168,629 249,724 Total The Analyze of Food and Consumption Access of The Households Beneficiary Program and non-Beneficiary Program of Community Development Program in Wilas and Sulangkit Village, Kotabaru Regency, Kalimantan Selatan

Rupiah bersih, rokok, dan pengeluaran nonpangan lainnya. Perbandingan pengeluran total per kapita tersebut disajikan pada tabel 14. Tabel 14 Perbandingan pengeluaran total per kapita per bulan berdasarkan kelompok pengeluaran Desa Program Desa Nonprogram Kelompok Pengeluaran Rata-Rata A. Pangan 1. Beras 13,884 2.7 5,572 1.3 2. Umbi-Umbian 3,741 0.7 1,123 0.3 3. Jagung 1,459 0.3 629 0.2 4. Lauk 51,229 10.1 22,374 5.3 5. Sayur 5,378 1.1 2,344 0.6 6. Buah 8,088 1.6 4,149 1.0 7. Minyak 10,136 2.0 9,438 2.3 8. Minuman 24,395 4.8 34,547 8.3 9. Jajanan 55,862 11.0 56,877 13.6 10. Lainnya 22,646 4.5 31,576 7.5 Subtotal 196,819

38.7 168,629

40.3 B. Nonpangan 1.Sekolah 52,446 10.3 5,039 1.2 2. Pakaian 20,696 4.1 11,181 2.7 3.Bahan Bakar 32,728 6.4 67,533 16.1 4. Kesehatan 4,876 1.0 5,522 1.3 5. Alat Bersih 18,370 3.6 22,305 5.3 6. Rokok 49,515 9.7 66,725 15.9 7. Lain-Lain 132,959 26.2 71,421 17.1 Subtotal 311,590

61.3 249,724

59.7 Total

508,409 100.0 418,353 100.0 Tabel 14 menunjukkan bahwa pengeluaran pangan desa program lebih rendah 38.7 dibandingkan desa nonprogram 40.3. Pengeluaran pangan tertinggi di desa program dan nonprogram adalah jajanan 11 dan 13.6. Adapun pengeluaran pangan total per kapita per bulan terendah dikedua desa berasal dari pengeluaran untuk jagung. Hal ini dikarenakan jagung jarang sekali dikonsumsi oleh rumahtangga. Kondisi ini diduga karena rumahtangga dikedua desa program tidak menanam jagung. Meskipun rendah pengeluaran untuk jagung lebih tinggi didesa program. Hal ini diduga berkaitan dengan program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan di desa program, yaitu kelompok usaha menengah Berkat Usaha Bersama yang menanam jagung. Secara keseluruhan pengeluaran nonpangan lebih tinggi pada desa program 61.3 dibandingkan dengan desa nonprogram 59.7. Pengeluaran nonpangan tertinggi adalah pada kelompok lainnya baik di desa program 26.2 maupun desa nonprogram 17.1. Jika dibandingkan, pengeluaran untuk lainnya di desa program jauh lebih tinggi dibandingkan dengan desa nonprogram. Hal ini salah satunya diduga karena di desa nonprogram ada panel tenaga surya untuk memenuhi kebutuhan listrik dari pemerintah setempat. Pengeluaran untuk arisan dan air juga menjadi komponen lainnya yang turut menyumbang besarnya pengeluaran di desa program. Adapun pengeluaran terendah adalah untuk biaya kesehatan baik di desa program 1 maupun di desa nonprogram 1.3. Secara keseluruhan pengeluaran pangan rumahtangga dikedua desa lebih rendah dibandingkan dengan pengeluaran nonpangan. Menurut Novita Fardiana 2011, pengeluaran untuk pangan menurun seiring dengan meningkatnya pendapatan dan hal ini bisa dijadikan indikator kesejahteraan rumahtangga. BPS Kotabaru 2012 mencatat bahwa 64.3 dari total pengeluaran adalah untuk pangan, sedangkan sebesar 35.7 adalah untuk kebutuhan nonpangan. Jika dibandingkan dengan pengeluaran rumahtangga pada tabel 14 dapat dinyatakan bahwa rumahtangga di lokasi penelitian lebih sejahtera dibandingkan dengan rata-rata rumahtangga di seluruh Kabupaten Kotabaru. Pakpahan dkk 1993 juga menyebutkan bahwa ada hubungan antara porsi atau pangsa pengeluaran pangan dengan ketahanan pangan rumah tangga. Pangsa pengeluaran pangan berhubungan terbalik dengan ketahanan pangan, semakin besar pangsa pengeluaran pangan maka semakin rendah ketahanan rumah tangga yang bersangkutan. Oleh karena itu, rumahtangga dikedua desa memiliki peluang yang besar untuk mendapatkan pangan sehingga meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga. Kondisi ini terjadi diduga karena adanya kontribusi dari hasil pertanian padi gogo yang dilakukan dikedua desa. Padi gogo ini merupakan komoditas utama selain karet yang diunggulkan dikedua desa. Oleh karena itu, pengeluaran untuk beras sebagai makanan pokok bisa dipenuhi dari hasil pertanian sendiri. BPS Kotabaru 2012 mencatat bahwa rata-rata produksi padi gogo di Kecamatan Kelumpang Utara adalah 28 kwha. Luas lahan tanamnya adalah 350 hektar, artinya pada tahun 2011 kecamatan Kelumpang Utara bisa memproduksi padi gogo sebanyak 9800 kwintal atau 980.000 kilogram per tahun. Jika jumlah penduduk Kecamatan Kelumpang Utara adalah 5.399 orang, artinya setiap orang memiliki 181.5 kilogram beras setiap tahunnya. Standar Pelayanan Minimal SPM menetapkan bahwa ketersediaan energi ideal bagi setiap orang indonesia adalah 2200 kilokalori. Berdasarkan standar pola pangan harapan, sebesar 50 kebutuhan energi tersebut dipenuhi dari serealia. Oleh karena itu, untuk memenuhi bobot tersebut setiap orang Indonesia harus bisa menyediakan 300 gram beras setiap harinya atau 106.8 kilogram dalam satu tahun. Jika dibandingkan dengan ketersediaan padi gogo di Kecamatan Kelumpang Utara, maka setiap orang di Kecamatan Kelumpang Utara memiliki penyediaan beras yang cukup untuk satu tahun. Sejalan dengan Ecker Breisinger 2012 bahwa salah satu faktor utama akses pangan adalah subsisten pangan dari lahan sendiri. Kontribusi hasil panen padi ini bisa mengurangi 31 pengeluaran pangan didesa nonprogram dan sebesar 25.5 didesa program. perbedaan diduga karena tujuh rumahtangga di desa program tidak mendapatkan beras dari ladang. Rumahtangga tersebut cenderung memilih untuk membeli di pasar. Jika dilihat, rumahtangga yang tidak mengandalkan beras dari lahan sendiri adalah rumahtangga yang bekerja sebagai guru, pekerja swasta, dan PNS. Adapun rumahtangga desa nonprogram sangat mengandalkan lahan sendiri untuk memenuhi kebutuhan berasnya. Hal ini juga diduga curahan waktu untuk bekerja di ladang tidak cukup jika berprofesi bukan sebagai petani PNS, guru, dan pekerja swasta. Selain itu, berdasarkan tabel 4, sebanyak 58,1 pekerjaan suami dan istri adalah petani sehingga potensi lahan lokal di desa nonprogram lebih dimanfatkan berkaitan dengan pekerjaan suami dan istri. Selanjutnya, pengeluaran total per kapita per bulan ini memasukkan jumlah rupiah dari kontribusi padi hasil pertanian sebagai gambaran jumlah pendapatan per kapita yang bisa didapatkan oleh rumahtangga lokasi penelitian. Beras hasil pertanian untuk dikonsumsi setiap hari dihitung beratnya gram kemudian dikalikan dengan harga beras rata-rata di kecamatan kelumpang Utara yaitu Rp. 10.000,- sehingga diasumsikan nilai rupiah tersebut adalah biaya yang dikeluarkan untuk membeli beras. Tabel 15 menunjukkan bahwa rata-rata dan nilai maksimum pengeluaran total per kapita per bulan lebih tinggi di desa program dibandingkan dengan desa nonprogram. Hal ini diduga karena akses menuju pasar cenderung tinggi. sehingga rumahtanga sering berbelanja dibanding dengan rumahtangga di desa nonprogram. Berdasarkan hasil wawancara, rumahtangga di desa program bisa mengakses ke pasar 1-2 kali dalam sebulan sedangkan rumahtangga di desa nonprogram maksimal satu kali dalam satu bulan. Tabel 15 juga menunjukkan bahwa nilai minimum pengeluaran total perkapita per bulan lebih rendah pada desa program, padahal pengeluaran total pada desa program lebih tinggi. Hal ini diduga dan bisa menjadi alasan bahwa jumlah anggota rumahtangga berkaitan dengan pengeluaran total per kapita per bulan. Pengeluaran total per kapita per bulan ini akan menjadi kecil jika jumlah anggota rumahtangga banyak, meskipun pengeluaran totalnya besar. Tabel 15 Statistik pengeluaran total per kapita rumahtangga dalam satu bulan Kategori Rata-rata Rupiah Maksimum Rupiah Minimum Rupiah Nonprogram 492.164 871.650 287.933 Program 581.109 1.019.038 211.575 Selanjutnya, analisis akses ekonomi pangan dilakukan terhadap pengeluaran total per kapita per bulan. Tabel 16 menunjukkan bahwa akses ekonomi dikedua desa tergolong tinggi 95.6. Sebanyak 100 rumahtangga didesa nonprogram tergolong memiliki akses ekonomi yang tinggi. Rumahtangga desa program masih memiliki rumahtangga dengan akses ekonomi yang rendah 4.3 dan akses ekonomi sedang 4.3 meskipun masih didominasi oleh akses pangan tinggi 91.3. Kondisi ini diduga berkaitan dengan jumlah anggota rumahtangga di desa program yang lebih banyak dibandingkan dengan desa nonprogram. Akan tetapi, hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pengeluaran total per kapita per bulan yang nyata p0.05 antara rumahtangga desa program dan desa nonprogram. Tabel 16 Sebaran rumahtangga berdasarkan akses ekonomi pendekatan pengeluaran total per kapita per bulan Akses pangan ekonomi Nonprogram Program Total Jumlah Jumlah n Rendah - - 1 4.3 1 2.2 Sedang - - 1 4.3 1 2.2 Tinggi 23 100 21 91.3 44 95.6 Jenis pekerjaan di desa program lebih beragam dibandingkan dengan desa nonprogram. Jika dilihat dari tabel 4, beberapa kepala rumahtangga bekerja sebagai PNS dan pegawai swasta. Tabel 4 juga menunjukkan bahwa di desa program terdapat warga yang menjadi buruh tani. Pekerjaan ini secara langsung memberikan upah yang bisa digunakan untuk membeli keperluan sehari-hari. Selain itu, rata-rata pendapatan dari PPEM berkontribusi sebesar Rp. 50.617,- per kapita per bulan. Ketiga hal ini diduga menjadi alasan akses ekonomi di desa program lebih tinggi dibandingkan dengan desa nonprogram. Kondisi ini sejalan dengan hasil penelitian Agustiani 2012 bahwa rumahtangga yang menerima program desa mandiri pangan memiliki akses ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan rumahtangga bukan penerima program. Tingginya akses ekonomi memberikan peluang yang besar bagi rumahtangga untuk mendapatkan pangan yang dibutuhkan. Ecker Breisinger 2012 menyatakan bahwa faktor utama akses pangan adalah pendapatan nyata rumahtangga atau akses ekonomi, pangan hasil produksi sendiri, dan aset yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan. Hasil penelitian Oloyule et al 2009 juga menyimpulkan bahwa ketahanan pangan rumahtangga meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan per bulan pengeluaran. Artinya, rumahtangga yang memiliki pendapatanpengeluaran yang lebih besar cenderung memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mendapatkan pangan sehingga bisa mencapai status tahan pangan. Keseluruhan Akses Pangan Keseluruhan akses pangan merupakan gabungan dari komponen- komponen dimensi akses pangan sosial dan ekonomi. Penelitian ini membuat variabel baru akses pangan berasal dari komponen akses sosial pendidikan suami dan istri dan akses ekonomi pengeluaran total per kapita per bulan dengan menggunakan Principal Component Analysis PCA. Prinsip dasar PCA ini adalah mengombinasikan variabel awal yang banyak sekali dengan proses reduksi. Hasil dari proses reduksi ini adalah variabel baru yang lebih sedikit tetapi masih mengandung informasi yang ter- muat dalam data asliawal. Variabel hasil komposit reduksi tersebut dinamakan faktor. Penelitian ini menggunakan satuan yang berebeda dalam setiap peubahnya sehingga digunakan PCA dengan matriks korelasi. Perbedaan satuan pengukuran yang umumnya berimplikasi pada perbedaan keragaman peubah, menjadi salah satu pertimbangan utama penggunaan matriks korelasi Sumertajaya 2010. Tujuan utamanya adalah menjelaskan sebanyak mungkin jumlah varian data asli dengan sedikit mungkin komponen utama. Komponen utama tersebut ditunjukkan dengan nilai eigenvalues yang menunjukkan kepentingan relatif masing-masing faktor dalam menghitung varians ketiga variabel yang dianalisis. Susunan eigenvalues selalu diurutkan dari yang terbesar sampai ke yang terkecil, dengan kriteria bahwa angka eigenvalues dibawah satu tidak digunakan dalam menghitung jumlah faktor yang terbentuk Soemartini 2008. Terdapat beberapa keuntungan penggunaan Principal Component Analysis PCA dibandingkan analisis lainnya yaitu pertama dapat menghilangkan korelasi secara bersih korelasi = sehingga masalah multikolinearitas dapat benar-benar teratasi secara bersih. Kedua, dapat digunakan untuk segala kondisi datapenelitian. Ketiga, dapat digunakan tanpa mengurangi jumlah variabel asal. Keempat, metode regresi dengan PCA ini memiliki tingkat kesulitan yang tinggi akan tetapi kesimpulan yang diberikan lebih akurat dibandingkan dengan pengunaan metode lain. Tabel 17 Hasil analisis PCA untuk akses pangan Eigenanalysis of the Correlation Matrix Eigenvalue 1.7870 0.8285 0.3845 Proportion 0.596 0.276 0.128 Cumulative 0.596 0.872 1.000 Variabel PC1 PC2 PC3 Lama pendidikan suami x1 0.661 -0.065 0.747 Lama pendidikan istri x2 0.567 -0.608 -0.555 Pengeluaran total per kapita x3 0.491 0.791 -0.365 Tabel 17 menunjukkan bahwa eigenvalue yang lebih dari satu mempunyai nilai kumulatif 59.6 atau 60 dibulatkan. Hal ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan persamaan PC1 komponen utama akses pangan dapat menjelaskan 60 data yang berasal dari tiga komponen sebelumnya yaitu lama pendidikan suami, lama pendidikan istri, dan pengeluaran total per kapita per bulan. Oleh karena itu, persamaan komponen utama akses pangan dinyatakan sebagai berikut: Akses pangan = 0.661X1 std + 0.567X2 std + 0.491X3 std , Persamaan skor komponen utama akses pangan, selanjutnya disebut sebagai akses pangan, didapatkan dengan menggunakan rumus tersebut. Nilai X1 didapatkan dengan standardisasi dari Xn dikurangi rata-rata pada Xn dan dibagi dengan standar deviasi X tersebut. Misalnya dalam penentuan X1 lama pendidikan, maka lama pendidikan suami rumahtangga ke-n dikurangi dengan rata-rata lama pendidikan suami seluruhnya dibagi dengan standar deviasi dari lama pendidikan suami ke-n. Selanjutnya, skor akses pangan rumahtangga terlampir di lampiran 2 tabel 26 Rumahtangga dikategorikan berdasarkan skor akses pangan. Persamaan diatas menunjukkan nilai yang positif pada setiap koefisiennya. Hal ini menunjukkan bahwa skor akses pangan akan semakin tinggi jika nilai Xstd juga tinggi. Artinya skor akses pangan tinggi jika pendidikan suami dan istri lebih lama serta pengeluaran total per kapita lebih besar. Tabel 18 menunjukkan bahwa nilai rata-rata skor komponen utama akses pangan lebih tinggi di desa program 1.262 dibandingkan dengan desa nonprogram 0.635. Begitupun dengan nilai maksimum di desa program jauh lebih tinggi 4.187 dibandingkan dengan desa nonprogram 2.069. Adapun nilai minimum dari desa program lebih tinggi 0.037 dibandingkan dengan desa nonprogram 0.013. Hal ini menunjukkan bahwa skor akses pangan di desa program lebih tinggi dibandingkan dengan desa nonprogram. Artinya, rumahtangga di desa program cenderung memiliki suami dan istri yang berpendidikan lebih lama serta pengeluaran total per kapita per bulan yang lebih tinggi dibandingkan dengan desa nonprogram. Tabel 18 Statistik skor akses pangan rumahtangga Nilai Program Nonprogram Rata-rata 1.262 0.635 Maksimum 4.187 2.069 Minimum 0.037 0.013 Persamaan tersebut juga menunjukkan bahwa komponen lama pendidikan suami X1 memiliki kontribusi yang besar terhadap akses pangan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien lama pendidikan suami paling besar, artinya lama pendidikan suami memilki peran yang sangat besar terhadap peningkatan akses pangan. Hasil analisis ini sejalan dengan penelitian Nurlatifah 2011 bahwa peubah rata-rata lama sekolah memiliki elastisitas yang paling tinggi dalam ketahanan pangan. Hal ini menunjukkan bahwa peubah rata-rata lama sekolah merupakan peubah yang paling responsif dalam meningkatkan persentase rumah tangga yang memiliki ketahanan pangan.Selanjutnya pengkategorian akses pangan dibahas dalam hubungannya dengan tingkat kecukupan energi. Analisis komponen utama ini dilanjutkan dengan analisis regresi menggunakan dummy. Analisis ini dilakukan untuk melibatkan akses fisik pangan No Kelompok Pangan Standard 1 yang merupakan komponen akses pangan akan tetapi berupa data kategorik. Akses fisik pangan yang dilihat adalah hasil dari program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin yang tidak bisa diskalakan. Oleh karena itu keberadaan akses fisik pangan diberikan nilai D=1 dan ketiadaan akses fisik pangan diberikan nilai D=0. Analisis ini melibatkan tingkat kecukupan energi sebagai variabel yang bergantung terhadap komponen utama akses pangan sehingga pembahasan hasil regresi dummy dilanjutkan pada bagian hubungan akses pangan dengan tingkat kecukupan energi. Konsumsi Pangan Rumahtangga Konsumsi pangan rumahtangga merupakan rata-rata jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh seluruh anggota rumahtangga. Pengambilan data jumlah dan jenis pangan ini dilakukan dengan menggunakan metode food recall 1x24 jam kepada seluruh anggota rumahtangga ditanyakan mengenai jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Gram pangan yang diperoleh kemudian dikonversikan ke kalori. Selanjutnya jumlah konsumsi pangan rumahtangga adalah jumlah konsumsi kalori seluruh anggota rumahtangga dibagi dengan jumlah anggota rumahtangga tersebut. Tingkat kecukupan energi diperoleh dengan membandingkan rata-rata jumlah konsumsi pangan dengan rata-rata angka kecukupan gizi rumahtangga berdasarkan angka kecukupan gizi individu AKG 2004 yang dikoreksi dengan berat badan dan umur masing-masing individu sehingga didapatkan tingkat kecukupan gizi rumahtangga. Tabel19 Perbandingan konsumsi energi aktual contoh dengan konsumsi energi yang dianjurkan berdasarkan kelompok pangan per kapita per hari kkalkapitahari Energi aktual kkalkapitahari Nonprogram Program 1 Padi-padian 1000 877 853 2 Umbi-umbian 120 11 10 3 Pangan Hewani 240 138 221 4 Minyak dan Lemak 260 90 77 5 BuahBiji Berminyak 60 6 Kacang-kacangan 100 2 2 7 Gula 100 65 61 8 Sayur dan Buah 120 36 29 9 Lain-lain 60 20 13 Jumlah Konsumsi 2000 1267 1239 1 berdasarkan standard pola pangan harapan Tabel 19 menunjukkan perbandingan jumlah konsumsi energi aktual individu rumahtangga di desa program dan nonprogram dengan standar pola pangan harapan. Jumlah konsumsi energi di desa nonprogram lebih rendah kilokalori 1721 1708 1239 kilokalori dibandingkan dengan desa program 1267 kilokalori. Jika dibandingkan dengan standard pola pangan harapan, maka jumlah konsumsi setiap orang dikedua desa belum mencapai anjuran idealnya. Kondisi ini berbeda dengan hasil dari BPS 2011 bahwa konsumsi kalori per kapita per hari Kalimantan Selatan di pedesaaan tahun 2011 adalah 2198 kilokalori. Tabel 19 diatas juga menunjukkan bahwa konsumsi energi didominasi oleh kelompok padi-padian. Kelompok pangan hewani merupakan kelompok pangan kedua yang berkontribusi cukup besar terhadap konsumsi pangan. Kelompok pangan yang tergolong buahbiji berminyak seperti kelapa dan santan jarang sekali dikonsumsi oleh rumahtangga dikedua desa sehingga kontribusi dari buah atau biji berminyak tidak ada. Adapun pemakaian santan dalam makanan dikonsumsi ketika adanya suatu hajatan besar seperti pernikahan atau acara perayaan hari besar islam. Hasil penelitian Latief 2000 juga masih sejalan dengan hal ini yaitu sejak tahun 1995 penduduk lebih cenderung mengonsumsi bahan pangan kelompok padi-padian. Hasil penelitian Purwantini Mewa 2008 juga menyebutkan bahwa pada umumnya pada rumahtangga petani padi beras merupakan pangan pokok yang dikonsumsi dalam jumlah yang tinggi sehingga sumbangan energi terbesar adalah dari padi-padian. Tingkat kecukupan energi TKE merupakan indikator yang dipakai untuk menunjukkan seberapa besar makanan yang dikonsumsi memenuhi kecukupan gizi idealnya. Tingkat kecukupan energi ini merupakan keluaran dari sistem ketahanan pangan dan juga menjadi indikator pencapaian tujuan pertama MDG’s. Asumsinya TKE merupakan pembentuk status gizi rumahtangga. TKE ini digunakan untuk melihat apakah pangan yang dikonsumsi oleh rumahtangga sesuai dengan kecukupan gizi ideal rumahtangga tersebut. Berikut adalah perbandingan rata-rata tingkat kecukupan energi pada rumahtangga program dan nonprogram. Tabel 20 Perbandingan rata-rata konsumsi, angka kecukupan energi, dan tingkat kecukupan energi rumahtangga desa program dan nonprogram Rata-rata Program Nonprogram Konsumsi rumahtangga kilokalori 1280 1242 Kecukupan energi rumahtangga ideal Tingkat kecukupan energi 75 74 Tabel 20 tersebut menunjukkan bahwa rata-rata kecukupan energi ideal rumahtangga di desa program adalah 1721 kilokalori sedangkan pada rumahtangga desa nonprogram sebesar 1708 kilokalori. Adapun rata-rata tingkat kecukupan energi rumahtangga di desa program lebih tinggi 75 dibanding dengan rumahtangga desa nonprogram 74. Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat kecukupan energi yang nyata p0.05 antara rumahtangga desa program dan desa nonprogram. Tabel 21 menunjukkan bahwa sebagian besar 52.2 rumahtangga memiliki tingkat kecukupan energi yang cukup. Rumahtangga ini tersebar di desa program dan nonprogram dimana persentase cukup di desa program lebih tinggi 56.5 dibandingkan dengan desa nonprogram 47.8. Kategori kurang lebih tinggi desa nonprogram 52.2 dibandingkan dengan desa program 43.5. Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan p0.05 tingkat kecukupan energi antara rumahtangga di desa program dan desa nonprogram. Tabel 21 Sebaran rumahtangga berdasarkan tingkat kecukupan energi Tingkat Kecukupan Energi Program Nonprogram Total Jumlah Jumlah Jumlah kurang 70 10 43.5 12 52.2 22 47.8 Cukup ≥70 13 56.5 11 47.8 24 52.2 Kondisi ini diduga karena kebiasaan makan rumahtangga cenderung homogen yaitu frekuensi makan rata-rata tiga kali sehari. Makanan pokok beras dan lauk hewani berupa ikan sungai atau ikan laut. Ragam jenis pangan yang tersedia pun hampir sama dikedua desa yaitu hasil perikanan sungai dan pertanian. Ketersediaan bahan pangan di warung pun terbatas pada bahan makanan yang memiliki daya tahan dalam jangka waktu satu sampai dua minggu. Hasil penelitian Purwantini Mewa 2008 juga menyebutkan bahwa tingkat kecukupan energi 50 rumahtangga diluar pulau jawa masih dibawah standard. Persentase kecukupan yang tergolong kurang tersebut masih tinggi sedangkan mata pencaharian utama dikedua desa adalah pertanian. Pembahasan mengenai pengeluaran panganpun kedua desa bisa mencukupi kebutuhan beras untuk seluruh anggota rumahtangga dalam satu tahun. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa beras berkontribusi meminimalisir 31 pengeluaran pangan di desa nonprogram dan 25.5 di desa program. Hal ini terjadi diduga karena perilaku konsumsi masing-masing individu masih rendah. Berdasarkan hasil pengamatan, konsumsi pangan ibu yang berprofesi sebagai P 1 NP 2 P 1 NP rumahtangga program; 2 rumahtangga nonprogram; 3 jumlah rumahtangga ibu rumahtangga dan balita cenderung sedikit. Kebiasaan konsumsi para remajapun cenderung jauh dari kecukupan ideal. Padahal dalam masa remaja, kebutuhan akan nutrisi cenderung lebih tinggi. Hubungan Akses Pangan Rumahtangga Dengan Tingkat Kecukupan Energi Dimensi akses pangan yang diuji hubungan pada penelitian ini adalah akses sosial pendidikan suami, pendidikan istri, akses ekonomi pengeluaran total per kapita, akses fisik, dan akses pangan sendiri. Tahap analisis dibagi menjadi dua yaitu akses sosial dan ekonomi dianalisis hubungan dengan korelasi pearson, sedangkan akses fisik yang diwakilkan dengan penyebutan desa program dan nonprogram dianalisis dengan regresi menggunakan dummy terlebih dahulu. Akses Sosial Lama pendidikan suami. Tabel 22 menunjukkan bahwa rumahtangga di desa program dengan TKE kurang didominasi oleh suami yang berpendidikan dasar 88.9 dan rumahtangga dengan TKE cukup memiliki suami yang berpendidikan dasar 76.9. Rumahtangga desa nonprogram dengan TKE kurang seluruhnya memiliki suami yang berpendidikan dasar 100 dan rumahtangga dengan TKE cukup didominasi juga oleh suami yang berpendidikan dasar 90.9. Tabel 22 Sebaran rumahtangga berdasarkan lama pendidikan suami dan tingkat kecukupan energi Tingkat Kecukupan Energi Akses Sosial Kurang Cukup 2 Total n 3 n 3 n 3 n 3 Dasar 8 88.9 11 100 10 76.9 10 90.9 39 88.6 Sedang 1 11.1 0.0 1 7.7 1 9.1 3 6.8 Tinggi 0.0 0.0 2 15.4 2 4.5 Total 9 100 11 100 13 100 11 100 44 100 1 Tabel 22 juga menunjukkan bahwa lama pendidikan suami yang tergolong sedang dan tinggi memiliki TKE yang cukup sedangkan lama pendidikan yang tergolong dasar cenderung mendominasi TKE kurang. Hasil uji korelasi pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif p0.05, r=0.331 antara lama pendidikan suami dengan tingkat kecukupan energi. Artinya, semakin lama pendidikan suami atau tergolong semakin tinggi maka semakin besar juga tingkat kecukupan energinya. Nilai r menunjukkan kekuatan hubungan dimana jika nilai r mendekati nilai satu maka hubungannya semakin n 3 n 3 n 3 n 3 n 3 n 1 rumahtangga program; rumahtangga nonprogram; jumlah rumahtangga kuat. Tingkat pendidikan suami minimal 9 - 12 tahun bisa bekerja di kawasan pertambangan baik di Thiess atau di PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin. Penghasilan yang ditawarkan lebih besar dibandingkan pendapatan dari upah sebagai petani setiap bulannya. Oleh karena itu, lama pendidikan berkaitan dengan jenis pekerjaan dan pada akhirnya memberikan peluang yang lebih besar untuk mengonsumsi pangan. Menurut Apriadji 1986 dalam Madihah 2002 menyatakan bahwa orang yang memiliki pendidikan rendah belum tentu kurang mampu menyusun menu makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibanding orang yang berpendidikan lebih tinggi. Hal ini disebabkan keingintahuan seseorang mengenai gizi akan menambah pengetahuan gizinya. Selain itu, suami yang memiliki pendidikan lebih tinggi cenderung akan mendapatkan lapangan pekerjaan dengan penghasilan yang lebih tinggi pula sehingga kemungkinan mempunyai biaya yang lebih untuk pangan. Hardinsyah 2007 juga menyatakan bahwa keluarga yang memliki akses ekonomi yang cukup dan pengetahuan gizi orang tua yang baik akan berpengaruh terhadap semakin baiknya keragaman konsumsi pangan anggota rumahtangganya Lama pendidikan Istri. Tabel 23 menunjukkan bahwa baik di desa program maupun nonprogram, sebaran rumahtangga yang tergolong pemenuhan energinya cukup memiliki istri yang berpendidikan dasar. Hanya sebagian kecil 7.7 rumahtangga di desa program yang tergolong cukup dengan pendidikan istri yang tinggi. Tabel 23 Sebaran rumahtangga berdasarkan pendidikan istri dan tingkat kecukupan energi Tingkat Kecukupan Energi Akses Sosial Kurang Cukup P 1 NP 2 P 1 NP 2 Total 3 Dasar 10 100.0 11 100 11 84.6 11 100 43 95.6 Sedang 0.0 0.0 1 7.7 0.0 1 2.2 Tinggi 0.0 0.0 1 7.7 0.0 1 2.2 Total 10 100 11 100 13 100 11 100 45 100 2 3 Hasil analisis korelasi pearson menunjukkan bahwa lama pendidikan istri berhubungan nyata dengan tingkat kecukupan energi p0.05. Artinya semakin tinggi atau lama pendidikan istri, pemenuhan kecukupan energi pun akan semakin baik. Hal ini ditunjukkan dnegan nilai r sebesar 0.335. Alfitri 2002 P 1 NP 2 P 1 rumahtangga program; rumahtangga nonprogram; jumlah rumahtangga menyimpulkan dari hasil penelitiannya di Kalimantan Selatan bahwa tingkat pendidikan ibu berhubungan posititf dengan jumlah pangan yang dikonsumsi. Sejalan dengan hal tersebut, hasil penelitian di beberapa negara berkembang juga menyebutkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan ibu dengan asupan gizi rumahtangga Hardinsyah 2007. Hardinsyah 2007 menyatakan bahwa para ibu dengan pendidikan lebih baik dapat memilih dan mengombinasikan beragam jenis pangan dengan harga yang tidak mahal. Hasil analisis multivariat di negara berkembang termasuk Indonesia tingkat pendidikan ibu dianggap sebagai determinan penting dari asupan gizi atau pengelolaan gizi di tingkat rumahtangga Behrman wolfe 1987; Behrman et al 1988 dalam Hardinsyah 2007. Selain itu, Nurlatifah 2011 menyampaikan bahwa peningkatan pendidikan juga akan memberikan pengetahuan yang baik terhadap pemenuhan gizi sehingga dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia karena adanya peningkatan produktivitas individu. Akses Ekonomi Program pemberdayaan ekonomi yang dilaksanakan di desa program bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Harapannya dengan pendapatan yang besar bisa membantu dalam peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi, hasil penelitian menyatakan bahwa tidak semua rumahtangga di desa program tergolong akses ekonomi tinggi. Tabel 24 Sebaran rumahtangga berdasarkan akses ekonomi dan tingkat kecukupan energi Tingkat Kecukupan Energi Akses Ekonomi Kurang Cukup 1 NP 2 Total n 3 n 3 n 3 n 3 n 3 n 3 Rendah 1 10 1 2.2 Sedang 1 7.7 1 2.2 Tinggi 9 90 12 100 12 92.3 11 100 44 95.7 Total 10 100 12 100 13 100 11 100 46 100.0 2 3 Tabel 24 menunjukkan sebaran rumahtangga yang memiliki akses ekonomi tinggi di desa program yang tergolong kurang sebesar 90, sedangkan rumahtangga yang memiliki akses ekonomi tinggi yang tergolong cukup sebesar 92.3. Adapun semua rumahtangga desa nonprogram tergolong akses ekonomi tinggi yang tersebar pada kategori kurang dan cukup. Hasil uji korelasi pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan p0.05 antara akses ekonomi dengan tingkat kecukupan energi. Kondisi ini bisa saja terjadi karena beberapa faktor seperti yang diungkapkan oleh Soekirman 2000 bahwa hubungan antara penurunan produksi, pendapatan, dan upah terhadap konsumsi pangan rumahtangga dan status gizi bersifat kompleks yang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti redistribusi pendapatan sektor pemerintah dan swasta, akses terhadap tabungan, ketersediaan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pelayanan sosial lainnya. Hardinsyah 2007 juga menyatakan bahwa faktor pengetahuan gizi dan komposisi rumahtangga pun menjadi faktor yang berpengaruh. Purwantini 2008 menyatakan bahwa besarnya alokasi belanja pangan tidak hanya bergantung kepada pendapatan, tetapi pengetahuan gizi dan komposisi anggota rumahtangga. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa pengeluaran total per kapita ini melibatkan jumlah anggota rumahtangga sehingga ada kemungkinan pengeluaran total per kapita tidak berhubungan dengan tingkat kecukupan energi. Misalnya, rumahtangga A dan B memiliki pengeluaran total per kapita sebesar Rp.200.000,-. Jumlah anggota rumahtangga A adalah lima dan rumahtangga B adalah dua, maka dapat dipastikan bahwa porsi biaya untuk anggota rumahtangga B lebih tinggi sehingga kecenderungan konsumsi panganpun lebih tinggi. Akhirnya, rata-rata konsumsi rumahtangga B lebih besar. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa tingginya akses ekonomi belum tentu berhubungan dengan konsumsi pangan. Keseluruhan Akses Pangan Tingkat kecukupan energi merupakan output dari akses pangan. Baraclough S P Utting 1987, Day Jeniie 1984 dalam Maxwell et al 1992 menyatakan bahwa tujuan akhir dari adanya akses pangan adalah adanya pemenuhan kebutuhan nutrisi bagi setiap individu dalam kelompok masyarakat atau rumahtangga. Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mengukur pemenuhan kebutuhan nutrisi tersebut adalah tingkat kecukupan energi. Akses fisik pangan yang terdapat di desa program ini adalah hasil program pemberdayaan masyarakat. Komponen akses fisik yang diwakilkan ini adalah kondisi jalan, keberadaan pasar, dan keberadaan pedagang keliling. Kondisi jalan yang baik memungkinkan pasar setiap dua kali sebulan bisa masuk ke desa program. Hal yang sama dengan pedagang keliling yang setiap hari bisa mobilisasi di desa program. Kondisi ini berpotensi pada pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari. Nurlatifah 2011 menyimpulkan dari hasil penelitiannya yaitu keberadaan pasar memberikan kemudahan bagi rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan pangan yang bergizi dan beragam. Hal ini sejalan dengan kesimpulan penelitian FAO 2010 dalam Nurlatifah 2011 bahwa pasar merupakan salah satu determinan pencapaian akses pangan yang selanjutnya akan meningkatkan ketahanan pangan. Kondisi jalan menjadi faktor utama keberadaan distributor bahan pangan. Kondisi ini berdampak pada keberadaan pedagang keliling menuju desa nonprogram sehingga frekuensi pedagang keliling berbeda 100 dengan desa program. Artinya, akses penghubung atau jalan menuju desa nonprogram tergolong sulit. FAO 2010 dalam Nurlatifah 2011 menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa jalan yang memadai turut membantu kelancaran distribusi abrang sehingga membantu memperlancar roda perekonomian di daerah tersebut. Nilai dummy ini juga mewakili data kategori lainnya yang berdampak pada tingkat kecukupan energi TKE. Berdasarkan pengolahan datanya dihasilkan persamaan berikut ini: TKE = 75 + 5.22 ap – 1.63 D keterangan: ap = skor akses pangan D = dummy untuk jenis desa TKE = Tingkat Kecukupan Energi TKE Persamaan tersebut mempunyai nilai signifikansi p0.05 tabel 27. Artinya, tidak terdapat perbedaan akses pangan antara akses pangan di desa program dan desa nonprogram. Berlainan dengan Departemen Pertanian 2008 yang menyatakan bahwa suatu wilayahdaerah dikatakan akses pangannya tinggi apabila diwilayahdaerah tersebut terdapat pasar yang menjual bahan pangan pokok dan jaraknya kurang dari tiga kilometer. Hal ini diduga karena kondisi ekosistem, tingkat pendidikan, dan mata pencaharian dikedua desa tersebut hampir sama. Berdasarkan kondisi ekosistemnya, desa nonprogram merupakan desa dengan matapencaharian utama padi sawah dan padi gogo. Selain itu, kebutuhan pangan hewani dipenuhi dari ikan di sungai dan hewan yang diternakan oleh rumahtangga tersebut. Persamaan regresi diatas juga menunjukkan bahwa komponen akses pangan berhubungan positif dengan tingkat kecukupan energi TKE. Hal tersebut dibuktikan dengan nilai positif pada koefisien akses pangan sehingga semakin besar nilai akses pangan maka tingkat kecukupan energinya akan semakin besar. Analisis ini juga dilakukan dengan menggunakan analisis korelasi pearson dimana hasilnya menunjukkan kondisi yang sama yaitu nilai p0.05, r=0.404. Hasil analisis korelasi ditunjukkan pada tabel 28. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Hasil analisis potensi dampak program menunjukkan bahwa program yang telah dilaksanakan telah menyentuh upaya peningkatan akses sosial, fisik, dan ekonomi pangan serta peningkatan konsumsi pangan. 2. Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa lama pendidikan suami, lama pendidikan istri, pengeluaran total per kapita per bulan, dan akses pangan tidak berbeda nyata p0.05 antara rumahtangga di desa program dan nonprogram. 3. Rata-rata jumlah konsumsi energi pada rumahtangga program 1267 kilokalori lebih tinggi dibandingkan dengan rumahtangga nonprogram 1239 kilokalori. Rata-rata tingkat kecukupan energi di desa program adalah 75 sedangkan di desa nonprogram sebesar 74. Hasil uji independent t-test menunjukkan tidak adanya perbedaan p0.05 diantara dua desa tersebut. Adapun tingkat kecukupan energi yang cukup di rumahtangga program lebih tinggi 56.5 dibandingkan dengan rumahtangga nonprogram 52.2. 4. Hasil analisis hubungan menyatakan bahwa terdapat hubungan positif p0.05 antara lama pendidikan suami, lama pendidikan istri, dan akses pangan dengan tingkat kecukupan energi. Akan tetapi, pengeluaran total per kapita per bulan tidak berhubungan dengan tingkat kecukupan energi p0.05. Saran Berdasarkan hasil penelitian, pemberdayaan masyarakat bidang ekonomi dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan harus diperkuat dengan peningkatan pendidikan suami dan istri. Hal ini merupakan salah satu kunci keberhasilan CSR PT Arutmin Tambang Senakin Peningkatan kapasitas suami dapat dilakukan melalui pendidikan nonformal yang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan dan peningkatan kapasitas istri diarahkan untuk mendorong pola asuh dan pola pengaturan konsumsi rumahtangga menjadi lebih baik. Peningkatan kapasitas bagi suami dan istri ini dapat dilakukan melalui pelatihan pada bidang kewirausahaan, pangan, dan gizi. Pelatihan ini berfungsi sebagai sarana untuk menambah pengetahuan dan sikap masyarakat dalam usaha memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Adapun kegiatan yang bisa dilakukan adalah peningkatan frekuensi pendampingan bagi suami seperti kewirausahaan dan strategi pemasaran, pendampingan ibu-ibu melalui pemberdayaan kelompok ibu-ibu, pelatihan pemanfaatan bahan pangan pasca panen, perlombaan pekarangan sehat, dan perlombaan masak 3B Beragam, Bergizi, Berimbang. DAFTAR PUSTAKA [BPS Kotabaru] Badan Pusat Statistik Kotabaru ID. 2012. Kotabaru dalam angka tahun 2012. Kotabaru: Saijaan Grafika. [BPS] Badan Pusat Statistik ID. 2011. Data dan Informasi Kemiskinan tahun 2011. Jakarta: BPS. [DDR] Dompet Dhuafa Republika ID. 2010. Laporan survey kajian sosial ekonomi. PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin. [Deptan] Departemen Pertanian ID. 2008. Peta akses pangan pedesaan. Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian [SII] Sosial Investment Indonesia ID. 2012. Laporan akhir evaluasi pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat. PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin. [RPJMD Sulangkit] Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Sulangkit. 2011. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Sulangkit. Agustiani F. 2012. Analisis akses dan konsumsi pangan keluarga penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan di desa ciparigi dan desa sukadana kabupaten ciamis [skripsi]. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor. Alfitri. 2002. Ketahanan pangan rumahtangga miskin daerah pasang surut di kecamatan kuripan kabupaten barito kuala Kalimantan selatan [skripsi]. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor. An-naf J. 2005. Pembangunan berkelanjutan dan relevansinya untuk Indonesia. Jurnal Madani 2Nov: 46-55. Ariesta dkk. 2011. Laporan Kuliah Kerja Profesi. Laporan yang tidak dipublikasikan. Baliwati YF, Retnaningsih. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta ID: Penebar Swadaya. Behrman JR, Deolalikar AB, Wolfe BL. 1988. Nutrients: Impact and determinants. The World Bank Economic Review. 2: 299-319. Behrman, J. R., dan B. L. Wolfe. 1984. More Evidence on Nutrition Demand: Income Seems Overrated and Womens Schooling Underemphasized. Journal of Development Economics 141: 105-128. Eicker O, Clemens Breisinger. 2012. The food security system: a new conceptual framework. International Food Policy Research Institute IFPRI. Hardinsyah, Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Bogor ID: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Hardinsyah. 2007. Review faktor determinan keragaman konsumsi pangan. Jurnal Gizi dan Pangan. 2 2: 55 - 74 Hariyadi P. 2008. Menuju kemandirian pangan – ketahanan pangan berbasis sumberdaya lokal. Bogor ID: SEAFAST Center Hildawati I. 2008. Analisis akses pangan serta pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi energi dan protein pada keluarga nelayan [skripsi]. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor. Karsyono. 2000. Pola Penyerapan Tenaga Kerja Pedesaan di Indonesia. Prosiding. Dalam: Perubahan Ekonomi Pedesaan Menuju Struktur Ekonomi Berimbang. Jakarta: LIPI. Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor. Latief D, Atmarita, Minarto, Basuni Abas, Tilden Robert . 2000. Konsumsi pangan tingkat rumahtangga sebelum dan selama krisis ekonomi. Didalam: Ananta Kusuma Seta, Moertini Atmowidjojo, Sumali M Atmojo, Abas B Jahari, Puguh B Irawan, Tahlim Sudaryanto, editor. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII 29 Februari 2000; Jakarta, Indonesia. Jakarta ID: LIPI. 159-180. Lubis DJ. 2011. Pemberdayaan masyarakat, arti dan Aaksi. Di dalam: Sulaeman A, Sumarti T, Pranadji DK, editor. Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga: Bekal Mahasiswa Kuliah Kerja Profesi; Juni 2011; Bogor, Indonesia. Bogor ID: IPB Press, 15-34. Madihah. 2002. Faktor-faktor predisposisi yang berhubungan dengan leluarga mandiri sadar gizi KADARZI di kecamatan banua lawas, kabupaten tabalong Nusa Tenggara Barat Tahun 2002 [skripsi]. Depok ID: Universitas Indonesia Maxwell et al. 1992. Households Food Security: Concepts, Indicators, Measurement. Rome: IFAD Maxwell Simon. 1996. Food security: a post-modern perspective. Food policy. 21 2: 155-170. Novita Sari, Fardianah Mukhyar. 2011. Kajian: Pola pengeluaran rumahtangga petani padi sawah di kabupaten banjar Kalimantan selatan. Jurnal Agribisnis Perdesaan. 1 4: 275-284 Nurlatifah. 2011. Determinan ketahanan pangan regional dan rumah tangga di provinsi jawa timur [skripsi]. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor Oluyole et al. 2009. Food security among cocoa farming households of ondo state, Nigeria. ARPN Journal of agricultural and biological science. 4 5: 7-13. Omuemu VO, Otasowie EM, Onyiriuka U. 2012. Prevalence of food insecurity in egor local government area of Edo State, Nigeria. Annals of African Medicine Journals 11 3: 139-145. doi:10.41031596-3519.96862. Pakpahan, A, P.Srliem dan S.H., Suhartini. 1993. Penelitian Tentang Ketahanan Pangan Masyarakat Berpendapatan Rendah. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Petanian. Bogor ID. Permatasari. 2004. Keragaan ketahanan pangan dan status gizi keluarga pertani desa kolelet wetan kecamatan rangkasbitung banten [skripsi]. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor. Purnamasari D U. 2001. Pengaruh pengeluaran pangan, jumlah anggota keluarga dan pengetahuan gizi terhadap konsumsi energi, protein, fe, dan status gizi pada ibu hamil di kecamatan kangkung, kabupaten kendal. [skripsi]. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor Purwantini TB dan Mewa Ariani. 2008. Pola pengeluaran dan konsumsi pangan pada rumahtangga petani padi. Dalam Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Tantangan dan Peluang bagi Kesejahteraan Petani; 19 November 2008; Bogor, Indonesia. Bogor ID: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Departemen Pertanian. 1-16. Rahayu 2007. Analisis pengaruh program pemberdayaan masyarakat PT Andalan Riau Pulp and Paper terhadap ketahanan pangan rumahtangga [tesis]. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor. Rochaeni S, Lokollo. 2005. Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan ekonomi rumahtangga petani di kelurahan situgede bogor. Jurnal Agro Ekonomi 23 2: 133-158. Irawan PB, Romdiati H. 2000. Dampak krisis ekonomi terhadap kemiskinan dan beberapa implikasinya untuk strategi pembangunan. Didalam: Ananta Kusuma Seta, Moertini Atmowidjojo, Sumali M Atmojo, Abas B Jahari, Puguh B Irawan, Tahlim Sudaryanto, editor. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII 29 Februari 2000; Jakarta, Indonesia. Jakarta ID: LIPI. 193-237. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi Dan Aplikasinya Untuk Keluarga Dan Masyarakat. Jakarta ID: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Soemartini. 2008. Principal component analysis PCA sebagai salah satu metode untuk mengatasi masalah multikolinearitas. Bandung: Universitas Padjadjaran Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Jakarta ID: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional - Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Sukandar D, Khomsan A, Herawati T. 2009. Kajian pemberdayaan ekonomi keluarga untuk peningkatan akses pangan. Jurnal Gizi dan Pangan 4 3: 157-166. Sumertajaya I Made 2010. Bahan kuliah analisis komponen utama. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor. Sunarti E, Nuryani N, Hernawati N. 2009. Hubungan antara fungsi adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan pemeliharaan sistem dengan kesejahteraan keluarga. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen 2 1: 1-10. Swastika DKS, DJulin A, Ramli R. 2006. Struktur penguasaan lahan dan pendapatan rumah tangga tani studi kasus di kabupaten kapuas dan barito selatan, kalimantan tengah. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor ID. Wibisono Y. 2007. Membedah Konsep dan Aplikasi CSR. Gresik ID: Fascho Publishing. Widjajanti L. 2009. Survei Konsumsi Gizi. Semarang ID: Badan Penerbit UNDIP. LAMPIRAN Lampiran 1 Contoh Kuisioner Penelitian DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 No : Enumerator : RT RW : Kuisioner ini merupakan alat pengumpulan data “Analisis Akses dan Konsumsi Pangan Rumahtangga Penerima dan Bukan Penerima Program Pemberdayaan Masyarakat di Desa Lingkar Tambang PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin”. Informasi yang diberikan akan dimohon informasi yang diberikan adalah informasi yang sebenar-benarnya. Terima kasih atas partisipasi anda. Saya setuju untuk diwawancara Nama KK Penerima atau bukan Programwakil Sheet 1. Karakteristik Keluarga No. 1.1 Nama 1.2 Posisi di keluarga

1.3 Jenis