The Analyze of Food and Consumption Access of The Households Beneficiary Program and non-Beneficiary Program of Community Development Program in Wilas and Sulangkit Village, Kotabaru Regency, Kalimantan Selatan
ANALISIS
AKSES
DAN
KONSUMSI
PANGAN
RUMAHTANGGA
PENERIMA
DAN
BUKAN
PENERIMA
PROGRAM
PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT
DI
DESA
WILAS
DAN
DESA
SULANGKIT,
KABUPATEN
KOTABARU,
KALIMANTAN
SELATAN
DESY LEO ARIESTA
DEPARTEMEN
GIZI
MASYARAKAT
FAKULTAS
EKOLOGI
MANUSIA
INSTITUT
PERTANIAN
BOGOR
(2)
ABSTRACT
DESY LEO ARIESTA. The Analyze of Food and Consumption Access of The
Households Beneficiary Program and non-Beneficiary Program of Community Development Program in Wilas and Sulangkit Village, Kotabaru Regency, Kalimantan Selatan. Under direction of YAYUK FARIDA BALIWATI.
The purpose of this study was to analyze the food and consumption acces of the households beneficiary and non-beneficiary of community development program in Desa Wilas and Desa Sulangkit, Kotabaru Regency, South Kalimantan. The study used cross sectional study design which include 46 households with purposive sampling. Desa Wilas is a program beneficiary and Desa Sulangkit is a non-beneficiary. The result showed that several programs that were done in Desa Wilas have been helping to increase food acces especially in social, physics, and economics. Social food acces component was dominated by the basic education periode (≤ 9 years) of husband and wife, as in the beneficiary village (81.8% and 91.3%) and in the non-beneficiary village (95.5% and 100%). All of the households (100%) in the beneficiary village have a high economy food acces while in the beneficiary households have a lower acces (91.3%). The whole food acces showed that the food access score increased if the education periode of husband and wife was longer and the economy acces was bigger. The average households food consumption is higher in beneficiary village (1280 kkal) than in non-beneficiary (1240 kkal). The households in beneficiary village (56.5%) had a higher good level (≥70%) of sufficiency energy than in the non-beneficiary village (47.8%). There were no differences of sufficient level of energy, the component, and the whole food acces between the two households (p>0.05). The periode of education of husband and wife and the whole food acces had possitive correlation (p<0.05) with sufficiency level of energy. Meanwhile there was no correlation between economy food acces and sufficiency level of energy (p>0.05).
(3)
RINGKASAN
DESY LEO ARIESTA. Analisis Akses dan Konsumsi Pangan Rumahtangga
Penerima dan Bukan Penerima Program Pemberdayaan Masyarakat di Desa Wilas dan Desa Sulangkit, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Dibawah bimbingan YAYUK FARIDA BALIWATI
Desa wilas merupakan salah satu desa prioritas pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin. Laporan Dompet Dhuafa Republika (2010) sebagai mitra perusahaan menunjukkan bahwa potensi pertanian, perikanan, dan perkebunan di Desa Wilas sangat tinggi. Tingginya potensi tersebut belum tentu menjamin baiknya status gizi penduduk. Ariesta et al (2011) mencatat bahwa sebanyak 45% balita di Desa Wilas memiliki status gizi (BB/U) kurang. Menurut kategori WHO persentase tersebut termasuk permasalahan gizi yang sangat tinggi. Oleh karena itu, penelitian ini penting dilakukan untuk mengkaji program pemberdayaan masyarakat perusahaan tersebut melalui konsep ketahanan pangan khususnya akses dan konsumsi pangan sebagai salah satu manifestasi status gizi yang baik.
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis akses dan konsumsi pangan rumahtangga penerima program yaitu Desa Wilas dan bukan penerima program yaitu Desa Sulangkit, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Tujuan khusus yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah 1) menganalisis program pemberdayaan masyarakat PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin di desa penerima program pemberdayaan masyarakat, 2) menganalisis akses pangan pada rumahtangga dikedua desa, 3) menganalisis tingkat kecukupan energi pada rumahtangga dikedua desa, dan 4) menganalisis hubungan antara akses pangan dengan tingkat kecukupan energi (TKE) rumahtangga dikedua desa.
Penelitian ini menggunakan disain cross sectional study yang
dilaksanakan di Desa Wilas dan Desa Sulangkit, Kecamatan Kelumpang Utara Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei-Juni 2012. Teknik penarikan contoh dilakukan secara purposif. Contoh yang dipilih untuk rumahtangga penerima program pemberdayaan masyarakat adalah rumahtangga di Desa Wilas yang mengikuti Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (PPEM) sebanyak 23 rumahtangga. Jumlah rumahtangga di Desa Sulangkit dipilih sampai mencapai 23 rumahtangga. Oleh karena itu, jumlah contoh yang dipilih sebanyak 46 rumahtangga.
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Microsoft Excel, Minitab 16 Statistical Software, dan SPSS 16.0 for windows. Statistika deskriptif digunakan untuk menunjukkan jumlah dan persentase komponen akses pangan rumahtangga dan TKE rumahtangga. Selanjutnya data dianalisis dengan uji
independent t-test. Akses pangan rumahtangga dibentuk dari komponen yang sudah ada dengan menggunakan Principal Component Analysis (PCA). Selain itu, Analisis regresi dummy juga dilakukan untuk mengetahui perbedaan akses pangan dikedua desa kaitannya dengan TKE. Selanjutnya, dilakukan uji korelasi
pearson antara komponen akses pangan dengan TKE rumahtangga.
Komitmen perusahaan lebih khusus ditetapkan dalam kebijakan mengenai visi dan misi tanggung jawab sosial perusahaan. Dokumen ini tertuang dalam memorandum Nomor 290/AI/VIII/2008. Program yang menjadi prioritas pada tahap kedua (2010-2013) adalah program bidang ekonomi. Berdasarkan
(4)
analisis potensi dampak, beberapa program yang dijalankan di Desa Wilas membantu meningkatkan akses dan konsumsi pangan rumahtangga.
Rata-rata lama pendidikan formal suami di desa program adalah 5.87±4.47 tahun lebih lama dibandingkan dengan di desa nonprogram selama 4.87 ± 3.00 tahun. Tingkat pendidikan suami didominasi oleh kategori dasar baik di desa program (82.6%) maupun desa nonprogram (95,7%). Rata-rata lama pendidikan formal yang dilalui istri di desa program adalah 4.91±3.68 dan 4.35±3.05 tahun di desa nonprogram. Lama pendidikan istri juga didominasi oleh kategori dasar baik di desa program (91.35%) maupun desa nonprogram (100%).
Rata-rata pengeluaran total per kapita pada desa program adalah Rp.581.109 lebih tinggi dibanding desa nonprogram yaitu Rp.492.164. Sebanyak 100% rumahtangga didesa nonprogram tergolong memiliki akses ekonomi yang tinggi, sedangkan rumahtangga di desa program memiliki tersebar pada akses ekonomi rendah (4.3%), sedang (4.3%), dan tinggi (91.3%).
Persamaan Akses pangan (y) = 0.661*X1std + 0.567*X2std + 0.491*X3 std menunjukkan bahwa akses pangan akan bernilai tinggi jika pendidikan suami dan istri (akses sosial) lebih lama serta pengeluaran total per kapita (akses ekonomi) lebih besar. Persamaan tersebut juga menunjukkan bahwa koefisien X1std merupakan koefisien tertinggi, artinya pendidikan suami memilki peran yang sangat besar terhadap peningkatan akses pangan. Rata-rata nilai keseluruhan akses pangan lebih tinggi di desa program (1.262) dibandingkan dengan desa nonprogram (0.635). Hal ini menunjukkan bahwa rumahtangga di desa program cenderung memiliki suami dan istri yang berpendidikan lebih lama serta pengeluaran total per kapita per bulan yang lebih tinggi.
Jumlah rata-rata konsumsi energi di desa nonprogram lebih rendah (1242 kkal) dibandingkan dengan rumahtangga desa program (1280 kkal). Konsumsi energi didominasi oleh kelompok padi-padian. Rumahtanga dengan persentase TKE cukup (≥70%) lebih tinggi di desa program (56.5%) dibandingkan dengan desa nonprogram (47.8%). Kategori TKE kurang (<70%) lebih tinggi desa nonprogram (52.2%) dibandingkan dengan desa program (43.5%).
Rumahtangga di desa program dengan TKE kurang didominasi oleh suami yang berpendidikan dasar (88.9%) dan rumahtangga dengan TKE cukup juga memiliki suami yang berpendidikan dasar (76.9%). Rumahtangga desa nonprogram dengan TKE kurang seluruhnya (100%) memiliki suami yang berpendidikan dasar dan rumahtangga dengan TKE cukup didominasi juga oleh suami yang berpendidikan dasar (90.9%). Rumahtangga desa program yang tergolong TKE kurang seluruhnya (100%) memiliki istri berpendidikan dasar, dan rumahtangga dengan TKE cukup juga didominasi oleh pendidikan dasar istri (84.6%). Adapun di desa nonprogram seluruh (100%) rumahtangga dengan TKE kurang dan cukup memiliki istri yang berpendidikan dasar.
Rumahtangga desa program yang memiliki akses ekonomi tinggi dan tergolong TKE kurang sebesar 90%, sedangkan rumahtangga yang memiliki akses ekonomi tinggi dengan TKE cukup sebesar 92.3%. Adapun semua rumahtangga desa nonprogram yang tergolong akses ekonomi tinggi tersebar pada TKE kurang dan cukup.
Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan (p>0.05) lama pendidikan suami, lama pendidikan istri, pengeluaran total per kapita per bulan, nilai akses pangan, dan tingkat kecukupan energi antara desa program dan desa nonprogram. Hasil uji korelasi pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara tingkat kecukupan energi dengan lama pendidikan suami (p<0.05, r=0.331), lama pendidikan istri (p<0.05, r=0.335), dan keseluruhan akses pangan (p<0.05, r=0.404).
(5)
ANALISIS
AKSES
DAN
KONSUMSI
PANGAN
RUMAHTANGGA
PENERIMA
DAN
BUKAN
PENERIMA
PROGRAM
PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT
DI
DESA
WILAS
DAN
DESA
SULANGKIT,
KABUPATEN
KOTABARU,
KALIMANTAN
SELATAN
DESY LEO ARIESTA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Mayor Ilmu Gizi
Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN
GIZI
MASYARAKAT
FAKULTAS
EKOLOGI
MANUSIA
INSTITUT
PERTANIAN
BOGOR
(6)
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Akses dan Konsumsi Pangan Rumahtangga Penerima dan Bukan Penerima Program Pemberdayaan Masyarakat di Desa Wilas dan Desa Sulangkit, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2012
Desy Leo Ariesta NIM I14080011
(7)
Judul : Analisis Akses dan Konsumsi Pangan Rumahtangga Penerima dan Bukan Penerima Program Pemberdayaan Masyarakat di Desa Wilas dan Desa Sulangkit, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan
Nama : Desy Leo Ariesta NIM : I14080011
Menyetujui:
Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS NIP. 19630312 198703 2 001
Mengetahui:
Ketua
Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001
Tanggal Lulus:
(8)
KATA
PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia- Nya dalam proses penyusunan skripsi penelitian yang berjudul “Analisis Akses
Pangan dan Tingkat Kecukupan Energi Rumahtangga Penerima dan Bukan
Penerima Program Pemberdayaan Masyarakat di Desa Wilas dan Desa
Sulangkit, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan”. Skripsi penelitian ini
merupakan prasyarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi Institut Pertanian Bogor.
Skripsi penelitian ini merupakan gambaran detail mengenai latar belakang, tujuan, manfaat, metode yang digunakan dalam penelitian, dan hasil analisis karakteristik pemberdayaan masyarakat yang dilakukan PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin, Kalimantan Selatan. Dua desa dipilih untuk membandingkan akses pangan dan tingkat kecukupan energi rumahtangga. Selain itu, data dianalisis menggunakan statistika deskriptif dan satistika analitik sehingga harapan akhirnya bisa dijadikan bahan penyempurnaan bagi program pemberdayaan masyarakat kedepannya.
Bogor, Desember 2012 Desy Leo Ariesta
(9)
UCAPAN
TERIMA
KASIH
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan karunia- Nya kepada peneliti dalam penyelesaian skripsi ini. Proses penyelesaian skripsi ini juga tidak terlepas dari berbagai pihak yang telah membantu. Oleh karena itu, penghargaan dan ucapan terima kasih peneliti sampaikan kepada:
1. Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS sebagai dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, motivasi, konsep berpikir mengenai topik penelitian dan rangsangan untuk berbuat lebih baik.
2. Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc sebagai pemandu seminar dan penguji skripsi yang telah banyak membantu dalam proses pengolahan dan analisis data.
3. Dr. Rimbawan sebagai dosen pembimbing akademik yang telah membantu mengarahkan dan memberi motivasi selama masa perkuliahan.
4. PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin, terutama Community Department
(Mas Tomi, Pak Syamsir, Pak Daus, Pak Rusdi, Mas Arif, OJT), yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas selama proses pengambilan data mulai dari keberangkatan hingga perjalanan pulang ke Bogor, serta “halabiuan” di pagi hari.
5. Mamah, uwa, kakak-kakak tercinta Teteh, A Dindin, A Nted, Teh Elis, Teh Aam, serta semua keponakan Neng, Bibil, Iki, Ninda yang telah memberikan penyegaran dan semangat selama proses penyelesaian skripsi ini.
6. Babulers dan semua anggota LAWALATA IPB atas kepercayaan dan
kekuatan persaudaraan.
7. Mirza Indra, sebagai guru semangat dan ikhlas.
8. Mufti Fathul Barri, yang telah sabar memberikan pengertian dan menjadi teman diskusi sehingga skripsi ini bisa peneliti mengerti dengan baik.
9. Abah Rimah, Mamah Rimah, dan Rahimah, yang telah banyak sekali membantu dalam pengambilan data, memberikan ilmu baru tentang budaya Suku Banjar dan halabiuannya.
10. Kepala Desa Wilas sekeluarga, Nurul sekeluarga, dan seluruh masyarakat Desa Wilas yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih atas bantuan, ridho, cerita,dan penerimaan di daerah Suku Banjar.
11. Syifa sekeluarga dan Pak Imin sekeluarga di Desa Sulangkit yang telah menemani mengambil data dimalam dan siang hari.
(10)
12. Kepala Desa Sulangkit dan seluruh masyarakat Desa Sulangkit baik yang menjadi responden atau tidak yang telah mengizinkan peneliti untuk berkunjung ke desa.
13. Diny Anggris Febriana, Ade Yuliany Pratiwi, Dewi Ayu Wulandari, Ayu Sekarwulan Oktarina Yustika, dan Yasmin Ramadhini yang telah memberikan warna kehidupan selama kuliah.
14. Asep Subarna, Nur Indah Fitria Ibrahim, Yulmiaris, Suci Latifah, dan teman- teman se-bimbingan skripsi
15. Seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Semoga Allah SWT membalas kebaikan dan memberikan kemuliaan bagi semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Amin.
Bogor, Desember 2012 Desy Leo Ariesta
(11)
RIWAYAT
HIDUP
Penulis merupakan anak terakhir dari lima bersaudara, puteri pasangan Dede Yuningsih dan Ahmad Apandi. Penulis lahir di Garut tanggal 22 Desember 1990. Pendidikan awal penulis diawali di SD Negeri Leles VI kemudian dilanjutkan ke SMP Negeri 1 LELES, Kabupaten Garut. Selanjutnya, penulis mengenyam pendidikan lanjutan di SMA AL-MA’SOEM, Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Penulis diterima sebagai mahasiswi mayor Ilmu Gizi melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2008.
Selama menjadi mahasiswi, penulis aktif dalam unit kegiatan mahasiswa (UKM) LAWALATA-IPB. Beberapa kegiatan yang pernah diikuti adalah Forum Indonesia Muda (FIM) Rescue tahun 2010 dan Youth For Climate Change (YFCC) tahun 2011. Pelatihan yang pernah diikuti penulis adalah Sertifikasi kesehatan dan keselamatan kerja (K3) - teknisi akses tali, pendidik lingkungan hidup, dan high rope access. Penulis juga memiliki pengalaman bekerja di Jejak Alam Outdoor Services, Fema Adventure Park, dan LATIN.
Beberapa prestasi yang pernah diraih penulis adalah sebagai penulis buku “Apotek Alam Bumi Dayak Kanayatn”, Poster Presentator dalam kegiatan INAFOR, peserta PKM-AI DIKTI, dan penerima beasiswa pemerintah Provinsi Jawa Barat satu siklus. Beberapa kegiatan yang pernah dilakukan penulis adalah Ekspedisi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Ekspedisi Puteri Leuser, Studi Etnofitomedika Suku Dayak Kanayatn, Pendakian beberapa gunung di Pulau Jawa, dan aktif sebagai bendahara LAWALATA IPB selama dua periode kepengurusan.
Pengalaman lapangan yang pernah penulis ikuti adalah uji efikasi keju nabati rendah lemak pada penderita hiperkolesterolemia, pelatihan pangan lokal beragam, bergizi, berimbang, aman, dan halal (3B-AH), internship dietetik di
rumah sakit, kuliah kerja profesi gizi masyarakat, kajian sosial budaya pangan pada suku dayak hindu budah bumi segandhu, dan pendidikan lingkungan hidup (PLH) anak-anak daerah aliran sungai (DAS) ciliwung.
(12)
DAFTAR
ISI
DAFTAR ISI... xi
DAFTAR TABEL... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN... xvi
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan... 2
Manfaat Penelitian... 3
TINJAUAN PUSTAKA... 4
Akses Pangan ... 4
Akses Sosial... 5
Akses Fisik ... 6
Akses Ekonomi ... 7
Konsumsi Pangan Rumahtangga ... 8
Tingkat Kecukupan Energi... 8
Metode Food Recall... 10
Pemberdayaan Masyarakat dan Community Sosial Responsibility (CSR)...11
KERANGKA PEMIKIRAN ... 14
METODE ... 16
Disain, Waktu, dan Lokasi Penelitian... 16
Teknik Penarikan Contoh ... 16
Jenis dan Cara Pengambilan Data ... 17
Pengolahan dan Analisis Data ... 18
Definisi Operasional ... 22
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24
Keadaan Umum Wilayah... 24
Gambaran Umum Desa Wilas ... 24
Gambaran Umum Desa Sulangkit... 24
Pekerjaan ... 25
Karakteristik Program Pemberdayaan Masyarakat ... 26
Kebijakan ... 26
Sumber Daya Manusia (SDM)... 27
(13)
Program... 31
Potensi Dampak Program Pemberdayaan Masyarakat terhadap Upaya Peningkatan Akses Pangan di Desa Wilas ... 33
Akses Pangan Rumahtangga ... 41
Akses Sosial... 41
Akses Ekonomi ... 44
Keseluruhan Akses Pangan ... 50
Konsumsi Pangan Rumahtangga ... 53
Hubungan Akses Pangan Rumahtangga Dengan Tingkat Kecukupan Energi ... 56
Akses Sosial... 56
Akses Ekonomi ... 58
Keseluruhan Akses Pangan ... 59
KESIMPULAN DAN SARAN ... 62
Kesimpulan ... 62
Saran... 62
DAFTAR PUSTAKA ... 64
(14)
DAFTAR
TABEL
1 Perbandingan evaluasi konvensional dengan evaluasi partisipatif ... .... 12
2 Jenis dan cara pengambilan data ... .... 17
3 Pengkategorian indikator variabel penelitian ... .... 22
4 Sebaran rumahtangga berdasarkan pekerjaan suami dan istri ... .... 25
5 Kebijakan visi dan misi tanggung jawab sosial perusahaan ... .... 26
6 Strategi prioritas tahunan Community Department tambang senakin ... .... 30
7 Lokasi desa penerima program pemberdayaan masyarakat ... .... 31
8 Program, sasaran, dan potensi dampak program yang dilaksanakan di Desa Wilas tahun 2011 ... .... 34
9 Statistik lama pendidikan suami di desa program dan nonprogram ... .... 41
10 Sebaran rumahtangga berdasarkan lama pendidikan suami ... .... 42
11 Statistik lama pendidikan istri di desa program dan nonprogram ... .... 43
12 Sebaran rumahtangga berdasarkan lama pendidikan istri ... .... 43
13 Sebaran rumahtangga berdasarkan jumlah anggota rumahtangga ... .... 45
14 Perbandingan pengeluaran total per kapita per bulan berdasarkan kelompok pengeluaran ... .... 46
15 Statistik pengeluaran total per kapita rumahtangga dalam satu bulan ... .... 49
16 Sebaran rumahtangga berdasarkan akses ekonomi pendekatan pengeluaran total per kapita per bulan ... .... 49
17 Hasil analisis PCA untuk akses pangan ... .... 51
18 Statistik skor akses pangan rumahtangga ... 52
19 Perbandingan konsumsi energi aktual contoh dengan konsumsi energi yang dianjurkan berdasarkan kelompok pangan per kapita per hari ... .... 53
20 Perbandingan rata-rata konsumsi, angka kecukupan gizi, dan tingkat kecukupan gizi rumahtangga desa program dan nonprogram ... .... 54
21 Sebaran rumahtangga berdasarkan tingkat kecukupan energi ... .... 55
22 Sebaran rumahtangga berdasarkan lama pendidikan suami dan tingkat kecukupan energi ... .... 56
23 Sebaran rumahtangga berdasarkan pendidikan istri dan tingkat kecukupan energi ... .... 57
24 Sebaran rumahtangga berdasarkan akses ekonomi dan tingkat kecukupan energi ... .... 58
25 Hasil uji independent t-test komponen akses pangan dan tingkat kecukupan energi rumahtangga desa program dan desa nonprogram ... .... 75
(15)
26 Skor komponen utama akses pangan rumahtangga di desa program dan desa nonprogram ... .... 75 27 Hasil regresi akses pangan dengan tingkat kecukupan energi ... .... 76 28 Hasil analisis korelasi pearson dengan akses pangan pada keseluruhan
(16)
DAFTAR
GAMBAR
1 Kerangka pemikiran akses dan konsumsi pangan rumahtangga penerima dan
bukan penerima program pemberdayaan masyarakat ... 15
2 Struktur organisasi Community Department Tambang Senakin ... 28
3 Komponen program pendidikan ... 35
4 Komponen program kesehatan ... 36
5 Tahapan program pemberdayaan ekonomi masyarakat ... 36
6 Komponen program ekonomi ... . 39
(17)
DAFTAR
LAMPIRAN
1 Contoh kuisioner penelitian ... 69 2 Hasil uji statistik contoh ... 76
(18)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ketahanan pangan menjadi isu sejak adanya World Food Conference pada tahun 1974. Oloyule et al (2009) dan Hariyadi (2008) mempunyai pendapat yang sama bahwa ruang lingkup ketahanan pangan saat ini tidak hanya ketersediaan pangan, akan tetapi adanya stabilitas pangan, akses terhadap pangan, dan pemanfaatan pangan. Perkembangan definisi ketahanan pangan ini disebut Maxwell (1996) telah mencapai sekitar 200 definisi yang berbeda. Akan tetapi, Indonesia memiliki definisi sendiri yang tertuang dalam UU Pangan Nomor 7 Tahun 1996 bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.
Pencapaian ketahanan pangan ini merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional karena pangan merupakan kebutuhan dasar yang tidak bisa digantikan dengan bahan lain. Rahayu (2007) menyatakan bahwa dalam pemenuhan hak dasar rakyat, pemerintah bisa bekerjasama salah satunya adalah dengan pihak swasta. Hal ini dikarenakan pihak swasta yang menjalankan bisnis ditengah masyarakat saat ini dituntut untuk melaksanakan pertanggungjawaban sosialnya atau disebut sebagai community social responsibility (CSR) terhadap daerah sekitar perusahaan.
PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin adalah salah satu perusahaan yang menjalankan tanggung jawab sosialnya dengan konsep pemberdayaan masyarakat. Millenium development goals (MDG’S) sebagai isu sentral saat ini dijadikan salah satu acuan oleh community department dalam melaksanakan programnya. Program pemberdayaan tersebut meliputi bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, sosial budaya, dan infrastruktur. Cakupan program ini tersebar di empat kecamatan yaitu Kelumpang Utara, Kelumpang Tengah, Pamukan Selatan, dan Sampanahan, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Namun, program pemberdayaan masyarakat diprioritaskan di desa-desa yang terkena dampak langsung aktifitas pertambangan atau disebut daerah ring satu.
Desa wilas merupakan salah satu desa prioritas pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat. Laporan Dompet Dhuafa Republika (2010) sebagai mitra perusahaan menunjukkan bahwa potensi pertanian, perikanan, dan perkebunan di Desa Wilas sangat tinggi. Tingginya potensi tersebut belum tentu menjamin baiknya status gizi penduduk. Ariesta et al (2011) mencatat bahwa
(19)
sebanyak 45% balita di Desa Wilas memiliki status gizi (BB/U) kurang. Menurut kategori WHO persentase tersebut termasuk permasalahan gizi yang sangat tinggi. Oleh karena itu, penelitian ini penting dilakukan untuk mengkaji program pemberdayaan masyarakat perusahaan tersebut melalui konsep ketahanan pangan khususnya akses dan konsumsi pangan sebagai salah satu manifestasi status gizi yang baik.
Pengkajian ini juga membutuhkan desa pembanding yang memiliki karakteristik sosial, ekonomi, dan ekosistem yang hampir sama dengan Desa Wilas. Desa Sulangkit merupakan desa yang memiliki kondisi sosial ekonomi dan kondisi alam yang hampir sama dengan Desa Wilas. Letak desa ini berdampingan dengan Desa Wilas. Jarak kedua desa tersebut sekitar empat kilometer. Desa Sulangkit adalah desa yang tidak menerima program pemberdayaan dari pihak manapun. Oleh karena itu, Desa Sulangkit dijadikan desa pembanding dalam menganalisis akses dan konsumsi pangan.
Tujuan
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis akses dan konsumsi pangan rumahtangga penerima dan bukan penerima program pemberdayaan masyarakat di Desa Wilas dan Desa Sulangkit, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis karakteristik program pemberdayaan masyarakat PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin di desa penerima program pemberdayaan masyarakat.
2. Menganalisis akses pangan pada rumahtangga di desa penerima dan bukan penerima program pemberdayaan masyarakat.
3. Menganalisis tingkat kecukupan energi pada rumahtangga di desa penerima dan bukan penerima program pemberdayaan masyarakat.
4. Menganalisis hubungan antara akses pangan dengan tingkat kecukupan energi rumahtangga di desa penerima dan bukan penerima program pemberdayaan masyarakat.
(20)
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam pengayaan ilmu pengetahuan dalam bidang pangan dan kesehatan bagi masyarakat desa lingkar tambang pada khususnya dan masyarakat lain pada umumnya. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan bahan penyempurnaan dan pengembangan program pemberdayaan masyarakat khususnya dalam pencapaian ketahanan pangan rumahtangga desa lingkar tambang.
(21)
TINJAUAN
PUSTAKA
Akses Pangan
Pada awalnya, konsep ketahanan pangan akan terjadi ketika pangan telah tersedia sehingga negara-negara didunia fokus pada ketersediaan pangan nasional dan internasional, keberlanjutan, dan pengimbangan fluktuasi harga. Berbagai studi di Afrika menunjukkan hal yang berbeda yaitu meskipun pangan telah tersedia, namun kondisi kelaparan tetap saja terjadi (De Wall dalam Maxwell et al 1992). Selain itu, De Waal menemukan pada tahun 1984 di Darfur orang-orang memilih kelaparan agar bisa mempertahankan aset mereka dan mata pencaharian untuk masa depan. Pada akhirnya, Amartya Sen (1981) dalam Maxwell (1996) menginisiasi perpindahan paradigma konsep ketahanan pangan menjadi akses pangan sebagai titik fokus. Selanjutnya teori ini disebut sebagai hak atas pangan (food entitlement). World Bank (1986) dalam Maxwell (1996) mendefinisikan ketahanan pangan yaitu akses bagi semua orang setiap waktu untuk mencukupi pangan untuk hidup aktif dan sehat.
Maxwell (1996) menyatakan bahwa peneliti dan praktisi pembangunan saat ini menyadari bahwa akses yang stabil dan ketersediaan pangan merupakan dua kata kunci ketahanan pangan rumahtangga. Rumahtangga akan mempunyai akses pangan yang stabil jika mereka dapat terus hidup artinya untuk memperoleh pangan (yang dibeli/produksi sendiri) tanpa merusak lingkungan. Akses yang stabil juga dipengaruhi oleh mekanisme lokal, informasi sosial yang menyangga rumahtangga dari kejutan-kejutan periodik. Jadi, indikator ketahanan pangan rumahtangga harus dapat mengukur perubahan hak atas pangan (Downing 1990 dalam Maxwell et al 1992).
Hak atas pangan meliputi seberapa banyak rumahtangga yang bisa mengakses pangan dari hasil produksi sendiri, pendapatan, berburu, dukungan masyarakat, aset, dan migrasi. Beberapa variabel sosial ekonomi berpengaruh terhadap akses pangan rumahtangga ini (Maxwell 1996). Akses pangan rumahtangga yang stabil akan dijelaskan oleh pengertiannya dalam menyediakan makanan (produksi, membeli, pemberian) dan mekanisme sosial yang menyangga rumahtangga dari kejutan-kejutan periodik agar dapat terus hidup sehat dan aktif. Departemen Pertanian (2008) mendefinisikan akses pangan sebagai kemampuan rumahtangga secara periodik memenuhi sejumlah pangan yang cukup melalui kombinasi cadangan pangan mereka sendiri dan
(22)
hasil dari rumah atau pekarangan sendiri, pembelian, barter, pemberian, pinjaman, dan bantuan pangan.
Departemen Pertanian (2008) mengklasifikasikan akses pangan kedalam tiga aspek yaitu fisik, ekonomi, dan sosial. Akses fisik meliputi ketersediaan (produksi, konsumsi normatif) dan distribusi berupa infrastruktur pendukung perolehan pangan. Akses ekonomi meliputi pendapatan, kerja dan, usaha. Akses sosial berupa jumlah penduduk yang tidak tamat SD.
Akses Sosial
Departemen Pertanian (2008) mendefinisikan akses pangan sosial sebagai kemampuan rumahtangga dalam memperoleh pangan yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan penduduk, bantuan sosial, budaya/kebiasaan makan, konflik sosial keamanan, dan lainnya. Tingkat pendidikan dijadikan sebagai indikator akses sosial dalam Departemen Pertanian (2008); Hildawati (2008); Agustiani (2012). Tingkat pendidikan di suatu wilayah pada umumnya akan mencerminkan keragaman mata pencaharian yang dijalani penduduk di wilayah tersebut (Sukandar dkk 2009). Hasil penelitian Sukandar dkk (2009) juga menyebutkan bahwa tingkat pendidikan suami peserta PNPM Mandiri adalah rendah.
Hasil penelitian Agustiani (2012) menyatakan bahwa meskipun tidak berbeda secara statistik, persentase keluarga yang memiliki akses pangan komponen tingkat pendidikan suami lebih tinggi pada kelompok penerima apabila dibandingkan dengan keluarga pada kelompok bukan penerima program desa mandiri pangan. Permatasari (2004) menemukan hal yang sama bahwa sebagian besar tingkat pendidikan kepala keluarga petani adalah rendah. Sunarti dkk (2009) juga menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa tingkat pendidikan formal istri dan suami yang bekerja sebagai penggarap dan buruh tani didominasi oleh lulusan Sekolah Dasar (SD) atau tidak tamat SD.
Hasil penelitian Permatasari (2004) menyatakan bahwa tingkat pendidikan ibu rumahtangga petani di Banten sebagian besar (62.9%) adalah sekolah dasar, hanya sebesar 2% ibu rumahtangga yang sampai pada pendidikan lanjut. Rahayu (2007) juga menyatakan bahwa tingkat pendidikan ibu rumahtangga petani di daerah sekitar perusahaan RAPP tergolong rendah (70.6%). Hasil penelitian Agustiani (2012) juga menyimpulkan bahwa tingkat pendidikan ibu rumah tangga di daerah pertanian didominasi oleh lulusan sekolah dasar.
(23)
Karsyono (2000) menyatakan bahwa tenaga kerja pertanian di wilayah pedesaan didominasi oleh tenaga kerja dengan tingkat pendidikan SD atau tidak tamat sekolah. Hal tersebut diduga menjadi penyebab rendahnya akses pangan. Behrman & Wolfe (1984) menyatakan bahwa akses pangan rumahtangga bergantung kepada pengambil keputusan yang salah satu karakteristiknya adalah pendidikan formal.
Nurlatifah (2011) menjelaskan dalam hasil penelitiannya bahwa tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap produktivitas dan output yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan. Peningkatan pendapatan selanjutnya akan menentukan akses untuk mendapatkan pangan. Cohen (1981) dalam Hardinsyah (2007) mengidentifikasi pola pengambilan keputusan pemilihan pangan dalam keluarga Indonesia adalah pola istri yang dominan. Behrman & Wolfe (1984) juga menyatakan bahwa akses pangan rumahtangga bergantung kepada pengambil keputusan yang salah satu karakteristiknya adalah pendidikan formal ibu atau istri.
Akses Fisik
Wilayah dikatakan akses pangannya tinggi apabila diwilayah/daerah tersebut terdapat pasar yang menjual bahan pangan pokok. Wilayah/daerah tersebut dikatakan memiliki akses pangan yang sedang apabila tidak memiliki pasar dalam wilayah/daerah tersebut, namun jarak terdekat wilayah/daerah tersebut dengan pasar pasar yang menjual bahan pangan pokok kurang dari dan atau sama dengan tiga kilometer. Adapun akses pangannya rendah apabila jarak terdekat dengan pasar lebih dari tiga kilometer (Departemen Pertanian 2008).
Contoh indikator akses fisik diantaranya persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai dan persentase rumah tangga tanpa akses listrik (Departemen Pertanian 2008), kondisi jalan atau sarana penghubung (Nurlatifah 2011). Contoh lainnya adalah ketersediaan bahan pangan di warung, kondisi jalan ke pasar, dan ada/tidak adanya pasar (Hildawati 2008).
Nurlatifah (2011) menyimpulkan dari hasil penelitiannya yaitu keberadaan pasar memberikan kemudahan bagi rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan pangan yang bergizi dan beragam. Hal ini sejalan dengan kesimpulan penelitian FAO (2010) dalam Nurlatifah (2011) bahwa pasar merupakan salah satu determinan pencapaian akses pangan yang selanjutnya akan meningkatkan ketahanan pangan.
(24)
Akses Ekonomi
Akses ekonomi dapat diukur dengan berbagai indikator yaitu sumberdaya keuangan atau pendapatan (Eicker & Breisinger 2012); pendapatan rumahtangga per kapita per bulan (Departemen Pertanian 2008); pengeluaran total per kapita per bulan (Hildawati 2008; Agustiani 2012). Moho dan Wagner (1981) dalam Hildawati (2008) menyatakan bahwa data pengeluaran dapat menggambarkan pola konsumsi keluarga dalam pengalokasian pendapatan yang biasanya relatif tetap. Pengeluaran pada keluarga yang berpendapatan rendah, biasanya akan lebih besar jumlahnya daripada pendapatan mereka. Oleh karena itu, data pengeluaran lebih mencerminkan pendapatan yang sebenarnya. Selain itu, Purwantini & Mewa (2008) menyatakan bahwa secara alamiah kuantitas pangan yang dibutuhkan seseorang akan mencapai titik jenuh sementara kebutuhan bukan pangan termasuk kualitas pangan yang tidak dibatasi dengan cara yang sama. Oleh karena itu, besar pendapatan yang dibelanjakan untuk pangan bisa dijadikan petunjuk kesejahteraan.
Sejalan dengan hal tersebut, Salvatore (2006) dalam Novita & Fardianah (2011) menuliskan sebuah hukum yang dikenal sebagai Hukum Engel bahwa bila selera tidak berbeda maka persentase pengeluaran untuk pangan akan menurun dengan meningkatnya pendapatan. Semakin rendah persentase pengeluaran untuk pangan terhadap total pengeluaran semakin membaik tingkat perekonomian penduduk. Sebaliknya, semakin besar pangsa pengeluaran pangan semakin kurang sejahtera rumahtangga yang bersangkutan.
Suhardjo (1989) menyatakan bahwa pengeluaran pangan rumahtangga dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu subsidi pangan oleh pemerintah, pangan yang dibagi-bagikan diantara anggota masyarakat pedesaan, jumlah dan ragam pangan yang dibeli, harga pangan di pasaran, persediaan pangan yang dapat diterima di pasaran, jumlah pendapatan yang dikeluarkan untuk pangan serta pendapatan rumahtangga. Keluarga yang memiliki cukup akses secara ekonomi dan pemenuhan kebutuhan pangan, pengetahuan gizi orang tua yang baik akan berpengaruh terhadap semakin baiknya keragaman konsumsi pangan anggota keluarganya (Hardinsyah 2007).
Pengeluaran total rata-rata per kapita per bulan Kalimantan selatan tahun 2011 adalah Rp.699.417, sedangkan pengeluaran untuk pangan adalah Rp. 373.301. Oluyole et al (2009) menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa ketahanan pangan rumahtangga meningkat seiring dengan meningkatnya
(25)
pendapatan rumahtangga. Novita & Fardianah (2011) mencatat dari hasil penelitiannya di Kalimantan Selatan bahwa tingginya pengeluaran rumahtangga petani padi sawah untuk pangan dibandingkan pengeluaran untuk bukan pangan menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan petani padi sawah harus terus ditingkatkan.
Konsumsi Pangan Rumahtangga
Hardinsyah & Briawan (1994) menjelaskan bahwa konsumsi pangan merupakan informasi tentang jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu. Pemilihan cara yang digunakan sangat ditentukan oleh satuan pengamatan (unit contoh), waktu, tenaga, dan dana yang tersedia. Ada dua pengertian mengenai penilaian konsumsi pangan yaitu pertama penilaian terhadap kandungan zat gizi dari makanan dan yang kedua membandingkan kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang dengan angka kecukupannya. Pemahaman kedua digunakan untuk mengetahui tingkat konsumsi zat gizi seseorang atau sekelompok orang. Untuk itu, penilaian konsumsi pangan biasanya dilakukan terhadap makanan yang dikonsumsi dengan satuan per orang per hari atau unit konsumen.
O’brien palce & Frankenberger (1988) dalam Maxwell et al (1992) menyatakan bahwa penilaian frekuensi pangan terkait dengan pengumpulan jumlah minimum makanan yang dikonsumsi fokus pada jumlah item makanan dibatasi pada kelompok pangan dan menanyakan frekuensi konsumsi makanan tersebut dibanding jumlah yang dikonsumsi. Informasi dikumpulkan dengan food
recall 24 jam. Rumahtanhga digolongkan kepada konsumsi pangan kurang dan cukup. Suhardjo (1989) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah cara penyimpanan bahan pangan, tersedianya bahan bakar, beban pekerjaan, cara penyimpangan pangan, dan kebiasaan makan tradisional seperti pola pembagian makanan kepada anggota-anggota keluarga.
Tingkat Kecukupan Energi
Konsumsi pangan sehari merupakan penjumlahan dari makan pagi, siang, malam dalam kurun waktu 24 jam. Jika lebih dari satu hari, maka konsumsi pangan per hari merupakan jumlah konsumsi pangan dibagi dengan jumlah hari survey. Satuannya gram per hari. Pada prinsipnya penilaian konsumsi individu dan keluarga sama. Konsumsi pangan keluarga merupakan penjumlahan dari konsumsi pangan masing-masing individu atau anggota
(26)
keluarga (Hardinsyah & Briawan 1994). Menurut BPS (2011) konsumsi kalori per kapita per hari Kalimantan Selatan di pedesaaan tahun 2011 adalah 2198 kilokalori.
Penilaian untuk mengetahui tingkat kecukupan energidilakukan dengan membandingkan antar konsumsi energi aktual dengan kecukupan energi yang dinyatakan dalam persen. Indikator Standar Pelayanan Masyarakat (SPM) membuat indikator konsumsi pangan ideal untuk energi adalah 2000 kilokalori. Latief et al (2000) dalam WNPG VII menggolongkan tingkat kecukupan energi dan protein menjadi kurang jika tingkat kecukupan gizi kurang dari 70% dan cukup jika tingkat kecukupan gizi lebih besar sama dengan 70%. Agustiani (2012) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa hasil uji beda independent t-test
menujukkan terdapat perbedaan yang signifikan (p<0,05) antara tingkat konsumsi energi dan protein pada kelompok penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan.
Alfitri (2002) menyimpulkan dari hasil penelitiannya di Kalimantan Selatan bahwa tingkat pendidikan ibu berhubungan positif dengan jumlah pangan yang dikonsumsi. Hickman et al (1993) dalam Hardinsyah (2007) menyatakan bahwa wanita terpelajar cenderung tertarik terhadap informasi dari media cetak khususnya majalah dan koran. Ibu dengan tingkat pendapatan dan pendidikan yang lebih tinggi mendapat paparan yang tinggi juga dari media cetak (BKKBN dan community system foundation dalam Hardinsyah 2007). Semakin tinggi pendidikan seseorang maka aksesnya terhadap media massa semakin tinggi yang juga berarti akses terhadap informasi yang berkaitan dengan gizi semakin tinggi (Hardinsyah 2007).
Hasil review Hardinsyah (2007) menyatakan bahwa para ibu dengan pendidikan lebih baik dapat memilih dan mengombinasikan beragam jenis pangan dengan harga yang tidak mahal. Selain itu, hasil analisis multivariat di negara berkembang termasuk Indonesia tingkat pendidikan ibu dianggap sebagai determinan penting dari asupan gizi atau pengelolaan gizi di tingkat rumahtangga (Behrman & wolfe 1987; Behrman et al 1988).
Atmarita (2004) menyatakan bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang untuk menyerap informasi dan mengimplementasikan dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Soekirman (2000) mengemukakan bahwa pada bagan penyebab kekurangan gizi oleh UNICEF 1998 tercantum bahwa meski
(27)
secara tidak langsung namun tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kekurangan gizi. Sudut sosial ekonomi memandang tingkat pendidikan ibu rumah tangga merupakan salah satu aspek yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga.
Apriadji (1986) dalam Madihah (2002) menyatakan bahwa orang yang memiliki pendidikan rendah belum tentu kurang mampu menyusun menu makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibanding orang yang berpendidikan lebih tinggi. Hal ini disebabkan keingintahuan seseorang mengenai gizi akan menambah pengetahuan gizinya. Akan tetapi, Omuemu et al (2012)
menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa rendahnya tingkat pendidikan, besarnya rumahtangga, rendahnya pendapatan mejadi faktor yang signifikan bagi terjadinya kerawanan pangan.
Purnamasari (2001) menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa pengeluaran pangan yang lebih besar memiliki tingkat kecukupan energi yang lebih tinggi. Beberapa hasil penelitian mengungkapkan bahwa semakin tinggi pendapatan atau pengeluaran total maka semakin tinggi kuantitas konsumsi pangan yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat kecukupan energi (Soekirman 2000; Baliwati & Retnanngsih 2004; Hildawati 2008; Agustiani 2012).
Aspek pendapatan tidak selalu mempengaruhi dalam pola konsumsi pangan tetapi aspek lain seperti kebiasaan makan dan pola hidup sederhana, pola pekerjaan petani yang tidak terlalu kompleks, dan konsep mengutamakan makan di rumah yang dimasak terlalu kuat (Purwantini 2008). Jumlah anggota rumahtangga berhubungan positif dan berpengaruh nyata terhadap konsumsi pangan yang pada akhirnya meningkatkan pengeluaran untuk pangan (Rochaeni & Lokollo 2005). Tingginya pendapatan per kapita disebabkan rata-rata jumlah anggota rumahtangga relatif lebih kecil (Swastika dkk 2006).
Metode Food Recall
Metode food recall salah satu metode untuk mengumpulkan data konsumsi pangan masyarakat. Widjajanti (2009) menyatakan bahwa metode
food recall memiliki presisi yang cukup tinggi bila dilakukan oleh orang yang ahli. Kelebihan dari metode ini adalah waktu pelaksanaan cepat, respon responden baik, akurasi tinggi, dan beban responden rendah. Sedangkan kekurangannya adalah mengandalakan ingatan dan hanya cocok untuk sebagian subjek (Widjajanti 2009).
(28)
Jangka waktu minimal yang dibutuhkan untuk recall konsumsi gizi adalah 24 jam dalam kondisi konsumsi pangan dari hari ke hari tidak beragam dan maksimal tujuh hari. Pengulangan recall dapat dilakukan untuk meningkatkan ketepatan data zat gizi yang diperoleh. Salah satu cara mengurangi bias/ketidaktepatan atau untuk meningkatkan validitas dan reliabilitas hasil konsumsi gizi digunakan food models atau food picture (Widjajanti 2009).
Pemberdayaan Masyarakat dan Community Sosial Responsibility (CSR)
CSR telah menjadi perbincangan sejak terjadinya revolusi industri. Pada saat itu perusahaan menganggap bahwa tanggung jawab perusahaan hanya sebatas memberikan lapangan pekerjaan. Namun, seiring berjalannya waktu, masyarakat menuntut lebih dari penyediaan lapangan pekerjaan. Hal ini dikarenakan praktek usaha seringkali menimbulkan dampak negatif misalnya eksploitasi berlebihan yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, CSR melebarkan philantropinya pada konsep pemberdayaan masyarakat pada tahun 80-an. Konsep ini dibahas lebih lanjut dalam kongres tingkat tinggi (KTT) Bui di Rio de Janeiro pada tahun 1992. Kemudian pada tahun 2002 diadakan World Summit on Sustainable Development di Johannesburg Afrika Selatan.
Konsep CSR terus berkembang dengan cepat sehingga tidak ada definisi baku mengenai CSR. Namun, ada salah satu definisi menurut WIbisono (2007) yaitu tanggung jawab perusahaan kepada para pemangku kepentingan untuk berlaku etis, meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif yang mencakup aspek sosial dan lingkungan (triple botoom line) dalam rangka mencapai tujuan pemabangunan berkelanjutan. Chambers (2003) dalam wibisono (2007) mengkalisfikasikan CSR dalam tiga aspek yaitu keterlibatan dalam komunitas, pembuatan produk yang bisa dipertanggungjawabkan secara sosial, dan employee relations.
Wibisono (2007) merangkum cara pandang perusahaan terhadap CSR menjadi menjadi tiga yaitu basa basi atau keterpaksaan, upaya memenuhi kewajiban, dan beyond compliance. Keterpaksaan tercermin dari pelaksanan CSR karena faktor eksternal. Upaya memenuhi kewajiban (compliance)
dilakukan karena ada regulasi hukum dan aturan yang memaksanya untuk membuat produk ramah lingkungan dan adanya hadiah. Dorongan tulus dari dalam (beyond compliance) berarti perusahaan telah menyadari bahwa tanggung jawabnya bukan lagi sekedar kegiatan ekonomi untuk mencipatakan profit demi
(29)
Siapa Ahli dari luar Anggota masyarakat, staf proyek,
kelangusngan perusahaan melainkan tanggung jawab sosial dan lingkungan dengan dasar pemikirannya adalah kesehatan finansial.
Lubis (2011) menyatakan bahwa pembangunan atau perubahan telah dilakukan umat manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Pelaksanaan pembangunan pada awalnya selalu dimulai dari atas. Meskipun cocok diterapkan di berbagai negara, tetapi konsep pembangunan ini juga membawa dampak negatif. Dampak tersebut berupa ketidakmerataan, pemusatan kekuasaan, dan matinya inisiatif lokal. Padahal cara pandang pembangunan yang sebenarnya adalah meningkatkan keberdayaan masyarakat. Konsep ini juga sejalan dengan An-naf (2005) bahwa dasar pembangunan khususnya pertanian paling tidak harus berkelanjutan dengan menjamin pelestarian dan penggunaan yang wajar dari sumberdaya yang terbarukan, harus meningkatkan efisiensi ekonomi, dan manfaatnya harus terdistribusi secara merata.
Pendekatan pembangunan ini bertumpu pada dua elemen pokok yaitu kemandirian dan partisipasi. Masyarakat mandiri menentukan pembangunannya, dan berpartisipasi senyatanya pada seluruh prosesnya. Kemandirian dalam hal ini menyangkut tiga segi, yaitu kemandirian material, kemandirian intelektual, dan kemandirian manajemen (Lubis 2011). Konsep pembangunan ini selanjutnya dijadikan philantropi pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat.
Lubis (2011) menjelaskan tahapan pemberdayaan masyarakat dimulai dengan identifikasi potensi dan masalah. Pada tahap ini secara partisipatif merumuskan masalah dan potensi yang ada pada komunitas, bukan dari pihak luar. Selanjutnya, penetapan tujuan, penetapan rencana kerja, kemudian aksi atau pelaksanaan rencana kerja, dan pada akhirnya diadakan evaluasi kegiatan.
Tabel 1 Perbandingan evaluasi konvensional dengan evaluasi partisipatif
Aspek Evaluasi konvensional Evaluasi partisipatif
fasilitator
Indikator keberhasilan: efisiensi Masyarakat mengidentifikasi sendiri Apa Bagaimana Kapan Mengapa
biaya dan keluaran hasil produk yang telah dilakukan
Fokus pada objektivitas ilmiah, ada pola seragam, prosedur kompleks, akses terbatas pada hasil
Biasanya tergantung jadwal, kadangkala ada juga evaluasi midterm
Pertanggungjawaban biasanya sumatif, menentukan biaya selanjutnya
indikator keberhasilan, termasuk hasil yang dicapai
Evaluasi sendiri, metode sederhana yang diadaptasi dengan budaya lokal, terbuka ada diskusi hasil dengan melibatkan partisipan dalam proses evaluasi
Bergantung pada proses perkembangan masyarakat dan intensitas relatif sering
Pemberdayaan masyarakat lokal untuk inisiasi, mengontrol, melakukan tindakan koreksi
(30)
Wibisono (2007) menuliskan bahwa perencanaan program operasional ini sedapat mungkin diusahakan berbasis sumberdaya lokal, berbasis pada pemberdayaan masyarakat, mengutamakan program yang berkelanjutan, berdasar perencanaan partisipatif atau didahului oleh need assessment,
dihubungkan dengan bisnis inti perusahaan, dan fokus pada prioritas. Evaluasi dan monitoring adalah salah satu kegiatan yang penting untuk melihat apakah pelaksanaan pemberdayaan sesuai dengan yang direncanakan. Lubis (2011) melanjutkan bahwa monitoring dan evaluasi perlu dilakukan secara partisipatif. Tabel 1 diatas menyajikan perbandingan evaluasi konvensional dengan evaluasi partisipatif.
(31)
KERANGKA
PEMIKIRAN
Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia menggolongkan rumahtangga menjadi rumahtangga di perdesaan dan di perkotaan. Kaitannya dengan ketahanan pangan, BPS (2011) menyatakan bahwa kerawanan pangan atau kondisi tidak tahan pangan banyak terjadi di rumahtangga perdesaan. Pedalaman pulau Kalimantan, khususnya Kalimantan Selatan masih memiliki desa-desa yang berada di pelosok atau sulit terjangkau baik melalui transportasi maupun komunikasi (Ariesta dkk 2011).
Keberadaan perusahaan didaerah Kalimantan Selatan semestinya bisa membantu memperlancar akses terhadap pangan. Hal ini dikarenakan perusahaan dituntut untuk melaksanakan pertanggungjawaban sosialnya dengan memberdayakan masyarakat di desa-desa sekitar tempat pengusahaannya. Oleh karena itu, rumahtangga yang menjadi binaan perusahaan tersebut dikatakan rumahtangga penerima program pemberdayaan masyarakat, sedangkan pembanding dalam penelitian ini disebut sebagai rumahtangga bukan penerima program pemberdayaan masyarakat.
Berkaitan dengan akses pangan, faktor-faktor yang mempengaruhi akses pangan tersebut bergantung pada jenis dan tujuan program pemberdayaan yang dilaksanakan oleh perusahaan. Namun, dalam hal ini faktor tersebut digolongkan berdasarkan Departemen Pertanian (2008) menjadi dua yaitu akses sosial dan ekonomi. Akses sosial berupa lama pendidikan formal suami dan istri dan akses ekonomi yang digunakan adalah pengeluaran total perkapita per bulan. Akses fisik tidak dimasukan kedalam kerangka pemikiran karena akses fisik sebagai output dari program pemberdayaan yang bersifat homogen pada masing-masing desa sehingga dibahas dalam hubungannya dengan Tingkat Kecukupan Energi.
Akses pangan rumahtangga ini secara langsung akan berperan dalam konsumsi rumahtangga yang dibuktikan dengan tingkat kecukupan energi. Status gizi merupakan dampak dari pemenuhan kebutuhan berdasarkan tingkat kecukupan gizi. Hariyadi (2008) menegaskan bahwa indikator ketahanan pangan ini harus bisa membentuk individu yang sehat dan produktif dimana salah satu indikatornya adalah status gizi individu tersebut.
(32)
Akses pangan rumahtangga
Program pemberdayaan
masyarakat
1. Kebijakan
2. Konsep dan strategi
Akses pangan secara sosial 1. Pendidikan kepala keluarga 2. Pendidikan istri
3. Program
Akses pangan secara ekonomi 1. Pengeluaran total perkapita per
bulan
Konsumsi Pangan
1. Jumlah pangan 2. Jenis pangan
Status gizi
Keterangan:
Variabel yang diteliti Variabel yang tidak diteliti
Hubungan yang tidak dianalisis Hubungan yang dianalisis
Gambar 1 Kerangka pemikiran akses dan konsumsi pangan rumahtangga penerima dan bukan penerima program pemberdayaan masyarakat.
(33)
METODE
Disain, Waktu, dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini menggunakan disain cross sectional study karena dilaksanakan dalam satu waktu yaitu pada bulan Mei-Juni 2012. Lokasi penelitian berada di Desa Wilas dan Desa Sulangkit, Kecamatan Kelumpang Utara Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Penetapan Desa Wilas sebagai lokasi desa penerima program pemberdayaan masyarakat adalah 1) termasuk ring 1 atau desa prioritas desa binaan, 2) terdapat salah satu program unggulan CD Senakin, 3) bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian, dan 4) kemudahan akses dari segi perijinan, transportasi, dan akomodasi. Desa Sulangkit dipilih sebagai desa pembanding didasarkan pada kriteria sebagai berikut 1) masyarakat Suku Banjar, 2) kesamaan karakteristik sosial ekonomi yaitu tingkat pendidikan suami dan istri didominasi oleh rendah, mata pencaharian utama adalah pertanian dan perkebunan karet, 3) memiliki satu arah aliran sungai dengan desa program, 4) jarak menuju ibukota kecamatan tidak berbeda jauh, 5) sebagian besar kondisi jalan masih berlumpur.
Teknik Penarikan Contoh
Desa penerima program pemberdayaan masyarakat adalah Desa Wilas Sedangkan desa bukan penerima program pemberdayaan adalah Desa Sulangkit. Contoh atau unit penelitian adalah rumahtangga di Desa Wilas dan Desa Sulangkit. Teknik penarikan contoh dilakukan dengan cara purposif. Kriteria contoh di desa program adalah 1) rumahtangga yang mengikuti program bidang ekonomi yaitu Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (PPEM), 2) merasakan program di bidang lainnya seperti pendidikan, infrastruktur, kesehatan, dan sosial budaya, dan 3) bersedia berpartisipasi dalam penelitian. Jumlah contoh yang mengikuti PPEM adalah sebanyak 25 rumahtangga. Namun, hanya 23 rumahtangga yang bisa dijadikan contoh pada waktu pengambilan data. Hal ini dikarenakan satu contoh berada di luar daerah penelitian selama dua bulan dan satu contoh tidak bersedia berpartisipasi dalam penelitian.
Kriteria contoh di desa nonprogram adalah bersedia berpartisipasi dalam penelitian yang dilakukan secara acak sampai mencapai 23 rumahtangga. Oleh karena itu, total rumahtangga yang menjadi contoh adalah 46 rumahtangga.
(34)
No Komponen Jenis Data Cara
Jenis dan Cara Pengambilan Data
Data yang diambil berupa data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik rumahtangga (usia, berat badan, jenis kelamin, pekerjaan), akses pangan sosial (lama pendidikan suami dan istri), akses pangan ekonomi (pengeluaran total per kapita per bulan), akses pangan fisik (keberadaan, jarak, dan kondisi jalan ke pasar, keberadaan bahan pangan di warung dan pedagang keliling), konsumsi pangan rumahtangga, dan karakteristik program pemberdayaan masyarakat. Data-data tersebut didapatkan melalui wawancara dengan instrumen kuisioner.
Data konsumsi pangan diperoleh dengan mengetahui jumlah dan jenis pangan. Kedua jenis data ini diperoleh dengan metode food recall 1x24 jam kepada seluruh anggota didalam rumahtangga. Food recall hanya dilakukan satu kali karena jenis pangan yang dikonsumsi cenderung homogen (Widjajanti 2009). Instrumen yang digunakan adalah food picture dan food recall sheet 1x24 jam yang menggambarkan beberapa jenis pangan serta ukuran rumahtangga untuk mempermudah responden dalam menentukan jumlah pangan yang dikonsumsi. Adapun jenis data sekunder berupa data demografi lokasi penelitian dan dokumen program pemberdayaan masyarakat perusahaan terkait. Berikut jenis dan cara pengumpulan data primer dan sekunder yang disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2 Jenis dan cara pengambilan data
pengambilan data
1. Karakteristik 1. Usia rumahtangga
2. Karakteristik program pemberdayan masyarakat
2. Jenis kelamin 3. Berat badan 4. Pekerjaan 1. Kebijakan
2. Konsep dan strategi 3. Program
Wawancara dengan kuisioner Wawancara mendalam & Studi literature
3. Akses pangan sosial 1. Pendidikan suami 2. Pendidikan istri
Wawancara dengan kuisioner 4. Akses pangan
ekonomi
Pengeluaran total per kapita per bulan
Wawancara dengan kuisioner 5. Akses pangan fisik 1. Keberadaan pasar
2. Jarak dan kondisi jalan ke pasar
3. Keberadaan bahan pangan di warung
Wawancara dengan kuisioner 4. Keberadaan pedagang
keliling
6. Konsumsi pangan Jumlah dan jenis pangan Food recall 1x24 jam
(35)
Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Microsoft Excel,
Minitab 16 Statistical Software, dan SPSS 16.0 for windows. Statistika deskriptif digunakan untuk menunjukkan jumlah dan persentase karakteristik rumahtangga, komponen akses pangan rumahtangga dan konsumsi pangan atau tingkat kecukupan energi rumahtangga. Selanjutnya data dianalisis dengan independent t-test untuk menunjukkan perbedaan pada kedua jenis desa dengan variabel yang sama. Akses pangan rumahtangga dibentuk dari komponen yang sudah ada dengan menggunakan Principal Component Analysis (PCA). Selain itu, dilakukan uji hubungan antara komponen akses pangan dengan tingkat kecukupan gizi rumahtangga dengan menggunakan analisis korelasi pearson.
Analisis regresi dummy dilakukan untuk mengetahui perbedaan akses pangan di desa program dan nonprogram yang melibatkan variabel kategorik.
Karakteristik rumahtangga meliputi usia, berat badan, jenis kelamin, dan pekerjaan anggota rumahtangga. Usia, jenis kelamin, dan berat badan digunakan untuk menghitung angka kecukupan gizi ideal. Adapun pekerjaan digunakan untuk menentukan sebaran pekerjaan suami dan istri di rumahtangga kedua desa.
Karakteristik program pemberdayaan masyarakat di desa penerima meliputi kebijakan, strategi dan konsep, serta program yang dideskripsikan secara kualitatif. Content analysis dilakukan untuk menganalisis program
pemberdayaan menurut kebijakan umum ketahanan pangan (KUKP) 2010-2014. Program tersebut secara khusus diarahkan pada upaya pengembangan sistem distribusi pangan dan peningkatan kualitas konsumsi pangan. Pengembangan sistem distribusipangan meliputi program yang memperlancar sistem distribusi pangan, pengembangan cadangan pangan pemerintah, menjaga keterjangkauan dan stabilitas harga pangan, meningkatkan aksesibilitas atas pangan, dan menangani kerawanan pangan kronis dan transisi. Peningkatan kualitas konsumsi pangan meliputi percepatan penganekaragaman konsumsi pangan, mendorong perilaku konsumsi pangan, meningkatkan pembinaan dan pengawasan keamanan pangan, dan memfasilitasi pengembangan industry pangan usaha kecil dan menengah.
Selanjutnya, program-program yang dilaksanakan di Desa Wilas dianalisis potensi dampaknya terhadap upaya yang mendukung akses dan konsumsi pangan. Hasilnya digunakan untuk menunjukkan keberadaan
(36)
dukungan program terhadap akses dan konsumsi pangan. Potensi dampak program pemberdayaan masyarakat dalam upaya peningkatan akses pangan dirinci dengan menggali komponen input, proses, output, outcome, dan dampak dari program tersebut.
Akses pangan secara sosial meliputi pendidikan suami dan istri. Pendidikan suami dan istri digolongkan menurut UU RI Nomor 20 tahun 2003 mengenai sistem pendidikan nasional. Penggolongan tersebut yaitu tergolong dasar jika masa pendidikan formal ≤ 9 tahun, sedang 10-12 tahun, dan tinggi >12 tahun.
Akses pangan secara ekonomi berdasarkan pengeluaran total (pangan dan nonpangan) rumahtangga yang digolongkan menjadi akses ekonomi rendah, sedang, dan tinggi. Akses pangan secara ekonomi digolongkan berdasarkan garis kemiskinan Kabupaten Kotabaru tahun 2010 yaitu Rp. 230.564,-. Akses ekonomi tergolong rendah apabila total pengeluaran rumahtangga kurang dari Rp. 230.564,-. Berdasarkan jarak pengeluaran terhadap garis kemiskinan, apabila pengeluaran berada dibawah garis kemiskinan maka akses ekonomi rendah. Pengeluaran berjarak antara 1% - 20% dari garis kemiskinan atau Rp. 230.564,- – Rp. 276.677,- maka tergolong akses ekonomi sedang. Pengeluaran berada lebih dari 20% garis kemiskinan atau > Rp.276.677,- tergolong akses ekonomi tinggi.
Akses pangan secara fisik digunakan untuk mengetahui keberadaan pasar, kondisi jalan, jarak ke pasar, dan keberadaan pedagang keliling. Akses fisik ini dianalisis menggunakan analisis regresi dengan variabel dummy. Analisis ini juga berkaitan dengan keseluruhan akses pangan yang didapatkan dengan menggunakan Principal Component Analysis (PCA) sebagai fungsi terhadap tingkat kecukupan energi.
Akses pangan keseluruhan merupakan gabungan dari komponen- komponen dimensi akses pangan sosial dan ekonomi. Pembuatan variabel akses pangan ini didapatkan dari komponen akses sosial (pendidikan suami dan istri) dan akses ekonomi (pengeluaran total per kapita per bulan) dengan menggunakan Principal Component Analysis (PCA). Variabel akses pangan hasil
Principal Component Analysis (PCA) ini disebut sebagai komponen utama akses pangan atau akses pangan. Nilai dari eigenvalues merepresentasikan peubah yang direduksinya. Besarnya representasi yang digambarkan bergantung pada
(1)
Sheet
4.
Food
recall
1x24
jam
Anggota
Waktu
makan
No
Kode
pangan
Jenis
pangan
Konsumsi
URT
Gr
(2)
Sheet
5.
Pengeluaran
rumahtangga
Jenis pengeluaran Pengeluaran Rp per
Harian Mingguan Bulanan Tahunan
1. PANGAN
1. Beras
Sub total 1.1
2. Umbi-umbian
2.1. Ubi jalar
2.2. Singkong
2.3. Kentang
Sub total 1.2
3. Jagung
Sub total 1.3
4. Lauk (sebutkan)
4.1. Telur Ayam
4.2. Daging Ayam
4.3. Ikan Asin
4.4. Ikan segar
4.5. Tahu
4.6. Tempe
4.7. Daging sapi
4.8.
4.9.
4.10.
Sub total 1.4
5. Sayur
Sub total 1.5
6. Buah
Sub total 1.6
7. Minyak goreng
Sub total 1.7
8. Minuman
8. 1. Susu
8. 2. Kopi
8. 3. Gula
8. 4. Teh
Sub total 1.8
9. Jajanan (Bakso, snack, permen, dll)
10.Lainnya
10.1. Kerupuk
10.2. Garam
(3)
Jenis pengeluaran Pengeluaran Rp per
Harian Mingguan Bulanan Tahunan
10.4. Saos
10.5. Bumbu
10.6. Mie
10.7. Tepung
10.8.
10.10.
Sub total 1.10
Tot Pangan
2. NONPANGAN
1.Sekolah
1.1.SPP/BP3/Les
1.2.Uang transport
1.3.Buku/alat tulis
1.4. Seragam sekolah
1.5. Sepatu
1.6.
Sub total 2.1
2. Pakaian/jahit baju
Sub total 2.2
3. Bahan bakar
3.1. Minyak tanah
3.2. Kayu bakar
3.3. Gas
3.3. Bensin
3.5.
3.6.
Sub total 2.3
4. Kesehatan
4.1.Jasa dan/mantri
4.2. Vitamin/supleme
4.3. Obat-obatan
4.4. KB
Sub total 2.4
5. Alat bersih
5.1. Sabun mandi
5.2. Odol
5.3. Sampoo
5.4. Conditioner
5.5. Sikat gigi
5.5. Kapas/pembalut
(4)
Jenis pengeluaran Pengeluaran Rp per
Harian Mingguan Bulanan Tahunan
5.8. Sikat pakaian
5.9. Bedak
5.10. Lipstik
5.11. Deodoran
5.12. Minyak wangi
5.13. Sapu
5.14.
5.15.
Sub total 2.5
6. Rokok
Sub total 2.6
7. Lain-lain
7.1. Transpor selain anak
7.2. Sewa/ merawat rumah
7.3. PAM/beli air bersih
7.4. Rekreasi/hiburan
7.5. Sumbangan
7.6. Kredit/ Arisan
7.7. Pembayaran pajak
7.7. Telepon
7.9. Listrik
7.10. Tabungan
7.11
7.12
7.13
7.14
Sub total 2.7
Tot Nonpangan
(5)
Lampiran 2 Hasil uji statistik contoh
Tabel 25 Hasil uji
independent t-test
komponen akses pangan dan tingkat
kecukupan energi rumahtangga desa program dan desa nonprogram
Komponen
Standard
error
Sig.
(2
tailed)
Keterangan
Lama pendidikan
1.124
0.379
Tidak berbeda
suami
Lama pendidikan istri
0.997
0.574
Tidak berbeda
Pengeluaran total per
kapita per bulan
Skor komponen utama
akses pangan
Tingkat kecukupan
58016.6
0.133
Tidak berbeda
0.391
0.222
Tidak berbeda
5.04
0.855
Tidak berbeda
energi
Tabel 26
Skor komponen utama akses pangan rumahtangga di desa program
dan desa nonprogram
Rumah
tangga
skor akses pangan
Program
nonprogram
1 4.187241 1.627341
2 -0.60319 -0.27807
3 2.570174 -0.19145
4 0.037343 -0.90433
5 0.351236 -0.06473
6 0.331195 0.61894
7 -1.46208 0.305387
8 -1.77122 0.013313
9 -1.19139 -1.24942
10 0.404135 -0.41072
11 0.900701 -0.82242
12 -0.71883 -0.33314
13 0.607095 -0.50639
14 3.921039 -0.27057
15 2.178116 0.893183
16 0.063931 0.20951
17 -1.01741 -0.39815
18 -0.45833 0.353859
19 0.344719 -1.80779
20 1.418507 -2.06995
21 -1.36151 0.470006
22 -1.00697 -0.14137
(6)
1 (Constant)
Tabel 27 Hasil regresi akses pangan dengan tingkat kecukupan energi
Unstandardized
Model Coefficients
Standard
eror Sig.B
74.143 2.306 .000
pca 5.104 1.745 .005
(Constant) 74.960 3.323 .000
2 pca
5.218
1.793
.006
D -1.634 4.740 .732
Tabel 28
Hasil analisis korelasi pearson akses pangan dengan TKE pada
keseluruhan contoh
Komponen
Sig.
(2
tailed)
r
Lama pendidikan suami
0.025
0.331*
Lama pendidikan istri
0.023
0.335*
Pengeluaran total per kapita
0.073
0.267
Komponen utama akses pangan
0.005
0.404**
*korelasi signifikan pada level 0.05 **korelasi signifikan pada level 0.01