Autisme: Gangguan perkembangan pada anak

Autisme: Gangguan perkembangan pada anak

Oleh: Margaretha
Dosen Psikologi Abnormal, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya
Di Indonesia, pada tahun 2013 diperkirakan terdapat lebih dari 112.000 anak yang menderita
autisme dalam usia 5-19 tahun; sedangkan prevalensi penyandang autisme di seluruh dunia
menurut data UNESCO pada tahun 2011 adalah 6 di antara 1000 orang mengidap autisme
(Republika Online). Namun hingga kini belum banyak yang kita ketahui tentang Autisme, selain
gejalanya. Apakah Autisme yang bisa masih terus kita pelajari? Dengan pemahaman tersebut apa
yang bisa kita lakukan dalam menghadapi anak dengan Autisme? Berikut adalah uraian
sederhana mengenai dunia yang dihadapi oleh anak dengan Autisme.
Apakah autisme
Autisme adalah sekelompok gangguan perkembangan yang berpengaruh hingga sepanjang hidup
yang memiliki dasar penyebab gangguan perkembangan di otak (neurodevelopmental).
Gangguan yang terjadi pada otak anak menyebabkannya tersebut tidak dapat berfungsi
selayaknya otak normal dan hal ini termanifestasi pada perilaku penyandang autisme secara
menonjol pada 3 bidang, yaitu: gangguan sosial, komunikasi, dan perilaku dengan minat terbatas
dan berulang.
1. Gangguan perkembangan interaksi sosial
Anak dengan autisme memiliki kesulitan membaca dan memahami pikiran dan perasaan orang
lain di sekitarnya; dan sebaliknya mereka juga tidak dapat memahami kemampuan diri sendiri

untuk mempengaruhi atau merubah lingkungannya. Sehingga, anak dengan autisme terlihat serti

tidak memiliki minat melakukan interaksi sosial. Namun beberapa anak memiliki keinginan
sosial tapi tidak mampu menjalin interaksi sosial tanpa dibantu orang lain.
2. Gangguan komunikasi
Anak dengan autisme memiliki kemampuan komunikasi yang berbeda dimana mereka kesulitan
memahami fungsi sosial komunikasi verbal. Mereka memahami bahasa secara literal dan
kesulitan memahami konteks bahasa yang digunakan. Oleh karena itu, anak dengan autisme
biasanya memiliki kemampuan ekspresif dari pada reseptif. Pada beberapa anak juga ditemukan
keterlambatan perkembangan bahasa.
3. Gangguan minat terbatas dan perilaku berulang/repetitif
Anak dengan autisme memiliki minat yang terbatas serta keterpakuan pada rutinitas, seperti:
menyukai membuat barisan mainan. Ada juga perilaku berulang yang ditunjukkan seperti obsesi
terhadap suatu obyek, misalkan: sangat tertarik pada jadwal atau benda tertentu. Rutin dan ritual
menjadi suatu yang sangat penting dalam aktivitas anak dengan autisme, seperti melakukan halhal dalam urutan tertentu, menggunakan baju tertentu, makan makanan tertentu. Rutinitas
membuat anak dengan autisme mampu memprediksi dan mengelola dunianya, maka ia akan
sangat merasa tertekan jika ritual dan rutinitasnya terganggu.
Ketiga gangguan ini sering disebut sebagai Tiga Gangguan Autisme (triad of
impairment). Namun selain ketiga hal tersebut, anak dengan Autisme memiliki kekhususan
perkembangan yaitu pada perkembangan pola kognitif (cognitive style) dan kemampuan

sensorisnya (sensory characteristics).
Karakteristik kognitif
Secara khusus kemampuan kognitifnya mengalami keunikan pada 3 area: 1) fungsi eksekutif
(executive function) atau kemampuan merencanakan, memulai, mengelola dan mempertahankan
perilaku dalam rangka mencapai tujuannya, 2) theory of mind (ToM) atau kemampuan
memahami perasaan dan pikiran orang lain, dan 3) pemusatan pemahaman dengan cara
mengintegrasikan berbagai informasi detail menjadi suatu keseatuan yang lebih bermakna
(central coherence).
Dalam hal fungsi eksekutif, anak dengan autisme biasanya sulit memahami tahapan-tahapan
perilaku untuk mencapai suatu tujuan, kecenderungan fokus pada detail tertentu membuat
mereka tidak bisa menempatkan detail satu tahapan dalam konteks urutan perilaku yang lebih
besar. Oleh karena itu anak dengan autisme masih perlu dibimbing untuk mengurai perilaku
menjadi langkah-langkah yang saling berhubungan dan dilakukan secara berurutan. Terkait
dengan hal ini, anak dengan autisme juga sering dilihat sebagai anak yang kurang fleksibel, tidak
bisa menyesuaikan diri dengan perubahan, serta tidak bisa spontan dan refleks.
Dalam hal ToM, anak dengan autisme kurang dapat memahami berbagai emosi dan perspektif
orang lain. Sehingga mereka tampak seperti kurang peka dan tidak paham berbagai peristiwa
interaksi sosial. Seringpula mereka akan memberikan respon yang tidak tepat pada suatu situasi

sosioemosional, contohnya: tertawa ketika ada yang marah; hal ini terjadi karena mereka tidak

memahami apa dan bagaimana respon emosi yang perlu difokuskan pada suatu situasi sosial dan
bagaimana meresponnya. Hambatan sosial memang paling terkait dengan kelemagan ToM.
Namun perlu digaris-bawahi bahwa kesulitan sosial dan komunikasi pada anak dengan autisme
bukan berarti bahwa mereka tidak menginginkan atau tidak memiliki minat interaksi sosial,
namun mereka membutuhkan bantuan untuk dapat memahami situasi sosial dan bagaimana cara
meresponnya secara tepat.
Begitupula dengan kemampuan pemusatan pemahaman, kesulitan yang biasa dihadapi anak
dengan autisme adalah mereka memahami bahasa dan kata secara langsung tanpa memasukkan
pemahaman kontekstual sehingga pemahamannya yang keluar menjadi kurang tepat, contohnya:
“buang pikiran jauh-jauh” sebenarnya artinya jangan dipikirkan, tapi anak dengan autisme tidak
dapat memahami bagaimana membuang pikiran dari kepala seperti membuang sampah keluar
rumah.
Karakteristik sensoris
Dalam hal kemampuan sensoris, anak dengan autisme juga memiliki keunikan pemrosesan dan
interpretasi informasi sensoris. Beberapa anak ditemukan mengalami tingkat sensitivitas yang
tinggi (hipersensitif) namun ada pula yang sensitivitasnya rendah (hiposensitif), akibatnya
mereka dapat memiliki ambang batas inderawi yang berbeda-beda. Informasi sensoris bukan
hanya yang diterima oleh panca inderawi (penglihatan, pendengaran, perasa, penciuman dan
kulit), namun keunikan dalam hal keseimbangan, gerak tubuh atau kinestetik juga perlu
diperhatikan baik-baik pada anak dengan autisme. Gejala yang dapat muncul terkait dengan

sensitivitas sensoris adalah: mudah terganggu dengan rangsang yang biasanya tidak mengganggu
seperti suara mobil, suara kipas angin; sulit memproses atau memberikan respon pada rangsang
tertentu. Ada anak yang mudah merasa terganggu karena silaunya lampu dan cahaya, namun ada
pula yang terlihat kurang peka terhadap rangsang dengar sehingga harus diajak berbicara cukup
keras. Penting untuk mengukur karakteristik sensoris anak dengan autisme secara individual agar
diketahui profil kemampuan sensorisnya dan diintegrasikan dalam penanganan pembelajarannya.
Misalkan, jika anak sensitif pada cahaya, maka ruang belajar anak dibuat tidak terlalu terlampau
terang.
Dengan memahami berbagai keunikan dan juga 3 gejala gangguannya, maka kita bisa
mengetahui bagaimana pengaruhnya pada perkembangan kemampuan anak. Dari pemahaman
dasar inilah kita dapat lebih memahami bagaimana ia memahami dunianya, dengan begitulah
kita juga akan tahu bagaimana cara membantunya.
Keunikan-keunikan
Selain kelemahan-kelemahan tersebut, kita juga perlu memahami bahwa anak dengan autisme
juga memiliki kemampuan unik yang unggul. Keunikan utama anak dengan autisme adalah
fokus terhadap detail. Kemampuan ini dapat membantunya untuk mengerjakan tugas-tugas yang
membutuhkan fokus pada detail, seperti kecermatan dan menghapal. Kemampuan memahami
detail anak dengan autisme secara umum dianggap lebih kuat daripada anak yang berkembang
secara normal.


Karakteristik unik lain dari anak dengan autisme biasanya dapat mengembangkan kekuatan
belajar yang lebih fokus pada informasi visual; hal ini membuat mereka lebih mudah fokus pada
pemrosesan informasi visual yang akan memudahkan mereka untuk memahami informasi dari
lingkungan. Jika kemampuan ini bisa dikembangkan, kemampuan memahami detail visual dapat
membuat mereka dapat diandalkan melakukan tugas-tugas yang memerlukan kecermatan dan
ketekunan visual, seperti menggambar, mengingat informasi visual dan sebagainya. Anak dengan
autisme yang memiliki kemampuan unggul dalam suatu bidang disebut sebagai anak Autisme
Savant.
Dari informasi ini, maka masyarakat perlu memahami bahwa label anak dengan autisme adalah
anak sakit yang tidak berguna di masyarakat adalah salah. Stigma autisme sebagai penyakit
mental sudah selayaknya diganti dengan cara pandang yang lebih positif, yaitu anak dengan
autisme adalah individu yang akan berkembang melalui tahap dan jalan perkembangan yang
berbeda dari individu lain. Sama sepertinya semua manusia, anak dengan autisme juga memiliki
keunikan perkembangan.
Autisme dalam perawatan
Sering sekali orang memandang Autisme sebagai gangguan kejiwaan atau kegilaan, sehingga
anak mengalami label dan stigma sepanjang hidupnya. Hal ini dipengaruhi oleh cara berpikir
klinis medis yang menganggap anak dengan Autisme memiliki gangguan penyakit. Dan sebagai
akibatnya anak dengan autisme segara diberikan pengobatan; karena dianggap sebagai satusatunya cara untuk membuatnya mau melakukan fokus pada interaksi sosial dan komunikasi.
Namun sejak beberapa dekade terakhir ini, autisme dipandang sebagai masalah perkembangan

yang perlu segera diidentifikasi dan diberikan intervensi serta stimulasi dini. Hal ini juga menjadi
suatu kesepakatan internasional, dimana tenaga kesehatan mental seluruh dunia telah di telah
membuat kesepakatan untuk memahami Autisme dalam konteks perkembangan anak.
Gejala autisme muncul pada awal masa perkembangan anak, dan gejala tersebut dapat bertahan
sepanjang hidup anak. Oleh karena itu pendekatan perawatannya haruslah membantu
perkembangan pada kemampuan-kemampuan anak dalam berbagai dimensi perkembangannya
(misal: bahasa, sosial, motoris, dan sebagainya). Stimulasi dini menjadi jawaban untuk
membantu anak dengan autisme agar anak dengan autisme dapat mengoptimalisas
perkembangan serta kemampuan belajarnya. Anak dengan autisme perlu dibantu untuk
melakukan kontak sosial, belajar berbahasa dan mengatur perilakunya.
Proses membantu anak dengan autisme juga perlu dilakukan secara komprehensif dibantu
profesional dari berbagai bidang ilmu, seperti:
1. Terapis wicara: untuk membantu merangsang dan meningkatkan kemampuan berbicara
dan berbahasa
2. Terapis okupasi: untuk membantu merangsang dan meningkatkan kemampuan motoris
kasar dan halus, terutama dalam membantu kemampuan belajar (menulis) dan merawat
diri (mandi, berpakaian)

3. Terapis psikologi dan perilaku: untuk membantu mengembangkan pengelolaan perilaku,
mempersiapkan kesiapan belajar dan penyesuaian diri anak di lingkungannya (rumah,

sekolah), juga membantu orang tua mempersiapkan anak menghadapi berbagai
perubahan
4. Pendekatan pendidikan: membantu mempersiapkan sarana dan prasarana, juga strategi
belajar yang mendukung anak untuk belajar
Setelah memahami betapa berbedanya gejala dan karakteristik Autisme pada masing-masing
anak, maka penting digaris-bawahi bahwa bantuan pada anak dengan autisme harus diberikan
secara individual. Masing-masing anak perlu dipahami kelebihan dan kesulitannya, barulah akan
didesain bantuan pada masing-masing anak secara individual. Tidak ada satu program yang bisa
dibuat untuk banyak anak dengan autisme. Berbagai disiplin ilmu dapat bekerjasama dalam
memberikan layanan dan membentuk suatu program perawatan dan pendidikan anak dengan
autisme. Oleh karena itu, berbagai pihak termasuk orang tua, tenaga kesehatan, sekolah serta
masyarakat perlu bersama-sama bekerjasama untuk mendukung usaha perawatan dan
mendukung perkembangan anak dengan autisme.
Penulis sedang mengikuti Workshop Identifikasi dan Intervensi dini Anak dengan Autisme di
Autism Association of Western Australia, Perth
Referensi
112.000 Anak Indonesia Diperkirakan Menyandang Autisme, Republika Online. Diakses pada 2
Juli 2013.
Hands-out Workshop on Autism August 2013. Autism Association of Western Australia.