TEORI BELAJAR MATEMATIKA

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu ciri pembelajaran matematika masa kini adalah penyajiannya didasarkan pada suatu teori psikologi belajar yang saat ini masih dikembangkan oleh ahli pendidikan. Kemampuan memahami teori-teori belajar ini merupakan salah satu kompetensi pedagogik guru, sehingga guru mampu mengembangkan pembelajaran yang memuat tiga macam aktivitas, yaitu eksplorasi, klarifikasi, dan refleksi.

Secara garis ada dua arus besar dalam perkembangan teori belajar, yaitu aliran Behaviorisme dan aliran Kognitif. Dua aliran ini memiliki dua pijakan berpikir yang sangat jelas perbedaannya. Aliran behaviorisme memandang belajar sebagai perubahan tingkah laku, sehingga belajar merupakan rangkaian aktivitas mengelola stimulus untuk mendapatkan respon yang diinginkan, sedangkan aliran kognitif memandang belajar sebagai perubahan struktur kognitif. Cara pandang tentang proses belajar tentunya akan mempengaruhi bagiamana cara guru mengajar. Dari dua aliran teori belajar tersebut lahirlah pendekatan belajar, model pembelajaran, strategi pengajaran, hingga metodenya. Begitu pentingnya pengetahuan tentang teori belajar ini bagi guru, sehingga guru mampu merancang pembelajarannya sesuai dengan materi yang hendak dikembangkan, level pengetahuan siswa, dan teori belajar yang dirujuk.

Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling penting. Hal ini berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pembelajaran bergantung kepada bagaimana proses belajar yang dialami peserta didik. Belajar yang disadari atau tidak, sederhana atau kompleks, belajar sendiri atau dengan bantuan guru, belajar dari buku atau dari media elektronik, belajar di sekolah, rumah, lingkungan kerja atau masyarakat.

Menurut pengertian secara psikologis, belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Definisi lainnya yaitu,


(2)

belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Dari pengertian tersebut diketahui bahwa belajar memang selalu berkaitan dengan perubahan, baik yang meliputi keseluruhan tingkah laku maupun yang hanya terjadi pada beberapa aspek dari kepribadian individu.

Di dunia pendidikan guru memiliki peran penting dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Guru memberikan pelayanan agar peserta didik belajar. Proses belajar mengajar yang dilaksanakan harus menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan menjadikan siswa lebih aktif dibandingkan guru (student dominated class). Akan tetapi, pada umumnya mayoritas guru masih menggunakan pembelajaran yang bersifat konvensional. Guru lebih berperan aktif dibandingkan dengan peserta didik (teacher dominated class). Hal ini dapat menghambat perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik peserta didik.Peserta didik tidak dibiasakan berpikir kritis, dan kreatif. Hal ini juga dapat dipandang bahwa belajar hanya merupakan proses transfer pengetahuan yang dimiliki guru ke peserta didik, bukan membantu untuk mengembangkan penalaran berpikir dan pemahaman konsep peserta didik.

Menanggapi masalah tersebut diperlukan suatu teori belajar yang dapat mengembangkan potensi, penalaran berpikir, dan pemahaman konsep peserta didik, sehingga menjadikan peserta didik lebih aktif dibandingkan dengan guru. Berdasarkan uraian di atas penulis memandang perlunya menanggapi permasalahan tersebut. Oleh karena itu, pada makalah ini akan dibahas beberapa teori belajar

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian teori belajar matematika?

2. Apa saja yang termasuk teori pembelajaran matematika? 3. Bagaimana penerapan teori pembelajaran dalam pembelajaran

matematika?

C. Tujuan Penulisan


(3)

2. Untuk mengetahui teori yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika dan bagaimana implementasinya dalam pembelajaran matematika


(4)

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Teori Belajar Matematika

Teori belajar atau teori perkembangan mental menurut Ruseffendi (1988) adalah berisi uraian tentang apa yang terjadi dan apa yang diharapkan terjadi terhadap mental peserta didik. Sementara itu, pengertian tentang belajar itu sendiri berbeda-beda menurut teori belajar yang dianut seseorang. Menurut pandangan modern menganggap bahwa belajar merupakan kegiatan mental seseorang sehingga terjadi perubahan tingkah laku. Perubahan tersebut dapat dilihat ketika siswa memperlihatkan tingkah laku baru, yang berbeda dari tingkah laku sebelumnya. Selain itu, perubahan tingkah laku tersebut dapat dilihat ketika seseorang memberi respons yang baru pada situasi yang baru (Gledler, 1986). Hudoyo (1998) menyatakan bahwa belajar adalah kegiatan yang berlangsung dalam mental seseorang, sehingga terjadi perubahan tingkah laku, di mana perubahan tingkah laku tersebut bergantung kepada pengalaman seseorang.

B. Teori Pembelajaran Matematika

1. Teori Pembelajaran Piaget dan Implementasinya

Pada umumnya anak SD berumur sekitar 6/7-12 tahun. Menurut Piaget, anak seumur ini berada pada periode operasi konkret. Periode ini disebut operasi konkret sebab berpikir logiknya didasarkan pada manipulasi fisik objek-objek konkret. Anak yang masih berada pada periode ini untuk berpikir abstrak masih membutuhkan bantuan memanipulasi obyek-obyek konkret atau pengalaman-pengalaman yang langsung dialaminya.

Dalam belajar, menurut Piaget, struktur kognitif yang dimiliki seseorang terjadi karena proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah


(5)

proses mendapatkan informasi dan pengalaman baru yang langsung menyatu dengan struktur mental yang sudah dimiliki seseorang. Adapun akomodasi adalah proses menstruktur kembali mental sebagai akibat adanya informasi dan pengalaman baru. Jadi belajar tidak hanya menerima informasi dan pengalaman lama yang dimiliki anak didik untuk mengakomodasikan informasi dan pengalaman baru. Oleh karena itu, yang perlu diperhatikan pada tahap operasi konkret adalah pembelajaran yang didasarkan pada benda-benda konkret agar mempermudah anak didik dalam memahami konsep-konsep matematika.

Misalnya untuk memahami suatu konsep matematika, anak memerlukan bantuan memanipulasi benda-benda konkret yang relevan sebagai pengalaman langsung. Contoh untuk memahami konsep penjumlahan bilangan cacah 3+4 anak perlu mengalami menggabungkan kelompok 3 benda dengan kelompok 4 benda menjadi satu kelompok baru. Dapat juga dengan melakukan permainan berlagu ular naga panjangnya atau naik kereta api.

Menurut Piaget, perkembangan belajar matematika anak melalui 4 tahap yaitu tahap konkret, semi konkret, semi abstrak, dan abstrak. Pada tahap Konkret, kegiatan yang dilakukan anak adalah untuk mendapatkan pengalaman langsung atau memanipulasi objek-objek konkret. Pada tahap semi konkret sudah tidak perlu memanipulasi objek-objek konkret lagi seperti pada tahap konkret, tetapi cukup dengan gambaran dari objek yang dimaksud. Kegiatan yang dilakukan anak pada tahap semi abstrak memanipulasi/melihat tanda sebagai ganti gambar untuk dapat berpikir abstrak. Sedangkan, pada tahap abstrak anak sudah mampu berpikir secara abstrak dengan melihat lambang/simbol atau membaca/mendengar secara verbal tanpa kaitan dengan objek-objek konkret. untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh tahap anak dalam memahami bilangan 3 (tiga) berikut:


(6)

Pada tahap konkret: misal anak melihat 3 ekor kelinci untuk dapat memahami bilangan 3

Pada tahap semi konkret: dengan melihat gambar 3 kelinci anak mampu memahami bilangan 3.

Pada tahap semi abstrak: dengan melihat 3 tanda (misalnya noktah), anak mampu memahami bilangan 3

Pada tahap abstrak: dengan melihat angka 3 atau mendengar “tiga”, anak sudah mampu memahami bilangan 3

Implementasi Pembelajaran Matematika SD menurut Teori Piaget a. Tahap operasi konkret (7 – 11 tahun)

Tahap operasi konkret dicirikan dengan perkembangan system pemikiran yang didasarkan pada aturan – aturan tertentu yang logis. Tahap operasi konkret ditandai dengan adanya sistem operasi berdasarkan apa- apa yang kelihatan nyata/konkret. Anak masih mempunyai kesulitan untuk menyelesaikan persoalan yang mempunyai banyak variabel. Misalnya, bila suatu benda A dikembangkan dengan cara tertentu menjadi benda B, dapat juga dibuat bahwa benda B dengan cara tertentu kembali menjadi benda A. Dalam matematika, diterapkan dalam operasi penjumlahan (+), pengurangan (-), urutan (<), dan persamaan (=).

Contohnya, 5 + 3 = 8 dan 8 – 3 = 5

Pada umur 8 tahun, anak sudah memahami konsep penjumlahanyang seterusnya berlanjut pada perkalian. Misalnya guru memberikan soal kepada siswa mengenai perkalian.

Guru: “Berapa 8 × 4, Dony?” Dony: “ 32 Pak!”


(7)

Pada umur 9 tahun, penalaran anak masih cenderung tidak dapat menghubungkan suatu rangkaian atau gagasan yang terpisah dalam suatu keseluruhan yang masih kurang jelas.

Contohnya dalam menyelesaikan persoalan berikut: Rambut Tina (T) kurang gelap daripada rambut Sinta (S). Rambut Tina (Ts) lebih gelap daripada rambut Lily (L). Rambut siapa yang lebih gelap?

2. Teori Pembelajaran Bruner

Menurut Bruner, belajar matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat di dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan-hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur matematika.

Pemahaman terhadap konsep dan struktur suatu materi menjadikan materi itu mudah dipahami secara lebih komprehensif. selain itu anak didik lebih mudah mengingat materi bila yang dipelajari mempunyai pola terstruktur. Dengan memahami konsep dan struktur akan mempermudah terjadinya transfer.

Dalam belajar, Bruner hampir selalu memulai dengan memusatkan manipulasi material. Anak didik harus menemukan keteraturan dengan cara pertama-tama memanipulasi material yang sudah dimiliki anak didik. Berarti anak didik dalam belajar haruslah terlibat aktif mentalnya yang dapat diperlihatkan dari keaktifan fisiknya. Bruner melukiskan anak-anak berkembang melalui tiga tahap perkembangan mental, yaitu:

1. Tahap Enaktif

Pada tahap ini, dalam belajar anak didik menggunakan atau memanipulasi objek-objek konkret secara langsung. Misalnya, jnjm untuk memahami konsep operasi pengurangan bilangan cacah 7-4, anak memerlukan pengalaman mengambil/membuang 4 benda dari sekelompok 7 benda.


(8)

Pada tahap ini kegiatan anak didik mulai menyangkut mental yang merupakan gambaran dari objek-objek konkret. Anak didik tidak memanipulasi langsung objek-objek konkret seperti pada tahap anektif, melainkan sudah dapat memanipulasi dengan memakai gambaran dari objek-objek yang dimaksud.

3. Tahap Simbolik

Tahap ini merupakan tahap memanipulasi simbol-simbol secara langsung dan tidak lagi ada kaitannya dengan objek-objek.

Dari hasil penelitian Bruner ke sekolah-sekolah, dalam belajar matematika ada beberapa teori yang berlaku yang disebutnya dengan dalil. Terori tersebut antara lain adalah

1. Dalil Penyusunan

Menurut dalil penyusunan, siswa selalu ingin mempunyai kemampuan menguasai definisi, teorema, konsep dan kemampuan matematis lainnya. Oleh karena itu, siswa hendaknya dilatih untuk melakukan penyusunan representasinya. Untuk menguasai suatu konsep matematis hendaknya siswa mencoba dan melakukan sendiri kegiatan yang mengacu pada perumusan dan penyusunan konsep tersebut. Jika dalam proses perumusan dan penyusunan tersebut disertai bantuan objek-objek konkret, maka anak lebih mudah untuk memahaminya, dan ide/konsep tersebut lebih tahan lama dalam ingatannya. Untuk itu, dalam pembelajaran konsep matematis, guru hendaknya benar-benar memberi kesempatan anak untuk melaksanakan tahap enaktif.

2. Dalil Notasi

Dalil Notasi menyatakan bahwa dalam penyajian konsep matematis, notasi memegang peranan yang sangat penting. Penggunaan notasi dalam menyatakan konsep matematis tertentu harus disesuaikan dengan tahap perkembangan anak didik. Misalnya notasi untuk menyatakan fungsi f(x) = x + 5, untuk anak


(9)

SD dapat digunakan + = ∆ + 5, sedangkan bagi anak sekolah lebih lanjut (SLTP) dapat digunakan {(x.y) | y = x + 5}.

3. Dalil Pengkontrasan dan Keanekaragaman

Pengkontrasan dan Keanekaragaman sangat penting dalam melakukan pengubahan konsep matematika dari konsep konkret menjadi konsep yang lebih abstrak. Untuk melakukan itu diperlukan banyak contoh dan beranekaragam, sehingga anak memahami karakteristik konsep yang dipelajari. Contoh-contoh yang diberikan hendaknya memenuhi rumusan konsep yang sedang dipelajari. Untuk dapat lebih memahami karakteristik konsep, juga diperlukan contoh yang tidak memenuhi rumusan konsep. Misalnya untuk memahami konsep bilangan 2 (dua) diberi kegiatan membuat kelompok benda-benda yang beranggotakan 2. selain itu juga diberi kegiatan membuat kelompok benda yang anggotanya tidak 2 untuk lebih memahami kosep bilangan 2. Atau memilih kelompok mana yang merupakan kelompok 2 benda dan kelompok mana yang bukan kelompok 2 benda. berikut ini contoh kegiatan yang diberikan pada siswa kelas 1 SD/MI.

berilah tanda x pada kelompok yang bukan 2 benda!


(10)

Dalil Pengaitan menyatakan bahwa antara konsep bahwa antara konsep matematika yang satu dengan konsep yang lain mempunyai kaitan yang erat, baik dari segi isi maupun dari segi penggunaan rumus-rumus. Materi yang satu merupakan prasyarat bagi materi yang lain, atau suatu konsep digunakan untuk menjelaskan konsep yang lain. Misalnya dengan pendekatan intuitif-deduktif, rumus isi tabung diperlukan untuk menemukan rumus isi kerucut. Untuk itu diperlukan alat peraga model sebuah tabung tanpa tutup dan sebuah kerucut tanpa bidang alas yang terbuat dari mika atau karton, dengan syarat tinggi tabung sama dengan tinggi kerucut dan jari-jari alas tabung sama dengan jari-jari-jari-jari alas kerucut, dan pasir.

Anak akan mendapatkan bahwa untuk mengisi tabung dengan pasir hingga penuh dengan memakai takaran kerucut, diperlukan 3 kali menuangkan pasir dari kerucut yang penuh pasir kedalam tabung. Secara intuitif anak dapat mengerti bahwa isi tabung = 3x isi kerucut. Kemudian dengan penalaran deduktif anak diajak menurunkan rumus isi kerucut dari isi tabung.

Dari percobaan diperoleh isi tabung = 3 x isi kerucut, atau isi kerucut = 1/3 x isi tabung.


(11)

Implementasi Teori Brunner

Penerapan teori belajar Bruner dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan:

a. Sajikan contoh dan bukan contoh dari konsep-konsep yang anda ajarkan.

b. Bantu siswa belajar untuk melihat adanya hubungan antara konsep-konsep.

c. Berikan satu pertanyaan dan biarkan biarkan siswa untuk mencari jawabannya sendiri.

d. Ajak dan beri semangat siswa belajar untuk memberikan pendapat berdasarkan intuisinya.

3. Teori Pemebelajaran Dienes

Perkembangan konsep matematika menurut Dienes dapat dicapai melalui pola berkelanjutan, yang setiap seri dalam rangkaian kegiatan belajarnya berjalan dari yang konkret ke simbolik. Menurutnya, permainan matematika sangat penting sebab operasi matematika dalam permainan tersebut menunjukkan aturan secara konkret dan lebih membimbing dan menajamkan pengertian matematika pada anak didik. Dapat dikatakan bahwa objek-objek konkret dalam bentuk permainan mempunyai peranan sangat penting dalam pembelajaran matematika jika dimanipulasi dengan baik. Konsep-konsep matematika akan berhasil jika dipelajari dalam tahap-tahap tertentu. Dienes membagi tahap-tahap belajar menjadi 6 tahap, yaitu:

1. Permainan bebas (free play)

Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktifitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Anak didik diberi kebebasan untuk mengatur benda. Selama permainan pengetahuan anak muncul. Dalam tahap ini anak mulai belajar membentuk struktur mental dan struktur sikap dalam mempersiapkan diri untuk memahami konsep. Guru dapat mengarahkan pengetahuan dan mempertajam


(12)

konsep yang sedang dipelajari. Misalkan dengan diberi permainan block logic, anak didik mulai mempelajari konsep-konsep abstrak tentang warna, tebal tipisnya benda, yang merupakan ciri/sifat dari benda yang dimanipulasinya.

2. Permainan yang disertai aturan (games)

Pada periode permainan yang disertai aturan (terstruktur), anak didik mulai meneliti pola-pola dan keteraturan yang terdapat atau tidak terdapat dalam konsep matematika tertentu. Melalui permainan anak mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika itu. Pada tahap ini anak didik juga sudah mulai mengabstraksikan konsep. Menurut Dienes, untuk membuat konsep abstrak, anak didik memerlukan sesuatu kegiatan untuk mengumpulkan bermacam-macam pengalaman, dan kegiatan untuk menolak yang tidak relevan dengan pengalaman itu. (Hal ini selaras dengan dalil keanekaragaman dan pengkontrasan dari Bruner.

3. Permainan kesamaan sifat (searching for communities)

Dalam permainan untuk mencari kesamaan sifat, anak mulai diarahkan dalam kegiatan untuk mencari sifat-sifat yang sama dari permainan yang sedang diikuti. Untuk itu perlu diarahkan pada pentranslasian kesamaan struktur dari bentuk permainan lain. Translasi yang dilakukan tentu saja tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak dari permainan semula. Contoh kegiatan yang diberikan dengan permainan block logic, anak dihadapkan pada kelompok persegi dan persegi panjang yang tebal, anak diminta


(13)

mengidentifikasi sifat-sifat yang sama dari benda-benda dalam kelompok tersebut (anggota kelompok).

4. Representasi (representation)

Representasi adalah tahap pengambilan kesamaan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Para anak didik menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu. Representasi yang diperoleh ini bersifat abstrak. Anak didik telah mengarah pada pengertian struktur matematika yang bersifat abstrak pada topik-topik yang sedang dipelajari. Contoh kegiatan anak untuk menemukan banyaknya diagonal polygon (misal segi dua puluh tiga) dengan pendekatan induktif seperti berikut ini

5. Simbolisasi (symbolization)

Simbolisasi adalah tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol matematika atau melalui perumusan verbal. Sebagai contoh, dari kegiatan mencari banyaknya diagonal dengan pendekatan induktif tersebut kegiatan berikutnya menentukan rumus banyaknya diagonal suatu polygon yang digeneralisasikan dari pola yang didapat anak.

6. Formalisasi (formalization)

Dalam tahap ini anak didik dituntut untuk menurunkan sifat-sifat konsep dan kemudian merumuskan sifat-sifat baru rumus tersebut. Contohnya, anak didik yang telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu merumuskan suatu teorema berdasarkan aksioma, dalam arti membuktikan teorema tersebut.

Dienes menyatakan bahwa proses pemahaman (abstraction) berlangsung selama belajar. Untuk pengajaran konsep matematika yang lebih sulit perlu dikembangkan materi matematika secara konkret agar konsep matematika dapat dipahami dengan tepat. Dianes berpendapat bahwa materi harus dinyatakan dalam


(14)

berbagai penyajian (multiple embodiment), sehingga anak-anak dapat bermain dengan bermacam-macam material yang dapat mengembangkan minat anak didik. Berbagai penyajian materi (multiple embodiment) dapat mempermudah proses pengklasifikasian abstraksi konsep.

Berhubungan dengan tahap belajar, suatu waktu anak dihadapkan pada permainan yang terkontrol dengan berbagai sajian. Kegiatan ini menggunakan kesempatan unbtuk membantu anak didik menemukan cara-cara dan juga untuk mendiskusikan temuan-temuannya. Langkah selanjutnya adalah memotivasi anak didik untuk mengabstraksikan pelajaran tanpa material konkret dengan gambar yang sederhana, grafik, peta dan akhirnya memadukan simbol-simbol dengan konsep tersebut. Langkah-langkah ini merupakan suatu cara untuk memberi kesempatan kepada anak didik ikut berpartisipasi dalam proses penemuan dan formalisasi melalui percobaan matematika. Proses pembelajaran ini juga lebih melibatkan anak didik pada kegiatan belajar secara aktif dari pada hanya sekedar menghapal. Pemtingnya simbolisasi adalah untuk meningkatkan kegiatan matematika ke suatu bidang baru. 4. Teori Pembelajaran Skinner

Burrush Frederich Skinner menyatakan bahwa ganjaran atau penguatan mempunyai peranan yang amat penting dalam proses belajar. Terdapat perbedaan antara ganjaran dan penguatan. Ganjaran merupakan proses yang sifatnya menggembirakan dan merupakan tingkah laku yang sifatnya subjektif, sedangkan penguatan merupakan sesuatu yang mengakibatkan meningkatnya kemungkinan suatu respond an lebih mengarah kepada hal-hal yang sifatnya dapat diamati dan diukur.

Skinner juga berpendapat bahwa penguatan dibagi atas dua bagian yaitu, penguatan positif dan penguatan negatif. Penguatan merupakan stimulus positif, jika penguatan tersebut seiring dengan meningkatnya perilaku anak didik dalam melakukan pengulangan perilaku tersebut. Jadi


(15)

penguatan yang diberikan kepada anak didik memperkuat tindakan anak didik, sehingga anak didik cenderung untuk sering melakukannya. Contoh penguatan positif antara lain pujian pada saat anak didik menjawab benar atau mendapat nilai tinggi. Dengan penguatan tersebut akan memotivasu anak didik untuk rajin belajar dan mempertahankan prestasi yang diraihnya.

Dalam teori belajar Skinner untuk mengemukakan pemahaman siswa tentang apa yang baru dipelajari, maka setelah terjadinya proses stimulus-respon yang antara lain berupaya tanya jawab dalam proses pengajaran harus dilanjutkan dengan memberikan penguatan antara lain berupa latian soal-soal. Dengan demikian teori belajar yang dominan digunakan dalam implementasi kurikulum matematika 1968 adalah “Teori Belajar Skinner”. Pada tahun 1975, terjadi perubahan yang sangat besar dalam pengajaran matematika di Indonesia. Berikut akan diberikan contoh penerapan teori Skinner dalam pembelajaran matematik. Penguatan (reinforcement) dapat diberikan kepada siswa apabila siswa dalam pembelajaran matematika dominta untuk menjawab pertanyaan, apabila siswa dapat menjawab pertanyaan dengan benar, maka siswa berhak memperoleh penguatan, baik itu positif maupun penguatan negatif. Contoh penguatan positif adalah memuji siswa dengan berkata ‘ya benar’ atau sebagainya. Sedangkan contoh penguatan negatif yaitu tidak dengan cara membebankan siswa tugas tambahan, bisa dengan cara diminta untuk maju kedepan kelas lalu guru dan murid sama sama mencari tahu letak kekeliruan yang dialami siswa. Hukuman atau (punishment) dapat diberikan kepada siswa yang mengganggu kegiatan belajar dikelas atau tidak tertib saat belajar.

5. Teori Pembelajaran Van Hiele

Teori pembelajaran yang dikemukakan oleh Van Hiele (1964), menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak didik dalam bidang geometri. Menurut Van Hiele, ada tiga (3) unsur utama dalam pengajaran geometri yaitu waktu, materi pengajaran, dan meode pengajaran yang


(16)

diterapkan. Jika ketiga hal tadi ditata secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan berpikir yang lebih tinggi. Van Hiele juga menyatakan bahwa terdapat tahap belajar anak didik dalam belajar geomretri, yaitu:

1. Tahap Pengenalan

Dalam tahap ini anak didik mulai belajar mengenal suatu bentuk geometeri secara keseluruhan, namun belum mampu mengenal adanya sifat-sifat dari bentuk geometri yang dilihatnya itu. Sebagai contoh, jika pada seorang diperlihatkan sebuah kubus, ia belum mengetahui sifat-sifat atau keteraturan yang dimiliki oleh kubus tersebut. Kegiatan yang diberikan anak pada tahap ini misalnya mengamati model bangun-bangun ruang dan menyebutkan nama bangunnya disertai dengan gambar-gambar bangun ruang. Kemudian mengamati dan menyebutkan bangun-bangun di sekitar anak yang sama dengan bangun ruang tertentu, membuat kelompok benda-benda sekitar siswa yang merupakan bangun ruang tertentu, dan kegiatan semacamnya.

Gambar bangun ruang.

2. Tahap Analisis

Pada tahap ini anak didik sudah mulai mengenal sifat-sifat yang dimiliki benda geometri yang diamati. Ia sudah mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat pada benda geomteri tersebut. Misalnya saat dia mengamati kubus, ia telah mengetahui bahwa kubus terdapat 6 sisi berbentuk persegi yang sama, ada 12 rusuk yang sama panjang, dan 8 titik sudut. Dalam tahap ini anak didik belum mengetahui hubungan


(17)

yang terkait antara suatu benda geometri dengan benda geometri lainnya. Misalnya, anak didik belum mengetahui bahwa kubus merupakan balok (yang istimewa).

3. Tahap Pengurutan

Pada tahap ini anak didik sudah mulai mampu melakukan penarikan kesimpulan, yang kita kenal dengan sebutan berpikir deduktif. Namun kemampuan ini belum berkembang secara penuh. Satu hal yang perlu diketahui adalah anak didik pada tahap ini sudah mampu mengurutkan. Demikian pula dalam pengenalan benda-benda ruang, anak didik sudah memahami bahwa kubus adalah balik juga. Pola berpikir anak didik pada tahap ini masih belum menerangkan mengapa diagonal sutau persegi panjang itu sama panjang.

4. Tahap Deduksi

Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif yakni penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal yang bersifat khusus. Demikian pula ia telah mengerti betapa pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan dismaping unsur-unsur yang didefinsikan. Mislanya, anak didik sudah memahami perlunya aksioma, asumsi, definisi, teorema, bukti dan dalil. Selain itu pada tahap ini anak sudah mampu mulai menggunakan aksioma atau postulat yang digunakan dalam pembuktian. Postulat dalam pembuktian segitiga yang sama, dan sebangun, seperti sisi-sudut-sisi, sisi-sisi-sisi, atau sudut-sisi-sudut, dapat dipahaminya, namun belum mengerti mengapa postulattersebut benar dan mengapa


(18)

dapat dijadikan sebagi postulat dalam cara-cara pembuktian dua segitiga yang sama dan sebangun (kongruen).

5. Tahap Akurasi

Dalam tahap ini anak didik sudah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Misalnya, ia mengetahui pentingnya aksioma-aksioma atau postulat-postulat dari geometri Euclid. Ia mengetahui bahwa dengan dasar aksioma yang berbeda dengan pernyataan benar untuk suatu hal yang sama akan berbeda pula. Tahap akurasi merupaka tahap berpikir yang tinggi, rumit, dan kompleks. Oleh karena itu tidak mengherankan jika ada anak yang belum sampai pada tahap ini.


(19)

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Teori belajar atau teori perkembangan mental menurut Ruseffendi (1988) adalah berisi uraian tentang apa yang terjadi dan apa yang diharapkan terjadi terhadap mental peserta didik. Terdapat teori belajar menurut para ahli, diantaranya teori Piaget, Brunner, Dienes, Skinner, dan Van Hiele. Semua teori tersebut dapat digunakan dalam pembelajaran matematika

B. Saran

Dari pembahasan teori-teori pembelajaran matematika tersebut, beberapa ahli mempunyai kesamaan pendapat, yakni anak dalam belajar matematika akan dapat memahami jika dibantu dengan manipulasi objek-objek. Untuk penerapannya di dalam pembelajaran, akan lebih baik kita pakai teori pembelajaran Bruner dengan 3 tahapannya, yakni enaktif, ikonik, dan simbolik. Pada tahap enaktif anak diberi kegiatan mengamati model bangun balok untuk mencari bidang sisi, menunjukan nama bentuk bangun bidang sisi balok, mencari rusuk dan membilang banyaknya rusuk, mencari titik sudut dan mebilang banyaknya titik sudut. Pada tahap ikonik anak mengamati gambar ruang bangun balok untuk melakukan tugas seperti pada tahap enaktif. Pada tahap simbolik, tanpa model bangun balok atau gambar balok, anak menentukan bentuk bangun bidang sisi balok, banyaknya rusuk balok, banyaknya bidang sisi balok, dan lain sebagainya.

Pada pembelajaran matematika jika diperlukan teori belajar dari Bronwell, Skinner, maupun Thorndike, karena untuk keterampilan mekanik matematisnya anak perlu mendapatkan drill, maupun pengertian, penguatan dan motivasi dalam belajar matematika agar dapat belajar dengan senang dan berhasil optimal.


(20)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. dan Joko Tri Prasetya. 2005. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: CV. Pustaka Setia

Budininsih, Asri. 2008. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta Pitajeng. 2006. Pembelajaran Matematika Yang Menyenangkan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Hamzah, Ali. 2014. Perencanaan dan Strategi Pembelajaran Matematika. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

https://himitsuqalbu.wordpress.com/2011/11/04/teori-belajar-matematika-makalah/


(1)

penguatan yang diberikan kepada anak didik memperkuat tindakan anak didik, sehingga anak didik cenderung untuk sering melakukannya. Contoh penguatan positif antara lain pujian pada saat anak didik menjawab benar atau mendapat nilai tinggi. Dengan penguatan tersebut akan memotivasu anak didik untuk rajin belajar dan mempertahankan prestasi yang diraihnya.

Dalam teori belajar Skinner untuk mengemukakan pemahaman siswa tentang apa yang baru dipelajari, maka setelah terjadinya proses stimulus-respon yang antara lain berupaya tanya jawab dalam proses pengajaran harus dilanjutkan dengan memberikan penguatan antara lain berupa latian soal-soal. Dengan demikian teori belajar yang dominan digunakan dalam implementasi kurikulum matematika 1968 adalah “Teori Belajar Skinner”. Pada tahun 1975, terjadi perubahan yang sangat besar dalam pengajaran matematika di Indonesia. Berikut akan diberikan contoh penerapan teori Skinner dalam pembelajaran matematik. Penguatan (reinforcement) dapat diberikan kepada siswa apabila siswa dalam pembelajaran matematika dominta untuk menjawab pertanyaan, apabila siswa dapat menjawab pertanyaan dengan benar, maka siswa berhak memperoleh penguatan, baik itu positif maupun penguatan negatif. Contoh penguatan positif adalah memuji siswa dengan berkata ‘ya benar’ atau sebagainya. Sedangkan contoh penguatan negatif yaitu tidak dengan cara membebankan siswa tugas tambahan, bisa dengan cara diminta untuk maju kedepan kelas lalu guru dan murid sama sama mencari tahu letak kekeliruan yang dialami siswa. Hukuman atau (punishment) dapat diberikan kepada siswa yang mengganggu kegiatan belajar dikelas atau tidak tertib saat belajar.

5. Teori Pembelajaran Van Hiele

Teori pembelajaran yang dikemukakan oleh Van Hiele (1964), menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak didik dalam bidang geometri. Menurut Van Hiele, ada tiga (3) unsur utama dalam pengajaran geometri yaitu waktu, materi pengajaran, dan meode pengajaran yang


(2)

diterapkan. Jika ketiga hal tadi ditata secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan berpikir yang lebih tinggi. Van Hiele juga menyatakan bahwa terdapat tahap belajar anak didik dalam belajar geomretri, yaitu:

1. Tahap Pengenalan

Dalam tahap ini anak didik mulai belajar mengenal suatu bentuk geometeri secara keseluruhan, namun belum mampu mengenal adanya sifat-sifat dari bentuk geometri yang dilihatnya itu. Sebagai contoh, jika pada seorang diperlihatkan sebuah kubus, ia belum mengetahui sifat-sifat atau keteraturan yang dimiliki oleh kubus tersebut. Kegiatan yang diberikan anak pada tahap ini misalnya mengamati model bangun-bangun ruang dan menyebutkan nama bangunnya disertai dengan gambar-gambar bangun ruang. Kemudian mengamati dan menyebutkan bangun-bangun di sekitar anak yang sama dengan bangun ruang tertentu, membuat kelompok benda-benda sekitar siswa yang merupakan bangun ruang tertentu, dan kegiatan semacamnya.

Gambar bangun ruang.

2. Tahap Analisis

Pada tahap ini anak didik sudah mulai mengenal sifat-sifat yang dimiliki benda geometri yang diamati. Ia sudah mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat pada benda geomteri tersebut. Misalnya saat dia mengamati kubus, ia telah mengetahui bahwa kubus terdapat 6 sisi berbentuk persegi yang sama, ada 12 rusuk yang sama panjang, dan 8


(3)

yang terkait antara suatu benda geometri dengan benda geometri lainnya. Misalnya, anak didik belum mengetahui bahwa kubus merupakan balok (yang istimewa).

3. Tahap Pengurutan

Pada tahap ini anak didik sudah mulai mampu melakukan penarikan kesimpulan, yang kita kenal dengan sebutan berpikir deduktif. Namun kemampuan ini belum berkembang secara penuh. Satu hal yang perlu diketahui adalah anak didik pada tahap ini sudah mampu mengurutkan. Demikian pula dalam pengenalan benda-benda ruang, anak didik sudah memahami bahwa kubus adalah balik juga. Pola berpikir anak didik pada tahap ini masih belum menerangkan mengapa diagonal sutau persegi panjang itu sama panjang.

4. Tahap Deduksi

Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif yakni penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal yang bersifat khusus. Demikian pula ia telah mengerti betapa pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan dismaping unsur-unsur yang didefinsikan. Mislanya, anak didik sudah memahami perlunya aksioma, asumsi, definisi, teorema, bukti dan dalil. Selain itu pada tahap ini anak sudah mampu mulai menggunakan aksioma atau postulat yang digunakan dalam pembuktian. Postulat dalam pembuktian segitiga yang sama, dan sebangun, seperti sisi-sudut-sisi, sisi-sisi-sisi, atau sudut-sisi-sudut, dapat dipahaminya, namun belum mengerti mengapa postulattersebut benar dan mengapa


(4)

dapat dijadikan sebagi postulat dalam cara-cara pembuktian dua segitiga yang sama dan sebangun (kongruen).

5. Tahap Akurasi

Dalam tahap ini anak didik sudah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Misalnya, ia mengetahui pentingnya aksioma-aksioma atau postulat-postulat dari geometri Euclid. Ia mengetahui bahwa dengan dasar aksioma yang berbeda dengan pernyataan benar untuk suatu hal yang sama akan berbeda pula. Tahap akurasi merupaka tahap berpikir yang tinggi, rumit, dan kompleks. Oleh karena itu tidak mengherankan jika ada anak yang belum sampai pada tahap ini.


(5)

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

Teori belajar atau teori perkembangan mental menurut Ruseffendi (1988) adalah berisi uraian tentang apa yang terjadi dan apa yang diharapkan terjadi terhadap mental peserta didik. Terdapat teori belajar menurut para ahli, diantaranya teori Piaget, Brunner, Dienes, Skinner, dan Van Hiele. Semua teori tersebut dapat digunakan dalam pembelajaran matematika

B. Saran

Dari pembahasan teori-teori pembelajaran matematika tersebut, beberapa ahli mempunyai kesamaan pendapat, yakni anak dalam belajar matematika akan dapat memahami jika dibantu dengan manipulasi objek-objek. Untuk penerapannya di dalam pembelajaran, akan lebih baik kita pakai teori pembelajaran Bruner dengan 3 tahapannya, yakni enaktif, ikonik, dan simbolik. Pada tahap enaktif anak diberi kegiatan mengamati model bangun balok untuk mencari bidang sisi, menunjukan nama bentuk bangun bidang sisi balok, mencari rusuk dan membilang banyaknya rusuk, mencari titik sudut dan mebilang banyaknya titik sudut. Pada tahap ikonik anak mengamati gambar ruang bangun balok untuk melakukan tugas seperti pada tahap enaktif. Pada tahap simbolik, tanpa model bangun balok atau gambar balok, anak menentukan bentuk bangun bidang sisi balok, banyaknya rusuk balok, banyaknya bidang sisi balok, dan lain sebagainya.

Pada pembelajaran matematika jika diperlukan teori belajar dari Bronwell, Skinner, maupun Thorndike, karena untuk keterampilan mekanik matematisnya anak perlu mendapatkan drill, maupun pengertian, penguatan dan motivasi dalam belajar matematika agar dapat belajar dengan senang dan berhasil optimal.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. dan Joko Tri Prasetya. 2005. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: CV. Pustaka Setia

Budininsih, Asri. 2008. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta Pitajeng. 2006. Pembelajaran Matematika Yang Menyenangkan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Hamzah, Ali. 2014. Perencanaan dan Strategi Pembelajaran Matematika. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

https://himitsuqalbu.wordpress.com/2011/11/04/teori-belajar-matematika-makalah/