Bidadari Titipan Allah

Bidadari Titipan Allah
Angin malam yang berhembus pelan membelai wajahnya, wajah yang basah karena aktivitas
wudhunya. Tiba-tiba rasa dingin yang segar menyentuhnya, seakan memberi kekuatan untuk
batinnya. Di sepertiga malam itu, ia melakukan sujud panjangnya, bermunajat kepada Tuhannya.
Berusaha memancarkan cinta dan rindunya, rasa cinta dan rindu untuk Tuhannya, cinta dan
rindu untuk Rasulnya, serta cinta dan rindu kepada bidadarinya. Ya, bidadari yang telah
meninggalkannya, yang telah melengkapi separuh diennya, yang sempat halal untuknya. SIapa
pula jika bukan istrinya, wanita yang dicintainya, wanita yang sangat sempurna baginya, mesti
sebenarnya ia mengetahui tiadalah yang sempurna selain Penciptanya, Allah SUbhanahu
wata’ala.
Lelaki berperawakan tinggi dan berkulit putih itu terbiasa disapa dengan sebutan Fajar, Fajar
Rahmadi lengkapnya. Ia tengah menangis di atas hamparan sajadah yang digelarnya di samping
ranjang, sajadah yang terbiasa digunakan istrinya, Syafwa.
“Rabbi, aku bersyukur karena telah Engkau titipkan bidadari yang seshaleha ia, yang
seperhatian ia, yang secantik ia, yang begitu berbakti kepada suaminya. Rabbi, lapangkan
kuburnya, selamatkan ia dari siksa kuburnya, tempatkan ia bersama para wanita shalehahMU,
bersama para bidadari surgaMU, ijinkanlah ia tuk mengecup kenikmatan surgaMU, biarkanlah ia
yang menjadi ratu bidadari untukku. Rabbi, jadikanlah ia sebagai istri satu-satunya untukku…”
Ia tak sanggup lagi menyelesaikan permohonannya, air matanya menetes deras daripada
singgasananya. Perlahan-lahan segalanya berputar, menunjukkan masa-masa kebersamaan
antara ia dan bidadari hidupnya.

Pagi itu, Fajar tengah asyik bercengkrama ria dengan para sahabatnya tatkala wali kelas mereka
memasuki ruang kelas bersama seorang siswi di belakangnya. Siswi itu memperkenalkan dirinya
dengan wajah yang serba salah, menahan malu dan ketidakpercayaan dirinya.
“Nama sa..ya Syafwaturrahmah, saya pindahan dari SMA Al-Ikhlas Surabaya. Saya harap,
teman-teman dapat membantu saya dalam bersosialisasi disini. Terima kasih!”
Fajar menampakkan senyum menyeringainya, Irfan yang berada di sampingnya pun mengerti
akan tingkah teman akrabnya itu.
“Sudahlah, jangan jadikan dia sebagai calon bullimu lagi. DIa terlalu polos untuk itu.” Nasihatnya.
“Polos dari mana? Jangan terbiasa menilai seseorang dari luarnya!” balas Fajar dengan keras
kepala.
“Hum, terlalu berfirasat buruk!” lirih Irfan pelan, walaupun sebenarnya tetap terdengar jelas oleh
Fajar.

Hari demi hari, Fajar semakin menguji kepribadian gadis yang biasa disebut Syawa itu. Hampir
di setiap pertemuannya dengan Syafwa diwarnai dengan lemparan kalimat yang tajam darinya
“Ya ampun, kamu itu memandang kemana? Orang aku di depan, eh matanya ke samping.
Hahaha..”
Fajar dapat melihat ekspresi Syafwa, wajahnya menunduk serta begitu ingin melarikan diri
menjauhinya.
“Kenapa? Kalau mau pergi ya pergi saja.” Tambah Fajar lagi.

Baru selangkah Syafwa berjalan, Fajar berceloteh tajam lagi.
“Berdiri ko seperti duduk, eh berjalan malah merangkak… hahahaha!”
Beberapa orang di sekitar mereka hanya menggeleng pelan, berusaha memperingati Fajar
bahwa kebiasaan membullinya itu tidaklah baik untuk seorang siswi pindahan seperti Syafwa.
Namun tiba-tiba, teman sebangku Syafwa yang bernama Mutia menghampiri mereka. Gadis
tomboy itu mengarahkan telunjuknya di depan wajah Fajar, kemudian melemparkan kritikan
untuknya.
“Kamu itu punya perasaan atau nggak sih Jar? Bisanya hanya mengejek saja, kamu mau
merendahkan Syafwa lagi? ingat ya, kamu juga mempunyai kakak dan Ibu di rumah! Mereka
juga perempuan, sama seperti Syafwa yang kamu lecehkan!”
“Heh, kamu pikir kamu itu siapa heuh? Ini mulut gue, terserah gue dong mau ngomong apa!
Cerewet banget sih, sok perhatian.” Fajar tidak mau kalah.
Mutia hanya menggeleng pelan, kemudian menarik tangan Syafwa untuk segera menjauh dari
Fajar yang terkenal ‘menyebalkan’ oleh sebagian orang.
“Sya, kamu nangis?” tanya Mutia, ia tidak sengaja menyaksikan setetes air yang bening jatuh
dari tempat penampungannya.
“Tidak.” Syafwa berusaha menutupi kesakitan yang untuk kesekalian kalinya dikarenakan oleh
Fajar.
“Sudahlah Sya, air mata kamu terlalu sia-sia jika jatuh karena Fajar.” Bujuk Mutia, membuat
Syafwa memeluknya.

“Makasih ya Muti, aku nggak tau harus ngebales apa sama kamu. Makasih ya..”
“Sama-sama Sya..”
Tanpa disangka-sangka, Fajar mendengarkan pembicaraan mereka yang membuat hatinya
cukup berdesir. Namun sebelum mereka menyadari kehadirannya, ia bergegas pergi dan
kembali menuju kelas yang saat itu nampak ramai karena jam pelajaran kosong.
“Woi Jar, tumben loe diem!” tegur Rizal.
“Nggak papa.” Sahutnya pelan, merasa terganggu karena pertanyaan temannya itu.
Ia tidak menghiraukan ramainya siswa yang berada di sampingnya, ia menyibukkan diri dengan
memikirkan tatapan tajam dan terluka yang berada dalam mata Syafwa.

Waktu terus berlalu, masa-masa pertengahan dalam Sekolah Menengah Atas telah usai. Tibalah
sudah masa-masa yang akan membawa para siswa kepada jadwal yang padat serta tugas yang
menumpuk. Di semester itu, Fajar tak lagi berada dalam satu kelas yang sama dengan Syafwa.
Ada sesuatu yang hilang dari hari-harinya, sesuatu yang ganjal di dalam hatinya. Namun di selasela pertemuan yang tak sengaja dengan Syafwa, Fajar merasakan tatapan yang tidak
bersahabat dari mata Syafwa, ia benar-benar tak mampu untuk membuka mulutnya. Entah
mngapa ada sesuatu yang sakit di tubuhnya, tepat di belakang punggungnya.
“Permisi,” ujar Syafwa melewati Fajar yang saat itu berada di pertengahan pintu kelasnya.
“Lewat aja!” sahut Fajar dengan nada angkuhnya, berusaha menutupi kegalauan yang tiba-tiba
mengganggunya.
Fajar tak lagi mendapatkan tatapan yang ramah dari Syafwa, tak lagi seperti dahulu yang

memancarkan hawa persahabatan. Yang ada hanyalah tatapan tajam yang memancarkan rasa
perlawanan ataupun pemberontakan. Suasana itu membuat Fajar tak nyaman dan berhenti
mengganggu Syafwa. Hingga akhirnya pada suatu hari ia kembali dipertemukan dengan gadis
yang saat itu tengah gencar merubah penampilannya menuju sesuatu yang berbeda, Fajar tahu
itu.
Siang itu Fajar menyaksikan Syafwa yang hendak mengeluarkan kendaraan bermotornya dari
himpitan motor-motor lainnya. Fajar yang telah selesai mencuci tangannya melalui keran air
yang berada di dekat parkiran itu pun segera meminggirkan satu motor yang membuat Syafwa
kesulitan. Gadis itu menampakkan wajah herannya, nampak bingung dengan tingkah Fajar yang
kali itu benar-benar diluar dugaannya. Awalnya Fajar ingin tertawa, namun karena terlalu takut
kehilangan karisma ‘menyebalkannya’, ia urungkan ulahnya. Setibanya di rumah, ia hampir saja
menjatuhkan ponselnya karena gerakan yang tidak hati-hati dalam bermain bola di kamarnya.
Tiba-tiba ia mendapatkan satu pesan masuk di ponselnya, dari nomor yang tidak dikenalnya.
“Assalamu’alaikum, terima kasih atas bantuannya tadi. Maaf karena tidak sempat
mengucapkannya. From Syafwaturrahmah.”
Fajar tersenyum kecil karena itu, gaya bahasa yang formal membuatnya semakin salah tingkah.
“Ada-ada saja tingkah gadis ini!” ujar Faris sembari meletakkan ponselnya, tak berniat untuk
membalasnya.
Tanpa terasa, perjalanan bersekolah dalam masa-masa Sekolah Menengah Atas telah berakhir.
Masa-masa yang penuh suka dan duka itu telah membawa Fajar kepada banyak hal yang penuh

warna, namun tibalah sudah perasaan bingungnya dalam memilih pendidikan tingkat lanjutnya.
“Kalau saran mbak sih, kamu lanjutkan di STAIN saja Jar, belajar jadi seorang pemuda islam
yang berguna.” Saran kakaknya, Mbak Zahra yang saat itu telah berubah menjadi seorang
akhwat.
“Baiklah, aku setuju.” Jawabnya setelah mempertimbangkan segala hal.

Dua tahun sudah Fajar menjalani perkuliahan di salah satu Universitas Islam di Surabaya.
Dimasa itulah ia telah mendapatkan banyak hal yang menurutnya sangatlah hebat, luar biasa,
dan mampu mengubah dirinya yang semula tak mau mempelajari Islam lebih dalam.
“Akh, bagaimana kalau seminar kali ini kita undang ustadz terkenal di Jakarta, Ustadz Solmed
misalnya. Biar menambah ketertarikan para mahasiswa di luar kampus kita.” Usul Irwan,
sahabatnya.
“Kalau menurut ana sih Wan, lebih baik ustadz di kota ini saja. Karena takutnya, niat mereka
mengikuti seminar bukan lillahhi ta’ala, melainkan karena hendak bertemu sang ustadz. Selain
itu, biayanya pun jadi semakin besar.” Balas Fajar dengan nada khas miliknya setahun
belakangan.
“Wah antum benar akh, ane setuju dengan usul antum. Baiklah, biar ana yang sampaikan pada
adik ana tentang usul antum, baru adik ana sampaikan pada ukhti Syafwa selaku penanggung
jawabnya.” Sahut Irwan lagi.
“Ukhti Syafwa?” Fajar terheran-heran.

Fajar termenung di kamarnya, kakaknya yang mendapati adiknya santai tanpa kesibukan itu pun
segera menghampirinya
“Fajar, boleh mbak masuk?” tanya kakaknya yang tengah mengandung itu.
“Silahkan.” Sahutnya pelan dari dalam kamar.
“Jar, kuliahmu sudah hampir selesai, umurmu pun sudah 23 tahun. Apa tidak berniat untuk
melengkapi dienmu?” ucap mbak Gita, seakan memintanya untuk bertindak demikian.
“Itu, e.. belum punya calon mbak. Kalau mbak punya ya, mungkin boleh Fajar coba.”
“Yang benar? Kamu mau ta’aruf?”
“Insya Allah mbak.”
“Alhamdulillah, baiklah, mbak akan segera atur pertemuan keluarga kita dan keluarnganya. Ini
berkas ta’aruf akhwatnya, silahkan kamu baca sendiri.”
Fajar membuka berkas itu dengan bismillah, hatinya tiba-tiba berdesir tatkala menemukan
beberapa tulisan di dalamnya.
Nama: Syafwaturrahmah
Fajar sangat terkejut saat menyaksikan nama beserta foto itu, memorinya kembali berputar pada
masa-masa ‘jahiliyah’ yang begitu membuatnya malu.
Fajar mengucap syukur tatkala ia mengetahui bahwa Syafwa menerima khitbah yang
diajukannya. Kedua matanya tak lagi tajam penuh perlawanan seperti dahulu, melainkan terlihat
bening dan menyejukkan.
“Saya terima nikah dan kawinnya, Syafwaturrahmah binti Ali Azhari dengan seperangkat alat

shalat dibayar tunai!”

Langit yang semula mendung telah berubah menjadi cerah, secerah hati Fajar yang tak lagi
kelabu karena kesendiriannya. Karena telah ada seorang bidadari di sisinya, yang akan
dipertahankannya selama Allah mengijinkannya.
“Mas mau punya anak berapa?” tanya Syafwa tiba-tiba, di tengah kebersamaan mereka di
sebuah danau.
“Terserah Allah saja memberinya berapa, yang terpenting kamu mampu melakukannya.” Jawab
Fajar bijak.
“Mas, ana ingin anak pertama kita perempuan. Biar ada seseorang yang merawat Mas jika ana
menghadap Allah lebih dahulu.”
“Walau bagaimanapun, nantinya kan ia akan menikah dan mengikuti suaminya? Hayo,
bagaimana?”
“Tidak apa-apa, karena ana lebih percaya dengan wanita.”
“Kalau begitu, andai Mas menikah lagi bagaimana?”
Syafwa terdiam karenanya, membuat Fajar tersenyum geli menatap isterinya.
Tak ada hari-hari yang suram selama pernikahan mereka, tahap demi tahap berpacaran setelah
menikah Fajar jalani dengan indah bersama Syafwa. Hingga akhirnya hari yang suram itu tiba,
Allah menjemput Syafwa melalui perantara radang tenggorokan yang dideritanya. Hari-hari Fajar
tak lagi cerah seperti sedia kala, setahun bersama dalam indahnya menyemai cinta dalam

naungan Allah seakan tak membalas dua tahun sifat buruknya terhadap Syafwa. Fajar semakin
meneteskan air matanya, tiba-tiba hatinya membujuknya. Memintanya untuk segera kembali
bersimpuh kepada penciptanya, dan ia tertidur dalam sujudnya. Selamanya…
Cerpen Karangan: Hanida Ulfah
Facebook: https://www.facebook.com/hanidaulfah.alfarizy
Dipersilahkan kritik dan sarannya di akun dunia maya saya
Facebook : Hanida Asy-Syifa Humaira
Twitter : @HanidaUlfah
Cerpen ini lolos moderasi pada: 29 August, 2014Masuk ke dalam kategori Cerpen Cinta Islami