korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan,
sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh
para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali. Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk
sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian
uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat
penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas kejahatan. Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan
antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak
legal di tempat lain.
2. Pengertian Kolusi
Di dalam bidang studi ekonomi, kolusi terjadi di dalam satu bidang industri disaat beberapa perusahaan saingan bekerja sama untuk
kepentingan mereka bersama. Kolusi paling sering terjadi dalam satu bentuk pasar oligopoli, dimana keputusan beberapa perusahaan untuk
bekerja sama, dapat secara signifikan mempengaruhi pasar secara keseluruhan. Kartel adalah kasus khusus dari kolusi berlebihan, yang juga
dikenal sebagai kolusi tersembunyi. Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi
dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala
urusannya menjadi lancar.
3. Pengertian Nepotisme
Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini
2
biasanya digunakan dalam konteks derogatori. Sebagai contoh : kalau seorang manajer mengangkat atau menaikan jabatan seorang saudara,
bukannya seseorang yang lebih berkualifikasi namun bukan saudara, manajer tersebut akan bersalah karena nepotisme. Pakar-pakar biologi
telah mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap nepotisme adalah berdasarkan naluri, sebagai salah satu bentuk dari pemilihan saudara.
Kata nepotisme berasal dari kata Latin nepos, yang berarti “keponakan” atau “cucu”. Pada Abad Pertengahan beberapa paus
Katholik dan uskup yang telah mengambil janji “chastity”, sehingga biasanya tidak mempunyai anak kandung lalu memberikan kedudukan
khusus kepada keponakannya seolah-olah seperti kepada anaknya sendiri. Beberapa paus diketahui mengangkat keponakan dan saudara
lainnya menjadi kardinal. Seringkali, penunjukan tersebut digunakan untuk melanjutkan “dinasti” kepausan. Contohnya, Paus Kallistus III, dari
keluarga Borja, mengangkat dua keponakannya menjadi kardinal; salah satunya, Rodrigo, kemudian menggunakan posisinya kardinalnya sebagai
batu loncatan ke posisi paus, menjadi Paus Aleksander VI. Kebetulan, Alexander mengangkat Alessandro Farnese, adik
kekasih gelapnya, menjadi kardinal; Farnese kemudian menjadi Paus Paulus III. Paul juga melakukan nepotisme, dengan menunjuk dua
keponakannya umur 14 tahun dan 16 tahun sebagai Kardinal. Praktek seperti ini akhirnya diakhiri oleh Paus Innosensius XII yang mengeluarkan
bulla kepausan Romanum decet pontificem pada tahun 1692. Bulla kepausan ini melarang semua paus di seluruh masa untuk mewariskan
tanah milik, kantor, atau pendapatan kepada saudara, dengan pengecualian bahwa seseorang saudara yang paling bermutu dapat
dijadikan seorang Kardinal. Perkara Korupsi, Kolusi dan nepotisme yang banyak menimpa para
pejabat, baik dari kalangan eksekutif, yudikatif maupun legislatif menunjukkan tidak hanya mandulnya Undang-undang Nomor 28 tahun
1999, tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan nepotisme, tetapi juga semakin tidak tertibnya nilai-
3
nilai kehidupan sosial masyarakat. Kasus korupsi yang diduga melibatkan para menteri, mantan menteri, gubernur, mantan gubernur, bupati, mantan
bupati dan lain sebagainya menunjukkan bahwa para pejabat negara yang diharapkan menjadi tauladan bagi masyarakat luas mengenai tertib hukum
dan tertib sosial, ternyata justru mereka yang harus duduk dikursi pesakitan dengan tuntutan tindak pidana korupsi. Kasus Bulog dan kasus
dana non bugeter DKP yang begitu kusut hanyalah sedikit dari sekian banyak perkara korupsi di negara yang berupaya mewujudkan good
goverment and clean goverment sebagai salah satu cita-cita reformasi. Bak cendawan di musim hujan. Jumlah kasus-kasus korupsi yang
di ungkap sungguh melewati nalar dan akal sehat bangsa kita. Dari segi jumlah nilainya. Jumlah anggota dewan yang terlibat. Jumlah kota
maupun kabupaten tempat korupsi. Termasuk juga jumlah modusnya yang bermacam-macam. Sudah sedemikian hinakah bangsa kita. Sehingga,
sampai-sampai, anggota dewan yang seharusnya menjadi panutan dan teladan masyarakat, justru tak dapat ditiru akhlaknya.
Bahkan yang lebih menggelikan lagi ada kalimat yang sudah menjadi semacam slogan umum bahwa Indonesia negara terkorup tapi
koruptornya tidak ada. Sepertinya ini sesuatu yang aneh yang hanya dapat terjadi di negeri antah barantah. Selain korupsi, dua kata yang
dikaitkan dengannya adalah kolusi dan nepotisme juga merupakan tindak pidana. Tapi apakah selama ini ada perkara yang terkait dengan hal itu.
Mundurnya presiden Soeharto dari kursi kekuasaannya selama 32 tahun menjadi langkah awal dari reformasi disegala bidang baik itu
ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya serta yang terpenting adalah pintu demokrasi harus dibuka lebar-lebar dengan harapan bangsa ini akan
memiliki masa depan yang lebih baik. Namun sayang impian itu tidak sepenuhnya terpenuhi, lamban bahkan sebagian kebobrokan itu menjadi
meningkat drastis secara kualitas maupun kuantitasnya. Salah satu bagian dari kebobrokan itu adalah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme
KKN. Praktek KKN ini merupakan salah satu penyakit akut yang terjadi dimasa orde baru yang mengakibatkan sistem ekonomi, politik, kekuasaan
4
dan lapisan birokrasi berasaskan kekeluargaan yaitu kekuasaan hanya berputar pada kalangan terbatas saja yaitu anggota keluarga dan teman
dekat saja. Dampak korupsi telah menghancurkan sendi-sendi dalam
kehidupan berbangsa. Malang Corruption Watch MCW, 2003,menjabarkan hal sebagai berikut. Ditinjau dari aspek politik dapat
dilihat manakala proses politik itu didasarkan bukan membawa kepentingan masyarakat secara umum, tetapi lebih didasarkan atas
kemauan dan kepentingan untuk maksud-maksud tertentu dengan membawa agenda pribadi yang dibungkus kepentingan masyarakat.
Contohnya, pada bentuk-bentuk kolutif pemilihan walikotabupati. Penyusunapembuatan perda. LPTLPJ Bupatiwalikota. Pemenangan
tender proyek dan pada perijinan yang diskriminatif. Alih-alih terjadilah apa yang disebut lemahnya pelayanan terhadap kepentingan publik. Selain itu
menimbulkan diskriminasi hukum dan kebijakan. Kemudian mengarah pada legalisasi produk kebijakan yang korup.
Ditinjau dari aspek ekonomi, korupsi selalu dilakukan dengan cara- cara tidak sah dalam mendapatkan sesuatu melalui pola dan modus yang
memanfaatkan kedudukan. Dampaknya, terjadi pemusatan ekonomi pada elit kekuasaan. Yang dimaksud kekuasaan disini adalah kekuasaan dalam
arti pengambil kebijakan DPRD dan BupatiWalikota dan kekuasaan modal pengusaha untuk melakukan aktifitas ekonomi. Disini MCW
memberi catatan sebagai berikut, “Apabila aliran dana ekonomi berputar pada ketiga kelompok tersebut maka kelompok lain yaitu masyarakat yang
tidak cukup punya modal dan kemampuan untuk menembus birokrasi pemerintahan akan tetap mengais rejeki dari sisa-sisa kelompok pemodal.
Dari segi aspek sosial budaya lebih mengerikan lagi. Sebagai dampak adanya korupsi, maka akan membawa pemahaman baru bagi
masyarakat tentang makna pemerintahan, aktifitas bermasayarakat atau proses bersosialisasi dengan sesama. Terkait dengan hal demikian,
adalah bagaimana korupsi mampu merubah pandangan hidup masyarakat yang penuh semangat kekeluargaan menjadi masyarakat yang
5
berberfaham kebendaan. Diamana masyarakat kita yang suka menolong berubah sedemikian rupa menjadi masyarakat yang pamrih setiap
membantu yang lain. Semangat dan upaya pemberantasan korupsi di era reformasi
ditandai dengan keluarnya berbagai produk perundangan-undangan dan dibentuknya institusi khusus, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi.
Harapan terhadap produk-produk hukum diatas adalah praktek Korupsi sebelum reformasi dapat dibawa kemeja hijau dan uangnya dikembalikan
pada negara, sedangkan pada pasca reformasi dapat menjadi suatu usaha preventif. Namun apa yang terjadi dilapangan tidaklah sesuai yang
diharapkan. Beberapa kasus korupsi dimasa orde baru ada yang sampai kemeja hijau. Walau ada yang sampai pada putusan hakim tapi lebih
banyak yang dipetieskan atau bahkan hanya sampai pada penyidik dan Berita Acara Perkaranya BAP mungkin disimpan dilemari sebagai
koleksi pribadi pengadilan. Kemudian timbul pertanyaan bagaimana hasilnya setelah pasca reformasi? Jawabannya adalah sama saja
walaupun sebenarnya dimasa presiden Susilo Bambang Yudoyono genderang perang terhadap korupsi sudah menunjukan beberapa
hasilnya, kalau tidak mau disebut jalan ditempat. Beberapa kasus besar memang telah sampai pada putusan
pemidanaan dan berkekuatan hukum tetap. Tapi perkara korupsi ini bukanlah monopoli dari kalangan elit tapi juga oleh kalangan akar rumput
walaupun kerugian yang ditimbulkan sedikit. Pertanyaan selanjutnya? Bagaimana bila suatu saat mereka bisa menduduki jabatan stategis dan
basah. Jadi mereka tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah kesempatan saja, yang berarti produk undang-
undang dan aplikasinya hanyalah tindakan pemberantasan dan bukan pencegahan preventif. Korupsi ternyata bukan hanya masalah hukum
tapi juga budaya, kebiasaan dan kesempatan, moral dan agama. Sehingga menjadi suatu kesalahan besar ketika kita mengatakan bahwa
korupsi bisa diberantas sampai keakar-akarnya bila yang dilakukan
6
hanyalah sebatas pemenuhan kebutuhan yuridis. Karena realitasnya semakin banyak peraturan justru korupsi semakin meningkat.
Muncul pertanyaan apakah dimasukannya tindak pidana hanya sebagai produk untuk memuaskan masyarakat saja? Atau memang
bertujuan melakukan pemberantasan terhadap kolusi dan nepotisme yang telah masuk kedalam stuktur masyarakat dan struktur birokrasi kita?
Kenapa UU No.281999 tidak berjalan efektif dalam aplikasinya? Apakah ada error criminalitation? Padahal proses pembuatan suatu undang-
undang membutuhkan biaya yang besar dan akan menjadi sia-sia bila tidak ada hasilnya. Dimana sebenarnya letak kesalahan yang membuat
tujuan tertib hukum ini justru meningkatkan ketidaktertiban hukum. Dizaman dimana hukum positif berlaku dan memiliki prinsip asas
legalitas yang bertolak pada aturan tertulis membuat hukum dipandang sebagai engine solution yang utama dalam mengatasi banyak
permasalahan yang muncul dimasyarakat. Namun dalam realitasnya ternyata hukum hanya sebagai obat penenang yang bersifat sementara
dan bukan merupakan upaya preventif serta bukan juga sebagai sesuatu yang dapat merubah kebiasaan dan budaya negatif masyarakat yang
menjadi penyebab awal permasalahan. Pertanyaan berikutnya, apa ada jaminan pelaku korupsi dijerat oleh
hukum? Atau justru lepas dan ia akan terus membina kondisi ini dan akan terjadi regenerasi terus-menerus. Lalu apakah masyarakat akan
menentang jalur-jalur belakang ini atau justru lahir sikap pembiaran karena ternyata juga telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat
saat ini. Jadi jelaslah bahwa upaya preventif dari pemberantasan KKN adalah dengan menciptakan tertib sosial dalam arti adanya tertib nilai-nilai
yang harus diaplikasikan dalam struktur masyarakat. Dengan berubahnya pola tingkah laku yang sesuai dengan nilai-
nilai keadilan, agama dan etika moral akan lebih efektif dibandingkan hanya dengan aplikasi Undang-undang saja. Jadi perlu adanya
keseimbangan antara tertib sosial dan tertib hukum untuk dapat mencapai reformasi yang mensejahterakan masyarakat.
7
BAB II DAMPAK PRAKTEK