menggabungkan penanda-penanda yang diikat dengan lingual memiliki pesan simbolik. Jika dikaitkan antara judul sebagai lingual dengan penanda-penanda
sebagai citra bagaimana bisa jika karya tersebut ingin dikaitkan dengan terima kasih pada bumi karena sebenarnya ada hubungan indeksikal antara pohon
dengan tanah dan air. Begitu juga wajah yang mengarah ke bawah yang seolah-olah mencium air. Sebenarnya karya ini sudah sangat kuat dan terarah
kemana jalan pikirannya tanpa harus di bubuhi dengan judul jika kita mengamati lebih dalam pada penanda-penanda serta pengkomposisian atau
pengorganisasian penanda-penanda tersebut menjadi sebuah organisasi tanda. Bisa kita lihat dari penanda yang pertama sebuah kesatuan pada wajah di
mana mata yang terpejam dan bibir yang seolah-olah mencium menunjukkan sebuah penghayatan. Kemudian penambahan pepohonan di bagian atas sangat
berkaitan dengan apa yang terjadi pada penanda yang pertama tadi di mana pohon juga membutuhkan air. Jika ditarik kesimpulan antara citra yang diberi
pesan lingual dan tanpa diberi pesan lingual maka pesannya akan tetap sama yaitu berkaitan dengan alam.
3. Burger Stone
Secara harfiah karya Burger Stone hanya seperti roti lapis atau burger lihat gambar 3. Antara penanda-penanda dan judul menghasilkan petanda-
petanda yang tetap terasa memancar dan membawa pikiran tidak merujuk pada satu pesan namun terasa mengambang atau floating sebagai sifat citra itu
sendiri. Jika dikembalikan pada proses penciptaannya dalam karya Burger Stone karya tersebut berawal dari pengolahan bahan dan mengejar nilai estetik
dan keunikan karya dari batu yang dibelah yang merepresentasikan makanan yang disebut burger. Setelah mendapatkan bentuk tersebut barulah dalam
perjalanannya difikirkan untuk menambah penanda visual manusia. Ketika mencari value dari penanda-penanda tetsebut akan terasa sangat sulit tanpa
dilakukan tanya jawab secara langsung kepada seniman karena petanda- petandanya mengapung. Namun jika kita kembalikan pada karya tersebut dan
melihat interpretasi sebuah burger yang fungsinya untuk dimakan. Maka Burger Stone merupakan representasi dari burger yang sebenarnya yang harus
dimakan. Jika kita menarik karya tersebut keada sebuah hubungan indeksikal maka burger tersebut akan dimakan oleh manusia yang tentunya lebih besar
dari burger tersebut. Kita bisa mengaitkan manusia sebagai isian burger akan menjadi makanan manusia yang lebih besar atau dengan kata lain berkonotasi
dengan penindasan terhadap rakyat kecil. 4. Dialog
Kata dialog sebagai sebuah judul karya tentu sudah sangat sering digunakan oleh seniman-seniman sebagai judul dari karya mereka seperti
yang diungkapkan Komroden Haro. Citra dari karya dialog merupakan pengorganisasian batu menghasilkan sebuah karya berbentuk batu bulat pipih
dan berisi batu yang berbentuk tidak beraturan yaitu batu terpecah dan
serpihannya menyerupai lidah lihat gambar 4. Seperti biasa citra akan terasa mengapung dan akan bermakna polisemik. Kemudian coba kita kaitkan
dengan judul yaitu dialog, judul yang dibubuhkan tetap membuat citra dari karya tersebut belum merujuk kepada sebuah pesan tertentu. Karena judul
tersebut terdiri dari sebuah kata dengan makna sebenarnya dan tidak merujuk pada apa-apa kecuali dialog itu sendiri. Dengan demikian kita gunakan kata
dialog tersebut sebagai pembatas tentang fungsi dari batu dan konotasi batu yang sangat banyak. Jika dikaitkan dengan kata dialog, maka batu dalam
karya tersebut digunakan untuk merepresentasikan makhluk hidup yang dapat berkomunikasi. Dengan demikian fokus untuk memandang karya tersebut
sudah dapat terarah. Lalu jika batu tersebut digunakan sebagai representasi dari makhluk yang dapat berkomunikasi sebagai contoh yaitu manusia maka
apa yang dapat diwakilkan dari sebuah batu untuk diri manusia. Seperti yang dicontohkan pada karya sebelumnya. Batu dalam sebuah kalimat digunakan
untuk ungkapan seperti kepala batu, karena batu tersebut keras yang mengindikasikan kepada argumen yang sulit dinegosiasi. Namun dalam
pengorganisasian batu dalam karya tersebut terlihat ada batu yang terpecah yang bisa saja menunjukkan bahwa kerasnya batupun dapat terpecah di mana
pecah itu sendiri merupakan suatu kelemahan atau batasan sebuah elastisitas benda. Walaupun pecahnya batu tidak merujuk pada apa dan siapa yang
memecahkannya namun pada intinya suatu yang keras akan dapat berubah. Jika dikaitkan dengan kata dialog maka batu yang mewakili manusia yang
memiliki sifat yang keras seperti batu dalam berdialog tentunya akan pecah
sebagai wujud lemah dan kalah juga. 5. Mencari Sumber
Karya mencari sumber merupakan karya yang menarik karena memiliki banyak sekali penanda-penanda visual dan tanpa harus memikirkan
tanda indeksikal terlebih lagi dengan adanya judul yang sangat mengikat. Hal tersebut mengarahkan pada kita di mana pengorganisasian elemen-elemen
visualnya secara harfiah merujuk kepada sebuah sumur tradisional. Namun jika kita kaitkan antara judul dengan elemen visual sumur yang menembus
batu lihat gambar 5 maka akan membawa kita pada tataran konotasi yang berkaitan dengan sifat-sifat batu. Jika dikaitkan dengan judul Mencari Sumber
di mana sang pencari sumber membentur sebuah batu pada saat penggaliannya maka tentunya akan sangat sulit untuk memperdalam sumur karrna harus
melubangi batu yang keras. Namun hal demikian masih berada pada tataran denotasi di mana secara harfiah itu adalah wujud dari karya tersebut. Jika kita
kembalikan lagi kepada pengalaman seniman maka akan merujuk kepada karya-karyanya merupakan proses perjalanan hidup sang seniman. Lalu jika
karya tersebut berkaitan dengan perjalanan hidup maka Mencari Sumber yang diwakili oleh air sebagai hubungan indeksikal pada citra karya patung sumur
tradisional. Di mana air sebagai materi yang dibutuhkan dalam proses kehidupan memiliki konotasi sesuatu yang harus dicari terlepas dari air itu
sendiri untuk menjalani hidup. Lalu batu berada pada tatararan konotasi
rintangan hidup.
Dalam karya-karya Komroden Haro walaupun dipandang dengan cara sepintas lalu maka karyanya akan tetap menimbulkan pertanyaan. Penggunaan
elemen visual yang tidak memiliki kaitan atau tidak terasa alami malah menimbulkan semacam morfem dari fonem-fonem. Hal demikian bisa saja
sebagai wujud dari bahasa yang digunakan untuk mencapai tataran signifikasi. Pada karya tersebut terdapat ikonitas, indeksikal, serta simbolis walau
tentunya tidak semua tanda-tanda visual tersebut muncul dalam suatu karya. Namun penggunaan salah satu dari 3 tanda-tanda visual tersebut bisa
memberikan signifikasi tertentu. Sedangkan untuk penanda-penanda yang diwujudkan dalam elemen visual tersebut merupakan retorika dari Komroden
Haro.
B. Tanda-Tanda Zaman dalam Mencatat Batu