Penggunaan Mikroba Lokal Terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Tongkol Jagung In Vitro

(1)

PENGGUNAAN MIKROBA LOKAL TERHADAP

KECERNAAN BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK

TONGKOL JAGUNG

IN VITRO

SKRIPSI

OLEH:

YUSI SABRINA

090306005

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

PENGGUNAAN MIKROBA LOKAL TERHADAP

KECERNAAN BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK

TONGKOL JAGUNG

IN VITRO

SKRIPSI

Oleh:

YUSI SABRINA

090306005

Skripsi sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

Judul : Penggunaan Mikroba Lokal Terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Tongkol Jagung In Vitro

Nama : Yusi Sabrina

NIM : 090306005

Program Studi : Peternakan

Disetujui oleh: Komisi Pembimbing

(Dr.Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si) (Ir. Tri Hesti Wahyuni, M.Sc)

Ketua Anggota

Mengetahui,

(Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si) Ketua Program Studi Peternakan


(4)

ABSTRAK

YUSI SABRINA, 2014. ”Penggunaan Mikroba Lokal Terhadap Kecernaan Bahan Kering Dan Bahan Organik Tongkol Jagung In Vitro”.Dibimbing oleh MA’RUF TAFSIN dan TRI HESTI WAHYUNI.

Salah satu penyebab rendahnya produktivitas ternak ruminansia adalah kurang tersedianya bahan pakan yang berkualitas, pemanfaatan hasil limbah pertanian seperti tongkol jagung yang difermentasi bertujuan untuk meningkatkan daya cerna pakan.Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kemampuan mikroorganisme dalam meningkatkan nutrisi tongkol jagung terhadap kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik in vitro.Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan terdiri dari R0 = Tongkol jagung tanpa perlakuan (kontrol); R1 = Tongkol jagung dengan penambahan Aspergillusniger dan

Saccharomyces cerevisiae; R2 = R1 + Isolat bakteri kerbau; R3 = R1 + Isolat bakteri domba adaptif.

Hasil penelitian menunjukan rataan koefisien cerna bahan kering perlakuan R0 40.23; R1 52.70; R2 64.10; dan R3 67.79%.Rataan koefisien cerna bahan organik perlakuan R0 57.68; R1 62.35; R2 76.38; dan R3 77.58%. Kesimpulan penelitian ini adalah penggunaan tongkol jagung fermentasi dengan

Aspergillus niger, Saccharomyces cerevisiae ditambah isolat rumen meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik in vitro lebih baik dibandingkan dengan tongkol jagung fermentasi menggunakan Aspergillus niger, Saccharomices cerevisiae.


(5)

ABSTRACT

YUSISABRINA, 2014."UtilizationofLocal Microbial to DigestibilityDryMaterial and Organic Materials In vitro".Under Supervised by M A'RUF TAFSIN and TRI HESTI WAHYUNI.

One cause oflow productivity ofruminantsis dificient of availabilityof quality feed ingredients, the utilization ofagricultural wastessuch as corn cobsfermentedaims toimprove the digestibilityof feed.This study aimsto assess the abilityof microorganismstoincreasenutrientdigestibilityof corn cobstodry matter and organic matter digestibility in vitro. The designused inthis studywas acompletely randomized design(CRD) with 4 treatments and 5 repetiton. TreatmentconsistsofR0=Cobsof cornwithouttreatment(control); R1=Cobsof cornwith the addition ofAspergillusnigerandSaccharomycescerevisiae; R2=R1+Bacterial isolates buffalo; R3 = R1 + sheep adaptive bacterial isolates.

The results showedthe averagedry matterdigestibilitycoefficientR0treatment40.23; R152.70; R264.10;

andR367.79%. Meandigestibilitycoefficientsof organic mattertreatmentR057.68; R162.35; R276.38; andR377.58%. The conclusionof this studyis utilization ofcorncobsfermentedwithAspergillusniger, Saccharomycescerevisiaeadded rumen’sisolates increasedigestibilityof dry matterandorganic matterin vitrobetterthan thecorncobs fermentedwith Aspergillusniger, Saccharomicescerevisiae.


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjungbalai pada tanggal 07 Oktober 1990 dari Bapak Drs. Sabaruddin dan Ibu Yusminar. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara.

Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Tanjungbalai dan pada tahun yang sama penulis masuk ke Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melali jalur (Prestasi Minat dan Bakat ) PMP. Penulis memilih program studi peternakan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Ikatan Mahasiswa Peternakan (IMAPET). Selain itu penulis pernah menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam Peternakan (HIMMIP). Penulis melakukan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di desa Pardugul Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir dimulai bulan Juli sampai dengan bulan September 2012.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat serta karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Penggunaan Mikroba Lokal terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Tongkol Jagung Organik In vitro”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada orang tua atas doa, semangat dan pengorbanan materil maupun moril yang telah diberikan selama ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada bapak Ma’ruf tafsin selaku ketua komisi pembimbing dan kepada ibu Tri Hesti Wahyuni selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna kesempurnaan skripsi ini, akhir kata penulis ucapkan terima kasih, semoga skripsi ini bermanfaat untuk semua pembaca.


(8)

DAFTAR ISI

Hal

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ...v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Kegunaan Penelitian ... 2

Hipotesis Penelitian ... 2

TINJAUAN PUSTAKA Jagung ... 3

Tongkol Jagung ... 5

Fermentasi... ... 6

Bakteri lokal ... 7

Aspergillus niger ... 7

Saccharomyces cerevisiae ... 8

Sistem Pencernaan Rumen ... 9

Kecernaan ... 10

Kecernaan Bahan Kering ... 11

Kecernaan Bahan Organik ... 11

Rumen ... ... 12

Teknik In vitro ... 13 BAHAN DAN METODE PENELITIAN


(9)

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 14

Bahan dan Alat Penelitian ... 14

Bahan ... 14

Alat ... 14

Metode Penelitian... 14

Pelaksanaan Penelitian ... 14

Pengukuran Bahan Kering ... 14

Pengukuran Bahan Organik ... 15

Kecernaan In vitro ... 15

Peubah yang diamati ... 18

Koefisien Kecernaan Bahan Kering... .... 18

Koefisien Kecernaan Bahan Organik ... 18

Analisa Data ... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pembahasan ... 19

Koefisien Cerna Bahan Kering ... 19

Koefisien Cerna Bahan Organik ... 23

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 27

Saran ... 27 DAFTAR PUSTAKA


(10)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal.

1. Pohon Industri jagung ... 4

2. Pengaruh Penggunaan Mikroba Lokal terhadap Koefisien Cerna Bahan Kering Tongkol Jagung ... 19

3. Pengaruh Penggunaan Mikroba Lokal terhadap Koefisien Cerna Bahan Organik Tongkol Jagung ... 23


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal.

1. Analisis keragaman bahan kering tongkol jagung fermentasi in vitro ... 32

2. Analisis keragaman bahan organik tongkol jagung fermentasi in vitro ... 33

3. Uji lanjut Duncan kecernaan bahan kering ... 34

4. Uji lanjut Duncan kecernaan bahan organik ... 37

5. Bagan peremajaan Aspergillus niger ... 40

6. Bagan peremajaan Aspergillus niger dengan media agar miring ... 41


(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Meningkatnya populasi ternak ruminansia di Indonesia juga meningkatkan kebutuhan pakan ternak, akan tetapi ketersedian pakan ternak tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan tersebut, hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya lahan permukiman dan industri sehingga lahan pertanian untuk tanaman pakan ternak semakin berkurang. Sementara itu limbah hasil pertanian banyak yang terbuang percuma padahal jika diolah limbah pertanian ini dapat dimanfaatkan sebagai pakan alternatif untuk ternak ruminansia.

Pemanfaatan limbah pertanian dapat memberikan keuntungan ganda yaitu dapat menambah persediaan pakan sebagai sumber makanan berserat untuk ternak ruminansia serta dapat mengurangi pencemaran lingkungan akibat tumpukan limbah pertanian yang dibiarkan begitu saja. Salah satu sisa tanaman pertanian dan perkebunan yang mempunyai potensi cukup besar untuk dijadikan pakan ternak adalah tongkol jagung. Tongkol jagung merupakan bagian dari buah jagung yang telah diambil bijinya. Komponen tanaman jagung tua dan siap panen terdiri atas 38% biji, 7% tongkol, 12% kulit, 13% daun dan 30% batang. Tongkol jagung dapat diberikan kepada ternak ruminansia yang pada umumnya digunakan sebagai pakan pengganti sumber serat.

Tongkol jagung merupakan sisa hasil pertanian yang memiliki kualitas yang rendah. Kandungan serat kasar tinggi, protein dan kecernaan rendah. Oleh karena itu diperlukan peranan bioteknologi untuk meningkatkan kualitas tongkol jagung salah satunya dengan melakukan fermentasi dengan memanfaatkan beberapa sumber mikroba lokal sebagai bahan biokativator untuk fermentasi.


(13)

Beberapa mikroba seperti kapang Aspergillus niger, ragi Trichoderma viridediketahui mempunyai potensi besar untuk meningkatkan nilai nutrisi bahan pakan. Sumber lain yang dapat digunakan adalah jenis bakteri yang berasal dari ternak ruminansia yang dapat diisolasi dari rumen maupun feses.

Mudahnya memperoleh bahan pakan tersebut karena merupakan limbah pertanian dan perkebunan maka timbullah pemikiran untuk melakukan penelitian, sehingga dapat dilihat sejauh mana bahan pakan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak yang dapat meningkatkan kecernaan yang dilanjutkan dengan uji kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik.

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Penggunaan Mikroba Lokal terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik In vitro”.

Tujuan Penelitian

Mengkaji kemampuan mikroba lokal terhadap kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik tongkol jagung in vitro.

Hipotesis Penelitian

Penggunaan beberapa mikroba lokal dapat meningkatkan kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan bahan organik (KCBO) tongkol jagung in vitro.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi kalangan akademis, peneliti dan masyarakat tentang pemanfaatan tongkol jagung dengan penambahan beberapa mikroba lokal untuk meningkatkan kecernaan tongkol jagung in vitro.


(14)

TINJAUAN PUSTAKA

Jagung

Tanaman jagung (Zea mays L) adalah salah satu jenis tanaman biji-bijian dari keluarga rumput-rumputan (Graminaceae) yang sudah popular diseluruh dunia. Menurut sejarahnya tanaman jagung berasal dari Amerika dan menyebar ke daerah subtropics dan tropis termasuk Indonesia (Warisno, 1998).

Klasifikasi tanaman jagung (Zea mays L.) Divisi : Spermatophyta

Sub Divisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Bangsa : Graminales

Suku : Graminae

Marga : Zea

Jenis : Zea mays L

Batang tanaman jagung beruas-ruas dengan jumlah ruas bervariasi antara 10-40 ruas. Tanaman jagung umumnya tidak bercabang kecuali pada jagung manis sering tumbuh beberapa cabang (anakan) yang muncul pada pangkal batang. Panjang batang jagung berkisar antara 60 cm – 300 cm atau lebih tergantung tipe dan jenis jagung. Ruas bagian atas berbentuk silindris dan ruas-ruas batang bagian bawah berbentuk bulat agak pipih. Tunas batang yang telah berkembang menghasilkan tajuk bunga betina (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).

Produk turunan potensial yang bisa dihasilkan dari komoditas jagung disajikan pada Gambar 1.


(15)

(16)

Tongkol Jagung

Tongkol jagung atau janggel merupakan bagian dari buah jagung yang telah diambil bijinya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, ketersediaan tongkol jagung di Indonesia pada tahun 2006 adalah sebesar 3.482.839 ton, pada tahun 2007 sebesar 3.986.258 ton, dan pada tahun 2008 tongkol jagung ada sekitar 4.455.215 ton. Komponen jagung tua dan siap panen terdiri atas 38% biji, 7% tongkol, 12% kulit, 13% daun dan 30% batang (Perry et al., 2003).

Tongkol jagung merupakan simpanan makanan untuk pertumbuhan biji jagung selama melekat pada tongkol. Panjang tongkol jagung bervariasi antara 8-12 cm. Pada umumnya satu tongkol jagung mengandung 300-600 biji jagung (Effendi dan Sulistiati, 1991).

Kandungan selulosa yang cukup tinggi pada tongkol jagung yang merupakan komponen serat yang dapat dicerna maka tongkol jagung dapat menyediakan energi yang cukup untuk pertumbuhan mikroba dalam rumen. Namun karena rendahnya kandungan protein dan tingginya kadar lignin menyebabkan selulosa menjadi tidak tersedia untuk difermentasi di dalam rumen akibatnya kecernaan menjadi rendah (Brandt dan Klopfenstein, 1986).

Tongkol jagung tergolong pakan serat bermutu rendah, kecernaan dan palatabilitasnya rendah. Rendahnya kecernaan disebabkan kandungan lignin yang tinggi yang membentuk komplek dengan selulosa dan hemiselulosa, oleh karena itu agar nilai gizi dan kecernaan dapat ditingkatkan perlu dilakukan pengolahan. Salah satu cara untuk meningkatkan mutu pakan adalah dengan teknik fermentasi (Umiyasih dan Aryogi, 2001).


(17)

Nilai nutrisi dari limbah tanaman dan hasil samping industri jagung sangat bervariasi (terdapat pada table 1). Nilai kecernaan kulit jagung dan tongkol jagung (60%) ini hampir sama dengan nilai kecernaan rumput gajah sehingga kedua bahan ini dapat menggantikan rumput gajah sebagai sumber hijauan

(Mccutcheon dan Samples, 2002).

Tabel 1. Proporsi limbah tanaman jagung, kadar protein kasar dan nilai kecernaan bahan keringnya

Limbah Kadar air Proporsi Protein Kecernaan Palatabilitas jagung (%) limbah kasar BK in vitro

(%BK) (%) (%)

Batang 70-75 50 3,7 51 Rendah

Daun 20-25 20 7,0 58 Tinggi

Tongkol 50-55 20 2,8 60 Rendah

Kulit 45-50 10 2,8 68 Tinggi

Sumber: Preston (2006).

Dalam aplikasi berbagai macam pengolahan tongkol jagung di lapangan perlu dipertimbangkan segi kemudahannya dan nilai ekonomisnya.

Fermentasi

Fermentasi adalah segala macam proses metabolik dengan bantuan enzim dari mikroba (jasad renik) untuk melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisa dan reaksi kimia lainnya, sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan menghasilkan produk tertentu (Saono, 1998) dan menyebabkan terjadinya perubahan sifat bahan tersebut (Winarno et al., 1980).

Berdasarkan jenisnya fermentasi dibedakan menjadi dua yaitu fermentasi anaeron dan aerob. Fermentasi anaerob (oksidasi tidak sempurna) menghasilkan asam-asam organik (Schlegel dan Schmidt, 1994). Fermentasi timbul akibat adanya aktivitas mikroba penyebab fermentasi pada substrat organik yang sesuai


(18)

dan merupakan proses biologis atau mikrobiologis sebagai upaya untuk mencerna pendahuluan di luar rumen (Harahap, 1987).

Proses fermentasi bahan pakan oleh mikroorganisme menyebabkan perubahan-perubahan yang menguntungkan seperti memperbaiki mutu bahan pakan baik dari aspek gizi maupun daya cerna serta meningkatkan daya simpannya. Produk fermentasi biasanya mempunyai nilai nutrisi yang lebih tinggi dari pada bahan aslinya karena adanya enzim yang dihasilkan dari mikroba itu sendiri (Winarno et al., 1980).

Penambahan bahan-bahan nutrient kedalam media fermentasi dapat menyokong dan merangsang pertumbuhan mikroorganisme. Salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai sumber nitrogen pada proses fermentasi adalah urea. Urea yang ditambahkan kedalam medium fermentasi akan diuraikan untuk enzim urease menjadi ammonia dan karbondioksida selanjutnya untuk pembentukan asam amino (Fardiaz, 1989).

Kualitas fermentasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah air, suhu, pH, fermentator, susunan bahan dasarnya dan zat yang bersifat pendukung (Rahayu dan Sudarmadji, 2001).

Mikroorganisme Aspergillus niger

Aspergillus niger adalah sejenis jamur yang berasal dari Phylum Ascomycota, Sub Phylum Pezizomycotina, Class Eurotiomycetes, Ordo Eurotiales, dan Family Trichocomaeceae. Aspergillus niger merupakan salah satu spesies yang paling sering ditemui dari genus Aspergillus. Aspergillus niger


(19)

terdiri dari bentuk putih seperti kapas, pada bagian dasarnya berwarna kuning dan tertutupi oleh lapisan tebal berwarna cokelat gelap sampai hitam pada bagian kepala konidianya (Kirk et al., 2001).

Aspergillus niger berperan dalam menghasilkan enzim selulase, dimana enzim ini berfungsi untuk mengubah selulosa menjadi glukosa sehingga dapat meningkan daya cerna dari suatu bahan pakan (Klich, 2002).

Aspergillus niger di dalam pertumbuhannya berhubungan secara langsung dengan zat makanan yang terdapat dalam medium. Molekul sederhana seperti gula dan komponen lain yang larut disekeliling hifa dapat langsung diserap. Molekul lain yang lebih kompleks seperti selulosa, pati dan protein harus dipecah terlebih dahulu sebelum diserap kedalam sel, untuk itu Aspergillus niger menghasilkan beberapa enzim ekstraseluler (Hardjo et al., 1989). Dari beberapa hasil penelitian diketahui fermentasi dengan menggunakan kapang Aspergillus niger dapat meningkatkan kandungan protein dari beberapa bahan (Hanim et al., 1991).

Saccharomyces cerevisiae

Saccharomyces cerevisiaesebagai salah satu galur yang paling umum digunakan untuk fermentasi, karena bersifat fermentatif kuat dan anaerob fakultatif (mampu hidup dengan atau tanpa oksigen), memiliki sifat yang stabil dan seragam, mampu tumbuh dengan cepat saat proses fermentasi sehingga proses fermentasi berlangsung dengan cepat pula serta mampu memproduksi alkohol dalam jumlah banyak. Alkohol (etanol) yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan pelarut selain air dan bahan baku utama dalam laboratorium dan industri kimia (Buckle, 1987).


(20)

Saccharomyces cerevisiaeadalah mikroorganisme bersel tunggal dengan ukuran antara 5 sampai 20 mikron, biasanya berukuran 5 sampai 10 kali lebih besar dari bakteri. Saccharomyces cerevisiae dapat tumbuh dalam media cair dan padat, perbanyakan sel terjadi secara aseksual dengan pembentukan tunas, suatu proses yang merupakan sifat khas dari Saccharomyces cerevisiae. Saccharomyces cerevisiae tumbuh optimum pada suhu 25-30oC dan maksimum pada 35-47oC, pH pertumbuhan saccharomyces cerevisiae yang baik antara 3-6. Perubahan pH dapat mempengaruhi pembentukan hasil samping fermentasi (Prescott dan Dunn, 1959).

Pada Saccharomyces cerevisiae, 70% dari glukosa didalam subtract akan diubah menjadi karbondioksida dan alkohol, sedangkan sisanya 30% tanpa adanya nitrogen akan diubah menjadi produk penyimpanan cadangan (Fardiaz, 1992).

Sistem Pencernaan Ruminansia

Perut ruminansia terdiri atas retikulum, rumen, omasum dan abomasums. Volume rumen pada ternak domba berkisar 10 liter. Sistem pencernaan pada ruminansia melibatkan interaksi dinamis antara bahan pakan, populasi mikroba dan ternak itu sendiri. Pakan yang masuk ke mulut akan mengalami proses pengunyahan atau pemotongan secara mekanis sehingga membentuk bolus. Pada proses ini, pakan bercampur dengan saliva kemudian masuk ke rumen melalui esophagus untuk selanjutnya mengalami proses fermentatif. Bolus di dalam rumen akan dicerna oleh enzim mikroba. Partikel pakan yang tidak dicerna di rumen dialirkan ke abomasum dan dicerna secara hidrolitik oleh enzim pencernaan. Hasil pencernaan tersebut akan diserap oleh usus halus dan selanjutnya masuk dalam darah (Sutardi, 1978).


(21)

Kecernaan

Pengujian kecernaan dilakukan untuk mengetahui kualitas dari suatu bahan pakan, karena salah satu faktor penting yang harus dipenuhi oleh bahan makanan adalah tinggi rendahnya daya cerna bahan makanan tersebut. Kecernaan juga dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menentukan nilai pakan ternak. Nilai kecernaan suatu bahan pakan menunjukan bagian dari zat-zat makanan yang dicerna dan diserap sehingga siap untuk mengalami metabolisme (Schneider dan Flatt, 1975).

Kecernaan suatu bahan pakan sangat penting diketahui karena dapat digunakan untuk menentukan nilai atau mutu suatu bahan pakan

(Tillman et al., 1998). Soewardi (1974) menyatakan bahwa kecernaan merupakan suatu rangkaian proses yang terjadi dalam alat pencernaan sampai memungkinkan terjadinya penyerapan. Kecernaan biasanya dinyatakan dalan BK dan BO dan bila dinyatakan dalam persentase disebut koefisein cerna (McDonald et al., 1989).

Semakin tinggi kecernaan suatu bahan pakan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pakan (Sutardi, 1978). Jumlah maupun kompisisi kimia serat suatu bahan pakan sangat berpengaruh terhadap kecernaannya (Arora, 1989). Bahan pakan mempunyai kecernaan tinggi apabila bahan tersebut mengandung zat-zat mutrisi mudah dicerna. Bahan pakan yang kecernaanya rendah tidak dapat diserap oleh tubuh dan akan dikeluarkan melalui feses (Lubis, 1992).

Kecernaan Bahan Kering

Konsumsi bahan kering merupakan gambaran banyaknya bahan pakan yang masuk kedalam tubuh, namun untuk mengetahui sejauh mana zat-zat


(22)

makanan tersebut diserap oleh tubuh ternak maka perlu untuk mengetahui tingkat kecernaannya (Tillman, et al.,1998).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan kering yaitu jumlah pakan yang dikonsumsi, laju perjalanan makanan di dalam saluran pencernaan dan jenis kandungan gizi yang terkandung dalam pakan tersebut. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi nilai kecernaan bahan kering pakan adalah tingkat proporsi bahan pakan, komposisi kimia, tingkat protein pakan, persentase lemak dan mineral (Herman et al., 2003).

Menurut Mackie et al., (2002) adanya aktivitas mikroba dalam saluran pencernaan sangat mempengaruhi tingkat pencernaan. Nilai rataan koefisien cerna bahan kering pada domba lokal adalah 57,34% sedangkan nilai koefisien cerna bahan organik adalah 60,74% (Elita, 2006).

Kecernaan Bahan Organik

Bahan organik merupakan bagian dari bahan kering, sehingga meningkatnya konsumsi bahan kering maka konsumsi bahan organik akan meningkat pula. Peningkatan kecernaan bahan organik sejalan dengan meningkatnya kecernaan bahan kering, karena sebagian besar komponen bahan kering terdiri atas bahan organik sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya kecernaan bahan kering akan berpengaruh juga terhadap tinggi rendahnya kecernaan bahan kering Sutardi (1980).

Menurut Tillman et al., (1991) bahwa bahan organik merupakan bahan yang hilang pada saat pembakaran. Nutrien yang terkandung dalam bahan organik merupakan komponen penyusun bahan kering. Komposisi bahan organik terdiri dari lemak, protein kasar, serat kasar dan BETN. Bahan kering mempumyai


(23)

komposisi kimia yang sama dengan bahan organik ditambah abu. Akibatnya jumlah konsumsi bahan kering akan berpengaruh terhadap jumlah konsumsi bahan organik. Banyaknya konsumsi bahan kering akan mempengaruhi besarnya nutrien yang dikonsumsi sehingga jika konsumsi bahan organik meningkat maka akan meningkatkan konsumsi nutrien.

Kemampuan mencerna bahan makanan ditentukan oleh beberapa faktor seperti jenis ternak, komposisi kimia pakan dan penyimpanan pakan. Daya cerna suatu bahan pakan tergantung pada keserasian zat-zat makanan yang terkandung didalamnya Van Soest (1994).

Rumen

Kondisi dalam rumen adalah anaerobik, tekanan osmos pada rumen mirip dengan tekanan aliran darah. Temperatur dalam rumen adalah 38-42oC, pH 6,7-7,0 dapat dipertahankan dengan adanya absorbs asam lemak dan ammonia. Saliva yang keluar masuk ke dalalm rumen berfungsi sebagai buffer dan membantu mempertahankan pH tetap pada 6,8. Hal ini disebabkan oleh tingginya kadar ion HCO3 dan PO4 (Arora,1995).

Pencernaan secara fermentatif dilakukan oleh mikroorganisme rumen sedangkan secara hidrolisi dilakukan oleh jasad renik dengan cara penguraian dalam rumen. Rumen mengandung banyak tipe bakteri, protozoa dan jamur. Beberapa spesies mikroba rumen mampu menghasilkan enzim selulase dan hemiselulase yang dapat menghidrolisa isi sel dan dinding sel tanaman pakan (Tillman et al., 1991)

Cairan rumen segar didapat dengan memeras isi rumen. Cairan ditempatkan ke dalam termos yang telah dipanaskan terlebih dahulu dengan suhu


(24)

39oC. Cairan rumen disaring dengan kain kasa dan ditampung kedalam wadah yang telah ditempatkan di dalam water bath pada suhu 39oC. Cairan rumen ditambahkan gas CO2 supaya kondisi anaerob sampai dilakukan inokulasi

(Afdal dan Edi, 2007).

Teknik In vitro

Teknik in vitro adalah percobaan fermentasi bahan pakan secara anaerob di dalam tabung fermentor dan diberi larutan penyangga berupa saliva buatan. Teknik in vitro digunakan untuk menyelidiki bahan pakan di luar bagian tubuh ternak dengan waktu yang relatif singkat (Tillman et al., 1998). Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan penelitian in vitro adalah larutan penyangga, suhu fermentasi, derajat keasaman (pH) yang optimal, sumber inokulum, periode fermentasi, mengakhiri fermentasi dan prosedur analisis (Sutardi, 1978).

Suhu fermentasi diusahakan sama dengan suhu fermentasi dalam rumen yaitu berkisar 38-42oC. Suhu tersebut harus stabil selama proses fermentasi berlangsung, hal ini dimaksud agar mikroba dapat berkembang sesuai dengan kondisi asal. Aktifitas mikroba rumen tetap berlangsung normal bila pH rumen berkisar 6,7-7,0. Perubahan pH yang besar dapat dicegah dengan penambahan larutan buffer (Jhonson, 1996).

Keuntungan yang diperoleh dari penggunaan teknik invitro adalah waktu yang relatif pendek dan dapat mengurangi pengaruh yang disebabakan hewan induk semang dengan hasil yang cukup memuaskan (Harris, 1970). Keuntungan utama teknik in vitro adalah dapat mempelajari aktivitas mikroba di luar kontrol dan pengaruh induk semang. Teknik in vitro akan mendapatkan hasil yang lebih baik daripada menggunakan analisa kimia (Hungate, 1996).


(25)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pemuliaan dan Reproduksi Ternak Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan. Penelitian ini berlangsung selama 2 bulan mulai bulan Juli sampai September 2014.

Bahan dan Alat Penelitian Bahan

Mikroba yang terdiri atas Aspergillus niger, Saccharomyces cerevisiae

diperoleh dari koleksi Laboratorium Pemuliaan dan Reproduksi Ternak Program Studi Peternakan, Isolat rumen kerbau dan Isolat rumen domba, Tongkol jagung, larutan MC Dougall, cairan rumen segar, gas CO2, larutan pepsin HCl 0,2%,

aquadest, larutan HgCl2 jenuh, kertas saring whatman no 41.

Alat

Timbangan analitik, tabung fermentor volume 50ml, tutup karet berventilasi, shaker bath dengan suhu air 39-40oC, sentrifuge, pompa vakum, deksikator, oven 105oC, tanur listrik, erlenmeyer, gelas ukur, thermometer, cawan porselin, pH meter.

Metode penelitian

Pengukuran Bahan Kering

Sebanyak 2 gram sampel tongkol jagung fermentasi dimasukan kedalam cawan porselin yang telah diketahui beratnya kemudian diovenkan pada suhu


(26)

105oC selama 24 jam, setalah itu didinginkan sampel dalam desikator selama ± 15 menit, kemudian sampel ditimbang dan dihitung menggunakan rumus:

%KA = (Berat C + S sblm oven) – (Berat C + S stlh oven) Berat sampel awal

x 100%

%BK = 100% - % KA Keterangan:

KA = Kadar Air BK = Bahan Kering C = Cawan Porselin S = Sampel / Bahan (Widiyaningrum et al., 2009).

Pengukuran Bahan Organik

Sebanyak 2 gram sampel tongkol jagung fermentasi dimasukkan kedalam cawan porselin yang telah diketahui beratnya kemudian dimasukkan kedalam tanur 600oC sampai menjadi abu (selama 6 jam), dinginkan sampel dalam desikator selama 1 jam, kemudian sampel ditimbang dan dihitung kadar abu dengan rumus:

% KAb = (Berat C + S setelah tanur) – (Berat C kosong) Berat sampel awal

x 100%

Maka kadar Bahan Organiknya dapat dihitung dengan rumus: % BO = 100% - % KAb - % KA

(Widiyaningrum et al., 2009).

Kecernaan In vitro

Sampel sebanyak 1 gram tongkol jagung fermentasi dimasukkan kedalam tabung fermentor 50ml ditambah dengan larutan penyangga (MgDougall) 40ml,


(27)

cairan rumen 10ml. Pembuatan blanko dilakukan tanpa penambahan sampel kedalam tabung fermentor, kemudian setiap tabung fermentor diberi aliran gas CO2 selama 30 detik untuk menciptakan kondisi anaerob dan ditutup dengan tutup

karet berventilasi cek pH (6,5-6,9). Tabung fermentor dimasukkan kedalam

waterbath yang bersuhu 39o, diinkubasi selama 48 jam. Setelah 48 jam proses inkubasi dihentikan kemudian diteteskan 2-3 tetes HgCl2 dan dicentrifuge selama

10 menit pada 4000 rpm.

Residu hasil proses centrifuge ditambahkan 50ml laruran pepsin HCL untuk setiap tabung fermentor kemudian dimasukkan kedalam waterbath pada suhu 39oC selama 48 jam, kemudian residu (sisa pencernaan) disaring dengan kertas saring Whatman no 41. Setiap ulangan dibuat Duplo. Hasil saringan dimasukkan kedalam oven pada suhu 105oC selama 12 jam kemudian didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang. Perhitungan KCBK dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

KCBK (%) = BK sampel – (BK residu – BK residu blanko BK sampel

) x 100%

Pengukuran KCBO dilakukan dengan cara sampel yang telah dioven pada pengukuran KCBK dimasukkan kedalam tanur selama 6 jam pada suhu 105oC sehingga sampel menjadi abu kemudian didinginkan dalam desikator selam 15 menit dan ditimbang. Perhitungan KCBO dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

KCBO (%) = BO sampel – (BO residu – BO residu blanko BO sampel


(28)

Metode penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan.

Adapun perlakuan yang diberikan adalah R0 = Tongkol jagung tanpa perlakuan (kontrol)

R1 = Tongkol jagung dengan penambahan Aspergillus niger dan Saccharomyces cerevisiae

R2 = R1 + Isolat bakteri kerbau

R3 = R1 + Isolat bakteri domba adaptif Keterangan:

R3 = Domba adaptif adalah tenak domba yang telah diberi pakan tongkol jagung fermentasi Aspergillus niger selama 2 bulan.

Model Matematika RAL adalah sebagai berikut:

Yij =μ + βi + εijk

Dimana :

Yij = nilai pangamatan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

i = 1,2,3,…… (perlakuan) j = 1,2,3,…… (ulangan)

μ = nilai tengah umum

βi = pengaruh perlakuan ke-i


(29)

Peubah yang diamati

1. Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK)

Keofisien Cerna Bahan Kering (KCBK) hasil in vitro didapat dengan menggunakan rumus:

KCBK (%) = BK sampel – (BK residu – BK residu blanko BK sampel

) x 100%

(Tiley dan Terry, 1996).

2. Koefisien Cerna Bahan Organik

Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO) hasil in vitro didapat dengan menggunakan rumus:

KCBO (%) = BO sampel – (BO residu – BO residu blanko BO sampel

) x 100% (Tiley dan Terry, 1996).

Analisis Data

Hasil analisis setiap perlakuan dihitung dengan menggunakan rumus daya cerna secara in vitro, dilakukan perhitungan untuk mengukur besar daya cerna masing-masing perlakuan. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA), apabila diantara perlakuan terdapat pengaruh nyata maka akan dilanjutkan dengan menggunakan Uji Beda Jarak Duncan (BNJD) yang dikemukakan Hanafiah (2002).


(30)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK)

Konsumsi bahan kering merupakan gambaran banyaknya bahan pakan yang masuk kedalam tubuh, namun untuk mengetahui sejauh mana zat-zat makanan tersebut diserap oleh tubuh ternak maka perlu untuk mengetahui tingkat kecernaannya (Tillmanet al., 1998).Koefisien cerna bahan kering tongkol jagung berdasarkan hasil analisa in vitro dapat dilihat pada Gambar 2.

Keterangan :R0: Tongkol Jagung tanpa Fermentasi

R1: Tongkol Jagung dengan Penambahan Aspergillus niger dan Saccharomyces cerevisiae

R2: R1 + Isolat rumen kerbau R3: R1 + Isolat rumen domba adaptif

Rataan persentase koefisien cerna bahan kering pada Gambar 2 yang tertinggi terdapat pada perlakuan R3 yaitu tongkol jagung dengan penambahan

Aspergillus niger dan Saccharomyces cerevisiae ditambah Isolat bakteri rumen domba adaptif sebesar 67,79% sedangkan persentase koefisein cerna bahan kering terendah terdapat pada perlakuan R0 yaitu tongkol jagung tanpa perlakuan sebesar 40,22%. Nilai rataan KCBK pada domba lokal adalah 57,34%. Nilai rataan

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00

R0 R1 R2 R3

40.23C± 6.73

52.70B± 6.32

64.10A± 6.28 67.79 A± 6.01

Gambar 2. Pengaruh Penggunaan Mikroba Lokal terhadap Koefisien Cerna Bahan Kering Tongkol Jagung

K o e fis ie n C ern a B ah an K eri n g ( %)


(31)

KCBK pada penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Elita (2006).

Hasil analisis menunjukan bahwa fermentasi dengan mikroba lokal dan berbagai isolat rumen yang berbeda memberikan pengaruh nyata (P < 0.05) terhadap tingkat kecernaan bahan kering, hal ini disebabkan oleh proses fermentasi bahan pakan oleh mikroorganisme menyebabakan perubahan-perubahan seperti memperbaiki mutu bahan pakan serta dapat meningkatkan daya cernanya. Produk fermentasi biasanya mempunyai nilai nutrisi yang lebih tinggi karena adanya enzim yang dihasilkan dari mikroba tersebut

(Winarno dan Fariz, 1980).

Perbedaan pada setiap perlakuan akan dilanjutkan dengan uji Duncan dimana hasil dari uji Duncan menunjukan bahwa rata-rata KCBK perlakuan R3 nyata lebih tinggi dibanding R1 dan R0, tetapi tidak berbeda nyata dengan R2. KCBK perlakuan R2 lebih tinggi dibanding dengan R1 dan R0 serta tidak berbeda nyata dengan perlakuan R3. KCBK perlakuan R1 nyata lebih tinggi dari R0 dan lebih rendah dari R2 dan R3.

Nilai KCBK perlakuan R0 lebih rendah dibandingkan perlakuan R1. Nilai kecernaan pada perlakuan R1 (Fermentasi dengan Aspergillus niger dan

Saccharomyces cerevisiae) sudah dapat meningkatkan kecernaan. Dimana

Aspergillus niger berperan dalam menghasilkan enzim selulase, dimana enzim ini berfungsi untuk mengubah selulosa menjadi glukosa sehingga dapat meningkan daya cerna dari suatu bahan pakan (Klich, 2002). Begitu juga dengan penggunaan

Saccharomyces cerevisiaeyang dinyatakan oleh Plata et al., (1994) yang menyatakan bahwa penambahan Saccharomyces cerevisiaedapat meningkatkan


(32)

populasi protozoa dan bakteri selulotik. Selulosa merupakan sumber energi yang sangat potensial bagi ruminansia. Ruminansia memiliki kemampuan mencerna selulosa menjadi sumber energi melalui proses fermentasi oleh mikroba selulotik yang terdapat dalam rumen.

Winarno (1995) menyatakan bahwa Saccharomyces cerevisiaemerupakan mikroba proteolitik yang mampu memecah protein dan komponen-komponen nitrogen lainnya menjadi asam amino. Menurut Ahmad (2005) keutungan penggunaan Saccharomyces cerevisiaepada pakan ternak dapat menambah jumlah mikroba yang menguntungkan dan berperan sebagai bahan imunostimulan. Imunostimulan berfungsi untuk meningkatkan sistem pertahanan terhadap penyakit-penyakit yang disebabkan bakteri, cendawan dan virus yang dapat mengganggu proses pencernaan dan penyerapan nutrisi pakan sehingga mampu meningkatkan kecernaan nutrien, harapan tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang artinya suplementasi Saccharomyces cerevisiaepada pakan dapat meningkatkan kecernaan bahan kering pakan.

Nilai kecernaan bahan kering pada perlakuan R2 tidak berbeda nyata dengan perlakuan R3. Kecernaan bahan kering yang tinggi pada ternak ruminansia menunjukkan tingginya zat nutrisi yang dapat dicerna oleh mikroba rumen. Semakin tinggi nilai persentase kecernaan bahan pakan tersebut, berarti semakin baik kualitasnya. Cairan rumen mengandung berbagai macam mikroba yang menghasilkan berbagai jenis enzim seperti amilase, protease dan selulase. Enzim-enzim tersebut akan mendegredasi zat-zat makanan tersebut menjadi bentuk yang lebih sederhana, hal ini memudahkan bakteri rumen untuk mencerna pakan sehingga kecernaan pakan meningkat (Gohl 1981).


(33)

Inokulum yang berisi mikroba selulotik yang sudah diisolasi dari cairan rumen dapat menurunkan serat kasar dari pakan yang berasal dari limbah pertanian berupa tongkol jagung dan disisi lain meningkatkan kadar protein pakan asal limbah tersebut dan dapat meningkatkan daya cernanya.

Secara alami cairan rumen sapi memang kaya akan mikroorganisme, salah satunya bakteri, yang pada gilirannya akan menghasilkan enzim yang akan membantu mencerna makanan. Suhardini (2008) menyatakan bahwa dalam cairan rumen terdapat mikroba aerob dan anaerob yang secara alami terdapat dalam rumen, salah satunya bakteri pencerna selulosa. Mikroorganisme dalam rumen sapi, jenis dan jumlahnya sangat dipengaruhi oleh pakan yang dimakannya (Ogimoto, 1981). Proses pencarian pakan dan jenis pakan yang diberikan pada sapi memungkinkan masuknya mikroorganisme lain ke dalam saluran pencernaan bersama dengan pakan yang dimakan. Dugaan ini diperkuat dengan pernyataan Brewer dan Taylor (1969), bahwa keragaman jenis mikroorganisme rumen sangat dominan dipengaruhi oleh mikroorganisme yang terbawa melalui pakan sapi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan kering yaitu jumlah pakan yang dikonsumsi, laju perjalanan makanan di dalam saluran pencernaan dan jenis kandungan gizi yang terkandung dalam pakan tersebut. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi nilai kecernaan bahan kering pakan adalah tingkat proporsi bahan pakan, komposisi kimia, tingkat protein pakan, persentase lemak dan mineral (Herman et al., 2003).

Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO)

Nilai kecernaan bahan organik suatu pakan dapat menentukan kualitas pakan. Bahan organik menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan


(34)

perkembangan ternak. Kecernaan bahan organik diukur karena komponen dari bahan organik sangat dibutuhkan ternak untuk hidup pokok dan produksi (Rahmawati, 2001). Nilai kecernaan bahan organik (KCBO) dapat dilihat pada Gambar 3 dibawah ini:

Nilai rataan KCBO pada Gambar 3 terendah terdapat pada perlakuan R0 yaitu 57,68% sedangkan kecernaan tertinggi terdapat pada perlakuan R3 yaitu 77.58%.

Menurut Tillman et al., (1991), bahwa bahan organik merupakan komponen yang hilang pada saat pembakaran. Nutrient yang terkandung dalam bahan organik merupakan komponen penyusun bahan kering, akibatnya jumlah konsumsi bahan kering akan berpengaruh terhadap jumlah konsumsi bahan organik. Banyaknya konsumsi bahan kering akan mempengaruhi besarnya nutrient yang dikonsumsi sehingga jika konsumsi bahan organik meningkat maka akan meningkatkan konsumsi nutrient. Oleh karena itu , hal tersebut juga akan berlaku pada nilai kecernaan apabila kecernaan bahan kering meningkat tentu kecernaan bahan organik juga meningkat.

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00

R0 R1 R2 R3

57.68B ± 9.9662.35 B ± 4.95

76.38A ± 0.80 77.58A ± 1.26

K o e fis ie n C ern a B ah an O r gan ik ( %)

Gambar 3. Pengaruh Penggunaan Mikroba Lokal terhadap Koefisien Cerna Bahan Organik Tongkol Jagung


(35)

Hasil sidik ragam menunjukan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terdapat kecernaan bahan organik pakan. Untuk mengetahui pengaruh pada setiap perlakuan maka dilakukan uji lanjut Duncan.

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa KCBO perlakuan R3 nyata lebih tinggi dibandingkan R1 dan R0 tidak berbeda nyata dengan perlakuan R2. Perlakuan R2 nyata lebih tinggi dibandingkan R1 dan R0 serta tidak berbeda nyata dengan perlakuan R3. KCBO perlakuan R1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan R0 tetapi nyata lebih rendah dibanding perlakuan R2 dan R3.

Tingkat kecernaan bahan organik pada percobaan mempunyai pola yang sama dengan kecernaan bahan kering. Tingkat kecernaan bahan organik relatif lebih tinggi dari pada kecernaan bahan kering pada setiap perlakuan. Hal ini karena pada bahan kering masih mengandung abu, sedangkan bahan organik tidak mengandung abu, sehingga bahan tanpa kandungan abu relatif lebih mudah dicerna. Fathul dan Wajizah (2010) menyatakan bahwa kandungan abu dapat memperlambat atau menghambat tercernanya bahan kering.

Kecernaan organik pada perlakuan R1 lebih tinggi dari perlakuan R0, pada perlakuan R1 terlihat bahwa tingkat kecernaan sudah mulai meningkat hal ini dikarenakan oleh fermentasi dengan menggunakan kapang memungkinkan terjadinya perombakan komponen bahan yang sulit dicerna menjadi lebih tersedia, sehingga diharapakan pula nilai nutrisinya meningkat (Supriyati et al., 1998). Kandungan lignin pada tongkol jagung yang dapat menghambat hidrolisis tersebut dapat diatasi dengan delignifikasi. Proses delignifikasi yaitu dengan cara penggilingan tongkol jagung. Selain itu, enzim lignase yang juga diproduksi oleh


(36)

lebih sederhana. Saccharomyces cerevisiae juga sebagai salah satu galur yang paling umum digunakan untuk fermentasi, karena bersifat fermentatife kuat dan anaerob fakultatif (mampu hidup dengan atau tanpa oksigen), memiliki sifat yang stabil dan seragam, mampu tumbuh dengan cepat saat proses fermentasi sehingga proses fermentasi berlangsung dengan cepat pula.

Pada perlakuan R1 tidak lebih tinggi dari perlakuan R2 dan R3, terlihat bahwa perlakuan R2 dan R3 lebih tinggi, hal ini dikarenakan adanya populasi mikroorganisme rumen yang semakin tinggi akan mengakibatkan populasi enzim juga semakin tinggi sehingga pencernaan substrat juga semakin tinggi pula dan akhirnya kecernaan akan meningkat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Anggorodi (1995), yang menyatakan bahwa peningkatan jumlah mikroorganisme rumen akan menyebabkan peningkatan aktivitas mikroorganisme dalam mencerna bahan pakan.

Jovanovic dan Cuperlovic (1977) menyatakan mikrobia rumen dapat meningkatkan nilai gizi bahan makanan karena adanya protein mikrobia sehingga akan meningkatkan daya cerna. Selain itu rumen diakui sebagai sumber enzim pendegradasi polisakarida. Polisakarida dihidrolisis dirumen disebabkan pengaruh sinergis dan interaksi dari kompleks mikroorganisme, terutama sellulase dan xilanase. Di dalam rumen, mikroorganisme akan memfermentasi karbohidrat yang spesifik dibutuhkan enzim yang digunakan untuk mendegradasi substrat sebagai sumber energy.

Hasil penelitian KCBO tertinggi terdapat pada R3, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan R2 hal ini disebabkan karena sumber mikroorganisme tiap ternak memiliki karakteristik dan kemampuan yang berbeda dalam mencerna.


(37)

Tingkat kecernaan substrat dalam rumen dipengaruhi oleh populasi dan kombinasi dari aktivitas mikroorganisme baik antar golongan atau spesies (Stewart, 1991).

Perlakuan R3 dan R2 tidak berbeda nyata dimana isolat rumen kerbau dapat mengimbangi isolat rumen domba adaptif, hal ini karena ternak kerbau memiliki kemampuan istimewa untuk tumbuh dan berkembang pada kondisi lingkungan yang buruk serta cukup efisien dalam memanfaatkan pakan dengan kualitas rendah karena didukung oleh volume rumen kerbau yang besar, sekresi saliva tinggi, laju pakan meninggalkan rumen lambat serta aktivitas selulotik dan populasi mikroba yang lebih tinggi (Suryahadi et al., 1996).

Hasil penelitian Tang et al., (2008) menyatakan bahwa tingginya nilai kecernaan bahan organik disebabkan adanya penambahan enzim fibrolytic. Penambahan enzim fibrolytic diduga akan lebih meningkatkan populasi mikroba rumen dibandingkan dengan pakan yang difermentasi menggunakan Aspergillus niger dan Saccharomyces cerevisiae. Pernyataan ini sesuai denga hasil penelitian Feng et al., (1996), yang melaporkan bahwa penambahan enzim fibrolytic dapat meningkatkan ekosistem mikroba rumen yang mengakibatkan laju kecernaan serat kasar. Hal ini juga memberikan pengaruh terhadap meningkatnya kecernaan bahan kering dan bahan organik pakan.


(38)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Penggunaan isolat rumen ditambah Aspergillus niger dan Saccharomicess cerevisiae pada tongkol jagung fermentasi dapat meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik in vitro lebih baik dari pada fermentasi tongkol jagung menggunakan Aspergillus niger dan Saccharomicess cerevisiae.

Saran

Disarankan bagi peternakyang menggunakan tongkol jagung sebagai bahan penyusun pakan ternak untuk melakukan fermentasi terlebih dahulu dengan menambahkan Aspergillus niger dan Saccharomicess cerevisiaeditambah isolat bakteri domba atau isolat bakteri kerbau.


(39)

DAFTAR PUSTAKA

Afdal, M. dan Edi E. 2007. Penggunaan Feses sebagai Pengganti Cairan Rumen pada Teknik In Vitro: Estimasi Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Beberapa Jenis Rumput. Artikel ilmiah, Fakultas Pertanian Universitas Jambi, Jambi.

Ahmad, R.Z. 2005. Pemanfaatan Khamir Saccharomyces cerevisiae untuk ternak. Wartazoa 15(1) : 49-55.

Anggorodi, R. 1995. Ilmu Makanan Ternak Dasar. PT. Gramedia, Jakarta

Arora, S. P. 1989. Pencernaan Mikrobia pada Ruminansia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta (Diterjemahkan oleh R. Murwani).

Arora, S.P. 1995. Pencernaan Mikroba pada Hewan Ruminansia. Penerjemah: R. Muwarni. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Brandt, Jr. R. T. and T. J. Klopfenstein, 1986. Evalution of Alfalfa-Com Cob Associative Action. I. Interactions between Alfalfa Hay and Ruminal Escape Protein on Growth of Lambs and Streers, J.Amin Sci. 63:894-901. Buckle. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan Hari Purnomo dan Adiono. Jakarta: UI

Press.

Effendi, S dan Sulistiati. 1991. Bercocok Tanam Jagung. CV. Yasaguna, Jakarta. Elita, A. S. 2006. Studi Perbandingan Penampilan Umum dan Kecernaan Pakan

pada Kambing dan Domba Lokal. Skripsi. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. PT Gramedia Pustaka Utama : Jakarta. Fardiaz, S., 1989. Mikrobiologi Pangan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi

Pusat Antar Universitas. IPB-Press, Bogor.

Fathul, F dan S. Wajizah. 2010. Penambahan Mikromineral Mn dan Cu dalam Ransum terhadap Aktivitas Biofermentasi Rumen Domba secara In vitro. JITV15(1) : 9-15

Gohl, B. O. 1981. Tropical Feed. Food and Agrikultural Organization of The United Nation, Rome.


(40)

Hanim, C., Z. Bachrudin, A., Agus, 1991. Evaluasi Nilai Nutrisi Bungkil Inti Kelapa Sawit yang Difermentasi dengan Jamur. Buletin Peternakan Vol. 23 (2). Yogyakarta.

Harahap, N. 1987. Pelaksanaan Pengolahan dan Pemanfaatan Jerami Padi untuk Pakan. Dalam: M. Soejono, A. Musofoe, R. Utomo, N. K. Wardhani dan J. B. Schiere (Eds.). Crop Residues for Feed and Other Purposes. Bioconvertion Project second Workshop on Crop Residues for Feed and Other Purposes. Grati: P:127-127.

Hardjo, S., N. S. Indrasti dan B. Tajuddin, 1898. Biokonservasi Pemanfaatan Limbah Industri. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB-Press, Bogor.

Harris, L. E. 1970. Nutrition Research Techniques for Domestic and Wild Animal. Vol.1 Animal Science Department. Utah State University, Logan. Hungate, E.E. 1996. The Rumen and Its Microbes. Academic, New York.

Jhonson, R.R, 1996. Technics and Procedures for In-Vitro and In-Vitro Rumen Studies. New York.

Jovanovic, M. Cuperlvic M. 1977. Nutrient value of rumen content for oogatric. Anim Feed Sci and Tech 2:351-360

Kirk et al. 2001. Ainsworth’s and Bisby’s Dictionary of The Fungi. Ed.9.

Klich, M. A. 2002. Indentification of common Aspergillus species. Utrecht, The Netherlands, Centraalbureau voor Schimmelcultures.

Lubis, D. A. 1992. Ilmu Makanan Ternak. PT. Pembangunan, Jakarta.

Mackie, R. I., C. S. McSweeney dan A. V. Klieve. 2002. Microbial Ecology of the Ovine Rumen. Dalam: M. Freer dan H. Dove (Ed). Sheep Nutrition. CSIRO Plant Industry, Canberra Australia. p:73-80.

Mccutcheon, J. and D. Samples. 2002. Grazing Corn Residues.Extension Fact Sheet Ohio State University Extension.US.ANR 10-02.

McDonal, P., R. A. Edwards and J. F. D. Greenhalg. 1989. Animal Nutrition. 4th. English Language Book Society/Longman Group Ltd, Hongkong.

Munasik. 2007. Pengaruh Umur Pemotongan Terhadap Kualitas Hijauan Sorgun Manis (Shorgum bicolor L. Moench) Variets RGU. Prosiding Seminar Nasional.

Ogimoto, K. and S. Imai. 1981. Atlas of Rumen Microbiology. Japan Science. Washington D.C. 102 p.


(41)

Perry TW, Cullison AE, Lowrey RS. 2003. Feeds and Feeding. 6th Ed. New Jersey: Prentice Hall Inc.

Plata, P. F., M. G. D. Mendoza, J. R. Barcena-Gama, and M. S. Gonzalez.1994. Effect of a yeast culture (Saccharomyces cerevisiae) on neutral detergent fiber digestion in steers fet oat straw based diets. Anim. Feed Sci. Technol. Prescott, S.C. dan C.G. Dunn. 1981. Industrial Microbiology. McGraw-Hill Book

Co.Ltd, New York.

Preston, R.L. 2006. Feed Composion Tables com/mag/beef_feed_composition. (20 juli 2007). ROHAENI, E.S., N. AMALI dan A. SUBHAN. 2006a. Janggel Jagung fermentasi sebagai pakan alternatif untuk sapi pada musim kemarau.Pros. Lokarya Nasional Jejaring Pengembangan Sistem Integrasi Jagung – Sapi. Pontianak, 9 – 10 Agustus 2006. Puslitbang Peternakan, Bogor.hlm. 193-196.

Rahayu, K. K dan Soedarmaji.2001.Mikrobiologi Pangan. PAU Pangan Dan Gizi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Rahmawati I. G. A. W. D. 2001. Evaluasi in vitro Kombinasi Lamtoro Merah (Acacia villosa) dan Gamal (Gliricidia maculate) untuk meningkatkan kualitas Pakan Ternak Domba. Skripsi. Fakultas Peternakan, IPB. Bogor Rubatzky, V.E. dan M. Yamaguchi. 1998. Sayuran Dunia Prinsip, Produksi dan

Gizi. Terjemahan Catur Herison. ITB-Press, Bandung.

Saono, S., 1998. Pemanfaatan Jasad Renik Dalam Pengolahan Hasil Sampingan/Sisa-Sisa Produksi Pertanian. LIPI, Jakarta.

Schlegel, H. G. dan K. Schmidt. 1994. Mikrobiologi Umum. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta (Diterjemahkan oleh T. Baskoro dan J. R. Wattimena).

Soewardi, B. 1974. Gizi Ruminansia Bagian 1. Departemen Ilmu Makanan Ternak Tropik. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Suhardini, P. W. Paramita dan D. Kusumawati. 2008. Identifikasi Jamur Selulotik Aerob dari Limbah Cairan Rumen Sapi di Rumah Potong Hewan Pengirian Surabaya. Jurnal Universitas Airlangga Vol. I. No.1.

Supriyati, T. Pasaribu, H. Hamid dan A. Sinurat, 1998. Fermentasi Bungkil Inti Sawit secara Substrat Padat dengan Menggunakan Aspergillus niger. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner.


(42)

Suryahadi, W. G. Piliang, L. Djuwita and Y. Widiastuti. 1996. DNA recombinant technique for producing transgenic rumen microbes in order to improve fiber utilization. Indonesia. J. Trop. Agric. 7:5-9

Sutardi, T. 1978. Ikhtisar Ruminologi. Bahan Kursus Peternakan Sapi Perah. Kayu Ambon. Lembang. Departemen Ilmu Makanan Ternak, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Tang, S.X., G. O. Tayo, Z. L. Tan, Z. H. Sun, L. X. Shen, C. S. Zhou, W.J. Xiao, G.P.Ren, X.F. Han, and S.B.Shen. 2008. Effects of yeast culture and fibrolytic enzyme supplementation on in vitro fermentation characteristics of low-quality cereal straws. J.Anim. Sci. 86:1164-1172.

Tilley J M A & Terry R. A. 1963. A two-stage technique for in vitro digestion of forage crops. J. Brit.Grassland Soc. 18:104-111.

Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Prawirokusumo, S. Reksohadiprodjo dan S. Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-6. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Prawirokusumo dan S. Prawiryokusumo., 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Umiyasih dan Aryogi. 2001. Kandungan dan Nilai Kecernaan In Vitro Bahan Kering, Bahan Organik dan Protein Kasar Cassapro dengan Lama Fermentasi yang Berbeda. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.Pasuruan.

Warisno, M.A. 1998. Direct Extrusion of Convenience Food. Cereal Food World 42: 743 – 745.

Widiyaningrum, P., Siregar. Z., Wahyuni. T. H., Roeswandy. 2009. Penuntun Praktikum Bahan Pakan Ternak dan Formulasi Ransum. Universitas Sumatera Utara.

Winarno, F. G., S. Fardiaz dan D. Fardiaz, 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Grameida, Jakarta.


(43)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Analisis keragaman bahan kering tongkol jagung fermentasi in vitro

Tabel anova

SK dB JK KT F-Hit

Ftabel

0.01 0.05

Perlakuan 3 1856.63 618.877 15.37184** 5.95 3.49 Galat 12 483.1258 40.26049


(44)

Lampiran 2. Analisis keragaman bahan organik tongkol jagung fermentasi in vitro

Tabel anova

SK dB JK KT F-Hit

Ftabel

0.01 0.05

Perlakuan 3 1197.498 399.1659 12.65177** 5.95 3.49 Galat 12 378.6023 31.55019


(45)

Lampiran 3. Uji lanjut Duncan kecernaan bahan kering

The SAS System 14:33 Thursday, September 24, 2014 1 The GLM Procedure

Class Level Information Class Levels Values PERLAKUAN 4 A B C D

Number of Observations Read 16 Number of Observations Used 16

The SAS System 14:33 Thursday, September 24, 2014 2 The GLM Procedure

Dependent Variable: TOKOL Sum of

Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 1856.633125 618.877708 15.37 0.0002 Error 12 483.125836 40.260486

Corrected Total 15 2339.758961

R-Square Coeff Var Root MSE TOKOL Mean 0.793515 11.28959 6.345115 56.20325

Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F PERLAKUAN 3 1856.633125 618.877708 15.37 0.0002 Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F PERLAKUAN 3 1856.633125 618.877708 15.3


(46)

The SAS System 14:33 Thursday, September 24, 2014 3 The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for TOKOL

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.

Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 12 Error Mean Square 40.26049 Number of Means 2 3 4 Critical Range 9.78 10.23 10.51

Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N PERLAKUAN

A 67.793 4 D A

A 64.095 4 C B 52.699 4 B C 40.226 4 A


(47)

Lampiran 4. Uji lanjut Duncan kecernaan bahan organik

The SAS System 14:33 Thursday, September 24, 2014 5 The GLM Procedure

Class Level Information Class Levels Values PERLAKUAN 4 A B C D

Number of Observations Read 16 Number of Observations Used 16

The SAS System 14:33 Thursday, September 24, 2014 6 The GLM Procedure

Dependent Variable: TOKOL Sum of

Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 1197.497585 399.165862 12.65 0.0005 Error 12 378.602317 31.550193

Corrected Total 15 1576.099903

R-Square Coeff Var Root MSE TOKOL Mean 0.759785 8.200287 5.616956 68.49706

Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F PERLAKUAN 3 1197.497585 399.165862 12.65 0.0005 Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F PERLAKUAN 3 1197.497585 399.165862 12.65


(48)

The SAS System 14:33 Thursday, September 24, 2014 7 The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for TOKOL

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.

Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 12 Error Mean Square 31.55019 Number of Means 2 3 4 Critical Range 8.654 9.058 9.303

Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N PERLAKUAN

A 77.577 4 D A

A 76.380 4 C B 62.354 4 B B


(49)

Lampiran 5. Bagan peremajaan Aspergillus niger

Timbang PDA 3,9 gram dilarutkan dalam 100ml aquadest

Panaskan pada hot plat

Sterilisasi dengan autoklaf suhu 121o 15 menit

Larutan PDA dituang dalam cawan petri Biarkan hingga beku

Gores Aspergillus niger ke setiap cawan petri

Tutup pinggiran cawan dengan plastic cling wrap


(50)

Lampiran 6. Bagan peremajaan Aspergillus nigerdengan media agar miring

Timbang PDA 3,9 gram dilarutkan dalam 100ml aquadest

Panaskan pada hot plat

Sterilisasi dengan autoklaf suhu 121o 15 menit

Larutan PDA dituang dalam tabung reaksi, miringkan tabung Tutup dengan kapas

Biarkan hingga beku

Gores Aspergillus niger ke setiap tabung

Tutup tabung dengan kapas dan aluminium foil


(51)

Lampiran 7. Bagan peremajaan rumen

Timbang BHI 3,7gram dilarutkan dalam 100ml aquadest

Tuang larutan BHI kedalam tabung reaksi

Masukan cairan rumen 0,1ml

Tutup menggunakan kapas dan aluminium foil


(1)

The SAS System 14:33 Thursday, September 24, 2014 3 The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for TOKOL

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.

Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 12 Error Mean Square 40.26049

Number of Means 2 3 4 Critical Range 9.78 10.23 10.51

Means with the same letter are not significantly different.

Duncan Grouping Mean N PERLAKUAN A 67.793 4 D

A

A 64.095 4 C B 52.699 4 B C 40.226 4 A


(2)

Lampiran 4. Uji lanjut Duncan kecernaan bahan organik

The SAS System 14:33 Thursday, September 24, 2014 5 The GLM Procedure

Class Level Information Class Levels Values PERLAKUAN 4 A B C D

Number of Observations Read 16 Number of Observations Used 16

The SAS System 14:33 Thursday, September 24, 2014 6 The GLM Procedure

Dependent Variable: TOKOL Sum of

Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 1197.497585 399.165862 12.65 0.0005 Error 12 378.602317 31.550193

Corrected Total 15 1576.099903

R-Square Coeff Var Root MSE TOKOL Mean 0.759785 8.200287 5.616956 68.49706

Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F PERLAKUAN 3 1197.497585 399.165862 12.65 0.0005

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F PERLAKUAN 3 1197.497585 399.165862 12.65


(3)

The SAS System 14:33 Thursday, September 24, 2014 7 The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for TOKOL

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.

Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 12 Error Mean Square 31.55019

Number of Means 2 3 4 Critical Range 8.654 9.058 9.303

Means with the same letter are not significantly different.

Duncan Grouping Mean N PERLAKUAN A 77.577 4 D

A

A 76.380 4 C B 62.354 4 B B


(4)

Lampiran 5. Bagan peremajaan Aspergillus niger

Timbang PDA 3,9 gram dilarutkan dalam 100ml aquadest

Panaskan pada hot plat

Sterilisasi dengan autoklaf suhu 121

o

15 menit

Larutan PDA dituang dalam cawan petri

Biarkan hingga beku

Gores Aspergillus niger ke setiap cawan petri

Tutup pinggiran cawan dengan plastic cling wrap

Inkubasi 2-3hari


(5)

Lampiran 6. Bagan peremajaan Aspergillus nigerdengan media agar miring

Timbang PDA 3,9 gram dilarutkan dalam 100ml aquadest

Panaskan pada hot plat

Sterilisasi dengan autoklaf suhu 121

o

15 menit

Larutan PDA dituang dalam tabung reaksi, miringkan tabung

Tutup dengan kapas

Biarkan hingga beku

Gores Aspergillus niger ke setiap tabung

Tutup tabung dengan kapas dan aluminium foil


(6)

Lampiran 7. Bagan peremajaan rumen

Timbang BHI 3,7gram dilarutkan dalam 100ml aquadest

Tuang larutan BHI kedalam tabung reaksi

Masukan cairan rumen 0,1ml

Tutup menggunakan kapas dan aluminium foil

Inkubasi selama 2 hari


Dokumen yang terkait

Penggunaan Multi Mikroba Lokal dengan Berbagai Dosis dan Lama Inkubasi terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Pelepah Daun Kelapa Sawit In Vitro

0 3 56

PENGARUH PENGOLAHAN TONGKOL JAGUNG MENGGUNAKAN ENZIM SELULASE TERHADAP KECERNAAN BAHAN KERING, BAHAN ORGANIK DAN SERAT KASAR IN- VITRO.

0 0 6

PENGARUH PEMBERIAN CAIRAN MIKROBA LOKAL PADA RANSUM LENGKAP TERFERMENTASI TERHADAP KECERNAAN BAHAN KERING DAN KECERNAAN BAHAN ORGANIK SECARA IN VITRO.

0 0 2

Penggunaan Multi Mikroba Lokal dengan Berbagai Dosis dan Inkubasi terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Pelepah Daun Kelapa Sawit In Vitro

0 0 10

Penggunaan Multi Mikroba Lokal dengan Berbagai Dosis dan Inkubasi terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Pelepah Daun Kelapa Sawit In Vitro

0 1 2

Penggunaan Multi Mikroba Lokal dengan Berbagai Dosis dan Inkubasi terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Pelepah Daun Kelapa Sawit In Vitro

0 1 3

Penggunaan Multi Mikroba Lokal dengan Berbagai Dosis dan Inkubasi terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Pelepah Daun Kelapa Sawit In Vitro

0 0 14

Penggunaan Multi Mikroba Lokal dengan Berbagai Dosis dan Inkubasi terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Pelepah Daun Kelapa Sawit In Vitro

0 0 3

Penggunaan Multi Mikroba Lokal dengan Berbagai Dosis dan Inkubasi terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Pelepah Daun Kelapa Sawit In Vitro

0 0 10

Penggunaan Mikroba Lokal Terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Tongkol Jagung In Vitro

0 1 11