Analisis semiotika makna toleransi beragama dalam pameran Foto Bianglala Xinjiang karya Ismar Patrizki
ANALISIS SEMIOTIKA MAKNA TOLERANSI BERAGAMA DALAM PAMERAN FOTO BIANGLALA XINJIANG
KARYA “ISMAR PATRIZKI”
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Komuniksi Islam (S.Kom.I)
Oleh:
Ershad Wiladatika
109051100026
KONSENTRASI JURNALISTIK
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H./2015 M
(2)
ANALISIS SEMIOTIKA MAKNA TOLERANSI BERAGAMA DALAM PAMERAN FOTO BIANGLALA XINJIANG
KARYA “ISMAR PATRIZKI”
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Komuniksi Islam (S.Kom.I)
Oleh:
Ershad Wiladatika 109051100026
Dibawah Bimbingan:
Ade Rina Farida, M.Si NIP : 19770513007012018
KONSENTRASI JURNALISTIK
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERISYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H./2015 M.
(3)
(4)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memeperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam tulisan ini saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti karya ini bukan hasil saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Maret 2015
(5)
i ABSTRAK Ershad Wiladatika
109051100026
Analisis Semiotika Makna Toleransi Beragama Dalam Pameran Foto Bianglala Xinjiang Karya “Ismar Patrizki”
Foto jurnalistik merupakan sebuah medium penyampai pesan yang digunakan untuk menyampaikan fakta visual atas suatu realitas kepada masyarakat seluas-luasnya, bahkan sampai pada bagian paling ‘dalam’ dari suatu peristiwa ataupun fenomena sosial budaya masyarakat yang terjadi. Dalam sebuah pameran foto bertajuk Bianglala Xinjiang karya Ismar Patrizki yang dilaksanakan di Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA). Objek perempuan menjadi medium visual yang menarik bukan hanya dari segi estetika tetapi dari segi toleransi beragama, China adalah negara Kong Hu Cu yang mempunyai warga etnis-etnis muslim minoritas di Xinjiang. Pada saat merayakan idul fitri warga etnis minoritas di xinjiang melaksanakan sholat id bersama di salah satu masjid kecil di pelosok wilayah Hoboksar. Objek foto-foto Ismar didominasi aktivitas suku di Xinjiang. Ismar juga jeli merekam kehidupan kaum urban perempuan di Xinjiang yang bertoleransi beragama.
Adapun pertanyaan penelitian untuk mengetahui apa makna denotasi, makna konotasi, dan makna mitos yang mengandung unsur toleransi beragama pada pameran bertajuk Bianglala Xinjiang di Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) karya Ismar Patrizki?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka penelitian menggunakan paradigma konstruktivis dengan pendekatan kualitatif. Analisa foto dikaji dengan menggunakan metode penelitian semiotik Roland Barthes. Metode penelitian ini memberi titik tekan pada makna denotatif, konotatif, dan mitos. Selanjutnya penulis memperkaya temuan makna dengan mengarahkannya pada permasalahan toleransi beragama dalam kehidupan yang minoritas.
Dari data yang dikaji lewat semiotik Barthes, diperoleh beberapa data, yakni: Makna denotasi yang memberikan gambaran kepada masyarakat tentang toleransi beragama, khususnya di kota Xinjiang. Dari analisa makna konotasi mengungkapkan bahwa penganut Kong Hu Cu sangat menghargai umat Islam di Xinjiang. Dari analisa mitos, didalam Islam mengajarkan pentingnya menjaga hubugan silaturahmi karena dipercaya dapat memperluas rezeki dan panjang umur tak terkecuali terhadap orang lain yang berbeda agama. Dan dengan toleransi beragama saling menghormati dan berlapang dada terhadap pemeluk agama lain, tidak memaksa mereka mengikuti agamanya, agar tercipta suatu bangsa yang damai dan tentram.
Atas hasil penelitian ini juga kembali dibuktikan bahwasanya foto jurnalistik mampu mengungkapan objektifitas terhadap sebuah fenomena sosial budaya masyarakat yang terjadi. Foto-foto yang ditampilkan bukan hanya sebatas indah tanpa makna, melainkan penuh pesan tentang toleransi beragama di Xinjiang agar menjadi contoh bagi umat beragama dimanapun mereka berada. Melalui foto-foto yang ditampilkan semoga dapat menjadi salah satu kontribusi para fotografer untuk turut serta dalam kerukunan antar umat bergama.
(6)
ii
KATA PENGANTAR Bismillahirahmanirrahim
Assalamualaikum Wr. Wb
Puji syukur penulis panjatkan hanya kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, dan juga nikmat yang begitu banyak sehingga dengan ridho-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini, shalawat serta salam senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW dan seluruh keluarga, para sahabat, serta para pengikutnya.
Syukur Alhamdulillah akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini,
yang berjudul “Analisis Semiotika Makna Toleransi Beragama Dalam Pameran
Foto Bianglala Xinjiang Karya “Ismar Patrizki”, yang disusun untuk memenuhi
persyaratan dalam memperoleh gelar Strata 1 (S1), di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selama masa penelitian, penyusunan, penulisan, sampai masa penyelesaian skripsi ini penulis mendapat banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Dr. H. Arief Subhan, M.A, serta Wakil Dekan I, Dr. Suparto, M. Ed, MA, Wakil Dekan II, Drs. Jumroni, M.Si, dan Wakil Dekan III, Dr. H. Sunandar, M.Ag.
2. Ketua Konsentrasi Jurnalistik, Kholis Ridho, M.Si serta Sekertaris Kosentrasi Jurnalistik Dra. Musfirah Nurlaily. MA yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membantu menyelesaikan kuliah.
(7)
iii
3. Dosen Pembimbing skripsi, sekaligus sahabat istimewa, Ade Rina Farida, M.Si yang telah membimbing penulis dalam segala hal, terutama dalam menyelesaikan skripsi, sehingga skripsi ini selesai dengan baik dan lancar.
4. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi atas ilmu yang telah diberikan kepada Penulis.
5. Segenap staf Perpustakaan Utama UIN Jakarta dan Perpustakaan Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi.
6. Galeri Foto Jurnalistik Antara khususnya kepada Dhira Danny Widjaja staff pendidikan GFJA, yang di sela kesibukannya menyempatkan diri untuk menjadi narasumber dalam penelitian ini, begitu juga dengan Ismar Patrizki sebagai fotografer, yang juga bersedia menyempatkan waktu sebagai narasumber dan memberi banyak informasi dalam penelitian ini. 7. Kedua orangtua tercinta Bapak Djumadi dan Ibu Partiyah atas do
(8)
iv
Badri, Obi, Bepe, Wisnu, Numan, Abler, Cepot, Fauzan, Hamim, Kevin, Iir, Bogel terima kasih dukungannya. Juga buat sahabat-sahabat terbaik, Azis, Ardi, Ari, Agung, Ario, Eman, Rusdi, Didi, Icang, Ocit, Rian dan lainnya. Terima kasih banyak.
11.Seluruh teman-teman di Klise Fotografi, atas segala pembelajaran dan kekeluargaan nya. Teman-teman Jurnalistik angkatan 2009 dan teman-teman Fidkom 2009, kalian luar biasa. Teman-teman-teman ULTRAMAN, teman-teman GABRES FC serta teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang sudah membantu, memberikan dukungan, saran kepada penulis sampai skripsi ini selesai dengan baik.
Penulis menyadari skripsi ini masih belum mencapai kesempurnaan, namun Penulis telah berusaha untuk semaksimal mungkin dengan baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Penulis
(9)
v DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR GAMBAR ... vi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Batasan dan Perumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 6
E. Metodologi Penelitian ... 7
F. Tinjauan Pustaka ... 9
G. Sistematika Penulisan ... 10
BAB II LANDASAN TEORI ... 12
A. Tinjauan Umum Tentang Fotografi ... 12
B. Tinjauan Umum Tentang Semiotik ... 37
C. Tinjauan Umum Tentang Toleransi ... 45
BAB III GAMBARAN UMUM LKBN ANTARA dan PAMERAN FOTO BIANGLALA XINJIANG ... 47
A. Gambaran Umum LKBN Antara ... 47
B. Gambaran Umum Pameran Foto Bianglala Xinjiang ... 53
BAB IV ANALISIS DATA FOTO BIANGLALA XINJIANG DI PAMERAN GALERI FOTO ANTARA JURANALISTIK 21-28 MARET 2014 ... 58
(10)
vi
B. Analisis Data Foto 1 ... 56
C. Data Foto 2 ... 65
D. Analisis Data Foto 2 ... 65
E. Data Foto 3 ... 70
F. Analisis Data Foto 3 ... 70
G. Data Foto 4 ... 75
H. Analisis Data Foto 4 ... 75
BAB V PENUTUP ... 81
A. Kesimpulan ... 81
B. Saran ... 84
DAFTAR PUSTAKA ... 85
LAMPIRAN ... 88
DAFTAR TABEL Tabel 1 ... 39
Tabel 2 ... 43
DAFTAR GAMBAR Gambar 3.1 ... 47
Gambar 3.2 ... 47
Gambar 4.1 ... 59
Gambar 4.2 ... 65
Gambar 4.3 ... 70
(11)
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Percepatan pemakaian fotografi sebagai elemen berita dipacu besar-besaran oleh terbitnya Majalah LIFE di Amerika Serikat sekitar tahun 1930-an. Dunia foto jurnalistik bisa dikatakan berhutang besar kepada Wilson Hick yang menjadi redaktur foto pertama majalah itu selama 20 tahun lamanya. Hick adalah orang yang dianggap sebagai perintis kemajuan foto jurnalistik di dunia ini.
Sejak The Daily Graphic pada 16 April 1877 memuat sebuah seketsa gambar untuk melengkapi informasi peristiwa yang diberitakan, kehadiran foto (gambar visual) dianggap semakin penting. Bukan hanya sebagai pelengkap dan penarik perhatian semata, hadirnya selembar foto yang merupakan gambar otentik, mampu menghadirkan atmosfir peristiwa yang terjadi walaupun jauh dari kursi pembaca.1
Menurut Clifton dalam Photo jurnalism, Priciples and Practies seorang fotojurnalis pertama-tama adalah seorang wartawan. Mereka harus selalu memotret langsung di jantung peristiwa yang tengah panas-panasnya, mereka tidak bisa menciptakan foto dengan hanya mengangkat telefon. Mereka adalah mata dunia, dan selalu harus bisa melihat dari dekat apa yang terjadi dan melaporkannya.2
Henri Cartier-Bresson, salah satu pendiri agen foto termuka Magnum Photo menjabaran, foto jurnalistik adalah berkisah dengan sebuah gambar, melaporkannya dengan sebuah kamera, merekamnya dalam waktu, yang
1
Forum Diskusi “Fotografer.net” dengan tema: jurnalistik foto antara Foto Headline HARIAN UMUM vs Foto Sampul Majalah Life Stylr/Artikel diakses pada 10 Oktober 2014
2
(12)
2
seluruhnya berlangsung seketika saat suatu citra tersebut mengungkap sebuah cerita.3 Dan Oscar Motuloh, direktur Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) dalam makalahnya, Suatu Pendekatan Visual Dengan Suara Hati menyebutkan, Foto jurnalistik adalah suatu medium sajian untuk menyampaikan beragam bukti visual atas suatu peristiwa tersebut, bahkan hingga kerak di balik peristiwa tersebut, tentu dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Menurut menurut guru besar Universitas Missouri, AS, Clifton C. Edom, foto jurnalis adalah panduan kata dan gambar, untuk itu jika kita ingin mengkaji makna dari sebuah karya foto tidak dapat dipisahkan kaitan antara gambar dan kata baik yang tertuang dalam rangkaian narasi, caption (keterangan) foto, atau pada judul foto tersebut. Bahkan dari judul yang diberikan, kita bisa mendapati sudut pandang subjektif seorang foto jurnalis yang menjadi saksi mata saat sebah peristiwa terjadi. Dari hal tersebut, dapat pula kita lihat beberapa besar kemampuan foto jurnalis mengkomunikasikan persepsi subjektifnya dengan membingkai sebuah peristiwa dalam karya foto yang ditampilkannya. Sementara menurut editor foto majalah Life dari 1937-1950, Wilson Hicks, „foto jurnalistik adalah kombinasi dari kata dan gambar yang menghasilkan satu kesatuan komunikasi saat ada kesamaan antara latar belakang pendidian sosial pembacanya.4
Fotografi tidak selalu tentang teknis. Tidak selalu tentang jam terbang atau pengalaman, dan tidak melulu tentang alat. Fotografi lebih dari sekedar bidang teknologi yang membantu media dalam menyampaikan sesuatu dalam bentuk visual. Terlalu banyak faktor yang mempengaruhi fotografi itu sendiri dalam
3
Rully kesuma, disampaikan dalam seminar Foto Jurnalistik di GFJA tahun 2009 4
Audy Mirza Alwi. Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media Massa. (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004), h.4.
(13)
3
perkembangan teknologinya. Tahun 80-90an ketika memotret adalah sebuah
kegiatan yang “mahal” dan tidak banyak orang yang menggelutinya, fotografi
berkembang perlahan tanpa ada perubahan yang signifikan. Tentu saja karena pasar yang tidak mendukung produsen untuk menciptakan sesuatu yang baru. Memasuki tahun millenium, ketika kamera digital mulai di perkenalkan, peminat fotografi mulai beranjak naik. Tahun 2005 fotografi lebih dimudahkan lagi dengan kembali bermunculannya berbagai macam kamera digital dengan masing-masing kelebihannya. Tidak hanya dengan segala kemudahan ini pula, semakin banyak orang yang mencintai fotografi dan berbondong-bondong membeli kamera hanya untuk sekedar mencoba. Semakin banyak orang yang menggeluti, semakin kompleks pula keuntungan dan kerugian yang terjadi dalam dunia fotografi sendiri.5
Dengan demikian nilai otentik dari foto jurnalistik sangatlah tinggi, karena diambil langsung di lokasi dan ketika peristiwa tersebut terjadi. Walaupun gambar diambil dari sudut pandang seorang foto jurnalis, bukan berarti pesan pada foto tersebut bernilai subjektif, karena dia merekam peristiwa yang benar-benar terjadi dan bukan mengkontruksi sebuah peristiwa. Rekaman gambarnya mewakili mata pembaca menampilkan suasana merekam dalam peperangan, ketakutan; gegap-gempitanya suatu perayaan tahun baru; semangat perubahan yang dibawa kaum muda dan segala sesuatu yag berlangsung di belahan dunia lain. Foto karya Ismar Patrizki bertajuk Bianglala Xinjiang, yang pernah ditampilkan dalam pameran di GFJA, Pasar Baru Jakarta pada bulan Maret ini, menggambarkan tentang kondisi kota Xinjiang, China, dia merekam kehidupan masyarakat Xinjiang. Foto keluarga
5
(14)
4
yang sedang makan siang di salah satu kebun kota di Xinjiang, misalnya, tidak luput dari bidikan Ismar.
Foto karya ismar yang berkerja untuk Antara Photo, Indonesia, Gambar ini menjadi sinyalemen bahwa China adalah negara yang damai, meski dalam kancah politik global China dipersepsikan oleh Barat sebagai negara siap perang. Ismar setidaknya memberi sudut pandang berbeda mengenai persepsi tersebut. Simak saja foto yang memvisualisasikan wanita muslim dan non muslim yang sedang mengabadikan foto kebun bunga matahari.
Obyek foto-foto Ismar didominasi aktivitas suku di Xinjiang. Ismar juga jeli merekam kehidupan kaum urban perempuan China. Contohnya saja foto yang menggambarkan aktivitas perempuan sedang berbelanja wig rambut di salah satu sentra penjualan rambut palsu di teheran. Fotonya jelas menampilkan wanita berparas jelita plus berhidung bangir.6
Ismar melakukan perjalanan jurnalistik dengan melakukan pertukaran saksi mata tentang kota yang diabadikan kamera mereka. Ismar melakukan reportase foto di Xinjiang. Serta beberapa kota di sekitar Xinjiang. Berkunjung dan melihat langsung sebagai etnis di kawasan xinjiang selama sekitar tiga pekan mulai akhir juli hingga pertengahan agustus 2013 rasanya tidalah cukup. Tidak banyak yang bisa diungkap secara mendalam mengenai realita hidup etnis-etnis minoritas di xinjiang.
Berpergian bisa mengubah sudut pandang terhadap segala hal. Area terpencil berubah menjadi surga kecil yang terasing. Demikian juga daerah konflik bisa jadi malah menyimpan pelajaran hidup penuh makna. Barat china pun
6
http://www.satulingkar.com/detail/read/8/2370/antara-teheran-dan-jakarta#sthash.VxtoJjkP.dpuf/ Artikel diakses pada 10 Oktober 2014
(15)
5
menyimpan keajabain demikian. Jalur perdagangan yang terkenal dengan istilah jalur sutra menjadi mutiaranya. Terbentang menghubungkan china, eropa dan india. Jalur sutra menyimpan banyak keindahan dan kekayaan budaya, salah satunya dijumpai di wilayah Xinjiang, China.
Terkait dengan hal ini, maka “pisau” analisis yang paling tepat digunakan untuk membedah rangkaian foto-foto karya Ismar Patrizki adalah analisis semiotik. Semiotik memecah-mecah kandungan tanda seperti teks ataupun pada gambar menjadi bagian-bagian, dan menghubungkan mereka dengan wancana-wancana yang lebih luas. Sebuah analisis semiotik menyediakan cara menghubungkan tanda tertentu dengan sistem di mana ia beroperasi. Hal ini memberikan konteks intelektual pada isi: ia mengulas cara-cara beragam unsur tanda bekerja sama dan berinteraksi dengan pengetahuan kultural kita dalam menghasilkan makna.7 Dengan demikian kajian tentang tanda (semiotika ) dinilai efektif untuk mengkaji lebih dalam lagi makna-makna simbol yang dikekang seorang fotografer dalam bingkai kameranya, ataupun untuk mencoba mencari makna tersembunyi yang bernilai personal dari seorang foto jurnalis yang terproyeksi dari judul yang diberikan dalam setiap bingkai fotonya.
Dengan latar belakang masalah tersebut dan analisis yang digunakan untuk membantu penelitian ini dideskripsikan secara singkat dengan judul penelitian: Analisis Semiotika Makna Toleransi Beragama Dalam Pameran Foto Bianglala
Xinjiang Karya “Ismar Patrizki”
7
(16)
6 B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah
Merujuk pada latar belakang diatas, maka penulis membatasi penelitian pada pesan atau simbol yang mengandung simbol toleransi beragama pada setiap foto dalam pameran Bianglala Xinjiang karya ismar patrizki di Galeri Antara pada 21-28 Maret 2014 dengan menggunakan analisis semiotika model Roland Barthes.
2. Rumusan Masalah
Agar penelitian ini tidak keluar dari konteks pembahasan, maka penulis merumuskan masalah penelitian kepada tiga hal berikut:
1. Apa makna Denotasi yang terdapat pada foto yang mengandung unsur toleransi beragama pada pameran Bianglala Xinjiang karya Ismar Patrizki?
2. Apa makna Konotasi yang terdapat pada foto yang mengandung unsur toleransi beragama pada pameran Bianglala Xinjiang karya Ismar Patrizki?
3. Apa makna Mitos yang terdapat pada foto yang mengandung unsur toleransi beragama pada pameran Bianglala Xinjiang karya Ismar Patrizki?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka tujuan penelitiannya sebagai berikut:
(17)
7
a. Untuk mengatahui makna Denotasi yang terdapat pada adegan yang mengandung unsur toleransi beragama pada pameran Bianglala Xinjiang karya Ismar Patrizki.
b. Untuk mengatahui makna Konotasi yang terdapat pada adegan yang mengandung unsur toleransi beragama pada pameran Bianglala Xinjiang karya Ismar Patrizki.
c. Untuk mengatahui makna Mitos yang terdapat pada adegan yang mengandung unsur toleransi beragama pada pameran Bianglala Xinjiang karya Ismar Patrizki.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademis
Penelitian ini bertujuan untuk kembali mengkaji relevansi dari teori tentang simbol dan pemaknaan (semiotik), yang dalam hal ini terkait dengan manifestasi pada komunikasi visual, yaitu foto jurnalistik. Sehingga diharapkan hasil dari penelitian ini memberikan sedikit sumbangsih terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam ilmu komunikasi.
2. Manfaat Praktis
a. Menambah pundi-pundi keilmuan dan memperdalam pemahaman khususnya tentang semiotika dan kaitannya dengan ilmu komunikasi. b. Memberi sedikit pemahaman tentang makna simbolis yang terdapat
foto jurnalistik.
c. Mengembangkan kajian tentang fotografi khususnya foto jurnalistik bagi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
(18)
8 E. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif, di mana hasil temuan akan dideskripsikan kemudan ditinjau kembali untuk dianalisis dari hasil pengamatan lapangan dan penelusuran pustaka. Metode deskriptif kualitatif adalah proses pencarian data untuk memahami masalah sosial yang didasari pada penelitian yang menyeluruh (holistic). Diambil dari bentuk kata-kata dan diperoleh dari sesuatu yang ilmiah.
Dalam kajian semiotika dikenal beberapa tokoh terkenal selain Barthes, yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce. Ketiganya cukup popular dalam bidang kajian semiotika. Dalam penelitian ini, penulis memilih Barthes karena penulis tertarik dengan formula yang diajukan Barthes dalam membaca foto di dalam tatanan konotasi. Barthes mengajukan 6 tahapan dalam membaca konotasi pada foto, yaitu trick effect, pose, object, photogenia, aestheticisim, dan sintaksis.
2. Subjek, Objek, Tempat Penelitian, dan Narasumber.
Subjek dari penelitian adalah karya foto Ismar Patrizki dengan tajuk Bianglala XInjiang yang dipamarkan di GFJA, pada tahun 2014. Dan objeknya adalah 4 lembar foto yang dinilai dapat mewakili dari keseluruhan empat puluh satu foto yang dipamerkan
Penelitian akan di laksanakan di GFJA, Jl. Antara No. 59, Pasar Baru, Jakarta Pusat. Lembaga yang bekerja sama dengan Antara Photo dalam
(19)
9
melenggarkan yang melahirkan foto-foto yang menjadi objek penelitian, Ismar Patrizki.
3. Teknik Pengumpulan Data
Langkah selanjutnya ialah mengumpulkan data yang diperoleh dari hasil penelitian foto, dari empat puluh satu rangkaian foto seri yang ada, dipilih 4 foto utama yang dianggap dapat mewakili beberapa foto lainnya. Kemudian data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan Ismar Patrizki, fotografer dari pameran foto ini yang sekaligus narasumber utama, baik secara tatap muka maupun melalui media jejaring sosial, serta dari dokumentasi pameran foto Bianglala Xinjiang yang berupa katalog. Lalu mengelolah hasil temuan atau data dan meninjau kembali data yang telah terkumpul. Seluruh data tersebut nantinya akan dipaparkan dengan didukung oleh beberapa hasil temuan tinjauan pustaka yang kemudian dianalisis.
4. Teknik Analisis Data
Menggunakan analisis semiotika Roland Barthes mengetahui makna denotasi, konotasi, mitos di dalam foto jurnalistik pada pameran Bianglala Xinjiang mengenai kehidupan masyarakat kota Xinjiang, China. Tahun 2014. Menurut saussure, semiologi merupakan sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di tengah masyarakat dengan demikian menjadi bagian dari disiplin psikologi sosial. Tujuannya adalah untuk menunjukan bagaimana terbentuknya tanda-tanda tersebut berserta kaidah-kaidah yang mengaturnya.8
8
(20)
10
Konotasi dan denotasi sering sering dijelaskan dalam istilah tingkatan represntasi atau tingkatan nama. Roland Barthes menggunakan istilah order of signification. Tahap pertama dari order of signification adalah denoasi, sedangkan tahap keduanya dalah konotasim makna denotasi merupakan penanda dan penanda yang berbentuk tanda. Kemudian dari tanda tersebut muncul permaknaan lain, sebuah konsep mental lain yang melekat pada tanda (yang kemudian dianggap sebagai penanda). Pemaknaan inilah yang kemudian menjadi konotasi.9
Tahap yang ketiga adalah membaca mitos. Menurut Claude Levi Strausse, seorang antropolog skrukturalis, menyatakan bahwa satuan paling dasar dari mitos adalah mytheme. Mytheme tidak bisa dilihat secara terpisah dari bagian lainnya. Mytheme ini didapat dari konteks budaya dan teks.
5. Teknik Penulisan
Penulisan dalam penelitian ini menunjuk kepada buku pendoman penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) karya Hamid Nasushi dkk, yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Develoment and Assurnce) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayattullah Jakarta.
F. Tinjauan Kepustakaan
Penelitian yang berjudul “Analisis Semiotika Makna Toleransi Beragama Dalam Pameran Foto Bianglala Xinjiang Karya “Ismar Patrizki”., terinspirasi oleh skripsi “Analisis Semiotika Foto Daily Life Stories Pada World Press Photo
2012”, karya Aida Islamie dari UIN Syarif Hidayatullah, tahun 2010.Juga skripsi
“Makna Foto Berita tentang tragedi pembagian zakat di pasuruan pada
9
(21)
11
Kompas.com (Analisis Semiotika)”, karya Sandro Gatra Universitas IISIP, tahun
2009. Juga terinspirasi dari skripsi karya Fatimah mengenai “Makna Foto Perjalanan Ibadah Haji (Analisis Semiotika Karya Zarqoni Maksum pada Galeri
Foto Antara.co.id)”. dari UIN Syarif Hidayatullah tahun 2008.
Kempat skripsi tersebut sama-sama membahas mengenai makna dan simbol pada foto jurnlistik dengan menggunakan analisis semiotika. Tetapi foto yang akan dianalisis tentunya berbeda dan juga berasal dari sumber yang berbeda.
Dengan pertimbangan, pameran foto yang diselenggarakan oleh GFJA selalu dapat menjadi acuan perkembangan foto jurnalistik di Indonesia berkaitan dengan tema-tema pameran yang diangkatnya. Dan pada penelitian ini, foto yang akan dianalisa menggambarkan tentang kehidupan masyarakat kota Xinjiang. G. Sistematika Penulisan
Bab I: Pendahuluan, terdiri dari latar belakang, yaitu penjabaran masalah mengenai foto jurnalistik, mengapa issue yang dianalisa adalah kehidupan masyarakat kota Xinjiang, China, serta mengapa yang dipilih adalah foto yang dipamerkan di Galeri Foto Jurnalistik Antara. Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjauan Kepustakaan dan Sistematika Penulisan
Bab II: Menjabarkan landasan teori yang dipakai, isi penelitian yang didapatkan dari hasil studi pustaka. Seputar fotografi, sejarah dan perkembangannya, tentang fotografi jurnalistik, pengertian semiotika, juga bagamana memahami makna atau simbol yang
(22)
12
terdapat pada foto menggunakan analisis semiotik berdasarkan teori Roland Barthes.
Bab III: Memaparkan profil LKBN ANTARA, sejarah berdirinya LKBN ANTARA, profil ANTARA Foto. Tentang pameran Bianglala Xinjiang, latar belakang, tim produksi, dan profil Ismar Patrizki. Bab IV: Tahap penganalisisan data tentang makna atau simbol yang
terkandung dari foto jurnalistik di pameran Bianglala Xinjiang pada tahun 2014 dengan menggunakan semiotik Roland Barthes.
Bab V: Kesimpulan dari hasil penelitian serta saran untuk penggiat fotografi dan Mahasiswa Fakultas Komunikasi khususnya Program Studi Jurnalistik tentang makna, peran dan juga kekuatan daya tarik dari foto jurnalistik.
(23)
13
BAB II
LANDASAN TEORI A. Tinjauan Umum Tentang Fotografi
1. Pengertian Fotografi
Lahirnya fotografi tidak dapat dilepaskan dari peran fisikawan muslim, Ibnu Al-Haitham yang juga merupakan penemu dari lensa, yaitu benda yang terbuat dari kaca yang mampu membiaskan ataupun juga memfokuskan cahaya pada jarak tertentu.
Howard R Turner dalam bukunya “Science in Medieval Islam” menyebutkan bahwa Ilmu optik merupakan penemuan ilmiah para sarjana muslim yang paling orisinil dan penting dalam sejarah Islam.9Dan tercatat dalam sejarah dunia, Abu Ali Al-Hasan Ibnu al-Haitham yang lahir di Basra, Persia (965-1039 M) sebagai bapak ilmu optik.
Berawal dari Ibnu Khaitam pada abad ke-10 Masehi yang sedang dalam pengembaraan, dia melihat bayangan yang terproyeksi dari lubang kecil ke dalam tendanya.Kejadian tersebut merupakan cikal-bakal lahirnya kamera obscura (kamar gelap) yang merupakan prototipe dari kamera yang kita kenal saat ini.
Dalam buku “The History of Photography” karya Alma Davenport (1991),
disebutkan bahwa pada abad ke-5 Sebelum Masehi (SM), seorang lelaki bangsa Cina bernama Mo Ti sudah mengamati sebuah gejala fotografi serupa dengan apa yang dialami oleh Ibnu Al-Khaitam tersebut.10
9 “Al-Kindi, Ibnu Sahl, Ibnu Al-Haitham : Tiga Ilmuwan Islam Pelopor Ilmu Optik”.
darihttp://hamba4wl.wordpress.com/2014/07/11/al-kindi-ibnu-sahl-ibnu-al-haitham-tiga-ilmuwan-islam-pelopor-ilmu-optik/Artikel diakses pada 10 Oktober 2014.
10Bonny Dwifriansyah, “Sejarah Fotografi Dunia: dari Mo Ti hingga Mendur bersaudara”, dari
(24)
14
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, Fotografi merupakan seni dan proses penghasilan gambar melalui cahaya pada film atau permukaan yang dipekakan.11Secara harfiah fotografi terdiri dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu photos artinya cahaya, dan graphein yang artinya menulis atau melukis.Dalam seni rupa, fotografi adalah proses melukis atau menulis dengan menggunakan media cahaya. Sebagai istilah umum, fotografi berarti proses atau metode untuk menghasilkan gambar atau foto dari suatu obyek dengan merekam pantulan cahaya yang mengenai obyek tersebut pada media yang peka cahaya. Alat paling populer untuk menangkap cahaya ini adalah kamera. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada cahaya, berarti tidak ada foto yang bisa dibuat.
Prinsip fotografi adalah memfokuskan cahaya dengan bantuan pembiasan sehingga mampu membakar medium penangkap cahaya. Medium yang telah dibakar dengan ukuran luminitas cahaya yang tepat akan menghasilkan bayangan identik dengan cahaya yang memasuki medium pembiasan (selanjutnya disebut lensa).12
Fotografi umumnya dipandang sebagai suatu proses teknologi yang memungkinkan kita membekukan waktu, gerak atau peristiwa. Dengan bantuan bahan peka cahaya (film dan kertas) mengubahnya menjadi monochrome (hitam-putih) ataupun berwarna (dikertass atau bahan transparan), sebuah foto pada dasarnya adalah wujud suatu moment dari satu atau serangkaian gerak.13
Fotografi merupakan gabungan dari proses fisika dan kimia. Proses fisika terjadi ketika cahaya yang memantul dari objek melewati lensa dan terekam pada film yang peka cahaya. Proses kimia terjadi ketika gambar yang terekam di film
11Griand Giwanda, Panduan Praktis Belajar Fotografi, (Jakarta: Puspa Swara, 2001), h. 2
12 Superman, “Pengertian Fotografi”, dari
http://www.forumkami.com/forum/forum-fotografi/3323-pengertian-fotografi.html artikel diakses pada 17 Oktober 2014
(25)
15
tersebut dimunculkan dengan larutan-larutan kimia tertentu.14 Fotografi juga merupakan suatu bentuk dari seni rupa, selain karena arti hafiahnya, yaitu melukis dengan cahaya, juga dalam proses perekaman momentum dalam satu bingkai (frame) terdapat suatu cita rasa estetis yang khas dan erat dengan nilai seni.
Henry Cartier-Bresson, seorang pelukis dan fotografer Prancis yang juga mendirikan Magnum Photo –agensi foto internasional. Pencetus teori yang terkenal dalam bidang fotografi, dessesive moment.Yaitu saat mata, hati dan pikiran melebur ketika menekan shutter kamera merekam sebuah gambar.Dalam hal ini selain penguasaan teknis operasional kamera secara jitu, dibutuhkan pula sentuhan nilai estetis saat menyusun komposisi yang baik untuk menghasilkan sebuah karya foto.
2. Sejarah Perkembangan Fotografi a. Sejarah Fotografi Dunia
Peristiwa masuknya cahaya ke lobang tenda fisikawan asal Irak Ibnu Al-Haitham, sehingga memproyeksikan bayangan ke dalamnya, menjadi inspirasi dan merupakan cikal-bakal lahirnya kamera obscura.Pada mulanya kamera benar-benar berupa kamar yang berukuran cukup besar dan kedap cahaya. Terdapat lubang kecil seukuran jarum atau dikenal dengan pin hole di tengahnya, berfungsi untuk masuknya cahaya sehingga terproyeksi pada dinding di sisi lainnya. Pada tahap ini gambar yang dihasilkan masih samar, karena itu kamera obscura kurang diminati. Biasanya penggunaan kamera ini
14Robi Irsyad, “Tentara Amerika Serikat dalam foto berita surat kabar nasional: Analisis semiotika foto berita tentang
(26)
16
hanya untuk mempermudah proses menggambar yang masih dilakukan secara manual.
Adalah pelukis maestro Leonardo da Vinci yang juga seorang ilmuan pada akhir abad ke-15, Ia menggambar rincian sistem kerja alat yang menjadi asal muasal kata "kamera" itu dan mulai menyempurnakannya.15Terdapat teknologi baru dalam kamera ciptaanya ini, yaitu penerapan sistem refleksi dan penggunaan lensa sederhana yang berfungsi untuk memproyeksikan cahaya.Cahaya yang masuk ke dalam kotak, dipantulkan oleh cemin ke kain tipis di atas permukaan kotak. Pada kamera temuan Da Vinci ini juga belum digunakan proses kimiawi, karena kamera ini hanyalah alat bantu bagi pelukis naturalis dan realis untuk membuat sketsa lukisan. Kain pada permukaan kotak (kamera) tersebut kemudian dilapisi kanvas.Dengan tehnik tersebut pelukis dapat membuat sketsa dengan lebih cepat dan akurasi yang baik, karena pelukis hanya tinggal mengikuti alur dari gambar yang terproyeksi pada kanvasnya.
Dari tangan seorang seniman, teknologi kamera kemudian dikembangkan kembali oleh fisikawan. Penemuan lensa pada tahun 1550 dan sistem cetak dengan proses kimiawi pada era 1826-1835 pun membawa teknologi fotografi sampai pada tahapan modern. Penyempurnaan kamera hingga sampai pada teknologi yang kita kenal saat ini melalui proses amat panjang.
Tercatat ada dua nama tokoh sentral sebagai Bapak fotografi modern, yaitu William Henry Fox Talbot (1800-1877) dari Inggris dengan proses negatif-positifyang diberi nama Proses “Calotype” atau “Talbotype” -yang kita kenal
(27)
17
sekarang dengan film.16 Serta Louis-Jacques Mande‟ Daguerre (1787-1851), seorang perancang panggung yang juga pelukis asal Perancis yang mengembangkan emulsi basahnya yang diberi nama proses “Daguerreotype”. Keduanya mendaftarkan royalti atas temuannya ini pada tahun yang sama, yaitu tahun 1839. Namun demikian, sejarah mencatat foto pemanen pertama di dunia bukanlah temuan Fox Talbot ataupun Louis Daguerre, melainkan ekperimen karya seorang veteran Perancis, Joseph Nicephore Niepce pada tahun 1826. Dia menggunakan kamera Obscura dan plat logam yang dilapisi aspal Bitumen Judea untuk memotret pemandangan dari jendela rumahnya yang memakan waktu mengekspos hingga delapan jam. Ia menamai proses temuannya dengan nama “Heliogravure”, dan karya fotonya “View from The Window at Le Gras” yang dinobatkan sebagai foto pertama di dunia tersebut, kini tersimpan di University of Texas, Austin, AS.17
Penggunaan emulsi kering menjadi lebih populer ketika ditemukanya gelatin, dan pada tahun 1887 film Seluloid yang berbahan dasar gelatin diperkenalkan.George Eastman dengan perusahaannya, Kodak-Eastman yang pertama kali memproduksi Roll Film dan kamera box praktis secara masal pada tahun 1888.Dengan kamera yang lebih praktis dan telah diproduksi masal, serta bentuknya yang mudah untuk dibawa (portable), perkembangan fotografi pun melesat cepat ke seluruh penjuru dunia dan menyebar keberbagai kalangan.Dan berkaitan dengan hal tersebut, Szarkowski, menyebut Eastman-lah arsitek utama dunia fotografi modern.
16 Soeprapto Soedjono, Pot-Pourri Fotografi, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta:2007. h. 61 17 Bonny Dwifriansyah, “Sejarah Fotografi Dunia: dari Mo Ti hingga Mendur bersaudara”,
(28)
18
b. Sejarah Fotografi Indonesia
Pada mulanya, fotografi digunakan oleh para ilmuan dari negara-negara kolonial sebagai pelengkap data yang berfungsi untuk memberi gambaran visual secara jelas kehidupan masyarakat dari bangsa yang akan mereka jajah. Dengan gambaran visual, data tentang potensi dan kondisi geografis tanah jajahan terlihat lebih rinci.
Tercatat pada tahun 1841, Juriaan Munich seorang pegawai kesehatan Belanda mendapat perintah dari Kementrian Kolonial untuk berlayar ke Batavia dengan membawa daguerreotype, guna mengabadikan tanaman-tanaman serta mengumpulkan informasi mengenai kondisi alamnya.18
Dengan jalur kolonialisme fotografi sampai ke bumi Nusantara, bahkan hanya tiga tahun sejak ditemukannya teknologi kamera modern. Umur fotografi yang cukup tua di Indonesia tidak dibarengi dengan lahirnya fotografer lokal, selain saat itu kamera masih termasuk barang mewah, juga tentu saja karena Belanda hanya mempercayakan proses pemotretan pada ilmuan dari negaranya, serta fungsi fotografi yang masih berkaitan dengan kepentingan riset kolonialisasi.
Latar itulah yang menjelaskan mengapa selama 100 tahun (1841-1941) keberadaan fotografi di Indonesia, secara ekslusif hanya dikuasai oleh orang Eropa, sedikit orang Cina dan Jepang.19
Fotografer berdarah pribumi pertama yang tercatat dalam sejarah yaitu Kasian Cephas. Pria kelahiran Yogyakarta, 15 Februari 1844 ini adalah waraga pribumi yang diangkat sabagai anak oleh pasangan Adrianus Schalk
18Bonny Dwifriansyah, “Sejarah Fotografi Dunia: dari Mo Ti hingga Mendur bersaudara”. 19 Bonny Dwifriansyah, “Sejarah Fotografi Dunia: dari Mo Ti hingga Mendur bersaudara”,
(29)
19
dan Eta Philipina Kreeft, yang kemudian disekolahkan ke Belanda. Cephas kemudian dikenal dalam dunia fotografi sebagai fotografer Keraton Yogyakarta, tepatnya pada era kekuasaan Sri Sultan Hamengkubuono ke-VII.Foto tertua Cephas yang ditemukan adalah karyanya yang dibuat pada tahun 1875.
Masuknya Jepang pada tahun 1942 merupakan babak baru dalam sejarah fotografi di Indonesia.Jepang yang menduduki Kantor Berita Antara dan mengganti namanya menjadi Domei, melatih orang Indonesia menjadi fotografer untuk memperkuat kebutuhan propaganda. Kemudian muncul nama Alex Mendur dan adiknya Frans Mendur. Lewat Mendur bersaudara inilah fotografi Indonesia berkembang pesat.Keputusan mereka untuk independen dan tetap setia mengawal kemerdekaan dengan karya fotonya, memposisikan fotografer pribumi sejajar dengan bangsa lainnya.
c. Perkembangan Dunia Fotografi
Fotografi pada perkembangannya lebih lanjut bukan hanya sekedar pelengkap data analisis para antropolog, tetapi jauh berkembang terutama sebagai sebuah karya seni.Pengaruh pakem estetis dari senirupa berperan besar pada masa ini. Setelah mendapat tempat dalam ruang seni, fotografi semakin popular, penggunaannya pun merambah ke berbagai bidang dan melahirkan beberapa aliran: dari seni murni (fine art), komersial, hingga jurnalistik.
Penggunaan foto dalam bidang komersial sebagai pengenal produk pasca revolusi industri serta sebagai mata dunia dalam bidang jurnalisme, menyebabkan foto dicetak secara massal dan menjadi konsumsi publik dalam
(30)
20
poster, banner dan surat kabar yang dapat kita temui dalam kehidupan sehari-hari, pada tahap ini fotografi mulai masuk dalam salah satu bentuk komunikasi masa. Makna yang terkandung dalam sebuah foto dapat mengandung unsur propaganda dan kampanye suatu pesan tertentu, serta produksinya secara massal membuat fotografi mendapat perhatian khusus dalam kajian komunikasi masa. Sifat foto yang statis membuatnya dapat dilihat berulang-ulang, tidak seperti video yang dinamis dan sepintas-lalu, sehingga sebuah foto dapat menampilkan gambar dengan lebih detail dan menimbulkan efek seperti yang disebutkan Jean Boudillard (1988) sebagai sebagai hyper-reality, yaitu apa yang ditampilkan dalam media terlihat jauh lebih dramatis, yang dianalogikan dengan jarum bahkan dapat terlihat bagai pedang dalam media masa.
d. Aliran dalam Fotografi
Aliran dalam hal ini bukanlah penganut faham tertentu, melainkan menilik fotografi dari ragam dan karakternya, serta penggunaan dari foto tersebut diperuntukkan. Dilihat dari jenis-jenis foto yang berkembang, terdapat karakter menonjol dan khas yang dapat terpantau secara kasat mata serta membedakan jenis foto tertentu dengan jenis lainnya, hal ini dikarenakan oleh kayanya ragam dalam kajian seni visual yang telah diawali oleh kaka kandung fotografi, yaitu seni lukis.
Terdapat beberapa aliran dalam fotografi, antara lain:
1) Fine Art Photography
Fine art dikenal juga dengan aliran fotografi seni murni.karena merupakan sebuah karya seni, maka tak ada pekem, plot, ataupun aturan baku dalam
(31)
21
aliran ini. Perkembangannya mengikuti arus perubahan budaya seni yang sedang berkembang. Jika dilihat dari subjek fotonya pun beragam dan tak terbatas, nilainya sangat erat dengan subjetifitas sang fotografer.
2) Landscape Photography
Landscape photography merupakan salah satu aliran foto yang paling popular.Ragam foto yang menampilkan keindahan alam ini banyak diminati, karena foto pemandangan alam (landscape) mudah dicerna dan dinikmati oleh berbagai kalangan.
3) Portraiture Photography
Foto portraiture menampilkan manusia sebagai subjek utamanya.Poin utama dari aliran foto ini adalah kemampuannya untuk menggambarkan karakter seseorang dalam sebuah gambar. Terkadang foto portaiture tampil dengan natural, namun karakter tokoh utamanya tetap nampak secara jelas.
4) Comercial Photography
Foto komersial ini adalah jenis aliran foto yang memang mengkhususkan diri pada kebutuhan periklanan. Ragam fotonya dari display sampel produk hingga visualisasi citra produk tersebut (brand image).
5) Still-Live Photography
Still live photo adalah aliran fotografi yang secara khas memotret benda-benda mati. Walaupun subjek fotonya adalah benda-benda mati, namun foto-foto yang dihasilkan terkesan hidup, karena benda-benda tersebut seakan memiliki sifat dan karakter yang dibentuk oleh fotografernya.
(32)
22
Bisa dikatakan foto dokumenter adalah cikal-bakal dari fotografi itu sendiri.Fungsinya sebagai pencatat dan saksi visual kehidupan dan budaya suatu masyarakat, sudah dimulai sejak fotografi bersama para ilmuan dunia berlayar mengelilingi permukaan bumi.
7) Wild-life Photography
Hampir serupa dengan foto dokumenter, namun yang direkam bukan tentang kebudayaan masyarakat tertentu, melainkan kehidupan binatang liar di habitat aslinya.
8) Jurnalism Photography
Unsur dasar dari foto jurnalistik adalah nilai berita yang mutlak terkandung di dalamnya. Foto juga harus memuat informasi 5W+H, yaitu:
what, who, when, where, way + how; asupan informasi yang harus dipenuhi sehingga dapat dikategorikan sebagai sebuah berita. Foto berita biasanya dilengkapi pula oleh caption / keterangan foto.
9) Street Photography
Street photography adalah aliran foto yang berkembang seiring dengan pertumbuhan budaya akibat arus urbanisasi (urban culture). Foto-fotonya sangat khas, baik dari segi display maupun subjek dari foto itu sendiri sangat kental dengan budaya urban.
3. Foto Jurnalistik
Awal mula fotografi masuk dalam halaman surat kabar adalah sejak Mathew Brady membuat gambar realis yang melukiskan suasana perang, gambar tersebut ternyata menarik perhatian para pembaca suratkabar sekaligus
(33)
23
membangun kesan tentang suatu peristiwa.20 Ini adalah awalan penggunaan gambar dalam jurnalistik dan berawal dari pemakaian lukisan dalam media. Kemudian pada 16 April 1877, The Daily Graphic adalah suratkabar pertama yang memuat gambar (foto) sebagai berita,foto tentang sebuah peristiwa kebakaran.21
Pada tahun 1937-1950, terbit majalah Life di Amerika Serikat, Majalah tersebut menghadirkan foto dalam porsi yang lebih besar dari pada tulisan dalam penyajian beritanya.Wilson Hicks merupakan pelopor fotojurnalis yang juga adalah editor foto majalah tersebut membuat kehadiran fotografi sebagai salah satu elemen berita, berkembang semakin pesat. Pada tahap ini foto jurnalistik telah hadir dengan derajat yang sama dengan tulisan, karena kehadirannya telah menjadi elemen berita itu sendiri, bukan hanya sebagai unsur pelengkap semata.
Setelah foto memenuhi setiap halaman pada surat kabar, kehadira foto jurnalistik pun mendapat perhatian dari banyak pakar Ilmu Komunikasi. Sifatnya yang statis dan mampu membekukan suatu peristiwa, bahkan yang terjadi dalam durasi hanya sekejap, membuat foto dapat dilihat berulang-ulang, tidak seperti video yang dinamis dan sepintas-lalu, sehingga sebuah foto dapat menampilkan gambar dengan lebih detail dari sebuah peristiwa. Oleh karenanya foto dapat dengan mudah dicerna berbagai kalangan dan menyebabkan efek psikologis secara langsung terhadap pembaca surat kabar.
Ada sebuah jargon klasik dalam dunia jurnalisme yang mengatakan “bad news is a good news”. Tak pelak pemberitaan pun terjebak dalam peristiwa -peristiwa yang merupakan bencana, baik adalah bencana alam yang memakan
20Drs. Asep Saeful Muhtadi, M.A, Jurnaslitik (Pendekatan Teori dan Praktek), Logos Wacana Ilmu, Jakarta:1999, h.
100
21Artikel “Sejarah Fotografi By: Arbain Rambey”, dari http://www.berilmu.com/photography1.php. Artikel diakses
(34)
24
banyak korban, maupun bencana kemanusiaan yang menumpahkan banyak darah, seperti: krisis pangan maupun perang sipil berkepanjangan yang melanda hampir seluruh Benua Afrika dan juga sebagian wilayah Timur Tengah.
Satu bingkai foto hasil dari jendela bidik kamera yang sempit, justru dapat menampilkan hal kecil menjadi jauh lebih besar, seperti yang disebutkan oleh ahli komunikasi penganut mazhab kritis, Jean Boudillard sebagai hyper-reality, yaitu apa yang ditampilkan dalam media terlihat jauh lebih dramatis. Ditakutkan hal ini dapat berakibat pada kondisi emosional dan membangun persepsi yang berlebihan bahkan menyimpang dari penerima pesan media masa, seperti hasil penelitian yang dilakukan pada pecandu televisi oleh pencetus teori kultivasi George Garbner, yang menemukan bahwa tayangan kekerasan dan unsur sensual dapat berpengaruh pada kondisi psikologis pemirsanya. Oleh karena itu, seluruh tayangan media masa termasuk foto jurnalistik untuk mengikuti haluan penyiaran yang terumus dalam kode etik jurnalistik.Ada batasan-batasan tertentu dalam penayangan berita tergantung hukum yang berlaku pada suatu negara serta segmentasi dari pengkonsumsi paket berita tersebut.
Dan menurut Wilson Hicks foto jurnalistik adalah kombinasi dari kata dan gambar yang menghasilkan satu kesatuan komunikasi saat ada kesamaan antara latar belakang pendidikan dan sosial pembacanya. Jika dilihat dari fungsi foto jurnalistik menurut Edwin Emery, antara lain adalah untuk menginformasikan (to inform), meyakinkan (to persuade) dan menghibur (to intertaint).22
Foto jurnalistik adalah bagian dari komunikasi massa, adapun yang membedakan sebuah foto sehingga dapat dikategorikan sebagai foto jurnalistik,
22 Drs. Asep Saeful Muhtadi M.A, Jurnalistik (Pendekatan Teori dan Praktek), Logos Wacana Ilmu, cet II,
(35)
25
yaitu foto jurnalistik di dalamnya mengandung unsur-unsur berita, serta mencantumkanketerangan foto yang mengandung informasi 5W+H, selain itu juga dapat dilihat dari karakter fotonya yang berbeda dengan foto lainnya. Frank. P. Hoy “Photojournalism The Visual Approach” menyebutkan ada delapan karakter foto jurnalistik:23
a) Foto jurnalistik adalah komunikasi melalui foto. Komunikasi yang dilakukan akan mengeksprisikan pandangan wartawan foto terhadap suatu subjek, tetapi pesan yang disampaikan bukan merupakan ekspresi pribadi. b) Medium foto jurnalistik adalah media koran atau majalah, dan media kabel
atau satelit juga internet seperti kantor berita (wire services). c) Kegiatan foto jurnalistik adalah melaporkan berita.
d) Foto jurnalistik adalah panduan dari foto dan teks.
e) Foto jurnalistik mengacu pada manusia. Manusia adalah subjek, sekaligus pembaca foto jurnalisitik.
f) Foto jurnalistik adalah komunikasi dengan orang banyak (mass audiences). Ini berarti pesan yang disampaikan harus singkat dan harus segera diterima orang yang beraneka ragam.
g) Foto jurnalistik merupakan hasil kerja editor foto.
h) Tujuan foto jurnalistik adalah memenuhi kebutuhan mutlak penyampaian informasi kepada sesama, sesuai amandemen kebebasan berbicara dan kebebasan pers (freedom of speech and freedom of press).
Foto jurnalistik merupakan salah satu unsur pemberitaan, oleh karena itu harus juga memenuhi nilai berita, yang antara lain:
(36)
26
aktual,
kejadian luar biasa, peristiwa penting,
mengandung unsur ketokohan,
memiliki kedekatan dengan pembaca, berkaitan tentang kemanusiaan, bersifat universal.
World Press Photo, organisasi foto jurnalis yang kerap menjadi acuan para fotografer dunia mengkategorikan beberapa foto berita, antara lain24:
a) Spot Photo
Foto yang dibuat dari peristiwa yang tidak terjadwal. Misalnya foto kebakaran, kecelakaan dan sebagainya. Foto jenis ini harus segera disiarkan karena merupakan sesuatu yang up to date.
b) General News Photo
Adalah foto yang yang diabadikan dari peristiwa yang terjadwal, rutin dan biasa. Temanya bisa bermacam-macam, yaitu : politik, ekonomi dan humor.
c) People in The News Photo
Adalah foto tentang orang atau masyarakat dalam suatu berita, yang ditampilkan adalah pribadi atau sosok orang yang menjadi berita itu.
d) Daily Life Photo
Adalah foto yang tentang kehidupan sehari-hari manusia dipandang dari segi kemanusiawiannya (human interest).
24 Audy Mirza Alwi. Foto Jurnalistik. h.8-9.
(37)
27 e) Portrait
Adalah foto yang menampilkan wajah seseorang secara close up dan “mejeng”. Ditampilkan karena adanya kekhasan pada wajah yang
dimiliki atau kekhasan lainnya.
f) Sport Photo
Adalah foto yang dibuat dari peristiwa olah raga.
g) Science and Technology Photo
Adalah foto yang diambil dari peristiwa-peristiwa yang ada kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
h) Art and Culture Photo
Adalah foto yang dibuat dari peristiwa seni dan budaya.
i) Social and Environment
Adalah foto tentang kehidupan sosial masyarakat serta lingkungan hidupnya.
Untuk memenuhi kebutuhan pemberitaan serta penyajiannya, foto berita terbagi menjadi dua, yaitu: foto tunggal (single photo), dan foto seri (storie photo).
1) Foto Tunggal
Adalah foto yang memiliki informasi cukup lengkap dan lugas secara visual sehingga dapat berdiri sendiri tanpa perlu diperkuat oleh kehadiran foto lainnya.
2) Foto Seri
Adalah rangkaian beberapa foto yang membangun suatu cerita.Foto seri biasanya digunakan untuk memberikan gambaran menyeluruh dan lengkap
(38)
28
tentang suatu peristiwa. Dalam foto seri terdapat tiga bagian foto, yaitu: pembuka, isi, dan penutup.
a) Foto Pembuka, berfungsi sebagai pengantar untuk memasuki suatu cerita. Biasanya menampilkan foto yang unik dan menarik.
b) Foto Isi, adalah foto yang mengandung konten utama dari peristiwa yang hendak diceritakan.
c) Foto Penutup, yaitu foto yang menutup cerita tersebut. Bisa berupa konklusi, klimaks ataupun anti-klimaks dari peristiwa tersebut.
Foto Jurnalistik dan Jurnalistik Baru
Pada era jurnalistik lama, cara kerja wartawan hanya terfokus pada kegiatan reportase berupa pencatatan peristiwa berdasarkan fakta dan memuat pemberitaannya di media massa. Akhirnya muncul para perintis yang mulai mendobrak aturan dan kaidah jurnalisme lama.Mereka melakukan inovasi dalam bentuk tulisan, penyajian, serta teknik liputan. Kehadiran jurnalistik baru yang lahir dan tumbuh sepanjang tahun 1960-andi Amerika Serikat ini telah memberi keragaman bentuk penulisan bagi para pekerja jurnalis. Mengikuti arus perkembangan kehidupan, wartawan kini mulai membuka diri terhadap wacana teknik jurnalisme baru yang tidak lagi membatasi ruang gerak mereka dalam batas deadline dan teknik penulisan straight news yang dianggap kuno.25
Menurut Jacob Oetama dan Atmakusumah, Ada delapan teknik jurnalisme baru, yaitu26:
a. Jurnalisme Empati (Emphaty Journalism)
Jurnalisme yang erat kaitannya dengan rasa empati dan iba wartawan yang tumbuh ketika melakukan tugas jurnalistik.Wartawan harus bisa membangun rasa empati dengan narasumber.
b. Jurnalisme Kekerasan / Perang (Violence Journalism)
25Eni Setiati. Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan.(Jakarta: Andi Publisher, 2005) h.12
26 Becil Ucil. Jurnalistik baru, dari
(39)
29
Pemberitaan ini hanya terfokus pada arena atau tempat terjadinya konflik kekerasan dengan menonjolkan informasi (dampak fisik dari kasus tersebut) danlebih mengeksploitasi kekerasan yang tampak.Dalam pemberitaannya wartawan menggunakan teknik Violence Journalism yang memungkinkan ikut larut dalam emosi untuk memihak pada salah satu kelompok yang berkonflik dan wartawan bisa menilai secara sepihak.
c. Jurnalisme Perdamaian (Peace Journalism)
Merupakan jurnalisme modern yang berpegang pada asas imparsialitas (kebenaran) dan faktualitas (berdasarkan fakta).Jurnalisme damai dirumuskan oleh wartawan senior John Galtung.Rune Ottosen
Wilhem Kempt dan Maggie O‟Kane, tujuannya untuk mencegah
kekerasan di masyarakat.Jurnalisme ini mengajarkan wartawan untuk tidak turut dalam bagian pertikaian merupakan bagian dari pencari solusi.
d. Jurnalisme Advokasi (Advocacy Journalism)
Merupakan kegiatan jurnalistik yang dilakukan oleh wartawan dengan cara menyatukan opini ke dalam berita. Berdasarkan hasil reportase, wartawan mengarahkan fakta untuk membentuk opini publik.Penulisan jurnalistik advokasi lebih mempercayai objektifitas fakta dari berita yang dicampur dengan pikiran wartawan.Penyajiannya lebih banyak ditujukan untuk kepentingan tertentu yang disajikan dalam bentuk pemberitaan fakta dan peristiwa.
(40)
30
e. Jurnalisme Alternatif (Alternative Journalism)
Kegiatan jurnalistik ini biasanya dilakukan untuk penulisan berita yang menyangkut publikasi internal, misalnya tulisan-tulisan yang khusus menampilkan hasil liputan untuk mengkritik terhadap seseorang yang lebih personal.Pemuatan jurnalistik alternatif membentuk sekelompok audience yang dijadikan target konsumen dengan tujuan memukul penguasa di suatu daerah tertentu. Jurnalisme alternatif adalah cerminan suara rakyat dan merupakan sebuah medium perjuangan, biasanya bermuatan kritis terhadap kemapanan (status qou).Isinya tidak memuat pernyataan pejabat melainkan menyuarakan dan memberi empati kepada rakyat.Selain itu juga merupakan penggabungan antar unsur kebebasan dan kontrol diri pada tanggung jawab sosial.
f. Jurnalisme Presisi (Precision Journalism)
Merupakan kegiatan jurnalistik yang menekankan pada ketepatan (presisi) informasi dengan menggunakan pelaporan ilmiah dengan tujuan agar hasil laporan lebih representatif.Liputan jurnalistik presisi menggunakan metode ilmiah yang terencana dan sistematis.
g. Jurnalisme Sastra (Leterary Journalism)
Kegiatan jurnalistik dengan memasukkan unsur reportase secara inovatif, gaya penulisannya tidak hanya berdasarkan feeling tetapi ditunjang oleh riset sehingga wartawan tidak hanya mengandalkan liputan berdasarkan hasil interview.Jurnalistik sastra menggunakan gaya penulisan tutur untuk reportase human interest. Pers banyak menggunakan liputan
(41)
31
ketegangan situasi dengan menerapkan konsep penulisan liputan bergaya sastra.
Perkembangan dunia jurnalistik ke arah jurnalistik baru juga sedikit-banyak mempengaruhi foto jurnalistik, baik dari konten, layout, maupun display penyajiannya. Fotografi jurnalistik tidak hanya sekedar menampilkan berita secara dangkal ataupun sekedar menjadi ilustrasi atas suatu peristiwa, tetapi juga menyentuh perasaan dan sarat akan nilai estetis.
Foto jurnalistik di era jurnalistik baru tidak lagi kaku, sekedar memberikan informasi 5W+H, tetapi juga memperhatikan faktor keindahan untuk menggugah pembaca.Medium foto jurnalistik kini tidak hanya di media cetak dan elektronik saja, bahkan merambah ke ruang-ruang galeri seni.
4. Unsur-unsur dalam Fotografi a. Unsur Teknis
1) Pencahayaan
Secara harfiah, fotografi adalah melukis dengan cahaya.Dapat dikatakan cahaya adalah cat lukisnya; sedangkan film atau sensor digital adalah kanvasnya; serta kamera itu sendiri adalah kuasnya.Oleh karena itu cahaya adalah unsur utama dari fotografi, dan diperlukan kecakapan tehnis penguasaan kamera untuk mengaturnya, mengingat kanvas dalam fotografi adalah benda yang sangat peka terhadap cahaya, kesalahan dalam pencahayaan dapat berakibat kerusakan permanen pada foto.
Pencahayaan (exposure) adalah proses pemasukan cahaya untuk mengekspos medium peka cahaya baik berupa film maupun sensor digital
(42)
32
pada tingkat luminitas tertentu sehingga terekam sebuah citra. Ada tiga unsur dalam pengatuan tingkat luminitas pencahayaan, yaitu:
Rana atau speed (s), yaitu jendela pada kamera yang mengatur masuknya cahaya dengan cara buka-tutup dalam satuan waktu tertentu sehingga dapat mengatur cepat-lambatnya cahaya masuk kedalam kamera. Satuan
angka indikatornya dimulai dari: 1” (satu detik); 2 (1/2 detik); 4; 8; 15;
30; 60; 125; 250; 500; 1000; 2000; 4000; 8000.
Diafragma (f/), mengatur lebar-sempitnya bukaan lubang cahaya pada lensa, yang bekerja untuk menyesuaikan sedikit-banyaknya cahaya yang masuk kedalam kamera. Satuan angka indikatornya antara lain: 1,2; 2; 3,5; 4; 5,6; 8; 11; 16; 22; 32.
Tingkat kepekaan film atau sensor digital dalam menangkap cahaya yang dinyatakan dalam satuan International Standart Organization (ISO). Angka indikatornya: 50; 100; 200; 400; 800; 1600; 3200; 6400.27
Untuk mengukur ketepatan pencahayaan pada suatu tingkat luminitas tertentu, digunakan light meter, baik yang terdapat dalam kamera ataupun
light meter genggam (hand healt).Light meter berguna sebagai petunjuk untuk mendapatkan pencahayaan dengan kombinasi dari bukaan f/, s, dan ISO dalam satuan tepat (normal/correct), kurang (under), dan lebih (over) dalam suatu kondisi cahaya tertentu.
Bila dilihat dari sumbernya, cahaya memiliki dua jenis pencahayaan, yaitu: cahaya natural (aveliable light), yaitu matahari; serta cahaya buatan (artificial
(43)
33
light), yaitu cahaya yang bersumber baik dari berbagai jenis lampu, cahaya lilin, maupun lampu flash/blitz.
2) Tehnik Pemotretan
Selain memahami tiga kombinasi pencahayaan serta kemampuan untuk menggunakan light meter, fotogrfer pun harus memahami seluk-beluk teknologi kamera yang akan juga berpengaruh pada penerapannya saat memotret.
a) Diafrgma yang disimbolkan dengan “f/”,
Yaitu lebarnya bukaan lubang cahaya pada lensa yang terukur dengan satuan angka yang terlihat pada leher lensa, selain berfungsi untuk jalur masuknya cahaya, juga berpengaruh pada ruang tajam (depth of field) yang terlihat pada hasil pemotretan.Semakin lebar bukaan f/, maka semakin sempit ruang tajamnya; begitu pula sebaliknya. Ruang tajam luas dapat dilihat dalam angka indikator, yaitu <f/5,6. Sedangkan angka f/8 adalah ruang tajam sedang, dan >f/11 adalah ruang tajam sempit.
Ruang tajam adalah luasnya tingkat ketajaman gambar pada sebuah medium dua dimensi (foto).Selain lebar-sempitnya f/, ruang tajam juga dipengeruhi oleh focal length, yaitu panjang-pendeknya titik bakar lensa, biasanya menggunakan satuan ukur mili meter.Perbedaan jenis lensa wide, normal, dan tele memiliki perbedaan pula titik bakarnya. Semakin panjang titik bakar lensa (tele) akan berpengaruh pada semakin sempitnya ruang
(44)
34
tajam, dan lensa dengan titik bakar lebih pendek (wide) berlaku sebaliknya.
b) Kecepatan rana yang sisimbolkan dengan “S”,
Yaitu kecepatan buka-tutup jendela rana.Satuan kecepatanya terukur dalam detik yang dapat disesuaikan dengan panel yang terdapat pada badan kamera.Rana cepat digunakan untuk menangkap gerakan subjek cepat, dan speed lambat digunakan dalam pencahayaan yang cenderung lebih redup. Yang termasuk dalam kecepatan lambat yaitu <S:30 pada angka indikator. S:60 merupakan kecepatan sedang, dan kecepatan tinggi adalah >S:125.
Kecepatan rana tinggi digunakan untuk menagkap gerakan cepat, seperti dalam olah raga, menagkap ekspresi wajah, dsb.Sedangkan kecepatan rendah digunakan untuk menangkap kesan bergerak pada subjek.
c) ISO,
Yaitu satuan kepekaan media rekam (film) terhadap cahaya.Pada kondisi cahaya yang terik digunakan film dengan kepekaan rendah, dan pada kondisi redup digunakan film dengan tingkat kepekaan yang lebih tinggi.
d) Penajaman gambar (focusing),
Yaitu penyesuaian titik bakar gambar yang diproyeksikan pada medium rekam.Focusing dilakukan dengan menyetel gelang fokus yang terdapat pada bagian depan lensa.
(45)
35
Setelah memahami tehnik penggunaan kamera, seorang fotografer dapat memenfaatkannya untuk menghasilkan foto yang lebih menarik, antara lain:
a) Freezing, yaitu membekukan gambar subjek bergerak dengan tehnik menggunakan speed cepat, sehingga menghasilkan gambar yang detail dan tajam serta memberikan efek pause pada gerakan subjek.
b) Panning, yaitu memotret subjek bergerak dengan tehnik kamera
mengikuti gerakan subjek serta menggunakan speed lambat. Gambar yang dihasilkan akan terekam tajam pada subjek, namun ada kesan bergerak karena latar belakang yang kabur.
c) Moving, yaitu memotret dengan speed lambat sehingga dapat
menangkap kesan bergerak pada subjek. Yang membedakan dengan tehnik panning adalah kamera yang tidak bergerak pada tehnik moving. d) Silhuette, yaitu memotret subjek foto dengan tehnik kamera berhadapan
langsung dengan sumber cahaya, sehingga menghasilkan gambar di mana subjek terlihat seperti bayangan.
Dengan memanfaatkan teknik tersebut, foto akan terlihat lebih menarik dan dinamis serta tidak monoton.
b. Unsur Estetis
1) Sudut Pandang
Berdasarkan sudut pengambilan gambar (camera angle)28
a. Bird Eye View
Pengambilan gambar dilakukan dari atas ketinggian tertentu, sehingga memperlihatkan lingkungan yang sedemikian luas dengan
28 Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, h. 46.
(46)
36
benda-benda lain yang tampak di bawah sedemikian kecil.Pengambilan gambar biasanya menggunakan helicopter maupun dari gedung-gedung tinggi.
b. High Angle
Menempatkan objek lebih rendah dari pada kamera, atau kamera lebih tinggi daripada objek, sehingga yang terlihat pada kaca pembidik objek yang terkesan mengecil.Sudut pengambilan gambar tepat di atas objek, pengambilan gambar seperti ini memiliki arti yang dramatis yaitu kecil atau kerdil.
c. Low Angle
Menempatkan kamera lebih rendah dari objek, atau objek lebih tinggi dari kamera, sehingga objek terkesan membesar.Sudut pengambilan gambar ini merupakan kebalikan dari high angle.Kesan yang ditimbulkan dari sudut pandang ini yaitu keagungan atau kejayaan.
d. Eye Level
Pengambilan gambar ini mengambil sudut sejajar dengan mata objek, tidak ada kesan dramatis tertentu yang didapat dari eye level ini, yang ada hanya memperlihatkan pandangan mata seseorang yang berdiri.
e. Frog Level
Sudut pengambilan gambar ini diambil sejajar dengan permukaan tempat objek berdiri, seolah-olah memperlihatkan objek menjadi sangat besar.
Pemilihan angle dalam pengambilan sebuah foto dapat memberi kesan keberpihakan, simpati, kekaguman maupun perlawanan dalam pesan yang
(47)
37
disampaikan.Selain makna tersirat tersebut, sudut pengambilan gambar juga berfungsi sebagai pengaturan komposisi dan proporsi untuk menempatkan subjek agar lebih menarik secara visual.
2) Komposisi
Komposisi merupakan pengaturan tatanan gambar dalam satu frame.Komposisi berperan untuk menempatkan subjek secara menarik, serta mengarahkan mata pemandang langsung ke subjek utama dari foto tersebut sehingga dapat segera memahami pesan visual yang disajikan oleh fotografer.
Mengatur komposisi sebuah foto dapat dilakukan dengan beberapa tehnik, antara lain dengan menggunakan:
1) Aturan 1/3 (rule of third)
Yaitu membagi proporsi sebingkai foto dalam tiga bagian secara vertikal dan tiga bagian horizontal, kemudian menempatkan subjek pada empat titik persilangan garis tak-nyata (imaginer) pembagi.
2) Latar depan (foreground) dan latar belakang (background)
Memanfaatkan latar belakang dan/atau latar depan sebagai pengisi ruang kosong dalam sebuah bingkai, serta melengkapi informasi tentang set tempat dari suatu peristiwa.
3) Sudut pandang (perspektif)
Memanfaatkan elemen garis imaginer untuk mengarahkan mata pemandang foto langsung kepada objek yang dituju.
Mengatur komposisi gambar, selain bermafaat sebagai pemanis tampilan foto, juga berguna untuk memperkuat pesan yang ingin disampaikan oleh fotografer dalam sebingkai fotonya.
(48)
38
B. Tinjauan Umum Tentang Semiotik 1. Pengertian Semiotik
Semiotik merupakan sebuah model ilmu pengetahuan sosial dalam memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut
“tanda”.29Secara etimologis, semiotik berasal dari kata Yunani “Semion” yang
berarti “Tanda”. Tanda itu sendiri diartikan sebagai sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain. Contohnya : asap bertanda adanya api.Secara Terminologis, semiotik dapat diartikan sebagai ilmu yang memepelajari sederetan peristiwa yang terjadi di seluruh dunia sebagai tanda.
1. Semiotika dalam Fotografi (Roland Barthes)
Menurut Seno Gumira Ajidarmadalam “Kisah Mata”, foto adalah suatu
pesan yang dibentuk oleh sumber emisi, saluran transmisi dan titik resepsi.Struktur sebuah foto bukanlah sebuah struktur yang terisolasi, karena selalu berada dalam komunikasi dengan struktur lain, yakni teks tertulis, judul, keterangan, artikel, yang selalu mengiringi foto.Dengan demikian pesan keseluruhannya dibentuk oleh ko-operasi dua struktur yang berbeda.30
Memaknai isi pesan dalam foto tidak hanya didapat dari subjek yang terdapat di dalamnya saja, tetapi terkait juga dengan struktur lain yang juga membangun kesan atasnya. Untuk menciptakan sebuah semiotika konotasi gambar, antara penanda dan petanda harus dibedakan terlebih dahulu karena sistem konotasi sebagai semiotik tingkat dua dibangun di atas sistem denotatif.Dalam gambar atau foto, pesan denotasi adalah pesan yang disampaikan
29 Akhmad Muzakki, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama. (Malang: UIN-Malang Press, 2007), h.
9.
(49)
39
secarakeseluruhan dan pesan konotasi adalah pesan yang dihasilkan oleh unsur-unsur gambar dalam foto.31
Barthes menggunakan istilah orders of signification. First order of signification adalah tahap denotasi, sedangkan tahap konotasi adalah second order of signification.Tatanan yang pertama mencakup penanda dan petanda yang berbentuk tanda.Tanda inilah yang disebut makna denotasi. Kemudian dari tanda tersebut muncul pemaknaan lain, sebuah konsep mental lain yang melekat pada tanda (penanda). Pemakaian baru inilah yang kemudian menjadi konotasi.32
1. Signfier
(penanda)
2. Signfied
(petanda)
3. Denotative Sign (tanda Denotatif)
4. CONNOTATIVE SIGNIFIER
(PENANDA KONOTATIF)
5. CONNOTATIVE
SIGNIFIED
(PETANDA KONOTATIF) CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)
Tabel1. Peta tanda Roland Barthes
Roland Barthessecara khusus membahas semiotik dalam fotografi. Inti dari pemikirannya adalah adanya dua tingkatan dalam signifikasi karya fotografi, tingkatan pertama adalah denotasi, yaitu relasi antara penanda dengan petanda dalam sebuah tanda, serta tanda dengan acuan realitas eksternalnya. Tingakatan kedua dalam pandangan Barthes ada tiga bentuk, yaitu konotasi, mitos dan simbol.33
Dalam konsep Barthes, terdapat tanda konotatif yang bukan hanya sekedar memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif
31 ST. Sunardi, Semiotika Negativa, (Jogajakarta: Kanal, 2002 ) h. 160
32 Pappilon Manurung, M. Antonius Birowo, ed.,“Metodologi Penelitian Komunikasi”, (Yogyakarta: Gitanyali), h.
39.
33Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, Analisis Framing.
(50)
40
yang melandasi keberadaannya.Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif.34
Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghadirkan makna yang eksplisit, langsung dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.ia menciptakan makna-makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi, atau keyakinan.35Secara sederhana, denotasi dijelaskan sebagai kata yang tidak mengandung makna atau perasaan-perasaan tambahan. Makna denotatif memiliki beberapa istilah lain seperti makna denotasional, makna referensial, makna konseptual, atau makna ideasional. Sedangkan konotasi adalah kata yang mengandung arti tambahan, perasaan tertentu, atau nilai rasa tertentudisamping makna dasar yang umum. Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna emosif, atau makna evaluatif.36
Dalam The Photographic Message, Barthes mengajukan tiga tahapan dalam mebaca foto, yaitu perspektif, kognitif dan etis ideologis.37
1. Tahap perspektif terjadi ketika seseorang mencoba melakukan transformasi gambar ke kategori verbal; jadi semacam verbalisasi gambar. Konotasi perspektif tidak lain adalah imajinasi sintagmatik yang pada dasarnya bersifat perspektif (forsee).
2. Konotasi kognitif dilakukan dilakukan dengan cara mengumpulkan dan menghubungkan unsur-unsur historis dari analogon (denotasi). Ini konotasi yang dibangun atas dasar imajinasi paradigmatik. Pengetahuan kultural sangat menetukan.
34Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, Analisis Framing, h.
69.
35 Akhmad Muzakki,Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama, (Malang: UIN-Malang Press, 2007),
h.22.
36AS Haris Sumandiria, Bahasa Jurnalistik: Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis, (Bandung : Simbiosa Rekatama
Media, 2006), cet, ke-1, h. 27-28
(51)
41
3. Etis-ideologis, orang mengumpulkan beberapa signifier yang
“dikalimatkan”.
Barthes menunjukkan bahwa tiga cara rekayasa di atas membuka kemungkinan untuk menurunkan signifier. Barthes menyebut signifier pada tingkat konotatif ini dengan sebutan mitos dan signified dengan sebutan ideologi. Ini dibangun dengan imajinasi simbolik.Ketiga tahap ini tidak menentukan
wacana suatu foto dan ideologi atau moralitas yang berkaitan.Ini “murni”
semiotik-positivistik. Kita akan mencari objektivitas pesan foto melalui prosedur yang dapat diamati dan diukur.38
Dalam The Photographic Message Barthes menyebutkan enam prosedur atau kemungkinan untuk memperngaruhi gambar sebagai analogon. Keenam
langkah tersebut dapat dipandang sebagai kegiatan “menulis” karena pada
hakikatnya lewat prosedur tersebut seorang fotografer dapat menentukan berbagai unsur tanda, hubungan, dan lain-lain yang menjadi pertimbangan utama ketika orang membaca bahasa gambar tersebut. Pengetahuan ini penting untuk melihat perkembangan prosedur mempengaruhi gambar sebagai analogon. Keenam prosedur ini dikategorikan menjadi dua, yaitu:
1. Rekayasa yang secara langsung dapat mempengaruhi realitas itu sendiri. Terdiri dari:
a. Trick Effect, merupakan intervensi “without warning in the plane of
denotation” artinya memanipulasi gambar sampai tingkat yang
berlebihan untuk menyampaikan maksud pembuat berita.
b. Pose, ialah gaya, posisi, ekspresi dan sikap objek foto. Dalam mengambil foto berita seseorang, seorang wartawan foto akan memilih objek yang sedang diambil.
38 ST. Sunardi, “Semiotika Negativa”, h. 187.
(52)
42
c. Pemilihan Objek, objek ini ibarat perbendaharaan kata yang siap dimasukkan ke dalam sebuah kalimat. Objek ini merupakan point of interest (POI) pada sebuah gambar/foto.
2. Rekayasa yang masuk dalam wilayah “estetis”, terdiri dari:
a. Photogenia, adalah teknik pemotretan dalam pengambilan gambar. Misalnya: lighting (pencahayaan), exposure (ketajaman foto), bluring
(keburaman), panning (efek kecepatan), moving (efek gerak), freeze
(efek beku), angle (sudut pandang pengambilan objek) dan sebagainya b. Aestheticism, yaitu format gambar atau estetika komposisi gambar secara
keseluruhan dan dapat menimbulkan makna konotasi.
c. Sintaksis, yaitu rangkaian cerita dari isi foto/gambar yang biasanya berada pada caption (keterangan foto) dalam foto berita dan dapat membatasi serta menimbulkan makna konotasi.
Dilihat dari perkembangan teknik dan seni fotografi sekarang, prosedur konotatif ini sudah ketinggalan zaman, karena kita sekarang sudah memasuki
“post-photographic era”. Keenam cara tersebut tentu sudah bisa ditambah lagi
atau tidak semua cara tersebut dominan dalam suatu foto berita. Meskipun
demikian prinsip bahwa orang mempengaruhi foto lewat “prosedur konotatif”
masih relevan, bahkan lebih relevan karena intervensinya semakin sulit dikenali lewat foto yang dihasilkan.39
39 ST. Sunardi, “Semiotika Negativa”, h. 173-174. Signifier Signified Denotasi
Form
Content Mitos
(53)
43
Reality Signs Culture
First Order Second Order
Tabel2. The orders of signification
Dalam bagan tersebut, tanda panah dari signified mengarah pada mitos. Ini berarti mitos muncul pada tataran konsep mental suatu tanda. Mitos bisa dikatakan sebagai ideologi dominan pada waktu tertentu. Denotasi dan konotasi memiliki potensi untuk menjadi ideologi yang bisa dikategorikan sebagai
thirdorder of signification (istilah ini bukan dari Barthes), Barthes menyebut konsepini sebagai myth (mitos).40
Mitos dalam pengalaman Barthes adalah pengkodean makna dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya arbiter atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap alamiah.41Feranand Comte membagi mitos menjadi dua macam: mitos tradisional dan mitos modern. Mitos modern itu dibentuk oleh dan mengenal mengenal gejela-gejala politik, olahraga, sinema, televisi dan pers. Mitos (mythes) adalah suatu jenis tuturan (a type of speech), sesutau yang hampir mirip dengan „re -presen-tasi kolektif di dalam sosiologi Durkheim. Mitos adalah sistem komunikasi, sebab ia membawakan pesan. Maka dari itu mitos bukanlah objek. Mitos bukan pula konsep ataupun gagasan, melainkan suatu cara signifikasi, suatu bentuk.42
Teori mitos dikembangkan oleh Roland Barthes untuk melakukan kritik atas ideologi budaya massa (budaya media). Mitos mengambil sistem semiotik tingkat pertamasebagai landasannya sehingga mitos merupakan sistem semiotik yang terdiri dari sistem linguistik dan sistem semiotik. Sebagai sistem semiotik, mitos dapat diuraikan ke dalam tiga unsur yaitu; signifier, signified dan sign.
Barthes menggunakan istilah berbeda untuk tiga unsur tersebut yaitu form,concept
dan signification. Dijelaskan oleh Barthes, bahwa pembedaan istilah ini selain
40 Pappilon Manurung, Editor : M. Antonius Birowo, “Metode Penelitian Komunikasi: teori dan aplikasi”.
(Yogyakarta: Gitanyali, 2004), h. 58-60
41 Tommy Christomy, “Semiotika Budaya”, (Depok: UI, 2004), cet. Ke-1, h. 94 42 Ibid, h. 224
(54)
44
agar tidak mengalami kebingungan dalam proses ananlisis, sistem signifikasi atau pemaknaan pada kedua tingkat sistem semiotik tidaklah sama.43
Tidak semua prinsip yang berlaku pada sistem pertama berlaku pula pada sistem kedua. Mitos pada dasarnya „mendistorsi‟ makna dari sistem semiotik pertama sehingga makna itu tidak lagi menunjuk pada realita sebenarnya. Mitos bersamaan dengan ideologi menurut pandangan Barthes, bekerja dengan menaturalkan interpretasi tertentu dari individu yang khas secara ideologis. Mitos menjadikan apa yang historis menjadi natural, sesuatu yang alamiah. Dalam bagian pertama karyanya; mythology, Barthes menganalisa 28 mitos yang ada dalam masyarakat, yang dikonstruksi oleh budaya masyarakatnya.
Mitos memiliki empat ciri, yaitu44:
1. Distorsif. Hubungan antara Form dan Concept bersifat distrosif dan deformatif. Concept mendistorsi Form sehingga makna pada sistem tingkat pertama bukan lagi merupakan makna yang menunjuk pada fakta yang sebenarnya.
2. Intensional. Mitos tidak ada begitu saja. Mitos sengaja diciptakan, dikonstruksikan oleh budaya masyarakatnya dengan maksud tertentu. 3. Statement of fact. Mitos menaturalisasikan pesan sehingga kita
menerimanya sebagai sebuah kebenaran yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Sesuatu yang terletak secara alami dalam nalar awam.
43 Karolus Naga, “Semiotika: ilmu untuk berdusta – dan Mitos sebagai sebuah type of
speech”.darihttp://astaganaga.multiply.com/journal/item/5?&item_id=5&viewreplies/threaded.com. Artikel diakses pada 18 Agustus 2011
(1)
83
pada ranah filosofis. Sehingga budaya visual di Indonesia dapat terus berjalan kearah perkembangan, dan bukan hanya sekedar pengulangan. Oleh karena, ternyata ranah fotografi dapat terintegrasi dengan banyak hal yang berkaitan dengan fenomena budaya yang berkembang di masyarakat, bekal wawasan budaya secara meluas dapat membuat sebuah karya foto jurnalistik lebih kaya informasi.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ada beberapa hal yang dapat menjadi saran baik kepada segenap akademisi Fakultas komunikasi, khususnya Program Studi Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta bagi peminat fotografi khususnya yang menekuni foto jurnalistik dan orang-orang yang concern terhadap umat muslim, yaitu:
1. Melihat hasil analisis atas makna denotasi yang didapat dari ketiga foto yang diteliti, memberikan suatu referensi tentang tampilan foto-foto dengan mengusung tema atas fenomena sosial budaya yang terjadi di tengah masyarakat. Referensi tampilan-tampilan foto dalam foto yang diteliti dapat menjadi suatu acuan bagai para fotografer pemula khususnya. 2. Melihat hasil analisis atas makna konotasi yang didapat dari keempat foto yang diteliti, dapat menjadi sebuah kamus visual bagi para penikmat fotografi. Metode semiotika Barthes dengan rumusannya dalam membaca konotasi pada foto, dapat menjadi pegangan seorang fotografer agar dapat mengerti bagaimana suatu kesan dapat terbentuk, hingga dapat memanfaatkannya secara fungsional ketika ingin mengungkapkan suatu pesan, khususnya dalam medium foto.
(2)
84
3. Melihat hasil analisis atas makna mitos yang didapat dari keempat foto yang diteliti, secara umum memuat fakta-fakta atas fenomena yang terjadi di tengah kehidupan umat islam, dapat menjadi salah satu alat kampanye atas usaha perbaikan nasib umat islam bagi para penggiat atau aktivis yang senantiasa memperjuangkan nasib umat islam melalui foto. Kemudian Bagi para akademisi yang juga concern terhadap seni membaca foto, metode semiotika Barthes ini dapat pula menjadi pegangan utama dalam mengembangkan paradigma kontstruktivis dalam membaca foto dan mengkorelasikannya dengan fenomena sosial budaya yang terjadi di tengah masyarakat.
(3)
85
DAFTAR PUSTAKA
AS Haris Sumandiria, Bahasa Jurnalistik: Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis, (Bandung : Simbiosa Rekatama Media, 2006).
Audy Mirza Alwi. Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media Massa. (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004).
Budiman, Kris, Semiotika Visual.
Christomy, Tommy, “Semiotika Budaya”, (Depok: UI, 2004).
Clifron Cerdic Edom, Photojurnalis: priciples and practices (New York: William C Brown Pus., 1980).
Company Profil LKBN Antara
Drs. Asep Saeful Muhtadi, M.A, Jurnaslitik (Pendekatan Teori dan Praktek), Logos Wacana Ilmu, Jakarta:1999.
Dwifriansyah, Bonny, “Sejarah Fotografi Dunia: dari Mo Ti hingga Mendur bersaudara”,
Ed Zoelverdi, Mat Kodak. (Jakarta: PT. Temprint, 1985).
Forum Diskusi “Fotografer.net” dengan tema: jurnalistik foto antara Foto Headline HARIAN UMUM vs Foto Sampul Majalah Life Stylr Irsyad, Robi,
Kesuma, Rully, disampaikan dalam seminar Foto Jurnalistik di GFJA tahun 2009 M. Antonius Birowo, ed. Metode Penelitian Komunikasi. (Yogyakarta: Gitanyali, 2004).
Muzakki, Akhmad, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama, (Malang: UIN-Malang Press, 2007).
(4)
86
Pappilon Manurung, Editor : M. Antonius Birowo, “Metode Penelitian
Komunikasi: teori dan aplikasi”. (Yogyakarta: Gitanyali, 2004).
Pappilon Manurung, M. Antonius Birowo, ed.,“Metodologi Penelitian Komunikasi”, (Yogyakarta: Gitanyali).
Prof.Dr.r.m.Soelarko, fotografi untuk salon foto dan lomba foto. (Bandung: PT. Karya Nusantara:1978)
Seno Gumira Ajidarma, Kisah Mata, Fotografi, (Yogyakarta: Galang Press, 2002).
Setiati, Eni, Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan. (Jakarta: Andi Publisher, 2005).
Sobur, Alex, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, Analisis Framing. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004).
Sobur, Alex, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003). Soedjono, Soeprapto, Pot-Pourri Fotografi, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta:2007.
ST. Sunardi, Semiotika Negativa, (Jogajakarta: Kanal, 2002).
Stokes, Jane, How To Do Media and Cultural Studies, (Yogyakarta: PT Bentang Pustaka, 2006).
Sumber Lain :
Al-Kindi, Ibnu Sahl, Ibnu Al-Haitham : Tiga Ilmuwan Islam Pelopor Ilmu Optik”.
(5)
http://hamba4wl.wordpress.com/2011/07/11/al-kindi-ibnu-sahl-87
ibnu-al-haitham-tiga-ilmuwan-islam-pelopor-ilmu-optik/ Artikel diakses pada 10 Oktober 2014.
Artikel “Sejarah Fotografi By: Arbain Rambey”, dari
http://www.berilmu.com/photography1.php. Artikel diakses pada 10 Oktober 2014
Becil Ucil. Jurnalistik baru, dari http://becilucil.blog.com/2011/01/31/jurnalistik-%E2%99%A5-jurnalistik-baru-new-jurnalism-%E2%99%A5/ . Artikel diakses pada 18 Oktober 2014.
http://www.forumkami.com/forum/forum-fotografi/3323-pengertian-fotografi.html artikel diakses pada 17 April 2011
http://langitan.net/?p=26 Artikel diakses pada 18 Oktober 2014
http://www.pasarkreasi.com/news/detail/photography/67/sejarah-fotografi-dunia Artikel diakses pada 10 Oktober 2014
http://www.satulingkar.com/detail/read/8/2370/antara-teheran-dan-jakarta#sthash.VxtoJjkP.dpufArtikel diakses pada 10 Oktober 2014 http://astaganaga.multiply.com/journal/item/5?&item_id=5&viewreplies/threaded.
(6)
88 LAMPIRAN