tugas mandiri kewarganegaraan

(1)

TUGAS MANDIRI

"DAMPAK KORUPSI ,

KOLUSI DAN NEPOTISME"

Mata Kuliah : Kewarganegaraan

Nama Mahasiswa : Yolla Anggari

NPM : 120210212

Dosen : Tim Dosen

UNIVERSITAS PUTERA BATAM

2012


(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan petunjukNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Mandiri Kewarganegaraan tentang DAMPAK KORUPSI ,KOLUSI DAN NEPOTISME yang mana makalah ini disusun bertujuan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah kewarganegaraan di Universitas Putera Batam.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan keterbatasan dalam penyajian data program di makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pembaca demi kesempurnaan makalah yang ditulis ini. Semoga makalah ini berguna dan dapat menambah ilmu pengetahuan pembaca.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih sebanyak-banyak nya kepada semua pihak yang telah ikut membantu penulis dalam menyelesaikan penyusunan makalah ini dan yang telah banyak membantu dari awal hingga akhir makalah ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa meridhoi kita semua, Amin.

Hormat Saya,


(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...ii

BAB I PENDAHULUAN...1

1. Pengertian Korupsi...1

2. Pengertian Kolusi...2

3. Pengertian Nepotisme...2

BAB II DAMPAK PRAKTEK KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME TERHADAP KETAHANAN EKONOMI BANGSA...8

1. Demokrasi...12

2. Ekonomi...13

3. Kesejahteraan Umum Negara...14

4. Bentuk-bentuk Penyalahgunaan...14

5. Penyogokan...14

6. Sumbangan Kampanye atau “Uang Haram”...15

7. Tuduhan Korupsi Sebagai Alat Politik...16

8. Mengukur Korupsi...16

BAB III PEMBARANTASAN KORUPSI DI INDONESIA...17

1. Orde Lama...17

2. Orde Baru...18

3. Reformasi...18

BAB IV PENUTUP...19

1. Kesimpulan...19

2. Saran...20


(4)

BAB I PENDAHULUAN

1. Pengertian Korupsi

Menurut (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok) menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sbb:

o perbuatan melawan hukum;

o penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;

o memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;

o merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya:

a. Memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan); b. Penggelapan dalam jabatan;

c. Pemerasan dalam jabatan;

d. Ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);

e. Menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara). Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk instansi pemerintahan rentan rentan terhadap tindakan korupsi. Beratnya


(5)

korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali. Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas kejahatan. Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.

2. Pengertian Kolusi

Di dalam bidang studi ekonomi, kolusi terjadi di dalam satu bidang industri disaat beberapa perusahaan saingan bekerja sama untuk kepentingan mereka bersama. Kolusi paling sering terjadi dalam satu bentuk pasar oligopoli, dimana keputusan beberapa perusahaan untuk bekerja sama, dapat secara signifikan mempengaruhi pasar secara keseluruhan. Kartel adalah kasus khusus dari kolusi berlebihan, yang juga dikenal sebagai kolusi tersembunyi. Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar.

3. Pengertian Nepotisme

Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini


(6)

biasanya digunakan dalam konteks derogatori. Sebagai contoh : kalau seorang manajer mengangkat atau menaikan jabatan seorang saudara, bukannya seseorang yang lebih berkualifikasi namun bukan saudara, manajer tersebut akan bersalah karena nepotisme. Pakar-pakar biologi telah mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap nepotisme adalah berdasarkan naluri, sebagai salah satu bentuk dari pemilihan saudara.

Kata nepotisme berasal dari kata Latin nepos, yang berarti “keponakan” atau “cucu”. Pada Abad Pertengahan beberapa paus Katholik dan uskup yang telah mengambil janji “chastity”, sehingga biasanya tidak mempunyai anak kandung lalu memberikan kedudukan khusus kepada keponakannya seolah-olah seperti kepada anaknya sendiri. Beberapa paus diketahui mengangkat keponakan dan saudara lainnya menjadi kardinal. Seringkali, penunjukan tersebut digunakan untuk melanjutkan “dinasti” kepausan. Contohnya, Paus Kallistus III, dari keluarga Borja, mengangkat dua keponakannya menjadi kardinal; salah satunya, Rodrigo, kemudian menggunakan posisinya kardinalnya sebagai batu loncatan ke posisi paus, menjadi Paus Aleksander VI.

Kebetulan, Alexander mengangkat Alessandro Farnese, adik kekasih gelapnya, menjadi kardinal; Farnese kemudian menjadi Paus Paulus III. Paul juga melakukan nepotisme, dengan menunjuk dua keponakannya (umur 14 tahun dan 16 tahun) sebagai Kardinal. Praktek seperti ini akhirnya diakhiri oleh Paus Innosensius XII yang mengeluarkan bulla kepausan Romanum decet pontificem pada tahun 1692. Bulla kepausan ini melarang semua paus di seluruh masa untuk mewariskan tanah milik, kantor, atau pendapatan kepada saudara, dengan pengecualian bahwa seseorang saudara yang paling bermutu dapat dijadikan seorang Kardinal.

Perkara Korupsi, Kolusi dan nepotisme yang banyak menimpa para pejabat, baik dari kalangan eksekutif, yudikatif maupun legislatif menunjukkan tidak hanya mandulnya Undang-undang Nomor 28 tahun 1999, tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan nepotisme, tetapi juga semakin tidak tertibnya


(7)

nilai-nilai kehidupan sosial masyarakat. Kasus korupsi yang diduga melibatkan para menteri, mantan menteri, gubernur, mantan gubernur, bupati, mantan bupati dan lain sebagainya menunjukkan bahwa para pejabat negara yang diharapkan menjadi tauladan bagi masyarakat luas mengenai tertib hukum dan tertib sosial, ternyata justru mereka yang harus duduk dikursi pesakitan dengan tuntutan tindak pidana korupsi. Kasus Bulog dan kasus dana non bugeter DKP yang begitu kusut hanyalah sedikit dari sekian banyak perkara korupsi di negara yang berupaya mewujudkan good goverment and clean goverment sebagai salah satu cita-cita reformasi.

Bak cendawan di musim hujan. Jumlah kasus-kasus korupsi yang di ungkap sungguh melewati nalar dan akal sehat bangsa kita. Dari segi jumlah nilainya. Jumlah anggota dewan yang terlibat. Jumlah kota maupun kabupaten tempat korupsi. Termasuk juga jumlah modusnya yang bermacam-macam. Sudah sedemikian hinakah bangsa kita. Sehingga, sampai-sampai, anggota dewan yang seharusnya menjadi panutan dan teladan masyarakat, justru tak dapat ditiru akhlaknya.

Bahkan yang lebih menggelikan lagi ada kalimat yang sudah menjadi semacam slogan umum bahwa Indonesia negara terkorup tapi koruptornya tidak ada. Sepertinya ini sesuatu yang aneh yang hanya dapat terjadi di negeri antah barantah. Selain korupsi, dua kata yang dikaitkan dengannya adalah kolusi dan nepotisme juga merupakan tindak pidana. Tapi apakah selama ini ada perkara yang terkait dengan hal itu.

Mundurnya presiden Soeharto dari kursi kekuasaannya selama 32 tahun menjadi langkah awal dari reformasi disegala bidang baik itu ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya serta yang terpenting adalah pintu demokrasi harus dibuka lebar-lebar dengan harapan bangsa ini akan memiliki masa depan yang lebih baik. Namun sayang impian itu tidak sepenuhnya terpenuhi, lamban bahkan sebagian kebobrokan itu menjadi meningkat drastis secara kualitas maupun kuantitasnya. Salah satu bagian dari kebobrokan itu adalah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Praktek KKN ini merupakan salah satu penyakit akut yang terjadi dimasa orde baru yang mengakibatkan sistem ekonomi, politik, kekuasaan


(8)

dan lapisan birokrasi berasaskan kekeluargaan yaitu kekuasaan hanya berputar pada kalangan terbatas saja yaitu anggota keluarga dan teman dekat saja.

Dampak korupsi telah menghancurkan sendi-sendi dalam kehidupan berbangsa. Malang Corruption Watch (MCW), 2003,menjabarkan hal sebagai berikut. Ditinjau dari aspek politik dapat dilihat manakala proses politik itu didasarkan bukan membawa kepentingan masyarakat secara umum, tetapi lebih didasarkan atas kemauan dan kepentingan untuk maksud-maksud tertentu dengan membawa agenda pribadi yang dibungkus kepentingan masyarakat. Contohnya, pada bentuk-bentuk kolutif pemilihan walikota/bupati. Penyusuna/pembuatan perda. LPT/LPJ Bupati/walikota. Pemenangan tender proyek dan pada perijinan yang diskriminatif. Alih-alih terjadilah apa yang disebut lemahnya pelayanan terhadap kepentingan publik. Selain itu menimbulkan diskriminasi hukum dan kebijakan. Kemudian mengarah pada legalisasi produk kebijakan yang korup.

Ditinjau dari aspek ekonomi, korupsi selalu dilakukan dengan cara-cara tidak sah dalam mendapatkan sesuatu melalui pola dan modus yang memanfaatkan kedudukan. Dampaknya, terjadi pemusatan ekonomi pada elit kekuasaan. Yang dimaksud kekuasaan disini adalah kekuasaan dalam arti pengambil kebijakan (DPRD dan Bupati/Walikota) dan kekuasaan modal (pengusaha) untuk melakukan aktifitas ekonomi. Disini MCW memberi catatan sebagai berikut, “Apabila aliran dana ekonomi berputar pada ketiga kelompok tersebut maka kelompok lain yaitu masyarakat yang tidak cukup punya modal dan kemampuan untuk menembus birokrasi pemerintahan akan tetap mengais rejeki dari sisa-sisa kelompok pemodal.

Dari segi aspek sosial budaya lebih mengerikan lagi. Sebagai dampak adanya korupsi, maka akan membawa pemahaman baru bagi masyarakat tentang makna pemerintahan, aktifitas bermasayarakat atau proses bersosialisasi dengan sesama. Terkait dengan hal demikian, adalah bagaimana korupsi mampu merubah pandangan hidup masyarakat yang penuh semangat kekeluargaan menjadi masyarakat yang


(9)

berberfaham kebendaan. Diamana masyarakat kita yang suka menolong berubah sedemikian rupa menjadi masyarakat yang pamrih setiap membantu yang lain.

Semangat dan upaya pemberantasan korupsi di era reformasi ditandai dengan keluarnya berbagai produk perundangan-undangan dan dibentuknya institusi khusus, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi. Harapan terhadap produk-produk hukum diatas adalah praktek Korupsi sebelum reformasi dapat dibawa kemeja hijau dan uangnya dikembalikan pada negara, sedangkan pada pasca reformasi dapat menjadi suatu usaha preventif. Namun apa yang terjadi dilapangan tidaklah sesuai yang diharapkan. Beberapa kasus korupsi dimasa orde baru ada yang sampai kemeja hijau. Walau ada yang sampai pada putusan hakim tapi lebih banyak yang dipetieskan atau bahkan hanya sampai pada penyidik dan Berita Acara Perkaranya (BAP) mungkin disimpan dilemari sebagai koleksi pribadi pengadilan. Kemudian timbul pertanyaan bagaimana hasilnya setelah pasca reformasi? Jawabannya adalah sama saja walaupun sebenarnya dimasa presiden Susilo Bambang Yudoyono genderang perang terhadap korupsi sudah menunjukan beberapa hasilnya, kalau tidak mau disebut jalan ditempat.

Beberapa kasus besar memang telah sampai pada putusan pemidanaan dan berkekuatan hukum tetap. Tapi perkara korupsi ini bukanlah monopoli dari kalangan elit tapi juga oleh kalangan akar rumput walaupun kerugian yang ditimbulkan sedikit. Pertanyaan selanjutnya? Bagaimana bila suatu saat mereka bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah kesempatan saja, yang berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah tindakan pemberantasan dan bukan pencegahan (preventif). Korupsi ternyata bukan hanya masalah hukum tapi juga budaya, kebiasaan dan kesempatan, moral dan agama. Sehingga menjadi suatu kesalahan besar ketika kita mengatakan bahwa korupsi bisa diberantas sampai keakar-akarnya bila yang dilakukan


(10)

hanyalah sebatas pemenuhan kebutuhan yuridis. Karena realitasnya semakin banyak peraturan justru korupsi semakin meningkat.

Muncul pertanyaan apakah dimasukannya tindak pidana hanya sebagai produk untuk memuaskan masyarakat saja? Atau memang bertujuan melakukan pemberantasan terhadap kolusi dan nepotisme yang telah masuk kedalam stuktur masyarakat dan struktur birokrasi kita? Kenapa UU No.28/1999 tidak berjalan efektif dalam aplikasinya? Apakah ada error criminalitation? Padahal proses pembuatan suatu undang-undang membutuhkan biaya yang besar dan akan menjadi sia-sia bila tidak ada hasilnya. Dimana sebenarnya letak kesalahan yang membuat tujuan tertib hukum ini justru meningkatkan ketidaktertiban hukum.

Dizaman dimana hukum positif berlaku dan memiliki prinsip asas legalitas yang bertolak pada aturan tertulis membuat hukum dipandang sebagai engine solution yang utama dalam mengatasi banyak permasalahan yang muncul dimasyarakat. Namun dalam realitasnya ternyata hukum hanya sebagai obat penenang yang bersifat sementara dan bukan merupakan upaya preventif serta bukan juga sebagai sesuatu yang dapat merubah kebiasaan dan budaya negatif masyarakat yang menjadi penyebab awal permasalahan.

Pertanyaan berikutnya, apa ada jaminan pelaku korupsi dijerat oleh hukum? Atau justru lepas dan ia akan terus membina kondisi ini dan akan terjadi regenerasi terus-menerus. Lalu apakah masyarakat akan menentang jalur-jalur belakang ini atau justru lahir sikap pembiaran karena ternyata juga telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat saat ini. Jadi jelaslah bahwa upaya preventif dari pemberantasan KKN adalah dengan menciptakan tertib sosial dalam arti adanya tertib nilai-nilai yang harus diaplikasikan dalam struktur masyarakat.

Dengan berubahnya pola tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai keadilan, agama dan etika moral akan lebih efektif dibandingkan hanya dengan aplikasi Undang-undang saja. Jadi perlu adanya keseimbangan antara tertib sosial dan tertib hukum untuk dapat mencapai reformasi yang mensejahterakan masyarakat.


(11)

BAB II

DAMPAK PRAKTEK

KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME

TERHADAP KETAHANAN EKONOMI BANGSA INDONESIA

Keterpurukan yang dialami oleh bangsa Indonesia saat ini pada bidang ekonomi, politik, sosial budaya dan bidang hukum berasal dari suatu penyakit yang telah lama menggerogoti tubuh bangsa Indonesia, penyakit tersebut adalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). KKN kini telah menjadi sesuatu hal yang wajar terjadi di Indonesia bahkan dapat dikatakan bahwa KKN telah membudaya dalam masyarakat. Hal tersebut dikuatkan dengan adanya tradisi dalam masyarakat yang dimulai pada zaman kerajaan, tradisi tersebut adalah penyerahan upeti kepada raja atau ratu. Tradisi tersebut hingga sekarang masih banyak dilakukan oleh masyarakat. Padahal dari tradisi tersebut dapat muncul suatu tindak KKN. Praktek KKN biasanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan, mereka melakukan tindakan KKN karena adanya kesempatan. Hal itu dapat diperkuat dengan dalil yang dikemukakan oleh Lord Action (seorang ahli sejarah Inggris) tentang kekuasaan, yang menyatakan bahwa, “Power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely,” artinya manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tidak terbatas pasti akan menyalahgunakanya. Maka dari itu di Indonesia banyak pejabat negara yang terlibat dalam tindak korupsi. Korupsi telah telah melanda seluruh lapisan pemerintahan mulai dari yang paling rendah hingga ke tingkat atas, yaitu presiden. Bahkan institusi yang ditunjuk pemerintah untuk menangani dan mengawasi KKN justru ikut larut dalam arus KKN.


(12)

Adapun penyebab terjadinya tindak KKN adalah: a. Munculnya paham materialisme

Dengan munculnya paham materialisme dalam kehidupan masyarakat maka dapat menimbulkan cara berfikir yang hanya memandang kebendaan atau materi. Sehingga segala sesuatu akan diukur dengan materi.

b. Moral dan akhlak yang rendah

Rendahnya moral dan akhlak masyarakat akan menimbulkan pandangan hidup yang hanya mementingkan keduniawian saja, sehingga munsulah hedonisme. Akhlak yang rendah akan menurunkan tingkat rasa malu pada individu, sehingga jika ia mengambil uang atau hak dari orang lain akan merasa biasa-biasa saja seolah tidak pernah melakukan pelanggaran.

c. Nafsu keserakahan

Rasa kesarakahan akan menimbulkan rasa yang tidak akan kunjung puas untuk memiliki suatu benda maupun materi dalam bentuk uang. Dengan adanya keserakahan dapat pula membutkan mata hati seseorang, sehingga bisa saja memperoleh rejeki dengan cara yang tidak halal.

Praktik KKN dapat menimbulkan beberapa kerugian bagi Negara, kerugian yang sangat dirasakan oleh Negara adalah kerugian dalam ekonomi. Dalam kegiatan ekonomi KKN telah mengakibatkan kurang optimalnya pembangunan ekonomi yang dijalankan oleh Negara. Hal itu disebabkan hasil yang diperoleh Negara menjadi lebih kecil dari yang seharusnya dapat dicapai.

Disamping itu muncul pula ketidakadilan dalam pemerataan hasil pembangunan serta adanya ketidakadilan dalam pemberian kesempatan untuk melakukan kegiatan ekonomi. Hal tersebut dapat terjadi dengan cara pemberian fasilitas yang istimewa kepada pihak tertentu sehingga akan menutup peluang bagi pihak yang lain.


(13)

Untuk itulah dibutuhkan upaya dalam menangguilangi KKN, upaya tersebut dapat dilakukan dengan cara:

a. Menegakkan hukum yang seadil-adilnya.

b. Membenahi birokrasi ditingkat pusat maupun daerah. c. Dibutuhkan sosok atau figure yang dapat untuk diteladani d. Melakukan efisiensi jumalah pegawai.

e. Diperlukan adanya reformasi dalam kelembagaan, misalnya pada lembaga peradilan.

f. Adanya pengawasan yang dilakukan secara ketat terhadap kekuasaan eksekutif dan sebaiknya pengawasan dan pemeriksaan tersebut harus benar-benar independent dan efektif.

g. Dibutuhkan lembaga-lembaga di luar birokrasi yang kuat, seperti LSM dan ORMAS masyarkat dapat ikut serta mengawasi jalanya pemerintahan.

Jika hal tersebut dapat dijalankan dengan baik maka ketahanan dalam bidang ekonomi akan kembali pulih. Namun jika fenomena KKN ini tetap dibiarkan saja dan tidak ada tindakan yang tegas dari pemerintah, maka KKN akan semakin menggrogoti ekonomi bangsa. Hal itu dikarenakan KKN adalah musuh utama dalam perekonomian suatu negara. Mengingat bahwa dengan adanya tindak KKN pemerataan pembangunan akan sulit tercapai, sehingga sulit untuk menciptakan kemakmuran bagi seluruh masyarakat. Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut:

o Perbuatan melawan hukum;

o Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;

o Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;


(14)

Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, di antaranya:

o memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);

o Penggelapan dalam jabatan;

o Pemerasan dalam jabatan;

o Ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);

o Menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara). Kondisi yang mendukung munculnya korupsi

a. Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.

b. Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah

c. Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran

lebih besar dari pendanaan politik yang normal.

d. Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.

e. Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan

"teman lama".

f. Lemahnya ketertiban hukum. g. Lemahnya profesi hukum.

h. Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa. i. Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.

Mengenai kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibanding dengan kebutuhan hidup yang makin hari makin meningkat pernah di kupas oleh B Soedarsono yang menyatakan antara lain " pada umumnya orang menghubung-hubungkan tumbuh suburnya korupsi sebab yang paling gampang dihubungkan adalah kurangnya gaji pejabat-pejabat" namun B Soedarsono juga sadar bahwa hal tersebut tidaklah mutlak karena banyaknya faktor yang bekerja dan saling memengaruhi satu sama lain.


(15)

Kurangnya gaji bukanlah faktor yang paling menentukan, orang-orang yang berkecukupan banyak yang melakukan korupsi. Namun demikian kurangnya gaji dan pendapatan pegawai negeri memang faktor yang paling menonjol dalam arti merata dan meluasnya korupsi di Indonesia, hal ini dikemukakan oleh Guy J Parker dalam tulisannya berjudul "Indonesia 1979: The Record of three decades (Asia Survey Vol. XX No. 2, 1980 : 123). Begitu pula J.W Schoorl mengatakan bahwa " di Indonesia di bagian pertama tahun 1960 situasi begitu merosot sehingga untuk sebagian besar golongan dari pegawai, gaji sebulan hanya sekadar cukup untuk makan selama dua minggu. Dapat dipahami bahwa dalam situasi demikian memaksa para pegawai mencari tambahan dan banyak diantaranya mereka mendapatkan dengan meminta uang ekstra untuk pelayanan yang diberikan". ( Sumber buku "Pemberantasan Korupsi karya Andi Hamzah, 2007)

 Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.

 Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau "sumbangan kampanye".

1. Demokrasi

Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidakseimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.


(16)

2. Ekonomi

Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor private, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran

ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan".

Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien. Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik

dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.

Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar dari Universitas


(17)

Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri. [1] (Hasilnya, dalam artian pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, di luar jangkauan dari

ekspropriasi di masa depan.

3. Kesejahteraan Umum Negara

Korupsi politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan

pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus "pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.

4. Bentuk-bentuk Penyalahgunaan

Korupsi mencakup penyalahgunaan oleh pejabat pemerintah seperti penggelapan dan nepotisme, juga penyalahgunaan yang menghubungkan sektor swasta dan pemerintahan seperti penyogokan,

pemerasan, campuran tangan, dan penipuan.

5. Penyogokan

Korupsi memerlukan dua pihak yang korup: pemberi sogokan (penyogok) dan penerima sogokan. Di beberapa negara, budaya penyogokan mencakup semua aspek hidup sehari-hari, meniadakan kemungkinan untuk berniaga tanpa terlibat penyogokan. Negara-negara


(18)

yang paling sering memberikan sogokan pada umumnya tidak sama dengan negara-negara yang paling sering menerima sogokan.

Duabelas negara yang paling kurang korupsinya, menurut survey persepsi (anggapan ttg korupsi oleh rakyat) oleh Transparansi Internasional di tahun 2001 adalah sebagai berikut:

o Australia o Kanada o Denmark o Finlandia o Islandia o Luxemburg o Belanda o Selandia Baru o Norwegia o Singapura o Swedia o Swiss o Israel

Menurut survei persepsi korupsi , tigabelas negara yang paling korup adalah: o Azerbaijan o Bangladesh o Bolivia o Kamerun o Indonesia o Irak o Kenya o Nigeria o Pakistan o Rusia o Tanzania o Uganda o Ukraina

Namun demikian, nilai dari survei tersebut masih diperdebatkan karena ini dilakukan berdasarkan persepsi subyektif dari para peserta survei tersebut, bukan dari penghitungan langsung korupsi yg terjadi (karena survey semacam itu juga tidak ada).

6. Sumbangan Kampanye atau "Uang Haram"

Di arena politik, sangatlah sulit untuk membuktikan korupsi, namun lebih sulit lagi untuk membuktikan ketidakadaannya. Maka dari itu, sering banyak ada gosip menyangkut politisi. Politisi terjebak di posisi lemah karena keperluan mereka untuk meminta sumbangan keuangan untuk kampanye mereka. Sering mereka terlihat untuk bertindak hanya demi keuntungan mereka yang telah menyumbangkan uang, yang akhirnya menyebabkan munculnya tuduhan korupsi politis.


(19)

7. Tuduhan Korupsi Sebagai Alat Politik

Sering terjadi dimana politisi mencari cara untuk mencoreng lawan mereka dengan tuduhan korupsi. Di Republik Rakyat Cina, fenomena ini digunakan oleh Zhu Rongji, dan yang terakhir, oleh Hu Jintao untuk melemahkan lawan-lawan politik mereka.

8. Mengukur Korupsi

Mengukur korupsi dalam artian statistik, untuk membandingkan beberapa negara, secara alami adalah tidak sederhana, karena para pelakunya pada umumnya ingin bersembunyi. Transparansi Internasional,

LSM terkemuka di bidang anti korupsi, menyediakan tiga tolok ukur, yang diterbitkan setiap tahun: Indeks Persepsi Korupsi (berdasarkan dari pendapat para ahli tentang seberapa korup negara-negara ini); Barometer Korupsi Global (berdasarkan survei pandangan rakyat terhadap persepsi dan pengalaman mereka dengan korupsi); dan Survei Pemberi Sogok, yang melihat seberapa rela perusahaan-perusahaan asing memberikan sogok. Transparansi Internasional juga menerbitkan Laporan Korupsi Global; edisi tahun 2004 berfokus kepada korupsi politis. Bank Dunia

mengumpulkan sejumlah data tentang korupsi, termasuk sejumlah


(20)

BAB III

PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA

Dapat dibagi dalam 3 periode, yaitu pada masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.

1. Orde Lama

Dasar Hukum: KUHP (awal), UU 24 tahun 1960. Antara 1951 -1956 isu korupsi mulai diangkat oleh koran lokal seperti Indonesia Raya yang dipandu Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Pemberitaan dugaan korupsi Ruslan Abdulgani menyebabkan koran tersebut kemudian di bredel. Kasus 14 Agustus 1956 ini adalah peristiwa kegagalan pemberantasan korupsi yang pertama di Indonesia, dimana atas intervensi PM Ali Sastroamidjoyo, Ruslan Abdulgani, sang menteri luar negeri, gagal ditangkap oleh Polisi Militer. Sebelumnya Lie Hok Thay mengaku memberikan satu setengah juta rupiah kepada Ruslan Abdulgani, yang diperoleh dari ongkos cetak kartu suara pemilu. Dalam kasus tersebut mantan Menteri Penerangan kabinet Burhanuddin Harahap (kabinet sebelumnya), Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe berhasil ditangkap.

Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar justru kemudian dipenjara tahun 1961 karena dianggap sebagai lawan politik Sukarno. Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan asing di Indonesia tahun 1958 dipandang sebagai titik awal berkembangnya korupsi di Indonesia. Upaya Jenderal AH Nasution mencegah kekacauan dengan menempatkan perusahaan-perusahaan hasil nasionalisasi di bawah Penguasa Darurat Militer justru melahirkan korupsi di tubuh TNI. Jenderal Nasution sempat memimpin tim pemberantasan korupsi pada masa ini, namun kurang berhasil. Pertamina adalah suatu organisasi yang merupakan lahan korupsi paling subur.


(21)

Kolonel Soeharto, panglima Diponegoro saat itu, yang diduga terlibat dalam kasus korupsi gula, diperiksa oleh Mayjen Suprapto, S Parman, MT Haryono, dan Sutoyo dari Markas Besar Angkatan Darat. Sebagai hasilnya, jabatan panglima Diponegoro diganti oleh Letkol Pranoto, Kepala Staffnya. Proses hukum Suharto saat itu dihentikan oleh Mayjen Gatot Subroto, yang kemudian mengirim Suharto ke Seskoad di Bandung. Kasus ini membuat DI Panjaitan menolak pencalonan Suharto menjadi ketua Senat Seskoad.

2. Orde Baru

Dasar Hukum: UU 3 tahun 1971. Korupsi orde baru dimulai dari penguasaan tentara atas bisnis-bisnis strategis.

3. Reformasi

Dasar Hukum: UU 31 tahun 1999, UU 20 tahun 2001. Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini dilakukan oleh beberapa institusi:

a. Tim Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi) b. Komisi Pemberantasan Korupsi

c. Kepolisian d. Kejaksaan e. BPKP

f. Lembaga non-pemerintah: Media massa Organisasi massa (mis: ICW)


(22)

BAB IV PENUTUP

1. Kesimpulan

Perkara Korupsi, Kolusi dan nepotisme yang banyak menimpa para pejabat, baik dari kalangan eksekutif, yudikatif maupun legislatif menunjukkan tidak hanya mandulnya Undang-undang Nomor 28 tahun 1999, tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan nepotisme, tetapi juga semakin tidak tertibnya nilai-nilai kehidupan sosial masyarakat. Kasus korupsi yang diduga melibatkan para menteri, mantan menteri, gubernur, mantan gubernur, bupati, mantan bupati dan lain sebagainya menunjukkan bahwa para pejabat negara yang diharapkan menjadi tauladan bagi masyarakat luas mengenai tertib hukum dan tertib sosial, ternyata justru mereka yang harus duduk dikursi pesakitan dengan tuntutan tindak pidana korupsi. Kasus Bulog dan kasus dana non bugeter DKP yang begitu kusut hanyalah sedikit dari sekian banyak perkara korupsi di negara yang berupaya mewujudkan good goverment and clean goverment sebagai salah satucita-citareformasi.

Mundurnya presiden Soeharto dari kursi kekuasaannya selama 32 tahun menjadi langkah awal dari reformasi disegala bidang baik itu ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya serta yang terpenting adalah pintu demokrasi harus dibuka lebar-lebar dengan harapan bangsa ini akan memiliki masa depan yang lebih baik. Namun sayang impian itu tidak sepenuhnya terpenuhi, lamban bahkan sebagian kebobrokan itu menjadi meningkat drastis secara kualitas maupun kuantitasnya. Salahsatu bagian dari kebobrokan itu adalah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).


(23)

2. Saran

Bagaimana bila suatu saat mereka bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah kesempatan saja, yang berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah tindakan pemberantasan dan bukan pencegahan (preventif). Semangat dan upaya pemberantasan korupsi di era reformasi ditandai dengan keluarnya berbagai produk perundangan-undangan dan dibentuknya institusi khusus, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi. Harapan terhadap produk-produk hukum diatas adalah praktek Korupsi sebelum reformasi dapat dibawa kemeja hijau dan uangnya dikembalikan pada negara, sedangkan pada pasca reformasi dapat menjadi suatu usaha preventif.

Namun apa yang terjadi dilapangan tidaklah sesuai yang diharapkan. Beberapa kasus korupsi dimasa orde baru ada yang sampai kemeja hijau. Walau ada yang sampai pada putusan hakim tapi lebih banyak yang dipetieskan atau bahkan hanya sampai pada penyidik dan Berita acara perkaranya (BAP) mungkin disimpan dilemari sebagai koleksi pribadi pengadilan. Kemudian timbul pertanyaan bagaimana hasilnya setelah pasca reformasi? Jawabannya adalah sama saja walaupun sebenarnya dimasa presiden Susilo Bambang Yudoyono genderang perang terhadap korupsi sudah menunjukan beberapa hasilnya, kalau tidak mau disebut jalan ditempat.

”MARI BERANTAS KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME SEJAK DINI SAMPAI KE AKARNYA”


(24)

DAFTAR PUSTAKA

http://catholic-forum.com/saints/ncd05726.htm. http://www.newadvent.org/cathen/01289a.htm. http://www.newadvent.org/cathen/11579a.htm. http://www.goggle.com


(1)

7. Tuduhan Korupsi Sebagai Alat Politik

Sering terjadi dimana politisi mencari cara untuk mencoreng lawan mereka dengan tuduhan korupsi. Di Republik Rakyat Cina, fenomena ini digunakan oleh Zhu Rongji, dan yang terakhir, oleh Hu Jintao untuk melemahkan lawan-lawan politik mereka.

8. Mengukur Korupsi

Mengukur korupsi dalam artian statistik, untuk membandingkan beberapa negara, secara alami adalah tidak sederhana, karena para pelakunya pada umumnya ingin bersembunyi. Transparansi Internasional, LSM terkemuka di bidang anti korupsi, menyediakan tiga tolok ukur, yang diterbitkan setiap tahun: Indeks Persepsi Korupsi (berdasarkan dari pendapat para ahli tentang seberapa korup negara-negara ini); Barometer Korupsi Global (berdasarkan survei pandangan rakyat terhadap persepsi dan pengalaman mereka dengan korupsi); dan Survei Pemberi Sogok, yang melihat seberapa rela perusahaan-perusahaan asing memberikan sogok. Transparansi Internasional juga menerbitkan Laporan Korupsi Global; edisi tahun 2004 berfokus kepada korupsi politis. Bank Dunia mengumpulkan sejumlah data tentang korupsi, termasuk sejumlah Indikator Kepemerintahan.


(2)

BAB III

PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA

Dapat dibagi dalam 3 periode, yaitu pada masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.

1. Orde Lama

Dasar Hukum: KUHP (awal), UU 24 tahun 1960. Antara 1951 -1956 isu korupsi mulai diangkat oleh koran lokal seperti Indonesia Raya yang dipandu Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Pemberitaan dugaan korupsi Ruslan Abdulgani menyebabkan koran tersebut kemudian di bredel. Kasus 14 Agustus 1956 ini adalah peristiwa kegagalan pemberantasan korupsi yang pertama di Indonesia, dimana atas intervensi PM Ali Sastroamidjoyo, Ruslan Abdulgani, sang menteri luar negeri, gagal ditangkap oleh Polisi Militer. Sebelumnya Lie Hok Thay mengaku memberikan satu setengah juta rupiah kepada Ruslan Abdulgani, yang diperoleh dari ongkos cetak kartu suara pemilu. Dalam kasus tersebut mantan Menteri Penerangan kabinet Burhanuddin Harahap (kabinet sebelumnya), Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe berhasil ditangkap.

Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar justru kemudian dipenjara tahun 1961 karena dianggap sebagai lawan politik Sukarno. Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan asing di Indonesia tahun 1958 dipandang sebagai titik awal berkembangnya korupsi di Indonesia. Upaya Jenderal AH Nasution mencegah kekacauan dengan menempatkan perusahaan-perusahaan hasil nasionalisasi di bawah Penguasa Darurat Militer justru melahirkan korupsi di tubuh TNI. Jenderal Nasution sempat memimpin tim pemberantasan korupsi pada masa ini, namun kurang berhasil. Pertamina adalah suatu organisasi yang merupakan lahan korupsi paling subur.


(3)

Kolonel Soeharto, panglima Diponegoro saat itu, yang diduga terlibat dalam kasus korupsi gula, diperiksa oleh Mayjen Suprapto, S Parman, MT Haryono, dan Sutoyo dari Markas Besar Angkatan Darat. Sebagai hasilnya, jabatan panglima Diponegoro diganti oleh Letkol Pranoto, Kepala Staffnya. Proses hukum Suharto saat itu dihentikan oleh Mayjen Gatot Subroto, yang kemudian mengirim Suharto ke Seskoad di Bandung. Kasus ini membuat DI Panjaitan menolak pencalonan Suharto menjadi ketua Senat Seskoad.

2. Orde Baru

Dasar Hukum: UU 3 tahun 1971. Korupsi orde baru dimulai dari penguasaan tentara atas bisnis-bisnis strategis.

3. Reformasi

Dasar Hukum: UU 31 tahun 1999, UU 20 tahun 2001. Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini dilakukan oleh beberapa institusi:

a. Tim Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi) b. Komisi Pemberantasan Korupsi

c. Kepolisian d. Kejaksaan e. BPKP

f. Lembaga non-pemerintah: Media massa Organisasi massa (mis: ICW)


(4)

BAB IV PENUTUP

1. Kesimpulan

Perkara Korupsi, Kolusi dan nepotisme yang banyak menimpa para pejabat, baik dari kalangan eksekutif, yudikatif maupun legislatif menunjukkan tidak hanya mandulnya Undang-undang Nomor 28 tahun 1999, tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan nepotisme, tetapi juga semakin tidak tertibnya nilai-nilai kehidupan sosial masyarakat. Kasus korupsi yang diduga melibatkan para menteri, mantan menteri, gubernur, mantan gubernur, bupati, mantan bupati dan lain sebagainya menunjukkan bahwa para pejabat negara yang diharapkan menjadi tauladan bagi masyarakat luas mengenai tertib hukum dan tertib sosial, ternyata justru mereka yang harus duduk dikursi pesakitan dengan tuntutan tindak pidana korupsi. Kasus Bulog dan kasus dana non bugeter DKP yang begitu kusut hanyalah sedikit dari sekian banyak perkara korupsi di negara yang berupaya mewujudkan good goverment and clean goverment sebagai salah satucita-citareformasi.

Mundurnya presiden Soeharto dari kursi kekuasaannya selama 32 tahun menjadi langkah awal dari reformasi disegala bidang baik itu ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya serta yang terpenting adalah pintu demokrasi harus dibuka lebar-lebar dengan harapan bangsa ini akan memiliki masa depan yang lebih baik. Namun sayang impian itu tidak sepenuhnya terpenuhi, lamban bahkan sebagian kebobrokan itu menjadi meningkat drastis secara kualitas maupun kuantitasnya. Salahsatu bagian dari kebobrokan itu adalah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).


(5)

2. Saran

Bagaimana bila suatu saat mereka bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah kesempatan saja, yang berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah tindakan pemberantasan dan bukan pencegahan (preventif). Semangat dan upaya pemberantasan korupsi di era reformasi ditandai dengan keluarnya berbagai produk perundangan-undangan dan dibentuknya institusi khusus, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi. Harapan terhadap produk-produk hukum diatas adalah praktek Korupsi sebelum reformasi dapat dibawa kemeja hijau dan uangnya dikembalikan pada negara, sedangkan pada pasca reformasi dapat menjadi suatu usaha preventif.

Namun apa yang terjadi dilapangan tidaklah sesuai yang diharapkan. Beberapa kasus korupsi dimasa orde baru ada yang sampai kemeja hijau. Walau ada yang sampai pada putusan hakim tapi lebih banyak yang dipetieskan atau bahkan hanya sampai pada penyidik dan Berita acara perkaranya (BAP) mungkin disimpan dilemari sebagai koleksi pribadi pengadilan. Kemudian timbul pertanyaan bagaimana hasilnya setelah pasca reformasi? Jawabannya adalah sama saja walaupun sebenarnya dimasa presiden Susilo Bambang Yudoyono genderang perang terhadap korupsi sudah menunjukan beberapa hasilnya, kalau tidak mau disebut jalan ditempat.

”MARI BERANTAS KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME SEJAK DINI SAMPAI KE AKARNYA”


(6)

DAFTAR PUSTAKA

http://catholic-forum.com/saints/ncd05726.htm. http://www.newadvent.org/cathen/01289a.htm. http://www.newadvent.org/cathen/11579a.htm. http://www.goggle.com