ... 72

BAB IV: POSISI DAN PERAN ICRC DALAM KONFLIK ACEH MELALUI PROGRAM RFL 4.1 Kegiatan Peacebuilding ... 77

4.2 Posisi dan Peran ICRC ... 80

4.3 Tindakan Preventif ... 81

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 87


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:

Ambarwati dkk. 2009. Hukum Humaniter Internasional Dalam Studi Hubungan Internasional. Jakarta: Rajawali Pers

Archer, Clive. 1992. International Organizations. London and New York: Routledge

Barnnet, Michael & Weiss, Thomas (ed). 2008. Humanitarian Action in Question: Politics, Power, Ethics. New York: Cornell University Press.

Bennet, A. LeRoy & Oliver, James K. 2002. International Organizations Principles and Issues. New Jersey: Prentice Hall

Brown, Pam. 1993. Henry Dunant, Mereka yang Berjasa Bagi Dunia. Jakarta: PT. Gramedia Utama

Fisher, Ronald., J. 1997. Interactive Conflict Resolution. New York: Syracuse University Press

Hamid, Farhan. 2008. Partai Politik Lokal Di Aceh Desentralisasi Politik Dalam Negara Kebangsaan. Jakarta: Kemitraan.

Haryomataram. 1994. Hukum Humaniter. Jakarta: CV. Rajawali

Hermawan, Yulius (ed). 2007. Transformasi Dalam Studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu, dan Metodologi. Yoyakarta: Graha Ilmu

ICRC. 2009. Kenali ICRC. Jakarta: ICRC

Jemadu, Aleksius. 2008. Politik Global Dalam Teori Dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu.


(3)

ix

Kaldor Mary (eds). 2003. Global Civil Society. London: Oxford, O.U.P

Kamaruzzaman, Suraiya. Violence, Internal Displacement and its Impact on the Women of Aceh. Dalam Violent Conflict in Indonesia Analysis, Representation, Resolution (Ed). 2006. New York: Routledge

Kontras. 2004. Mempertimbangkan Pemilu Aceh Di Bawah Darurat Militer. Jakarta: Kontras

Kontras. 2006. Aceh Damai Dengan Keadilan?. Mengungkap Kekerasan Masa Lalu. Jakarta: Kontras

Kusumaatmadja, Mochtar. 1980. Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia. Bandung: Bina Cipta.

Mas’oed, Mohtar. 1990. Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi. Jakarta: LP3ES.

Mu’in, H.Umar, 1999. Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional & Perhimpunan Palang Merah Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Nurhasim dkk. 2003. Konflik Aceh Analisis Atas Sebab-Sebab Konflik, Aktor Konflik, Kepentingan Dan Upaya Penyelesaian. Jakarta: LIPI

Marzuki, Nashrun dan Warsidi, Adi (ed). 2001. Fakta Bicara Mengungkap pelanggaran HAM Di Aceh 1989-2005. Banda Aceh: Koalisi NGO HAM

Oemar, Nadjmuddin. 2001. Rindu Damai Di Tanah Rencong. Dalam Demokrasi, Kekerasan, Disintegrasi. Jakarta: Kompas

Rudy, T. May. 2006. Hukum Internasional 1. Bandung: Refika Aditama Rudy, T. May. 2006. Hukum Internasional 2. Bandung: Refika Aditama


(4)

Rudy, T. May. 2005. Administrasi & Organisasi Internasional. Bandung: Refika Aditama

Silalahi, Ulber 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Refika Aditama

Sjamsuddin, Nazaruddin. 1989. Integrasi Politik Di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia

Starke, J.G. 2000. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Sinar Grafika

Susan, Novri. 2009. Pengantar Sosiologi Konflik Dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana

Taras, Raymond C. dan Ganguly, Rajat. 2002. Understanding Ethnic Conflict The International Dimension. New York: Longman

Sumber Internet: ICRC. www.icrc.org

ICRC Delegasi Jakarta. www.icrcjakarta.info

Kukuh, Tejomurti. Peranan International Committee of The Red Cross dalam Konflik Bersenjata (Studi dalam Konflik Bersenjata di Aceh). Laporan Penelitian Jurusan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Tahun 2010.

http://library.usu.ac.id/index.php?option=com_journal_review&id=14991 &task=viewDiakses pada 16 Januari 2012


(5)

xi

Supriyanto, Agustinus. Dampak Pelaksanaan Tugas ICRC di Indonesia Terhadap Prospek Kerjasama Indonesia dan ICRC di Bidang Perlindungan Kemanusiaan. Jurnal Mimbar Hukum 1998, VIII (31).

http://i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId=2026. Diakses pada 22 Oktober 2011

Kelly, Jocelyn. When NGOs beget NGOs: Practicing Responsible Proliferation. Journal of Humanitarian Assistance 29 April 2009.

http://sites.tufts.edu/jha/archives/451 diakses pada 22 Oktober 2011 Nockerts, Regina A. dan Arsdale, Peter W. Van. Theory of Obligation. Journal of Humanitarian Assistance. 12 Mei 2008.

http://sites.tufts.edu/jha/archives/138. diakses pada 22 Oktober 2011 Iskandar Zulkarenaen. Peran Pihak Ketiga Dalam Penyelesaian Konflik Aceh; Kegagalan HDC Serta prospek Damai MoU Helsinki.

http://www.aceheye.org/data_files/bahasa_format/analysis_bhs/analysis_o

thers/analysis_others_2005_00_00.pdf. diakses pada 01 Mei 2012

Sumber Jurnal

Agustinus Supriyanto. “Revisi Perjanjian Bilateral ICRC dan Indonesia Sebagai

Sarana Mengoptimalkan Tugas Kemanusiaan ICRC”. Jurnal Mimbar

Hukum.UGM Yogyakarta

Alain Aeschlimann. 2005. “Perlindungan Tahanan: Kegiatan ICRC di Tempat Penahanan”. Jurnal International Review of The Red Cross. Vol 87 No 857 Andi Widjajanto, 2003, “Peran Masyarakat Sipil Dalam Konflik”. Jurnal Civic Vol 1 no 3, UI


(6)

Annisa Gita Srikandini. 2010. “Comprehensive Security dan Humanitarion Action”. Jurnal Multiversa, vol 01 No. 2 UGM Yogyakarta

David P. Forsythe, 2007, “The ICRC: A Unique Humanitarian Protagonist”, Jurnal International Review of the Red Cross, Volume 89 Number 865

Jacob Kellenberger, 2009, “Respon ICRC terhadap Pengungsi Internal: Kekuatan, tantangan, dan Kendala”, Jurnal International Review of The Red Cross. Vol 91 No 87

Maarten Merkelbach, 2000,” Reuniting Children Separated from Their Families after The Rwandan Crisis of 1994: The Relative Value of a Centralized Database”, Jurnal International Review of the Red Cross, vol 82 No. 838

Marco Sassòli dan Marie-Louise Tougas, 2002, “The ICRC and The Missing”. Jurnal International Review of The Red Cross, Vol 84

Marion Harroff-Tavel, 1993, “Kegiatan Komite Internasional Palang Merah (ICRC) Pada Waktu Kekerasan Dalam Negeri, Jurnal International Review of The Red Cross. Vol 75 No 294

Riyanto. “Intervensi Kemanusiaan Melalui Organisasi Internasional”. Jurnal Mimbar Hukum, vol 19 No 02. UGM Yogyakarta


Dokumen yang terkait

Efektivitas peran International Committee of the Red Cross (ICRC) dalam menangani masalah kekeringan di Kenya tahun 2008-2012

1 4 75

Kebijakan luar negeri Indonesia terhadap konflik Palestina pasca Agresi Israel di Jalur Gaza (2008)

1 23 83

Efektivitas Kinerja International Committee Of The Red Cross (ICRC) Dalam Penegakan Hukum Humaniter Internasional Pada Konflik Bersenjata Israel - Hezbollah Tahun 2006

0 18 190

Efektivitas Kinerja International Committee Of The Red Cross (ICRC) Dalam Penegakan Hukum Humaniter Internasional Pada Konflik Bersenjata Israel - Hezbollah Tahun 2006

6 64 190

THE ROLE OF INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS ASSISTS HUMANITY IN ARMED CONFLICT COUNTRY PERAN INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS DALAM MEMBANTU BIDANG KEMANUSIAAN DI WILAYAH KONFLIK BERSENJATA

5 44 87

Pengaruh Komite Audit Sebagai Struktur Corporate Governance dan Profitabilitas Terhadap Pengungkapan Corporate Social Responsibility Dalam Sustainability Report: Studi Empiris Perusahaan Yang Terdaftar di Bei Periode 2010-2014

3 18 135

INTERNATIONAL HUMAMTARIAN LAW RBGULATION ON THE USE AND THE PROTECTION OF THE EMBLEM OF INTERNATIONAL RED CROSS AND RED CRESCENT MOVEMENT.

0 1 11

AKSI SOSIALISASI THE INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS DALAM UPAYA PENGGIATAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DI INDONESIA TAHUN 2011-2015.

0 0 1

Document prepared jointly by the International Committee of the Red Cross and the International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies

0 1 14

THE ORGANIZING COMMITTEE International Standing Committee of IPM

0 0 13