INTERCEPTION, STEAM FLOW, AND THROUGH FALL IN VARIOUS OF TREES ON UNIVERSITY OF LAMPUNG

(1)

ABSTRAK

STUDI PENGARUH PENAMBAHAN POLIOL

TERHADAP STABILITAS TERMAL ENZIM α- AMILASE DARI Bacillus subtilis ITBCCB148

Oleh

EVILIA ARIYANTI

Penggunaan enzim dalam bidang industri telah banyak dilakukan karena enzim memiliki tenaga katalitik yang luar biasa, yang umumnya jauh lebih besar daripada katalisator sintetik. Namun sebagian besar enzim mempunyai beberapa kendala, salah satunya adalah stabilitasnya yang rendah. Kendala ini dapat diatasi dengan penambahan poliol yang dapat meningkatkan stabilitas termal enzim.

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan stabilitas termal enzim α -amilase dari Bacillus subtilis ITBCCB148 dengan senyawa aditif yaitu sorbitol dan gliserol. Untuk mencapai tujuan tersebut pertama dilakukan produksi, isolasi dan pemurnian enzim. Pemurnian enzim α-amilase dilakukan melalui tiga tahap yaitu fraksinasi dengan amonium sulfat, dialisis, dan kromatografi kolom penukar ion dengan menggunakan CMC. Enzim hasil pemurnian dikarakterisasi dengan menggunakan sorbitol dan gliserol. Pengujian aktivitas α-amilase dilakukan dengan metode Fuwa dan metode Mandels, sedangkan pengukuran kadar protein dengan metode Lowry.

Hasil penelitian menunjukkan enzim hasil pemurnian memiliki pH optimum 6 suhu optimum 600C, dengan nilai KM dan Vmaks berturut-turut adalah

3,99 mg mL-1 substrat dan 3,8λ mol mL-1 menit-1. Proses pemurnian meningkatkan aktivitas spesifik enzim dari 393 U/mg untuk ekstrak kasar menjadi 12.000 U/mg untuk kromatografi kolom dengan tingkat kemurnian 30 kali.

Penambahan sorbitol tidak mengalami perubahan pH dan suhu optimum. Stabilitas termal enzim dengan penambahan sorbitol 0,5M mempunyai nilai KM =

1,98 mg mL-1 substrat, Vmaks = 1,19 mol mL-1 menit-1, t1/2 = 28,39 menit; ki =

0,02λ, ΔGi = 103,010 kJ mol-1 ; sorbitol 1M, KM = 1,86 mg mL-1 substrat, Vmaks =

1,44 mol mL-1 menit-1, t1/2 = 38,50 menit; ki = 0,018, ΔGi = 104,330 kJ mol-1;

sorbitol 1,5M, KM = 1,35 mg mL-1 substrat, Vmaks = 3,93 mol mL-1 menit-1, t1/2 =

43,31 menit; ki = 0,016, ΔGi = 104,657 kJ mol-1. Enzim dengan penambahan

sorbitol 0,5M; 1M; 1,5M memiliki aktivitas sisa berturut-turut adalah 16,96%; 33,22%; dan 41,69% setelah penyimpanan selama 60 menit pada suhu 600C.

Enzim dengan penambahan gliserol 0,5M; 1M; 1,5M tidak menyebabkan perubahan suhu optimum tetapi mengalami perubahan pH optimum dari 6 menjadi 6,5. Enzim dengan penambahan gliserol 0,5M mempunyai nilai KM =

1,82 mg mL-1 substrat, Vmaks = 1,34 mol mL-1 menit-1, t1/2 = 21,00 menit, ki =

0,033, ΔGi = 102,652 kJ mol-1; gliserol 1M, KM = 1,75 mg mL-1 substrat, Vmaks =

3,44 mol mL-1

menit-1 gliserol t1/2 = 21,00 menit, ki = 0,033, ΔGi = 102,652 kJ

mol-1; gliserol 1,5M, KM = 2,15 mg mL-1, Vmaks = 1,71 mol mL-1 menit-1, t1/2 =

27,72 menit, ki = 0,025, ΔGi = 103,421 kJ mol-1. Enzim setelah penambahan

gliserol 0,5M; 1M; 1,5M memiliki aktivitas sisa berturut-turut adalah 14,16%; 14,16%; 24,79% selama penyimpanan 60 menit pada suhu 600C.


(2)

enzim sebelum penambahan poliol.


(3)

BAB. II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Enzim

Enzim merupakan unit fungsional dari metabolisme sel, bekerja dengan urutan- urutan yang teratur, mengkatalisis ratusan reaksi bertahap yang menyimpan dan mentransformasikan energi kimiawi dan membuat makromolekul sel dari prekusor sederhana (Lehninger, 1982).

Sifat enzim yang sangat penting adalah tingginya efisiensi dan derajat katalitiknya terhadap substrat. Efisiensi katalitik enzim berkaitan dengan orientasi optimum gugus aktif enzim dan substrat. Orientasi keduanya sangat mendukung sehingga saat terjadi reaksi tidak memerlukan energi yang besar untuk mengatur posisi. Spesifitas enzim berkaitan dengan reaksi enzim yang sangat spesifik, satu enzim hanya akan bereaksi dengan satu substrat atau setiap enzim menyebabkan perubahan satu langkah pada substratnya (Toha, 2001).

Fungsi yang terpenting dari suatu enzim adalah kemampuannya dalam menurunkan energi aktivasi pada suatu reaksi kimiawi. Kemampuan enzim dalam mendegradasi substrat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain konsentrasi enzim, konsentrasi substrat, pH serta suhu. Pada umumnya terdapat hubungan


(4)

antara konsentrasi enzim dan substrat bagi aktivitas maksimumnya, begitu juga setiap enzim berfungsi secara optimal pada pH dan suhu tertentu (Lehninger, 1982).

B. Enzim Amilase

Enzim amilase merupakan enzim yang mempunyai aktivitas memecah molekul pati dan glikogen (Judoamidjojo et al., 1989). Menurut Winarno (1986), enzim amilase dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan enzim yaitu :

1. α-amilase (α- 1,4 glukan – 4 – glukanhidrolase), yang memecah pati secara acak dari tengah atau dari bagian dalam molekul, karenanya disebut endoamilase.

2. β-amilase (β- 1,4 glukan maltohidrolase), yang menghidrolisis unit- unit gula dari ujung molekul pati, karenanya disebut eksoamilase.

3. Glukoamilase, yang dapat memisahkan glukosa dari terminal gula non- pereduksi substrat pati.

Berdasarkan cara kerja ketiga enzim diatas, enzim α-amilase memiliki kemampuan tercepat dalam menghidrolisis molekul karbohidrat menjadi molekul yang lebih kecil. Enzim α-amilase, akan menyerang ikatan kedua dari ujung nonreduksi suatu polisakarida yang akan menghasilkan suatu disakarida yang disebut maltosa, kemudian amiloglukosidase akan menyerang ikatan terakhir pada ujung nonreduksi. Amilase dan amiloglukosidase dapat digunakan secara


(5)

7

bersamaan untuk memecah suatu molekul polisakarida menjadi gula sederhana. Salah satu contoh aplikasinya yaitu pada pembuatan sirup jagung.

Enzim α-amilase (3.2.1.1), dapat menghidrolisis suatu substrat polisakarida yang memiliki ikatan α – 1,4 glukan - glukanhidrolase. Histidin, dithiothreitol dan mercaptoetanol berperan sebagai kofaktor enzim ini. Selain itu ada beberapa logam yang juga dapat berperan sebagai kofaktor antara lain Ca2+, Ba2+, Mn2+, Ag+, dan Fe2+. Sedangkan Hg2+, Ca2+, Mg2+, Fe2+, Al3+, Cd2+, dan Ni2+ berperan sebagai inhibitor (Schomburg dan Salzmann, 1991).

C. Isolasi dan Pemurnian Enzim 1. Homogenisasi

Homogenisasi digunakan untuk memecah sel dan mengekstraksi enzim agar didapatkan suspensi homogen. Alat yang digunakan disebut homogenisator seperti waring blender yang dapat diputar dengan motor dan diatur kecepatannya. Dalam pengerjaannya perlu dijaga jangan sampai berbusa karena enzim yang terekstrak akan terdenaturasi, proses ini dilakukan pada suhu 2-40C (Judoamidjojo et al., 1989).

2. Sentrifugasi

Sentrifugasi digunakan untuk memisahkan enzim ekstraseluler dari sisa-sisa sel. Sentrifugasi akan menghasilkan supernatan yang jernih dan endapan yang terikat kuat pada dasar tabung, yang kemudian dipisahkan secara manual.


(6)

Sel-sel mikroba biasanya mengalami sedimentasi pada kecepatan 5000 g Sel-selama 15 menit (Scopes, 1984 dalam Walsh dan Headon, 1994).

3. Fraksinasi dengan amonium sulfat

Sebagian besar enzim berada dalam bentuk cairan sel sebagai protein terlarut. Kelarutan enzim tersebut merupakan interaksi polar dengan pelarut dan gaya tolak-menolak antara molekul yang bermuatan sama (Scopes, 1984).

Pada konsentrasi rendah, ion-ion akan melingkupi molekul protein dan mencegah bersatunya molekul-molekul protein tersebut (salting in), sehingga protein melarut (Suhartono, 1989). Semakin tinggi konsentrasi garam, maka kelarutan protein enzim akan semakin rendah (kelarutan protein enzim dalam air lebih rendah daripada kelarutan garam dalam air) yang dikenal dengan istilah salting out). Garam yang sering digunakan untuk mengendapkan protein dan enzim adalah amonium sulfat. Kelebihan amonium sulfat dibandingkan garam-garam yang lain yaitu mempunyai kelarutan yang tinggi, tidak mempengaruhi aktivitas enzim, mempunyai daya pengendap yang efektif, mempunyai efek penstabil terhadap kebanyakan enzim, dapat digunakan pada berbagai pH, dan harganya murah (Scopes, 1984).


(7)

9

4. Dialisis

Dialisis merupakan metode yang biasa digunakan untuk memisahkan garam dari larutan protein. Proses yang terjadi karena adanya perbedaan tekanan osmosis antara cairan yang ada di dalam membran dan yang di luar. Prosesnya, molekul protein atau enzim yang berukuran besar akan tertahan dalam kantung dialisis sedangkan molekul-molekul kecil seperti garam anorganik akan keluar melalui pori-pori membran. Keluarnya molekul menyebabkan distribusi ion-ion yang ada di dalam dan di luar kantong dialisis tidak seimbang. Untuk memperkecil pengaruh ini digunakan larutan buffer dengan konsentrasi rendah di luar kantong dialisis. Membran yang digunakan adalah selofan (Lehninger, 1982).

5. Kromatografi penukar ion

Kromatografi penukar ion adalah metode kromatografi yang paling umum digunakan untuk pemurnian protein (Bollag et al., 1996).

Prinsip dasar teknik penukar ion adalah memisahkan biomolekul berdasarkan muatan ioniknya. Penukar ion terdiri atas matriks yang tidak larut dan gugus bermuatan yang terikat secara kovalen pada matriks. Gugus-gugus bermuatan berasosiasi dengan counter ion. Counter ion dapat digantikan secara reversibel oleh ion-ion lain yang bermuatan sama. Penukar ion yang bermuatan positif mempunyai counter ion yang bermuatan negatif, sehingga disebut penukar anion. Sedangkan penukar kation bermuatan negatif, mempunyai counter ion yang bermuatan positif. Protein yang terikat


(8)

pada penukar dapat dielusi dari kolom dengan mengubah pH atau konsentrasi garam, misalnya NaCl. Penukar ion dengan matriks selulosa yang banyak digunakan dalam pemisahan adalah DEAE-selulosa dan CM-selulosa. Gugus DEAE, -OC2H5NH(C2H5)2 bermuatan positif pada pH

6,0-8,0 sehingga dapat digunakan untuk protein yang bermuatan negatif pada rentang pH tersebut. Sedangkan CM-selulosa (selulosa-OCH2COO-) dapat

digunakan untuk pemisahan protein yang bermuatan positif pada pH 4,5 (Palmer, 1991 dalam Sariningsih, 2000).

Kelebihan metode ini dibandingkan dengan metode filtrasi gel adalah apabila menggunakan sampel yang banyak tidak terlalu dipengaruhi oleh tinggi kolom, sehingga efisiensi diameter kolom dapat ditingkatkan (Suhartono, 1989)

D. Kinetika Reaksi Enzim

Kinetika reaksi enzim adalah suatu cabang enzimologi yang membahas faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan reaksi enzimatis. Salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim adalah konsentrasi substrat, dengan mengubah-ubah konsentrasi substrat, dapat dipelajari mekanisme reaksi enzim, yakni bagaimana tahap-tahap terjadinya pengikatan substrat oleh enzim, maupun pelepasan produknya (Suhartono, 1989).


(9)

11

Reaksi enzim :

k1 k3

E + S ES E + P ...(1) k2

E = Enzim ; S = Substrat ; ES = Keadaan transisi dari komplek E dengan S ; P = hasil reaksi (produk).

Untuk mempermudah menghitung konsentrasi substrat yang diperlukan dalam mencapai kecepatan maksimumnya, digunakan tetapan Michaelis-Menten. Nilai Vmaks dan KM (konstanta Michaelis–Menten) didapat dengan

mengadakan percobaan penentuan kecepatan reaksi V pada perbedaan konsentrasi substrat, sehingga diperoleh :

V= ...(2) } [ ] [ S Km S Vmaks

Persamaan diatas dapat diubah menjadi :

 

S Vmaks Km Vmaks v 1 1 1 

 ... (3)

Dengan demikian terlihat bahwa bila dibuat grafik yang menunjukkan hubungan antara 1/ V dan 1/ [S], akan terjadi garis lurus ( Gambar 1.). Metode penentuan harga KM dan VMaks dengan cara ini disebut metode grafik


(10)

Gambar 1. Kurva Lineweaver-Burk.

E. Stabilitas Enzim

Stabilitas enzim dapat diartikan sebagai kestabilan enzim selama penyimpanan dan penggunaan enzim tersebut, serta kestabilan terhadap senyawa yang bersifat merusak seperti pelarut tertentu (asam atau basa) oleh pengaruh suhu dan pH ekstrim (Wiseman, 1978 dalam Seriaty, 1991).

Stabilitas enzim dipengaruhi oleh banyak faktor seperti suhu, pH, pelarut, kofaktor, dan adanya surfaktan (Eijnsink et al., 2005). Dari faktor–faktor tersebut suhu dan pH memegang peranan penting dan sangat tepat untuk dipelajari. Pada suhu tinggi kebanyakan enzim akan membuka atau inaktif, yang berarti tidak fungsional lagi. Proses inaktivasi enzim pada suhu tinggi berlangsung melalui dua tahap, pertama adanya pembukaan parsial struktur sekunder, tersier dan kuartener molekul enzim, dan adanya perubahan struktur primer enzim karena adanya kerusakan asam amino tertentu oleh panas (Ahern dan Klibanov, 1987).


(11)

13

Enzim memiliki konstanta disosiasi pada gugus asam maupun basa, terutama pada gugus residu terminal karboksil dan terminal aminonya. Perubahan keaktifan enzim akibat perubahan pH lingkungan disebabkan terjadinya perubahan ionisasi enzim, substrat atau kompleks enzim-substrat (Winarno, 1986).

F. Bacillus subtilis

Bacillus subtilis adalah bakteri gram positif berbentuk batang yang dapat membentuk endospora, anaerobik fakultatif, ditemukan pada permukaan tanah, air, lingkungan akuatik, saluran pencernaan manusia dan hewan.

Sel Bacillus subtilis mempunyai ukuran panjang 2,0-8,0 µ dengan lebar 0,3-0.7 µ (Suriawiria, 1986). Bakteri ini tersusun dalam bentuk rantai dan bergerak dan berwarna keruh (Gupte, 1990).

Bakteri ini dapat tumbuh pada suhu 12 - 480C dan pH 6,5 – 10,8. Suhu optimum untuk pertumbuhan adalah 27 – 350C dengan pH 7,0 – 7,5.

Dalam taksonomi mikrobiologi, kedudukan Bacillus subtilis adalah sebagai berikut :


(12)

Divisio : Protophyta Kelas : Schizomycetes Ordo : Eubacteriales Famili : Bacillaceae Genus : Bacillus

Bakteri ini mampu menghasilkan enzim amilase, protease, kaseinase dan antibiotik bacitrasin. Bacillus subtilis juga mampu memfermentasikan glukosa menghasilkan 2,3-butanadiol dan gas CO2 (Brock, 1979).

G. Senyawa Aditif Enzim

Senyawa aditif merupakan senyawa yang ditambahkan pada larutan enzim sehingga dapat meningkatkan stabilitas struktur protein enzim tanpa mempengaruhi interaksi kovalen pada enzim. Penggunaan senyawa aditif terbukti dapat mempertahankan konformasi enzim (Suhartono, 1989).

Salah satu senyawa aditif yang sering digunakan adalah poliol (polihidroksi alkohol), poliol yang diketahui reaktif adalah yang mengandung tiga karbon atau lebih.


(13)

15

Beberapa jenis poliol yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Gliserol

Gliserol atau dikenal juga dengan gliserin atau glisil alkohol, memiliki berat molekul sebesar 92,094 g/mol, densitas 1.261 g/ cm3, titik didih 290 oC dan titik leleh 18 oC. Gliserol adalah gula alkohol yang memiliki tiga gugus hiroksil (- OH) yang bersifat hidrofilik, oleh karenanya gliserol dapat larut dalam air.

Gliserol merupakan komponen penting dalam trigliserida dan fosfolipid. Dalam keadaan murni merupakan senyawa yang tidak berbau, tidak berwarna, higroskopis, dan berupa cairan kental yang berasa manis. Struktur gliserol dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur gliserol

2. Sorbitol

Sorbitol juga dikenal dengan glusitol. Sorbitol memiliki berat molekul 182, 17 g/mol, densitas sebesar 0,68 g/cm3, titik didih 296 oC dan titik leleh 95 oC. Sorbitol banyak ditemukan pada buah-buahan dan biji-bijian dari genus Sorbus. Sorbitol digunakan sebagai bahan campuran sirup obat batuk, selain itu sorbitol juga digunakan sebagai gula pengganti pada


(14)

makanan dan minuman rendah kalori. Struktur dari sorbitol dapat dilihat pada Gambar 3 :

Gambar 3. Struktur Sorbitol


(15)

III. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia dan Laboratorium Instrumentasi Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung, pada bulan September 2009 sampai dengan April 2010.

B. Alat dan Bahan

Alat- alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain inkubator, laminar air flow, autoklaf (speed clave) model S-90N, shaker (orbit environ shaker), jarum ose, sentrifuse dingin (cold plate), tabung sentrifuga, pH meter, penangas air, lemari pendingin, termometer, neraca analitik, kolom kromatografi, spektrofotometer UV-Vis, dan peralatan umum laboratorium lainnya.

Bahan-bahan yang digunakan adalah medium NA (Nutrient Agar), yeast ekstrak, pati, pereaksi DNS (dinitrosalisilic acid), pereaksi Iodin, amonium sulfat, buffer pospat, BSA(Bovine Serum Albumin), Na2CO3, MgSO4.7H2O, CaCl2, KH2PO4,

Ba(OH)2, kapas, kasa, Na(K) tartarat, reagen Folin-Ciocelteau, kantung selofan,


(16)

Mikroorganisme yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis bakteri, yaitu Bacillus subtilis ITBCCB148 yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi dan Teknologi Fermentasi ITB.

C. Prosedur Penelitian 1. Pembuatan Pereaksi

a. Pembuatan Peraksi Untuk Pengukuran Aktivitas α-amilase Metode Fuwa

(1.) Larutan KI : Kedalam labu takar 100 mL, sebanyak 2 gram KI dilarutkan dalam 10 mL aquades, ditambahkan 0,2 gram I2, lalu ditambahkan aquades hingga tanda

batas.

(2.) Larutan pati : Kedalam labu takar 100 mL,sebanyak 0,1 gr pati dilarutkan dalam 100 mL aquades, dipanaskan hingga larut.

b. Pembuatan Pereaksi Untuk Pengukuran Aktivitas α-amilase Metode Mandels

Ke dalam labu takar 100 mL, dimasukkan 1% NaOH, 40% garam Na(k) tartarat, 1% DNS (dinitrosalisilic acid), 0,2% fenol dan 0,05% Na2SO3

kemudian dilarutkan dengan 100 mL aquades hingga tanda batas (Mandels et al., 1976).


(17)

19

c. Pembuatan Pereaksi Untuk Pengukuran Kadar Protein Metode Lowry

1.) Pereaksi A : 2 gram Na2CO3 dilarutkan dalam 100 ml

NaOH 0,1 N

(2.) Pereaksi B : 5 ml larutan CuSO4.5H2O 0,1 %

ditambahkan ke dalam 5 ml larutan Na(K)tartarat 1%

(3.) Pereaksi C : 100 ml pereaksi A dan 2 ml pereaksi B (4.) Pereaksi D : reagen Folin-Ciocelteau diencerkan dengan aquades dengan perbandingan 1:1

(5.) Larutan standar : larutan BSA (Bovine Serum Albumin) diencerkan hingga mengandung 0.100 – 0.250 mg/ml.

2. Produksi enzim α-amilase

Media inokulum dan media fermentasi yang digunakan adalah media yang mengandung yeast ekstrak 0,5%, pati 0,5%, KH2PO4 0,05%, MgSO4.7H2O

0,02%, dan CaCl2.2H2O 0,01% yang dilarutkan dalam akuades. Media

disterilisasi pada suhu 1210C, tekanan 1 atm, selama ± 15 menit dalam autoklaf. Bacillus subtilis ITBCCB148 dari media agar miring dipindahkan ke dalam media inokulum secara aseptis, lalu dikocok dalam shaker incubator dengan kecepatan 150 rpm pada suhu 320C selama 24 jam. Selanjutnya media inokulum


(18)

dipindahkan ke media fermentasi dengan kecepatan 150 rpm pada suhu 320C selama 72 jam (Yandri et al., 2000).

3. Isolasi dan Pemurnian Enzim α –amilase A. Isolasi Enzim α-amilase

1. Sentrifugasi

Sentrifugasi merupakan tahap awal pemurnian enzim. Metode ini digunakan untuk memisahkan enzim ekstraseluler dari sisa-sisa sel. Sentrifugasi akan menghasilkan filtrat yang jernih dan endapan yang terikat kuat pada dasar tabung, yang kemudian dipisahkan secara manual.

Media fermentasi yang berisi Bacillus subtilis ITBCCB148 yang telah dikocok menggunakan shaker inkubator selama 72 jam disentrifugasi pada 5000 rpm, suhu 40C selama 20 menit. Filtrat yang diperoleh merupakan ekstrak kasar enzim yang selanjutnya dilakukan uji aktivitas amilase dengan metode Fuwa dan pengukuran kadar protein metode Lowry.

2. Pengujian aktivitas α-amilase dan kadar protein

Uji aktivitas dengan metode Fuwa dan penentuan kadar protein dengan metode Lowry dilakukan pada tahap isolasi, pemurnian dengan amonium sulfat, dialisis, kromatografi kolom, dan karakterisasi enzim baik sebelum maupun sesudah penambahan sorbitol dan gliserol.


(19)

21

a. Pengujian aktivitas α-amilase metode Fuwa

Aktivitas enzim α-amilase ditentukan oleh metode Fuwa (Fuwa, 1954). Sebanyak 250 µ L enzim ditambahkan 250 µL larutan pati 0,1%, dan diinkubasi pada suhu 600C selama 10 menit. Reaksi dihentikan dengan menambahkan 250 µ L HCl 1 N dan kemudian ditambahkan 250 µ L larutan KI dan 4 mL aquades kedalam tabung reaksi. Uji ini positif bila menghasilkan larutan kompleks berwarna kuning, kemudian absorbansi diukur dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 600 nm. Kontrol dibuat dengan cara yang sama tetapi menggunakan enzim yang sudah diinaktifkan.

b. Pengujian aktivitas α-amilase Metode Mandels

Pengujian aktivitas enzim α-amilase dengan metode Mandels dilakukan berdasarkan glukosa yang terbentuk. Uji ini dilakukan pada tahap karakterisasi enzim hasil isolasi dan penentuan KM dan VMaks, yaitu dengan

cara sebanyak 0,5 mL enzim ditambah 0,5 mL larutan pati 0,1%, lalu diinkubasi selama 30 menit pada suhu 60 oC. Setelah itu ditambahlkan 2 mL pereaksi DNS, dididihkan selama 10 menit pada penangas air kemudian didinginkan. Setelah dingin serapan diukur pada panjang gelombang 550 nm. Kadar glukosa yang terbentuk ditentukan dengan menggunakan kurva standar glukosa.


(20)

c. Penentuan kadar protein metode Lowry

Kadar protein enzim ditentukan dengan metode Lowry et al (1951). Sebanyak 0,1 mL enzim ditambahkan 0,9 mL akuades lalu direaksikan dengan 5 mL pereaksi C, lalu campuran diaduk secara merata dan dibiarkan selama 10 menit pada suhu kamar. Setelah itu ditambahkan dengan cepat 0,5 mL pereaksi D dan diaduk dengan sempurna, didiamkan selama 30 menit pada suhu kamar. Untuk kontrol, enzim diganti dengan 1 mL akuades, selanjutnya perlakuannya sama seperti sampel. Serapan diukur menggunakan spektrofotometer UV-VIS pada 750 nm. Untuk menentukan konsentrasi protein enzim digunakan kurva standar BSA (Bovine Serum Albumin)

4. Pemurnian Enzim

a. Fraksinasi dengan Amonium Sulfat [(NH4)2SO4]

Ekstrak kasar enzim yang diperoleh, diendapkan dengan garam amonium sulfat. Skema proses pengendapan dengan penambahan amonium sulfat dapat dilihat pada Gambar 8. Secara terfraksi endapan protein enzim yang didapatkan, dipisahkan dari cairannya dengan cara sentrifugasi pada kecepatan 5000 rpm selama 20 menit dengan suhu 4oC. Kemudian endapan yang diperoleh dilarutkan dalam buffer pospat pH 6; 0,1 M. Hasil fraksinasi


(21)

23

dengan amonium sulfat ini, kemudian diuji aktivitasnya dengan metode Fuwa dan kadar proteinnya dengan metode Lowry.

Skema proses fraksinasi dengan penambahan garam amonium sulfat dijelaskan pada Gambar 4.

Ekstrak kasar enzim α-amilase

+ (NH4)2SO4 (0 – 20%)

Filtrat Endapan (F1) + (NH4)2SO4 (20 – 40%)

Endapan (F2) Filtrat

+ (NH4)2SO4 (40 - 60%)

Endapan (F3) Filtrat

+ (NH4)2SO 4 (60 – 80%)

Endapan (F4) Filtrat

+ (NH4)2SO4 (80 – 100%)

Endapan (F5) Filtrat


(22)

b. Dialisis

Endapan enzim yang telah dilarutkan dari tiap fraksi amonium sulfat yang mempunyai aktivitas yang tinggi, dimasukkan dalam kantung selofan dan didialisis dengan bufer pospat pH 6; 0,01 M selama  40 jam dengan menggunakan stirer dalam suhu dingin. Kemudian hasil dialisis diuji aktivitas enzim dengan menggunakan metode Fuwa dan kadar proteinnya ditentukan dengan menggunakan metode Lowry.

c. Kromatografi Kolom

Proses kromatografi yang dilakukan adalah kromatografi penukar ion dengan menggunakan CMC. Proses pengerjaannya

sebagai berikut :

a. Pengembangan gel

CMC disuspensikan dalam akuades dan dibiarkan mengembang pada suhu kamar. Partikel halus dibuang dengan cara dekantasi. Setelah itu ditambahkan NaOH 0,5 M dan HCl 0,5 M kemudian distabilkan dengan buffer awal.

b. Penentuan buffer awal

CMC yang sudah siap, distabilkan menggunakan buffer pospat 0,1 M dengan variasi pH yaitu 5,0; 5,5; 6,0; 6,5; 7,0; 7,5; dan 8,0. Kemudian ke dalam matriks ditambahkan 0,5 mL enzim hasil dialisis dan dielusi dengan


(23)

25

buffer yang sesuai, diaduk 5-10 menit. Campuran selanjutnya di dekantasi dan diuji aktivitas enzimnya.

c. Penentuan buffer elusi

Penentuan buffer elusi dilakukan sama seperti di atas. Setelah CMC distabilkan menggunakan buffer pospat 0,1 M dan kemudian ke dalam masing – masing tabung ditambah 0,5 mL enzim, kemudian masing-masing tabung dielusi dengan buffer pospat dengan pH yang divariasikan, di aduk 5-10 menit. Campuran tersebut selanjutnya dibiarkan hingga CMC mengendap dan supernatan didekantasi dan diuji aktivitas enzimnya.

d. Pembuatan kolom gel

Pembuatan kolom gel dilakukan dengan membubuhi wool glass dibagian bawah. Kolom dipasang tegak lurus, kemudian gel yang telah disetimbangkan dimasukkan ke dalam kolom dengan bantuan batang pengaduk dan diusahakan jangan sampai ada gelembung udara di dalam kolom. Kran pengatur tetesan dibuka sedemikian rupa sehingga kecepatan tetes 15-20 mL/jam.

e. Penempatan cuplikan ke dalam kolom

Cuplikan (larutan enzim) diteteskan ke permukaan kolom secara perlahan-lahan.

f. Penampungan eluen


(24)

g. Pengukuran eluen

Pengukuran eluen dilakukan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 280 nm, selanjutnya absorbansi setiap fraksi diplotkan terhadap nomor fraksi.

h. Pengukuran aktivitas enzim

Setiap fraksi pada pola protein yang diperoleh dari pengukuran eluen di atas ditentukan aktivitasnya. Semua fraksi yang menunjukkan aktivitas enzim dikumpulkan menjadi satu, lalu ditentukan aktivitas unit dan aktivitas spesifiknya.

5. Karakterisasi Enzim

a. Penentuan Suhu Optimum Sebelum Penambahan Poliol

Untuk mengetahui temperatur optimum kerja enzim dilakukan dengan variasi suhu antara 55, 60, 65, 70, 75, dan 80oC, kemudian dilakukan pengukuran aktivitas enzim dengan metode Fuwa.

b. Penentuan pH Optimum Sebelum Penambahan Poliol

Untuk mengetahui pH optimum dari enzim hasil pemurnian digunakan buffer pospat 0,01 M dengan variasi pH yaitu 5; 5,5; 6; 6,5; 7; 7,5; 8,0; dan 8,5 . Kemudian dilakukan pengukuran aktivitas enzim dengan metode Fuwa.


(25)

27

c. Penentuan Nilai KM dan VMaks Enzim Sebelum penambahan Poliol

Nilai KM dan VMaks enzim yang telah dimurnikan ditentukan

dengan memvariasikan konsentrasi substrat yaitu 0,1; 0,2; dan 0,4, 0,6, 0,8 dan 1%. Dengan menggunakan data hasil penentuan pH dan suhu optimum, dilakukan pengukuran aktivitas enzim dengan metode Mandels. Kemudian data diplotkan kedalam kurva Lineweaver-Burk untuk penentuan nilai KM dan VMaks.

d. Penentuan pH optimum setelah penambahan poliol

Larutan poliol ditambahkan pada enzim hasil pemurnian dengan perbandingan (1 : 1), (enzim : poliol) untuk konsentrasi poliol masing-masing 0,5; 1,0; dan 1,5 M. Selanjutnya enzim dikondisikan pada variasi pH 5,0; 5,5; 6,0; 6,5; 7,0; 7,5; 8,0; dan 8,5. Kemudian dilakukan pengukuran aktivitas unit enzim dengan metode Fuwa. Kontrol dibuat dengan perlakuan yang sama, yaitu diinkubasi pada waktu dan pH yang sama tetapi menggunakan enzim yang telah diinaktifkan. Enzim kontrol ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh penambahan poliol terhadap aktivitas sisa enzim.


(26)

e. Penentuan Suhu Optimum Setelah Penambahan Poliol

Larutan poliol ditambahkan pada enzim hasil pemurnian dengan perbandingan 1 : 1, ( enzim : poliol) untuk konsentrasi poliol masing–masing 0,5M; 1M; 1,5 M. Selanjutnya sebanyak 250 µL campuran enzim–poliol, kemudian di inkubasi selama 10 menit pada suhu 55, 60, 65, 70, 75 dan 800C dalam waterbath. Reaksi dihentikan dengan menambahkan 250 µL HCl 1 N dan ditambahkan 250 µL larutan KI dan 4 ml aquades. Sebagai kontrol, enzim yang telah diinaktifkan diinkubasi pada suhu dan waktu yang sama.

f. Penentuan Km dan Vmaks Setelah Penambahan Poliol

Nilai KM dan VMaks enzim setelah penambahan poliol ditentukan dengan

memvariasikan substrat yaitu 0,1; 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; dan 1% . Dengan menggunakan data hasil penentuan pH dan suhu optimum enzim setelah penambahan poliol, aktivitas enzim ditentukan dengan metode Mandels. Kemudian data diplotkan ke dalam kurva Lineweaver – Burk untuk penentuan nilai KM dan VMaks.

g. Uji stabilitas termal enzim (Yang et al., 1996)

Penentuan stabilitas termal enzim dilakukan dengan mengukur aktivitas sisa enzim setelah diinkubasi selama suhu dan pH tertentu (suhu dan pH optimum). Caranya adalah dengan mengukur aktivitas enzim setelah proses pemanasan selama waktu tertentu sesuai dengan pengukuran aktivitas enzim.


(27)

29

Aktivitas awal enzim (tanpa perlakuan) di beri nilai 100%.

Aktivitas sisa = Aktivitas enzim setelah perlakuan x 100%

Aktivitas enzim awal (tanpa perlakuan)

(Virdianingsih, 2002)


(28)

Gambar 5. Diagram alir Penelitian Pemurnian Enzim 1. Fraksinasi dengan amonium sulfat 2. Dialisis 3. Kromatografi

Uji aktivitas enzim Metode Fuwa dan kadar protein Metode Lowry

Karakterisasi enzim

Mempelajari pengaruh poliol

KM dan VMaks

Suhu optimum Suhu optimum enzim setelah penambahan poliol Produksi enzim Ekstrak kasar pH Optimum pH optimum enzim setelah penambahan poliol

Km dan Vmaks setelah penambahan

poliol

Metode Mandels

Metode Mandels Stabiltas


(29)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Isolasi Enzim α-amilase

Enzim α-amilase dari Bacillus Subtilis ITBCCB148 diperoleh dengan menanam isolat bakteri dalam media inokulum selama 24 jam. Media inokulum tersebut kemudian dipindahkan ke dalam media fermentasi selama 72 jam pada suhu 320C. Media inokulum dan fermentasi diinkubasi dalam shaker inkubator pada suhu 320C dengan kecepatan 150 rpm. Media inokulum dan fermentasi mengandung yeast ekstrak 0,5%, pati 0,5%, KH2PO4 0,05%, MgSO4.7H2O 0,02% dan CaCl2.2H2O 0,01% yang

dilarutkan dalam akuades. Ekstrak kasar enzim α-amilase dalam media fermentasi dipisahkan dari komponen sel lainnya menggunakan sentrifuga dengan kecepatan 3500 rpm selama 20 menit pada suhu 40C. Ekstrak kasar enzim α-amilase yang diperoleh memiliki aktivitas spesifik sebesar 393 U/mg.

B. Pemurnian Enzim

Ekstrak kasar enzim α-amilase yang diperoleh kemudian dimurnikan. Pemurnian enzim yang dilakukan meliputi beberapa tahap yaitu fraksinansi dengan amonium sulfat, dialisis, dan kromatografi kolom penukar ion menggunakan CMC.


(30)

1. Fraksinasi dengan amonium sulfat

Fraksinasi enzim dilakukan dengan menambahkan garam amonium sulfat dengan berbagai tingkat kejenuhan. Kemudian endapan enzim yang dihasilkan dilarutkan dengan buffer pospat 0,1 M.

Penambahan senyawa elektrolit ke dalam larutan enzim akan menyebabkan menurunnya kelarutan enzim, sehingga terbentuk endapan dari protein enzim. Jika suatu garam yang kelarutannya dalam air sangat besar seperti amonium sulfat ditambahkan ke dalam larutan protein, maka terjadi kompetisi antara garam tersebut dan protein untuk dapat larut dalam air. Karena molekul protein jauh lebih besar dibandingkan dengan molekul amonium sulfat, maka amonium sulfat lebih mudah larut dengan mengambil air yang tersolvatasi pada permukaan protein sehingga molekul–molekul protein dapat berinteraksi satu sama lain untuk membentuk agregat (Scopes, 1984).

Gambar 6. Hubungan antara kejenuhan ammonium sulfat dengan aktivitas spesifik enzim α-amilase


(31)

33

Dari Gambar 6 (Lampiran 1 Tabel 3) dapat dilihat bahwa aktivitas spesifik tertinggi enzim α-amilase ditunjukkan pada fraksi 40-60% yaitu sebesar 4.184,9 U/mg. Tetapi dapat dilihat pula bahwa aktivitas spesifik enzim pada fraksi 0-20% menunjukkan angka yang cukup besar yaitu 1.647,85 U/mg, dan fraksi 60-80% dengan aktivitas spesifik sebesar 2.459,62. Sehingga untuk proses selanjutnya fraksinasi hanya di bagi menjadi dua tahap yaitu 0-40% dan 40-85%. Hal ini dimaksudkan untuk menambah perolehan protein enzim yang didapat, sehingga tidak kehilangan banyak protein enzim selama proses pemurnian dan aktivitas α-amilase yang didapat cukup besar. Fraksi 0-40% tidak digunakan pada proses pemurnian selanjutnya, karena pada fraksi ini enzim -amilase yang mengendap sangat sedikit sekali. Oleh karena itu fraksi 40-85% yang digunakan pada tahap pemurnian selanjutnya.

2. Dialisis

Endapan protein enzim hasil fraksinasi amonium sulfat 40-85% selanjutnya dimurnikan dengan dialisis. Dialisis dilakukan pada suhu dingin dan menggunakan magnetik stirer. Proses dialisis ini bertujuan untuk memisahkan protein enzim dari garam-garam dan ion-ion sehingga diperoleh enzim dengan kemurnian dan aktivitas yang tinggi.

Enzim α-amilase hasil dialisis fraksi ammonium sulfat 40-85% memiliki aktivitas spesifik 3.649 U/mg. Hasil tersebut menunjukkan bahwa aktivitas spesifik enzim hasil dialisis meningkat dengan tingkat kemurnian yang lebih


(32)

tinggi yaitu 9 kali lebih murni dibandingkan dengan ekstrak kasar dengan perolehan 60%.

3. Kromatografi kolom penukar ion dengan menggunakan CMC

Tahap ini merupakan langkah akhir pemurnian enzim -amilase. Pemurnian dengan kromatografi kolom penukar ion dengan menggunakan CMC (karboksil metil selulose) diawali dengan penentuan buffer awal yaitu buffer yang sesuai untuk kolom penukar kation tersebut. Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan, enzim dapat menukar counter ion dengan baik pada pH 5,2. Oleh karena itu digunakan larutan buffer pospat pH 5,2; 0,05 M sebagai buffer awal. Sedangkan untuk buffer pengelusi, digunakan larutan buffer pospat pH 8,5; 0,05 M. Pola protein (A280nm) dan aktivitas unit (U mL -1) enzim α

-amilase hasil kromatografi kolom penukar ion dengan menggunakan CMC dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Kromatogram enzim α-amilase dari Bacillus subtilis ITBCCB148 pada kolom CMC


(33)

35

Gambar 7 menunjukkan ada 3 puncak protein yang terpisah cukup baik. Puncak protein nomor 1 dan 2 tidak terdapat aktivitas α-amilase. Hal ini menunjukkan telah terpisahnya protein selain enzim α-amilase, dimana protein enzim masih terikat dengan kuat pada matriks. Aktivitas α-amilase terletak pada fraksi nomor 25 sampai fraksi nomor 28 dengan aktivitas tertinggi pada fraksi nomor 26 pada puncak protein nomor 3 (Lampiran 1 Tabel 4). Aktivitas α-amilase pada fraksi nomor 26 memiliki aktivitas unit sebesar 180 U/mL, dengan kadar protein 0,015 mg/mL dan aktivitas spesifik sebesar 12.000 U/mg. Kemurnian enzim meningkat 30 kali dibandingkan ekstrak kasar enzim dengan perolehan 15%.

Tahapan pemurnian enzim α-amilase dari Bacillus subtilis ITBCCB148 dapat dilihat pada Tabel 1. Data-data pada tabel tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan aktivitas spesifik enzim yang cukup tinggi pada setiap tahap pemurnian. Peningkatan aktivitas spesifik enzim pada tahap pemurnian dengan dialisis (dialisis enzim hasil fraksinasi ammonium sulfat (40-85%) adalah 9 kali dan pemurnian dengan kromatografi kolom dengan menggunakan CMC adalah 30 kali. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pemurnian yang dilakukan telah berhasil mendapatkan enzim α-amilase dengan aktivitas dan tingkat kemurnian yang cukup tinggi.


(34)

Tabel 1. Pemurnian enzim α-amilase dari Bacillus subtilis ITBCCB148

Tahap Volume

enzim (ml)

Aktivitas unit (U mL-1)

Kadar protein (mgmL-1

Aktivitas spesifik (U mg-1)

Aktivitas total(U) Perolehan (%) Tingkat Kemurnian (kali) Eksrak kasar 1.000 125 0,318 393 125.000 100 1

Dialisis hasil fraksinasi (ammonium sulfat (40-85%)

60 1.259 0,345 3.649 75.540 60 9

Kromatografi kolom CMC

111 180 0,015 12.000 19.980 15 30

4. Karakterisasi enzim α-amilase Sebelum dan Sesudah Penambahan Poliol a. Penentuan pH optimum Enzim Hasil Pemurnian

Aktivitas (%) enzim α-amilase dari Bacillus subtilis ITBCCB148 hasil pemurnian terhadap berbagai pH dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar tersebut menunjukkan bahwa enzim α-amilase hasil pemurnian memiliki pH optimum 6 dengan aktivitas 100 % (Lampiran 2 Tabel 5).

Gambar 8. Hubungan antara pH dengan aktivitas enzim α-amilase hasil pemurnian


(35)

37

Menurut Suhartono (1989) meningkatnya aktivitas enzim pada pH optimum disebabkan karena terjadinya perubahan ionisasi pada gugus ionik sisi enzim yang mempengaruhi sisi aktifnya. Hal ini menyebabkan enzim dapat mengikat substrat lebih efektif dan kemudian mengubahnya menjadi produk.

Disamping pengaruh struktur ion pada enzim, pH rendah atau tinggi dapat pula menyebabkan terjadinya denaturasi dan ini akan mengakibatkan menurunnya aktivitas enzim. Pada pH di bawah pH optimum, ion H+ akan berikatan dengan gugus NH2 bebas membentuk NH3+. Hal ini menyebabkan

terputusnya ikatan hidrogen dari amina (NH2) dengan gugus karbonil dalam

molekul protein enzim dan mengakibatkan perubahan konformasi pada pusat aktif enzim. Sedangkan pada pH di atas pH optimum, ion OH- akan berikatan dengan atom hidrogen dari molekul enzim membentuk H2O,

sehingga ikatan hidrogen dalam molekul protein enzim akan putus. Jika pH semakin jauh dari pH optimum, akan menyebabkan aktivitas enzim semakin menurun hingga laju reaksi mencapai nol.

b. Penentuan suhu optimum Enzim Hasil Pemurnian

Data pada Gambar 9 (Lampiran 2 Tabel 6) menunjukkan enzim α-amilase hasil pemurnian memiliki suhu optimum pada suhu 600C. Suhu optimum adalah suhu yang menyebabkan terjadinya reaksi kimia dengan kecepatan yang paling besar.


(36)

Gambar 9. Hubungan antara suhu dengan aktivitas enzim α-amilase hasil pemurnian

Dari Gambar diatas terlihat bahwa setelah mencapai suhu optimum, aktivitas enzim menurun secara perlahan. Hal ini disebabkan karena enzim mulai mengalami perubahan konformasi yang menyebabkan sisi aktif enzim tidak sesuai dengan substrat. Demikian pula substrat, pada suhu yang terlalu tinggi substrat dapat mengalami perubahan konformasi sehingga gugus reaktifnya mengalami hambatan untuk memasuki sisi aktif enzim (Suhartono, 1989). Sedangkan pada suhu yang lebih rendah dari suhu optimum, aktivitas enzim juga rendah. Hal ini terjadi karena rendahnya energi aktivasi yang tersedia. Energi aktivasi dibutuhkan untuk menciptakan kondisi tingkat kompleks aktif, baik dari molekul enzim maupun molekul substrat.


(37)

39

c. Penentuan Km dan Vmaks enzim hasil pemurnian

Penentuan Km dan Vmaks bertujuan untuk mengetahui konsentrasi substrat

untuk menghasilkan laju reaksi maksimum. Penentuan harga KM dan Vmaks

dilakukan dengan memvariasikan konsentrasi substrat terhadap enzim. Konsentarsi substrat yang digunakan yaitu 0,1; 0,2; dan 0,4; 0,6; 0,8; 1% dalam buffer pospat pH 6 0,01M. Untuk menentukan harga KM dan Vmaks, dapat

dibuat kurva Lineweaver-Burk (Gambar 10). Dari persamaan Lineweaver – Burk diperoleh harga Vmaks enzim hasil pemurnian sebesar 3,89 µmol mL-1

menit-1 dan KM sebesar 3,99 mg mL1 substrat. Data perhitungan KM dan Vmaks

enzim α-amilase hasil pemurnian dapat dilihat pada Lampiran 3 ( Tabel 7).


(38)

d. Penentuan pH optimum setelah penambahan sorbitol dan gliserol

Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui stabilitas enzim α-amilase hasil pemurnian dan sesudah penambahan sorbitol terhadap variasi pH, serta untuk mengetahui apakah terjadi pergeseran pH optimum. Aktivitas (%) enzim α -amilase hasil pemurnian dan enzim setelah penambahan sorbitol dalam 3 variasi konsentrasi terhadap pH optimum dapat dilihat pada Gambar 11 (Lampiran 3 Tabel 8).

Gambar 11. pH optimum enzim hasil pemurnian dan enzim setelah penambahan sorbitol 0,5M; 1M dan 1,5M

Gambar 11 menunjukkan bahwa enzim α-amilase hasil pemurnian memiliki pH optimum 6. Enzim α-amilase setelah penambahan sorbitol (0,5 M; 1M; dan 1,5M) juga mempunyai pH optimum 6. Jadi tidak terjadi pergeseran pH optimum pada enzim α-amilase baik sebelum maupun sesudah penambahan sorbitol. Enzim hasil pemurnian dapat mempertahankan kestabilannya antara pH 5-6,5. Enzim setelah penambahan sorbitol 0,5M stabil pada kisaran pH 5-8.


(39)

41

Sedangkan enzim setelah penambahan sorbitol 1M mengalami penurunan aktivitas pada pH 7 dan stabil pada pH 7-8,5. Untuk enzim dengan penambahan sorbitol 1,5M stabil pada pH 5-7. Hasil tersebut menunjukkan bahwa enzim α-amilase setelah penambahan sorbitol lebih stabil pada pH basa. Sedangkan pada penambahan gliserol enzim α-amilase mengalami pergeseran pH optimum yaitu menjadi 6,5 dengan aktivitas 100% (Gambar 12 Lampiran 4 Tabel 9). Enzim dengan penambahan gliserol stabil antara pH 5-7,5, sedangkan enzim hasil pemurnian stabil antara pH 5-6,5. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa enzim dengan penambahan poliol stabil terhadap pH asam maupun basa sedangkan enzim tanpa penambahan poliol hanya stabil pada pH asam saja.

Gambar 12. pH optimum enzim hasil pemurnian dan enzim setelah penambahan Gliserol 0,5M; 1M; dan 1,5M


(40)

e. Penentuan suhu optimum setelah penambahan sorbitol dan gliserol

Aktivitas (%) enzim α-amilase setelah penambahan sorbitol dan aktivitas (%) enzim α-amilase hasil pemurnian pada berbagai suhu dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14.

Gambar 13. Suhu optimum enzim hasil pemurnian dan setelah penambahan sorbitol 0,5M; 1M dan 1,5M

Dari Gambar 13 dapat dilihat bahwa suhu optimum enzim setelah penambahan sorbitol sama dengan suhu optimum hasil pemurnian yaitu 600C (Lampiran 4 Tabel 10). Suhu optimum enzim setelah penambahan sorbitol mengalami peningkatan aktivitas (%) dibandingkan enzim sebelum penambahan sorbitol yaitu pada suhu antara 70-750C. Pada suhu 700C aktivitas enzim (%) dengan penambahan sorbitol (0,5M; 1M; 1,5M) berturut-turut adalah 54,04%; 54,09%; 83,25%. Sedangkan enzim hasil pemurnian memiliki aktivitas enzim sebesar 52,50%.


(41)

43

Gambar 14. Suhu optimum enzim hasil pemurnian dengan enzim setelah penambahan gliserol 0,5M; 1M; 1,5M

Gambar 14 menunjukkan bahwa suhu optimum enzim setelah penambahan gliserol tidak mengalami perubahan, yaitu 600C dengan aktivitas 100% ( Lampiran 5 Tabel 11). Dari Gambar diatas bahwa stabilitas enzim α-amilase relatif lebih baik dibandingkan dengan stabilitas enzim hasil pemurnian, yaitu pada suhu 700C enzim dengan penambahan gliserol (0,5M; 1M; 1,5M) memiliki aktivitas berturut-turut sebesar 62,03%, 65,06%, dan 62,17%, sedangkan aktivitas enzim hasil pemurnian sebesar 52,50%.

f. Penentuan KM dan VMaks setelah penambahan sorbitol dan gliserol

Grafik penentuan harga KM dan Vmaks enzim setelah penambahan sorbitol dan

gliserol dapat dilihat pada Gambar 15 dan 16. Gambar 15 menunjukkan harga KM enzim setelah penambahan sorbitol 0,5M; 1M; dan 1,5M berturut-turut

adalah 1,98 mg mL-1 substrat; 1,86 mg mL-1 substrat; 3,93 mg mL-1 substrat. Sedangkan harga KM untuk enzim hasil pemurnian adalah 3,89 mg mL-1


(42)

1,5M berturut-turut adalah 1,19 mol mL-1 menit-1; 1,44 mol mL-1 menit-1; 1,35 mol mL-1 menit-1. Sedangkan harga Vmaks enzim hasil pemurnian adalah

8,6λ mol mL-1

menit-1.

Gambar 15. Kurva Lineweaver-Burk enzim setelah penambahan sorbitol 0,5M; 1M; 1,5M

Gambar diatas menunjukkan harga KM setelah penambahan sorbitol 0,5M dan

1M mengalami penurunan sedangkan sorbitol 1,5M menglami peningkatan. Sedangkan untuk harga Vmaks pada konsentrasi 0,5M; 1M; dan 1,5M

mengalami penurunan. Hal ini mungkin disebabkan karena bagian aktif enzim langsung terlibat dalam aktivitas poliolnya, sehingga KM enzim mengalami

perubahan (Girindra, 1993).

Berdasarkan Gambar 15, laju reaksi enzim meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi substrat. Pada konsentrasi enzim tetap dan konsentrasi substrat rendah, laju reaksi pun amat rendah, tetapi laju ini akan meningkat dengan meningkatnya konsentrasi substrat (Lehninger, 1982).


(43)

45

Gambar 16 menunjukkan harga KM untuk enzim setelah penambahan gliserol

0,5M; 1M; dan 1,5M berturut-turut adalah 1,82 mg mL-1 substrat; 1,75 mg mL-1 substrat; 2,15 mg mL-1 substrat. Sedangkan harga KM untuk enzim hasil

pemurnian adalah 3,99 mg mL-1 substrat. Dan harga Vmaks enzim setelah

penambahan gliserol 0,5M; 1M; 1,5M berturut-turut adalah 1,34 mol mL-1 menit-1; 1,41 mol mL-1 menit-1; 1,71 mol mL-1 menit-1. Sedangkan harga Vmaks enzim hasil pemurnian adalah 3,89 mol mL-1 menit-1.

Gambar 16. Grafik Lineweaver-Burk enzim setelah penambahan gliserol 0,5M; 1M; 1,5M.

Dari data di atas harga KM pada semua konsentrasi gliserol mengalami

penurunan dibandingakn enzim sebelum penambahan poliol. Sedangkan harga VMaks setelah penambahan gliserol semuanya juga mengalami penurunan.

Hal ini disebabkan gliserol pada molekul enzim diperkirakan membuat enzim menjadi kurang fleksibel dalam larutan air. Pada kondisi tanpa penambahan gliserol, enzim dapat berinteraksi mudah dengan substrat. Sedangkan pada


(44)

kondisi penambahan gliserol, adanya molekul lain menyebabkan kondisi ini berubah sehingga VMaks menjadi turun.

g. Stabilitas termal enzim hasil pemurnian dan enzim setelah penambahan sorbitol dan gliserol

Aktivitas sisa enzim hasil pemurnian dan sesudah penambahan sorbitol dan gliserol (0,5M; 1M; 1,5M) terhadap suhu ditentukan dengan menginkubasi masing-masing enzim tersebut pada suhu 600C selama 10 menit. Aktivitas enzim diukur tiap 10 menit dan dilakukan hingga inkubasi 60 menit. Gambar 17 menunjukkan aktivitas sisa (%) enzim sebelum dan sesudah penambahan sorbitol (0,5M; 1M; 1,5M).

Gambar 17. Stabilitas enzim hasil pemurnian dan enzim setelah penambahan sorbitol (0,5M; 1M; 1,5M)

Pada gambar diatas terlihat bahwa enzim hasil pemurnian memiliki aktivitas sisa yang lebih rendah, yaitu 10,45%, bila dibandingkan enzim setelah penambahan sorbitol (0,5M; 1M; 1,5M) yang memiliki aktivitas sisa berturut-turut 16,96%; 33,22%; dan 41,69% (Lampiran 7 Tabel 15).


(45)

47

Hasil tersebut menunjukkan bahwa enzim setelah penambahan sorbitol mempunyai stabilitas termal yang lebih tinggi dibandingkan dengan enzim hasil pemurnian. Peningkatan stabilitas termal tertinggi dicapai pada enzim setelah penambahan sorbitol 1,5M.

Gambar 18. Stabilitas termal enzim hasil pemurnian dan enzim setelah penambahan gliserol (0,5M; 1M; 1,5M)

Gambar diatas menunjukkan aktivitas sisa enzim selama penyimpanan pada suhu 600C selama 60 menit. Aktivitas sisa enzim setelah penambahan gliserol (0,5M; 1M; 1,5M) berturut-turut adalah 14,16%; 14,16%; 24,79% (Lampiran 8 Tabel 17). Pada grafik terlihat bahwa aktivitas sisa enzim setelah penambahan gliserol juga meningkat dibandingkan dengan aktivitas sisa enzim hasil pemurnian yang sebesar 10,45%.

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa penambahan sorbitol dan gliserol pada enzim hasil pemurnian memberikan pengaruh yang cukup baik terhadap stabilitas enzim. Proses stabilitas enzim oleh poliol terjadi


(46)

karena adanya perubahan pada lingkungan enzim, yang menyebabkan konformasi struktur enzim menjadi lebih rigid karena intensitas interaksi hidrofobik antara gugus nonpolar yang meningkat. Interaksi hidrofobik merupakan faktor yang sangat penting dalam stabilitas struktur protein, karena dapat menyebabkan enzim mengalami folding sehingga menjadi stabil dibanding struktur unfolding (Lemos et al., 2000).

5. Konstanta laju inaktivasi termal (ki), waktu paruh (t1/2), dan perubahan energi akibat denaturasi (ΔGi) enzim hasil pemurnian dan enzim setelah penambahan sorbitol dan gliserol

Nilai konstanta laju inaktivasi termal (nilai ki), waktu paruh (t1/2), dan

perubahan energi akibat denaturasi (ΔGi) enzim hasil pemurnian dan setelah

penambahan poliol (sorbitol dan gliserol) dapat dilihat pada Tabel 2. Penentuan nilai ki enzim hasil pemurnian dan enzim dengan penambahan poliol dapat

dilihat pada Lampiran 8-10. Sedangkan contoh perhitungan nilai ΔGi dapat

dilihat pada Lampiran 11.

Tabel 2. Nilai ki, ΔGi, dan t1/2 enzim hasil pemurnian dan enzim setelah

penambahan poliol

Enzim ki (menit -1) t1/2(menit) ΔGi(kj/mol)

Hasil pemurnian Sorbitol 0,5M Sorbitol 1M Sorbitol 1,5M Gliserol 0,5M Gliserol 1M Gliserol 1,5M 0,035 0,029 0,018 0,016 0,033 0,033 0,025 19,80 23,89 38,50 43,31 21,00 21,00 27,72 102,489 103,010 104,330 104,657 102,652 102,652 103,421


(47)

49

a. Konstanta laju inaktivasi termal (ki)

Pada Tabel 2 menunjukkan terjadi penurunan nilai konstanta laju inaktivasi termal pada masing-masing setelah penambahan poliol. Hal ini berarti terjadi penurunan laju denaturasi enzim dibandingkan dengan enzim hasil pemurnian. Penurunan nilai ki diperkirakan karena kondisi enzim yang

kurang fleksibel dalam larutan air yang menjadikan ketidakterlipatan (unfolding) protein menjadi berkurang, sehingga meningkatkan kestabilan enzim.

b. waktu paruh (t1/2)

Semua waktu paruh (t1/2) enzim setelah penambahan poliol meningkat.

Menurut Stahl (1999) dalam Yandri (2004), menyatakan bahwa waktu paruh enzim akan menentukan stabilitas enzim tersebut. Berdasarkan penelitian ini, waktu paruh enzim tertinggi dicapai oleh enzim dengan penambahan sorbitol 1,5M yaitu 43,31 menit dan gliserol 1,5M sebesar 27,72 menit.

c. Perubahan energi akibat denaturasi (ΔGi)

Dari (Tabel 2) terlihat bahwa terjadi peningkatan nilai ΔGi enzim setelah

penambahan poliol dibandingkan dengan enzim hasil pemurnian, meskipun peningkatannya tidak terlalu besar. Hal ini menunjukkan bahwa enzim setelah penambahan poliol dengan konsentrasi yang lebih tinggi semakin rigid dan kurang fleksibel dalam air, sehingga energi yang diperlukan untuk mendenaturasi enzim tersebut semakin tinggi. Struktur enzim yang semakin


(48)

rigid memiliki ikatan yang lebih kuat sehingga konformasi enzim tidak mudah membuka dan struktur tersier enzim lebih dapat dipertahankann. Untuk mendenaturasi enzim tersebut dibutuhkan energi yang lebih tinggi, maka ΔGi akan semakin besar. Oleh karena itu, harga ΔGi yang semakin

besar mengindikasikan suatu enzim yang semakin rigid, kurang fleksibel dan tidak mudah terdenaturasi. Kenaikan Gi yang tidak terlalu besar ini

juga dilaporkan oleh Yandri (2004) yang menyatakan terjadi peningkatan

Gi enzim -amilase dari Bacillus subtilis, yaitu enzim hasil pemurnian

(102,3 kJ/mol) dan enzim hasil modifikasi kimia (CC-PEG 67% : 104,7 kJ/mol dan NPC-PEG 89% : 106,3 kJ/mol).


(49)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:

1. Enzim -amilase hasil pemurnian memiliki pH optimum 6 dan suhu optimum 60 oC. Nilai Km enzim hasil pemurnian adalah 3,99 mg/mL substrat dan harga Vmaks sebesar 3,89mol/mL menit.

2. Aktivitas spesifik enzim α-amilase hasil pemurnian 12.000 U/mg, meningkat 30 kali dibandingkan dengan ekstrak kasar yang memiliki aktivitas spesifik sebesar 393 U/mg.

3. Penambahan sorbitol pada enzim hasil pemurnian tidak menyebabkan perubahan pH dan suhu optimum. Enzim setelah penambahan sorbitol 0,5M mempunyai nilai KM = 1,98 mg mL-1 substrat, Vmaks = 1,19 mol mL-1 menit -1

, sorbitol 1M, KM = 1,86 mg mL-1 substrat, Vmaks = 1,44 mol mL-1 menit-1,

sorbitol 1,5M, KM = 1,35 mg mL-1, Vmaks = 3,93 mol mL-1 menit-1.

4. Penambahan gliserol pada enzim hasil pemurnian tidak menyebabkan perubahan suhu optimum tetapi mengalami perubahan pH optimum dari 6 menjadi 6,5. Enzim setelah penambahan gliserol 0,5M mempunyai nilai KM =


(50)

1,75 mg mL-1 substrat, Vmaks = 1,41 mol mL-1 menit-1, gliserol 1,5M, KM =

2,15 mg mL-1 substrat, Vmaks = 1,71 mol mL-1menit -1.

5. Uji stabilitas termal enzim setelah penambahan sorbitol 0,5M; 1M; 1,5M pada pH 6 dan suhu 600C selama 60 menit masih memiliki aktivitas sisa berturut-turut adalah 16,96%; 33,22%; dan 41,69%. Enzim dengan penambahan sorbitol 0,5 M mempunyai t1/2 = 28,39 menit; ki = 0,02λ, ΔGi = 103,010 kJ

mol-1; sorbitol 1M mempunyai t1/2 = 38,50 menit; ki = 0,018, ΔGi = 104,330 kJ

mol-1, sorbitol 1,5M mempunyai t1/2 = 43,31 menit; ki = 0,016, ΔGi = 104,657

kJ mol-1.

6. Uji stabilitas termal enzim setelah penambahan gliserol 0,5M; 1M; 1,5M pada pH 6 dan suhu 600C selama 60 menit memiliki aktivitas sisa berturut-turut adalah 14,16%; 14,16%; 24,79%. Enzim dengan penambahan gliserol 0,5M dan 1M mempunyai t1/2 = 21,00 menit, ki = 0,033, ΔGi = 102,652 kJ mol-1,

gliserol 1,5M mempunyai t1/2 = 27,72 menit, ki = 0,025, ΔGi = 103,421 kJ

mol-1.

7. Penambahan poliol untuk enzim α-amilase dari Bacillus subtilis dapat meningkatkan stabilitas termal. Penurunan nilai ki, peningkatan waktu paruh

dan ΔGi menunjukkan bahwa enzim dengan penambahan poliol lebih stabil


(51)

53

B. Saran

Dari hasil penelitian yang diperoleh, disarankan untuk menggunakan poliol jenis lain selain sorbitol dan gliserol atau dengan metode peningkatan stabilitas yang lain.


(1)

48

karena adanya perubahan pada lingkungan enzim, yang menyebabkan konformasi struktur enzim menjadi lebih rigid karena intensitas interaksi hidrofobik antara gugus nonpolar yang meningkat. Interaksi hidrofobik merupakan faktor yang sangat penting dalam stabilitas struktur protein, karena dapat menyebabkan enzim mengalami folding sehingga menjadi stabil dibanding struktur unfolding (Lemos et al., 2000).

5. Konstanta laju inaktivasi termal (ki), waktu paruh (t1/2), dan perubahan

energi akibat denaturasi (ΔGi) enzim hasil pemurnian dan enzim setelah

penambahan sorbitol dan gliserol

Nilai konstanta laju inaktivasi termal (nilai ki), waktu paruh (t1/2), dan perubahan energi akibat denaturasi (ΔGi) enzim hasil pemurnian dan setelah penambahan poliol (sorbitol dan gliserol) dapat dilihat pada Tabel 2. Penentuan nilai ki enzim hasil pemurnian dan enzim dengan penambahan poliol dapat dilihat pada Lampiran 8-10. Sedangkan contoh perhitungan nilai ΔGi dapat dilihat pada Lampiran 11.

Tabel 2. Nilai ki, ΔGi, dan t1/2 enzim hasil pemurnian dan enzim setelah penambahan poliol

Enzim ki (menit -1) t1/2(menit) ΔGi(kj/mol) Hasil pemurnian Sorbitol 0,5M Sorbitol 1M Sorbitol 1,5M Gliserol 0,5M Gliserol 1M Gliserol 1,5M 0,035 0,029 0,018 0,016 0,033 0,033 0,025 19,80 23,89 38,50 43,31 21,00 21,00 27,72 102,489 103,010 104,330 104,657 102,652 102,652 103,421


(2)

a. Konstanta laju inaktivasi termal (ki)

Pada Tabel 2 menunjukkan terjadi penurunan nilai konstanta laju inaktivasi termal pada masing-masing setelah penambahan poliol. Hal ini berarti terjadi penurunan laju denaturasi enzim dibandingkan dengan enzim hasil pemurnian. Penurunan nilai ki diperkirakan karena kondisi enzim yang kurang fleksibel dalam larutan air yang menjadikan ketidakterlipatan (unfolding) protein menjadi berkurang, sehingga meningkatkan kestabilan enzim.

b. waktu paruh (t1/2)

Semua waktu paruh (t1/2) enzim setelah penambahan poliol meningkat. Menurut Stahl (1999) dalam Yandri (2004), menyatakan bahwa waktu paruh enzim akan menentukan stabilitas enzim tersebut. Berdasarkan penelitian ini, waktu paruh enzim tertinggi dicapai oleh enzim dengan penambahan sorbitol 1,5M yaitu 43,31 menit dan gliserol 1,5M sebesar 27,72 menit.

c. Perubahan energi akibat denaturasi (ΔGi)

Dari (Tabel 2) terlihat bahwa terjadi peningkatan nilai ΔGi enzim setelah penambahan poliol dibandingkan dengan enzim hasil pemurnian, meskipun peningkatannya tidak terlalu besar. Hal ini menunjukkan bahwa enzim setelah penambahan poliol dengan konsentrasi yang lebih tinggi semakin rigid dan kurang fleksibel dalam air, sehingga energi yang diperlukan untuk mendenaturasi enzim tersebut semakin tinggi. Struktur enzim yang semakin


(3)

50

rigid memiliki ikatan yang lebih kuat sehingga konformasi enzim tidak mudah membuka dan struktur tersier enzim lebih dapat dipertahankann. Untuk mendenaturasi enzim tersebut dibutuhkan energi yang lebih tinggi,

maka ΔGi akan semakin besar. Oleh karena itu, harga ΔGi yang semakin

besar mengindikasikan suatu enzim yang semakin rigid, kurang fleksibel dan tidak mudah terdenaturasi. Kenaikan Gi yang tidak terlalu besar ini juga dilaporkan oleh Yandri (2004) yang menyatakan terjadi peningkatan Gi enzim -amilase dari Bacillus subtilis, yaitu enzim hasil pemurnian (102,3 kJ/mol) dan enzim hasil modifikasi kimia (CC-PEG 67% : 104,7 kJ/mol dan NPC-PEG 89% : 106,3 kJ/mol).


(4)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:

1. Enzim -amilase hasil pemurnian memiliki pH optimum 6 dan suhu

optimum 60 oC. Nilai Km enzim hasil pemurnian adalah 3,99 mg/mL substrat dan harga Vmaks sebesar 3,89mol/mL menit.

2. Aktivitas spesifik enzim α-amilase hasil pemurnian 12.000 U/mg, meningkat

30 kali dibandingkan dengan ekstrak kasar yang memiliki aktivitas spesifik sebesar 393 U/mg.

3. Penambahan sorbitol pada enzim hasil pemurnian tidak menyebabkan perubahan pH dan suhu optimum. Enzim setelah penambahan sorbitol 0,5M mempunyai nilai KM = 1,98 mg mL-1 substrat, Vmaks = 1,19 mol mL-1 menit -1

, sorbitol 1M, KM = 1,86 mg mL-1 substrat, Vmaks = 1,44 mol mL-1 menit-1, sorbitol 1,5M, KM = 1,35 mg mL-1, Vmaks = 3,93 mol mL-1 menit-1.

4. Penambahan gliserol pada enzim hasil pemurnian tidak menyebabkan perubahan suhu optimum tetapi mengalami perubahan pH optimum dari 6 menjadi 6,5. Enzim setelah penambahan gliserol 0,5M mempunyai nilai KM = 1,82 mg mL-1 substrat, Vmaks = 1,34 mol mL-1 menit-1, gliserol 1M, KM =


(5)

52

1,75 mg mL-1 substrat, Vmaks = 1,41 mol mL-1 menit-1, gliserol 1,5M, KM = 2,15 mg mL-1 substrat, Vmaks = 1,71 mol mL-1menit -1.

5. Uji stabilitas termal enzim setelah penambahan sorbitol 0,5M; 1M; 1,5M pada pH 6 dan suhu 600C selama 60 menit masih memiliki aktivitas sisa berturut-turut adalah 16,96%; 33,22%; dan 41,69%. Enzim dengan penambahan sorbitol 0,5 M mempunyai t1/2 = 28,39 menit; ki = 0,02λ, ΔGi = 103,010 kJ mol-1; sorbitol 1M mempunyai t1/2 = 38,50 menit; ki = 0,018, ΔGi = 104,330 kJ mol-1, sorbitol 1,5M mempunyai t1/2 = 43,31 menit; ki = 0,016, ΔGi = 104,657 kJ mol-1.

6. Uji stabilitas termal enzim setelah penambahan gliserol 0,5M; 1M; 1,5M pada pH 6 dan suhu 600C selama 60 menit memiliki aktivitas sisa berturut-turut adalah 14,16%; 14,16%; 24,79%. Enzim dengan penambahan gliserol 0,5M dan 1M mempunyai t1/2 = 21,00 menit, ki = 0,033, ΔGi = 102,652 kJ mol-1, gliserol 1,5M mempunyai t1/2 = 27,72 menit, ki = 0,025, ΔGi = 103,421 kJ mol-1.

7. Penambahan poliol untuk enzim α-amilase dari Bacillus subtilis dapat meningkatkan stabilitas termal. Penurunan nilai ki, peningkatan waktu paruh

dan ΔGi menunjukkan bahwa enzim dengan penambahan poliol lebih stabil


(6)

B. Saran

Dari hasil penelitian yang diperoleh, disarankan untuk menggunakan poliol jenis lain selain sorbitol dan gliserol atau dengan metode peningkatan stabilitas yang lain.