ANALISIS PEMBATALAN PERKAWINAN DALAM PUTUSAN NO: 1597/Pdt.G/2008/PA.Kdl

Helen Selvyana Sigalingging

ABSTRAK

ANALISIS PEMBATALAN PERKAWINAN
DALAM PUTUSAN NO: 1597/Pdt.G/2008/PA.Kdl

Oleh

HELEN SELVYANA SIGALINGGING

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 22 menentukan
bahwa “Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syaratsyarat untuk melangsungkan perkawinan” dan ditegaskan dalam Pasal 37
Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU
Perkawinan bahwa “Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh
Pengadilan”. Permasalahan yang ditelaah adalah mengenai alasan pembatalan
perkawinan dalam Putusan No: 1597/Pdt.G.2008/PA.Kdl, syarat dan prosedur
pembatalan perkawinan, dan mengenai akibat hukum dari suatu pembatalan
perkawinan.
Metode pendekatan normatif terapan dengan objek kajiannya meliputi ketentuanketentuan perundang-undangan bertujuan untuk memperoleh pemaparan
(deskripsi) secara lengkap, rinci, jelas dan sistematis tentang beberapa aspek yang

diteliti pada undang-undang penelitian yaitu deskriptif. Adapun metode
pengumpulan data dengan cara penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara
mencari dan mengumpulkan, serta meneliti bahan pustaka yang merupakan data
sekunder yang berhubungan. Analisis data yang digunakan analitis data kualitatif.
Dari hasil pembahasan diketahui bahwa alasan terjadi pembatalan perkawinan
karena telah terjadi pemalsuan identitas yang dilakukan oleh Termohon (pihak
laki-laki) agar dapat menikah dengan wanita lain (Pemohon). Termohon
sebenarnya masih berstatus sebagai suami dari seorang wanita dan isteri sahnya
tersebut sebenarnya masih hidup, tetapi mengaku sebagai duda ditinggal mati.

Helen Selvyana Sigalingging

Begitu diketahui bahwa Termohon ternyata masih memiliki isteri yang hidup,
maka Pemohon mengajukan permohonan pembatalan perkawinan karena merasa
telah ditipu dan dirugikan secara moril. Sehingga akhirnya permohonan
pemabatalan perkawinan tersebut dikabulkan oleh Pengadilan Agama Kendal
sebagai tempat yang berwenang menangani permohonan tersebut. Akibat
pembatalan perkawinan ini tidak berlaku surut terhadap anak yang dihasilkan
dalam perkawinan tersebut, tetapi dalam perkawinan ini Pemohon dan Termohon
tidak memiliki anak sehingga tidak ada permasalahan mengenai hak asuh di

dalamnya, sedangkan mengenai harta kekayaan juga tidak dipermasalahkan dalam
permohonan pembatalan perkawinan ini.
Kata Kunci : Perkawinan, Pembatalan Perkawinan, Penipuan, Identitas.

DAFTAR ISI
Halaman

ABSTRAK
JUDUL DALAM
HALAMAN PERSETUJUAN
HALAMAN PENGESAHAN
RIWAYAT HIDUP
PERSEMBAHAN
MOTTO
SANWACANA
DAFTAR ISI

I.

II.


PENDAHULUAN .........................................................................

1

A. Latar Belakang ..........................................................................

1

B. Rumusan Masalah dan Lingkup Penelitian ...............................

7

1. Masalah .................................................................................

7

2. Ruang Lingkup ......................................................................

7


C. Tujuan Penelitian .......................................................................

8

D. Kegunaan Penelitian..................................................................

8

TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................

10

A. Perkawinan................................................................................

10

1. Pengertian Perkawinan ..........................................................

10


2. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan .......................................

13

a. Rukun Perkawinan............................................................

13

b. Syarat-Syarat Perkawinan ..............................................

14

3. Dasar Perkawinan ................................................................

15

4. Pencatatan Perkawinan .........................................................

17


B. Penipuan Identitas .....................................................................

18

C. Pembatalan Perkawinan ............................................................

19

1. Pengertian Pembatalan Perkawinan ......................................

19

2. Alasan-Alasan Pembatalan Perkawinan ...............................

21

D. Pengadilan Agama ....................................................................

23


G. Kerangka Pikir...........................................................................

25

III. METODE PENELITIAN ............................................................

27

A. Jenis Penelitian ..........................................................................

27

B. Tipe Penelitian ...........................................................................

27

C. Pendekatan Masalah ..................................................................

28


D. Data Dan Sumber Data ..............................................................

29

E. Metode Pengumpulan ................................................................

30

F. Pengolahan Data ........................................................................

31

G. Analisis Data .............................................................................

31

HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................

32


IV.

A. Alasan Pembatalan Perkawinan dalam Putusan

V.

No:1597/Pdt.G/2008/PA.Kdl ....................................................

32

B. Syarat dan Prosedur Permohonan Pembatalan Perkawinan .....

43

1. Syarat Permohonan Pembatalan Perkawinan ......................

43

2. Prosedur Permohonan Pembatalan Perkawinan ..................


47

C. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan ...................................

55

KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................

61

A. Kesimpulan ...............................................................................

61

B. Saran..........................................................................................

62

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Perkawinan adalah sesuatu yang sakral
karena perkawinan merupakan masalah keagamaan, sehingga perkawinan harus
dilaksanakan dengan rangkaian upacara yang bersifat religius dan dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan dari para pihak yang
melangsungkan perkawinan tersebut. Hal ini seperti yang ditentukan dalam Pasal
2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya
disebut UU Perkawinan), juga sesuai dengan perumusan pada Pasal 29 ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945.

Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk
segera melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan,
baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk perzinaan.2 Pasal 2
Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) menentukan bahwa
perkawinan merupakan akad yang sangat kuat atau miitssaaqan gholidhan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan
1
2

Zainuddin Ali. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:Sinar Grafika. 2012. hal. 7
Ibid. hal. 7

2

ialah suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua
belah pihak dengan dasar sukarela dan keridhaan keduanya dalam rangka
mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa ketentraman
dan kasih sayang dengan cara yang diridai oleh Allah.3 Suatu perkawinan
dianggap sah apabila tidak keluar dari peraturan agama yang bersangkutan.4

Prinsip-prinsip hukum perkawinan yang bersumber dari Alquran dan Alhadis,
yang kemudian dituangkan dalam garis-garis hukum melalui UU Perkawinan dan
KHI mengandung 7 (tujuh) asas atau kaidah hukum, yaitu sebagai berikut:5
1. Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
Suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing
dapat mengembangkan kepribadiannya untuk mencapai kesejahteraan
spiritual dan material.
2. Asas keabsahan perkawinan didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan
bagi pihak yang melaksanakan perkawinan, dan harus dicatat oleh petugas
yang berwenang,
3. Asas monogami terbuka
Artinya, jika suami tidak mampu berlaku adil terhadap hak-hak istri bila
lebih dari seorang maka cukup seorang istri saja.
4. Asas calon suami dan calon istri telah matang jiwa raganya, agar
mewujudkan tujuan perkawinan secara baik dan mendapat keturunan yang
baik sehat, sehingga tidak berpikir kepada perceraian.
3

Abdulkadir Muhammad. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bhakti. 2000. hal

4

Wati Rahmi Ria. Hukum Islam Dan Islamologi. Bandar lampung: CV Sinar Sakti. 2011. hal 128
Zainuddin Ali. Op.Cit., hal.7

70
5

3

5. Asas mempersulit terjadinya perceraian.
6. Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri, baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat.
7. Asas pencatatan perkawinan
Pencatatan perkawinan mempermudah mengetahui manusia yang sudah
menikah atau melakukan ikatan perkawinan.

UU Perkawinan bertujuan mengatur pergaulan hidup yang sempurna, bahagia dan
kekal di dalam suatu rumah tangga guna terciptanya rasa kasih sayang dan saling
mencintai.6 Di samping itu, UU Perkawinan dan KHI juga mengatur mengenai
pembatalan perkawinan. Perkawinan dapat dibatalkan oleh Pengadilan apabila
para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.7
Ditegaskan juga dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 Tentang
Peraturan Pelaksanaan UU Perkawinan (selanjutnya disebut PP No. 9 tahun 1975)
bahwa “Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan”.
Dalam Pasal 28 ayat (1) UU Perkawinan, dijelaskan bahwa batalnya suatu
perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum
yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Dalam mengajukan
permohonan pembatalan pernikahan harus dilihat terlebih dahulu pihak mana
yang dapat mengajukan permohonan tersebut dan alasan-alasan sehingga
permohonan pembatalan perkawinan dapat diterima.

6

MR Martiman Prodjohamidjojo. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta:Indonesia Legal Center
Publishing. 2007. hal.1
7
Pasal 22 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974

4

Sesuai dengan undang-undang No. 1 Tahun 1974 prinsip perkawinan adalah
monogami. Asas monogami terbuka artinya, jika suami tidak mampu berlaku adil
terhadap hak-hak istri bila lebih dari seorang maka cukup seorang istri saja. Di
Indonesia, ketentuan tentang poligami ini diatur oleh UU Perkawinan khususnya
bab 1 Pasal 3 sampai dengan Pasal 5 dan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975
Bab VII Pasal 40 sampai dengan Pasal 44, yang mana kesemuanya itu mengacu
pada tujuan menjaga kehormatan wanita agar tidak terjadi adanya tindakan diluar
ketentuan hukum, dengan jelas ditentukan dalam pasal 3 UU Perkawinan bahwa
Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang istri, seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.8
Poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri
(sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan). Hal ini berlawanan dengan
praktik monogami yang hanya memiliki satu suami atau istri. Pada dasarnya
seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, begitupun isteri hanya boleh
memiliki seorang suami. Poligini adalah sistem perkawinan yang membolehkan
seorang pria memiliki beberapa wanita sebagai isterinya dalam waktu yang
bersamaan.9 Seorang suami yang beristri lebih dari seorang dapat diperbolehkan
bila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan Pengadilan Agama telah
memberi izin (Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan).

8
http://escampur-sari.blogspot.com/2012/06/makalah-poligami.html (diakses pada 29 Oktober 2013
pkl. 6:41 wib)
9
http://id.wikipedia.org/wiki/Pengertian_Poligini (diakses pada 11 Februari 2014 pukul 06.18 wib)

5

Dasar pemberian izin poligini oleh Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 4 ayat
(2) UU Perkawinan dan juga dalam Bab IX KHI Pasal 57 seperti dijelaskan
sebagai berikut:
a.Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b.Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Apabila diperhatikan alasan pemberian izin melakukan poligini di atas, dapat
dipahami bahwa alasannya mengacu kepada tujuan pokok pelaksanaan
perkawinan, yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal (istilah KHI
disebut sakinah, mawaddah, dan rahmah ) berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.10

Dijelaskan oleh Ibu Redoyati, S.H. selaku panitera muda di Pengadilan Agama
Kelas IA Tanjung Karang, karena undang-undang menetapkan berbagai
persyaratan yang tidak mudah untuk dipenuhi begitu saja, maka ada
kecenderungan di masyarakat untuk melakukan poligini dengan mengambil jalan
pintas dengan cara-cara yang dilarang, sehingga melanggar peraturan perundangundangan yang berlaku, yaitu secara diam-diam, tanpa sepengetahuan istri,
bahkan tanpa didaftarkan di pencatatan nikah, dan ada juga yang menggunakan
identitas palsu.

Setiap permohonan pembatalan perkawinan berbeda-beda masalahnya, antara lain
karena penipuan identitas, wali nikah yang tidak sah, menikah di bawah ancaman,

10
http://not4pay.blogspot.com/2013/05/makalah-poligami-alasan-syarat-dan.html (diakses pada 29
Oktober 2013 pkl. 6:57 wib)

6

dan hal-hal lainnya. Penipuan identitas yang terjadi dalam Putusan ini adalah
seorang pria yang menikahi seorang wanita dengan mengaku sebagai duda
ditinggal mati oleh isterinya yang terdahulu, padahal masih berstatus sebagai
suami yang terikat perkawinan dengan isteri sahnya yang masih hidup. Berarti
pria tersebut telah memalsukan identitasnya agar dapat melakukan perkawinan
dengan wanita lain, yang jelas hal ini melanggar ketentuan dalam Pasal 71 KHI
dan UU Perkawinan Pasal 27 ayat (2).11

Menurut Ibu Redoyati, S.H., penipuan identitas ini dapat merugikan pihak suami
maupun istri, sehingga perlu mengajukan permohonan pembatalan perkawinan ke
Pengadilan Agama, karena jelas bahwa pernikahan tersebut telah dilandasi oleh
kebohongan dan melanggar ketentuan dari UU Perkawinan dan KHI. Alasan
untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan pada saat ini sebenarnya
banyak terjadi di kalangan masyarakat, namun tidak semua orang mengajukan
permohonan pembatalan tersebut dengan pertimbangan tertentu. Pihak yang dapat
mengajukan pembatalan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas
dari suami dan isteri, suami atau isteri pejabat dan setiap orang yang mempunyai
kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut.12

Dalam putusan No. 1597/Pdt.G.2008/PA.Kdl tertulis bahwa seorang laki-laki
yang selanjutnya disebut sebagai suami memalsukan identitasnya sehingga
seorang wanita yang selanjutnya disebut sebagai istri mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan karena merasa telah tertipu, sehingga si istri tidak
berkeinginan lagi untuk melanjutkan perkawinan tersebut merasa telah dirugikan.
11

Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada
waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
12
Zainuddin Ali. Op.cit. hal.24

7

Dalam putusan tersebut dapat diketahui mengapa suatu perkawinan dapat
dibatalkan walaupun telah sah dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang telah ada.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian, dan menuliskannya dalam skripsi yang berjudul : “Analisis
Pembatalan Perkawinan Dalam Putusan No: 1597/Pdt.G/2008/PA. Kdl”.

B. Rumusan Masalah dan Lingkup Penelitian
1. Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya maka masalah yang
akan diteliti adalah:
Faktor apakah yang menjadi penyebab terjadinya Pembatalan Perkawinan dalam
Putusan No: 1597/Pdt.G/2008/PA.Kdl ?
Pokok bahasan pada penelitian ini adalah :
a.Alasan

pembatalan

perkawinan

dalam

kasus

putusan

No.

1597/Pdt.G.2008/PA.Kdl
b. Syarat dan prosedur pembatalan perkawinan
c. Akibat hukum pembatalan perkawinan

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penulisan skripsi ini dibatasi pada lingkup pembahasan dan
lingkup bidang ilmu. Lingkup pembahasan adalah analisis pembatalan
perkawinan dalam putusan no : 1597/Pdt.G/2008/PA.Kdl. Bidang ilmu adalah
kajian hukum perdata khususnya hukum kekeluargaan.

8

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan diatas, maka tujuan penulisan skripsi ini adalah:

1. Menganalisis alasan pembatalan perkawinan dalam kasus putusan No.
1597/Pdt.G.2008/PA.Kdl
2. Menganalisis syarat dan prosedur dalam mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan
3. Menganalisis akibat hukum pembatalan perkawinan.

D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu :
1. Kegunaan Teoritis
Secara teorotis penelitian ini adalah sebagai dasar pemikiran dalam upaya
mengembangkan teori-teori yang sesuai disiplin ilmu hukum, khususnya
hukum keluarga Islam dan untuk memberikan masukan dan sumbangan
pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan dibidang ilmu hukum,
khususnya ilmu hukum yang berkenaan dengan analisis pembatalan
perkawinan dalam putusan no : 1597/Pdt.G/2008/PA.Kdl.
2. Kegunaan Praktis
Secara praktis penelitian ini berguna untuk :
a. Sebagai upaya pengembangan wawasan keilmuan dan pengetahuan
penelitian di bidang ilmu hukum khususnya hukum keluarga.
b. Sebagai bahan literature bagi mahasiswa lanjut yang akan melakukan
penelitian mengenai hukum keluarga.

9

c. Sebagai salah satu syarat akademik bagi peneliti dalam menyelesaikan
studi pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

10

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
UU Perkawinan dalam Pasal 1 berbunyi “Perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dilihat dari tujuan perkawinan untuk membentuk
suatu keluarga yang kekal dan bahagia, keluarga merupakan kesatuan masyarakat
terkecil yang terdiri dari suami, isteri, dan anak yang berdiam dalam suatu tempat
tinggal. Dilihat dari pengertian tersebut, maka terdapat lima unsur didalamnya:1

1.

Ikatan lahir bathin.

2.

Antara seorang Pria seorang wanita.

3.

Sebagai suami-istri.

4.

Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal,

5.

Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.

Dalam KHI

Pasal 2 berbunyi “Perkawinan menurut Hukum Islam adalah

pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholidhan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Selanjutnya
1

http://bloghukumumum.blogspot.com/2010/04/pengertian-perkawinan-menurut-undang.html
(diakses pada 21 Juni 2013 pukul 19.15 wib)

11

Pasal 3 KHI menyatakan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Pada dasarnya hukum perkawinan adalah Mubah (boleh), tapi hukum mubah ini
dapat berubah tergantung dari situasi dan kondisi orang yang bersangkutan. Oleh
karena itu hukum perkawinan di kategorikan wajib, sunnat, makruh, mubah dan
juga haram.2

a. Hukum nikah menjadi Wajib, yaitu nikah bagi orang yang takut akan
terjerumus kedalam perbuatan zinah jika ia tidak menikah. Menikah
menjadi wajib apabila seseorang dari segi persyaratan jasmani dan rohani
mencukupi dan dari sudut jasmani telah sangat mendesak untuk menikah.
Karena dalam kondisi semacam ini menikah akan membantunya menjaga
diri dari hal-hal yang diharamkan.
b. Hukum nikah menjadi Sunnah, ketika seseorang telah memiliki syahwat
yang sangat tinggi dan ia tidak takut akan terjerumus keperbuatan zinah.
Jika menikah akan membawa maslahat serta kebaikan yang banyak baik
bagi laki-laki itu maupun bagi wanita yang dinikahinya. Jadi jika
seseorang dari segi jasmaninya telah wajar dan cenderung untuk menikah
serta biaya hidup telah ada maka sunnah baginya untuk melakukan
pernikahan. Kalau ia menikah maka dia akan mendapatkan pahala dan jika
tidak atau belum menikah maka dia juga tidak berdosa.
c. Hukum nikah menjadi Makruh,

yaitu bagi orang yang tidak mampu.

Kondisi seperti ini biasanya dialami oleh laki-laki yang impoten atau dia

2

Wati Rahmi Ria. Op.Cit. hal 130-131

12

telah berusia lanjut, karena hal ini bisa menghalangi tujuan untuk
meneruskan keturunan bagi wanita yang dinikahinya serta bisa
mengecewakannya. Jika seorang dari sudut jasmaninya telah wajar untuk
menikah walaupun belum sangat mendesak tetapi belum ada biaya untuk
hidup sehingga bila ia menikah hanya akan membawa kesengsaraan hidup
bagi istri dan anak-anaknya maka makruhlah baginya untuk melakukan
perkawinan. Jika ia menikah maka ia tidak akan berdosa dan tidak pula
akan mendapat pahala. Sedangkan jika ia tidak menikah berdasarkan pada
pertimbangan diatas maka ia akan mendapat pahala.
d. Hukum nikah menjadi Haram, bagi seorang muslim yang berada didaerah
orang

kafir

yang

sedang

memeranginya.

Karena

hal

itu

bisa

membahayakan isteri dan anak-anaknya. Selain itu pula orang-orang kafir
tersebut bisa mengalahkan dan menjadikannya dibawah kendali mereka.
Dalam kondisi seperti ini seorang isteri tidak bisa aman dari mereka.
Hukum nikah menjadi haram jika seorang laki-laki hendak menikahi
seorang wanita dengan maksud menganiaya atau memperolok-oloknya
maka haramlah bagi laki-laki untuk menikah dengan wanita tersebut.
Melakukan perkawinan dengan tujuan untuk melakukan balas dendam
juga hukumnya menjadi haram untuk dilakukan.3
Dari perkawinan akan timbul akibat hukum antara lain:4
1. tentang keabsahan anak/keturunan
2. tentang kewajiban orang tua terhadap anak

3
4

Martiman Prodjohamidjojo. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: PT Abadi. 2001. hal 1
Wati Rahmi Ria. Op.cit., hal 128

13

3. tentang kewajiban anak terhadap orang tua dan
4. tentang harta yang timbul dari perkawinan.

2. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan
a. Rukun Perkawinan
Untuk dapat melangsungkan perkawinan yang sah maka harus dipenuhi rukun dan
syarat perkawinan.
Rukun Perkawinan:5
1. Ada calon mempelai pengantin pria dan wanita
2. Ada wali pengantin perempuan
3. Ada dua orang saksi pria dewasa
4. Adanya Mahar
Mahar adalah sesuatu yang diserahkan oleh calon suami kepada calon isteri
dalam akad perkawinan sebagai lambang kecintaan calon suami terhadap
calon isterinya serta perlambang kesediaan calon isteri menjadi istrinya.
Unsur-unsur yang ada dalam mahar adalah sebagai berikut:
a. Mahar itu tidak ditentukan berapa jumlahnya
b. Harus berupa sesuatu yang halal
c. Harus mempunyai nilai guna dan manfaatnya
d. Bahwa mahar itu hukumnya sunnah disebutkan dalam akad perkawinan.
5. Adanya Ijab dan Kabul
Syarat Ijab :
1. Diucapkan lafaznya dengan jelas dan tegas
2. Diucapkan oleh walinya atau wakilnya
5

Wati Rahmi Ria. Op.cit. hal. 131-133

14

3. Ijab harus didengar oleh pihak-pihak yang bersangkutan baik
pengantinnya maupun saksi-saksinya
Syarat Kabul :
1. Dengan lafaz tertentu yang diucapkan secara tegas yang diambil dari
kata-kata nikahnya
2. Diucapkan oleh calon suami
3. Kabul tersebut harus didengar oleh yang bersangkutan atau para saksinya

b. Syarat-Syarat Perkawinan
Yang dimaksud dengan syarat sahnya perkawinan adalah sebagai berikut:6
1. Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan yang menentukan bahwa “Perkawinan
didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai” jadi dalam
melangsungkan suatu perkawinan bukan didasarkan atas unsur paksaan
siapapun dan harus dilakukan atas kehendak kedua calon mempelai.
2. Terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang
menentukan “Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur
19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam
belas) tahun”. Kedua calon mempelai yang akan melangsungkan akad nikah
harus mencapai usia yang diatur dalam Undang-Undang ini.
3. Pasal 6 ayat (2) disebutkan apabila calon suami atau calon isteri belum
berumur seperti yang dijelaskan dalam Pasal 7 ayat (1)

maka calon

mempelai yang akan melakukan perkawinan harus mendapatkan izin
terlebih dahulu dari orang tua ataupun walinya, karena mereka dianggap

6

Amnawaty dan Wati Rahmi Ria. Hukum dan Hukum Islam. Bandar Lampung:Penerbit Universitas
Lampung. 2008. hal. 83

15

belum dewasa secara hukum. Apabila izin dari kedua orang tua tidak
didapat maka kedua calon mempelai harus meminta izin kepada pengadilan.

Suatu perkawinan terdapat syarat-syarat yang harus dijalani atau dilakukan agar
perkawinan itu dapat dianggap sah baik secara agama maupun secara hukum
dalam catatan sipil. Rukun perkawinan tercantum dalam Bab IV Pasal 14 KHI,
sedangkan syarat perkawinan tercantum dalam Pasal 16 KHI. Dalam Pasal 16
KHI ayat (1) perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai, dalam ayat
(2) ditentukan bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa
pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga
berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan tegas, kemudian dalam Pasal
17 ayat (1) menyatakan sebelum berlangsungnya perkawinan, Pegawai Pencatat
Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua
orang saksi nikah.

3. Dasar Perkawinan
Dalam melangsungkan suatu perkawinan harus ada dasar-dasar yang mengatur
didalamnya.
a. Dalam Bab I Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menentukan bahwa perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.

b. Dalam Pasal 2 ayat (2) menentukan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

16

c. Dalam Pasal 3 ayat (2) menentukan bahwa pengadilan dapat memberi izin
kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki
oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

d. Dalam Pasal 4 ayat (1) menentukan bahwa dalam hal seorang suami akan
beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tesebut dalam pasal 3 ayat (2)
undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan
di daerah tempat tinggalnya.

Dasar Perkawinan dalam KHI ditentukan dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 10
KHI.
a. Dalam Bab II Pasal 3 KHI menyatakan bahwa Perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan
rahmah.

b. Dalam Pasal 4 menyatakan bahwa Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut Hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU
Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

c. Kemudian dalam Pasal 5 ayat (1) KHI menentukan bahwa agar terjamin
ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus
dicatat, lalu dijelaskan dalam Pasal 6 ayat (1) untuk memenuhi ketentuan
dalam Pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di
bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.

17

4. Pencatatan Perkawinan
a. Pencatatan Perkawinan dalam Perspektif UU Perkawinan:
Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan
(1) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku
b. Pencatatan Perkawinan Dalam Perspektif KHI, terdapat pada Pasal 5 ayat 1-2
sebagai berikut:
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap
perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai
Pencatat Nikah Sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22
Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
Kemudian juga dijelaskan pada Pasal 6 ayat 1-2 yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 5, setiap perkawinan harus
dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah”.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah
tidak mempunyai kekuatan Hukum
Aturan-aturan di dalam KHI ini tidak hanya berbicara pada tataran
administratif, namun lebih dari itu, sebagaimana tercantum pada Pasal 5 ayat 1,
yaitu agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam.
c. Pencatatan Perkawinan dalam perspektif PP Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 3:

18

(1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat ditempat perkawinan akan
dilangsungkan.
(2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
(3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan
sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati
Kepala Daerah.

B. Penipuan Identitas

Penipuan identitas itu sendiri menjadi salah satu alasan pembatalan dalam suatu
perkawinan. Jika salah satu dari suami atau isteri itu diketahui dan terbukti
melakukan penipuan identitas, maka berhak diajukan pembatalan perkawinan oleh
pihak yang merasa dirugikan. Seperti yang dijelaskan di dalam kompilasi hukum
Islam BAB XI yang menjelaskan mengenai pembatalan perkawinan.7 Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, penipuan berarti proses, perbuatan, cara menipu,
perkara menipu (mengecoh), sedangkan identitas adalah ciri-ciri atau keadaan
khusus seseorang; jati diri. Jadi, penipuan identitas adalah proses atau cara untuk
membuat ciri-ciri seseorang menjadi berbeda agar tidak diketahui keadaan yang
sebenarnya. Perbuatan pemalsuan dapat digolongkan dalam kelompok kejahatan ”
penipuan ” ; tidak semua penipuan apabila seseorang memberikan gambaran
tentang sesuatu gambaran atas barang seakan-akan asli atau benar, sedangkan
sesungguhnya atau kebenaran tersebut tidak dimilikinya, karena gambaran data ini
7

http://eprints.upnjatim.ac.id/3639/1/file1.pdf (diakses 25 Februari 2013 pukul 11.15 wib)

19

orang lain terperdaya dan mempercaya bahwa keadaan yang digambarkan atas
barang/surat/data tersebut adalah benar atau asli. Penipuan terhadap tulisan/data
terjadi apabila isinya atau datanya tidak benar. Pengertian identitas adalah tanda
pengenal/tanda asal usul seseorang.

C. Pembatalan Perkawinan
1. Pengertian Pembatalan Perkawinan
UU perkawinan mengatur tentang pembatalan perkawinan sebagaimana tercantum
dalam Pasal 138 sampai dengan Pasal 209 dan Pasal 2210 sampai dengan Pasal
2811.12 Pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami istri sesudah
dilangsungkan akad nikah. Oleh karena itu, akan dikaji mengenai langkahlangkah pembatalan setelah perkawinan selesai dilangsungkan, dan diketahui
adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi menurut Pasal 22 UU Perkawinan.13

8

Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan.
9
Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu
melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7
ayat (1), Pasal 8. Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undag-Undang ini meskupin tidak ada pencegahan
perkawinan.
10
Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan.
11
(1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan
hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsunya perkawinan.
(2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap :
a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
b. Suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan
perkawinan didasarkan adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
c. Orang-orang yang ketiga lainnya tidak termasuk dalam huruf a dan b sepanjang mereka memperoleh hakhak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
12
K. Wantjik Saleh. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1980. hal 29
13
Zainudin Ali. Op.cit. hal 37

20

Dalam Bab XI Pasal 70 KHI perkawinan batal apabila :

a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah
karena sudah mempunyai empat orang isteri, sekalipun salah satu dari keempat
isterinya itu dalam iddah talak raj’i;
b. seseorang menikah bekas isterinya yang telah dili’annya;
c. sesorang menikah bekas isterinya yang pernah menikah dengan pria lain
kemudian bercerai lagi ba’da al dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa
iddahnya;

d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah,
semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan,
menurut pasal 8 UU Perkawinan, yaitu:

1. berhubungan darah dalam garis lurus ke bawah atau ke atas;
2. berhubungan darah dalam garis lurus keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan
saudara neneknya.
3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah
tiri;
4. berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara
sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.
e. Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri atau
isteri-isterinya.

Istilah batalnya perkawinan dapat menimbulkan salah paham, karena terdapat
berbagai ragam tentang pengertian batal (nietig) tersebut. Batal berarti nietig

21

zonder kracht (tidak ada kekuatan) zonder waarde (tidak ada nilai). Dapat
dibatalkan berarti nietig verklaard, sedang ; absolut nietig adalah kebatalan
mutlak, berarti sejak semula tidak pernah terjadi perkawinan.14

Adanya kesan pembatalan perkawinan ini terjadi karena tidak berfungsinya
pengawasan baik dari pihak keluarga atau pejabat berwenang sehingga
perkawinan itu terlanjur terlaksana kendati setelah itu ditemukan pelanggaran
terhadap undang-undang perkawinan atau hukum munakahat. Jika ini terjadi maka
Pengadilan Agama dapat membatalkan perkawinan tersebut atas permohonan
pihak-pihak yang berkepentingan. Adapun pihak-pihak yang dapat mengajukan
pembatalan perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas
dari suami dan istri dan orang-orang yang memiliki kepentingan langsung
terhadap perkawinan tersebut.15

2. Alasan-Alasan Pembatalan Perkawinan
Undang-Undang Perkawinan menjelaskan bahwa perkawinan dapat dibatalkan
apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan. Ketentuan ini bukan berarti dengan sendirinya perkawinan yang tidak
memenuhi persyaratan tersebut batal, tetapi harus melalui prosedur pengadilan
dalam daerah hukum tempat perkawinan itu dilangsungkan atau di tempat tinggal
kedua suami istri, suami atau istri.16

14

Zainuddin Ali. Op.cit. hal.23
Martiman P. Op.Cit.,hal. 25
16
http://digilib.uin-suka.ac.id/1468/1/BAB%20I,%20BAB%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf
(diakses pada 10 Maret 2013 pukul 12.15 wib)
15

22

Dalam setiap melakukan suatu keputusan semua orang harus mampu menjelaskan
alasan-alasan ataupun sebab-sebab keputusan itu akan dijalani. Seperti halnya
dengan pembatalan perkawinan yang dibahas ini dimana suatu perkawinan ini
bisa berakhir atau batal dengan sebab/alasan salah satu pihak telah memalsukan
identitas (penipuan). Pembatalan dengan alasan seperti ini harus segera dilakukan
dan tidak boleh ditunda lagi karena telah merugikan pihak lain dan telah
melanggar ketentuan dalam UU Perkawinan N0. 1 tahun 1974 dan dalam KHI.
Adapun alasan-alasan pembatalan perkawinan yang terdapat didalam KHI Pasal
71 adalah sebagai berikut:
a. seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
b. perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri
pria lain yang mafqud;
c. perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain;
d. perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan
dalam pasal 7 UU Perkawinan;
e. perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak
berhak;
f. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

Penipuan identitas dalam suatu perkawinan berarti telah melakukan cara yang
menyalahi ketentuan hukum yang dapat membawa pada akibat dapat
dibatalkannya perkawinan itu. Perkawinan yang seperti itu jelas membawa
mudarat karena didasarkan pada penipuan identitas dengan maksud dapat
melakukan poligami tanpa melalui prosedur yang berlaku.

23

Para ahli hukum berpendapat bahwa tipe perkawinan hanya dapat dinyatakan
vernietigbaar (dapat dibatalkan), artinya bahwa perkawinan itu hanya dapat
dinyatakan batal sesudah keputusan hakim atas dasar-dasar yang diajukan oleh
penuntut yang ditunjuk undang-undang.17 Dalam peraturan perundang-undangan,
pembatalan perkawinan karena adanya penipuan, dalam hal ini memalsukan
identitas, hanya dibahas sebagai dasar hukum. Hal ini dapat diambil suatu
pengertian apabila ada suatu perkawinan tanpa adanya suatu persetujuan dari
pihak suami atau isteri yang masih dalam ikatan perkawinan yang sah dengan
yang bersangkutan, maka perkawinan tersebut dinyatakan cacat dan batal demi
hukum.

D. Pengadilan Agama
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009
Tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama yang dimaksud dengan peradilan Agama adalah peradilan bagi
orang-orang yang beragama Islam. Jadi, Peradilan Agama adalah proses
pemberian keadilan berdasarkan hukum agama Islam kepada orang-orang Islam
yang dilakukan di Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Sebagai
lembaga peradilan, peradilan agama dalam bentuknya yang sederhana berupa
tahkim, yaitu lembaga penyelesaian sengketa antara orang-orang Islam yang
dilakukan oleh para ahli agama, dan telah lama ada dalam masyarakat Indonesia
yakni sejak agama Islam datang ke Indonesia.

17

Hilman Hadikusuma. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut : Perundangan, Hukum Adat, Hukum
Agama. Bandung: CV Mandar Maju. 2007. hal 41

24

Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Agama memiliki tugas dan
wewenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang:18
a. perkawinan;
b. warta;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syari'ah.
Pengadilan Agama dibentuk melalui undang-undang dengan daerah hukum
meliputi wilayah Kota atau Kabupaten. Susunan Pengadilan Agama terdiri dari
Pimpinan (Ketua PA dan Wakil Ketua PA), Hakim Anggota, Panitera, Sekretaris,
dan Juru Sita.
Dalam suatu pengadilan pasti terdapat aturan tentang wewenang dan tugas dari
pengadilan itu sendiri. Yang mana pembagian tugas dan wewenang pengadilan itu
bertujuan untuk:
1. Agar terbina suatu pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang tertib antar masingmasing lingkungan.
2. Tidak saling berebut kewenangan.
18

Pasal 49 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

25

3. Masing-masing bergerak dan berfungsi sesuai dengan patokan batas yurisdiksi
yang ditentukan.
4. Memberi arah yang pasti bagi setiap anggota masyarakat pencari keadilan
untuk berperkara.

E. KERANGKA PIKIR
Suami

Isteri

Permohonan Pembatalan
Perkawinan

Putusan PA No:
1597/Pdt.G.2008/PA.Kdl

Alasan pembatalan
perkawinan

Syarat dan prosedur
dalam mengajukan
permohonan
pembatalan

Akibat hukum
pembatalan
perkawinan

perkawinan

Sepasang suami isteri menjalankan perkawinannya berdasarkan hukum dan
ketentuan agama Islam, tetapi salah satu pihak ternyata diketahui telah melakukan
penipuan identitas sehingga pihak lain merasa tertipu. Berdasarkan atas kejadian
tersebut salah satu pihak ingin melakukan pembatalan perkawinan dengan
berlandaskan pada UU Perkawinan Pasal 27 ayat (2) jo KHI Pasal 72 ayat (2)
yang pada dasarnya permasalahan pembatalan ini masuk kedalam kekuasaan

26

pengadilan agama yang harus diselesaikan dan diputus di pengadilan agama yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama.
Maka dalam menyelesaikan perkara ini seorang hakim melihat persoalan dan
sebab-sebab terjadinya penipuan tersebut. Setelah terlaksananya semua syarat dan
prosedur

permohonan

pembatalan

yang

dilakukan,

maka

Hakim

mempertimbangkan serta mengambil kesimpulan dari permasalahan permohonan
pembatalan tersebut dan menjelaskan dampak atau akibat hukum dari seseorang
yang melakukan penipuan identitas itu sendiri. Setelah seorang hakim
mempertimbangkan dengan memperhatikan pokok permasalahan maka Hakim
mengeluarkan putusan. Dari putusan tersebut akan diketahui apa akibat hukum
bagi pihak yang memalsukan identitas dan pihak yang mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan.

27

III. METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif terapan.
Penelitian hukum normatif terapan adalah penelitian hukum yang objek kajiannya
meliputi

ketentuan-ketentuan

perundang-undangan

(in

abstracto)

serta

penerapannya pada peristiwa hukum (in concreto).1
B. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian deskriptif.2 Tipe penelitian
deskriptif bertujuan untuk memperoleh pemaparan (deskripsi) secara lengkap,
rinci, jelas dan sistematis tentang beberapa aspek yang diteliti pada undangundang atau peraturan daerah atau naskah kontrak atau objek kajian lainnya.
Untuk itu pada penelitian ini akan diuraikan secara lengkap, rinci, jelas, dan
sistematis mengenai pembatalan perkawinan karena pemalsuan identitas di
pengadilan agama yang akan dteliti berdasarkan pada peraturan-peraturan yang
terkait.

1

Abdulkadir Muhammad. Hukum Dan Penelitian Hukum. Bandung: PT Aditya Bakti,
2004. hal 201
2

Ibid. hal 101-102

28

C. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah
melalui tahap-tahap yang telah ditentukan, sehingga mencapai tujuan penelitian.3
Pendekatan masalah dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan masalah
normatif terapan. Dalam pendekatan normatif terapan terdiri dari beberapa
langkah, antara lain:4
1. Identifikasi pokok bahasan dan subpokok bahasan berdasarkan rumusan
masalah;
2. Identifikasi ketentuan hukum normatif yang menjadi tolak ukur terapan
yang bersumber dari dan lebih sesuai dengan subpokok bahasan;
3. Penerapan ketentuan hukum normatif sebagai tolak ukur terapan pada
peristiwa hukum yang bersangkutan, yang menghasilkan prilaku yang sesuai
atau tidak sesuai.
Adapun yang menjadi pokok bahasan pada penelitian ini adalah analisis
pembatalan

perkawinan

dalam

putusan

no:1597/Pdt.G/2008/PA.Kdl.

Ketidaksesuaian dengan undang-undang tentang perkawinan dan KHI sehingga
dihasilkan putusan pembatalan perkawinan.

3
4

Ibid, hal 112
Ibid, hal 144

29

D. Data dan Sumber Data
Dalam penelitian hukum normatif terapan, data yang diperlukan adalah data
sekunder. Data sekunder dibedakan antara bahan hukum :5
1. Yang berasal dari hukum, yaitu perundang-undangan, dokumen hukum,
putusan pengadilan, laporan hukum dan catatan hukum.
2. Yang berasal dari ilmu pengetahuan hukum, yaitu ajaran atau doktrin hukum,
teori hukum, pendapat hukum, dan ulasan hukum.

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi pustaka bahan-bahan
hukum, jenis data sekunder yang dipergunakan dalam penulisan ini terdiri dari:
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang meliputi :
1. Bahan hukum primer terdiri dari :
a. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
b. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Agama
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama
d. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
a. Kompilasi Hukum Islam Instruksi Presiden Republik Indonesia No 1 Tahun
1991
f. Putusan Pengadilan Agama Nomor : 1597/Pdt.G/2008/PA.Kdl
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang mempelajari
penjelasan terhadap bahan hukum primer yang terdiri dari literatur-literatur,

5

Ibid. hal 121

30

buku-buku ilmu pengetahuan hukum yang berkaitan dengan perkawinan dan
pembatalan perkawinan.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan informasi, penjelasan,
terhadap bahan hukum primer dan sekunder yaitu kamus hukum, majalah atau
jurnal, internet, dan informasi lainnya yang mendukung penelitian ini.
E. Metode Pengumpulan Data
Merujuk pada pendekatan masalah dan sumber data yang diperlukan, maka
pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan:
1. Studi pustaka (Library Research)
Data sekunder didapatkan dan dikumpulkan melalui studi pustaka dengan
melakukan serangkaian kegiatan seperti membaca, meneliti dan mengutip dari
literature perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok bahasan.
2. Studi Dokumen
Mengkaji informasi tertulis mengenai hukum yang tidak dipublikasikan secara
umum, tetapi dapat diketahui oleh pihak tertentu. Pengkajian dan analisis
informasi tertulis mengenai hukum yang tidak dipublikasikan secara umum
berupa dokumen yang berkaitan dengan pokok bahasan penelitian ini adalah
analisis pembatalan perkawinan dalam putusan no:1597/Pdt.G/2008/PA.Kdl
3. Wawancara
Wawancara dilakukan secara langsung dengan pihak pengadilan agama, yaitu
Bapak Syamsudin selaku Hakim di Pengadilan Agama Kelas IA Tanjung

31

Karang dan Ibu Redoyati, S.H. selaku Panitera Muda di Pengadilan Agama
Kelas IA Tanjung Karang. Wawancara ini dilakukan sebagai data pendukung
dengan mengajukan pertanyaan secara lisan, maupun dengan menggunakan
pedoman pertanyaan secara tertulis.

F. Pengolahan Data
Setelah terkumpulnya data maka akan dilakukan pengolahan data sehingga data
tersebut dapat digunakan untuk menganalisis permasalahan yang diteliti.
Pengolahan data umumnya dilakukan dengan cara:6
1. Pemeriksaan data (editing), yaitu mengoreksi apakah data yang terkumpul
sudah cukup lengkap, sudah benar dan sudah sesuia/relevan dengan masalah.
2. Rekonstruksi data (reconstructing), yaitu menyusun ulang data secara teratur,
berurutan, logis sehingga mudah dipahami dan diinterprestasikan.
3. Sistematisasi data (sistematizing), yaitu menempatkan data berdasarkan
kerangka sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah.
G. Analisis Data
Analisis data dilakukan setelah selesainya pengahan data, sehingga data dapat
dianalisis secara kualitatif, yaitu menguraikan data secara bermutu dalam bentuk
kalimat yang tertatur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga
memudahkan dalam interprestasi data dan pemahaman hasil analisis.7

6
7

Ibid, hal 126
Ibid, hal 127

61

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan oleh penulis maka dapat diambil kesimpulan
dari masalah yang menjadi obyek penelitian yaitu :
1. Pada Pengadilan Agama Kendal dalam memutus perkara pembatalan
perkawinan Nomor : 1597/Pdt.G/2008/PA.Kdl. berdasarkan pada Pasal 72
ayat (2) menyatakan seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila dalam waktu berlangsungnya perkawinan
terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri. Penipuan
identitas dapat menyebabkan terjadinya suatu pembatalan perkawinan karena
pada dasarnya penipuan identitas merugikan pihak-pihak yang bersangkutan.
2. Syarat yang harus dipenuhi oleh Pemohon dalam mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan berdasarkan pada HIR/RBg (hukum acara perdata
yang berlaku bagi peradilan umum), Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
Tentang Pengadilan Agama dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Bab
VI tentang pembatalan perkawinan Pasal 38 ayat (2) menyatakan bahwa
tatacara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sessuai

62

dengan

tatacara

pengajuan

gugatan

perceraian.

Prosedur

pembatalan

perkawinan terdapat dua bagian yaitu prosedur perlengkapan administrasi dan
prosedur penyelesaian perkara pembatalan perkawinan di persidangan.
3.

Akibat

hukum

dari

pembatalan

perkawinan

pada

Putusan

Nomor

1597/Pdt.G/2008/PA.Kdl bagi pasangan suami isteri yaitu putusnya ikatan
pekawinan. Suami dan isteri yang telah dibatalkan perkawinannya tersebut
kembali pada statusnya terdahulu, seperti pada saat mereka belum melakukan
perkawinan tersebut.

B. Saran
Hendaknya kepada para pihak yang ingin melangsungkan pernikahan, sebaiknya
terlebih dahulu meneiti dan mengecek keadaan sesungguhnya atau identitas
sesungguhnya dari sesorang yang akan dinikahinya, baik itu pria maupun wanita.
Hal ini dibutuhkan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang dapat
merugikan pihak-pihak yang bersangkutan seperti yang terjadi dalam Putusan
Nomor 1597/Pdt.G/2008/PA.Kdl ini. Pengecekan identitas dapat dilakukan
terlebih dahulu kepada keluarga dekat hingga pejabat yang berwenang seperti
Kantor Urusan Agama (KUA).

DAFTAR PUSTAKA

Buku/Literatur

Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2012
Amnawaty dan Wati Rahmi Ria. Hukum Dan Hukum Islam. Bandar Lampung:
CV Sinar Sakti. 2007
Ashshofa Burhan. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2004
Hadikusuma, H. Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut : Perundangan,
Hukum Adat, Hukum Agama. Bandung: CV Mandar Maju. 2007
Hakim, Mr.S.A. Hukum Perkawinan. Jakarta: Hak Cipta Dipertahankan. 1974
Mardani. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syar’iyah.
Jakarta: Sinar Grafika. 2009
Muhammad Abdulkadir. Hukum Acara Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra
Aditya Bhakti. 2000
____________________. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya
Bhakti. 2000
____________________. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT Citra
Aditya Bhakti. 2004
Prodjohamidjojo Martiman. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: PT Abadi.
2001
Ria,Wati Rahmi. Hukum Islam dan Islamologi. Bandar lampung: CV Sinar Sakti.
2009
____________. Hukum Waris Islam. Bandar Lampung: Lembaga Penelitian
Universitas Lampung. 2009
Saleh, K. Wantjik. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1980

Supramono Gatot. Hukum Pembuktian Peradilan Agama. Bandung: Penerbit
alumni. 1993

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Agama
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang-

Kompilasi Hukum Islam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1Tahun
1991