Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan

Yogyakarta, 24 November 2007 B ‐ 5 Biomassa mempunyai energi kira-kira 13 energi batubara per unit massa dan 14 energi batubara per unit volume. Densifikasi dapat mengubahnya menjadi masing-masing 23 dan 34 Bungay, 1981. Secara umum teknologi pembriketan dapat dibagi menjadi tiga Grover dan Mishra, 1996 : ™ Pembriketan tekanan tinggi. ™ Pembriketan tekanan medium dengan pemanas. ™ Pembriketan tekanan rendah dengan bahan pengikat binder. Beberapa jenis bahan dapat digunakan sebagai pengikat diantaranya amilumtepung kanji, tetes, dan aspal. Karakteristik pembriketan dievaluasi diantaranya dengan melihat durabilitas, kekuatan mekanis, dan perilaku relaksasi. Wamukonya dan Jenkins 1995 meneliti durabilitas dan relaksasi pada serbuk kayu dan jerami. Chin dan Siddiqui 2000 telah meneliti perilaku relaksasi briket dari berbagai macam biomassa. Relaksasi sangat dipengaruhi oleh tekanan pembriketan. Semakin tinggi tekanan maka relaksasi akan semakin bertambah.

2.3 Emisi Pembakaran

Emisi yang dihasilkan dari pembakaran biomassa adalah CO 2 , CO, NOx, SOx, dan partikulat. Kwong dkk 2004 meneliti campuran serbuk batubara dan sekam padi untuk berbagai komposisi dan udara lebih excess air. Hasilnya menunjukkan bahwa terjadi penurunan emisi CO lebih dari 40 untuk campuran sekam padi 50. Hal ini berarti sekam padi dapat menyempurnakan proses pembakaran. Konsentrasi CO juga menurun dengan penambahan excess air. Hasil optimal terjadi pada 30 excess air dan 10-20 campuran sekam padi. Emisi CO campuran biomassa ampas tebu-sekam padi telah diteliti Jamradloedluk dkk 2004 dengan hasil emisi CO rata-rata terendah untuk rasio 40:60 yaitu sebesar 3,3 ppm dan tertinggi untuk rasio 20:80 sebesar 14,4 ppm. Moerman dan Prasad 1995 meneliti rasio COCO 2 dari pembakaran kayu dalam tungku tipe downdraft. Rasio COCO 2 untuk range pembakaran bersih clean combustion dapat diprediksi dengan simulasi dengan kesalahan 10 dibandingkan dengan data eksperimen. Pada pembakaran dengan excess air factor rendah diperoleh rasio yang tinggi. Kenaikan excess air factor akan menurunkan rasio, tetapi pada kenaikan sampai di atas 2 akan menaikkan kembali rasio COCO 2 . Bhattacharya dkk 2002 meneliti emisi yang dihasilkan dari pembakaran kayu dan arang kayu pada berbagai macam tungku. Hasilnya menunjukkan bahwa faktor emisi CO berkisar antara 19-136 gkg. Emisi terendah dihasilkan oleh tungku jenis RTFD Thailand dan tertinggi tungku jenis Nepal. Pratoto 2004 telah meneliti emisi dari pembakaran empty fruit bunch EFB. Hasilnya menunjukkan bahwa faktor emisi CO berkisar antara 12-67 gkg.

3. Metode Penelitian

Bahan yang digunakan adalah limbah cangkang kakao. Penelitian dilakukan dengan mengeringkan cangkang kakao terlebih dahulu selama kurang lebih 3 hari. Analisis proksimasi dan nilai kalor bahan dasar ditampilkan pada Tabel 1. Setelah itu dihaluskan dengan penumbuk dan disaring dengan ukuran mesh 18 diameter: 1 mm. Kemudian dilakukan pembriketan 5 gram sampel berbentuk silinder dalam cetakan diameter 16 mm dan diperoleh diameter dan panjang rata- rata 16,4 dan 26 mm. Komposisi cangkang kakao dan bahan pengikat gel dari tepung kanji adalah Yogyakarta, 24 November 2007 B ‐ 6 70:30. Pengeringan briket menggunakan oven pada suhu 50 °C selama kurang lebih 5 jam dan dihasilkan berat rata-rata briket 3,687 gram. Briket yang dihasilkan seperti ditunjukkan Gambar 2. Tabel 1. Analisis proksimasi limbah cangkang kakao Material Proximate Analysis berat, wet basis Nilai kalor kJkg Moisture Volatile matter Fixed carbon Ash Cangkang kakao 16,1 49,9 20,5 13,5 16.998 Pengujian pembakaran dengan pengaruh temperatur udara preheat dilakukan dengan 3 variasi yaitu tanpa preheat, 60 °C, dan 80°C. Laju aliran udara dijaga konstan 0,3 ms. Dinding ruang bakar juga dipertahankan pada temperatur 350 °C dengan pemanasan LPG. Skema pengujian ditunjukkan pada Gambar 1di bawah ini. Masukkan briket ke dalam tungku dan diletakkan pada cawan yang digantungkan dengan kawat dan dihubungkan ke timbangan digital. Pengukuran dilakukan sampai tidak terjadi lagi pengurangan massa yang berarti pembakaran telah selesai. 1. Blower udara 2. Katup pengatur 3. Saluran masuk pemanasan LPG 4. Ruang preheater 5. Ruang pembakaran 6. Gas Analyser 7. Kawat termokopel 8. Digital termocouple reader 9. Kawat penggantung briket 10. Timbangan elektrik 11. Komputer Yogyakarta, 24 November 2007 B ‐ 7 Gambar 1. Skema Alat Uji Pembakaran. Gambar 2. Briket cangkang kakao.

4. Hasil dan Pembahasan

Pengaruh temperatur udara preheat terhadap pengurangan massa dan laju pembakaran sesaat dapat dilihat pada Gambar 2. Sesuai dengan teori yang ada bahwa pembakaran biomassa dibagi menjadi 3 tahap. Pertama tahap pengeringanpemanasan yang ditunjukkan dengan pengurangan massa yang lambat. Tahap kedua devolatilisasi yang ditunjukkan dengan pengurangan massa yang sangat cepat dan tahap ketiga pembakaran arang dengan pengurangan massa yang kembali menjadi lambat. Dari Gambar 2a terlihat bahwa semakin tinggi temperatur udara preheat maka pengurangan massa berlangsung semakin cepat. Hal ini disebabkan adanya suplai kalor tambahan secara konveksi dari udara masuk sehingga terjadi peningkatan perpindahan kalor ke briket dan menyebabkan proses devolatilisasi lebih cepat terjadi . a b Gambar 2. Hubungan temperatur udara preheat terhadap a pengurangan massa dan b laju pembakaran sesaat. Gambar 2b menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur udara preheat maka laju pembakaran maksimumnya semakin tinggi dan cepat tercapai. Laju pembakaran rata‐rata ditunjukkan oleh Gambar 3b. Semakin tinggi temperatur udara preheat maka laju pembakarannya rata‐ratanya semakin tinggi. Temperatur gas pembakaran mengalami sedikit kenaikan walaupun tidak begitu signifikan seperti ditunjukkan Gambar 3a di bawah ini. 0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 5 10 15 20 25 30 35 Waktu menit P e ngur angan m a ssa m m Tanpa preheat Tu = 60 °C Tu = 80 °C 2 4 6 8 10 12 5 10 15 20 25 30 35 Waktu menit La ju pe m b ak ar an m g s Tanpa preheat Tu = 60 °C Tu = 80 °C Yogyakarta, 24 November 2007 B ‐ 8 50 100 150 200 250 5 10 15 20 25 30 35 Waktu menit Tem p er at u r G a s P e m b akar an o C Tanpa preheat Tu = 60 °C Tu = 80 °C 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 Tanpa preheat Tu = 60 °C Tu = 80 °C Temperatur preheat °C L a ju pem b akar an r a ta -r at a m g s a b Gambar 3. Hubungan temperatur udara preheat terhadap a temperatur gas pembakaran dan b laju pembakaran rata-rata. Emisi CO sebagai akibat perubahan temperatur udara preheat terlihat seperti Gambar 4a. Kenaikan emisi CO secara cepat terjadi ketika terjadi pengurangan massa yang cepat. Hal ini berarti kenaikan emisi CO mulai terjadi pada tahap devolatilisasi untuk melepaskan zat terbang volatile matter. Kenaikan temperatur udara preheat akan mempercepat terjadinya kenaikan emisi CO. Hal ini terjadi karena terjadi penambahan suplai kalor yang dibawa udara masuk, sehingga meningkatkan perpindahan kalor dari udara ke briket. Yogyakarta, 24 November 2007 B ‐ 9 300 600 900 1200 1500 1800 5 10 15 20 25 30 35 Waktu menit E m is i C O p p m Tanpa preheat Tu = 60 °C Tu = 80 °C 10 20 30 40 50 Tanpa preheat 60 80 Temperatur preheat °C F a k to r e m is i C O g k g a b Gambar 4. a Emisi CO terhadap waktu dan b Faktor emisi CO pembakaran briket cangkang kakao pada temperatur udara preheat yang berbeda. Faktor emisi CO untuk pembakaran briket cangkang kakao karena pengaruh temperatur udara preheat ditunjukkan Gambar 4b. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa faktor emisi CO tidak mengalami banyak perubahan, hanya terjadi sedikit penurunan. Hal ini dimungkinkan terjadi karena adanya sedikit kenaikan temperatur gas sebagai akibat udara perheat.

5. Kesimpulan