Sheet 5. Pengeluaran rumahtangga
Jenis pengeluaran Pengeluaran Rp per
Harian Mingguan
Bulanan Tahunan
1. PANGAN
1. Beras
Sub total 1.1
2. Umbi-umbian 2.1. Ubi jalar
2.2. Singkong 2.3. Kentang
Sub total 1.2
3. Jagung
Sub total 1.3
4. Lauk sebutkan 4.1. Telur Ayam
4.2. Daging Ayam 4.3. Ikan Asin
4.4. Ikan segar 4.5. Tahu
4.6. Tempe 4.7. Daging sapi
4.8. 4.9.
4.10.
Sub total 1.4
5. Sayur
Sub total 1.5
6. Buah
Sub total 1.6
7. Minyak goreng
Sub total 1.7
8. Minuman 8. 1. Susu
8. 2. Kopi 8. 3. Gula
8. 4. Teh
Sub total 1.8
9. Jajanan Bakso, snack, permen, dll
10.Lainnya 10.1. Kerupuk
10.2. Garam 10.3. Kecap
Jenis pengeluaran Pengeluaran Rp per
Harian Mingguan
Bulanan Tahunan
10.4. Saos 10.5. Bumbu
10.6. Mie 10.7. Tepung
10.8. 10.10.
Sub total 1.10 Tot Pangan
2. NONPANGAN
1.Sekolah 1.1.SPPBP3Les
1.2.Uang transport 1.3.Bukualat tulis
1.4. Seragam sekolah 1.5. Sepatu
1.6.
Sub total 2.1
2. Pakaianjahit baju
Sub total 2.2
3. Bahan bakar 3.1. Minyak tanah
3.2. Kayu bakar 3.3. Gas
3.3. Bensin 3.5.
3.6.
Sub total 2.3
4. Kesehatan 4.1.Jasa danmantri
4.2. Vitaminsupleme 4.3. Obat-obatan
4.4. KB
Sub total 2.4
5. Alat bersih 5.1. Sabun mandi
5.2. Odol 5.3. Sampoo
5.4. Conditioner 5.5. Sikat gigi
5.5. Kapaspembalut 5.7. Sabun Cuci
Jenis pengeluaran Pengeluaran Rp per
Harian Mingguan
Bulanan Tahunan
5.8. Sikat pakaian 5.9. Bedak
5.10. Lipstik 5.11. Deodoran
5.12. Minyak wangi 5.13. Sapu
5.14. 5.15.
Sub total 2.5
6. Rokok
Sub total 2.6
7. Lain-lain 7.1. Transpor selain anak
7.2. Sewa merawat rumah 7.3. PAMbeli air bersih
7.4. Rekreasihiburan 7.5. Sumbangan
7.6. Kredit Arisan 7.7. Pembayaran pajak
7.7. Telepon 7.9. Listrik
7.10. Tabungan 7.11
7.12 7.13
7.14
Sub total 2.7 Tot Nonpangan
TOTAL PENGELUARAN
Lampiran 2 Hasil uji statistik contoh Tabel 25 Hasil uji
independent t-test komponen akses pangan dan tingkat kecukupan energi rumahtangga desa program dan desa nonprogram
Komponen Standard error
Sig. 2 tailed Keterangan
Lama pendidikan 1.124
0.379 Tidak berbeda
suami Lama pendidikan istri
0.997 0.574
Tidak berbeda Pengeluaran total per
kapita per bulan Skor komponen utama
akses pangan Tingkat kecukupan
58016.6 0.133
Tidak berbeda 0.391
0.222 Tidak berbeda
5.04 0.855
Tidak berbeda energi
Tabel 26 Skor komponen utama akses pangan rumahtangga di desa program
dan desa nonprogram
Rumah tangga
skor akses pangan Program
nonprogram
1 4.187241
1.627341 2
-0.60319 -0.27807
3 2.570174
-0.19145 4
0.037343 -0.90433
5 0.351236
-0.06473 6
0.331195 0.61894
7 -1.46208
0.305387 8
-1.77122 0.013313
9 -1.19139
-1.24942 10
0.404135 -0.41072
11 0.900701
-0.82242 12
-0.71883 -0.33314
13 0.607095
-0.50639 14
3.921039 -0.27057
15 2.178116
0.893183 16
0.063931 0.20951
17 -1.01741
-0.39815 18
-0.45833 0.353859
19 0.344719
-1.80779 20
1.418507 -2.06995
21 -1.36151
0.470006 22
-1.00697 -0.14137
23 -2.112
-0.65557
1 Constant
Tabel 27 Hasil regresi akses pangan dengan tingkat kecukupan energi
Unstandardized Model
Coefficients Standard eror
Sig. B
74.143 2.306
.000 pca
5.104 1.745
.005
Constant 74.960
3.323 .000
2 pca
5.218 1.793
.006 D
-1.634 4.740
.732
Tabel 28 Hasil analisis korelasi pearson akses pangan dengan TKE pada
keseluruhan contoh
Komponen Sig. 2 tailed
r
Lama pendidikan suami 0.025
0.331 Lama pendidikan istri
0.023 0.335
Pengeluaran total per kapita 0.073
0.267 Komponen utama akses pangan
0.005 0.404
korelasi signifikan pada level 0.05 korelasi signifikan pada level 0.01
ABSTRACT
DESY LEO ARIESTA. The Analyze of Food and Consumption Access of The
Households Beneficiary Program and non-Beneficiary Program of Community Development
Program in
Wilas and
Sulangkit Village,
Kotabaru Regency,
Kalimantan Selatan. Under direction of YAYUK FARIDA BALIWATI.
The purpose of this study was to analyze the food and consumption acces
of the
households beneficiary
and non-beneficiary
of community
development program in Desa Wilas and Desa Sulangkit, Kotabaru Regency, South Kalimantan. The study used cross sectional study design which include 46
households with purposive sampling. Desa Wilas is a program beneficiary and Desa Sulangkit is a non-beneficiary. The result showed that several programs
that were done in Desa Wilas have been helping to increase food acces especially in social, physics, and economics. Social food acces component was
dominated by the basic education periode ≤ 9 years of husband and wife, as in
the beneficiary village 81.8 and 91.3 and in the non-beneficiary village 95.5 and 100. All of the households 100 in the beneficiary village have
a high economy food acces while in the beneficiary households have a lower acces 91.3. The whole food acces showed that the food access score
increased if the education periode of husband and wife was longer and the economy acces was bigger. The average households food consumption is higher
in beneficiary village 1280 kkal than in non-beneficiary 1240 kkal. The households in beneficiary village 56.5 had a higher good level
≥70 of sufficiency energy than in the non-beneficiary village 47.8. There were no
differences of sufficient level of energy, the component, and the whole food acces between the two households p0.05. The periode of education of
husband and wife and the whole food acces had possitive correlation p0.05 with sufficiency level of energy. Meanwhile there was no correlation between
economy food acces and sufficiency level of energy p0.05.
Keywords: food acces, food consumption, households, community development
RINGKASAN
DESY LEO ARIESTA. Analisis Akses dan Konsumsi Pangan Rumahtangga
Penerima dan Bukan Penerima Program Pemberdayaan Masyarakat di Desa Wilas dan Desa Sulangkit, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Dibawah
bimbingan YAYUK FARIDA BALIWATI
Desa wilas merupakan salah satu desa prioritas pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin. Laporan
Dompet Dhuafa
Republika 2010
sebagai mitra
perusahaan menunjukkan
bahwa potensi pertanian, perikanan, dan perkebunan di Desa Wilas sangat tinggi. Tingginya potensi tersebut belum tentu menjamin baiknya status gizi
penduduk. Ariesta et al 2011 mencatat bahwa sebanyak 45 balita di Desa
Wilas memiliki status gizi BBU kurang. Menurut kategori WHO persentase tersebut
termasuk permasalahan gizi yang sangat
tinggi. Oleh
karena itu, penelitian
ini penting
dilakukan untuk
mengkaji program
pemberdayaan masyarakat perusahaan tersebut melalui konsep ketahanan pangan khususnya
akses dan konsumsi pangan sebagai salah satu manifestasi status gizi yang baik.
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis akses dan konsumsi pangan rumahtangga penerima program yaitu Desa Wilas dan bukan
penerima program
yaitu Desa
Sulangkit, Kabupaten
Kotabaru, Kalimantan
Selatan. Tujuan
khusus yang
ingin dicapai
pada penelitian
ini adalah
1 menganalisis
program pemberdayaan
masyarakat PT
Arutmin Indonesia
Tambang Senakin di desa penerima program pemberdayaan masyarakat, 2 menganalisis akses pangan pada rumahtangga dikedua desa, 3 menganalisis
tingkat kecukupan energi pada rumahtangga dikedua desa, dan 4 menganalisis hubungan
antara akses
pangan dengan
tingkat kecukupan
energi TKE
rumahtangga dikedua desa. Penelitian
ini menggunakan
disain cross
sectional study
yang dilaksanakan di Desa Wilas dan Desa Sulangkit, Kecamatan Kelumpang Utara
Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei-Juni 2012. Teknik penarikan contoh dilakukan secara purposif. Contoh
yang dipilih untuk rumahtangga penerima program pemberdayaan masyarakat adalah rumahtangga di Desa Wilas yang mengikuti Program Pemberdayaan
Ekonomi Masyarakat PPEM sebanyak 23 rumahtangga. Jumlah rumahtangga di Desa Sulangkit dipilih sampai mencapai 23 rumahtangga. Oleh karena itu,
jumlah contoh yang dipilih sebanyak 46 rumahtangga. Data
yang dikumpulkan
berupa data
primer dan
data sekunder.
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Microsoft Excel, Minitab 16
Statistical Software, dan SPSS 16.0 for windows. Statistika deskriptif digunakan untuk
menunjukkan jumlah
dan persentase
komponen akses
pangan rumahtangga dan TKE rumahtangga. Selanjutnya data dianalisis dengan uji
independent t-test. Akses pangan rumahtangga dibentuk dari komponen yang sudah ada dengan menggunakan
Principal Component Analysis PCA. Selain itu, Analisis regresi dummy juga dilakukan untuk mengetahui perbedaan akses
pangan dikedua desa kaitannya dengan TKE. Selanjutnya, dilakukan uji korelasi pearson antara komponen akses pangan dengan TKE rumahtangga.
Komitmen perusahaan
lebih khusus
ditetapkan dalam
kebijakan mengenai visi dan misi tanggung jawab sosial perusahaan. Dokumen ini tertuang
dalam memorandum Nomor 290AIVIII2008. Program yang menjadi prioritas pada tahap kedua 2010-2013 adalah program bidang ekonomi. Berdasarkan
analisis potensi dampak, beberapa program yang dijalankan di Desa Wilas membantu meningkatkan akses dan konsumsi pangan rumahtangga.
Rata-rata lama
pendidikan formal
suami di
desa program
adalah 5.87±4.47 tahun lebih lama dibandingkan dengan di desa nonprogram selama
4.87 ± 3.00 tahun. Tingkat pendidikan suami didominasi oleh kategori dasar baik di desa program 82.6 maupun desa nonprogram 95,7. Rata-rata lama
pendidikan formal yang dilalui istri di desa program adalah 4.91±3.68 dan 4.35±3.05 tahun di desa nonprogram. Lama pendidikan istri juga didominasi oleh
kategori dasar baik
di desa program 91.35
maupun desa
nonprogram 100.
Rata-rata pengeluaran
total per
kapita pada
desa program
adalah Rp.581.109 lebih tinggi dibanding desa nonprogram yaitu Rp.492.164. Sebanyak
100 rumahtangga didesa nonprogram tergolong memiliki akses ekonomi yang tinggi, sedangkan rumahtangga di desa program memiliki tersebar pada akses
ekonomi rendah 4.3, sedang 4.3, dan tinggi 91.3. Persamaan Akses pangan y = 0.661X1
std
+ 0.567X2
std
+ 0.491X3
std
menunjukkan bahwa akses pangan akan bernilai tinggi jika pendidikan suami dan istri akses sosial lebih lama serta pengeluaran total per kapita akses
ekonomi lebih besar. Persamaan tersebut juga menunjukkan bahwa koefisien X1
std
merupakan koefisien tertinggi, artinya pendidikan suami memilki peran yang sangat besar terhadap peningkatan akses pangan. Rata-rata nilai keseluruhan
akses pangan lebih tinggi di desa program 1.262 dibandingkan dengan desa nonprogram 0.635. Hal ini menunjukkan bahwa rumahtangga di desa program
cenderung memiliki
suami dan
istri yang
berpendidikan lebih
lama serta
pengeluaran total per kapita per bulan yang lebih tinggi. Jumlah rata-rata konsumsi energi di desa nonprogram lebih rendah 1242
kkal dibandingkan dengan rumahtangga desa program 1280 kkal. Konsumsi energi didominasi oleh kelompok padi-padian. Rumahtanga dengan persentase
TKE cukup ≥70 lebih tinggi di desa program 56.5 dibandingkan dengan
desa nonprogram 47.8.
Kategori TKE kurang
70 lebih tinggi desa nonprogram 52.2 dibandingkan dengan desa program 43.5.
Rumahtangga di desa program dengan TKE kurang didominasi oleh suami yang berpendidikan dasar 88.9 dan rumahtangga dengan TKE cukup
juga memiliki suami yang berpendidikan dasar 76.9. Rumahtangga desa nonprogram
dengan TKE
kurang seluruhnya
100 memiliki
suami yang
berpendidikan dasar dan rumahtangga dengan TKE cukup didominasi juga oleh suami yang berpendidikan dasar 90.9. Rumahtangga desa program yang
tergolong TKE kurang seluruhnya 100 memiliki istri berpendidikan dasar, dan rumahtangga dengan TKE cukup juga didominasi oleh pendidikan dasar istri
84.6. Adapun di desa nonprogram seluruh 100 rumahtangga dengan TKE kurang dan cukup memiliki istri yang berpendidikan dasar.
Rumahtangga desa program yang memiliki akses ekonomi tinggi dan tergolong TKE kurang sebesar 90, sedangkan rumahtangga yang memiliki
akses ekonomi tinggi dengan TKE
cukup sebesar 92.3.
Adapun semua rumahtangga desa nonprogram yang tergolong akses ekonomi tinggi tersebar
pada TKE kurang dan cukup. Hasil uji
independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan p0.05 lama pendidikan suami, lama pendidikan istri, pengeluaran total per
kapita per bulan, nilai akses pangan, dan tingkat kecukupan energi antara desa program dan desa nonprogram. Hasil uji korelasi
pearson menunjukkan bahwa terdapat
hubungan positif
antara tingkat
kecukupan energi
dengan lama
pendidikan suami p0.05, r=0.331, lama pendidikan istri p0.05, r=0.335, dan keseluruhan akses pangan p0.05, r=0.404.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ketahanan pangan menjadi isu sejak adanya World Food Conference
pada tahun 1974. Oloyule et al 2009 dan Hariyadi 2008 mempunyai pendapat
yang sama
bahwa ruang
lingkup ketahanan
pangan saat
ini tidak
hanya ketersediaan pangan, akan tetapi adanya stabilitas pangan, akses terhadap
pangan, dan pemanfaatan pangan. Perkembangan definisi ketahanan pangan ini disebut Maxwell 1996 telah mencapai sekitar 200 definisi yang berbeda. Akan
tetapi, Indonesia memiliki definisi sendiri yang tertuang dalam UU Pangan Nomor 7 Tahun 1996 bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan
bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.
Pencapaian ketahanan
pangan ini
merupakan salah
satu prioritas
pembangunan nasional karena pangan merupakan kebutuhan dasar yang tidak bisa digantikan dengan bahan lain. Rahayu 2007 menyatakan bahwa dalam
pemenuhan hak dasar rakyat, pemerintah bisa bekerjasama salah satunya adalah
dengan pihak
swasta. Hal
ini dikarenakan
pihak swasta
yang menjalankan bisnis ditengah masyarakat saat ini dituntut untuk melaksanakan
pertanggungjawaban sosialnya
atau disebut
sebagai community
social responsibility CSR terhadap daerah sekitar perusahaan.
PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin adalah salah satu perusahaan yang menjalankan tanggung jawab sosialnya dengan konsep pemberdayaan
masyarakat. Millenium development goals MDG’S sebagai isu sentral saat ini
dijadikan salah satu acuan oleh community department dalam melaksanakan
programnya. Program
pemberdayaan tersebut
meliputi bidang
ekonomi, kesehatan, pendidikan, sosial budaya, dan infrastruktur. Cakupan program ini
tersebar di empat kecamatan yaitu Kelumpang Utara, Kelumpang Tengah, Pamukan Selatan, dan Sampanahan, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan.
Namun, program pemberdayaan masyarakat diprioritaskan di desa-desa yang terkena dampak langsung aktifitas pertambangan atau disebut daerah ring satu.
Desa wilas merupakan salah satu desa prioritas pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat. Laporan Dompet Dhuafa Republika 2010 sebagai
mitra perusahaan
menunjukkan bahwa
potensi pertanian,
perikanan, dan
perkebunan di Desa Wilas sangat tinggi. Tingginya potensi tersebut belum tentu menjamin baiknya status gizi penduduk. Ariesta
et al 2011 mencatat bahwa
sebanyak 45 balita di Desa Wilas memiliki status gizi BBU kurang. Menurut kategori WHO persentase tersebut termasuk permasalahan gizi yang sangat
tinggi. Oleh karena itu, penelitian ini penting dilakukan untuk mengkaji program pemberdayaan
masyarakat perusahaan
tersebut melalui
konsep ketahanan
pangan khususnya akses dan konsumsi pangan sebagai salah satu manifestasi status gizi yang baik.
Pengkajian ini
juga membutuhkan
desa pembanding
yang memiliki
karakteristik sosial, ekonomi, dan ekosistem yang hampir sama dengan Desa Wilas. Desa Sulangkit merupakan desa yang memiliki kondisi sosial ekonomi dan
kondisi alam
yang hampir
sama dengan
Desa Wilas.
Letak desa
ini berdampingan dengan Desa Wilas. Jarak kedua desa tersebut sekitar empat
kilometer. Desa
Sulangkit adalah
desa yang
tidak menerima
program pemberdayaan dari pihak manapun. Oleh karena itu, Desa Sulangkit dijadikan
desa pembanding dalam menganalisis akses dan konsumsi pangan.
Tujuan
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis akses dan konsumsi
pangan rumahtangga
penerima dan
bukan penerima
program pemberdayaan masyarakat di Desa Wilas dan Desa Sulangkit, Kabupaten
Kotabaru, Kalimantan Selatan. Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis karakteristik program pemberdayaan masyarakat PT Arutmin
Indonesia Tambang Senakin di desa penerima program
pemberdayaan masyarakat.
2. Menganalisis akses pangan pada rumahtangga di desa penerima dan bukan
penerima program pemberdayaan masyarakat. 3.
Menganalisis tingkat kecukupan energi pada rumahtangga di desa penerima dan bukan penerima program pemberdayaan masyarakat.
4. Menganalisis hubungan antara akses pangan dengan tingkat kecukupan
energi rumahtangga
di desa
penerima dan
bukan penerima
program pemberdayaan masyarakat.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam
pengayaan ilmu pengetahuan dalam bidang pangan dan kesehatan bagi masyarakat desa lingkar
tambang pada khususnya dan masyarakat lain pada umumnya. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan bahan penyempurnaan dan pengembangan program
pemberdayaan masyarakat khususnya dalam pencapaian ketahanan pangan rumahtangga desa lingkar tambang.
TINJAUAN PUSTAKA
Akses Pangan
Pada awalnya, konsep ketahanan pangan akan terjadi ketika pangan telah tersedia sehingga negara-negara didunia fokus pada ketersediaan pangan
nasional dan internasional, keberlanjutan, dan pengimbangan fluktuasi harga. Berbagai studi di Afrika menunjukkan hal yang berbeda yaitu meskipun pangan
telah tersedia, namun kondisi kelaparan tetap saja terjadi De Wall dalam Maxwell
et al 1992. Selain itu, De Waal menemukan pada tahun 1984 di Darfur orang-orang memilih kelaparan agar bisa mempertahankan aset mereka dan
mata pencaharian untuk masa depan. Pada akhirnya, Amartya Sen 1981 dalam Maxwell 1996 menginisiasi perpindahan paradigma konsep ketahanan pangan
menjadi akses pangan sebagai titik fokus. Selanjutnya teori ini disebut sebagai hak atas pangan
food entitlement. World Bank 1986 dalam Maxwell 1996 mendefinisikan ketahanan pangan yaitu akses bagi semua orang setiap waktu
untuk mencukupi pangan untuk hidup aktif dan sehat. Maxwell 1996 menyatakan bahwa peneliti dan praktisi pembangunan
saat ini
menyadari bahwa
akses yang
stabil dan
ketersediaan pangan
merupakan dua kata kunci ketahanan pangan rumahtangga. Rumahtangga akan mempunyai akses pangan yang stabil jika mereka dapat terus hidup artinya
untuk memperoleh
pangan yang
dibeliproduksi sendiri
tanpa merusak
lingkungan. Akses yang stabil juga dipengaruhi oleh mekanisme lokal, informasi sosial
yang menyangga
rumahtangga dari
kejutan-kejutan periodik.
Jadi, indikator ketahanan pangan rumahtangga harus dapat mengukur perubahan hak
atas pangan Downing 1990 dalam Maxwell et al 1992.
Hak atas pangan meliputi seberapa banyak rumahtangga yang bisa mengakses pangan dari hasil produksi sendiri, pendapatan, berburu, dukungan
masyarakat, aset, dan migrasi. Beberapa variabel sosial ekonomi berpengaruh terhadap
akses pangan
rumahtangga ini
Maxwell 1996.
Akses pangan
rumahtangga yang
stabil akan
dijelaskan oleh
pengertiannya dalam
menyediakan makanan produksi, membeli, pemberian dan mekanisme sosial yang menyangga rumahtangga dari kejutan-kejutan periodik agar dapat terus
hidup sehat dan aktif. Departemen Pertanian 2008 mendefinisikan akses pangan sebagai kemampuan rumahtangga secara periodik memenuhi sejumlah
pangan yang cukup melalui kombinasi cadangan pangan mereka sendiri dan
hasil dari
rumah atau
pekarangan sendiri,
pembelian, barter,
pemberian, pinjaman, dan bantuan pangan.
Departemen Pertanian 2008 mengklasifikasikan akses pangan kedalam tiga aspek yaitu fisik, ekonomi, dan sosial. Akses fisik meliputi ketersediaan
produksi, konsumsi normatif dan distribusi berupa infrastruktur pendukung perolehan pangan. Akses ekonomi meliputi pendapatan, kerja dan, usaha. Akses
sosial berupa jumlah penduduk yang tidak tamat SD.
Akses Sosial
Departemen Pertanian
2008 mendefinisikan
akses pangan
sosial sebagai kemampuan rumahtangga dalam memperoleh pangan yang dipengaruhi
oleh tingkat pendidikan penduduk, bantuan sosial, budayakebiasaan makan, konflik sosial keamanan, dan lainnya. Tingkat pendidikan dijadikan sebagai
indikator akses sosial dalam Departemen Pertanian 2008; Hildawati 2008; Agustiani 2012. Tingkat pendidikan di suatu wilayah pada umumnya akan
mencerminkan keragaman mata pencaharian yang dijalani penduduk di wilayah tersebut
Sukandar dkk
2009. Hasil
penelitian Sukandar
dkk 2009
juga menyebutkan bahwa tingkat pendidikan suami peserta PNPM Mandiri adalah
rendah. Hasil penelitian Agustiani 2012 menyatakan bahwa meskipun tidak
berbeda secara statistik, persentase keluarga yang memiliki akses pangan komponen tingkat pendidikan suami lebih tinggi pada kelompok penerima apabila
dibandingkan dengan keluarga pada kelompok bukan penerima program desa mandiri
pangan. Permatasari
2004 menemukan
hal yang
sama bahwa
sebagian besar tingkat pendidikan kepala keluarga petani adalah rendah. Sunarti dkk 2009 juga menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa tingkat pendidikan
formal istri
dan suami
yang bekerja
sebagai penggarap
dan buruh
tani didominasi oleh lulusan Sekolah Dasar SD atau tidak tamat SD.
Hasil penelitian
Permatasari 2004
menyatakan bahwa
tingkat pendidikan ibu rumahtangga petani di Banten sebagian besar 62.9 adalah
sekolah dasar,
hanya sebesar
2 ibu
rumahtangga yang
sampai pada
pendidikan lanjut. Rahayu 2007 juga menyatakan bahwa tingkat pendidikan ibu rumahtangga petani di daerah sekitar perusahaan RAPP tergolong rendah
70.6. Hasil penelitian Agustiani 2012 juga menyimpulkan bahwa tingkat pendidikan
ibu rumah tangga di daerah pertanian didominasi oleh lulusan
sekolah dasar.
Karsyono 2000 menyatakan bahwa tenaga kerja pertanian di wilayah pedesaan didominasi oleh tenaga kerja dengan tingkat pendidikan SD atau tidak
tamat sekolah. Hal tersebut diduga menjadi penyebab rendahnya akses pangan. Behrman
Wolfe 1984
menyatakan bahwa
akses pangan
rumahtangga bergantung
kepada pengambil
keputusan yang
salah satu
karakteristiknya adalah pendidikan formal.
Nurlatifah 2011 menjelaskan dalam hasil penelitiannya bahwa tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap produktivitas dan output yang pada
akhirnya akan meningkatkan pendapatan. Peningkatan pendapatan selanjutnya akan menentukan akses untuk mendapatkan pangan. Cohen 1981 dalam
Hardinsyah 2007
mengidentifikasi pola
pengambilan keputusan
pemilihan pangan dalam keluarga Indonesia adalah pola istri yang dominan. Behrman
Wolfe 1984 juga menyatakan bahwa akses pangan rumahtangga bergantung kepada pengambil keputusan yang salah satu karakteristiknya adalah pendidikan
formal ibu atau istri.
Akses Fisik
Wilayah dikatakan
akses pangannya
tinggi apabila
diwilayahdaerah tersebut terdapat pasar yang menjual bahan pangan pokok. Wilayahdaerah
tersebut dikatakan memiliki akses pangan yang sedang apabila tidak memiliki pasar dalam wilayahdaerah tersebut, namun jarak terdekat wilayahdaerah
tersebut dengan pasar pasar yang menjual bahan pangan pokok kurang dari dan atau sama dengan tiga kilometer. Adapun akses pangannya rendah apabila jarak
terdekat dengan pasar lebih dari tiga kilometer Departemen Pertanian 2008. Contoh indikator akses fisik diantaranya persentase desa yang tidak
memiliki akses penghubung yang memadai dan persentase rumah tangga tanpa akses
listrik Departemen
Pertanian 2008,
kondisi jalan
atau sarana
penghubung Nurlatifah
2011. Contoh
lainnya adalah
ketersediaan bahan
pangan di warung, kondisi jalan ke pasar, dan adatidak adanya pasar Hildawati 2008.
Nurlatifah 2011 menyimpulkan dari hasil penelitiannya yaitu keberadaan pasar memberikan kemudahan bagi rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan
pangan yang bergizi dan beragam. Hal ini sejalan dengan kesimpulan penelitian FAO
2010 dalam
Nurlatifah 2011
bahwa pasar
merupakan salah
satu determinan pencapaian akses pangan yang selanjutnya akan meningkatkan
ketahanan pangan.
Akses Ekonomi
Akses ekonomi dapat diukur dengan berbagai indikator yaitu sumberdaya keuangan
atau pendapatan
Eicker Breisinger
2012; pendapatan
rumahtangga per kapita per bulan Departemen Pertanian 2008; pengeluaran total per kapita per bulan Hildawati 2008; Agustiani 2012. Moho dan Wagner
1981 dalam Hildawati 2008 menyatakan bahwa data pengeluaran dapat menggambarkan pola konsumsi keluarga dalam pengalokasian pendapatan yang
biasanya relatif tetap. Pengeluaran pada keluarga yang berpendapatan rendah, biasanya akan lebih besar jumlahnya daripada pendapatan mereka. Oleh karena
itu, data pengeluaran lebih mencerminkan pendapatan yang sebenarnya. Selain itu, Purwantini Mewa 2008 menyatakan bahwa secara alamiah kuantitas
pangan yang
dibutuhkan seseorang
akan mencapai
titik jenuh
sementara kebutuhan bukan pangan termasuk kualitas pangan yang tidak dibatasi dengan
cara yang sama. Oleh karena itu, besar pendapatan yang dibelanjakan untuk pangan bisa dijadikan petunjuk kesejahteraan.
Sejalan dengan hal tersebut, Salvatore 2006 dalam Novita Fardianah 2011 menuliskan sebuah hukum yang dikenal sebagai Hukum Engel bahwa
bila selera tidak berbeda maka persentase pengeluaran untuk pangan akan menurun
dengan meningkatnya
pendapatan. Semakin
rendah persentase
pengeluaran untuk pangan terhadap total pengeluaran semakin membaik tingkat perekonomian
penduduk. Sebaliknya,
semakin besar
pangsa pengeluaran
pangan semakin kurang sejahtera rumahtangga yang bersangkutan. Suhardjo 1989 menyatakan bahwa pengeluaran pangan rumahtangga
dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu subsidi pangan oleh pemerintah, pangan yang dibagi-bagikan diantara anggota masyarakat pedesaan, jumlah dan ragam
pangan yang dibeli, harga pangan di pasaran, persediaan pangan yang dapat diterima di pasaran, jumlah pendapatan yang dikeluarkan untuk pangan serta
pendapatan rumahtangga. Keluarga yang memiliki cukup akses secara ekonomi dan pemenuhan kebutuhan pangan, pengetahuan gizi orang tua yang baik akan
berpengaruh terhadap semakin baiknya keragaman konsumsi pangan anggota keluarganya Hardinsyah 2007.
Pengeluaran total rata-rata per kapita per bulan Kalimantan selatan tahun 2011 adalah Rp.699.417, sedangkan pengeluaran untuk pangan adalah Rp.
373.301. Oluyole et al 2009 menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa ketahanan
pangan rumahtangga
meningkat seiring
dengan meningkatnya
pendapatan rumahtangga.
Novita Fardianah
2011 mencatat
dari hasil
penelitiannya di Kalimantan Selatan bahwa tingginya pengeluaran rumahtangga petani padi sawah untuk pangan dibandingkan pengeluaran untuk bukan pangan
menunjukkan bahwa
tingkat kesejahteraan
petani padi
sawah harus
terus ditingkatkan.
Konsumsi Pangan Rumahtangga
Hardinsyah Briawan 1994 menjelaskan bahwa konsumsi pangan merupakan
informasi tentang
jumlah dan
jenis pangan
yang dikonsumsi
seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu. Pemilihan cara yang digunakan sangat ditentukan oleh satuan pengamatan unit contoh, waktu,
tenaga, dan dana
yang tersedia.
Ada dua pengertian
mengenai penilaian konsumsi pangan yaitu pertama penilaian terhadap kandungan zat gizi dari
makanan dan yang kedua membandingkan kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang dengan angka kecukupannya.
Pemahaman kedua digunakan untuk mengetahui tingkat konsumsi zat gizi seseorang
atau sekelompok
orang. Untuk
itu, penilaian
konsumsi pangan
biasanya dilakukan terhadap makanan yang dikonsumsi dengan satuan per orang per hari atau unit konsumen.
O’brien palce
Frankenberger 1988 dalam
Maxwell et
al 1992
menyatakan bahwa penilaian frekuensi pangan terkait dengan pengumpulan jumlah minimum makanan yang dikonsumsi fokus pada jumlah item makanan
dibatasi pada kelompok pangan dan menanyakan frekuensi konsumsi makanan tersebut dibanding jumlah yang dikonsumsi. Informasi dikumpulkan dengan
food recall 24 jam. Rumahtanhga digolongkan kepada konsumsi pangan kurang dan
cukup. Suhardjo 1989 menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah cara penyimpanan bahan pangan, tersedianya bahan
bakar, beban pekerjaan, cara penyimpangan pangan, dan kebiasaan makan tradisional seperti pola pembagian makanan kepada anggota-anggota keluarga.
Tingkat Kecukupan Energi
Konsumsi pangan sehari merupakan penjumlahan dari makan pagi, siang, malam dalam kurun waktu 24 jam. Jika lebih dari satu hari, maka
konsumsi pangan per hari merupakan jumlah konsumsi pangan dibagi dengan jumlah
hari survey.
Satuannya gram
per hari.
Pada prinsipnya
penilaian konsumsi individu dan keluarga sama. Konsumsi pangan keluarga merupakan
penjumlahan dari
konsumsi pangan
masing-masing individu
atau anggota
keluarga Hardinsyah Briawan 1994. Menurut BPS 2011 konsumsi kalori per kapita per hari Kalimantan Selatan di pedesaaan tahun 2011 adalah 2198
kilokalori. Penilaian untuk mengetahui tingkat kecukupan energidilakukan dengan
membandingkan antar konsumsi energi aktual dengan kecukupan energi yang dinyatakan
dalam persen.
Indikator Standar
Pelayanan Masyarakat
SPM membuat indikator konsumsi pangan ideal untuk energi adalah 2000 kilokalori.
Latief et al 2000 dalam WNPG VII menggolongkan tingkat kecukupan energi
dan protein menjadi kurang jika tingkat kecukupan gizi kurang dari 70 dan cukup jika tingkat kecukupan gizi lebih besar sama dengan 70. Agustiani
2012 dalam penelitiannya menjelaskan bahwa hasil uji beda independent t-test
menujukkan terdapat
perbedaan yang
signifikan p0,05
antara tingkat
konsumsi energi dan protein pada kelompok penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan.
Alfitri 2002 menyimpulkan dari hasil penelitiannya di Kalimantan Selatan bahwa tingkat pendidikan ibu berhubungan positif dengan jumlah pangan yang
dikonsumsi. Hickman et al 1993 dalam Hardinsyah 2007 menyatakan bahwa wanita
terpelajar cenderung
tertarik terhadap
informasi dari
media cetak
khususnya majalah dan koran. Ibu dengan tingkat pendapatan dan pendidikan yang lebih tinggi mendapat paparan yang tinggi juga dari media cetak BKKBN
dan community system foundation dalam Hardinsyah 2007. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka aksesnya terhadap media massa semakin tinggi
yang juga berarti akses terhadap informasi yang berkaitan dengan gizi semakin tinggi Hardinsyah 2007.
Hasil review Hardinsyah 2007 menyatakan bahwa para ibu dengan pendidikan
lebih baik
dapat memilih dan mengombinasikan
beragam jenis
pangan dengan harga yang tidak mahal. Selain itu, hasil analisis multivariat di negara
berkembang termasuk
Indonesia tingkat
pendidikan ibu
dianggap sebagai determinan penting dari asupan gizi atau pengelolaan gizi di tingkat
rumahtangga Behrman wolfe 1987; Behrman et al 1988.
Atmarita 2004 menyatakan bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan
memudahkan seseorang
untuk menyerap
informasi dan
mengimplementasikan dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Soekirman 2000 mengemukakan bahwa pada
bagan penyebab kekurangan gizi oleh UNICEF 1998
tercantum bahwa meski
secara tidak langsung namun tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kekurangan gizi. Sudut sosial ekonomi memandang tingkat
pendidikan ibu
rumah tangga
merupakan salah
satu aspek
yang dapat
digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga. Apriadji 1986 dalam Madihah 2002 menyatakan bahwa orang yang
memiliki pendidikan
rendah belum
tentu kurang
mampu menyusun
menu makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibanding orang yang berpendidikan
lebih tinggi. Hal ini disebabkan keingintahuan seseorang mengenai gizi akan menambah
pengetahuan gizinya.
Akan tetapi,
Omuemu et
al 2012
menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa rendahnya tingkat pendidikan, besarnya rumahtangga, rendahnya pendapatan mejadi faktor yang signifikan
bagi terjadinya kerawanan pangan. Purnamasari
2001 menyimpulkan
dari hasil
penelitiannya bahwa
pengeluaran pangan yang lebih besar memiliki tingkat kecukupan energi yang lebih tinggi. Beberapa hasil penelitian mengungkapkan bahwa semakin tinggi
pendapatan atau pengeluaran total maka semakin tinggi kuantitas konsumsi pangan
yang pada
akhirnya mempengaruhi
tingkat kecukupan
energi Soekirman 2000; Baliwati Retnanngsih 2004; Hildawati 2008; Agustiani 2012.
Aspek pendapatan tidak selalu mempengaruhi dalam pola konsumsi pangan tetapi aspek lain seperti kebiasaan makan dan pola hidup sederhana,
pola pekerjaan petani yang tidak terlalu kompleks, dan konsep mengutamakan makan di rumah yang dimasak terlalu kuat Purwantini 2008. Jumlah anggota
rumahtangga berhubungan positif dan berpengaruh nyata terhadap konsumsi pangan yang pada akhirnya meningkatkan pengeluaran untuk pangan Rochaeni
Lokollo 2005. Tingginya pendapatan per kapita disebabkan rata-rata jumlah anggota rumahtangga relatif lebih kecil Swastika dkk 2006.
Metode Food Recall
Metode food
recall salah
satu metode
untuk mengumpulkan
data konsumsi pangan masyarakat. Widjajanti 2009 menyatakan bahwa metode
food recall memiliki presisi yang cukup tinggi bila dilakukan oleh orang yang ahli. Kelebihan dari metode ini adalah waktu pelaksanaan cepat, respon responden
baik, akurasi tinggi, dan beban responden rendah. Sedangkan kekurangannya adalah
mengandalakan ingatan
dan hanya
cocok untuk
sebagian subjek
Widjajanti 2009.
Jangka waktu minimal yang dibutuhkan untuk recall konsumsi gizi adalah
24 jam dalam kondisi konsumsi pangan dari hari ke hari tidak beragam dan maksimal tujuh hari. Pengulangan
recall dapat dilakukan untuk meningkatkan ketepatan
data zat
gizi yang
diperoleh. Salah
satu cara
mengurangi biasketidaktepatan
atau untuk
meningkatkan validitas
dan reliabilitas
hasil konsumsi gizi digunakan
food models atau food picture Widjajanti 2009.
Pemberdayaan Masyarakat dan Community Sosial Responsibility CSR
CSR telah menjadi perbincangan sejak terjadinya revolusi industri. Pada saat itu perusahaan menganggap bahwa tanggung jawab perusahaan hanya
sebatas memberikan lapangan pekerjaan. Namun, seiring berjalannya waktu, masyarakat
menuntut lebih
dari penyediaan
lapangan pekerjaan.
Hal ini
dikarenakan praktek usaha seringkali menimbulkan dampak negatif misalnya eksploitasi berlebihan yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Oleh karena
itu, CSR melebarkan philantropinya pada konsep pemberdayaan masyarakat pada tahun 80-an. Konsep ini dibahas lebih lanjut dalam kongres tingkat tinggi
KTT Bui di Rio de Janeiro pada tahun 1992. Kemudian pada tahun 2002 diadakan
World Summit on Sustainable Development di Johannesburg Afrika Selatan.
Konsep CSR terus berkembang dengan cepat sehingga tidak ada definisi baku mengenai CSR. Namun, ada salah satu definisi menurut WIbisono 2007
yaitu tanggung jawab perusahaan kepada para pemangku kepentingan untuk berlaku etis, meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif
yang mencakup aspek sosial dan lingkungan triple botoom line dalam rangka
mencapai tujuan
pemabangunan berkelanjutan.
Chambers 2003
dalam wibisono 2007 mengkalisfikasikan CSR dalam tiga aspek yaitu keterlibatan
dalam komunitas, pembuatan produk yang bisa dipertanggungjawabkan secara sosial, dan
employee relations. Wibisono 2007 merangkum cara pandang perusahaan terhadap CSR
menjadi menjadi tiga yaitu basa basi atau keterpaksaan, upaya memenuhi kewajiban, dan
beyond compliance. Keterpaksaan tercermin dari pelaksanan CSR
karena faktor
eksternal. Upaya
memenuhi kewajiban
compliance dilakukan karena ada regulasi hukum dan aturan yang memaksanya untuk
membuat produk ramah lingkungan dan adanya hadiah. Dorongan tulus dari dalam b
eyond compliance berarti perusahaan telah menyadari bahwa tanggung jawabnya bukan lagi sekedar kegiatan ekonomi untuk mencipatakan profit demi
Siapa Ahli dari luar
Anggota masyarakat, staf proyek,
kelangusngan perusahaan melainkan tanggung jawab sosial dan lingkungan dengan dasar pemikirannya adalah kesehatan finansial.
Lubis 2011 menyatakan bahwa pembangunan atau perubahan telah dilakukan
umat manusia
sejak ribuan
tahun yang
lalu. Pelaksanaan
pembangunan pada awalnya selalu dimulai dari atas. Meskipun cocok diterapkan di berbagai negara, tetapi konsep pembangunan ini juga membawa dampak
negatif. Dampak tersebut berupa ketidakmerataan, pemusatan kekuasaan, dan matinya inisiatif lokal. Padahal cara pandang pembangunan yang sebenarnya
adalah meningkatkan keberdayaan masyarakat. Konsep ini juga sejalan dengan An-naf 2005 bahwa dasar pembangunan khususnya pertanian paling tidak
harus berkelanjutan dengan menjamin pelestarian dan penggunaan yang wajar dari sumberdaya yang terbarukan, harus meningkatkan efisiensi ekonomi, dan
manfaatnya harus terdistribusi secara merata. Pendekatan pembangunan ini bertumpu pada dua elemen pokok yaitu
kemandirian dan partisipasi. Masyarakat mandiri menentukan pembangunannya, dan berpartisipasi senyatanya pada seluruh prosesnya. Kemandirian dalam hal
ini menyangkut tiga segi, yaitu kemandirian material, kemandirian intelektual, dan kemandirian manajemen Lubis 2011. Konsep pembangunan ini selanjutnya
dijadikan philantropi pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat. Lubis 2011 menjelaskan tahapan pemberdayaan masyarakat dimulai
dengan identifikasi potensi dan masalah. Pada tahap ini secara partisipatif merumuskan masalah dan potensi yang ada pada komunitas, bukan dari pihak
luar. Selanjutnya, penetapan tujuan, penetapan rencana kerja, kemudian aksi atau pelaksanaan rencana kerja, dan pada akhirnya diadakan evaluasi kegiatan.
Tabel 1 Perbandingan evaluasi konvensional dengan evaluasi partisipatif
Aspek Evaluasi konvensional
Evaluasi partisipatif
fasilitator Indikator keberhasilan: efisiensi
Masyarakat mengidentifikasi sendiri Apa
Bagaimana
Kapan Mengapa
biaya dan keluaran hasil produk yang telah dilakukan
Fokus pada objektivitas ilmiah, ada pola seragam, prosedur
kompleks, akses terbatas pada hasil
Biasanya tergantung jadwal, kadangkala ada juga evaluasi
midterm Pertanggungjawaban biasanya
sumatif, menentukan biaya selanjutnya
indikator keberhasilan, termasuk hasil yang dicapai
Evaluasi sendiri, metode sederhana yang diadaptasi dengan budaya
lokal, terbuka ada diskusi hasil dengan melibatkan partisipan dalam
proses evaluasi Bergantung pada proses
perkembangan masyarakat dan intensitas relatif sering
Pemberdayaan masyarakat lokal untuk inisiasi, mengontrol,
melakukan tindakan koreksi
Wibisono 2007 menuliskan bahwa perencanaan program operasional ini sedapat
mungkin diusahakan
berbasis sumberdaya
lokal, berbasis
pada pemberdayaan
masyarakat, mengutamakan
program yang
berkelanjutan, berdasar
perencanaan partisipatif
atau didahului
oleh need
assessment, dihubungkan dengan bisnis inti perusahaan, dan fokus pada prioritas. Evaluasi
dan monitoring adalah salah satu kegiatan yang penting untuk melihat apakah pelaksanaan pemberdayaan sesuai dengan yang direncanakan. Lubis 2011
melanjutkan bahwa monitoring dan evaluasi perlu dilakukan secara partisipatif. Tabel 1 diatas menyajikan perbandingan evaluasi konvensional dengan evaluasi
partisipatif.
KERANGKA PEMIKIRAN
Badan Pusat Statistik BPS Indonesia menggolongkan rumahtangga menjadi
rumahtangga di
perdesaan dan
di perkotaan.
Kaitannya dengan
ketahanan pangan, BPS 2011 menyatakan bahwa kerawanan pangan atau kondisi
tidak tahan
pangan banyak
terjadi di
rumahtangga perdesaan.
Pedalaman pulau Kalimantan, khususnya Kalimantan Selatan masih memiliki desa-desa yang berada di pelosok atau sulit terjangkau baik melalui transportasi
maupun komunikasi Ariesta dkk 2011. Keberadaan perusahaan didaerah Kalimantan Selatan semestinya bisa
membantu memperlancar
akses terhadap
pangan. Hal
ini dikarenakan
perusahaan dituntut untuk melaksanakan pertanggungjawaban sosialnya dengan memberdayakan masyarakat di desa-desa sekitar tempat pengusahaannya.
Oleh karena
itu, rumahtangga
yang menjadi
binaan perusahaan
tersebut dikatakan
rumahtangga penerima
program pemberdayaan
masyarakat, sedangkan pembanding dalam penelitian ini disebut sebagai rumahtangga bukan
penerima program pemberdayaan masyarakat. Berkaitan dengan akses pangan, faktor-faktor yang mempengaruhi akses
pangan tersebut bergantung pada jenis dan tujuan program pemberdayaan yang dilaksanakan oleh perusahaan. Namun, dalam hal ini faktor tersebut digolongkan
berdasarkan Departemen Pertanian 2008 menjadi dua yaitu akses sosial dan ekonomi. Akses sosial berupa lama pendidikan formal suami dan istri dan akses
ekonomi yang digunakan adalah pengeluaran total perkapita per bulan. Akses fisik tidak dimasukan kedalam kerangka pemikiran karena akses fisik sebagai
output dari program pemberdayaan yang bersifat homogen pada masing-masing desa sehingga dibahas dalam hubungannya dengan Tingkat Kecukupan Energi.
Akses pangan rumahtangga ini secara langsung akan berperan dalam konsumsi rumahtangga yang dibuktikan dengan tingkat kecukupan energi. Status
gizi merupakan
dampak dari
pemenuhan kebutuhan
berdasarkan tingkat
kecukupan gizi. Hariyadi 2008 menegaskan bahwa indikator ketahanan pangan ini harus bisa membentuk individu yang sehat dan produktif dimana salah satu
indikatornya adalah status gizi individu tersebut.
Akses pangan rumahtangga Program pemberdayaan
masyarakat
1. Kebijakan 2. Konsep dan strategi
Akses pangan secara sosial 1. Pendidikan kepala keluarga
2. Pendidikan istri 3. Program
Akses pangan secara ekonomi 1. Pengeluaran total perkapita per
bulan
Konsumsi Pangan
1. Jumlah pangan 2. Jenis pangan
Status gizi
Keterangan:
Variabel yang diteliti Variabel yang tidak diteliti
Hubungan yang tidak dianalisis Hubungan yang dianalisis
Gambar 1 Kerangka
pemikiran akses
dan konsumsi
pangan rumahtangga
penerima dan bukan penerima program pemberdayaan masyarakat.
METODE
Disain, Waktu, dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini
menggunakan disain
cross sectional
study karena
dilaksanakan dalam
satu waktu
yaitu pada
bulan Mei-Juni
2012. Lokasi
penelitian berada di Desa Wilas dan Desa Sulangkit, Kecamatan Kelumpang Utara Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Penetapan Desa Wilas sebagai
lokasi desa penerima program pemberdayaan masyarakat adalah 1 termasuk ring 1 atau desa prioritas desa binaan, 2 terdapat salah satu program unggulan
CD Senakin,
3 bersedia
untuk berpartisipasi
dalam penelitian,
dan 4
kemudahan akses
dari segi
perijinan, transportasi,
dan akomodasi.
Desa Sulangkit dipilih sebagai desa pembanding didasarkan pada kriteria sebagai
berikut 1 masyarakat Suku Banjar, 2 kesamaan karakteristik sosial ekonomi yaitu
tingkat pendidikan
suami dan
istri didominasi
oleh rendah,
mata pencaharian utama adalah pertanian dan perkebunan karet, 3 memiliki satu
arah aliran sungai dengan desa program, 4 jarak menuju ibukota kecamatan tidak berbeda jauh, 5 sebagian besar kondisi jalan masih berlumpur.
Teknik Penarikan Contoh
Desa penerima program pemberdayaan masyarakat adalah Desa Wilas Sedangkan
desa bukan
penerima program
pemberdayaan adalah
Desa Sulangkit. Contoh atau unit penelitian adalah rumahtangga di Desa Wilas dan
Desa Sulangkit.
Teknik penarikan
contoh dilakukan
dengan cara
purposif. Kriteria contoh di desa program adalah 1 rumahtangga yang mengikuti program
bidang ekonomi yaitu Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat PPEM, 2 merasakan
program di
bidang lainnya
seperti pendidikan,
infrastruktur, kesehatan, dan sosial budaya, dan 3 bersedia berpartisipasi dalam penelitian.
Jumlah contoh
yang mengikuti
PPEM adalah
sebanyak 25
rumahtangga. Namun,
hanya 23
rumahtangga yang
bisa dijadikan
contoh pada
waktu pengambilan data. Hal ini dikarenakan satu contoh berada di luar daerah
penelitian selama dua bulan dan satu contoh tidak bersedia berpartisipasi dalam penelitian.
Kriteria contoh di desa nonprogram adalah bersedia berpartisipasi dalam penelitian yang dilakukan secara acak sampai mencapai 23 rumahtangga. Oleh
karena itu, total rumahtangga yang menjadi contoh adalah 46 rumahtangga.
No Komponen
Jenis Data Cara
Jenis dan Cara Pengambilan Data
Data yang diambil berupa data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik rumahtangga usia, berat badan, jenis kelamin, pekerjaan,
akses pangan sosial lama pendidikan suami dan istri, akses pangan ekonomi pengeluaran total per kapita per bulan, akses pangan fisik keberadaan, jarak,
dan kondisi jalan ke pasar, keberadaan bahan pangan di warung dan pedagang keliling,
konsumsi pangan
rumahtangga, dan
karakteristik program
pemberdayaan masyarakat. Data-data tersebut didapatkan melalui wawancara dengan instrumen kuisioner.
Data konsumsi pangan diperoleh dengan mengetahui jumlah dan jenis pangan. Kedua jenis data ini diperoleh dengan metode
food recall 1x24 jam kepada seluruh anggota didalam rumahtangga.
Food recall hanya dilakukan satu kali karena jenis pangan yang dikonsumsi cenderung homogen Widjajanti 2009.
Instrumen yang digunakan adalah food picture dan food recall sheet 1x24 jam
yang menggambarkan beberapa jenis pangan serta ukuran rumahtangga untuk mempermudah responden dalam menentukan jumlah pangan yang dikonsumsi.
Adapun jenis
data sekunder
berupa data
demografi lokasi
penelitian dan
dokumen program pemberdayaan masyarakat perusahaan terkait. Berikut jenis dan cara pengumpulan data primer dan sekunder yang disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2 Jenis dan cara pengambilan data
pengambilan data
1. Karakteristik
1. Usia rumahtangga
2. Karakteristik program
pemberdayan masyarakat
2. Jenis kelamin 3. Berat badan
4. Pekerjaan 1. Kebijakan
2. Konsep dan strategi 3. Program
Wawancara dengan kuisioner
Wawancara mendalam Studi
literature 3.
Akses pangan sosial 1. Pendidikan suami
2. Pendidikan istri Wawancara
dengan kuisioner 4.
Akses pangan ekonomi
Pengeluaran total per kapita per bulan
Wawancara dengan kuisioner
5. Akses pangan fisik
1. Keberadaan pasar 2. Jarak dan kondisi jalan ke
pasar 3. Keberadaan bahan pangan di
warung Wawancara
dengan kuisioner 4. Keberadaan pedagang
keliling 6.
Konsumsi pangan Jumlah dan jenis pangan
Food recall 1x24 jam
Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data
dilakukan dengan
menggunakan Microsoft
Excel, Minitab 16
Statistical Software, dan SPSS 16.0 for windows. Statistika deskriptif digunakan untuk menunjukkan jumlah dan persentase karakteristik rumahtangga,
komponen akses pangan rumahtangga dan konsumsi pangan atau tingkat
kecukupan energi rumahtangga. Selanjutnya data dianalisis dengan independent
t-test untuk menunjukkan perbedaan pada kedua jenis desa dengan variabel yang sama. Akses pangan rumahtangga dibentuk dari komponen yang sudah
ada dengan menggunakan Principal Component Analysis PCA. Selain itu,
dilakukan uji
hubungan antara
komponen akses
pangan dengan
tingkat kecukupan gizi rumahtangga dengan menggunakan analisis korelasi
pearson. Analisis regresi
dummy dilakukan untuk mengetahui perbedaan akses pangan di desa program dan nonprogram yang melibatkan variabel kategorik
. Karakteristik rumahtangga meliputi usia, berat badan, jenis kelamin, dan
pekerjaan anggota
rumahtangga. Usia,
jenis kelamin,
dan berat
badan digunakan untuk menghitung angka kecukupan gizi ideal. Adapun pekerjaan
digunakan untuk menentukan sebaran pekerjaan suami dan istri di rumahtangga kedua desa.
Karakteristik program
pemberdayaan masyarakat
di desa
penerima meliputi kebijakan, strategi dan konsep, serta program yang dideskripsikan
secara kualitatif.
Content analysis
dilakukan untuk
menganalisis program
pemberdayaan menurut kebijakan umum ketahanan pangan KUKP 2010-2014. Program tersebut secara khusus diarahkan pada upaya pengembangan sistem
distribusi pangan dan peningkatan kualitas konsumsi pangan. Pengembangan sistem distribusipangan meliputi program yang memperlancar sistem distribusi
pangan, pengembangan cadangan pangan pemerintah, menjaga keterjangkauan dan stabilitas
harga pangan, meningkatkan aksesibilitas atas
pangan, dan
menangani kerawanan
pangan kronis
dan transisi.
Peningkatan kualitas
konsumsi pangan meliputi percepatan penganekaragaman konsumsi pangan, mendorong
perilaku konsumsi
pangan, meningkatkan
pembinaan dan
pengawasan keamanan
pangan, dan memfasilitasi
pengembangan industry
pangan usaha kecil dan menengah. Selanjutnya,
program-program yang
dilaksanakan di
Desa Wilas
dianalisis potensi dampaknya terhadap upaya yang mendukung akses dan konsumsi
pangan. Hasilnya
digunakan untuk
menunjukkan keberadaan
dukungan program terhadap akses dan konsumsi pangan. Potensi dampak program pemberdayaan masyarakat dalam upaya peningkatan akses pangan
dirinci dengan menggali komponen input, proses, output, outcome, dan dampak
dari program tersebut. Akses
pangan secara
sosial meliputi
pendidikan suami
dan istri.
Pendidikan suami dan istri digolongkan menurut UU RI Nomor 20 tahun 2003 mengenai sistem pendidikan nasional. Penggolongan tersebut yaitu tergolong
dasar jika masa pendidikan formal ≤ 9 tahun, sedang 10-12 tahun, dan tinggi 12
tahun. Akses pangan secara ekonomi berdasarkan pengeluaran total pangan
dan nonpangan rumahtangga yang digolongkan menjadi akses ekonomi rendah, sedang, dan tinggi. Akses pangan secara ekonomi digolongkan berdasarkan
garis kemiskinan Kabupaten Kotabaru tahun 2010 yaitu Rp. 230.564,-. Akses ekonomi tergolong rendah apabila total pengeluaran rumahtangga kurang dari
Rp. 230.564,-.
Berdasarkan jarak
pengeluaran terhadap
garis kemiskinan,
apabila pengeluaran berada dibawah garis kemiskinan maka akses ekonomi rendah. Pengeluaran berjarak antara 1 - 20 dari garis kemiskinan atau Rp.
230.564,- – Rp. 276.677,- maka tergolong akses ekonomi sedang. Pengeluaran berada lebih dari 20 garis kemiskinan atau Rp.276.677,- tergolong akses
ekonomi tinggi. Akses pangan secara fisik digunakan untuk mengetahui keberadaan
pasar, kondisi jalan, jarak ke pasar, dan keberadaan pedagang keliling. Akses fisik ini dianalisis menggunakan analisis regresi dengan variabel
dummy. Analisis ini juga berkaitan dengan keseluruhan akses pangan yang didapatkan dengan
menggunakan Principal Component Analysis PCA sebagai fungsi terhadap
tingkat kecukupan energi. Akses
pangan keseluruhan
merupakan gabungan
dari komponen-
komponen dimensi akses pangan sosial dan ekonomi. Pembuatan variabel akses pangan ini didapatkan dari komponen akses sosial pendidikan suami dan
istri dan akses ekonomi pengeluaran total per kapita per bulan dengan menggunakan
Principal Component Analysis PCA. Variabel akses pangan hasil Principal Component Analysis PCA ini disebut sebagai komponen utama akses
pangan atau akses pangan. Nilai dari eigenvalues merepresentasikan peubah
yang direduksinya. Besarnya representasi yang digambarkan bergantung pada
nilai kumulatif dari nilai eigenvalue terpilih. Selanjutnya skor PCA tersebut
didapatkan dari persamaan dengan model sebagai berikut:
Y
1
= α
11
x
1
+ α
12
x
2
+ α
13
x
3
Y
2
= α
21x1
+ α
22
x
2
+ α
23
x
3
Y
3
= α
31
x
1
+ α
32
x
2
+ α
33
x
3
Keterangan: Y
1,2,3
= skor komponen utama contoh ke-n α
1,2,3
= nilai koefisien persamaan peubah ke 1, 2, 3, dst X
1,2,3
= nilai standardisasi masing-masing peubah pada contoh ke-1, 2, 3 Skor PCA ini kemudian diregresikan dengan
dummy. Regresi dummy dilakukan karena pada faktanya akses pangan rumahtangga di desa program
dibantu oleh perusahaan dan dampaknya diduga tergolong akses fisik. Indikator akses
fisik ini
berupa data
kategorik sehingga
keberadaannya ditunjukkan
dengan nilai D=1 untuk desa program dan D=0 untuk desa nonprogram. Model regresi
dummy tersebut dinyatakan sebagai berikut:
Y =
1
+
2
D+ X; e=
∑
Keterangan: Y
= Variabel independent
α
1,2,3,dst
= koefisien persamaan D
= dummy
= koefisien X
X = Variabel
dependent e
= estimasi standard eror ye
= nilai estimasi y y
= nilai aktual y n
= jumlah observasi Jika nilai signifikansi D signifikan p0.05, artinya terdapat perbedaan
akses pangan pada kedua desa sebesar nilai koefisien D pada persamaan yang dibentuk. Sebaliknya jika nilai D tidak signifikan p0.05, maka tidak terdapat
perbedaan akses pangan dikedua desa. Nilai koefisien D negatif menunjukkan bahwa desa program memiliki akses pangan dibawah desa nonprogram sebesar
koefisien dummy tersebut. Nilai koefisien D positif menunjukkan desa progam
memiliki akses pangan diatas desa nonprogram sebesar koefisien D. Persentase tingkat kecukupan energi TKE rumahtangga didapatkan
dengan menghitung rata-rata konsumsi rumahtangga dibagi dengan rata-rata tingkat kecukupan energi rumahtangga dikali 100. Tingkat kecukupan energi
dikategorikan kurang jika TKE 70 AKG dan dikategorikan cukup jika TKE 70 AKG Latief
et al. 2000. Rata-rata konsumsi dan tingkat kecukupan energi rumahtangga didapatkan dengan rumus sebagai berikut.
Rata-rata konsumsi rumahtangga =
∑
Rata-rata kecukupan energi rumahtangga = ∑
Rata-rata TKE =
Komponen akses pangan rumahtangga lama pendidikan suami, lama pendidikan istri, pengeluaran total per kapita per bulan, skor PCA, dan tingkat
kecukupan energi selanjutnya dianalisis menggunakan uji independent t-test
untuk membandingkan perbedaan komponen tersebut didua desa. Berikut rumus independent t-test.
√ √
Keterangan: t
= nilai t hitung = rata-rata kelompok 1
= rata-rata kelompok 2 = standard eror kedua kelompok
= varian dari kedua kelompok N1
= jumlah sampel kelompok 1 N2
= jumlah sampel kelompok 2 1
= varian kelompok 1 2
= varian kelompok 2 Uji
hubungan dilakukan
terhadap tingkat
kecukupan energi
sebagai variabel
independent dan komponen akses pangan serta skor PCA sebagai variabel
dependent. Berikut
adalah rumus
korelasi pearson
untuk menguji
hubungan komponen tersebut.
Keterangan: E
= nilai yang diharapkan Cov
= covariance
Corr = korelasi
pearson = koefisien korelasi
pearson
x, y = variabel acak
µx, µy = nilai yang diharapkan dari variabel acak = standard deviasi
Tabel 3 dibawah ini merupakan rangkuman dari penjabaran pengolahan dan analisis data yang dilakukan pada penelitian ini.
Tabel 3 Pengkategorian indikator variabel penelitian
Indikator Kategori
Analisis
Program pemberdayaan
masyarakat
Lama pendidikan KK dan atau istri
Pengeluaran total per kapita per bulan
Sosial: peningkatan pendidikan formal Fisik: peningkatan distribusi pangan
Ekonomi: peningkatan pendapatan Konsumsi: upaya peningkatan jumlah
pangan Dasar: 9 tahun
Sedang: 10-12 tahun Tinggi: 12 tahun
Rendah: 230.564,- Sedang: 230.564,- – 276.677,-
Potensi dampak program terhadap
peningkatan akses konsumsi pangan
t-test pearson
t-test pearson
GK Tinggi: 276.677,- Akses Pangan
PC
n
= α
1
X
n
” + α
2
y
n
” + α
3
z
n
” + ….. PCA
t-test pearson
Tingkat kecukupan energi
Kurang : 70 Cukup : 70
t-test pearson
Definisi Operasional Rumahtangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang berada dalam
satu rumah, tinggal bersama, makan dari satu dapur, dan dikepalai oleh seorang kepala rumahtangga.
Program pemberdayaan
masyarakat
adalah seperangkat
program yang
dilaksanakan oleh Community
Department PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin di Desa Wilas pada tahun 2011. Karakteristik
program pemberdayaan masyarakat ini meliputi kebijakan, konsep dan strategi, serta program-programnya. Adapun program-program
yang dilaksanakan dianalisis potensi dampaknya terhadap upaya yang
mendukung akses
dan konsumsi
pangan di
Desa Wilas.
Hasilnya digunakan
untuk menunjukkan
keberadaan dukungan
program terhadap akses dan konsumsi pangan.
Akses pangan adalah kemampuan rumahtangga untuk mendapatkan pangan
yang didasarkan pada pendekatan sosial ekonomi yaitu akses pangan ekonomi dan akses pangan sosial yang disesuaikan dengan program
pemberdayaan masyarakat yang telah dilakukan. Akses pangan ini
direpresentasikan dari komponen akses pangan sosial dan ekonomi menggunakan
Principal Component
Analysis PCA.
Skor dari
beberapa komponen sosial ekonomi ini merepresentasikan akses pangan rumahtangga tersebut.
Akses pangan
ekonomi adalah
kemampuan rumahtangga
mendapatkan pangan yang didasarkan pada pengeluaran per kapita per bulan.
Pengeluaran total
ini meiputi
pengeluaran untuk
pangan dan
nonpangan semua anggota rumahtangga setiap bulannya. Akses pangan ekonomi ini dikategorikan berdasarkan garis kemiskinan GK
kotabaru tahun 2010 yaitu Rp. 230.546,-. Akses pangan ekonomi tergolong tinggi jika julmah pendapatannya 20 GK, tergolong
sedang jika berada diantara nilai GK sd 20 GK, dan tergolong rendah jika pendapatan per kapita GK.
Akses pangan sosial adalah kemampuan rumahtangga dalam mendapatkan
pangan atau makanan yang didasarkan pada lama pendidikan formal suami dan istri. Lama pendidikan suami dan istri ini digolongkan
menjadi tiga yaitu dasar jika masa pendidikan 9 tahun, sedang jika masa pendidikan 10-12 tahun, dan tinggi jika masa pendidikan 12
tahun UU RI Nomor 20 tahun 2003.
Konsumsi pangan rumahtangga adalah jenis dan jumlah pangan dalam gram
yang dikonsumsi oleh seluruh anggota rumahtangga berdasarkan recall 1 x 24 jam.
Kecukupan energi
adalah jumlah
kalori yang
dibutuhkan oleh
anggota rumahtangga
berdasarkan angka
kecukupan energi
ideal yang
dikoreksi berat badan, jenis kelamin, dan umur.
Tingkat kecukupan energi adalah persentase perbandingan antara rata-rata
jumlah kalori hasil konsumsi pangan rumahtangga dengan rata-rata kecukupan energi ideal rumahtangga. Klasifikasi tingkat kecukupan ini
mengacu pada Latief 2000, jika TKE 70 maka rumahtangga tersebut
tergolong kurang.
Sedangkan jika
TKE ≥70
maka rumahtangga tersebut dikatakan cukup.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Wilayah Gambaran Umum Desa Wilas
Lokasi. Desa wilas
adalah salah satu
desa di wilayah
Kecamatan Kelumpang Utara. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Sulangkit, sebelah
timur dengan Desa
Mangga, sebelah selatan dengan
Desa Manggis,
dan sebelah barat dengan Kecamatan Sampanahan. Luas Desa Wilas sekitar 20
km
2
. Area
tersebut mencakup
lahan persawahan,
kebun karet,
ladang pemukiman, dan sisanya masih berbentuk hutan karena belum dimanfaatkan.
Seluruh penduduk
Desa Wilas
adalah Suku
Banjar. Jumlah
penduduk seluruhnya yang bermukim di Desa Wilas sebanyak 221 KK atau 807 warga
dengan jumlah laki-laki 403 orang dan perempuan sebanyak 404 orang. Akses
menuju ibukota
kecamatan ditempuh
selama 45
menit menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat dengan jarak 12 kilometer.
Desa Pudi sebagai Ibukota kecamatan menjadi salah satu alternatif pasar yang biasa dikunjungi oleh warga Desa Wilas. Selain itu, pusat perdagangan lain
terletak di Desa Geronggang yang berjarak 45 kilometer melalui jalan tambang PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin. Adapun akses desa menuju ibukota
kabupaten harus ditempuh melalui jalan darat baik menuju Desa Pudi maupun Desa Geronggang yang kemudian dilanjutkan dengan menggunakan
speed boat ataupun kapal cepat. Umumnya warga menggunakan kendaraan roda dua
sebagai alat transportasi utama.
Sarana dan prasarana. Desa Wilas memiliki prasarana jalan yang sudah
rusak untuk akses keluar desa. Kondisi jalan utama menuju Desa Wilas ke Desa Geronggang cukup baik. Sedangkan menuju Desa Sulangkit rusak. Adapun
menuju Desa Mangga rusak berlumpur pada satu titik. Kondisi jalan belum ada pengerasan secara merata, masih didominasi oleh jalan tanah yang sulit dilalui
terutama pada saat hujan turun. Sarana pemerintah yang ditemui di Desa Wilas adalah kantor desa, pasar, TPA, SD, SMP,dan Puskesdes. Pada tahun 2012,
sumber listrik untuk Desa Wilas berasal dari generator milik Perusahaan Listrik Negara PLN.
Gambaran Umum Desa Sulangkit Lokasi. Desa Sulangkit merupakan desa yang berbatasan dengan Desa
Sukadana di sebelah utara. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Pudi Seberang, sebelah selatan dengan Desa Mangga, dan sebelah barat dengan
0,018jiwakm . Jarak
tempuh desa menuju ibukota kecamatan adalah
10
Jenis pekerjaan Nonprogram
Desa Wilas. Luas wilayah desa ini adalah 33 km
2
. Jumlah penduduk Desa Sulangkit seluruhnya berjumlah 175 Jiwa dimana jumlah laki-laki 92 jiwa dan
perempuan 83
jiwa. Kepadatan
penduduk Desa
Sulangkit adalah
2
kilometer sedangkan
ke ibukota
kabupaten adalah
70 kilometer
RPJMD Sulangkit 2011.
Sarana dan prasarana. Ruas jalan Desa yang melewati Desa Sulangkit
sepanjang ± 6 kilometer yang menghubungkan poros jalan antar Desa Sulangkit dengan
Desa Pudi
dan Desa
Sekandis. Panjang
jalan Desa
seluruhnya berjumlah ± 9 kilometer yang terdiri dari jalan utama desa dan jalan lingkungan.
Adapun jalan lainnya adalah titian atau jembatan kayu dan jalan setapak. Berdasarkan data Desa Sulangkit pada tahun 2011 jumlah sekolah untuk SD
sebanyak 1 buah dan TPA 1 buah.
Pekerjaan
Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar pekerjaan pada suamiistri di desa program 40 dan nonprogram 58,1 adalah petani. Suami dan istri
didesa nonprogram tidak ada yang menjadi buruh non tani 0. Di desa program terdapat 26,7 suami atau istri yang bekerja sebagai buruh non tani.
Kondisi ini dikarenakan di desa program memiliki jumlah penduduk yang lebih besar sehingga warga yang akan memulai pertanian atau memanen hasilnya
cenderung meminta bantuan warga lainnya dengan upah berupa uang tunai Rp. 50.000,- per hari atau bagi hasil panen.
Tabel 4 Sebaran rumahtangga berdasarkan pekerjaan suami dan istri
Program Jumlah
Jumlah
Petani 25
58.1 18
40.0 Buruh tani
0.0 12
26.7 Buruh nontani
0.0 0.0
PNS 0.0
1 2.2
Jasa 1
2.3 0.0
Pedagang 2
4.7 1
2.2 Tidak bekerja
1 2.3
0.0 IRT
9 20.9
6 13.3
Lainnya 5
11.6 7
15.6
Pekerjaan lainnya di desa program 15,6 lebih tinggi dibanding desa nonprogram 11,6. Kondisi ini diduga karena jarak desa program lebih dekat
dengan perusahaan dan kontraktor tambang. Beberapa pekerjaan lainnya adalah kontraktor
thiess, kontrak
dengan penanaman karet PT Arutmin
Indonesia Tambang Senakin, dan sebagian menjadi guru
honorer.
Karakteristik Program Pemberdayaan Masyarakat Kebijakan
Dasar kebijakan Community Department CD tercantum dalam dokumen
kebijakan, keselamatan, dan kesehatan kerja, lingkungan serta kemasyarakatan K3LK yang dibuat oleh perusahaan. Dokumen tersebut mencantumkan lima
poin kebijakan
yang dua
poin diantaranya
adalah kebijakan
dasar yang
berhubungan dengan
kemasyarakatan. Kebijakan
tersebut adalah
1 mengembangkan
hubungan baik
dengan masyarakat
setempat melalui
komunikasi yang terbuka dan proaktif yang didasari atas keyakinan, saling percaya, dan kebersamaan dan 2 mendorong keterlibatan secara aktif dari
semua pemangku kepentingan untuk mencapai tujuan kebijakan ini. Komitmen
perusahaan ini
lebih khusus
ditetapkan dalam
kebijakan mengenai visi dan misi tanggung jawab sosial perusahaan. Dokumen ini tertuang
dalam memorandum Nomor 290AIVIII2008 yang ditandatangani oleh Chief
Executive Officer CEO pada tahun 2008. Berikut adalah kebijakan yang terdiri dari visi, misi, tujuan, dan strategi.
Tabel 5 Kebijakan visi dan misi tanggung jawab sosial perusahaan
1
Komponen Uraian
Visi Berdayanya masyarakat lingkar tambang menjadi mandiri dan sejahtera.
Misi Memberdayakan sumber daya lokal dengan berpegang pada nilai-nilai
adat dan budaya setempat. Tujuan
1. Berpartisipasi dalam pembangunan daerah dengan membangun struktur komunitas yang tidak berdaya menjadi lebih berdaya dalam
menciptakan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat setempat. 2. Menjalin hubungan yang harmonis dengan pemangku kepentingan,
berdasarkan atas keyakinan, saling percaya, kebersamaan, dan saling menguntungkan.
Strategi 1. Membangun kemitraan atas dasar saling menguntungkan antara
perusahaan, masyarakat, pemerintah, dan mitra kerja. 2. Hidup berdampingan dengan masyarakat, harmonis, dan saling
percaya dimana perusahaan beroperasi. 3. Membangun keswadayaan masyarakat dalam rangka mengelola dan
mengembangkan potensi sumberdaya lokal. 4. Berbasis komunitas dan sumberdaya lokal.
5. Melaksanakan prinsip-prinsip pengembangan masyarakat Community
Development. 6. Menyiapkan kemandirian masyarakat pasca tambang.
1
Sumber: memorandum Nomor 290AIVIII2008
Wibisono 2007 merangkum cara pandang perusahaan terhadap CSR menjadi menjadi tiga yaitu pertama basa basi atau keterpaksaan, kedua upaya
memenuhi kewajiban
compliance, dan
ketiga dorongan
tulus dari
dalam beyond compliance. Perusahaan telah menyadari bahwa tanggung jawabnya
bukan lagi
sekedar kegiatan
ekonomi untuk
mencipatakan profit
demi kelangsungan perusahaan melainkan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Dasar pemikirannya adalah kesehatan finansial. Berdasarkan pembagian tersebut, cara pandang PT Arutmin Indonesia
Tambang Senakin terhadap pelaksanaan CSR termasuk pada golongan tiga. Perusahaan telah menyadari bahwa masyarakat sekitar daerah operasi tambang
harus mandiri dan sejahtera. Hal ini dibuktikan
dengan adanya komitmen perusahaan dalam kebijakan tanggung jawab sosial perusahaan yang tercantum
dalam tabel
4. Manager
site Senakin,
sebagai pimpinan
tertinggi daerah
tambang, mempunyai prinsip bahwa jika masyarakat lokal sekitar tambang tidak lebih
mandiri setelah
adanya perusahaan,
maka pelaksanaan
program ini
terbilang gagal.
Wibisono 2007
menyatakan bahwa
alasan pertama
diimplementasikannya CSR adalah komitmen pemimpinnya. Selain itu, kutipan dari
supervisor community development mengenai kewajiban CSR sebagai berikut:
“Konsumen akan melihat predikat proper yang diberikan kementrian lingkungan hidup atas pelaksanaan tanggung
jawab sosial perusahaan ini sehingga pelaksanaan program pemberdayaan
masyarakat ini
merupakan kesadaran
perusahaan untuk
investasi kesehatan
dan kemajuan
finansial” Cara pandang dan prinsip ini juga sejalan dengan pernyataan Lubis 2011
bahwa dua elemen pokok dari pemberdayaan adalah kemandirian dan partisipasi. Berdasarkan
kebijakan yang
tercantum dalam
tabel 4
dapat dilihat
bahwa perusahaan memiliki cita-cita untuk menjadikan masyarakat mandiri dengan
sumber daya lokal yang dimilikinya. Oleh karena itu, prinsip pemberdayaan masyarakat telah tertuang dalam kebijakan yang diacu oleh pelaksana program
sehingga harapannya visi tersebut bisa dicapai pada akhir operasi tambang tahun 2017.
Sumber Daya Manusia SDM
Community Department
CD didukung
oleh sumberdaya
manusia dengan struktur seperti gambar 2. Berdasarkan gambar tersebut, c
ommunity s
uperintendent berada
langsung dibawah
manager PT
Arutmin Tambang
Senakin. Selanjutnya dalam c ommunity department dibagi menjadi dua sub yaitu
c ommunity development comdev dan community relation comrel. Masing-
kemasyarakatan Asset
masing sub ini dipimpin oleh seorang supervisor. Pelaksanaan kegiatan comdev
dibagi menjadi tiga bidang yaitu ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Bidang kesehatan dan pendidikan dilaksanakan secara mandiri oleh pelaksana CD
Senakin. Adapun dalam bidang ekonomi, CD senakin membentuk LPPM dan p
roject karet serta bermitra dengan Dompet Duafa Corpora. Bidang infrastruktur, sosial budaya, dan hubungan kemasyarakatan dilakukan oleh comrel. Bidang
comrel dibantu oleh seorang a sset protection yang berada langsung dibawah
admin la supraintendent. CD Senakin bekerjasama dengan berbagai lembaga evaluasi seperti
CFCD Corporate
Forum for
Community Development
dan SII
Social Investment Indonesia untuk melakukan evaluasi program di lapangan. Selain itu,
kerjasama dengan berbagai stakeholder ini membantu dalam
perencanaan program pemberdayaan yang akan dilaksanakan pada tahun berikutnya.
Senakin mine manager
Superintendent Superintendent
Community Superintendent
Admin LA Superintendent
Community Development
Supervisor Community Relation
Supervisor
Community Development
officer Community
Development officer
Community Relation Officer
Community Relation Officer
Assisstant project karet
Assisstant comdev
LPPM Dompet
Dhuafa Kontrak
Protection
LCO Gambar 2 Struktur organisasi
Community Department Tambang Senakin
Konsep dan Strategi
PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin telah melaksanakan program pemberdayaan
masyarakat sekitar
tambang sejak
dimulai beroperasinya
tambang pada
tahun 1988. Awalnya
pelaksanaan program
ini dipicu
oleh tuntutan masyarakat yang menuntut kompensasi dari kegiatan PT Arutmin
Indonesia Tambang Senakin. Sejak tahun 2000 program untuk masyarakat mulai ditata dan diarahkan pada kegiatan yang mempunyai nilai-nilai pemberdayaan
masyarakat SII 2012. Pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat disusun atas sebuah
konsep dan
strategi yang
dibuat untuk
mencapai visi
departemen. Pada
dasarnya konsep ini bertujuan untuk menguatkan sisi perekonomian masyarakat sehingga
tercapai masyarakat
mandiri pada
tahun 2017.
Kerangka kerja
pemberdayaan masyarakat
menitikberatkan pada
penguatan ekonomi.
Penguatan ekonomi ini didukung oleh pelaksanaan program-program di bidang kesehatan
dan pendidikan.
Selain itu,
program dibidang
infrastruktur dan
kegiatan sosial lainnya dilakukan untuk mencapai target masyarakat mandiri pada
akhir operasi
tambang. Secara
tidak langsung,
bidang kesehatan,
pendidikan, dan infrastruktur bukan menjadi tujuan utama pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat.
Strategi yang dilakukan CD adalah membagi target pencapaian program dalam tiga tahap. Tahap pertama dimulai dengan “memberi” yang dilaksanakan
pada tahun 2004-2009. Strategi ini ditujukan untuk menumbuhkembangkan usaha
dengan membangun
dasar-dasar ekonomi.
Secara umum,
konsep pemberdayaan masyarakat ini merupakan kerjasama dari bagian
community development comdev dan community relation comrel. Ruang lingkup comdev
adalah membangun dasar ekonomi, membangun dan mengembangkan potensi sumberdaya lokal sebagai dasar menuju masyarakat yang percaya diri untuk
menjadi mandiri dan sejahtera. Sedangkan ruang lingkup comrel memberikan dukungan
kepada tim
comdev dalam
membangun prasarana
dasar dan
mendorong terciptanya tatanan masyarakat yang kondusif, harmonis, gotong royong, jujur, dan dinamis.
Tahap kedua 2010-2013 merupakan tahap transisi menuju masyarakat mandiri. Tahap ini dilaksanakan dengan konsep “mengajak” dimana dilakukan
program-program penguatan usaha dan membangun jaringan, serta penguatan organisasi dan permodalan. Selanjutnya, tahap ketiga yang akan dilaksanakan
Budaya -
Ring I, II, III Budaya
Kesehatan Infrastruktur
- Ring I, II, III
pada tahun
2014-2017 berada
pada tahap
“membangun”. Pada
tahap ini
diharapkan adanya kestabilan usaha, kepercayaan diri, adanya jaringan, dan modal yang kuat. Target ini merupakan indikator pencapaian masyarakat mandiri
atau keterandalan masyarakat dalam bidang ekonomi pada tahun 2017. Tabel 6 Strategi prioritas tahunan
Community Department tambang senakin
1
Prioritas Ke-
Strategi program 2004-2009
2010-2013 2014-2017
Mandiri Keterangan
1 Infrastruktur
Ekonomi Pertanian
Pertanian Ring I dan II
2 Pendidikan
Sosial Budaya Perdagangan
Perdagangan Ring I, II,III
3 Kesehatan
Infrastruktur Sosial
4 Ekonomi
Pendidikan Pendidikan
- Ring I, II, III
5 Sosial
6 Donation
Donation Donation
- Ring I, II, III
1
Sumber: SII 2012
Community Department
CD PT
PT Arutmin
Indonesia Tambang
Senakin Tambang
Senakin menurunkan
konsep tersebut
menjadi program
objektif tahunan. Hasilnya adalah adanya skala prioritas pelaksanaan program pemberdayaan
yang dilakukan
setiap jangka
waktu yang
disertakan. Berdasarkan
tabel 6,
pada tahun
2011 2010-2013
prioritas pelaksanaan
program adalah bidang ekonomi. Prioritas kedua yang dijalankan adalah bidang sosial budaya, selanjutnya bidang infrastruktur. Sedangkan bidang pendidikan
dan kesehatan berada pada skala prioritas empat dan lima. Pelaksanaan program pendidikan dan kesehatan belum menjadi prioritas
utama karena berdasarkan kerangka kerja CD, kedua bidang ini merupakan bidang pendukung penguatan bidang ekonomi. Selain itu, sampai saat ini belum
dilakukan pemetaan khusus mengenai bidang kesehatan dan pendidikan. Pada Akhirnya, program-program kesehatan dan pendidikan yang dilaksanakan pada
tahun 2011 masih mengacu pada pelaksanaan program pada tahun-tahun
sebelumnya. Adapun
pelaksanaan program
infrastuktur dilaksanakan
berdasarkan kebutuhan nyata dari masyarakat melalui proposal yang diajukan masyarakat ke perusahaan. Kegiatan sosial budaya dilaksanakan dalam rangka
untuk mendekatkan
hubungan antara
pelaku usaha
dengan masyarakat
setempat. Hasil wawancara dengan salah satu
staff CD menuturkan bahwa strategi prioritas bidang ini telah dilaksanakan terlebih untuk periode kedua yaitu tahun
2010-2013. Akan tetapi, SII 2012 menunjukkan bahwa kerangka kerja dan strategi pelaksanaan CD ini belum dapat secara jelas mendeskripsikan indikator-
indikator serta target pencapaian perusahaan ditiap tahap setiap tahunnya meskipun menyertakan rencana waktu dari setiap tahapan.
Program
Rancangan program pemberdayaan masyarakat PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin mengacu pada standar CSR ISO:26000, Proper lingkungan
hidup, dan mendukung percepatan Millenium
Development Goals MDG’s.
Rancangan ini tentu saja disesuaikan dengan keadaan dan terutama kebutuhan aktual masyarakat di desa sekitar tambang. Kondisi dan kebutuhan masyarakat
ini dilakukan
melalui kegiatan
pemetaan sosial
social mapping
yang dilaksanakan
oleh lembaga
kompeten. Selain itu,
pengajuan proposal dan
informasi dari
masyarakat lokal
menjadi sumber
penting lainnya
dalam merancang program.
Program pemberdayaan masyarakat PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin dilaksanakan di 28 desa yang dibagi menjadi tiga ring atau prioritas
impelementasi program. Ring 1 merupakan desa-desa yang terkena dampak pertambangan
secara langsung.
Ring 2
merupakan desa-desa
yang tidak
terkena dampak pertambangan secara langsung. Ring 3 merupakan desa-desa yang tidak terkena dampak.
Tabel 7 Lokasi desa penerima program pemberdayaan masyarakat
1
Kecamatan Desa
Ring 1 Ring 2
Ring 3
Kelumpang tenga
Sebuli, tamiang bakung
Tebing tinggi, Tanah Rata, Senakin,
Senakin Seberang Tanjung Selayar,
Sungai Pinang, Sungai Punggawa
Kelumpang Utara
Pamukan Selatan
Mangga, Wilas, Sungai Seluang
Gunung Calang, Sekandis, Talusi
Pudi, Pudi Seberang -
Sukadana -
Sampanahan Gunung Batu Besar,
Besuang, Papaan Sepapah, Sungai
Betung Sukamaju,
Banjarsari, Tanjung Sari, Sampanahan
1
Sumber: SII 2012
Lubis 2011 menjelaskan tahapan program pemberdayaan masyarakat dimulai dengan identifikasi potensi dan masalah. Selanjutnya, penetapan tujuan,
penetapan rencana kerja, kemudian aksi atau pelaksanaan rencana kerja, dan pada akhirnya diadakan evaluasi kegiatan. Evaluasi dan
monitoring adalah salah satu kegiatan yang penting untuk melihat apakah pelaksanaan pemberdayaan
sesuai dengan yang direncanakan. Tahap pertama adalah identifikasi potensi dan masalah. Tahap pertama
ini dilakukan
oleh pihak
luar seperti
Corporate Forum
for Community
Development CFCD setiap tiga tahun sekali. Selain itu, dilaksanakan juga oleh tim Dompet Dhuafa menurut desa yang dijadikan sasaran program. Selanjutnya
penetapan tujuan
dan rencana
kerja didiskusikan
dengan staf
community department
CD karena
aksi program
pemberdayan masyarakat
ini akan
dilaksnaakan oleh staf, supervisor, tim dompet dhuafa, dan tim LPPM.
Wibisono 2007 berpendapat bahwa pelaksanaan program CSR atau pemberdayaan
ini sedapat mungkin diupayakan memenuhi beberapa
poin, diantaranya
berbasis sumberdaya
lokal, berbasis
pada pemberdayaan
masyarakat, mengutamakan program yang berkelanjutan, berdasar perencanaan partisipatif
atau didahului
oleh penilaian
kebutuhan need
assessment, dihubungkan
dengan bisnis
inti perusahaan,
dan fokus
pada prioritas.
Berdasarkan hal tersebut, maka CD PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin telah berupaya memenuhi semua poin tersebut.
Berbasis sumberdaya
lokal telah
dibuktikan PT
Arutmin Indonesia
Tambang Senakin dalam kebijakan dasar perusahaan. Selain itu, penguatan berbagai kelompok usaha masyarakat setempat dengan potensi daerahnya.
Selain itu, dilaksanakan modifikasi bibit karet yang berasal dari karet lokal yang selanjutnya akan dipergunakan oleh masyarakat setempat.
Berbasis pada pemberdayaan masyarakat merupakan konsep CD PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin dalam melaksanakan tanggung jawab
sosialnya. Hal ini dibuktikan dalam memorandum Nomor 290AIVIII2008 bahwa c
ommunity development merupakan salah satu strategi yang harus dijalankan dalam CSR.
Perencanaan partisipatif dilakukan CD PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin setiap tiga tahun sekali oleh pihak luar atau setiap akan melaksanakan
program baru seperti kegiatan pendampingan oleh Dompet Dhuafa. CD PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin memiliki prioritas bidang yang dijadikan
acuan. Hal
tersebut merupakan
bukti bahwa
perusahaan tersebut
mengutamakan program yang berkelanjutan seperti pada bidang ekonomi dan mengutamakan prioritas pada tahun strategi. Adapun hubungan dengan bisnis
inti, perusahaan
melaksanakan mining
tour sebagai
salah satu
cara pemberdayaan dalam memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai
kegiatan pertambangan. Tahap selanjutnya adalah aksi atau implementasi program. Implementasi
program dilaksanakan berdasarkan rencana program yang telah dibuat. Adapun
tahap evaluasi dilakukan secara berjangka dan tahunan. Evaluasi berjangka dilaksanakan setiap hari untuk mengevaluasi sekaligus monitoring program yang
sedang dilaksanakan.
Evaluasi tahunan
dilaksanakan dengan
mengundang pihak luar seperti tim dari CFCD. Evaluasi yang dilaksanakan oleh pihak luar ini
melibatkan partisipasi masyarakat. Berdasarkan tipe evaluasi pada tabel 1 oleh Lubis 2011, evaluasi yang dilaksanakan oleh CD merupakan kombinasi dari
evaluasi konvensional dan evalusi partisipatif. Evaluasi
konvensional meliputi
pelaku evaluasi
adalah pihak
luar sedangkan evaluasi berjangka dilakukan oleh staf dan perangkat CD. Hal yang
dievaluasi berdasarkan
indikator keberhasilan
biasanya berupa
kepuasan masyarakat dan output yang dihasilkan. Evaluasi CD dilakukan dengan pola
seragam dan
tergantung jadwal.
Hasil dari
evaluasi ini
menjadi bahan
pelaksanaan anggaran biaya dan program yang akan dilaksanakan di tahun berikutya. Evaluasi tahunan ini juga melibatkan masyarakat di ring 1 sebagai
prioritas responden sasaran program pemberdayaan masyarakat.
Potensi Dampak
Program Pemberdayaan
Masyarakat terhadap
Upaya Peningkatan Akses Pangan di Desa Wilas
Program bidang ekonomi sebagai program inti yang berjalan di Desa Wilas adalah Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat PPEM dari tim
Dompet Dhuafa sebagai mitra CD dalam pelaksanaan program pemberdayaan. Adapun
program di
bidang kesehatan
dijalankan di
Desa Wilas
adalah pemberian makanan tambahan bagi balita setiap tiga bulan, bantuan peralatan
kesehatan, dan
insentif bagi
bidan. Program
di bidang
pendidikan yang
dijalankan adalah Kuliah Kerja Profesi IPB, penelitian, mining tour, pelatihan
kompetensi guru, dan kompetisi pendidikan. Bidang infrastruktur yang turut dibantu perusahaan adalah penyediaan sarana air bersih, perbaikan sarana
jalan, penyediaan jaringan listrik, dan pembangunan sarana olahraga, bedah rumah. Selain itu, dibidang sosial budaya, perusahaan telah melaksanakan
perayaan hari besar agama islam, pembianaan olahraga dan kesenian, kegiatan keagamaan, dan sosialisasi seputar operasional tambang.
Tabel 8
menunjukkan potensi
dampak program
pemberdayaan masyarakat berdasarkan elemen penting akses dan konsumsi pangan dalam
KUKP 2010-2014.
Program yang
dilaksanakan menyentuh
ranah upaya
peningkatan akses pangan yaitu akses sosial, fisik, dan ekonomi pangan. Selain itu,
salah satu
dampak dari
bantuan makanan
tambahan bisa
membantu
posyandu Balita
Peningkatan konsumsi pangan
KUM Peningkatan akses ekonomi
2 Insentif tenaga kemasyarakatan
Umum Peningkatan akses ekonomi
2 Pembinaan olahraga dan
4 Sosialisasi seputar operasional
3 Pembangunan jalan desa
Umum Peningkatan akses fisik sosial
peningkatan konsumsi makanan bagi balita. Hanya saja, program tersebut tidak dirancang menjadi program yang saling berkaitan. Hal ini dibuktikan dengan
tujuan program pemberdayaan masyarakat CD adalah membentuk masyarakat yang
mandiri ekonomi.
Bidang lainnya
seperti kesehatan
dan pendidikan
merupakan tujuan penunjang masyarakat mandiri ekonomi. Hal ini diduga akses pangan khususnya dan sistem ketahanan pangan
umumnya belum tersosialisasi kepada perusahaan. Rahayu 2007 menyatakan dalam
penelitiannya mengenai
potensi dampak
program pemberdayaan
masyarakat di PT Riau Andalan Pulp and Paper RAPP bahwa belum konsep ketahanan pangan belum disosialisasikan kepada perusahaan karena belum ada
peraturan yang mengikat secara khusus mengenai penerapan konsep ini. Tabel 8
Program, sasaran, dan potensi dampak program yang dilaksanakan di Desa Wilas tahun 2011
No Program
Sasaran Potensi Dampak
A Pendidikan
1 Kompetisi pendidikan
Siswa SMP -
2 Magang dan KKN Penelitian
Mahasiswa -
3 Pelatihan kompetensi guru
Guru -
B Kesehatan
1 Bantuan makanan tambahan
3 Bantuan pendidikan untuk bidan
Bidan -
4 Bantuan tanggap darurat
Umum -
C Ekonomi
1 Program Pemberdayaan Ekonomi
Masyarakat PPEM tim dompet dhuafa
pangan Pangan
D Sosial Budaya Dan Keagamaan
1 PHBN
Umum -
kesenian Umum
- 3
Kegiatan keagamaan Umum
- tambang
Umum -
E Pengembangan Infrastruktur
1 Rehabilitasi sarana pendidikan
Umum -
2 Air bersih
Umum Peningkatan akses fisik pangan
pangan 4
Pembangunan jaringan listrik Umum
Peningkatan akses fisik pangan 5
Bedah rumah Umum
- 6
Pembangunan sarana olahraga Umum
-
Program Bidang Pendidikan. Pelaksanaan program pendidikan memiliki
tujuan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia masyarakat sekitar tambang. Program pendidikan yang telah dilaksanakan adalah 1 kuliah kerja
profesi dan penelitian, 2 kompetisi pendidikan, 3 mining tour, 4 pelatihan
kompetensi guru. Pelaksanaan
program pendidikan
ini memang
belum optimal
diakarenakan tidak
adanya data
yang mendukung
mengenai kebutuhan
pendidikan masyarakat.
Program yang
telah dijalankan
berdampak pada
peningkatan pengetahuan dan kompetensi mengajar guru menjadi lebih baik. Selanjutnya, pengetahuan yang meningkat dapat meningkatkan kapasitas dan
kompetensi siswa. Dampak dari kompetensi mengajar guru yang baik dapat meningkatkan kapasitas guru dalam mengajar.
Dana KKP dan
penelitian Kompetisi
pendidikan pengetahuan
baru penerima
manfaat bertambah
Meningkat- nya
pengetahuan Peningkatan
kapasitas dan kompetensi
Mining tour
Pelatihan kompeten
si guru Teknik
mengajar guru lebih
baik Kompetensi
guru mengajar lebih baik
Peningka- tan
kapasitas
INPUT PROSES
OUTPUT OUTCOME
POTENSI
Gambar 3 Komponen program pendidikan.
DAMPAK
Program Bidang
Kesehatan. Program-program
dibidang kesehatan
yang dilakukan masih bersifat donasi. Program yang telah dilaksanakan adalah pemberian makanan tambahan bagi balita setiap tiga bulan sekali pada saat
posyandu,bantuan pendidikan bagi bidan, dan bantuan tanggap darurat. Potensi dampak pada peningkatan konsumsi pangan terlihat pada program pemberian
makanan tambahan PMT.
terpercaya
PMT balita
Dana Bantuan
pendidi- kan bidan
Tanggap darurat
Meragamkan makanan
tambahaan Bidan
mendapat pendidikan
Keadaan darurat
Status gizi kurangburuk
menurun Terdapat bidan
ahli di desa Penurunan
tingkat bahaya Peningkatan
konsumsi Peningkatan
kesehatan Penurunan
bahaya teratasi
INPUT PROSES
OUTPUT OUTCOME
POTENSI
Gambar 4 Komponen program kesehatan
DAMPAK
Program Bidang Ekonomi. Bidang ekonomi merupakan bidang utama
dalam pelaksanaan
program pemberdayaan
masyarakat. Tujuan
akhir dari
bidang ekonomi adalah untuk mempersiapkan masyarakat mandiri di akhir operasi
tambang. Pemberdayaan
ekonomi masyarakat
di Desa
Wilas dilaksanakan dengan pendampingan dalam bidang pertanian, perkebunan, dan
peternakan. Pelaksanaan program inipertanian dan peternakan CD Senakin bekerjasama dengan tim dari Dompet Dhuafa. CD Senakin membentuk
Assistant Project karet dalam bidang perkebunan. Secara umum, implementasi PPEM ini
dijelaskan dalam gambar 5 berikut ini.
TAHAP JANGKA PENDEK 2010-
2011 Menumbuhkan
kelompok Pembentukan
kelembagaan lokal Pembuatan
konsensus bersama Perintisan usaha
kelompok TAHAP JANGKA
MENENGAH 2011- 2012
Penguatan dan pengembangan
kelembagaan lokal Pengembangan
usaha melalui inkubasi bisnis
TAHAP JANGKA PANJANGmasa
pendampingan berikutnya
Kelembagaan lokal menjadi motor
pemberdayaan komunitas
Usaha berkembang menjadi pengelola
dana-dana masyarakat
profesional dan
Gambar 5 Tahapan program pemberdayaan ekonomi masyarakat. Gambar 5 tersebut menunjukkan bahwa implementasi program PPEM
terbagi menjadi tiga periode. Periode pertama 2010-2011 merupakan tahap awal atau inisisasi dalam merintis usaha. Saat ini, Desa Wilas sedang berada
pada tahap dua atau periode jangka menengah. Pada tahap ini dihasilkan tujuh Kelompok Usaha Mandiri KUM, yaitu:
1. KUM Bina Bersama, usaha peternakan ayam kampung
Kelompok ini
melakukan usaha
penggemukan dan
pembibitan ayam
kampong yang diketuai oleh Bapak Abdul Hamid. Saat ini, ada tujuh dari delapan
orang yang
masih mengikuti
program penggemukan
ayam kampong. Menurut laporan DD per Juni 2012 pengurus pada kelompok ini
tidak berjalan sesuai fungsinya. Seluruh keputusan dan kebijakan kelompok diserahkan kepada anggota kelompok dan ada beberapa mitra yang belum
melaksanakan usaha karena kondisi keluarga yang belum stabil. Total dana yang
telah direalisasikan adalah
Rp. 7.200.000,- dari total dana yang
diajukan sebesar
Rp. 12.951.000,-.
Dana tersebut
digunakan untuk
membuat kandang
ayam,pembelian bibit,
dan pembelian
disinfektan. Kendala yang dihadappi selain adanya ketidakstabilan pengurus adalah
sulitnya mencari bibit ayam yang sesuai dengan besar rata-rata ½ kilogram. Lokasi kandang berada di empat lokasi dengan satu lokasi bersama dengan
tiga mitra dan tiga lokasi lainnya di rumah masing-masing mitra. 2.
KUM Ternak Bina Usaha, usaha itik petelur Kelompok ini menjalankan usaha peternakan itik petelur yang diketuai oleh
Bapak M. Bakar. Saat ini hanya ada lima dari 13 orang yang masih mengikuti usaha peternakan ini. Pelaksanaan kepengurusan pada kelompok
ini sudah berjalan sesuai fungsinya. Dana yang telah diserap dari program ini adalah sebesar Rp. 39.025.000,- dari Rp. 45.182.000,-. dana tersebut
digunakan untuk
pembuatan kandang,
pembelian bibit
itik, pembelian
pakan,dan pembelian disinfektan. 3.
KUM Berkat Usaha Bersama, usaha pertanian jagung Kelompok ini merupakan kelompok yang menjalankan usaha pertanian
jagung. Pelaksanaan
usaha ini
diketuai oleh
M. Hatta
yang saat
ini beranggotakan
tiga orang. Kendala yang dihadapi dalam kelompok ini adalah
pengurus kelompok
belum berjalan
optimal, lokasi
tanam, dan
pemasarannya. Sampai saat ini usaha pertanian jagung baru panen satu kali yang menghasilkan 7000 tongkol jagung. Hasil panen dipasarkan di sekitar
Desa Wilas, pasar geronggang, kotabaru, dan pagatan. Dana yang telah diserap yaitu Rp.6.700.000,-.
4. KUM Harapan Kami, usaha pertanian kacang tanah
Usaha pertanian Hortikultura yang dilakukan oleh kelompok ini adalah
pertanian kacang tanah. Kelompok yang diketuai oleh Bapak Sahruni ini memiliki dua anggota kelompok dimana satu orang dari anggotanya sudah
bisa melaksanakan usaha dari modal sendiri. Hasil panen pertama sudah bisa di pasarkan di sekitar Desa Wilas. Dana yang telah diserap untuk usaha
ini adalah Rp.9.563.000,-. 5.
KUM Usaha Bersama, usaha pemasaran getah karet Kelompok usaha mandiri usaha bersama ini adalah kelompok yang bergerak
dalam pemasaran getah karet. Hanya ada satu orang di desa wilas yang mengikuti kelompok ini. Sebenarnya yang dijadikan binaan atau dampingan
adalah pengumpul getah karet. Namun, dari hasil bagi keuntungan ada sekitar 5 bagi semua pengumpul karet yang dikumpulkan di Abdullah
mendapatkan cuka. Karet yang telah dikumpulkan ini ditimbun sampai terkumpul dalam jumlah yang menguntungkan bagi produsen. Pemasaran
getah karet ini juga bergabung dengan pengumpul karet di desa lain yang dijadikan desa binaan. Pemasaran getah karet ini dilakukan di Banjarmasin
dengan pembagian keuntungan 30 untuk koperasi, 10 untuk induk, 30 untuk pengelola, 5 untuk bonus, dan 25 dijadikan tambahan modal
usaha. Kendala yang dihadapi dalam usaha pemasaran getah karet ini adalah cuaca dan harga karet di pabrik. Dana yang sudah terserap oleh
kelompok ini adalah Rp. 26.000.000,-. 6.
KUM Harapan Bersama, usaha budidaya lobster air Kelompok ini menjalankan usaha di bidang budidaya lobster air tawar.
Tujuan diadakan usaha budidaya ini adalah untuk menunjukkan bahwa didaerah
pertanian dan
perkebunan masih
bisa melaksanakan
usaha perikanan. KUM Harapan Bersama diketuai oleh Sardiansyah yang sudah
menyerap Rp.
14.688.000,- untuk
permodalan dan
pelatihan. Jumlah
anggota KUM Harapan Bersama berjumlah 10 orang. 7.
KUM Bina Lobster Lestari, usaha budidaya lobster air tawar Kelompok ini menjalankan usaha di bidang budidaya lobster air tawar. KUM
Bina Lobster Lestari yang diketuai oleh Badrudin sudah menyerap dana sebesar Rp. 16.138.000,-. KUM Bina Lobster Lestari memiliki 9 orang
anggota. Selain
PPEM, Desa
Wilas juga
menerima bibit
karet unggul
yang dibudidayakan di sekitar desa. Pengadaan bibit karet unggul ini merupakan
inisisasi CD Senakin untuk merubah pola perkebunan karet lokal menjadi klonal karet unggul. Strategi yang dijalankan adalah memilih satu tim
project yang akan mengurusi perkebunan dan program-program karet kedepannya.
karet Meningkatkan
Bidan
Terdapat tiga program yang saat ini sedang dijalankan. Pertama adalah pengadaan
karet unggul dari hasil okulasi anakan karet lokal dengan berbagai jenis
karet unggul
di kebun
P4T Dahlia,
Desa Tamiang
Bakung. Kedua,
pengadaan bibit karet unggul dari penangkaran karet yang ada di Plehari, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Ketiga, pengadaan bibit karet
batang atas entres di Desa Wilas. Masyarakat Desa Wilas bisa mengakses bibit-bibit tersebut dengan cara
membentuk kelompok-kelompok yang terdiri dari lima orang anggota. Sebanyak 500 bibit diberikan pada setiap kelompok yang harus ditanam di lahan seluas 1
hektar milik masyarakat. Perbandingan produktifitas karet lokal dan karet unggul adalah 1:3. Satu hektar lahan karet lokal dapat menghasilkan 40 kilogram karet,
sedangkan karet unggul dapat mencapai 120 kilogram. Analisis terhadap komponen program bidang ekonomi bisa dilihat pada
gambar 6. Gambar 6 menunjukkan bahwa input berupa dana disalurkan ke Program Pengembangan Ekonomi Masyarakat PPEM Dompet Dhuafa dan
proyek karet. Keluaran dari dua proses ini adalah terbentuk Kelompok Usaha Masyarakat KUM dan tersedianya bibit karet unggul. Dampak dari terbentuknya
KUM adalah peningkatan pendapatan masyarakat sehingga berpotensi untuk meningkatkan ketersediaan pangan, akses, dan konsumsi atau pemanfaatan
pangan. Hasil dari proyek karet adalah tersedianya bibit karet unggul sehingga harapannya bisa meningkatkan produksi getah karet. Bertambahnya produksi
getah karet
ini berpotensi
meningkatkan pendapatan
atau akses
ekonomi pangan bagi petani karet yang berada di Desa Wilas.
Dana PPEM
Terbentuk KUM
Meningkatnya pendapatan
masyarakat Meningkatkan
ketersediaan, akses,dan
pemanfaatan Karet
Tersedianya bibit karet
unggul Meningkatnya
produsi getah pangan
akses ekonomi
pangan
INPUT PROSES
OUTPUT OUTCOME
POTENSI DAMPAK
Gambar 6 Komponen program bidang ekonomi
Program bidang infrastruktur. Bidang infrastruktur merupakan bidang
yang ditangani oleh divisi community relation. Program-program yang dijalankan
Jalan desa dan
gorong- gorong
balita
olahraga Tersedia
media sosial Kemudahan
selama tahun 2011 adalah pengadaan sarana air bersih, pembangunan jalan desa dan gorong-gorong, pembangunan jaringan listrik, bedah rumah, dan
pembangunan sarana olahraga. Berdasarkan gambar 7, program dibidang infrastruktur yang mendukung
terhadap peningkatan akses pangan rumahtangga adalah pembangunan jalan desa dan gorong-gorong serta pembangunan jaringan listrik. Pembangunan jalan
ini menjadikan jalan desa menjadi lebih baik sehingga akses rumahtangga untuk ke pasar dan mengikuti program paket pendidikan pemerintah menjadi lebih
mudah. Adapun pengadaan sarana air bersih berpotensi pada peningkatan kualitas konsumsi air bersih. Program bedah rumah dan pembangunan sarana
olahraga dilakukan secara insidental sesuai dengan permintaan melalui proposal warga. Kedua program tersebut tidak berpotensi langsung terhadap peningkatan
akses fisik dan konsumsi pangan.
Dana Air bersih
Tersedia air bersih
tambahaan Terdapat
jalan desa yang lebih
mudah Tersedia
Jaringan sarana listrik penerangan
Peningkatan konsumsi air
bersih Efektifitas
mobilisasi
Peningkatan akses media
Peningkatan kualitas
konsumsi pangan
Peningkatan akses fisik
dan sosial Peningkatan
informasi elektronik
Bedah rumah
Kondisi rumah
membaik Perbaikan
kualitas papan Kelayakan
tempat tinggal
Sarana sarana
olahraga Bertambahnya
sosialisasi
INPUT PROSES
OUTPUT OUTCOME
POTENSI
Gambar 7 Komponen program infrastruktur.
DAMPAK
Program bidang sosial dan budaya. Program yang sudah dijalankan
adalah donasi bagi perayaan hari besar islam, kegiatan keagamaan, sosialisasi seputar operasional tambang, pembinaan olahraga dan kesenian, pembinaan
budaya lokal, dan penanggulangan bencana lokal jika ada. Program-program ini dilaksanakan dalam rangka memperlancar hubungan CD dengan massyarakat
sekitar tambang.
Akses Pangan Rumahtangga
Departemen Pertanian 2008 mendefinisikan akses pangan sebagai kemampuan rumahtangga secara periodik memenuhi sejumlah pangan yang
cukup melalui kombinasi cadangan pangan mereka sendiri dan hasil dari rumah atau pekarangan sendiri, pembelian
, barter, pemberian, pinjaman, dan bantuan pangan. Akses pangan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai kemampuan
rumahtangga dalam memperoleh pangan yang didasarkan pada akses sosial dan akses ekonomi yang disesuaikan dengan program pemberdayaan yang
telah dilakukan.
Akses Sosial
Akses sosial
didefinisikan sebagai
kemampuan rumahtangga
dalam memperoleh pangan yang didasarkan pada lama pendidikan suami dan istri.
Lama pendidikan dikategorikan dasar jika masa pendidikan formal ≤ 9 tahun,
sedang 10-12 tahun, dan tinggi 12 tahun UU RI Nomor 20 Tahun 2003.
Lama pendidikan suami. Rata-rata suami di desa program mengalami
masa pendidikan selama 5.87±4.47 tahun lebih lama dibandingkan dengan masa pendidikan suami di desa nonprogram selama 4.87±3.00 tahun. Adapun masa
pendidikan paling lama di desa program adalah 16 tahun dan 0 tahun untuk masa pendidikan yang paling rendah. Begitupun dengan di desa nonprogram, 0
tahun merupakan masa pendidikan yang paling rendah dan 12 tahun merupakan masa pendidikan yang paling tinggi.
Tabel 9 Statistik lama pendidikan suami di desa program dan nonprogram
Statistik Program
Nonprogram
Rata-rata±standar deviasi tahun 5.87±4.47
4.87±3.00 Maksimum tahun
16 12
Minimum tahun
Jumlah suami dikedua desa hanya 22 orang karena satu rumahtangga memiliki suai yang telah meninggal. Secara keseluruhan, tabel 10 menjelaskan
bahwa lama pendidikan suami didominasi 88.6 oleh kategori dasar atau masa pendidikan
≤ 9 tahun dan sebesar 4.5 suami yang memiliki pendidikan tinggi. Tingkat pendidikan suami di desa program didominasi 81.8 oleh
kategori dasar
atau masa
pendidikan ≤9
tahun. Namun,
terdapat 9.1
rumahtangga di desa program dengan masa pendidikan 12 tahun atau yang tergolong
tinggi. Begitupun
dengan desa
nonprogram, tingkat
pendidikan suaminya didominasi oleh tingkat dasar 95,7. Hanya sebesar 4.5 suami di
desa nonprogram yang bisa mencapai tingkat pendidikan sedang.
Tingkat pendidikan Program
1
Nonprogram
1
Tabel 10 Sebaran rumahtangga berdasarkan lama pendidikan suami
Total Jumlah
Jumlah Jumlah
Dasar ≤ 9 tahun
18 81.8
21 95.5
39 88.6
Sedang 10-12 tahun 2
9.1 1
4.5 3
6.8 Tinggi 12 tahun
2 9.1
2 4.5
1
suami meninggal sebanyak 1 orang
Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
yang nyata p0.05 antara lama pendidikan suami di desa program dan desa nonprogram. Hal ini diduga karena letak sekolah mengenah berada di ibukota
kecamatan. Aksesibilitas menuju ibukota kecamatan masih sulit untuk dilalui dan jumlah kendaraan yang masih sedikit. Oleh karena itu, suami atau kepala
keluarga lebih memilih untuk bekerja dibandingan dengan sekolah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Agustiani 2012 bahwa meskipun
tidak berbeda secara statistik, persentase keluarga yang memiliki akses pangan komponen tingkat pendidikan suami lebih tinggi pada kelompok penerima apabila
dibandingkan dengan keluarga pada kelompok bukan penerima program desa mandiri
pangan. Permatasari
2004 menemukan
hal yang
sama bahwa
sebagian besar tingkat pendidikan kepala keluarga petani adalah rendah. Sunarti 2009 juga menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa tingkat pendidikan
formal istri
dan suami
yang bekerja
sebagai penggarap
dan buruh
tani didominasi oleh lulusan SD atau tidak tamat SD.
Kasryono 2000 menyatakan bahwa tenaga kerja pertanian di wilayah pedesaan didominasi oleh tenaga kerja dengan tingkat pendidikan SD atau tidak
tamat sekolah. Hal tersebut diduga menjadi penyebab rendahnya akses pangan. Behrman
Wolfe 1984
menyatakan bahwa
akses pangan
rumahtangga bergantung
kepada pengambil
keputusan yang
salah satu
karakteristiknya adalah pendidikan formal. Sukandar dkk 2009 menyatakan bahwa tingkat
pendidikan di suatu wilayah pada umumnya akan mencerminkan keragaman mata pencaharian yang dijalani penduduk di wilayah tersebut. Sejalan dengan
hal tersebut, Nurlatifah 2011 menjelaskan dalam hasil penelitiannya bahwa tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap produktivitas dan output yang
pada akhirnya
akan meningkatkan
pendapatan. Peningkatan
pendapatan selanjutnya akan menentukan akses untuk mendapatkan pangan.
Lama pendidikan istri. Rata-rata lama pendidikan istri di desa program
tidak jauh berbeda 4.91±3.68 tahun dengan desa nonprogram 4.35±3.05
Tingkat pendidikan istri Program
Nonprogram
1
tahun. Hanya
saja di
desa program
terdapat istri
yang sudah
mencapai pendidikan
tinggi atau
lama pendidikan
14 tahun,
sedangkan di
desa nonprogram
lama pendidikan paling
tinggi adalah 9 tahun
yang tergolong
pendidikan dasar.
Adapun dikedua
desa masih
terdapat istri
yang tidak
mengenyam pendidikan formal. Tabel 11 Statistik lama pendidikan istri di desa program dan nonprogram
Statistik Program
Nonprogram
Rata-rata ± standar deviasi tahun 4.91±3.68
4.35±3.05 Maksimum tahun
14 9
Minimum tahun
Jumlah istri pada rumahtangga nonprogram sebanyak 22 orang. Hal ini dikarenakan satu rumahtangga belum mempunyai istri. Tidak jauh berbeda
dengan lama pendidikan suami, secara keseluruhan lama pendidikan dasar juga mendominasi 95,6 lama pendidikan istri. Hanya sebanyak 2.2 rumahtangga
yang sampai pada tingkat pendidikan sedang dan tinggi. Tabel 12 Sebaran rumahtangga berdasarkan lama pendidikan istri
Total Jumlah
Jumlah Jumlah
Dasar ≤ 9 tahun
21 91.3
22 100
43 95.6
Sedang 10-12 tahun 1
4.3 1
2.2 Tinggi 12 tahun
1 4.3
1 2.2
1
belum punya istri sebanyak 1 orang
Lama pendidikan istri di desa program tergolong lebih tinggi meskipun tidak jauh berbeda dibandingkan desa nonprogram. Tabel 12 menunjukkan
bahwa sebanyak 91,3 istri rumahtangga di desa program tergolong pendidikan dasar. Sebesar 4,3 istri rumahtangga yang tergolong memiliki lama pendidikan
kategori sedang dan tinggi. Adapun sebesar 100 ibu di desa nonprogram termasuk kategori dasar. Hal ini didukung dengan hasil uji
independent T-test bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat pendidikan ibu yang nyata p0.05
antara desa program dan desa nonprogram. Akses menuju ibukota kecamatan pada masa pendidikan ibu
masih sangat sulit sehingga para ibu lebih memilih untuk bekerja dan menikah. Ibu
yang mengenyam pendidikan tinggi dikarenakan sebelum menikah tinggal di ibukota kecamatan sehingga akses ke sekolah lanjutan cenderung lebih mudah.
Hasil penelitian
Permatasari 2004
menyatakan bahwa
tingkat pendidikan ibu rumahtangga petani di Banten sebagian besar 62.9 adalah
Sekolah Dasar,
hanya sebesar
2 ibu
rumahtangga yang
mengenyam
pendidikan lanjut. Rahayu 2007 juga menyatakan bahwa tingkat pendidikan ibu rumahtangga petani di daerah sekitar perusahaan RAPP tergolong rendah
70.6. Hasil penelitian Agustiani 2012 juga menyimpulkan bahwa tingkat pendidikan
ibu rumah tangga di daerah pertanian didominasi oleh lulusan
sekolah dasar. Cohen
1981 dalam
Hardinsyah 2007
mengidentifikasi pola
pengambilan keputusan pemilihan pangan dalam keluarga Indonesia adalah pola istri yang dominan. Behrman Wolfe 1984 juga menyatakan bahwa akses
pangan rumahtangga bergantung kepada pengambil keputusan yang salah satu karakteristiknya adalah pendidikan formal ibu atau istri. Berdasarkan penelitian
tersebut, istri atau ibu memegang peranan penting untuk menyiapkan makanan dalam
rumahtangga. istri
yang memiliki
pendidikan lebih
tinggi cenderung
mendapat paparan yang tinggi juga dari media cetak BKKBN dan community system
foundation dalam
Hardinsyah 2007,
sehingga aksesnya
untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan gizi lebih tinggi Hardinsyah
2007. Pada akhirnya istri atau ibu akan membuat rencana atau strategi untuk mendapatkan pangan sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.
Akses Ekonomi
Akses pangan
selanjutnya adalah
akses ekonomi.
Akses ekonomi
merupakan kemampuan
rumahtangga dalam
memperoleh pangan
yang didasarkan
pada pendekatan
pengeluaran total
per kapita
per bulan.
Pengeluaran total
per kapita
per bulan
dihitung dari
jumlah biaya
yang dikeluarkan untuk membeli kebutuhan pangan dan nonpangan selama satu
bulan termasuk konsumsi beras rumahtangga dari lahan sendiri yang dibagi dengan jumlah anggota rumahtangga. Jumlah anggota rumahtangga ini penting
untuk diketahui karena pengeluaran total per kapita ditentukan oleh banyaknya anggota rumahtangga.
Berkaitan dengan hal tersebut, Sukandar 2007 menjelaskan bahwa jumlah anggota rumahtangga adalah banyaknya anggota rumahtangga yang
terdiri dari
ayah, ibu,
anak, dan
anggota keluarga
lain yang
hidup dari
pengelolaan sumberdaya
yang sama.
Secara operasional,
jumlah anggota
rumahtangga dikategorikan menjadi rumahtangga kecil ≤ 4 orang, rumahtangga
sedang 5-6 orang, dan rumahtangga besar ≥ 7 orang.
Tabel 13 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah anggota rumahtangga di desa nonprogram adalah 3.5±1.2, sedangkan di desa program sebesar 4.4±2.1.
Kategori Nonprogram
Jumlah rumahtangga kecil dikedua desa sebanyak 71,7, rumahtangga sedang sebanyak 21,7 dan terdapat 6,5 rumahtangga yang tergolong rumahtangga
besar. Jumlah rumahtangga kecil di desa nonprogram lebih besar 82,6 dibandingkan
dengan jumlah rumahtangga kecil di desa program
60,9. Adapun jumlah rumahtangga yang tergolong sedang di desa nonprogram lebih
rendah 17,4 dibandingkan desa program 26,1. Sebaliknya, rumahtangga yang tergolong besar hanya ada di desa program yaitu sebesar 13. Hasil uji
independent t-test menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan p0.05
antara jumlah
anggota rumahtangga
di desa
program ataupun
nonprogram. Tabel 13 Sebaran rumahtangga berdasarkan jumlah anggota rumahtangga
Program Total
Jumlah Jumlah
Jumlah
Kecil 4 orang 19
82,6 14
60,9 33
71,7 Sedang 4-6 orang
4 17,4
6 26,1
10 21,7
Besar ≥ 7 orang
0,0 3
13,0 3
6,5 Rata-rata±standar deviasi
3.5±1.2 4.4±2.1
4.0±1.8
Data BPS Kotabaru 2012 mencatat bahwa jumlah penduduk di desa program
adalah 807
orang dengan
210 kepala
keluarga sedangkan desa
nonprogram sebanyak 175 orang dengan 48 kepala keluarga sehingga meskipun jumlah penduduk jauh berbeda namun rata-rata jumlah anggota rumahtangga
tidak jauh berbeda. Kondisi ini diduga karena banyak dari penduduk desa nonprogram mencari pekerjaan diluar desa atau menjadi penduduk di desa lain.
Desa program merupakan desa dengan kepadatan penduduk yang tinggi yaitu 36 orang km
2.
Hal ini berbeda dengan desa nonprogram yang mencapai 6 orangkm
2
BPS Kotabaru 2012. Meskipun secara statistik tidak ada perbedaan yang nyata, namun di desa program sebesar 13,1 tergolong rumahtangga
besar dan
26.1 tergolong
rumahtangga sedang.
Oleh karena
itu, dapat
dikatakan bahwa jumlah anggota rumahtangga di desa program lebih banyak dibandingkan dengan desa nonprogram.
Pengeluaran total per kapita per bulan dibagi kedalam dua jenis yaitu pengeluaran untuk pangan dan pengeluaran untuk nonpangan. Pengeluaran
pangan terdiri dari biaya yang dikeluarkan untuk beras, umbi-umbian, jagung, lauk, sayur, buah, minyak, minuman, dan pangan lainnya. Adapun pengeluaran
nonpangan terdiri atas biaya sekolah, pakaian, bahan bakar, kesehatan, alat
Rupiah
bersih, rokok, dan pengeluaran nonpangan lainnya. Perbandingan pengeluran total per kapita tersebut disajikan pada tabel 14.
Tabel 14 Perbandingan pengeluaran total per kapita per bulan berdasarkan
kelompok pengeluaran
Desa Program Desa Nonprogram
Kelompok Pengeluaran Rata-Rata
A. Pangan 1. Beras
13,884 2.7
5,572 1.3
2. Umbi-Umbian 3,741
0.7 1,123
0.3 3. Jagung
1,459 0.3
629 0.2
4. Lauk 51,229
10.1 22,374
5.3 5. Sayur
5,378 1.1
2,344 0.6
6. Buah 8,088
1.6 4,149
1.0 7. Minyak
10,136 2.0
9,438 2.3
8. Minuman 24,395
4.8 34,547
8.3 9. Jajanan
55,862 11.0
56,877 13.6
10. Lainnya 22,646
4.5 31,576
7.5
Subtotal 196,819
38.7 168,629