Penggunaan Multi Mikroba Lokal dengan Berbagai Dosis dan Inkubasi terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Pelepah Daun Kelapa Sawit In Vitro

TINJAUAN PUSTAKA

Pelepah Daun Kelapa Sawit
Pelepah daun kelapa sawit merupakan salah satu bahan pakan ternak yang
memiliki potensi yang cukup tinggi, akan tetapi kedua bahan pakan tersebut
belum dimanfaatkan secara optimal oleh peternakan. Produksi pelepah daun
kelapa sawit dapat mencapai 10,5 ton pelepah kering/ha/tahun. Kandungan
protein
kasar pada kedua bahan pakan tersebut masing-masing mencapai 15% BK (daun)
dan 2 – 4% BK (pelepah) (Mathius, 2003). Sementara itu, campuran kedua bahan
pakan tersebut dapat meningkatkan kandungan protein menjadi 4,8%.
Pelepah sawit dapat diperoleh sepanjang tahun bersamaan dengan panen
tandan buah segar. Setiap pohon kelapa sawit dapat menghasilkan 22
pelepah/tahun dan rataan bobot pelepah per batang mencapai 2,2 kg (setelah
dikupas untuk pakan), sehingga setiap hektar dapat menghasilkan pelepah segar
untuk pakan sekitar 9 ton/ha/tahun atau setara dengan 1,64 ton/ha/tahun bahan
kering (Diwyanto et al., 2003).
Komposisi nutrisi pelepah sawit adalah sebagai berikut kandungan Bahan
Kering 48,78 %, Protein Kasar 5,33 %, NDF 78,05 %, ADF 56,93 %,
hemiselulosa 21,12 %, selulosa 27,94 %, lignin 16,94 % dan silika 0,6 %
(Imsya et al., 2009).

Kandungan pelepah daun kelapa sawit berdasarkan analisis proksimat
terdapat pada Tabel 1. berikut:

Universitas Sumatera Utara

Tabel 1. Kandugan gizi pelepah daun kelapa sawit

Zat Nutrisi
Bahan Kering
Protein Kasar
Lemak Kasar
BETN
TDN
Ca
P
Energi (MCal/ME)
Sumber Serat

Kandungan
26,07a

5,02b
1,07a
39,82a
45,00a
0,96a
0,08a
56,00c
36,94a

Sumber: a. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2003)
b. Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Departemen Peternakan FP USU (2003)
c. Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan Bogor (2000).

Dari analisa kimia dinyatakan bahwa daun kelapa sawit tersusun dari 70%
serat dan 22% karbohidarat yang dapat larut dalam bahan kering. Ini
menunjukkan bahwa daun kelapa sawit dapat diawetkan sebagai silase dan telah
diindikasikan bahwa kecernaan bahan kering akan bertambah 45% dari hasil
silase daun kelapa sawit (Sinurat, 2003).
Pemanfaatan pelepah sebagai bahan pakan ruminansia disarankan tidak
melebihi 30%. Untuk meningkatkan konsumsi dan kecernaan pelepah dapat

ditambahkan

produk

samping

lain

dari

kelapa

sawit

(Balai Penelitian Ternak, 2003).
Pelepah kelapa sawit dapat diberikan dalam bentuk segar atau diproses
menjadi silase. Hasil Penelitian menunjukan penggunaan pelepah sawit dalam
bentuk silase pada sapi sebanyak 50% dari total pakan dapat menghasilkan
pertambahan bobot badan harian berkisar 0,62-0,75 kg dengan nilai konversi
pakan antara 9-10. Fermentasi pelepah kelapa sawit menjadi silase ditujukan

preservasi dan konsentrat, pengaruhnya terhadap nilai gizi bahan relatif kecil.
Adapun untuk meningkatkan kandungan gizi dalam proses fermentasi dapat

Universitas Sumatera Utara

ditambahkan urea. Penambahan urea sebanyak 3 - 6% akan meningkatkan
kandungan

protein

bahan

dari

5,6

menjadi

12,5


atau

20%

(Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, 2013).
Fermentasi
Menurut Pujaningsih (2005), fermentasi adalah suatu proses pemecahan
senyawa organik menjadi sederhana yang melibatkan mikroorganisme dengan
tujuan untuk menghasilkan suatu produk (bahan pakan) yang mempunyai
kandungan nutrisi, tekstur yang lebih baik disamping itu juga menurunkan zat anti
nutrisi. Adanya perubahan kimia oleh aktivitas enzim yang dihasilkan oleh
mikroba itu meliputi perubahan molekul-molekul kompleks atau senyawa organik
seperti protein, karbohidrat, maupun lemak menjadi molekul-molekul yang lebih
sederhana, mudah larut dan daya cerna yang tinggi.
Penambahan bahan- bahan nutrient kedalam fermentasi dapat menyokong
dan merangsang pertumbuhan mikroorganisme. Salah satu bahan yang dapat
digunakan pada proses fermentasi adalah urea. Urea yang ditambahkan pada
proses fermentasi akan terurai oleh enzim urease menjadi ammonia dan
karbondioksida yang selanjutnya digunakan asam amino (Fardiaz, 1989).
Adanya proses fermentasi memiliki manfaat diantaranya menurut

Shurtleff dan Aoyagi (1979), yaitu dapat mengubah molekul kompleks menjadi
molekul yang lebih sederhana dan mudah dicerna, mengubah rasa dan aroma
menjadi lebih baik. Selain itu produk hasil fermentasi akan menjadi tahan lama
dan dapat mengurangi senyawa racun yang dikandung sehingga nilai ekonomi
bahan dasarnya menjadi lebih baik (Saono, 1998).

Universitas Sumatera Utara

Faktor-faktor yang mempengaruhi biodegradasi dalam proses fermentasi
oleh mikroba :
a. Sifat fisik dan kimia substrat
1. Kelarutan, pada umumnya zat terlarut lebih mudah didegradasi.
2. Luas permukaan
Semakin luas permukaan makin mudah dicerna mikroorganisme. Dalam hal ini
untuk mempercepat degradasi digunakan substrat dengan ukuran yang kecil.
3. Kemampuan mengadopsi uap air
Material yang higroskopis lebih mudah dicerna oleh mikroorganisme. Dalam
hal ini kelembaban sangat mempengaruhi proses.
b. Struktur kimia dari substrat
Pengaruh struktur kimia dalam degradasi oleh mikroorganisme, pada

umumnya senyawa karbon yang terbentuk secara alamiah lebih mudah
didegradasi dari pada yang sintetik.
c. Faktor lingkungan
Setiap spesies mikroorganisme mempunyai kisaran kondisi lingkungan
dalam batas-batas toleransi yang sempit. Di luar batas itu mikroorganisme tidak
akan tumbuh dan biodegradasi tidak terjadi. Proses tersebut ada yang
menguntungkan dan ada pula yang merugikan. Hal yang menguntungkan ialah
adanya degradasi protein yang membentuk protein lain yang mudah dicerna, dan
yang

merugikan

pada

umumnya

proses

perusakan


atau

pembusukan

(Rarumangkay, 2002).

Universitas Sumatera Utara

Aspergillus niger
Aspergillus niger merupakan salah satu spesies yang paling umum dan
mudah diidentifikasi dari genus Aspergillus, famili Moniliaceae, ordo Monoliales
dan kelas Fungi imperfecti. Aspergillus niger dapat tumbuh dengan cepat,
diantaranya digunakan secara komersial dalam produksi asam sitrat, asam
glukonat

dan

pembuatan

beberapa


enzim

seperti

amilase,

pektinase,

amiloglukosidase dan sellulase. Aspergillus niger dapat tumbuh pada suhu
35 ºC – 37 ºC (optimum), 6 ºC – 8 ºC (minimum), 45 ºC – 47 ºC (maksimum) dan
memerlukan oksigen yang cukup (aerobik). Aspergillus niger memiliki bulu dasar
berwarna putih atau kuning dengan lapisan konidiospora tebal berwarna coklat
gelap sampai hitam. Kepala konidia berwarna hitam, bulat, cenderung memisah
menjadi bagian-bagian yang lebih longgar dengan bertambahnya umur.
Konidiospora memiliki dinding yang halus, hialin tetapi juga berwarna coklat
(Soeharto, 2003).
Peningkatan kandungan protein kasar yang sejalan dengan pertumbuhan
kapang (jamur) dikarenakan tubuh jamur terdiri dari elemen yang mengandung
nitrogen. Selain itu enzim yang dihasilkan oleh jamur juga merupakan protein.

Dinding sel jamur mengandung 6,3% Protein Kasar, sedangkan membran sel pada
jamur yang berhifa mengandung protein 25 - 45% dan karbohidrat 25 -30%
(Munandar, 2003).
Aspergillus niger berperan dalam menghasilkan enzim selulase, dimana
enzim ini berfungsi untuk mengubah selulosa menjadi glukosa sehingga dapat
meningkan daya cerna dari suatu bahan pakan (Klich, 2002).

Universitas Sumatera Utara

Aspergillus niger di dalam pertumbuhannya berhubungan secara langsung
dengan zat makanan yang terdapat dalam medium. Molekul sederhana seperti gula
dan komponen lain yang larut disekeliling hifa dapat langsung diserap. Molekul
lain yang lebih kompleks seperti selulosa, pati dan protein harus dipecah terlebih
dahulu sebelum diserap kedalam sel, untuk itu Aspergillus niger menghasilkan
beberapa enzim ekstraseluler (Hardjo et al., 1989). Dari beberapa hasil penelitian
diketahui fermentasi dengan menggunakan kapang Aspergillus niger dapat
meningkatkan kandungan protein dari beberapa bahan (Hanim et al., 1999).
Saccharomyces cerevisiae
Saccharomyces cerevisiae sebagai salah satu galur yang paling umum
digunakan untuk fermentasi, karena bersifat fermentatif kuat dan anaerob

fakultatif (mampu hidup dengan atau tanpa oksigen), memiliki sifat yang stabil
dan seragam, mampu tumbuh dengan cepat saat proses fermentasi sehingga proses
fermentasi berlangsung dengan cepat pula serta mampu memproduksi alkohol
dalam jumlah banyak. Alkohol (etanol) yang dihasilkan dapat digunakan sebagai
bahan pelarut selain air dan bahan baku utama dalam laboratorium dan industri
kimia (Buckle et al., 1987).
Saccharomyces cerevisiae adalah mikroorganisme bersel tunggal dengan
ukuran antara 5 sampai 20 mikron, biasanya berukuran 5 sampai 10 kali lebih
besar dari bakteri. Saccharomyces cerevisiae dapat tumbuh dalam media cair dan
padat, perbanyakan sel terjadi secara aseksual dengan pembentukan tunas, suatu
proses yang merupakan sifat khas dari Saccharomyces cerevisiae. Saccharomyces
cerevisiae tumbuh optimum pada suhu 25-30oC dan maksimum pada 35 oC 47oC, pH pertumbuhan saccharomyces cerevisiae yang baik antara 3 - 6.

Universitas Sumatera Utara

Perubahan pH dapat mempengaruhi pembentukan hasil samping fermentasi
(Prescott dan Dunn, 1959).
Pada Saccharomyces cerevisiae, 70% dari glukosa didalam subtract akan
diubah menjadi karbondioksida dan alkohol, sedangkan sisanya 30% tanpa adanya
nitrogen akan diubah menjadi produk penyimpanan cadangan (Fardiaz, 1992).
Bakteri Rumen
Kondisi dalam rumen adalah anaerobik, tekanan osmos pada rumen mirip
dengan tekanan aliran darah. Temperatur dalam rumen adalah 38 oC – 42 oC, pH
6,7 - 7,0 dapat dipertahankan dengan adanya absorbs asam lemak dan ammonia.
Saliva yang keluar masuk ke dalalm rumen berfungsi sebagai buffer dan
membantu mempertahankan pH tetap pada 6,8. Hal ini disebabkan oleh tingginya
kadar ion HCO 3 dan PO 4 (Arora,1995).
Pencernaan secara fermentatif dilakukan oleh mikroorganisme rumen
sedangkan secara hidrolisi dilakukan oleh jasad renik dengan cara penguraian
dalam rumen. Rumen mengandung banyak tipe bakteri, protozoa dan jamur.
Beberapa spesies mikroba rumen mampu menghasilkan enzim selulase dan
hemiselulase yang dapat menghidrolisa isi sel dan dinding sel tanaman pakan
(Tillman et al., 1991)
Cairan rumen segar didapat dengan memeras isi rumen. Cairan
ditempatkan ke dalam termos yang telah dipanaskan terlebih dahulu dengan suhu
39 oC. Cairan rumen disaring dengan kain kasa dan ditampung kedalam wadah
yang telah ditempatkan di dalam water bath pada suhu 39 oC. Cairan rumen
ditambahkan gas CO2 supaya kondisi anaerob sampai dilakukan inokulasi (Afdal
dan Edi, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Inkubasi dan Dosis
Waktu inkubasi yang dibutuhkan dalam produksi enzim bermacammacam. Hal ini berhubungan dengan fase pertumbuhan dari mikroba itu sendiri,
dimana mikroba mengalami empat fase dalam pertumbuhannya, yaitu fase lambat,
fase log, fase tetap dan fase menurun. Waktu inkubasi yang optimal untuk
menghasilkan asam organik untuk fermentasi kultur permukaan adalah 7 - 10 hari,
sedangkan untuk fermentasi terendam lebih pendek yaitu 4 - 5 hari (Kapoor et al,
1982).
Pada fase lambat tidak terjadi pembelahan sel. Mikroba hanya melakukan
kegiatan metabolisme dalam rangka persiapan dan penyesuaian diri dengan
kondisi pertumbuhan dan lingkungan yang baru. Fase ini dipengaruhi oleh
spesies, umur sel inokulum dan lingkungannya (Buckle, 1985).
Setelah beradaptasi dengan lingkungan baru mikroba akan memasuki fase
log, dimana sel-sel akan tumbuh dan membelah diri secara eksponensasi sampai
mencapai jumlah mkasimum sesuai dengan kondisi lingkungannya. Bila media
tempat tumbuh mengandung campuran zat-zat gizi (yang sederhana dan
mempunyai bobot molekul yang besar), maka mikroba tersebut akan
memanfaatkan zat gizi yang sederhana dulu baru kemudian memanfatkan zat gizi
yang sederhana dulu baru kemudian memnfaatkan komponen molekul yang besar
dengan jalan menghasilkan enzim ekstraseluler untuk menghidrolosis molekulmolekul

besar

sehingga

dapat

dimanfaatkan

untuk

pertumbuhan

(Buckle, 1985).
Dalam proses fermentasi ada beberapa hal yang harus diperhatikan,
diantaranya dosis dan lama fermentasi. Dosis akan mempengaruhi pertumbuhan

Universitas Sumatera Utara

kapang dalam memproduksi enzim selulase, sedangkan lama fermentasi akan
mempengaruhi jumlah enzim yang dihasilkan (Marlida et al., 2002). Cepat
lambatnya fermentasi sangat menentukan jumlah enzim yang dihasilkan, semakin
lama waktu fermentasi yang digunakan akan semakin banyak bahan yang
dirombak oleh enzim, tetapi dengan bertambahnya waktu fermentasi maka
ketersediaannya nutrien pada media habis, sehingga kapang lama kelamaan akan
mati (Fardiaz,1989).
Tingkat dosis berkaitan dengan besaran populasi mikroba yang
menentukan cepat tidaknya perkembangan mikroba dalam menghasilkan enzim
untuk merombak substrat menjadi komponen yang lebih sederhana. Menurut
pendapat Setyatwan (2007) yang menyatakan bahwa lama semakin lama waktu
fermentasi maka semakin banyak kandungan zat yang digunakan kapang untuk
hidupnya sehingga kandungan zat makanan yang tersisa semakin sedikit. Adapun
pendapat Winarno et al. (1980) menyatakan bahwa pada proses fermentasi
mikroba akan membutuhkan sejumlah energi untuk pertumbuhannya dan
perkembangbiakkannya yang akan diperoleh melalui perombakan zat makanan di
dalam substrat.
Sistem Pencernaan Ruminansia
Sistem pencernaan ruminansia mempunyai fungsi penggunaan/absorbsi
hasil fermentasi mikrobial yang optimal. Keadaan ini memungkinkan ruminansia
tidak tergantung sumber luar dari vitamin B-kompleks dan asam-asam amino.
Kedudukan ternak ruminansia adalah menyediakan makanan bagi manusia dari
sumber serat dan sumber non-protein dan tidak bersaing dengan manusia dalam
hal makanannya. Pengetahuan fermentasi dalam rumen mengarah kepengertian

Universitas Sumatera Utara

yang mendalam mengenai peranan mikroflora dalam saluran pencernaan termasuk
dari ternak dan spesies makhluk lain (Reksohadiprodjo, 1999).
Perut ruminansia terdiri atas retikulum, rumen, omasum dan abomasums.
Volume rumen pada ternak domba berkisar 10 liter. Sistem pencernaan pada
ruminansia melibatkan interaksi dinamis antara bahan pakan, populasi mikroba
dan ternak itu sendiri. Pakan yang masuk ke mulut akan mengalami proses
pengunyahan atau pemotongan secara mekanis sehingga membentuk bolus. Pada
proses ini, pakan bercampur dengan saliva kemudian masuk ke rumen melalui
esophagus untuk selanjutnya mengalami proses fermentatif. Bolus di dalam rumen
akan dicerna oleh enzim mikroba. Partikel pakan yang tidak dicerna di rumen
dialirkan ke abomasum dan dicerna secara hidrolitik oleh enzim pencernaan. Hasil
pencernaan tersebut akan diserap oleh usus halus dan selanjutnya masuk dalam
darah (Sutardi, 1978).
Kecernaan
Kecernaan adalah zat-zat makanan dari konsumsi pakan yang tidak
diekskresikan ke dalam feses, selisih antara zat makanan yang dikonsumsi dengan
yang dieksresikan dalam feses merupakan jumlah zat makanan yang dapat
dicerna. Jadi kecernaan merupakan pencerminan dari kemampuan suatu bahan
pakan yang dapat dimanfaatkan oleh ternak. Tinggi rendahnya kecernaan bahan
pakan memberikan arti seberapa besar bahan pakan itu mengandung zat-zat
makanan dalam bentuk yang dapat dicernakan ke dalam saluran pencernaan.
Tingkat kecernaan (digestibility) adalah bagian zat makanan yang tidak
diekskresikan dalam feses. Anggorodi (1990) menyatakan pada dasarnya tingkat
kecernaan adalah suatu usaha untuk mengetahui banyaknya zat makanan yang

Universitas Sumatera Utara

diserap oleh saluran pencernaan. Selanjutnya dijelaskan bahwa bagian yang dapat
dicerna adalah selisih antara zat-zat makanan yang dikonsumsi dengan zat-zat
makanan yang dibuang bersama feses.
Tingkat kecernaan suatu pakan menggambarkan besarnya zat-zat makanan
yang tersedia yang dapat dimanfaatkan oleh ternak untuk proses hidup pokok
(maintenance), pertumbuhan, produksinya maupun reproduksi (Ginting, 1992).
Kecernaan nutrisi tinggi bila nilainya 70%, dan rendah bila nilainya lebih kecil
dari 50%.
Kecernaan Bahan Kering
Konsumsi bahan kering merupakan gambaran banyaknya bahan pakan
yang masuk kedalam tubuh, namun untuk mengetahui sejauh mana zat-zat
makanan tersebut diserap oleh tubuh ternak maka perlu untuk mengetahui tingkat
kecernaannya (Tillman et al., 1998).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan kering yaitu jumlah
pakan yang dikonsumsi, laju perjalanan makanan di dalam saluran pencernaan
dan jenis kandungan gizi yang terkandung dalam pakan tersebut. Faktor-faktor
lain yang mempengaruhi nilai kecernaan bahan kering pakan adalah tingkat
proporsi bahan pakan, komposisi kimia, tingkat protein pakan, persentase lemak
dan mineral (Herman et al., 2003).
Menurut Mackie et al. (2002) adanya aktivitas mikroba dalam saluran
pencernaan sangat mempengaruhi tingkat pencernaan. Nilai rataan koefisien cerna
bahan kering pada domba lokal adalah 57,34% sedangkan nilai koefisien cerna
bahan organik adalah 60,74% (Elita, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Kecernaan Bahan Organik
Bahan

organik

merupakan

bagian

dari

bahan

kering,

sehingga

meningkatnya konsumsi bahan kering maka konsumsi bahan organik akan
meningkat pula. Peningkatan kecernaan bahan organik sejalan dengan
meningkatnya kecernaan bahan kering, karena sebagian besar komponen bahan
kering terdiri atas bahan organik sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi
tinggi rendahnya kecernaan bahan kering akan berpengaruh juga terhadap tinggi
rendahnya kecernaan bahan kering Sutardi (1980).
Kemampuan mencerna bahan makanan ditentukan oleh beberapa faktor
seperti jenis ternak, komposisi kimia pakan dan penyimpanan pakan. Daya cerna
suatu bahan pakan tergantung pada keserasian zat-zat makanan yang terkandung
didalamnya Van Soest (1994).
Teknik In Vitro
Percobaan pencernaan memakan waktu yang mahal dan memerlukan
sampel pakan besar. Oleh karena itu, banyak upaya telah diberikan untuk
mengembangkan metode untuk memperkirakan daya cerna secara tidak langsung
atau dengan metode in vitro. Dinding sel, lignin, hemiselulosa, silika, dan protein
isinya telah digunakan secara individual atau dalam kombinasi untuk
menunjukkan bahan kering dicerna. Dalam penentuan in vitro berdasarkan
prosedur yang dikembangkan oleh Tilley dan Terry (1963) telah banyak dan
berhasil digunakan (Maynard, 1981).
Oleh karena pencernaan pada non-ruminansia sukar ditiru keseluruhannya,
kecuali untuk protein yang menggunakan pepsin dan HCl. Daya cerna bahan
makanan untuk ruminansia dapat ditentukan dengan teliti dengan menggunakan

Universitas Sumatera Utara

metode in vitro 2 tingkat. Koefisien cerna yang ditentukan secara in vivo biasanya
1 – 2% lebih rendah dari harga in vitro, teknik ini dipergunakan secara luas untk
menganalisis makanan kasar (Tillman et al., 1991).
Di samping manfaat maupun kelebihannya, sistem evaluasi pakan secara
in vitro juga memiliki kelemahan, terutama dalam proses penyiapan sumber
inokulum karna harus menggunakan cairan rumen (Tilley dan Terry, 1963).
Cairan rumen biasanya diambil dari ternak yang berfistula rumen dan/atau
menyedotnya melalui mulut Mauricio et al., 2001.
Umumnya digunakan dalam tahap awal penelitian secara in vitro untuk
prediksi nilai kecernaan pakan dalam rumen dan prediksi nilai nutrisi
pakan.Produksi gas in vitro merupakan simulasi rumen dalam sistem bacth
culture. Sampel pakan yang akan diteliti di inkubasi dalam fermentor (syringe
glass atau botol serum) pada suhu 39 0C dalam medium anaerob yang diinokulasi
dengan mikroba rumen. Adanya aktifitas fermentasi oleh mikrobia rumen akan
menghasilkan gas. Gas yang terbentuk berasal dari hasil fermentasi (CO 2 dan
CH 4 ) dan secara tidak langsung dari CO 2 yang dilepaskan dari buffer bikarbonat
setiap dihasilkan volatile fatty acid (VFA) (Kurniawati, 2007).
Suhu fermentasi diusahakan sama dengan suhu fermentasi dalam rumen
yaitu berkisar 38 – 42 oC. Suhu tersebut harus stabil selama proses fermentasi
berlangsung, hal ini dimaksud agar mikroba dapat berkembang sesuai dengan
kondisi asal. Aktifitas mikroba rumen tetap berlangsung normal bila pH rumen
berkisar 6,7-7,0. Perubahan pH yang besar dapat dicegah dengan penambahan
larutan buffer bikarbonat dan fosfat (Jhonson, 1966).

Universitas Sumatera Utara

Keuntungan yang diperoleh dari penggunaan teknik in vitro adalah waktu
yang relatif pendek dan dapat mengurangi pengaruh yang disebabkan hewan
induk semang dengan hasil yang cukup memuaskan (Harris, 1970). Keuntungan
utama teknik in vitro adalah dapat mempelajari aktivitas mikroba di luar kontrol
dan pengaruh induk semang. Teknik in vitro akan mendapatkan hasil yang lebih
baik daripada menggunakan analisa kimia (Hungate, 1996).

Universitas Sumatera Utara