ANALISIS YURIDIS PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NO: 01/ PEMBATALAN PERDAMAIAN/ 2006/ PN. NIAGA. JKT. PST. TENTANG PEMBATALAN PERDAMAIAN TERHADAP P.T. GORO BATARA SAKTI

(1)

ABSTRAK

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN PENGADILAN NIAGA

NO: 01/ PEMBATALAN PERDAMAIAN/ 2006/ PN. NIAGA. JKT. PST. TENTANG PEMBATALAN PERDAMAIAN

TERHADAP P.T. GORO BATARA SAKTI Oleh

ANIK SUPARTI NINGSIH

Debitor berhak pada waktu PKPU atau setelah itu menawarkan suatu perdamaian kepada kreditor. Rencana perdamaian yang telah disetujui, harus mendapat pengesahan dari pengadilan agar berlaku secara hukum. Debitor yang lalai memenuhi isi perjanjian perdamaian, dapat dimohonkan pembatalan perdamaian ke Pengadilan Niaga. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah permohonan pembatalan perdamaian berdasarkan putusan Pengadilan Niaga No: 01/ Pembatalan Perdamaian/ 2006/ PN. NIAGA. Jkt. Pst. tentang Pembatalan Perdamaian Terhadap P.T. Goro Batara Sakti.

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan tipe penelitian deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan normatif-terapan (applied law approach). Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Analisis data secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, bahwa kreditor dapat menuntut pembatalan suatu perdamaian, apabila debitor lalai memenuhi perjanjian. Akibat hukum pembatalan perdamaian P.T. Goro Batara Sakti pailit dengan segala akibat hukumnya, sehingga kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannya. Pegurusan dan pemberesan harta pailit dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas. Terhadap putusan tersebut, diajukan upaya hukum yaitu Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung, menghasilkan putusan bahwa P.T. Goro Batara Sakti dinyatakan pailit. Putusan tersebut membuktikan, bahwa UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak kreditor. Debitor pailit yang telah memenuhi kewajiban kepada kreditor, harus mengajukan rehabilitasi kepada Pengadilan Niaga, agar berwenang kembali melakukan kegiatan usaha dan mengurus harta kekayaannya.


(2)

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN PENGADILAN NIAGA

NO: 01/ PEMBATALAN PERDAMAIAN/ 2006/ PN. NIAGA.JKT. PST . TENTANG PEMBATALAN PERDAMAIAN

TERHADAP P.T. GORO BATARA SAKTI

(SKRIPSI)

Oleh:

Anik Suparti Ningsih

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2010


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perusahaan adalah badan usaha yang menjalankan kegiatan di bidang perekonomian (keuangan, industri, dan perdagangan), yang dilakukan secara terus menerus atau teratur dengan tujuan memperoleh keuntungan. Perusahaan dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) jika dilihat dari bentuk hukumnya yaitu perusahaan berbadan hukum dan perusahaan bukan berbadan hukum. Jika dilihat dari jumlah kepemilikannya, dapat dibagi menjadi perusahaan perseorangan atau perusahaan persekutuan. Perusahaan membutuhkan modal untuk menjalankan usahanya. Modal perusahaan berasal dari kekayaan perusahaan itu sendiri yang berupa saham, gedung, pabrik, komputer, kendaraan, dan lain-lain. Selain itu modal perusahaan juga dapat berasal dari pinjaman pihak lain, baik dari perseorangan, perusahaan lain, lembaga keungan bank, serta lembaga keuangan bukan bank. Pinjaman diperoleh setelah perusahaan (debitor) mengadakan perjanjian utang piutang dengan pihak lain (kreditor).

Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan harta debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, hal tersebut berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang selanjutnya disebut UU


(4)

No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Syarat pailit yaitu debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, hal tersebut berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Debitor yang telah memenuhi syarat tersebut, dapat diajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga. Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit adalah debitor, kreditor, Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, serta Menteri Keuangan.

Debitor dapat melakukan upaya hukum untuk menghindari pailit, yaitu melalui penundaan kewajiban pembayaran utang (selanjutnya disebut PKPU). Definisi PKPU tidak dijelaskan di dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU.PKPU adalah suatu masa yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan hakim niaga, dimana dalam masa tersebut kepada pihak kreditor dan debitor diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran utangnya dengan memberikan rencana perdamaian seluruh atau sebagian utangnya (Munir Fuadi, 2005: 171).

Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan PKPU adalah debitor dan kreditor, hal tersebut berdasarkan Pasal 222 Ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. PKPU diajukan oleh debitor yang mempunyai lebih dari 1 (satu) kreditor atau oleh kreditor. Namun, dalam prakteknya jarang terjadi permohonan PKPU diajukan oleh kreditor. Permohonan PKPU diajukan kepada Pengadilan Niaga sebelum adanya putusan pernyataan pailit. Apabila putusan pernyataan pailit sudah diucapkan oleh hakim, maka permohonan PKPU


(5)

tidak dapat diajukan lagi. Permohonan PKPU diajukan bersama-sama dengan permohonan pailit, maka permohanan PKPU akan diperiksa terlebih dahulu oleh hakim.

Permohonan PKPU yang diajukan, harus memenuhi syarat-syarat administrasi dan diproses sesuai dengan prosedur yang sudah ditetapkan dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Apabila syarat-syarat administrasi telah dipenuhi, maka permohonan akan segera diproses untuk ditetapkan menjadi PKPU sementara. Putusan PKPU sementara berisikan hakim mengangkat hakim pengawas dan pengurus serta menetapkan hari sidang berikutnya untuk menetapkan PKPU tetap. Pada sidang PKPU tetap, hakim memberikan penetapan mengenai rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor dapat diterima atau tidak.

Debitor dalam proses PKPU dapat mengajukan rencana perdamaian, meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utangnya kepada kreditor. Perdamaian dalam PKPU diatur dalam Pasal 265 Ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, debitor berhak pada waktu mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang atau setelah itu menawarkan suatu perdamaian kepada debitor. Rencana perdamaian dapat diajukan bersamaan pengajuan permohonan PKPU ataupun diajukan setelah permohonan PKPU diajukan. Rencana perdamaian dibahas oleh debitor dan para kreditor pada saat rapat kreditor, selanjutnya para kreditor melakukan pemungutan suara (voting)

terhadap rencana perdamaian tersebut. Apabila melalui voting rencana perdamaian


(6)

penolakan dengan cara menyerahkan kepada Pengadilan Niaga salinan rencana perdamaian. Akibat hukum yang timbul terhadap penolakan perdamaian yaitu proses pailit dilanjutkan kembali dan perdamaian tidak dapat ditawarkan kembali. Jika rencana perdamaian tersebut disetujui oleh para kreditor, maka rencana perdamaian harus mendapat pengesahan dari pengadilan agar berlaku secara hukum. Rencana perdamaian yang telah mendapat pengesahan oleh Pengadilan Niaga, mengikat semua kreditor kecuali kreditor yang tidak menyetujui rencana perdamaian. PKPU berakhir pada saat putusan pengesahan perdamaian memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Perdamaian yang telah dilakukan tidak menutup kemungkinan terjadinya pembatalan perdamaian. Tututan pembatalan perdamaian diatur dalam Pasal 291 Ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU menyatakan bahwa, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 dan Pasal 171 berlaku mutatis mutandis terhadap pembatalan perdamaian. Menurut ketentuan Pasal 170

Ayat (1), kreditor dapat menuntut pembatalan suatu perdamaian yang telah disahkan apabila debitor lalai memenuhi isi perdamaian tersebut. Tuntutan pembatalan perdamaian dapat diajukan oleh kreditor kepada Pengadilan Niaga, jika debitor lalai memehuhi isi perjanjian perdamaian. Jika Pengadilan Niaga menilai bahwa debitor telah lalai melakukan isi perjanjian maka permohonan pembatalan perdamaian dikabulkan. Akibat adanya putusan pembatalan perdamaian adalah proses pailit dibuka kembali dan perdamaian tidak dapat ditawarkan kembali.


(7)

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang alasan pemohon mengajukan pembatalan perdamaian, dasar hukum pertimbangan hakim dan akibat hukum yang timbul dari Putusan Pengadilan Niaga No: 01/ Pembatalan Perdamaian/ 2006/ PN. Niaga. Jkt. Pst. Tentang Pembatalan Perdamaian Terhadap P.T. Goro Batara Sakti.

Kasus pembatalan perdamaian terjadi dikarenakan P.T. Goro Batara Sakti telah melakukan wanprestasi terhadap isi perjanjian perdamaian yang telah disahkan

oleh Pengadilan Niaga. Bentuk wanprestasi yang dilakukan oleh P.T. Goro Batra

Sakti yaitu setelah melakukan pembayaran angsuran pertama, P.T. Goro Batara Sakti tidak melakukan pembayaran lagi atas sisa utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih terhadap Koperasi Karyawan (KOPKAR) P.T. Goro Batara Sakti dan P.D. Lingkar Sembada Pangan. Selain itu P.T. Goro Batara Sakti tidak melakukan pembayaran utangnya sama sekali terhadap P.T. Madu Sumbawa Alami. Berdasarkan alasan tersebut para kreditor mengajukan permohonan pembatalan perdamaian terhadap P.T. Goro Batara Sakti. Permohonan pembatalan perdamaian tersebut kemudian diterima dan dikabulkan oleh Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan Niaga No: 01/ Pembatalan Perdamaian/ 2006/ PN, NIAGA. JKT. PST. tentang Pembatalan Perdamaian terhadap P.T. Goro Batara Sakti, mempunyai akibat hukum yaitu P.T. Goro Batara Sakti dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya.

Hasil penelitian akan dituangkan dalam skripsi dengan judul ”Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Niaga No: 01/ Pembatalan Perdamaian/ 2006/ PN. Niaga. Jkt. Pst. Tentang Pembatalan Perdamaian Terhadap P.T. Goro Batara Sakti”.


(8)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka yang menjadi permasalahannya adalah “bagaimanakah permohonan pembatalan perdamaian berdasarkan putusan Pengadilan Niaga No: 01/ Pembatalan Perdamaian/ 2006/ PN. NIAGA. Jkt. Pst. tentang Pembatalan Perdamaian Terhadap P.T. Goro Batara Sakti?”

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka yang menjadi lingkup bahasan dalam penelitian ini, yaitu:

a. alasan pemohon mengajukan pembatalan perdamaian;

b. dasar pertimbangan hukum dalam putusan pembatalan perdamaian; dan c. akibat hukum yang timbul dari putusan pembatalan perdamaian.

Adapun lingkup bidang ilmu dalam penelitian ini adalah hukum keperdataan (ekonomi), khususnya mengenai kepailitan. Penelitian ini merupakan penelitian di bidang hukum, karena fokus kajiannya meliputi permohonan pembatalan perdamaian pada putusan Pengadilan Niaga No: 01/ Pembatalan Perdamaian/ 2006/ PN. NIAGA. JKT. PST tentang Pembatalan Perdamaian terhadap P.T. Goro Batara Sakti. Penelitian ini merupakan kajian dari lingkup ekonomi, karena putusan Pengadilan Niaga No: 01/ Pembatalan Perdamaian/ 2006/ PN. NIAGA. JKT. PST terhadap P.T. Goro Batara Sakti membawa dampak di bidang ekonomi khususnya kategori usaha makro.


(9)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan dan ruang lingkup di atas, maka tujuan dari penelitian ini menganalisis secara jelas, rinci, dan sistematis mengenai Putusan Pengadilan Niaga No: 01/ Pembatalan Perdamaian/ 2006/ PN. NIAGA. JKT. PST tentang Pembatalan Perdamaian Terhadap P.T. Goro Batara Sakti, yang dapat menjawab segala permasalahan pada penelitian ini secara jelas dan sistematis mengenai: a. alasan pemohon mengajukan pembatalan perdamaian;

b. dasar pertimbangan hukum dalam putusan pembatalan perdamaian; dan c. akibat hukum yang timbul dari putusan pembatalan perdamaian.

D. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai dua aspek kegunaan yaitu kegunaan teoritis dan kegunaan praktis:

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan dan memberikan gambaran atau sumbangan pemikiran terhadap ilmu pengetahuan hukum serta kajian untuk mengembangkan hukum kepailitan khususnya mengenai pembatalan perdamaian.

b. Kegunaan Praktis

Secara praktis penelitian ini ditujukan sebagai:

a) upaya perluasan wawasan ilmu pengetahuan bagi penulis tentang pembatalan perdamaian;


(10)

b) sumber bacaan dan referensi bagi pembaca mengenai pembatalan perdamaian; dan

c) salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(11)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Aspek-Aspek Hukum dalam Kepailitan

1. Definisi Kepailitan

Istilah kepailitan berasal dari kata pailit, istilah tersebut juga dapat kita lihat dari Bahasa Perancis, Bahasa Belanda, Bahasa Inggris, Bahasa Latin serta Bahasa Amerika. Dalam bahasa Perancis istilah failite berarti kemacetan pembayaran

utang. Pailit dalam Bahasa Belanda digunakan istilah sebagai kata failliet yang

mempunyai dua arti yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Di dalam Bahasa Inggris dikenal sebagai istilah to faili dan sedangkan dalam Bahasa Latin disebut

fallire. Kepailitan dalam hukum Anglo Amerika, undang–undangnya dikenal dengan Bankcruptcy Act (Rahayu Hartini, 2009: 71).

Definisi kepailitan berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawasan sebagaimana diatur dalam undang–undang ini. Defiinisi kepailitan menurut para ahli yaitu, kepailitan adalah suatu usaha bersama untuk mendapatkan pembayaran bagi semua orang yang berpiutang secara adil (R. Subekti, 1995: 28). Kepailitan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa pailit (H.M.N Puwosutjipto, 1993: 28). Kepailitan adalah keadaan seorang debitor berhenti membayar utang-utangnya, istilah berhenti membayar tidak mutlak harus diartikan debitor sama sekali berhenti membayar utang-utangnya, tetapi debitor dapat dikatakan dalam keadaan berhenti membayar,


(12)

apabila ketika diajukan permohonan pailit ke pengadilan, debitor berada dalam keadaan tidak dapat membayar utangnya (Zainal Asikin, 2002: 27). Pailit adalah suatu sitaan umum atas seluruh harta debitor agar dicapainya perdamaian antara debitor dan para kreditornya atau agar harta tersebut dapat dibagi–bagi secara adil antara para kreditor (Munir Fuady, 2005: 8).

Pengertian utang menurut UU No. 37 Tahun 2007 tentang Kepailitan dan PKPU, kewajiban yang dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.

2. Pihak-Pihak dalam Kepailitan

a. Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit berdasarkan Pasal 1 s/d 5 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU adalah:

1) debitor itu sendiri yang memiliki dua atau lebih kreditor (Pasal 2 Ayat (1)); 2) seorang kreditor atau lebih, baik sendiri-sendiri ataupun bersama-sama (Pasal 2 Ayat (1));

3) kejaksaan, bila menyangkut kepentingan umum (Pasal 2 Ayat (2));

4) bila debitor adalah bank, maka permohonan pailit dapat diajukan oleh Bank Indonesia (Pasal 2 Ayat (3));

5) dalam hal debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring, Lembaga Pembiayaan, dan Penyelesaian, maka permohonan pailit dapat diajukan oleh Badan Pengwas Pasar Modal (Pasal 2 Ayat (4)); dan

6) dalam hal debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dibidang kepentingan publik, maka permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh Menteri Keuangan (Pasal 2 Ayat (6)).


(13)

Permohonan pailit diajukan oleh debitor yang menikah, hanya dapat dilakukan atas persetujuan suami atau istrinya, kecuali tidak terdapat harta campuran bersama (Pasal 4 Ayat (1) dan (2) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU). Permohonan pernyataan pailit yang diajukan untuk kepentingan umum diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2000, tanggal 20 Maret 2000, dalam penjelasan Pasal 1 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah:

1) debitor melarikan diri;

2) debitor menggelapkan bagian harta kekayaan;

3) debitor mempunyai utang kepada BUMN atau Badan Usaha Milik lain yang menghimpun dana dari masyarakat;

4) debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpun dana masyarakat; 5) debitor tidak koperatif untuk menyelesaikan utang; dan

6) lain-lain menurut penilaian kejaksaan.

Setiap pemohon pernyataan pailit, baik yang diajukan oleh debitor sendiri maupun oleh pihak ketiga diluar debitor, harus diajukan melalui seseorang pengacara yang memiliki izin beracara di pengadilan (Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 2000: 17).

b. Pihak yang dapat diajukan pailit adalah:

1) orang dapat perorangan, baik laki-laki maupun perempuan yang telah menikah maupun belum menikah;

2) perserikatan-perserikatan dan perkumpulan-perkumpulan tidak berbadan hukum lainnya. Permohonan pailit terhadap suatu firma harus memuat nama dan tempat kediaman masing-masing;

3) perseroan-perseroan, perkumpulan-perkumpulan, koperasi maupun yayasan yang berbadan hukum; dan


(14)

4) harta peninggalan.

c. Pihak-pihak yang terkait dalam kepengurusan harta pailit adalah : 1) kurator

Menurut Pasal 15 Ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepalitan dan PKPU, dalam putusan pernyataan pailit harus diangkat kurator dan seorang hakim pengawas yang ditunjuk dari hakim pengadilan. Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.

2) hakim pengawas

Tugas dan kewenangan hakim pengawas berdasarkan Pasal 65 UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, hakim pengawas mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit.

3) panitia kreditor

Berdasarkan ketentuan Pasal 79 Ayat (1), dalam putusan pailit atau dengan penetapan kemudian pengadilan dapat membentuk panitia kreditor sementara terdiri dari 3 orang yang dipilih dari kreditor yang dikenal dengan maksud memberikan nasihat pada kurator.

3. Syarat dan Prosedur Permohonan Pailit

Syarat pailit diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.


(15)

Ada 3 syarat yang yang harus dipenuhi, antara lain: a. debitor mempunyai dua atau lebih kreditur;

b. adanya utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih; c. kedua hal di atas dapat dibuktikan secara sederhana.

Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Ketua Pengadilan. Selanjutnya panitera mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan, dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditanda tangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran. Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Pengadilan melakukan pemanggilan kepada debitor dan kreditor 7 (tujuh) hari sebelum sidang.

Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Sidang dapat ditunda jika memenuhi persyaratan, paling lambat sampai 25 (dua puluh lima) hari. Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk diyatakan pailit. Putusan pengadilan permohonan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan. Penyampaian salinan putusan kepada pihak yang berkepentingan 3 (tiga) hari setelah putusan pernyataan pailit diucapkan.


(16)

4. Akibat Hukum Pailit

Pernyataan pailit menimbulkan segala akibat baik bagi debitor, harta pailit, dan perjanjian yang dilakukan sebelum dan sesudah pailit. Akibat pernyataan pailit bagi debitor, adalah debitor kehilangan hak perdata untuk mengurus harta. Pembekuan hak ini diberlakukan terhitung sejak saat keputusan pernyataan pailit diucapkan. Hal ini juga berlaku bagi suami juga istri dari debitor pailit yang kawin dalam persatuan harta kekayaan. Harta kekayaan debitor merupakan harta yang harus digunakan untuk membayar utang-utang debitor terhadap para kreditornya sesuai dengan isi perjanjian. Kurator yang memegang hak tanggungan, hak gadai dan hak agunan atas kebendaan lainnya maka dapat mengeksekusinya. Akibat pailit bagi perjanjian yang dilakukan sebelum dan sesudah perjanjian, maka jika ada perjanjian timbal balik yang baru atau akan dilaksanakan maka debitor harus mendapat persetujuan dari kurator. Namun jika perjanjian timbal balik tersebut telah dilaksanakan maka debitor meminta kepastian kepada kurator akan kelanjutan perjanjian tersebut.

B. Aspek-Aspek Hukum dalam PKPU

1. Definisi PKPU

Upaya yang dapat dilakukan oleh debitor untuk menghindari pailit adalah dengan melakukan upaya yang disebut PKPU (Sutan Remy Sjahdeini, 2009: 328). Dasar hukum PKPU yaitu UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, yang diatur dalam Bab II dari Pasal 222 sampai dengan Pasal 298. Pengertian PKPU tidak dijelaskan dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepaillitan dan PKPU.


(17)

Menurut ketentuan Pasal 222 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU:

1. penundaan kewajiban pembayaran utang diajukan oleh debitor yang mempunyai lebih dari 1(satu) kreditor.

2. debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor.

3. kreditor yang memperkirakan bahwa debitor tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon agar kepada debitor diberi penundaan kewajiban pembayarab utang, untuk memungkinkan debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditornya.

PKPU adalah suatu masa yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan hakim niaga dimana dalam masa tersebut kepada pihak kreditor dan debitor diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran utangnya dengan memberikan rencana perdamaian seluruh atau sebagian utangnya termasuk bila perlu untuk merestruksasi utangnya tersebut (Munir Fuadi, 2005: 171). PKPU adalah merupakan pemberian kesempatan kepada debitor untuk melakukan restrukturisasi utang-utangnya, yang dapat meliputi pembayaran seluruh atau sebagian utangnya kepada kreditor konkuren (Sutan Remy Sjahdeini, 2009: 330).

2. Pihak-Pihak dalam PKPU

Pihak- pihak yang terdapat dalam PKPU adalah: a. debitor dan kreditor

Berdasarkan Pasal 222 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, pihak yang dapat mengajukan permohonan PKPU adalah debitor dan kredtor. Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan (Pasal 1 Ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU). Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau


(18)

undang-undang yang dapat ditagih dimuka pengadilan (Pasal 1 Ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU).

b. hakim pengawas

Berdasarkan ketentuan Pasal 225 Ayat (2) UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU menyatakan bahwa:

Dalam hal permohonan diajukan oleh debitor, pengadilan dalm waktu paling lambat 3 (tiga) hari sejak tanggal di daftarkannya surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 Ayat (1) harus mengabulkan permohonan PKPU sementara dan harus menunjuk seorang hakim pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih pengurus yang bersama dengan debitor mengurus harta debitor.

c. pengurus

Pengurus yang diangkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 255 Ayat (2) haruslah independen dan tidak memiliki benturan kepentingan dengan debitor maupun kreditor, hal tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 243 Ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU.

d. panitia kreditor

Berdasarkan ketentuan Pasal 80 Ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, setelah pencocokan utang selesai dilakukan, hakim pengawas wajib menawarkan kepada kreditor untuk membentuk panitia kreditor tetap.

e. advokat masing-masing pihak

Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, permohonan PKPU sebagimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 43, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 68, Pasal 161, Pasal 171, Pasal 2007, dan Pasal 212 harus diajukan oleh seorang advokat.


(19)

f. para ahli

Pada proses PKPU, dapat diangkat 1 (satu) atau lebih tenaga ahli untuk melakukan pemeriksaan dan penyusunan laporan tentang keadaan harta debitor dalam jangka waktu tertentu berikut perpanjangan yang telah oleh hakim pengawas. Laporan ahli tersebut harus memuat pendapat yang disertai dengan alasan yang lengkap tentang keadaan harta debitor (Pasal 238 Ayat (1) dan Ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU).

3. Syarat dan Prosedur PKPU

Syarat untuk mengajukan PKPU adalah debitor yang mempunyai lebih dari satu kreditor. Ada beberapa surat dan dokumen yang harus dipenuhi atau dilampirkan dalam mengajukan PKPU, yaitu;

a. surat permohonan bermaterai yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga Jakarta Pusat;

b. identitas debitor;

c. permohonan yang harus ditandatangani oleh pemohon dan advokatnya;

d. surat kuasa khusus dan penunjukkan kuasa kepada orangnya bukan kepada law firmnya;

e. izin pengacara/ kartu pengacara;

f. nama serta tempat tinggal atau kedudukan para kreditor konkuren disertai jumlah tagihannya masing-masing kepada debitor;

g. rencana pembukuan terakhir dari debitor;

h. rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditor konkuran (Rahayu Hartini, 2008: 196).

Prosedur pengajuan permohonan PKPU tidak jauh berbeda dengan prosedur pengajuan permohonan kepailitan. Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, PKPU dibagi menjadi dua tahap, yaitu PKPU Sementara dan PKPU Tetap. Permohonan PKPU diajukan kepada Pengadilan Niaga di daerah hukum tempat kedudukan debitor sebelum adanya putusan pernyataan


(20)

pailit. Apabila putusan pernyataan pailit sudah diucapkan oleh hakim, maka permohonan PKPU tidak dapat diajukan lagi. Permohonan PKPU dapat diajukan oleh debitor baik sebelum permohonan pailit diajukan ataupun setelah permohonan pailit diajukan (Sutan Remy Sjadeini, 2009: 338). Apabila permohonan pailit dan permohonan PKPU diperiksa pada saat yang bersamaan, maka permohonan PKPU harus diputuskan terlebih dahulu.

Permohonan PKPU diajukan kepada Pengadilan Niaga, selanjutnya hakim akan memberikan putusan. Permohonan diajukan oleh debitor, pengadilan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan PKPU tersebut harus mengabulkan PKPU sementara dan harus menunjuk seorang Hakim Pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih pengurus yang bersama dengan debitor mengurus harta debitor.

Pemohon PKPU adalah kreditor, pengadilan dalam waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan PKPU tersebut harus mengabulkan permohonan PKPU sementara dan harus menunjuk Hakim Pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih pengurus bersama dengan debitor mengurus harta debitor (Jono, 2008: 172).

PKPU sementara berlaku sejak PKPU sementara tersebut diucapkan dan berlangsung sampai dengan sidang yang akan diselenggarakan selanjutnya. Pengadilan Niaga melalui pengurus memanggil debitor dan kreditor untuk menghadap sidang yang diselenggarakan paling lama di hari ke-45 (empat puluh lima) setelah putusan PKPU. Pengurus segera mengumumkan putusan PKPU sementara dalam berita negara dan dalam 2 (dua) surat kabar yang ditunjuk oleh hakim pengawas dan dalam pengumuman tersebut memuat undangan untuk hadir dalam sidang yang akan datang yang merupakan rapat permusyawarahan hakim.


(21)

Jika dalam surat permohonan dilampirkan rencana perdamaian maka harus diumumkan juga dalam pengumuman tersebut, yang dilakukan dalam waktu paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sebelum tanggal sidang yang akan datang.

Pengadilan wajib mendengar debitor, hakim pengawas, pengurus dan kreditor yang hadir atau kuasanya yang ditunjuk surat kuasa tentang rencana perdamaian, pada saat sidang selanjutnya. Rencana perdamaian yang telah dilampirkan pada permohonan PKPU sementara dan telah disampaikan pada saat sidang sebelumnya, maka dilakukan pemungutan suara (voting). Jika kreditor belum

dapat memberikan suara atas rencana perdamaian, atas permintaan debitor kreditor harus menentukan menerima atau menolak PKPU tetap.

PKPU tetap yang telah disetujui tidak boleh melapaui waktu maksimal 270 (dua ratus tujuh puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan Pengadilan Niaga tentang PKPU. Persetujuan terhadap PKPU tetap beserta perpanjangannya ditetapkan oleh Pengadilan Niaga berdasarkan persetujuan lebih dari setengah kreditor konkuren yang haknya diakui yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari bagian yang diakui atau sementara diakui yang hadir, dan persetujuan kreditor dengan jaminan kebendaan. Selama dalam masa PKPU, setiap 3 (tiga) bulan sekali, pengurus wajib menyampaikan keadaan harta debitor dan laporan tersebut harus disediakan pula di kepaniteraan pengadilan niaga agar dapat dilihat oleh masyarakat secara cuma-cuma.

Kreditor konkuren dengan jaminan kebendaan tidak menyetujui PKPU tetap dan apabila telah melebihi 270 (dua ratus tujuh puluh) hari atau jumlah hari yang telah ditetapkan belum juga tercapai persetujuan terhadap rencana perdamaian, maka atas pemberitahuan oleh pengurus Pengadilan Niaga harus menyatakan bahwa debitor pailit (Munir Fuady, 2005: 199).


(22)

Pernyataan bahwa debitor telah pailit wajib diumumkan dalam surat kabar harian dalam dimana permohonan PKPU telah diumumkan. Terhadap pernyataan pailit tersebut, tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi ataupun peninjauan kembali. Apabila dalam PKPU telah ditolak perdamaian, dalam acara pailit tersebut tidak boleh diajukan perdamaian, hal tersebut berdasarkan Pasal 292 UU No. 3 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, dalam suatu putusan pernyataan pailit yang diputuskan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285, Pasal 286, atau Pasal 291, tidak dapat ditawarkan suatu perdamaian.

Debitor selama PKPU tanpa persetujuan pengurus tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau sebagaian hartanya. Konsekuensinya jika debitor melanggar ketentuan tersebut, pengurus berhak untuk melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk memastikan bahwa debitor tidak dirugikan karena tindakan debitor tersebut. Debitor tidak dapat dipaksa membayar utang dan semua tindakan eksekusi yang telah dimulai untuk memperoleh pelunasan utang selama berlangsungnya PKPU. PKPU tidak menghentikan perkara yang sudah diperiksa dan PKPU tidak menghalangi pihak manapun untuk mengajukan perkara baru. Berdasarkan Pasal 243 Ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, debitor tidak dapat menjadi penggugat ataupun tergugat dalam perkara mengenai hak dan kewajiban yang menyangkut harta kekayaan tanpa persetujuan pengurus.

PKPU yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Niaga dapat berakhir. Pihak yang dapat mengajukan permohonan pengakhiran PKPU adalah hakim pengawas, pengurus, dan satu atau lebih kreditor serta Pengadilan Niaga. Permohonan untuk


(23)

mengakhiri PKPU harus ditanda tangani oleh advokat yang bertindak berdasarkan surat kuasa khusus. Alasan untuk mengakhiri PKPU, yaitu;

a. debitor, selama waktu PKPU berrtindak dengan itikad buruk dalam melakukan pengurusan terhdap hartanya;

b. debitor telah merugikan atau telah mencoba merugikan kreditornya; c. debitor melakukan pelanggaran ketentuan Pasal 240 ayat (1);

d. debitor lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang diwajibkan kepadanya oleh pengadilan pada saat atau PKPU diberikan, atau lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang disyaratkan oleh pengurus demi kepentingan harta debitor; e. selama waktuu PKPU, keadaan harta debitor ternyata tidak lagi

memungkinkan dilanjutkannya PKPU; atau

f. keadaan debitor tidak dapat diharapkan untukk memenuhhi kewajiban terhadap kreditor pada waktunya (Sutan Remy Sjahdeini, 2009: 368).

4. Perdamaian dalam PKPU

Pengertian perdamaian menurut Pasal 1851 KUH Perdata, perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang. Perdamaian merupakan perjanjian antara debitor dengan para kreditor dimana debitor menawarkan pembayaran sebagian dari utangnya dengan syarat bahwa ia setelah melakukan pembayaran tersebut dibebaskan dari sisa utangnya, sehingga ia tidak mempunyai utang lagi (Rahayu Hartini, 2008: 175 ).

Perdamaian dapat dilakukan pada setiap tingkat, baik sebelum perkara itu digelar maupun sesudah digelar di persidangan. Pada prinsipnya Pasal 130 HIR mengenal dan menghendaki penyelesaian sengketa melalui cara damai. Berdasarkan Pasal 130 HIR yang berbunyi:

(1) Jika pada hari yang telah ditentukan kedua belah pihak datang menghadap, maka pengadilan negeri dengan perantaraan ketuanya berusaha mencapai perdamaian antara kedua belah pihak.

(2) Jika dapat dicapai perdamaian sedemikian, maka dibuatlah untuk itu suatu akta dalam sidang tersebut, dalam mana kedua pihak dihukum untuk mentaati isi


(24)

persetujuan yang telah dicapai itu, akta mana mempunyai kekuatan yang sama dan dilaksanakan dengan cara yang sama sebagai suatu putusan biasa.

(3) Tahap putusan sedemikian tidak dapat dimintakan banding.

(4) Jika dalam usaha untuk mencapai perdamaian tersebut diperlukan bantuan seorang juru bahasa, maka diikuti ketentuan-ketentuan dalam pasal berikut:

Suatu perdamaian yang telah disepakati oleh para pihak yang bersengketa harus memenuhi syarat-syarat formal putusan perdamaian agar mempunyai kekuatan hukum tetap. Syarat-syarat tersebut, yaitu:

a. persetujuan perdamaian mengakhiri perkara; b. persetuan perdamaian berbentuk tertulis;

c. pihak yang membuat persetujuan perdamaian adalah orang yang mempunyai kekuasaan; dan,

d. seluruh pihak yang terlibat dalam perkara ikut dalam persetuan perdamaian

Perdamaian dalam UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU terdapat dua macam. Pertama ialah perdamaian yang ditawarkan oleh debitor dalam rangka PKPU sebelum debitor dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. Kedua adalah perdamaian yang ditawarkan setelah debitor kepada para kreditornya setelah debitor dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. Berdasarkan permasalahan yang akan dibahas maka dalam bab ini akan dijelaskan mengenai perdamaian dalam rangka PKPU sebelum debitor dinyatakan pailit.

Perdamaian dalam rangka PKPU diatur dalam Bab III Bagian Kedua UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Pihak yang berhak mengajukan rencana perdamian pada waktu mengajukan PKPU adalah debitor. Hal tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 265 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, debitor berhak pada waktu mengajukan PKPU atau setelah itu


(25)

menawarkan suatu perdamaian kepada kreditor. Rencana perdamaian tersebut akan gugur demi hukum bila sebelum putusan PKPU mempunyai kekuatan hukum yang tetap, kemudian ada putusan yang mengakhiri PKPU.

Fungsi perdamaian dalam PKPU berbeda dengan fungsi perdamaian dalam kepailitan. Perdamaian dalam PKPU mempunyai fungsi yang lebih luas. Perdamaian dalam kepailitan hanya sebatas untuk menyelesaikan pemberesan dan pembagian harta pailit. Namun fungsi perdamaian dalam PKPU adalah penyelesaian pembayaran utang, termasuk persetujuan terhadap dilakukannya rekontruksi utang-utang debitor (Munir Fuady, 2005: 175).

Rencana perdamaian dalam rangka PKPU dapat diajukan pada saat-saat berikut ini;

1. bersamaan dengan diajukannya PKPU ;

2. setelah permohonan PKPU diajukan, namun rencana itu harus diajukan sebelum tanggal hari sidang;

3. setelah tanggal sidang, yaitu selama berlangsungnya PKPU sementara (Sutan Remi Sjahdeini, 2008: 376).

Rencana perdamaian disusun oleh debitor dan disampaikan kepada para kreditornya. Penilaian terhadap rencana perdamaian hanya dapat dilakukan oleh para kreditor. Pengadilan Niaga hanya memberikan pengesahan terhadap rencana perdamaian dan tidak berhak untuk menilai tentang rencana perdamaian. Rencana perdamaian disampaikan kepada panitera, selanjutnya hakim pengawas harus menentukan:

a. hari terakhir tagihan harus disampaikan kepada pengurus;

b. tanggal dan waktu rencana perdamaian yang diusulkan itu akan dibicarakan dan diputuskan dalam rapat kreditor yang dipimpin oleh hakim pengawas.

Tagihan-tagihan harus diajukan kepada pengurus dengan cara menyerahkan surat tagihan atau bukti tertulis lainnya yang menyebutkan sifat dan jumlah tagihan


(26)

disertai bukti yang mendukung salinan bukti tersebut. Tagihan-tagihan yang telah diajukan harus dibandingkan dengan catatan-catatan atau laporan-laporan yang dimiliki oleh debitor.

Apabila pengurus keberatan tentang suatu jumlah utang yang diajukan oleh para kreditor, maka harus diajukan perundingan kreditor yang bersangkutan dan kepada kreditor diminta untuk menyerahkan surat-surat yang belum diterima oleh pengurus dan meminta agar kreditor memperlihatkan semua catatan dan bukti yang asli (Sutan Remy Sjadeini, 2009: 390).

Tagihan-tagihan yang diajukan oleh kreditor harus dimasukkan dalam suatu daftar oleh pengurus, jika telah lewat jangka waktu maka dengan syarat paling lama 2 (dua) hari sebelum diadakannya sidang maka dapat dimasukkan dalam daftar. Namun bila tagihan tersebut dimasukkan telah lewat jangka waktu, maka tidak dapat dimasukkan dalam daftar tersebut. Rapat rencana perdamaian, baik pengurus maupun ahli apabila telah diangkat, harus secara tertulis menyampaikan laporan tentang rencana perdamaian yang ditawarkan. Pengurus juga berhak dalam rapat menarik kembali setiap pengakuan atau bantahan yang pernah dibuat. Debitor berhak memberikan keterangan mengenai rencana perdamaian dan membela diri serta berhak mengubah rencana perdamaian. Apabila terjadi perselisihan, maka hakim pengawas akan memberikan penetapan setelah pendapat rapat. Bantahan-bantahan atau pengakuan-pengakuan yang telah diadakan dalam rapat, harus dicatat dalam daftar piutang. Hakim pengawas kemudian menentukan apakah tagihan yang dibantah dapat diikut sertakan dalam pemungutan suara dan menentukan batasan jumlah suara yang dikeluarkan oleh kreditor.

Menurut ketentuan Pasal 281 Ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, rencana perdamaian dapat diterima berdasarkan:


(27)

a. persetujuan lebih dari ½ (satu perdua) jumlah kreditor konkuren yang haknya atau sementara diakui yang hadir pada rapat kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268, yang bersama-sama mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang diakui atauu sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut; dan

b. persetujuan lebih dari ½ ( satu perdua) jumlah kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau agunan atas kebendaan lain yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan dari kreditor tersebut atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut.

Jika rencana perdamaian diterima, hakim pengawas wajib menyampaikan laporan tertulis kepada pengadilan pada tanggal yang telah ditentukan untuk keperluan pengesahan perdamaian dan pada tanggal yang telah ditentukan tersebut pengurus serta kreditor dapat menyampaikan alasan yang menyebabkan ia menghendaki pengesahan ataupun penolakan perdamaian. Pengadilan dapat mengundurkan dan menetapkan sidang untuk mengesahkan perdamaian yang harus diselenggarakan paling lambat 14 (empat belas) hari setelah tanggal sidang tersebut dilaksanakan (Jono, 2008: 185). Perdamaian yang telah disahkan mengikat semua kreditor, kecuali kreditor yang tidak menyetujui rencana perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 281 Ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. PKPU tetap berakhir pada saat putusan tentang pengesahan perdamaian memperoleh kekuatan hukum tetap.

Rencana perdamaian ditolak, selanjutnya maka hakim pengawas wajib memberitahukan penolakan tersebut pada pengadilan dengan menyerahkan salinan perdamaian serta berita acara rapat. Pengadilan harus menyatakan debitor pailit setelah pengadilan menerima pemberitahuan penolakan dari hakim pengawas.


(28)

C. Pembatalan perdamaian

1. Pengertian Pembatalan Perdamaian

Makna pembatalan perjanjian terdapat dalam Pasal 1253 KUH Perdata, suatu perikatan adalah bersyarat ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut. Pembatalan perdamaian diatur dalam Pasal 1859 KUH Perdata yang menyatakan bahwa, namun itu suatu perdamaian dapat dibatalkan apabila telah terjadi kekhilafan mengenai orang dan pokok-pokok perselisihan. Ia dapat dibatalkan dalam segala hal dimana telah dilakukan penipuan atau paksaan.

2. Syarat dan Prosedur Pembatalan Perdamaian

Menurut ketentuan Pasal 1265 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa:

Suatu syarat adalah syarat yang bila dipenuhi, menghentikan perikatan dan membawa segala suatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perikatan, hanyalah ia mewajibkan kreditor mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksud telah terjadi.

Pembatalan perjanjian dapat dimintakan jika:

1. tidak telah terjadi kesepakatan bebas dari para pihak yang membuat perjanjian, baik karena telah terjadi kekhilafan, paksaan atau penipuan pada salah satu pihak dalam pernjanjian pada saat perjanjian itu dibuat;

2. salah satu pihak tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, dan atau tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan atau perbuatan hukum tertentu (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003: 32).


(29)

Syarat dan proses pembatalan perdamaian diatur dalam Pasal 291 Ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 dan Pasal 171 berlaku mutatis mutandis terhadap

pembatalan perdamaian. Mutatis mutandis memiliki arti perihal mengubah apa

yang perlu diubah, dengan penjelasan bahwa apa yang perlu diubah biasanya mengacu pada pernyataan sebelumnya yang telah dimengerti oleh pembaca (http://ivo.blogspot.com/2005/06/mutatis-mutandis.html diakses pada tanggal 12 April 2010). Menurut ketentuan Pasal 170 Ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, kreditor dapat menuntut pembatalan suatu perdamaian yang telah disahkan apabila debitor lalai memenuhi isi perdamaian tersebut.. Perdamaian dalam proses PKPU yang disetujui oleh para kreditor dan telah mendapatkan pengesahan oleh Pengadilan Niaga dapat dimintakan pembatalan oleh para kreditor, jika debitor tidak memenuhi isi perdamaian yang telah disepakati.

Menurut ketentuan Pasal 171 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, tuntutan pembatalan perdamaian wajib diajukan dan ditetapkan dengan cara yang sama, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12 dan Pasal 13 untuk permohonan pernyataan pailit. Permohonan pembatalan perdamaian harus diajukan oleh seorang advokat, kecuali dalam hal pemohon adalah Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, dan Menteri Keuangan. Pengadilan wajib memanggil debitor, dalam hal pemohon pembatalan perdamaian diajukan oleh kreditor, Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal atau Menteri Keuangan. Pemanggilan dilakukan oleh juru


(30)

sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang pemeriksaan pertama diselenggarakan.

Debitor wajib membuktikan perdamaian telah dipenuhi. Pengadilan berwenang memberikaan kelonggaran kepada debitor untuk memenuhi kewajibannya paling lama 30 (tiga puluh hari) setelah putusan pemberian kelonggaran, hal tersebut berdasarkan Pasal 170 Ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PPKPU. Permohonan pembatalan perdamaian harus dikabulkan jika terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan pembatalan perdamaian telah dipenuhi. Putusan pembatalan perdamaian harus diucapakan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah permohonan pembatalan perdamaian didaftarkan. Menurut ketentuan Pasal 291 Ayat (2) UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, dalam putusan pengadilan yang membatalkan perdamaian, debitor juga harus dinyatakan pailit. Putusan pembatalan perdamaian memerintahkan supaya kepailitan dibuka kembali, dengan pengangkatan seorang hakim pengawas, kurator dan anggota panitia kreditor, apabila dalam kepaillitan terdahulu ada suatu panitia seperti itu.

3. Akibat Hukum Pembatalan Perdamaian

Menurut ketentuan Pasal 172 Ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, dalam putusan pembatalan perdamian diperintahkan supaya kepailitan dibuka kembali, dengan pengangkatan seorang hakim pengawas, kurator, dan anggota panitia kreditor, apabila dalam kepailitan terdahulu sudah ada suatu paniitia seperti itu. Kepailitan dibuka kembali berlaku Pasal 17 Ayat (1), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, dan pasal-pasal dalam Bagian Kedua, Bagian Ketiga,


(31)

dan Bagian Keempat dalam Bab II undang-undang ini. Berdasarkan ketentuan Pasal 175 Ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, setelah kepailitan dibuka kembali, maka tidak dapat lagi ditawarkan perdamaian.dan kurator harus segera melakukan tindakan pemberesan terhadap harta paillit tersebut.

Menurut ketentuan Pasal 176 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, dalam hal kepailitan dibuka kembali, Harta pailit dibagi antara para kreditor dengan cara:

a. jika kreditor lama maupun kreditor baru belum mendapat pembayaran, hasil penguangan harta pailit dibagi di antara mereka secara pro rata;

b. jika telah dilakukan pembayaran sebagian kepada kreditor lama, kreditor lama dan kreditor baru berhak menerima pembayaran sesuai dengan persentase yang telah disepakati dalam perdamaian;

c. kreditor lama dan kreditor baru berhak memperoleh pembayaran secara pro rata atas sisa harta pailit setelah dikurangi pembayaran sebagaimana dimaksud pada huruf b sampai dipenuhinya seluruh piutang yang diakui;

d. kreditor lama yang telah memperoleh pembayaran tidak diwajibkan untuk mengembalikan pembayaran yang telah diterimanya.

D. Penyelesaian Perkara Kepailitan Melalui Pengadilan Niaga

1. Dasar Pembentukan

Penyempurnaan terhadap Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang kepailitan yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kepailitan merupakan tonggak pembentukan Pengadilan Niaga sebagai Pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum. Pengadilan Niaga yang pertama kali dibentuk adalah Pengadilan Niaga Jakarta Pusat (Jono, 2008: 172).


(32)

Dasar hukum pembentukan Pengadilan Niaga adalah:

a) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Kepailitan;

b) Bab Ketiga dari Pasal 280 sampai dengan Pasal 289 UU No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan yang sekarang telah direvisi menjadi UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;

c) UU No. 14 Tahun 1970 telah direvisi menjadi UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yang membagi Pengadilan menjadi 4 (empat) lingkugan peradilan yang tidak menutup kemungkinan diadakannya suatu pengkhususan dimasing-masing lingkungan peradilan termasuk Pengadilan Niaga dalam lingkup peradilan umum yaitu Pengadilan Negeri; dan

d) Keppres No. 97 Tahun 1999 tentang pembentukan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makasar, Medan, Semarang, dan Surabaya dengan daerah hukum masing-masing.

2. Kewenangan Pengadilan Niaga dalam Menyelesaikan Perkara Pailit

Pertimbangan dibentuknya pengadilan niaga adalah agar mekanisme penyelesaian perkara permohonan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, penyelesaiannya dapat dilakukan dengan cepat dan efektif. Keberadaan pengadilan niaga tidak menambah kuantitas lingkungan peradilan baru di Indonesia, hal tersebut secara tegas disebutkan dalam Perpu. Pengadilan Niaga hadir dan berada dalam lingkungan peradilan umum, akan tetapi secara substansial kehadiran Pengadilan Niaga jelas telah menggeser kompetensi absolut


(33)

maupun relatif dari pengadilan negeri atas perkara-perkara permohonan kepailitan dan penundaan kewajiban membayar utang.

Kompetensi adalah kewenangan mengadili perkara dari suatu pengadilan, diklasifikasikan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu;

a. Kompetensi relatif, yaitu kewenangan mengadili perkara dari suatu pengadilan berdasarkan pembagian daerah hukum (distribustion of authority). Untuk Pengadilan Negeri daerah hukumnya meliputi Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingakat II di tempat Pengadilan Negeri itu berada.

b. Kompetensi Absolut, yaitu kewenangan mengadili perkara dari suatu pengadilan berdasarkan pembagian wewenang atau pembagian tugas (attribution of authority). Untuk Pengadilan Negeri wewenangnya adalah mengadili perkara perdata dan pidana pada tingkat pertama (Abdulkadir Muhammad, 2000: 26-27).

Pengadilan Niaga memiliki kompetensi untuk memeriksa perkara-perkara tertentu yaitu:

1. perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang; dan

2. perkara-perkara lain di bidang perniagaan yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

Menurut ketentuan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU kewenangan mengadili Pengadilan Niaga secara umum terbagi atas dua kewenangan, yaitu:

a. Kewenangan Relatif

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, kewenangan (yuridiksi) relatif Pengadilan Niaga, sebagai berikut:

1) tempat kedudukan debitur;

2) tempat kedudukan hukum terakhir debitor, dalam hal debitor telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia;

3) tempat kedudukan hukum firma, apabila debitornya adalah persero suatu firma;


(34)

4) tempat kkedudukan hukum kantor debitor menjalankan profesi atau usahanya bila debitor tidak bertempat keddudukan dalam wilayah Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya di Republik Indonesia; dan

5) tempat kedudukan hhukum sebagaimana diatur alam anggaran dasarnya dalam hal debitor merupakan badan hukum.

b. Kewenangan Absolut

Kewenangan absolut Pengadilan Niaga diatur dalam Pasal 300 Ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, pengadilan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, selain memeriksa dan memutuskan permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang, berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan undang-undang. Hal ini berarti Pengadilan Niaga selain mempunyai kewenangan absolut untuk memeriksa setiap permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang, juga berwenang untuk memeriksa perkara lain yang ditetapkan dengan undang-undang. Salah satu contoh bidang perniagaan yang menjadi kewenangan Pengadilan Niaga adalah persoalan Hak Kekayaan Intelektual (Jono, 2007: 84).

Berdasarkan ketentuan Pasal 303 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, menyatakan bahwa:

Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak yang terikat perjanjian menurut klausula arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) undang-undang ini.


(35)

3. Isi Putusan Pengadilan Niaga Isi putusan memuat dua hal, yaitu:

a. memuat secara ringkas dan jelas pokok perkara, jawaban, pertimbangan hukum dan amar putusan.

1) dalil gugatan

dalil gugatan atau fundamentum petendi, dijelaskan secara singkat dasar hukum serta fakta yang menjadi dasar gugatan. Penerapan uraian dalil-dalil gugatan dalam putusan dibawah penyebutan identitas para pihak.

2) mencantumkan jawaban tergugat

uraian atau perumusan mengenai jawaban tergugat dalam putusan, ditempatkan dibawah ringkasan dalil gugatan. Dengan sistematis yang demikian terjadi kesinambungan susunan, rumusan, putusan, antara dalil gugatan dengan jawaban atau bantahan tergugat.

3) uraian singkat ringkasan dan lingkup pembuktian

uraian selanjutnya, deskripsi fakta dan alat bukti atau pembuktian yang ringkas dan lengkap. Dimulai dengan alat bukti atau pembuktian yang dilanjutkan penggugat dan dilanjutkan dengan pembuktian tergugat sebagai berikut:

a) alat bukti apa saja yang diajukan masing-masing pihak; dan

b) terpenuhi atau tidak syarat formal dan syarat meteril masing-masing alat bukti yang diajukan (M. Yahya Harahap, 2007: 807).

4) pertimbangan hukum

pertimbangan hukum merupakan jiwa dan intisari putusan. Pertimbangan berisi analisi, argumentasi, pendapat atau kesimpulan hukum dari hakim yang memeriksa perkara. Dalam pertimbangan dikemukakan analisis yang jelas berdasarkan undang-undang pembuktian:

a) apakah alat bukti yang diajukan penggugat dan tergugat memenuhi syarat formil dan materil;

b) alat bukti pihak mana yang mencapai batas minimal pembuktian; c) dalil gugatan apa saja dan dalil bantahan apa saja yang terbukti; dan

d) sejauh mana kekuatan pembuktian yang dimilki para pihak (M. Yahya Harahap, 2007: 810).

Selanjutnya, diikuti analisis hukum apa yang diterapkan menyelesaikan perkara tersebut. Bertitik tolak dari analisis itu, pertimbangan melakukan argumentasi yang objektif dan rasional. Pihak mana yang mampu membuktikan dalil gugatan atau dalil bantahan sesuai dengan ketentuan hukum yang diterapkan. Dari hasil argumentasi itulah hakim menjelaskan pendapatnya apa saja yang terbukti dan


(36)

yang tidak, dirumuskan menjadi kesimpulan hukum sebagai dasar landasan penyelesaian perkara yang akan dituangkan dalam diktum putusan.

5) ketentuan perundang-undangan

biasanya sudah baku menempatkan pokok masalah ini dalam putusan pada bagian memperhatikan, dengan demikian penetapannya dalam putusan setelah uraian pertimbangan.

6) amar putusan

amar putusan atau dictum putusan merupakan pernyataan (deklarasi) yang berkenaan dengan status dan hubungan antara para pihak dengan barang objek yang disengketakan dan juga berisi perintah atau pengghukuman atau codemantoir yang ditetapkan kepada pihak yang berpekara (M. Yahya Harahap, 2007: 811)

b. Mencantumkan biaya perkara

Hal lain yang mesti tercantum dalam formulasi putusan berkenaan dengan biaya perkara. Pencantumannya dalam putusan diatur dalam Pasal 184 Ayat (1) HIR, Pasal 187 RBG, selain putusan mencantumkan pokok perkara sebagaimana diuraikan diatas, juga mencantumkan tentang banyaknya biaya perkara. Bahkan dalam Pasal 183 Ayat (1) HIR, Pasal 194 RBG, hal itu pun yang telah ditegaskan, bahwa banyaknya biaya perkara yang dijatuhkan kepada salah satu pihak, harus disebut dalam putusan (M. Yahya Harahap, 2007: 816).

Berdasarkan ketentuan Pasal 8 Ayat (6) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU menyatakan bahwa;

Putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada Ayat (5) wajib memuat :

a. pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dan/ atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili; dan

b. pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota atau ketua majelis.

Berdasarkan Pasal 8 Ayat (7) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, menyatakan bahwa;

Putusan atas permohonan pernyataan pailit sebagaimana dimaksud pada Ayat (6) yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam persidangan terbuka untuk umum dan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum.


(37)

4. Upaya Hukum

Tujuan utama dalam suatu proses di muka pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, setiap putusan yang dijatuhkan oleh hakim belum tentu dapat menjamin kebenaran secara yuridis, karena putusan itu tidak lepas dari kekeliruan dan kekilafan, bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Agar kekeliruan dan kekilafan itu dapat diperbaiki, maka demi tegaknya kebenaran dan keadilan, terhadap putusan Hakim itu dimungkinkan untuk diperiksa ulang. Cara yang tepat untuk dapat mewujudkan kebenaran dan keadilan itu adalah dengan melaksanakan upaya hukum (http://click-gtg.blogspot. com/ 2008/ 10/ upaya- hukum- dalam- kepailitan. Html diakses pada tanggal 8 februari 2010).

Terdapat dua cara dalam melakukan upaya hukum yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa pada azasnya terbuka untuk setiap putusan selama tenggang waktu yang ditentukan oleh UU. Upaya hukum ini bersifat menghentikan pelaksanaan putusan untuk sementara. Upaya hukum biasa terbagi menjadi 4 (empat) macam yaitu perlawanan, banding, prorogasi, dan kasasi. Sedangkan upaya hukum luar biasa terbagi menjadi 2 (dua) macam yaitu peninjauan kembali (PK) dan denderverzet (perlawanan pihak ke tiga).

Upaya hukum banding tidak dikenal dalam kepailitan, akan tetapi terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit, upaya hukum yang dapat dilakukan adalah Kasasi dan Peninjauan Kembali (PK).

a. Kasasi

Terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit dapat dilakukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung. Keputusan pengadilan ditingkat pertama Pengadilan Niaga tidak dapat diajukan upaya hukum banding tetapi langsung dapat dilakukan upaya Kasasi (Pasal 11 s/d Pasal 13 UU No. 37 Tahun 2004


(38)

tentang Kepailitan dan PKPU). Pihak-pihak yang dapat mengajukan upaya hukum, pada prinsipnya adalah sama dengan pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyaataan pailit, yaitu: debitor, kreditor, termasuk kreditur lain yang bukan pihak dalam persidangan tingkat pertama namun tidak puas atas putusan pernyatan pailit yang ditetapkan, Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dan Menteri Keuangan (Pasal 11 Ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU ).

b. Peninjauan Kembali (PK)

Terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dapat diajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung, hal tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 14 Ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Menurut ketentuan Pasal 14 Ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13 berlaku mutatis mutandis bagi peninjauan kembali.

Menurut ketentuan Pasal 295 Ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, terhadap putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.

Berdasarkan ketentuan Pasal 295 Ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, permohonan PK dapat diajukan apabila :

1. setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang pada waktu diperiksa di pengadilan sudah ada, tetapi belum ditemukan; atau


(39)

2. dalam putusan hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata.

Permohonan PK diajukan kepada Panitera Pengadilan, selanjutnya panitera Pengadilan menyampaikannya pada Panitera Mahkamah Agung. Mahkamah Agung segera memeriksa dan memberikan putusan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan diterima. Putusan permohonan PK harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Dalam jangka waktu paling lambat 32 (tiga puluh dua) hari setelah tanggal permohonan diterima Panitera Mahkamah Agung, Mahkamah Agung wajib menyampaikan kepada para pihak salinan putusan peninjauan kembali yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut, hal tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 298 Ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU.


(40)

Kerangka Pikir:

Ragaan I. Alur Kerangka Pikir Register Perkara Pailit

No: 12/ Pailit/ 2004/ PN. Niaga. Jkt. Pst Tentang Pailit

Putusan Pengadilan Niaga

No: 03/ PKPU/ 2004/ PN. Niaga. Jkt.Pst.Tentang Perdamaian Rencana Perdamaian dalam PKPU

Permohonan Pembatalan Perdamaian

Putusan Pengadilan Niaga

No: 01/ Pembatalan Perdamaian/ 2006/ PN. Niaga.Jkt.Pst. Tentang Pembatalan Perdamaian

Alasan permohonan

Dasar pertimbangan hukum hakim

Akibat hukum yang timbul Pengadilan Niaga

Wanprestasi


(41)

Keterangan:

Pengadilan Niaga adalah pengadilan yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara kepailitan, hal tersebut berdasarkan Pasal 300 Ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Salah satu kasus kepailitan yang telah diselesaikan oleh Pengadilan Niaga adalah Putusan Pengadilan Niaga No: 01/ Pembatalan Perdamaian/ 2006/ PN. Niaga. Jkt. Pst. Tentang Pembatalan Perdamaian Terhadap P.T. Goro Batara Sakti.

Kasus pembatalan perdamaian diawali adanya permohonan pailit yang diajukan oleh P.T. Bali Jeff Marketindo, P.T. Enseval Putera, dan P.T. Mulia Raya Agrijaya (para kreditor) kepada P.T. Goro Batara Sakti Sdr Abdul Haris (debitor). P.T.Goro Batara Sakti mempunyai utang sebesar Rp. 23.295.958.161,72 (dua puluh tiga milyar dua ratus sembilan puluh lima juta sembilan ratus lima puluh delapan ribu seratus enam puluh satu rupiah koma tujuh puluh dua sen) dari 321 (tiga ratus dua puluh satu) kreditor yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Namun sampai pada waktunya debitor tidak dapat membayar utang tersebut, sehingga pemohon mengajukan permohonan pailit tersebut kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Permohonan pailit tersebut diterima oleh Pengadilan Niaga dalam register perkara No: 12/ PAILIT/ 2004/ PN. NIAGA. JKT. PST., pada tanggal 25 Maret 2004.

Debitor mengajukan permohonan PKPU sebelum adanya putusan pailit, bersamaan dengan itu debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utangnya kepada kreditor. Rencana perdamaian tersebut diterima oleh 227 (dua ratus dua puluh tujuh) kreditor, yang


(42)

tidak setuju 0 (nol) dan absentia 1 (satu) dari 228 (dua ratus dua puluh delapan) kreditor yang hadir pada saat rapat kreditor. Melihat komposisi perhitungan suara tersebut, maka rencana perdamaian tersebut diterima. Perdamaian tersebut kemudian disahkan oleh Pengadilan Niaga No: 12/ PKPU/ 2004/ PN. NIAGA.JKT. PST. jo No: 03/ PKPU/ 2004/ PN. NIAGA.JKT. PST. Perjanjian perdamaian yang telah disepakati ternyata tidak dijalankan oleh pihak kreditor. Sehingga diajukan pembatalan perdamaian oleh Koperasi Karyawan (KOPRA) P.T. Goro Batara Sakti (Pemohon 1), P.D. Lingkar Sembada (Pemohon II), dan P.T. Madu Sumbawa Alami (Pemohon III).

Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini menganalisis Putusan Pengadilan Niaga No: 01/ Pembatalan Perdamaian/ 2006/ PN. NIAGA. JKT. PST tentang Pembatalan Perdamaian Terhadap P.T. Goro Batara Sakti, yang memuat tentang: a. alasan pemohon mengajukan pembatalan perdamaian;

b. dasar pertimbangan hukum dalam putusan pembatalan perdamaian; dan c. akibat hukum yang timbul dari putusan pembatalan perdamaian.


(43)

III. METODE PENELITIAN

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. Sistematis artinya menggunakan sistem tertentu, metodologis artinya menggunakan metode atau cara tertentu dan konsistensi berarti tidak ada hal yang bertentangan dalam kerangka tertentu (Abdulkadir Muhammad, 2004: 2). Penelitian sangat diperlukan untuk memperoleh data yang akurat sehingga dapat menjawab permasalahan sesuai dengan fakta atau data yang ada dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya

A. Jenis dan Tipe Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (normatif law research).

Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan, tetapi tidak mengkaji aspek terapan atau implementasinya (Abdulkadir Muhammad, 2004: 101-102).

Penelitian hukum ini akan mengkaji putusan Pengadilan Niaga No: 01/ Pembatalan Perdamaian/ 2006/ PN, NIAGA. JKT. PST tentang Pembatalan


(44)

Perdamaian. Terhadap P.T. Goro Batara Sakti dengan menggunakan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, dan UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas sebagai sumber hukum.

Tipe penelitian ini adalah penelitian hukum deskriptif. Penelitian hukum deskriptif yaitu penelitian yang bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) secara lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku ditempat tertentu, atau mengenai gejala yuridis yang ada, peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat (Abdulkadir Muhammad, 2004: 50).

Berdasarkan tipe deskriptif maka penelitian ini bertujuan memperoleh gambaran jelas, sistimatis, dan terinci mengenai proses penyelesaian permohonan pembatalan perdamaian berdasarkan putusan Pengadilan Niaga No: 01/ Pembatalan Perdamaian/ 2006/ PN. Niaga. Jkt. Pst. tentang Pembatalan Perdamaian Terhadap PT Goro Batara Sakti.

B. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah penelitian menggunakan pendekatan normatif-terapan (applied law approach) yaitu penerapan ketentuan normatif pada peristiwa hukum

dengan menggunakan tipe studi kasus hukum (judicial case study) (Abdulkadir

Muhammad, 2004: 201).

Tipe studi kasus putusan merupakan pendekatan studi kasus pada peristiwa hukum tertentu yang menimbulkan konflik kepentingan, namun tidak dapat


(45)

diselesaikan oleh pihak-pihak tetapi tetap melalui proses pengadilan melalui putusannya. Untuk itu, penelitian ini dilakukan dengan pendekatan penerapan ketentuan normatif (UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU) dalam praktik penyelesaian perkara pembatalan yang telah diputus oleh Pengadilan Niaga dalam putusan Pengadilan Niaga No: 01/ Pembatalan Perdamaian/ 2006/ PN. Niaga. Jkt. Pst. Tentang Pembatalan Perdamaian PT Goro Batara Sakti.

C. Data, Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yang berasal dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

1. Bahan hukum primer (primery law material)

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum (berupa peraturan perundang-undangan) atau mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak yang berkepentingan (berupa kontrak). Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

b. Undang-Undang No 37 Tahun 2004 Lembaran Negara RI Tahun 2004 No 131 Tambahan Lembaran Negara RI No 4443 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;

c. Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, d. Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.

e. Putusan Pengadilan Niaga No: 01/ Pembatalan Perdamaian/ 2006/ PN. Niaga. Jkt. Pst. Tentang Pembatalan Perdamaian P.T. Goro Batara Sakti.


(46)

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang terdiri dari literatur-literatur, buku-buku ilmu hukum, makalah, jurnal yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yang digunakan adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan tambahan atau dukungan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penelitian ini berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia, buku penelitian hukum, dan internet.

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Studi Pustaka

Data sekunder didapatkan dan dikumpulkan melalui studi pustaka dengan melakukan serangkaian kegiatan membaca, menelaah dan mengutip dari literatur maupun perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok bahasan yang diteliti.

2. Studi Dokumen

Studi dokumen dilakukan dengan cara membaca, menelaah serta mengkaji Putusan Pengadilan Niaga Nomor: 01/ Pembatalan Perdamaian/ 2006/ PN. Niaga. Jkt. Pst. Tentang Pembatalan Perdamaian PT Goro Batara Sakti, dan peraturan lainnya yang berkenaan dengan pokok bahasan.


(47)

D. Pengolahan Data dan Analisis Data

Setelah melakukan pengumpulan data yang dapat dipergunakan untuk menganalisis permasalahan yang diteliti, pengolahan data menggunakan metode-metode, sebagai berikut:

1. Seleksi data, yaitu memeriksa secara selektif data yang telah terkumpul untuk memenuhi kesesuaian data yang diperlukan dalam menjawab permasalahan dalam penelitian ini;

2. Klasifikasi data, yaitu data yang sudah diseleksi diklasifikasikan agar dapat digunakan sesuai dengan permasalahan sehingga diperoleh data yang benar– benar objektif;

3. Sistematisasi data, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data sesuai dengan permasalahann guna memudahkan pada saat melakukan analisis data (Abdulkadir Muhammad, 2004: 126).

Setelah data diolah dan disusun maka peneliti melakukan analisis data secara kualitatif, artinya dengan cara menyajikan dan menguraikan data dalam bentuk kalimat secara rinci dan sistematis. Kemudian dilakukan interpretasi data dengan menguraikan data yang telah tersusun sehingga memperoleh gambaran yang jelas mengenai permasalahan yang dibahas serta memudahkan dilakukan pembahasan dan diambil kesimpulan sebagai jawaban permasalahan.


(48)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Kasus yang dijadikan objek penelitian ini adalah pembatalan perdamaian yang telah diselesaikan dan diputus pada tingkat Pengadilan Niaga. Dengan demikian, penelitian ini akan mengkaji dan meneliti penyelesaian perkara yang telah dilakukan pada putusan tingkat Pengadilan Niaga, yang merupakan suatu upaya hukum terhadap putusan pengadilan mengenai perdamaian dalam PKPU yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde).

Kasus pembatalan perdamaian terhadap P.T. Goro Batara Sakti, berawal dari adanya adanya permohonan pailit yang diajukan oleh P.T. Bali Jeff Marketindo, P.T. Enseval Putera, dan P.T. Mulia Raya Agrijaya (para kreditor) kepada P.T. Goro Batara Sakti Sdr Abdul Haris (debitor). P.T. Goro Batara Sakti mempunyai utang sebesar Rp. 27.357.598.562,- (dua puluh tujuh milyar tiga ratus lima puluh tujuh juta lima ratus sembilan puluh delapan ribu lima ratus enam puluh dua rupiah) dari 562 (lima ratus enam puluh dua) kreditor yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Namun sampai pada waktunya debitor tidak dapat membayar utang tersebut, sehingga pemohon mengajukan permohonan pernyataan pailit tersebut kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Permohonan tersebut diterima oleh Pengadilan Niaga dalam register perkara No: 12/ PAILIT/ 2004/ PN. NIAGA. JKT. PST., pada tanggal 25 Maret 2004.


(49)

P.T. Goro Batara Sakti melakukan upaya hukum untuk menghindari putusan pailit, yaitu dengan cara mengajukan permohonan PKPU kepada Ketua Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Bersamaan dengan itu debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utangnya kepada para kreditor. Rencana perdamaian tersebut diterima oleh 227 (dua ratus dua puluh tujuh) kreditor, yang tidak setuju 0 (nol) dan absentia 1 (satu) dari 228 (dua ratus dua puluh delapan) kreditor yang hadir pada saat rapat kreditor. Melihat komposisi perhitungan suara tersebut, maka rencana perdamaian tersebut diterima. Perdamaian tersebut kemudian disahkan oleh Pengadilan Niaga No: 12/ PKPU/ 2004/ PN. NIAGA.JKT. PST. jo No: 03/ PKPU/ 2004/ PN. NIAGA.JKT. PST Putusan tersebut menggunakan UU No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, karena UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU belum berlaku.

Perjanjian perdamaian yang telah disepakati ternyata tidak dijalankan (wanprestasi) oleh pihak P.T. Goro Batara Sakti. Para kreditor mengajukan

pembatalan perdamaian tersebut. Permohonan pembatalan perdamaian tersebut kemudian diterima dan dikabulkan oleh Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan Niaga No: 01/ Pembatalan Perdamaian/ 2006/ PN, NIAGA. JKT. PST.tentang Pembatalan Perdamaian terhadap P.T. Goro Batara Sakti.

Pihak-pihak yang terdapat pada putusan Pengadilan Niaga No: 01/ Pembatalan Perdamaian/ 2006/ PN. Niaga. Jkt. Pst. tentang Pembatalan Perdamaian terhadap P.T. Goro Batara Sakti, adalah:


(50)

a. Pemohon pembatalan perdamaian

1). Koperasi Karyawan (KOPKAR) P.T. Goro Batara Sakti, yang beralamat di Jalan Perintis Kemerdekaan, Kelapa Gading Barat, Jakarta Utara, disebut Pemohon I;

2). P.D. Lingkar Sembada Pangan yang beralamat di jalan Tebet Barat II, Kelurahan Tebet Barat, Kecamatan Tebet Barat, Jakarta Selatan disebut Pemohon II;

3). P.T. Madu Sumbawa Alami, yang beralamat di jalan Bintara IV, No. 37 A Bekasi Barat 17134, disebut Pemohon III.

Ketiga pemohon telah memilih domisili hukum dikantor kuasanya, Kantor Hukum Soenyoto, SH & Rekan yang beralamat di jalan Balai Rakyat No. 11 Klender, Jakarta Timur. Berdasarkan Surat Kuasa Khusus masing-masing tertanggal 3 Mei 2006 dan tanggal 17 Mei 2006, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

b. Termohon Pembatalan Perdamaian

P.T. Goro Batara Sakti adalah perseroan yang bergerak dibidang perdagangan pada umumnya, agen indrustri, dan pengepakan, yang berkedudukan di jalan Perintis Kemerdekaan, Kelapa Gading Jakarta Utara untuk selanjutnya disebut sebagai termohon

Mengenai identitas para dari para pihak, sesuai dengan ketentuan Pasal 123 HIR atau 147 RBG Ayat (1) menentukan bahwa pihak-pihak jika dikehendaki dapat dibantu oleh kuasanya dengan dilengkapi surat kuasa, terkecuali jika pemberi kuasa terhadap sendiri. Pasal tersebut dapat diartikan bahwa para pihak tersebut


(51)

adalah pihak-pihak yang secara tegas berkepentingan terhadap perkara tersebut, untuk mewakili kepentingan mereka dalam perkara yang diwakili oleh kuasa hukum yang mereka tunjuk berdasarkan surat kuasa. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU menyatakan bahwa pemohon sebagai dimaksud dengan Pasal 6, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 43, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 68, Pasal 161, Pasal 171, Pasal 207, dan Pasal 212 harus diajukan pada advokat. Pengajuan pembatalan perdamaian hanya dapat dilakukan oleh kreditor, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 170 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yang menyatakan kreditor dapat menuntut pembatalan suatu perdamaian yang telah disyahkan oleh apabila debitor lalai memenuhi isi perdamaian tersebut.

A. Alasan Pemohon Mengajukan Permohonan Pembatalan Perdamaian

Berdasarkan kasus posisi yang telah diuraikan di atas, dan sesuai dengan rumusan permasalahan dalam penelitian ini, maka selanjutnya akan diuraikan lebih lanjut alasan pengajuan pembatalan perdamaian. Adapun yang menjadi alasan-alasan Termohon mengajukan pembatalan perdamaian kepada Pengadilan Niaga adalah: a. Bahwa Pemohon II adalah kreditor dari Termohon yang telah mengikuti verivikasi dalam proses kepailitan perkara No. 03/PKPU/ 2004/ PN. Niaga. Jkt.Pst. juncto No. 12/ PAILIT/ 2004/ PN. Niaga. Jkt. Pst., tertanggal 28 Juni 2004. Pemohon II memiliki piutang terhadap Termohon sebesar Rp. 47.477.176,- (empat puluh tujuh juta empat ratus tujuh puluh tujuh ribu seratus tujuh puluh enam rupiah). Berdasarkan putusan No. 03/PKPU/ 2004/ PN. Niaga. Jkt.Pst. jo No. 12/ PAILIT/ 2004/ PN. Niaga. Jkt. Pst tertanggal 28


(1)

Out line I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup C. Tujuan Penelitian

D. Kegunaan Penelitian II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Aspek-Aspek Hukum dalam Kepailitan 1. Definisi Kepailitan

2. Pihak-Pihak dalam Kepailitan

3. Syarat dan Prosedur Permohonan Pailit 4. Akibat Hukum Pailit

B. Aspek-Aspek Hukum dalam PKPU 1. Definisi PKPU

2. Pihak- Pihak dalam PKPU 3. Syarat dan Prosedur PKPU 4. Perdamaian dalam PKPU

C. Aspek- Aspek Hukum dalam Pembatalan perdamaian 1. Definisi Pembatalan Perdamaian

2. Syarat dan Prosedur Pembatalan Perdamaian 3. Akibat Hukum Pembatalan Perdamaian

D. Penyelesaian Perkara Kepailitan Melalui Pengadilan Niaga 1. Dasar Pembentukan

2. Kewenangan Pengadilan Dalam Menyelesaikan Perkara Pailit 3. Isi Putusan Pengadilan Niaga

4. Upaya Hukum Atas Putusan Pailit E. Kerangka Pikir

III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian B. Tipe Penelitian C. Pendekatan Masalah D. Data dan Sumber Data

E. Metode Pengumpulan Data dan Pengolahan Data F. Analisis Data

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Alasan Pemohon Mengajukan Pembatalan Perdamaian B. Dasar Pertimbangan Hukum Majelis Hakim

C. Akibat Hukum Yang Timbul Dari Putusan Pembatalan Perdamaian V. PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(2)

PERSEMBAHAN

Puji syukur kepada Allah SWT, atas berkat rahmat dan hidayah- NYA lah sehingga skripsi ini dapat terselesaikan, dengan ketulusan dan kerendahan hati

penulis persembahkan skripsi ini kepada:

Kedua orang tua penulis yaitu: Parman (Alm) dan Sugiyem

Yang dengan ikhlas mencurahkan waktu, tenaga, pikirannya serta keikhlasan di dalam doa untuk mendidik, membimbing, dan memberikan kasih sayang yang

tulus serta mengajarkan banyak hal untuk hidup penulis.

Saudara-saudara penulis Lilik Suparti, Wiji Nuryadin, Duwi Rahayu, Ronald Jaya Eki Anisa Putri, Willy Fahreza Putra, Rahmadani Regita Putri, serta Dhea Putri

Agraini yang selalu menjadi semangat dan motivasi.


(3)

RIWAYAT HIDUP

Anik Suparti Ningsih lahir di kota Bandar Lampung, 22 Agustus 1987, anak ke 2 (dua) dari 3 (tiga) bersaudara dari pasangan Bapak Parman (Alm) dan Ibu Sugiyem.

Pendidikan Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD Negeri 4 Kampung Sawah Lama Lampung Tahun 2000, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di SLTP Negeri 10 Lampung Tahun 2003, Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 4 Lampung Tahun 2006. Tahun 2006 terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung (FH UNILA) melalui jalur Penelusuran Kemampuan Akedemik dan Bakat (PKAB). Tahun 2009 menyelesaikan pendidikan Diploma Satu (D1) program Komputer Akuntansi di Lembaga Pelatihan Profesional Master Komputer. Tahun 2009 mengikuti Pelatihan Perbankan Syariah Program Dasar (Basic) di Universitas Bandar Lampung (UBL).

Selama menjadi mahasiswa, organisasi yang pernah diikuti antara lain: Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) periode Tahun 2007-2008 sebagai Sekretaris Komisi C dan Himpunan Mahasiswa (HIMA) Perdata sebagai anggota. Tahun 2009 mengikuti Praktek Kerja Lapangan Hukum (PKLH) program magang periode XIV tanggal 19 Januari-27 Februari 2009 di Bank Indonesia Cabang Bandar Lampung.


(4)

SANWACANA

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur kepada Allah SWT, karena rahmat-NYA penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul: ”Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Niaga No: 01/ Pembatalan Perdamaian/ 2006 Tentang pembatalan Perdamaian Terhadap P.T. Goro Batara Sakti”

Peraturan hukum kepailitan termasuk dalam hukum dagang meskipun tidak diatur dalam KUH Dagang. Peraturan kepailitan diatur dalam peraturan tersendiri yaitu Faillissements Verordening yang disingkat dengan FV (S. 1905-217 bsd. 1906-348) terdapat 279 pasal, terdiri dari 2 bab yaitu tentang kepailitan dan PKPU. Pada tanggal 22 April 1998, peraturan kepailitan tersebut kemudian disempurnakan melalui PERPU No. 1 Tahun 1998. Pada tahun 1997 terjadi krisis moneter di beberapa negara Asia termasuk Indonesia. Krisis moneter diawali dengan melemahnya nilai mata uang rupiah terhadap mata uang dolar AS. Hal itu mengakibatkan utang-utang pengusaha Indonesia menajdi membengkak dan mengakibatkan banyak debitor Indonesia yang tidak mampu membayar kewajibannya terhadap kreditor. Kondisi tersebut mengakibatkan para kreditor mulai mencari sarana-sarana yang dapat digunakan untuk menagih haknya. Hukum kepailitan yang berlaku pada saat itu yaitu Faillissements Verordening, peraturan tersebut dinilai tidak memberikan jaminan kepastian hukum pemenuhan


(5)

hak-hak kreditor. IMF sebagai lembaga yang memberikan utang kepada Pemerintah Indonesia berpendapat bahwa untuk menyelesaikan krisis moneter pemerintah Indonesia harus memenuhi utang kepada kreditor-kreditor luar negeri dan menyelesaikan kredit macet perbankan. IMF mendesak pemerintah Indonesia untuk segera mengganti dan mengubah peraturan kepailitan yang berlaku.

Pemerintah Indonesia dan DPR menganti dan mengubah peraturan kepailitan dengan PERPU No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang tentang Kepailitan. PERPU No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang tentang Kepailitan menjadi UU No. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Kepailitan yang telah disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 September 1998 yang tertuang dalam Lembar Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1998 No. 135. UU No. 4 Tahun 1998 bukan merupakan undang-undang yang baru melainkan hanya sekedar mengubah dan menambah undang-undang yang lama. Selannjutnya pada tahun 2004, pemerintah mengeluarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. UU tersebut merupakan perbaikan peraturan perundang-undangan sebelumnya.

Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan harta debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, hal tersebut berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Debitor dapat mengajukan permohonan PKPU ke Pengadilan Niaga, untuk menghindari putusan pailit. Debitor berhak pada waktu


(6)

PKPU atau setelah itu menawarkan suatu perdamaian kepada kreditor. Rencana perdamaian yang telah disetujui oleh para kreditor, harus mendapat pengesahan dari pengadilan agar berlaku secara hukum. Perdamaian yang telah mendapat pengesahan oleh Pengadilan Niaga, mengikat semua kreditor kecuali kreditor yang tidak menyetujui rencana perdamaian. Debitor yang lalai memenuhi isi perjanjian perdamaian, dapat dimohonkan pembatalan perdamaian ke Pengadilan Niaga.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang alasan pemohon mengajukan pembatalan perdamaian, dasar hukum pertimbangan hakim dan akibat hukum yang timbul dari Putusan Pengadilan Niaga No: 01/ Pembatalan Perdamaian/ 2006/ PN. Niaga. Jkt. Pst. Tentang Pembatalan Perdamaian Terhadap P.T. Goro Batara Sakti.

Penulis menyadari bahwa dalam penelitian skripsi ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Hal tersebut dikarenakan oleh keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki peneliti, sehingga berbagai saran dan kritik yang bersifat membangun, sangat diperlukan demi perbaikan di masa yang akan datang.

Wassalamu’alaikum. Wr. Wb Bandar Lampung,

Penulis