PANGAN NONPANGAN Umurdalam bulan dan tahun, balita diisi bulannya saja=A52 1.6 Pekerjaan

Sheet 5. Pengeluaran rumahtangga Jenis pengeluaran Pengeluaran Rp per Harian Mingguan Bulanan Tahunan

1. PANGAN

1. Beras Sub total 1.1 2. Umbi-umbian 2.1. Ubi jalar 2.2. Singkong 2.3. Kentang Sub total 1.2 3. Jagung Sub total 1.3 4. Lauk sebutkan 4.1. Telur Ayam 4.2. Daging Ayam 4.3. Ikan Asin 4.4. Ikan segar 4.5. Tahu 4.6. Tempe 4.7. Daging sapi 4.8. 4.9. 4.10. Sub total 1.4 5. Sayur Sub total 1.5 6. Buah Sub total 1.6 7. Minyak goreng Sub total 1.7 8. Minuman 8. 1. Susu 8. 2. Kopi 8. 3. Gula 8. 4. Teh Sub total 1.8 9. Jajanan Bakso, snack, permen, dll 10.Lainnya 10.1. Kerupuk 10.2. Garam 10.3. Kecap Jenis pengeluaran Pengeluaran Rp per Harian Mingguan Bulanan Tahunan 10.4. Saos 10.5. Bumbu 10.6. Mie 10.7. Tepung 10.8. 10.10. Sub total 1.10 Tot Pangan

2. NONPANGAN

1.Sekolah 1.1.SPPBP3Les 1.2.Uang transport 1.3.Bukualat tulis 1.4. Seragam sekolah 1.5. Sepatu 1.6. Sub total 2.1 2. Pakaianjahit baju Sub total 2.2 3. Bahan bakar 3.1. Minyak tanah 3.2. Kayu bakar 3.3. Gas 3.3. Bensin 3.5. 3.6. Sub total 2.3 4. Kesehatan 4.1.Jasa danmantri 4.2. Vitaminsupleme 4.3. Obat-obatan 4.4. KB Sub total 2.4 5. Alat bersih 5.1. Sabun mandi 5.2. Odol 5.3. Sampoo 5.4. Conditioner 5.5. Sikat gigi 5.5. Kapaspembalut 5.7. Sabun Cuci Jenis pengeluaran Pengeluaran Rp per Harian Mingguan Bulanan Tahunan 5.8. Sikat pakaian 5.9. Bedak 5.10. Lipstik 5.11. Deodoran 5.12. Minyak wangi 5.13. Sapu 5.14. 5.15. Sub total 2.5 6. Rokok Sub total 2.6 7. Lain-lain 7.1. Transpor selain anak 7.2. Sewa merawat rumah 7.3. PAMbeli air bersih 7.4. Rekreasihiburan 7.5. Sumbangan 7.6. Kredit Arisan 7.7. Pembayaran pajak 7.7. Telepon 7.9. Listrik 7.10. Tabungan 7.11 7.12 7.13 7.14 Sub total 2.7 Tot Nonpangan TOTAL PENGELUARAN Lampiran 2 Hasil uji statistik contoh Tabel 25 Hasil uji independent t-test komponen akses pangan dan tingkat kecukupan energi rumahtangga desa program dan desa nonprogram Komponen Standard error Sig. 2 tailed Keterangan Lama pendidikan 1.124 0.379 Tidak berbeda suami Lama pendidikan istri 0.997 0.574 Tidak berbeda Pengeluaran total per kapita per bulan Skor komponen utama akses pangan Tingkat kecukupan 58016.6 0.133 Tidak berbeda 0.391 0.222 Tidak berbeda 5.04 0.855 Tidak berbeda energi Tabel 26 Skor komponen utama akses pangan rumahtangga di desa program dan desa nonprogram Rumah tangga skor akses pangan Program nonprogram 1 4.187241 1.627341 2 -0.60319 -0.27807 3 2.570174 -0.19145 4 0.037343 -0.90433 5 0.351236 -0.06473 6 0.331195 0.61894 7 -1.46208 0.305387 8 -1.77122 0.013313 9 -1.19139 -1.24942 10 0.404135 -0.41072 11 0.900701 -0.82242 12 -0.71883 -0.33314 13 0.607095 -0.50639 14 3.921039 -0.27057 15 2.178116 0.893183 16 0.063931 0.20951 17 -1.01741 -0.39815 18 -0.45833 0.353859 19 0.344719 -1.80779 20 1.418507 -2.06995 21 -1.36151 0.470006 22 -1.00697 -0.14137 23 -2.112 -0.65557 1 Constant Tabel 27 Hasil regresi akses pangan dengan tingkat kecukupan energi Unstandardized Model Coefficients Standard eror Sig. B 74.143 2.306 .000 pca 5.104 1.745 .005 Constant 74.960 3.323 .000 2 pca 5.218 1.793 .006 D -1.634 4.740 .732 Tabel 28 Hasil analisis korelasi pearson akses pangan dengan TKE pada keseluruhan contoh Komponen Sig. 2 tailed r Lama pendidikan suami 0.025 0.331 Lama pendidikan istri 0.023 0.335 Pengeluaran total per kapita 0.073 0.267 Komponen utama akses pangan 0.005 0.404 korelasi signifikan pada level 0.05 korelasi signifikan pada level 0.01 ABSTRACT DESY LEO ARIESTA. The Analyze of Food and Consumption Access of The Households Beneficiary Program and non-Beneficiary Program of Community Development Program in Wilas and Sulangkit Village, Kotabaru Regency, Kalimantan Selatan. Under direction of YAYUK FARIDA BALIWATI. The purpose of this study was to analyze the food and consumption acces of the households beneficiary and non-beneficiary of community development program in Desa Wilas and Desa Sulangkit, Kotabaru Regency, South Kalimantan. The study used cross sectional study design which include 46 households with purposive sampling. Desa Wilas is a program beneficiary and Desa Sulangkit is a non-beneficiary. The result showed that several programs that were done in Desa Wilas have been helping to increase food acces especially in social, physics, and economics. Social food acces component was dominated by the basic education periode ≤ 9 years of husband and wife, as in the beneficiary village 81.8 and 91.3 and in the non-beneficiary village 95.5 and 100. All of the households 100 in the beneficiary village have a high economy food acces while in the beneficiary households have a lower acces 91.3. The whole food acces showed that the food access score increased if the education periode of husband and wife was longer and the economy acces was bigger. The average households food consumption is higher in beneficiary village 1280 kkal than in non-beneficiary 1240 kkal. The households in beneficiary village 56.5 had a higher good level ≥70 of sufficiency energy than in the non-beneficiary village 47.8. There were no differences of sufficient level of energy, the component, and the whole food acces between the two households p0.05. The periode of education of husband and wife and the whole food acces had possitive correlation p0.05 with sufficiency level of energy. Meanwhile there was no correlation between economy food acces and sufficiency level of energy p0.05. Keywords: food acces, food consumption, households, community development RINGKASAN DESY LEO ARIESTA. Analisis Akses dan Konsumsi Pangan Rumahtangga Penerima dan Bukan Penerima Program Pemberdayaan Masyarakat di Desa Wilas dan Desa Sulangkit, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Dibawah bimbingan YAYUK FARIDA BALIWATI Desa wilas merupakan salah satu desa prioritas pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin. Laporan Dompet Dhuafa Republika 2010 sebagai mitra perusahaan menunjukkan bahwa potensi pertanian, perikanan, dan perkebunan di Desa Wilas sangat tinggi. Tingginya potensi tersebut belum tentu menjamin baiknya status gizi penduduk. Ariesta et al 2011 mencatat bahwa sebanyak 45 balita di Desa Wilas memiliki status gizi BBU kurang. Menurut kategori WHO persentase tersebut termasuk permasalahan gizi yang sangat tinggi. Oleh karena itu, penelitian ini penting dilakukan untuk mengkaji program pemberdayaan masyarakat perusahaan tersebut melalui konsep ketahanan pangan khususnya akses dan konsumsi pangan sebagai salah satu manifestasi status gizi yang baik. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis akses dan konsumsi pangan rumahtangga penerima program yaitu Desa Wilas dan bukan penerima program yaitu Desa Sulangkit, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Tujuan khusus yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah 1 menganalisis program pemberdayaan masyarakat PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin di desa penerima program pemberdayaan masyarakat, 2 menganalisis akses pangan pada rumahtangga dikedua desa, 3 menganalisis tingkat kecukupan energi pada rumahtangga dikedua desa, dan 4 menganalisis hubungan antara akses pangan dengan tingkat kecukupan energi TKE rumahtangga dikedua desa. Penelitian ini menggunakan disain cross sectional study yang dilaksanakan di Desa Wilas dan Desa Sulangkit, Kecamatan Kelumpang Utara Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei-Juni 2012. Teknik penarikan contoh dilakukan secara purposif. Contoh yang dipilih untuk rumahtangga penerima program pemberdayaan masyarakat adalah rumahtangga di Desa Wilas yang mengikuti Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat PPEM sebanyak 23 rumahtangga. Jumlah rumahtangga di Desa Sulangkit dipilih sampai mencapai 23 rumahtangga. Oleh karena itu, jumlah contoh yang dipilih sebanyak 46 rumahtangga. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Microsoft Excel, Minitab 16 Statistical Software, dan SPSS 16.0 for windows. Statistika deskriptif digunakan untuk menunjukkan jumlah dan persentase komponen akses pangan rumahtangga dan TKE rumahtangga. Selanjutnya data dianalisis dengan uji independent t-test. Akses pangan rumahtangga dibentuk dari komponen yang sudah ada dengan menggunakan Principal Component Analysis PCA. Selain itu, Analisis regresi dummy juga dilakukan untuk mengetahui perbedaan akses pangan dikedua desa kaitannya dengan TKE. Selanjutnya, dilakukan uji korelasi pearson antara komponen akses pangan dengan TKE rumahtangga. Komitmen perusahaan lebih khusus ditetapkan dalam kebijakan mengenai visi dan misi tanggung jawab sosial perusahaan. Dokumen ini tertuang dalam memorandum Nomor 290AIVIII2008. Program yang menjadi prioritas pada tahap kedua 2010-2013 adalah program bidang ekonomi. Berdasarkan analisis potensi dampak, beberapa program yang dijalankan di Desa Wilas membantu meningkatkan akses dan konsumsi pangan rumahtangga. Rata-rata lama pendidikan formal suami di desa program adalah 5.87±4.47 tahun lebih lama dibandingkan dengan di desa nonprogram selama 4.87 ± 3.00 tahun. Tingkat pendidikan suami didominasi oleh kategori dasar baik di desa program 82.6 maupun desa nonprogram 95,7. Rata-rata lama pendidikan formal yang dilalui istri di desa program adalah 4.91±3.68 dan 4.35±3.05 tahun di desa nonprogram. Lama pendidikan istri juga didominasi oleh kategori dasar baik di desa program 91.35 maupun desa nonprogram 100. Rata-rata pengeluaran total per kapita pada desa program adalah Rp.581.109 lebih tinggi dibanding desa nonprogram yaitu Rp.492.164. Sebanyak 100 rumahtangga didesa nonprogram tergolong memiliki akses ekonomi yang tinggi, sedangkan rumahtangga di desa program memiliki tersebar pada akses ekonomi rendah 4.3, sedang 4.3, dan tinggi 91.3. Persamaan Akses pangan y = 0.661X1 std + 0.567X2 std + 0.491X3 std menunjukkan bahwa akses pangan akan bernilai tinggi jika pendidikan suami dan istri akses sosial lebih lama serta pengeluaran total per kapita akses ekonomi lebih besar. Persamaan tersebut juga menunjukkan bahwa koefisien X1 std merupakan koefisien tertinggi, artinya pendidikan suami memilki peran yang sangat besar terhadap peningkatan akses pangan. Rata-rata nilai keseluruhan akses pangan lebih tinggi di desa program 1.262 dibandingkan dengan desa nonprogram 0.635. Hal ini menunjukkan bahwa rumahtangga di desa program cenderung memiliki suami dan istri yang berpendidikan lebih lama serta pengeluaran total per kapita per bulan yang lebih tinggi. Jumlah rata-rata konsumsi energi di desa nonprogram lebih rendah 1242 kkal dibandingkan dengan rumahtangga desa program 1280 kkal. Konsumsi energi didominasi oleh kelompok padi-padian. Rumahtanga dengan persentase TKE cukup ≥70 lebih tinggi di desa program 56.5 dibandingkan dengan desa nonprogram 47.8. Kategori TKE kurang 70 lebih tinggi desa nonprogram 52.2 dibandingkan dengan desa program 43.5. Rumahtangga di desa program dengan TKE kurang didominasi oleh suami yang berpendidikan dasar 88.9 dan rumahtangga dengan TKE cukup juga memiliki suami yang berpendidikan dasar 76.9. Rumahtangga desa nonprogram dengan TKE kurang seluruhnya 100 memiliki suami yang berpendidikan dasar dan rumahtangga dengan TKE cukup didominasi juga oleh suami yang berpendidikan dasar 90.9. Rumahtangga desa program yang tergolong TKE kurang seluruhnya 100 memiliki istri berpendidikan dasar, dan rumahtangga dengan TKE cukup juga didominasi oleh pendidikan dasar istri 84.6. Adapun di desa nonprogram seluruh 100 rumahtangga dengan TKE kurang dan cukup memiliki istri yang berpendidikan dasar. Rumahtangga desa program yang memiliki akses ekonomi tinggi dan tergolong TKE kurang sebesar 90, sedangkan rumahtangga yang memiliki akses ekonomi tinggi dengan TKE cukup sebesar 92.3. Adapun semua rumahtangga desa nonprogram yang tergolong akses ekonomi tinggi tersebar pada TKE kurang dan cukup. Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan p0.05 lama pendidikan suami, lama pendidikan istri, pengeluaran total per kapita per bulan, nilai akses pangan, dan tingkat kecukupan energi antara desa program dan desa nonprogram. Hasil uji korelasi pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara tingkat kecukupan energi dengan lama pendidikan suami p0.05, r=0.331, lama pendidikan istri p0.05, r=0.335, dan keseluruhan akses pangan p0.05, r=0.404. PENDAHULUAN Latar Belakang Ketahanan pangan menjadi isu sejak adanya World Food Conference pada tahun 1974. Oloyule et al 2009 dan Hariyadi 2008 mempunyai pendapat yang sama bahwa ruang lingkup ketahanan pangan saat ini tidak hanya ketersediaan pangan, akan tetapi adanya stabilitas pangan, akses terhadap pangan, dan pemanfaatan pangan. Perkembangan definisi ketahanan pangan ini disebut Maxwell 1996 telah mencapai sekitar 200 definisi yang berbeda. Akan tetapi, Indonesia memiliki definisi sendiri yang tertuang dalam UU Pangan Nomor 7 Tahun 1996 bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Pencapaian ketahanan pangan ini merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional karena pangan merupakan kebutuhan dasar yang tidak bisa digantikan dengan bahan lain. Rahayu 2007 menyatakan bahwa dalam pemenuhan hak dasar rakyat, pemerintah bisa bekerjasama salah satunya adalah dengan pihak swasta. Hal ini dikarenakan pihak swasta yang menjalankan bisnis ditengah masyarakat saat ini dituntut untuk melaksanakan pertanggungjawaban sosialnya atau disebut sebagai community social responsibility CSR terhadap daerah sekitar perusahaan. PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin adalah salah satu perusahaan yang menjalankan tanggung jawab sosialnya dengan konsep pemberdayaan masyarakat. Millenium development goals MDG’S sebagai isu sentral saat ini dijadikan salah satu acuan oleh community department dalam melaksanakan programnya. Program pemberdayaan tersebut meliputi bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, sosial budaya, dan infrastruktur. Cakupan program ini tersebar di empat kecamatan yaitu Kelumpang Utara, Kelumpang Tengah, Pamukan Selatan, dan Sampanahan, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Namun, program pemberdayaan masyarakat diprioritaskan di desa-desa yang terkena dampak langsung aktifitas pertambangan atau disebut daerah ring satu. Desa wilas merupakan salah satu desa prioritas pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat. Laporan Dompet Dhuafa Republika 2010 sebagai mitra perusahaan menunjukkan bahwa potensi pertanian, perikanan, dan perkebunan di Desa Wilas sangat tinggi. Tingginya potensi tersebut belum tentu menjamin baiknya status gizi penduduk. Ariesta et al 2011 mencatat bahwa sebanyak 45 balita di Desa Wilas memiliki status gizi BBU kurang. Menurut kategori WHO persentase tersebut termasuk permasalahan gizi yang sangat tinggi. Oleh karena itu, penelitian ini penting dilakukan untuk mengkaji program pemberdayaan masyarakat perusahaan tersebut melalui konsep ketahanan pangan khususnya akses dan konsumsi pangan sebagai salah satu manifestasi status gizi yang baik. Pengkajian ini juga membutuhkan desa pembanding yang memiliki karakteristik sosial, ekonomi, dan ekosistem yang hampir sama dengan Desa Wilas. Desa Sulangkit merupakan desa yang memiliki kondisi sosial ekonomi dan kondisi alam yang hampir sama dengan Desa Wilas. Letak desa ini berdampingan dengan Desa Wilas. Jarak kedua desa tersebut sekitar empat kilometer. Desa Sulangkit adalah desa yang tidak menerima program pemberdayaan dari pihak manapun. Oleh karena itu, Desa Sulangkit dijadikan desa pembanding dalam menganalisis akses dan konsumsi pangan. Tujuan Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis akses dan konsumsi pangan rumahtangga penerima dan bukan penerima program pemberdayaan masyarakat di Desa Wilas dan Desa Sulangkit, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis karakteristik program pemberdayaan masyarakat PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin di desa penerima program pemberdayaan masyarakat. 2. Menganalisis akses pangan pada rumahtangga di desa penerima dan bukan penerima program pemberdayaan masyarakat. 3. Menganalisis tingkat kecukupan energi pada rumahtangga di desa penerima dan bukan penerima program pemberdayaan masyarakat. 4. Menganalisis hubungan antara akses pangan dengan tingkat kecukupan energi rumahtangga di desa penerima dan bukan penerima program pemberdayaan masyarakat. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam pengayaan ilmu pengetahuan dalam bidang pangan dan kesehatan bagi masyarakat desa lingkar tambang pada khususnya dan masyarakat lain pada umumnya. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan bahan penyempurnaan dan pengembangan program pemberdayaan masyarakat khususnya dalam pencapaian ketahanan pangan rumahtangga desa lingkar tambang. TINJAUAN PUSTAKA Akses Pangan Pada awalnya, konsep ketahanan pangan akan terjadi ketika pangan telah tersedia sehingga negara-negara didunia fokus pada ketersediaan pangan nasional dan internasional, keberlanjutan, dan pengimbangan fluktuasi harga. Berbagai studi di Afrika menunjukkan hal yang berbeda yaitu meskipun pangan telah tersedia, namun kondisi kelaparan tetap saja terjadi De Wall dalam Maxwell et al 1992. Selain itu, De Waal menemukan pada tahun 1984 di Darfur orang-orang memilih kelaparan agar bisa mempertahankan aset mereka dan mata pencaharian untuk masa depan. Pada akhirnya, Amartya Sen 1981 dalam Maxwell 1996 menginisiasi perpindahan paradigma konsep ketahanan pangan menjadi akses pangan sebagai titik fokus. Selanjutnya teori ini disebut sebagai hak atas pangan food entitlement. World Bank 1986 dalam Maxwell 1996 mendefinisikan ketahanan pangan yaitu akses bagi semua orang setiap waktu untuk mencukupi pangan untuk hidup aktif dan sehat. Maxwell 1996 menyatakan bahwa peneliti dan praktisi pembangunan saat ini menyadari bahwa akses yang stabil dan ketersediaan pangan merupakan dua kata kunci ketahanan pangan rumahtangga. Rumahtangga akan mempunyai akses pangan yang stabil jika mereka dapat terus hidup artinya untuk memperoleh pangan yang dibeliproduksi sendiri tanpa merusak lingkungan. Akses yang stabil juga dipengaruhi oleh mekanisme lokal, informasi sosial yang menyangga rumahtangga dari kejutan-kejutan periodik. Jadi, indikator ketahanan pangan rumahtangga harus dapat mengukur perubahan hak atas pangan Downing 1990 dalam Maxwell et al 1992. Hak atas pangan meliputi seberapa banyak rumahtangga yang bisa mengakses pangan dari hasil produksi sendiri, pendapatan, berburu, dukungan masyarakat, aset, dan migrasi. Beberapa variabel sosial ekonomi berpengaruh terhadap akses pangan rumahtangga ini Maxwell 1996. Akses pangan rumahtangga yang stabil akan dijelaskan oleh pengertiannya dalam menyediakan makanan produksi, membeli, pemberian dan mekanisme sosial yang menyangga rumahtangga dari kejutan-kejutan periodik agar dapat terus hidup sehat dan aktif. Departemen Pertanian 2008 mendefinisikan akses pangan sebagai kemampuan rumahtangga secara periodik memenuhi sejumlah pangan yang cukup melalui kombinasi cadangan pangan mereka sendiri dan hasil dari rumah atau pekarangan sendiri, pembelian, barter, pemberian, pinjaman, dan bantuan pangan. Departemen Pertanian 2008 mengklasifikasikan akses pangan kedalam tiga aspek yaitu fisik, ekonomi, dan sosial. Akses fisik meliputi ketersediaan produksi, konsumsi normatif dan distribusi berupa infrastruktur pendukung perolehan pangan. Akses ekonomi meliputi pendapatan, kerja dan, usaha. Akses sosial berupa jumlah penduduk yang tidak tamat SD. Akses Sosial Departemen Pertanian 2008 mendefinisikan akses pangan sosial sebagai kemampuan rumahtangga dalam memperoleh pangan yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan penduduk, bantuan sosial, budayakebiasaan makan, konflik sosial keamanan, dan lainnya. Tingkat pendidikan dijadikan sebagai indikator akses sosial dalam Departemen Pertanian 2008; Hildawati 2008; Agustiani 2012. Tingkat pendidikan di suatu wilayah pada umumnya akan mencerminkan keragaman mata pencaharian yang dijalani penduduk di wilayah tersebut Sukandar dkk 2009. Hasil penelitian Sukandar dkk 2009 juga menyebutkan bahwa tingkat pendidikan suami peserta PNPM Mandiri adalah rendah. Hasil penelitian Agustiani 2012 menyatakan bahwa meskipun tidak berbeda secara statistik, persentase keluarga yang memiliki akses pangan komponen tingkat pendidikan suami lebih tinggi pada kelompok penerima apabila dibandingkan dengan keluarga pada kelompok bukan penerima program desa mandiri pangan. Permatasari 2004 menemukan hal yang sama bahwa sebagian besar tingkat pendidikan kepala keluarga petani adalah rendah. Sunarti dkk 2009 juga menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa tingkat pendidikan formal istri dan suami yang bekerja sebagai penggarap dan buruh tani didominasi oleh lulusan Sekolah Dasar SD atau tidak tamat SD. Hasil penelitian Permatasari 2004 menyatakan bahwa tingkat pendidikan ibu rumahtangga petani di Banten sebagian besar 62.9 adalah sekolah dasar, hanya sebesar 2 ibu rumahtangga yang sampai pada pendidikan lanjut. Rahayu 2007 juga menyatakan bahwa tingkat pendidikan ibu rumahtangga petani di daerah sekitar perusahaan RAPP tergolong rendah 70.6. Hasil penelitian Agustiani 2012 juga menyimpulkan bahwa tingkat pendidikan ibu rumah tangga di daerah pertanian didominasi oleh lulusan sekolah dasar. Karsyono 2000 menyatakan bahwa tenaga kerja pertanian di wilayah pedesaan didominasi oleh tenaga kerja dengan tingkat pendidikan SD atau tidak tamat sekolah. Hal tersebut diduga menjadi penyebab rendahnya akses pangan. Behrman Wolfe 1984 menyatakan bahwa akses pangan rumahtangga bergantung kepada pengambil keputusan yang salah satu karakteristiknya adalah pendidikan formal. Nurlatifah 2011 menjelaskan dalam hasil penelitiannya bahwa tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap produktivitas dan output yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan. Peningkatan pendapatan selanjutnya akan menentukan akses untuk mendapatkan pangan. Cohen 1981 dalam Hardinsyah 2007 mengidentifikasi pola pengambilan keputusan pemilihan pangan dalam keluarga Indonesia adalah pola istri yang dominan. Behrman Wolfe 1984 juga menyatakan bahwa akses pangan rumahtangga bergantung kepada pengambil keputusan yang salah satu karakteristiknya adalah pendidikan formal ibu atau istri. Akses Fisik Wilayah dikatakan akses pangannya tinggi apabila diwilayahdaerah tersebut terdapat pasar yang menjual bahan pangan pokok. Wilayahdaerah tersebut dikatakan memiliki akses pangan yang sedang apabila tidak memiliki pasar dalam wilayahdaerah tersebut, namun jarak terdekat wilayahdaerah tersebut dengan pasar pasar yang menjual bahan pangan pokok kurang dari dan atau sama dengan tiga kilometer. Adapun akses pangannya rendah apabila jarak terdekat dengan pasar lebih dari tiga kilometer Departemen Pertanian 2008. Contoh indikator akses fisik diantaranya persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai dan persentase rumah tangga tanpa akses listrik Departemen Pertanian 2008, kondisi jalan atau sarana penghubung Nurlatifah 2011. Contoh lainnya adalah ketersediaan bahan pangan di warung, kondisi jalan ke pasar, dan adatidak adanya pasar Hildawati 2008. Nurlatifah 2011 menyimpulkan dari hasil penelitiannya yaitu keberadaan pasar memberikan kemudahan bagi rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan pangan yang bergizi dan beragam. Hal ini sejalan dengan kesimpulan penelitian FAO 2010 dalam Nurlatifah 2011 bahwa pasar merupakan salah satu determinan pencapaian akses pangan yang selanjutnya akan meningkatkan ketahanan pangan. Akses Ekonomi Akses ekonomi dapat diukur dengan berbagai indikator yaitu sumberdaya keuangan atau pendapatan Eicker Breisinger 2012; pendapatan rumahtangga per kapita per bulan Departemen Pertanian 2008; pengeluaran total per kapita per bulan Hildawati 2008; Agustiani 2012. Moho dan Wagner 1981 dalam Hildawati 2008 menyatakan bahwa data pengeluaran dapat menggambarkan pola konsumsi keluarga dalam pengalokasian pendapatan yang biasanya relatif tetap. Pengeluaran pada keluarga yang berpendapatan rendah, biasanya akan lebih besar jumlahnya daripada pendapatan mereka. Oleh karena itu, data pengeluaran lebih mencerminkan pendapatan yang sebenarnya. Selain itu, Purwantini Mewa 2008 menyatakan bahwa secara alamiah kuantitas pangan yang dibutuhkan seseorang akan mencapai titik jenuh sementara kebutuhan bukan pangan termasuk kualitas pangan yang tidak dibatasi dengan cara yang sama. Oleh karena itu, besar pendapatan yang dibelanjakan untuk pangan bisa dijadikan petunjuk kesejahteraan. Sejalan dengan hal tersebut, Salvatore 2006 dalam Novita Fardianah 2011 menuliskan sebuah hukum yang dikenal sebagai Hukum Engel bahwa bila selera tidak berbeda maka persentase pengeluaran untuk pangan akan menurun dengan meningkatnya pendapatan. Semakin rendah persentase pengeluaran untuk pangan terhadap total pengeluaran semakin membaik tingkat perekonomian penduduk. Sebaliknya, semakin besar pangsa pengeluaran pangan semakin kurang sejahtera rumahtangga yang bersangkutan. Suhardjo 1989 menyatakan bahwa pengeluaran pangan rumahtangga dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu subsidi pangan oleh pemerintah, pangan yang dibagi-bagikan diantara anggota masyarakat pedesaan, jumlah dan ragam pangan yang dibeli, harga pangan di pasaran, persediaan pangan yang dapat diterima di pasaran, jumlah pendapatan yang dikeluarkan untuk pangan serta pendapatan rumahtangga. Keluarga yang memiliki cukup akses secara ekonomi dan pemenuhan kebutuhan pangan, pengetahuan gizi orang tua yang baik akan berpengaruh terhadap semakin baiknya keragaman konsumsi pangan anggota keluarganya Hardinsyah 2007. Pengeluaran total rata-rata per kapita per bulan Kalimantan selatan tahun 2011 adalah Rp.699.417, sedangkan pengeluaran untuk pangan adalah Rp. 373.301. Oluyole et al 2009 menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa ketahanan pangan rumahtangga meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan rumahtangga. Novita Fardianah 2011 mencatat dari hasil penelitiannya di Kalimantan Selatan bahwa tingginya pengeluaran rumahtangga petani padi sawah untuk pangan dibandingkan pengeluaran untuk bukan pangan menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan petani padi sawah harus terus ditingkatkan. Konsumsi Pangan Rumahtangga Hardinsyah Briawan 1994 menjelaskan bahwa konsumsi pangan merupakan informasi tentang jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu. Pemilihan cara yang digunakan sangat ditentukan oleh satuan pengamatan unit contoh, waktu, tenaga, dan dana yang tersedia. Ada dua pengertian mengenai penilaian konsumsi pangan yaitu pertama penilaian terhadap kandungan zat gizi dari makanan dan yang kedua membandingkan kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang dengan angka kecukupannya. Pemahaman kedua digunakan untuk mengetahui tingkat konsumsi zat gizi seseorang atau sekelompok orang. Untuk itu, penilaian konsumsi pangan biasanya dilakukan terhadap makanan yang dikonsumsi dengan satuan per orang per hari atau unit konsumen. O’brien palce Frankenberger 1988 dalam Maxwell et al 1992 menyatakan bahwa penilaian frekuensi pangan terkait dengan pengumpulan jumlah minimum makanan yang dikonsumsi fokus pada jumlah item makanan dibatasi pada kelompok pangan dan menanyakan frekuensi konsumsi makanan tersebut dibanding jumlah yang dikonsumsi. Informasi dikumpulkan dengan food recall 24 jam. Rumahtanhga digolongkan kepada konsumsi pangan kurang dan cukup. Suhardjo 1989 menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah cara penyimpanan bahan pangan, tersedianya bahan bakar, beban pekerjaan, cara penyimpangan pangan, dan kebiasaan makan tradisional seperti pola pembagian makanan kepada anggota-anggota keluarga. Tingkat Kecukupan Energi Konsumsi pangan sehari merupakan penjumlahan dari makan pagi, siang, malam dalam kurun waktu 24 jam. Jika lebih dari satu hari, maka konsumsi pangan per hari merupakan jumlah konsumsi pangan dibagi dengan jumlah hari survey. Satuannya gram per hari. Pada prinsipnya penilaian konsumsi individu dan keluarga sama. Konsumsi pangan keluarga merupakan penjumlahan dari konsumsi pangan masing-masing individu atau anggota keluarga Hardinsyah Briawan 1994. Menurut BPS 2011 konsumsi kalori per kapita per hari Kalimantan Selatan di pedesaaan tahun 2011 adalah 2198 kilokalori. Penilaian untuk mengetahui tingkat kecukupan energidilakukan dengan membandingkan antar konsumsi energi aktual dengan kecukupan energi yang dinyatakan dalam persen. Indikator Standar Pelayanan Masyarakat SPM membuat indikator konsumsi pangan ideal untuk energi adalah 2000 kilokalori. Latief et al 2000 dalam WNPG VII menggolongkan tingkat kecukupan energi dan protein menjadi kurang jika tingkat kecukupan gizi kurang dari 70 dan cukup jika tingkat kecukupan gizi lebih besar sama dengan 70. Agustiani 2012 dalam penelitiannya menjelaskan bahwa hasil uji beda independent t-test menujukkan terdapat perbedaan yang signifikan p0,05 antara tingkat konsumsi energi dan protein pada kelompok penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan. Alfitri 2002 menyimpulkan dari hasil penelitiannya di Kalimantan Selatan bahwa tingkat pendidikan ibu berhubungan positif dengan jumlah pangan yang dikonsumsi. Hickman et al 1993 dalam Hardinsyah 2007 menyatakan bahwa wanita terpelajar cenderung tertarik terhadap informasi dari media cetak khususnya majalah dan koran. Ibu dengan tingkat pendapatan dan pendidikan yang lebih tinggi mendapat paparan yang tinggi juga dari media cetak BKKBN dan community system foundation dalam Hardinsyah 2007. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka aksesnya terhadap media massa semakin tinggi yang juga berarti akses terhadap informasi yang berkaitan dengan gizi semakin tinggi Hardinsyah 2007. Hasil review Hardinsyah 2007 menyatakan bahwa para ibu dengan pendidikan lebih baik dapat memilih dan mengombinasikan beragam jenis pangan dengan harga yang tidak mahal. Selain itu, hasil analisis multivariat di negara berkembang termasuk Indonesia tingkat pendidikan ibu dianggap sebagai determinan penting dari asupan gizi atau pengelolaan gizi di tingkat rumahtangga Behrman wolfe 1987; Behrman et al 1988. Atmarita 2004 menyatakan bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang untuk menyerap informasi dan mengimplementasikan dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Soekirman 2000 mengemukakan bahwa pada bagan penyebab kekurangan gizi oleh UNICEF 1998 tercantum bahwa meski secara tidak langsung namun tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kekurangan gizi. Sudut sosial ekonomi memandang tingkat pendidikan ibu rumah tangga merupakan salah satu aspek yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga. Apriadji 1986 dalam Madihah 2002 menyatakan bahwa orang yang memiliki pendidikan rendah belum tentu kurang mampu menyusun menu makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibanding orang yang berpendidikan lebih tinggi. Hal ini disebabkan keingintahuan seseorang mengenai gizi akan menambah pengetahuan gizinya. Akan tetapi, Omuemu et al 2012 menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa rendahnya tingkat pendidikan, besarnya rumahtangga, rendahnya pendapatan mejadi faktor yang signifikan bagi terjadinya kerawanan pangan. Purnamasari 2001 menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa pengeluaran pangan yang lebih besar memiliki tingkat kecukupan energi yang lebih tinggi. Beberapa hasil penelitian mengungkapkan bahwa semakin tinggi pendapatan atau pengeluaran total maka semakin tinggi kuantitas konsumsi pangan yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat kecukupan energi Soekirman 2000; Baliwati Retnanngsih 2004; Hildawati 2008; Agustiani 2012. Aspek pendapatan tidak selalu mempengaruhi dalam pola konsumsi pangan tetapi aspek lain seperti kebiasaan makan dan pola hidup sederhana, pola pekerjaan petani yang tidak terlalu kompleks, dan konsep mengutamakan makan di rumah yang dimasak terlalu kuat Purwantini 2008. Jumlah anggota rumahtangga berhubungan positif dan berpengaruh nyata terhadap konsumsi pangan yang pada akhirnya meningkatkan pengeluaran untuk pangan Rochaeni Lokollo 2005. Tingginya pendapatan per kapita disebabkan rata-rata jumlah anggota rumahtangga relatif lebih kecil Swastika dkk 2006. Metode Food Recall Metode food recall salah satu metode untuk mengumpulkan data konsumsi pangan masyarakat. Widjajanti 2009 menyatakan bahwa metode food recall memiliki presisi yang cukup tinggi bila dilakukan oleh orang yang ahli. Kelebihan dari metode ini adalah waktu pelaksanaan cepat, respon responden baik, akurasi tinggi, dan beban responden rendah. Sedangkan kekurangannya adalah mengandalakan ingatan dan hanya cocok untuk sebagian subjek Widjajanti 2009. Jangka waktu minimal yang dibutuhkan untuk recall konsumsi gizi adalah 24 jam dalam kondisi konsumsi pangan dari hari ke hari tidak beragam dan maksimal tujuh hari. Pengulangan recall dapat dilakukan untuk meningkatkan ketepatan data zat gizi yang diperoleh. Salah satu cara mengurangi biasketidaktepatan atau untuk meningkatkan validitas dan reliabilitas hasil konsumsi gizi digunakan food models atau food picture Widjajanti 2009. Pemberdayaan Masyarakat dan Community Sosial Responsibility CSR CSR telah menjadi perbincangan sejak terjadinya revolusi industri. Pada saat itu perusahaan menganggap bahwa tanggung jawab perusahaan hanya sebatas memberikan lapangan pekerjaan. Namun, seiring berjalannya waktu, masyarakat menuntut lebih dari penyediaan lapangan pekerjaan. Hal ini dikarenakan praktek usaha seringkali menimbulkan dampak negatif misalnya eksploitasi berlebihan yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, CSR melebarkan philantropinya pada konsep pemberdayaan masyarakat pada tahun 80-an. Konsep ini dibahas lebih lanjut dalam kongres tingkat tinggi KTT Bui di Rio de Janeiro pada tahun 1992. Kemudian pada tahun 2002 diadakan World Summit on Sustainable Development di Johannesburg Afrika Selatan. Konsep CSR terus berkembang dengan cepat sehingga tidak ada definisi baku mengenai CSR. Namun, ada salah satu definisi menurut WIbisono 2007 yaitu tanggung jawab perusahaan kepada para pemangku kepentingan untuk berlaku etis, meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif yang mencakup aspek sosial dan lingkungan triple botoom line dalam rangka mencapai tujuan pemabangunan berkelanjutan. Chambers 2003 dalam wibisono 2007 mengkalisfikasikan CSR dalam tiga aspek yaitu keterlibatan dalam komunitas, pembuatan produk yang bisa dipertanggungjawabkan secara sosial, dan employee relations. Wibisono 2007 merangkum cara pandang perusahaan terhadap CSR menjadi menjadi tiga yaitu basa basi atau keterpaksaan, upaya memenuhi kewajiban, dan beyond compliance. Keterpaksaan tercermin dari pelaksanan CSR karena faktor eksternal. Upaya memenuhi kewajiban compliance dilakukan karena ada regulasi hukum dan aturan yang memaksanya untuk membuat produk ramah lingkungan dan adanya hadiah. Dorongan tulus dari dalam b eyond compliance berarti perusahaan telah menyadari bahwa tanggung jawabnya bukan lagi sekedar kegiatan ekonomi untuk mencipatakan profit demi Siapa Ahli dari luar Anggota masyarakat, staf proyek, kelangusngan perusahaan melainkan tanggung jawab sosial dan lingkungan dengan dasar pemikirannya adalah kesehatan finansial. Lubis 2011 menyatakan bahwa pembangunan atau perubahan telah dilakukan umat manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Pelaksanaan pembangunan pada awalnya selalu dimulai dari atas. Meskipun cocok diterapkan di berbagai negara, tetapi konsep pembangunan ini juga membawa dampak negatif. Dampak tersebut berupa ketidakmerataan, pemusatan kekuasaan, dan matinya inisiatif lokal. Padahal cara pandang pembangunan yang sebenarnya adalah meningkatkan keberdayaan masyarakat. Konsep ini juga sejalan dengan An-naf 2005 bahwa dasar pembangunan khususnya pertanian paling tidak harus berkelanjutan dengan menjamin pelestarian dan penggunaan yang wajar dari sumberdaya yang terbarukan, harus meningkatkan efisiensi ekonomi, dan manfaatnya harus terdistribusi secara merata. Pendekatan pembangunan ini bertumpu pada dua elemen pokok yaitu kemandirian dan partisipasi. Masyarakat mandiri menentukan pembangunannya, dan berpartisipasi senyatanya pada seluruh prosesnya. Kemandirian dalam hal ini menyangkut tiga segi, yaitu kemandirian material, kemandirian intelektual, dan kemandirian manajemen Lubis 2011. Konsep pembangunan ini selanjutnya dijadikan philantropi pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat. Lubis 2011 menjelaskan tahapan pemberdayaan masyarakat dimulai dengan identifikasi potensi dan masalah. Pada tahap ini secara partisipatif merumuskan masalah dan potensi yang ada pada komunitas, bukan dari pihak luar. Selanjutnya, penetapan tujuan, penetapan rencana kerja, kemudian aksi atau pelaksanaan rencana kerja, dan pada akhirnya diadakan evaluasi kegiatan. Tabel 1 Perbandingan evaluasi konvensional dengan evaluasi partisipatif Aspek Evaluasi konvensional Evaluasi partisipatif fasilitator Indikator keberhasilan: efisiensi Masyarakat mengidentifikasi sendiri Apa Bagaimana Kapan Mengapa biaya dan keluaran hasil produk yang telah dilakukan Fokus pada objektivitas ilmiah, ada pola seragam, prosedur kompleks, akses terbatas pada hasil Biasanya tergantung jadwal, kadangkala ada juga evaluasi midterm Pertanggungjawaban biasanya sumatif, menentukan biaya selanjutnya indikator keberhasilan, termasuk hasil yang dicapai Evaluasi sendiri, metode sederhana yang diadaptasi dengan budaya lokal, terbuka ada diskusi hasil dengan melibatkan partisipan dalam proses evaluasi Bergantung pada proses perkembangan masyarakat dan intensitas relatif sering Pemberdayaan masyarakat lokal untuk inisiasi, mengontrol, melakukan tindakan koreksi Wibisono 2007 menuliskan bahwa perencanaan program operasional ini sedapat mungkin diusahakan berbasis sumberdaya lokal, berbasis pada pemberdayaan masyarakat, mengutamakan program yang berkelanjutan, berdasar perencanaan partisipatif atau didahului oleh need assessment, dihubungkan dengan bisnis inti perusahaan, dan fokus pada prioritas. Evaluasi dan monitoring adalah salah satu kegiatan yang penting untuk melihat apakah pelaksanaan pemberdayaan sesuai dengan yang direncanakan. Lubis 2011 melanjutkan bahwa monitoring dan evaluasi perlu dilakukan secara partisipatif. Tabel 1 diatas menyajikan perbandingan evaluasi konvensional dengan evaluasi partisipatif. KERANGKA PEMIKIRAN Badan Pusat Statistik BPS Indonesia menggolongkan rumahtangga menjadi rumahtangga di perdesaan dan di perkotaan. Kaitannya dengan ketahanan pangan, BPS 2011 menyatakan bahwa kerawanan pangan atau kondisi tidak tahan pangan banyak terjadi di rumahtangga perdesaan. Pedalaman pulau Kalimantan, khususnya Kalimantan Selatan masih memiliki desa-desa yang berada di pelosok atau sulit terjangkau baik melalui transportasi maupun komunikasi Ariesta dkk 2011. Keberadaan perusahaan didaerah Kalimantan Selatan semestinya bisa membantu memperlancar akses terhadap pangan. Hal ini dikarenakan perusahaan dituntut untuk melaksanakan pertanggungjawaban sosialnya dengan memberdayakan masyarakat di desa-desa sekitar tempat pengusahaannya. Oleh karena itu, rumahtangga yang menjadi binaan perusahaan tersebut dikatakan rumahtangga penerima program pemberdayaan masyarakat, sedangkan pembanding dalam penelitian ini disebut sebagai rumahtangga bukan penerima program pemberdayaan masyarakat. Berkaitan dengan akses pangan, faktor-faktor yang mempengaruhi akses pangan tersebut bergantung pada jenis dan tujuan program pemberdayaan yang dilaksanakan oleh perusahaan. Namun, dalam hal ini faktor tersebut digolongkan berdasarkan Departemen Pertanian 2008 menjadi dua yaitu akses sosial dan ekonomi. Akses sosial berupa lama pendidikan formal suami dan istri dan akses ekonomi yang digunakan adalah pengeluaran total perkapita per bulan. Akses fisik tidak dimasukan kedalam kerangka pemikiran karena akses fisik sebagai output dari program pemberdayaan yang bersifat homogen pada masing-masing desa sehingga dibahas dalam hubungannya dengan Tingkat Kecukupan Energi. Akses pangan rumahtangga ini secara langsung akan berperan dalam konsumsi rumahtangga yang dibuktikan dengan tingkat kecukupan energi. Status gizi merupakan dampak dari pemenuhan kebutuhan berdasarkan tingkat kecukupan gizi. Hariyadi 2008 menegaskan bahwa indikator ketahanan pangan ini harus bisa membentuk individu yang sehat dan produktif dimana salah satu indikatornya adalah status gizi individu tersebut. Akses pangan rumahtangga Program pemberdayaan masyarakat 1. Kebijakan 2. Konsep dan strategi Akses pangan secara sosial 1. Pendidikan kepala keluarga 2. Pendidikan istri 3. Program Akses pangan secara ekonomi 1. Pengeluaran total perkapita per bulan Konsumsi Pangan 1. Jumlah pangan 2. Jenis pangan Status gizi Keterangan: Variabel yang diteliti Variabel yang tidak diteliti Hubungan yang tidak dianalisis Hubungan yang dianalisis Gambar 1 Kerangka pemikiran akses dan konsumsi pangan rumahtangga penerima dan bukan penerima program pemberdayaan masyarakat. METODE Disain, Waktu, dan Lokasi Penelitian Penelitian ini menggunakan disain cross sectional study karena dilaksanakan dalam satu waktu yaitu pada bulan Mei-Juni 2012. Lokasi penelitian berada di Desa Wilas dan Desa Sulangkit, Kecamatan Kelumpang Utara Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Penetapan Desa Wilas sebagai lokasi desa penerima program pemberdayaan masyarakat adalah 1 termasuk ring 1 atau desa prioritas desa binaan, 2 terdapat salah satu program unggulan CD Senakin, 3 bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian, dan 4 kemudahan akses dari segi perijinan, transportasi, dan akomodasi. Desa Sulangkit dipilih sebagai desa pembanding didasarkan pada kriteria sebagai berikut 1 masyarakat Suku Banjar, 2 kesamaan karakteristik sosial ekonomi yaitu tingkat pendidikan suami dan istri didominasi oleh rendah, mata pencaharian utama adalah pertanian dan perkebunan karet, 3 memiliki satu arah aliran sungai dengan desa program, 4 jarak menuju ibukota kecamatan tidak berbeda jauh, 5 sebagian besar kondisi jalan masih berlumpur. Teknik Penarikan Contoh Desa penerima program pemberdayaan masyarakat adalah Desa Wilas Sedangkan desa bukan penerima program pemberdayaan adalah Desa Sulangkit. Contoh atau unit penelitian adalah rumahtangga di Desa Wilas dan Desa Sulangkit. Teknik penarikan contoh dilakukan dengan cara purposif. Kriteria contoh di desa program adalah 1 rumahtangga yang mengikuti program bidang ekonomi yaitu Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat PPEM, 2 merasakan program di bidang lainnya seperti pendidikan, infrastruktur, kesehatan, dan sosial budaya, dan 3 bersedia berpartisipasi dalam penelitian. Jumlah contoh yang mengikuti PPEM adalah sebanyak 25 rumahtangga. Namun, hanya 23 rumahtangga yang bisa dijadikan contoh pada waktu pengambilan data. Hal ini dikarenakan satu contoh berada di luar daerah penelitian selama dua bulan dan satu contoh tidak bersedia berpartisipasi dalam penelitian. Kriteria contoh di desa nonprogram adalah bersedia berpartisipasi dalam penelitian yang dilakukan secara acak sampai mencapai 23 rumahtangga. Oleh karena itu, total rumahtangga yang menjadi contoh adalah 46 rumahtangga. No Komponen Jenis Data Cara Jenis dan Cara Pengambilan Data Data yang diambil berupa data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik rumahtangga usia, berat badan, jenis kelamin, pekerjaan, akses pangan sosial lama pendidikan suami dan istri, akses pangan ekonomi pengeluaran total per kapita per bulan, akses pangan fisik keberadaan, jarak, dan kondisi jalan ke pasar, keberadaan bahan pangan di warung dan pedagang keliling, konsumsi pangan rumahtangga, dan karakteristik program pemberdayaan masyarakat. Data-data tersebut didapatkan melalui wawancara dengan instrumen kuisioner. Data konsumsi pangan diperoleh dengan mengetahui jumlah dan jenis pangan. Kedua jenis data ini diperoleh dengan metode food recall 1x24 jam kepada seluruh anggota didalam rumahtangga. Food recall hanya dilakukan satu kali karena jenis pangan yang dikonsumsi cenderung homogen Widjajanti 2009. Instrumen yang digunakan adalah food picture dan food recall sheet 1x24 jam yang menggambarkan beberapa jenis pangan serta ukuran rumahtangga untuk mempermudah responden dalam menentukan jumlah pangan yang dikonsumsi. Adapun jenis data sekunder berupa data demografi lokasi penelitian dan dokumen program pemberdayaan masyarakat perusahaan terkait. Berikut jenis dan cara pengumpulan data primer dan sekunder yang disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2 Jenis dan cara pengambilan data pengambilan data 1. Karakteristik 1. Usia rumahtangga 2. Karakteristik program pemberdayan masyarakat 2. Jenis kelamin 3. Berat badan 4. Pekerjaan 1. Kebijakan 2. Konsep dan strategi 3. Program Wawancara dengan kuisioner Wawancara mendalam Studi literature 3. Akses pangan sosial 1. Pendidikan suami 2. Pendidikan istri Wawancara dengan kuisioner 4. Akses pangan ekonomi Pengeluaran total per kapita per bulan Wawancara dengan kuisioner 5. Akses pangan fisik 1. Keberadaan pasar 2. Jarak dan kondisi jalan ke pasar 3. Keberadaan bahan pangan di warung Wawancara dengan kuisioner 4. Keberadaan pedagang keliling 6. Konsumsi pangan Jumlah dan jenis pangan Food recall 1x24 jam Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Microsoft Excel, Minitab 16 Statistical Software, dan SPSS 16.0 for windows. Statistika deskriptif digunakan untuk menunjukkan jumlah dan persentase karakteristik rumahtangga, komponen akses pangan rumahtangga dan konsumsi pangan atau tingkat kecukupan energi rumahtangga. Selanjutnya data dianalisis dengan independent t-test untuk menunjukkan perbedaan pada kedua jenis desa dengan variabel yang sama. Akses pangan rumahtangga dibentuk dari komponen yang sudah ada dengan menggunakan Principal Component Analysis PCA. Selain itu, dilakukan uji hubungan antara komponen akses pangan dengan tingkat kecukupan gizi rumahtangga dengan menggunakan analisis korelasi pearson. Analisis regresi dummy dilakukan untuk mengetahui perbedaan akses pangan di desa program dan nonprogram yang melibatkan variabel kategorik . Karakteristik rumahtangga meliputi usia, berat badan, jenis kelamin, dan pekerjaan anggota rumahtangga. Usia, jenis kelamin, dan berat badan digunakan untuk menghitung angka kecukupan gizi ideal. Adapun pekerjaan digunakan untuk menentukan sebaran pekerjaan suami dan istri di rumahtangga kedua desa. Karakteristik program pemberdayaan masyarakat di desa penerima meliputi kebijakan, strategi dan konsep, serta program yang dideskripsikan secara kualitatif. Content analysis dilakukan untuk menganalisis program pemberdayaan menurut kebijakan umum ketahanan pangan KUKP 2010-2014. Program tersebut secara khusus diarahkan pada upaya pengembangan sistem distribusi pangan dan peningkatan kualitas konsumsi pangan. Pengembangan sistem distribusipangan meliputi program yang memperlancar sistem distribusi pangan, pengembangan cadangan pangan pemerintah, menjaga keterjangkauan dan stabilitas harga pangan, meningkatkan aksesibilitas atas pangan, dan menangani kerawanan pangan kronis dan transisi. Peningkatan kualitas konsumsi pangan meliputi percepatan penganekaragaman konsumsi pangan, mendorong perilaku konsumsi pangan, meningkatkan pembinaan dan pengawasan keamanan pangan, dan memfasilitasi pengembangan industry pangan usaha kecil dan menengah. Selanjutnya, program-program yang dilaksanakan di Desa Wilas dianalisis potensi dampaknya terhadap upaya yang mendukung akses dan konsumsi pangan. Hasilnya digunakan untuk menunjukkan keberadaan dukungan program terhadap akses dan konsumsi pangan. Potensi dampak program pemberdayaan masyarakat dalam upaya peningkatan akses pangan dirinci dengan menggali komponen input, proses, output, outcome, dan dampak dari program tersebut. Akses pangan secara sosial meliputi pendidikan suami dan istri. Pendidikan suami dan istri digolongkan menurut UU RI Nomor 20 tahun 2003 mengenai sistem pendidikan nasional. Penggolongan tersebut yaitu tergolong dasar jika masa pendidikan formal ≤ 9 tahun, sedang 10-12 tahun, dan tinggi 12 tahun. Akses pangan secara ekonomi berdasarkan pengeluaran total pangan dan nonpangan rumahtangga yang digolongkan menjadi akses ekonomi rendah, sedang, dan tinggi. Akses pangan secara ekonomi digolongkan berdasarkan garis kemiskinan Kabupaten Kotabaru tahun 2010 yaitu Rp. 230.564,-. Akses ekonomi tergolong rendah apabila total pengeluaran rumahtangga kurang dari Rp. 230.564,-. Berdasarkan jarak pengeluaran terhadap garis kemiskinan, apabila pengeluaran berada dibawah garis kemiskinan maka akses ekonomi rendah. Pengeluaran berjarak antara 1 - 20 dari garis kemiskinan atau Rp. 230.564,- – Rp. 276.677,- maka tergolong akses ekonomi sedang. Pengeluaran berada lebih dari 20 garis kemiskinan atau Rp.276.677,- tergolong akses ekonomi tinggi. Akses pangan secara fisik digunakan untuk mengetahui keberadaan pasar, kondisi jalan, jarak ke pasar, dan keberadaan pedagang keliling. Akses fisik ini dianalisis menggunakan analisis regresi dengan variabel dummy. Analisis ini juga berkaitan dengan keseluruhan akses pangan yang didapatkan dengan menggunakan Principal Component Analysis PCA sebagai fungsi terhadap tingkat kecukupan energi. Akses pangan keseluruhan merupakan gabungan dari komponen- komponen dimensi akses pangan sosial dan ekonomi. Pembuatan variabel akses pangan ini didapatkan dari komponen akses sosial pendidikan suami dan istri dan akses ekonomi pengeluaran total per kapita per bulan dengan menggunakan Principal Component Analysis PCA. Variabel akses pangan hasil Principal Component Analysis PCA ini disebut sebagai komponen utama akses pangan atau akses pangan. Nilai dari eigenvalues merepresentasikan peubah yang direduksinya. Besarnya representasi yang digambarkan bergantung pada nilai kumulatif dari nilai eigenvalue terpilih. Selanjutnya skor PCA tersebut didapatkan dari persamaan dengan model sebagai berikut: Y 1 = α 11 x 1 + α 12 x 2 + α 13 x 3 Y 2 = α 21x1 + α 22 x 2 + α 23 x 3 Y 3 = α 31 x 1 + α 32 x 2 + α 33 x 3 Keterangan: Y 1,2,3 = skor komponen utama contoh ke-n α 1,2,3 = nilai koefisien persamaan peubah ke 1, 2, 3, dst X 1,2,3 = nilai standardisasi masing-masing peubah pada contoh ke-1, 2, 3 Skor PCA ini kemudian diregresikan dengan dummy. Regresi dummy dilakukan karena pada faktanya akses pangan rumahtangga di desa program dibantu oleh perusahaan dan dampaknya diduga tergolong akses fisik. Indikator akses fisik ini berupa data kategorik sehingga keberadaannya ditunjukkan dengan nilai D=1 untuk desa program dan D=0 untuk desa nonprogram. Model regresi dummy tersebut dinyatakan sebagai berikut: Y =  1 +  2 D+ X; e= ∑ Keterangan: Y = Variabel independent α 1,2,3,dst = koefisien persamaan D = dummy  = koefisien X X = Variabel dependent e = estimasi standard eror ye = nilai estimasi y y = nilai aktual y n = jumlah observasi Jika nilai signifikansi D signifikan p0.05, artinya terdapat perbedaan akses pangan pada kedua desa sebesar nilai koefisien D pada persamaan yang dibentuk. Sebaliknya jika nilai D tidak signifikan p0.05, maka tidak terdapat perbedaan akses pangan dikedua desa. Nilai koefisien D negatif menunjukkan bahwa desa program memiliki akses pangan dibawah desa nonprogram sebesar koefisien dummy tersebut. Nilai koefisien D positif menunjukkan desa progam memiliki akses pangan diatas desa nonprogram sebesar koefisien D. Persentase tingkat kecukupan energi TKE rumahtangga didapatkan dengan menghitung rata-rata konsumsi rumahtangga dibagi dengan rata-rata tingkat kecukupan energi rumahtangga dikali 100. Tingkat kecukupan energi dikategorikan kurang jika TKE 70 AKG dan dikategorikan cukup jika TKE 70 AKG Latief et al. 2000. Rata-rata konsumsi dan tingkat kecukupan energi rumahtangga didapatkan dengan rumus sebagai berikut. Rata-rata konsumsi rumahtangga = ∑ Rata-rata kecukupan energi rumahtangga = ∑ Rata-rata TKE = Komponen akses pangan rumahtangga lama pendidikan suami, lama pendidikan istri, pengeluaran total per kapita per bulan, skor PCA, dan tingkat kecukupan energi selanjutnya dianalisis menggunakan uji independent t-test untuk membandingkan perbedaan komponen tersebut didua desa. Berikut rumus independent t-test. √ √ Keterangan: t = nilai t hitung = rata-rata kelompok 1 = rata-rata kelompok 2 = standard eror kedua kelompok = varian dari kedua kelompok N1 = jumlah sampel kelompok 1 N2 = jumlah sampel kelompok 2 1 = varian kelompok 1 2 = varian kelompok 2 Uji hubungan dilakukan terhadap tingkat kecukupan energi sebagai variabel independent dan komponen akses pangan serta skor PCA sebagai variabel dependent. Berikut adalah rumus korelasi pearson untuk menguji hubungan komponen tersebut. Keterangan: E = nilai yang diharapkan Cov = covariance Corr = korelasi pearson = koefisien korelasi pearson x, y = variabel acak µx, µy = nilai yang diharapkan dari variabel acak = standard deviasi Tabel 3 dibawah ini merupakan rangkuman dari penjabaran pengolahan dan analisis data yang dilakukan pada penelitian ini. Tabel 3 Pengkategorian indikator variabel penelitian Indikator Kategori Analisis Program pemberdayaan masyarakat Lama pendidikan KK dan atau istri Pengeluaran total per kapita per bulan Sosial: peningkatan pendidikan formal Fisik: peningkatan distribusi pangan Ekonomi: peningkatan pendapatan Konsumsi: upaya peningkatan jumlah pangan Dasar: 9 tahun Sedang: 10-12 tahun Tinggi: 12 tahun Rendah: 230.564,- Sedang: 230.564,- – 276.677,- Potensi dampak program terhadap peningkatan akses konsumsi pangan t-test pearson t-test pearson GK Tinggi: 276.677,- Akses Pangan PC n = α 1 X n ” + α 2 y n ” + α 3 z n ” + ….. PCA t-test pearson Tingkat kecukupan energi Kurang : 70 Cukup : 70 t-test pearson Definisi Operasional Rumahtangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang berada dalam satu rumah, tinggal bersama, makan dari satu dapur, dan dikepalai oleh seorang kepala rumahtangga. Program pemberdayaan masyarakat adalah seperangkat program yang dilaksanakan oleh Community Department PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin di Desa Wilas pada tahun 2011. Karakteristik program pemberdayaan masyarakat ini meliputi kebijakan, konsep dan strategi, serta program-programnya. Adapun program-program yang dilaksanakan dianalisis potensi dampaknya terhadap upaya yang mendukung akses dan konsumsi pangan di Desa Wilas. Hasilnya digunakan untuk menunjukkan keberadaan dukungan program terhadap akses dan konsumsi pangan. Akses pangan adalah kemampuan rumahtangga untuk mendapatkan pangan yang didasarkan pada pendekatan sosial ekonomi yaitu akses pangan ekonomi dan akses pangan sosial yang disesuaikan dengan program pemberdayaan masyarakat yang telah dilakukan. Akses pangan ini direpresentasikan dari komponen akses pangan sosial dan ekonomi menggunakan Principal Component Analysis PCA. Skor dari beberapa komponen sosial ekonomi ini merepresentasikan akses pangan rumahtangga tersebut. Akses pangan ekonomi adalah kemampuan rumahtangga mendapatkan pangan yang didasarkan pada pengeluaran per kapita per bulan. Pengeluaran total ini meiputi pengeluaran untuk pangan dan nonpangan semua anggota rumahtangga setiap bulannya. Akses pangan ekonomi ini dikategorikan berdasarkan garis kemiskinan GK kotabaru tahun 2010 yaitu Rp. 230.546,-. Akses pangan ekonomi tergolong tinggi jika julmah pendapatannya 20 GK, tergolong sedang jika berada diantara nilai GK sd 20 GK, dan tergolong rendah jika pendapatan per kapita GK. Akses pangan sosial adalah kemampuan rumahtangga dalam mendapatkan pangan atau makanan yang didasarkan pada lama pendidikan formal suami dan istri. Lama pendidikan suami dan istri ini digolongkan menjadi tiga yaitu dasar jika masa pendidikan 9 tahun, sedang jika masa pendidikan 10-12 tahun, dan tinggi jika masa pendidikan 12 tahun UU RI Nomor 20 tahun 2003. Konsumsi pangan rumahtangga adalah jenis dan jumlah pangan dalam gram yang dikonsumsi oleh seluruh anggota rumahtangga berdasarkan recall 1 x 24 jam. Kecukupan energi adalah jumlah kalori yang dibutuhkan oleh anggota rumahtangga berdasarkan angka kecukupan energi ideal yang dikoreksi berat badan, jenis kelamin, dan umur. Tingkat kecukupan energi adalah persentase perbandingan antara rata-rata jumlah kalori hasil konsumsi pangan rumahtangga dengan rata-rata kecukupan energi ideal rumahtangga. Klasifikasi tingkat kecukupan ini mengacu pada Latief 2000, jika TKE 70 maka rumahtangga tersebut tergolong kurang. Sedangkan jika TKE ≥70 maka rumahtangga tersebut dikatakan cukup. HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Wilayah Gambaran Umum Desa Wilas Lokasi. Desa wilas adalah salah satu desa di wilayah Kecamatan Kelumpang Utara. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Sulangkit, sebelah timur dengan Desa Mangga, sebelah selatan dengan Desa Manggis, dan sebelah barat dengan Kecamatan Sampanahan. Luas Desa Wilas sekitar 20 km 2 . Area tersebut mencakup lahan persawahan, kebun karet, ladang pemukiman, dan sisanya masih berbentuk hutan karena belum dimanfaatkan. Seluruh penduduk Desa Wilas adalah Suku Banjar. Jumlah penduduk seluruhnya yang bermukim di Desa Wilas sebanyak 221 KK atau 807 warga dengan jumlah laki-laki 403 orang dan perempuan sebanyak 404 orang. Akses menuju ibukota kecamatan ditempuh selama 45 menit menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat dengan jarak 12 kilometer. Desa Pudi sebagai Ibukota kecamatan menjadi salah satu alternatif pasar yang biasa dikunjungi oleh warga Desa Wilas. Selain itu, pusat perdagangan lain terletak di Desa Geronggang yang berjarak 45 kilometer melalui jalan tambang PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin. Adapun akses desa menuju ibukota kabupaten harus ditempuh melalui jalan darat baik menuju Desa Pudi maupun Desa Geronggang yang kemudian dilanjutkan dengan menggunakan speed boat ataupun kapal cepat. Umumnya warga menggunakan kendaraan roda dua sebagai alat transportasi utama. Sarana dan prasarana. Desa Wilas memiliki prasarana jalan yang sudah rusak untuk akses keluar desa. Kondisi jalan utama menuju Desa Wilas ke Desa Geronggang cukup baik. Sedangkan menuju Desa Sulangkit rusak. Adapun menuju Desa Mangga rusak berlumpur pada satu titik. Kondisi jalan belum ada pengerasan secara merata, masih didominasi oleh jalan tanah yang sulit dilalui terutama pada saat hujan turun. Sarana pemerintah yang ditemui di Desa Wilas adalah kantor desa, pasar, TPA, SD, SMP,dan Puskesdes. Pada tahun 2012, sumber listrik untuk Desa Wilas berasal dari generator milik Perusahaan Listrik Negara PLN. Gambaran Umum Desa Sulangkit Lokasi. Desa Sulangkit merupakan desa yang berbatasan dengan Desa Sukadana di sebelah utara. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Pudi Seberang, sebelah selatan dengan Desa Mangga, dan sebelah barat dengan 0,018jiwakm . Jarak tempuh desa menuju ibukota kecamatan adalah 10 Jenis pekerjaan Nonprogram Desa Wilas. Luas wilayah desa ini adalah 33 km 2 . Jumlah penduduk Desa Sulangkit seluruhnya berjumlah 175 Jiwa dimana jumlah laki-laki 92 jiwa dan perempuan 83 jiwa. Kepadatan penduduk Desa Sulangkit adalah 2 kilometer sedangkan ke ibukota kabupaten adalah 70 kilometer RPJMD Sulangkit 2011. Sarana dan prasarana. Ruas jalan Desa yang melewati Desa Sulangkit sepanjang ± 6 kilometer yang menghubungkan poros jalan antar Desa Sulangkit dengan Desa Pudi dan Desa Sekandis. Panjang jalan Desa seluruhnya berjumlah ± 9 kilometer yang terdiri dari jalan utama desa dan jalan lingkungan. Adapun jalan lainnya adalah titian atau jembatan kayu dan jalan setapak. Berdasarkan data Desa Sulangkit pada tahun 2011 jumlah sekolah untuk SD sebanyak 1 buah dan TPA 1 buah. Pekerjaan Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar pekerjaan pada suamiistri di desa program 40 dan nonprogram 58,1 adalah petani. Suami dan istri didesa nonprogram tidak ada yang menjadi buruh non tani 0. Di desa program terdapat 26,7 suami atau istri yang bekerja sebagai buruh non tani. Kondisi ini dikarenakan di desa program memiliki jumlah penduduk yang lebih besar sehingga warga yang akan memulai pertanian atau memanen hasilnya cenderung meminta bantuan warga lainnya dengan upah berupa uang tunai Rp. 50.000,- per hari atau bagi hasil panen. Tabel 4 Sebaran rumahtangga berdasarkan pekerjaan suami dan istri Program Jumlah Jumlah Petani 25 58.1 18 40.0 Buruh tani 0.0 12 26.7 Buruh nontani 0.0 0.0 PNS 0.0 1 2.2 Jasa 1 2.3 0.0 Pedagang 2 4.7 1 2.2 Tidak bekerja 1 2.3 0.0 IRT 9 20.9 6 13.3 Lainnya 5 11.6 7 15.6 Pekerjaan lainnya di desa program 15,6 lebih tinggi dibanding desa nonprogram 11,6. Kondisi ini diduga karena jarak desa program lebih dekat dengan perusahaan dan kontraktor tambang. Beberapa pekerjaan lainnya adalah kontraktor thiess, kontrak dengan penanaman karet PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin, dan sebagian menjadi guru honorer. Karakteristik Program Pemberdayaan Masyarakat Kebijakan Dasar kebijakan Community Department CD tercantum dalam dokumen kebijakan, keselamatan, dan kesehatan kerja, lingkungan serta kemasyarakatan K3LK yang dibuat oleh perusahaan. Dokumen tersebut mencantumkan lima poin kebijakan yang dua poin diantaranya adalah kebijakan dasar yang berhubungan dengan kemasyarakatan. Kebijakan tersebut adalah 1 mengembangkan hubungan baik dengan masyarakat setempat melalui komunikasi yang terbuka dan proaktif yang didasari atas keyakinan, saling percaya, dan kebersamaan dan 2 mendorong keterlibatan secara aktif dari semua pemangku kepentingan untuk mencapai tujuan kebijakan ini. Komitmen perusahaan ini lebih khusus ditetapkan dalam kebijakan mengenai visi dan misi tanggung jawab sosial perusahaan. Dokumen ini tertuang dalam memorandum Nomor 290AIVIII2008 yang ditandatangani oleh Chief Executive Officer CEO pada tahun 2008. Berikut adalah kebijakan yang terdiri dari visi, misi, tujuan, dan strategi. Tabel 5 Kebijakan visi dan misi tanggung jawab sosial perusahaan 1 Komponen Uraian Visi Berdayanya masyarakat lingkar tambang menjadi mandiri dan sejahtera. Misi Memberdayakan sumber daya lokal dengan berpegang pada nilai-nilai adat dan budaya setempat. Tujuan 1. Berpartisipasi dalam pembangunan daerah dengan membangun struktur komunitas yang tidak berdaya menjadi lebih berdaya dalam menciptakan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat setempat. 2. Menjalin hubungan yang harmonis dengan pemangku kepentingan, berdasarkan atas keyakinan, saling percaya, kebersamaan, dan saling menguntungkan. Strategi 1. Membangun kemitraan atas dasar saling menguntungkan antara perusahaan, masyarakat, pemerintah, dan mitra kerja. 2. Hidup berdampingan dengan masyarakat, harmonis, dan saling percaya dimana perusahaan beroperasi. 3. Membangun keswadayaan masyarakat dalam rangka mengelola dan mengembangkan potensi sumberdaya lokal. 4. Berbasis komunitas dan sumberdaya lokal. 5. Melaksanakan prinsip-prinsip pengembangan masyarakat Community Development. 6. Menyiapkan kemandirian masyarakat pasca tambang. 1 Sumber: memorandum Nomor 290AIVIII2008 Wibisono 2007 merangkum cara pandang perusahaan terhadap CSR menjadi menjadi tiga yaitu pertama basa basi atau keterpaksaan, kedua upaya memenuhi kewajiban compliance, dan ketiga dorongan tulus dari dalam beyond compliance. Perusahaan telah menyadari bahwa tanggung jawabnya bukan lagi sekedar kegiatan ekonomi untuk mencipatakan profit demi kelangsungan perusahaan melainkan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dasar pemikirannya adalah kesehatan finansial. Berdasarkan pembagian tersebut, cara pandang PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin terhadap pelaksanaan CSR termasuk pada golongan tiga. Perusahaan telah menyadari bahwa masyarakat sekitar daerah operasi tambang harus mandiri dan sejahtera. Hal ini dibuktikan dengan adanya komitmen perusahaan dalam kebijakan tanggung jawab sosial perusahaan yang tercantum dalam tabel 4. Manager site Senakin, sebagai pimpinan tertinggi daerah tambang, mempunyai prinsip bahwa jika masyarakat lokal sekitar tambang tidak lebih mandiri setelah adanya perusahaan, maka pelaksanaan program ini terbilang gagal. Wibisono 2007 menyatakan bahwa alasan pertama diimplementasikannya CSR adalah komitmen pemimpinnya. Selain itu, kutipan dari supervisor community development mengenai kewajiban CSR sebagai berikut: “Konsumen akan melihat predikat proper yang diberikan kementrian lingkungan hidup atas pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan ini sehingga pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat ini merupakan kesadaran perusahaan untuk investasi kesehatan dan kemajuan finansial” Cara pandang dan prinsip ini juga sejalan dengan pernyataan Lubis 2011 bahwa dua elemen pokok dari pemberdayaan adalah kemandirian dan partisipasi. Berdasarkan kebijakan yang tercantum dalam tabel 4 dapat dilihat bahwa perusahaan memiliki cita-cita untuk menjadikan masyarakat mandiri dengan sumber daya lokal yang dimilikinya. Oleh karena itu, prinsip pemberdayaan masyarakat telah tertuang dalam kebijakan yang diacu oleh pelaksana program sehingga harapannya visi tersebut bisa dicapai pada akhir operasi tambang tahun 2017. Sumber Daya Manusia SDM Community Department CD didukung oleh sumberdaya manusia dengan struktur seperti gambar 2. Berdasarkan gambar tersebut, c ommunity s uperintendent berada langsung dibawah manager PT Arutmin Tambang Senakin. Selanjutnya dalam c ommunity department dibagi menjadi dua sub yaitu c ommunity development comdev dan community relation comrel. Masing- kemasyarakatan Asset masing sub ini dipimpin oleh seorang supervisor. Pelaksanaan kegiatan comdev dibagi menjadi tiga bidang yaitu ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Bidang kesehatan dan pendidikan dilaksanakan secara mandiri oleh pelaksana CD Senakin. Adapun dalam bidang ekonomi, CD senakin membentuk LPPM dan p roject karet serta bermitra dengan Dompet Duafa Corpora. Bidang infrastruktur, sosial budaya, dan hubungan kemasyarakatan dilakukan oleh comrel. Bidang comrel dibantu oleh seorang a sset protection yang berada langsung dibawah admin la supraintendent. CD Senakin bekerjasama dengan berbagai lembaga evaluasi seperti CFCD Corporate Forum for Community Development dan SII Social Investment Indonesia untuk melakukan evaluasi program di lapangan. Selain itu, kerjasama dengan berbagai stakeholder ini membantu dalam perencanaan program pemberdayaan yang akan dilaksanakan pada tahun berikutnya. Senakin mine manager Superintendent Superintendent Community Superintendent Admin LA Superintendent Community Development Supervisor Community Relation Supervisor Community Development officer Community Development officer Community Relation Officer Community Relation Officer Assisstant project karet Assisstant comdev LPPM Dompet Dhuafa Kontrak Protection LCO Gambar 2 Struktur organisasi Community Department Tambang Senakin Konsep dan Strategi PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin telah melaksanakan program pemberdayaan masyarakat sekitar tambang sejak dimulai beroperasinya tambang pada tahun 1988. Awalnya pelaksanaan program ini dipicu oleh tuntutan masyarakat yang menuntut kompensasi dari kegiatan PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin. Sejak tahun 2000 program untuk masyarakat mulai ditata dan diarahkan pada kegiatan yang mempunyai nilai-nilai pemberdayaan masyarakat SII 2012. Pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat disusun atas sebuah konsep dan strategi yang dibuat untuk mencapai visi departemen. Pada dasarnya konsep ini bertujuan untuk menguatkan sisi perekonomian masyarakat sehingga tercapai masyarakat mandiri pada tahun 2017. Kerangka kerja pemberdayaan masyarakat menitikberatkan pada penguatan ekonomi. Penguatan ekonomi ini didukung oleh pelaksanaan program-program di bidang kesehatan dan pendidikan. Selain itu, program dibidang infrastruktur dan kegiatan sosial lainnya dilakukan untuk mencapai target masyarakat mandiri pada akhir operasi tambang. Secara tidak langsung, bidang kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur bukan menjadi tujuan utama pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat. Strategi yang dilakukan CD adalah membagi target pencapaian program dalam tiga tahap. Tahap pertama dimulai dengan “memberi” yang dilaksanakan pada tahun 2004-2009. Strategi ini ditujukan untuk menumbuhkembangkan usaha dengan membangun dasar-dasar ekonomi. Secara umum, konsep pemberdayaan masyarakat ini merupakan kerjasama dari bagian community development comdev dan community relation comrel. Ruang lingkup comdev adalah membangun dasar ekonomi, membangun dan mengembangkan potensi sumberdaya lokal sebagai dasar menuju masyarakat yang percaya diri untuk menjadi mandiri dan sejahtera. Sedangkan ruang lingkup comrel memberikan dukungan kepada tim comdev dalam membangun prasarana dasar dan mendorong terciptanya tatanan masyarakat yang kondusif, harmonis, gotong royong, jujur, dan dinamis. Tahap kedua 2010-2013 merupakan tahap transisi menuju masyarakat mandiri. Tahap ini dilaksanakan dengan konsep “mengajak” dimana dilakukan program-program penguatan usaha dan membangun jaringan, serta penguatan organisasi dan permodalan. Selanjutnya, tahap ketiga yang akan dilaksanakan Budaya - Ring I, II, III Budaya Kesehatan Infrastruktur - Ring I, II, III pada tahun 2014-2017 berada pada tahap “membangun”. Pada tahap ini diharapkan adanya kestabilan usaha, kepercayaan diri, adanya jaringan, dan modal yang kuat. Target ini merupakan indikator pencapaian masyarakat mandiri atau keterandalan masyarakat dalam bidang ekonomi pada tahun 2017. Tabel 6 Strategi prioritas tahunan Community Department tambang senakin 1 Prioritas Ke- Strategi program 2004-2009 2010-2013 2014-2017 Mandiri Keterangan 1 Infrastruktur Ekonomi Pertanian Pertanian Ring I dan II 2 Pendidikan Sosial Budaya Perdagangan Perdagangan Ring I, II,III 3 Kesehatan Infrastruktur Sosial 4 Ekonomi Pendidikan Pendidikan - Ring I, II, III 5 Sosial 6 Donation Donation Donation - Ring I, II, III 1 Sumber: SII 2012 Community Department CD PT PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin Tambang Senakin menurunkan konsep tersebut menjadi program objektif tahunan. Hasilnya adalah adanya skala prioritas pelaksanaan program pemberdayaan yang dilakukan setiap jangka waktu yang disertakan. Berdasarkan tabel 6, pada tahun 2011 2010-2013 prioritas pelaksanaan program adalah bidang ekonomi. Prioritas kedua yang dijalankan adalah bidang sosial budaya, selanjutnya bidang infrastruktur. Sedangkan bidang pendidikan dan kesehatan berada pada skala prioritas empat dan lima. Pelaksanaan program pendidikan dan kesehatan belum menjadi prioritas utama karena berdasarkan kerangka kerja CD, kedua bidang ini merupakan bidang pendukung penguatan bidang ekonomi. Selain itu, sampai saat ini belum dilakukan pemetaan khusus mengenai bidang kesehatan dan pendidikan. Pada Akhirnya, program-program kesehatan dan pendidikan yang dilaksanakan pada tahun 2011 masih mengacu pada pelaksanaan program pada tahun-tahun sebelumnya. Adapun pelaksanaan program infrastuktur dilaksanakan berdasarkan kebutuhan nyata dari masyarakat melalui proposal yang diajukan masyarakat ke perusahaan. Kegiatan sosial budaya dilaksanakan dalam rangka untuk mendekatkan hubungan antara pelaku usaha dengan masyarakat setempat. Hasil wawancara dengan salah satu staff CD menuturkan bahwa strategi prioritas bidang ini telah dilaksanakan terlebih untuk periode kedua yaitu tahun 2010-2013. Akan tetapi, SII 2012 menunjukkan bahwa kerangka kerja dan strategi pelaksanaan CD ini belum dapat secara jelas mendeskripsikan indikator- indikator serta target pencapaian perusahaan ditiap tahap setiap tahunnya meskipun menyertakan rencana waktu dari setiap tahapan. Program Rancangan program pemberdayaan masyarakat PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin mengacu pada standar CSR ISO:26000, Proper lingkungan hidup, dan mendukung percepatan Millenium Development Goals MDG’s. Rancangan ini tentu saja disesuaikan dengan keadaan dan terutama kebutuhan aktual masyarakat di desa sekitar tambang. Kondisi dan kebutuhan masyarakat ini dilakukan melalui kegiatan pemetaan sosial social mapping yang dilaksanakan oleh lembaga kompeten. Selain itu, pengajuan proposal dan informasi dari masyarakat lokal menjadi sumber penting lainnya dalam merancang program. Program pemberdayaan masyarakat PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin dilaksanakan di 28 desa yang dibagi menjadi tiga ring atau prioritas impelementasi program. Ring 1 merupakan desa-desa yang terkena dampak pertambangan secara langsung. Ring 2 merupakan desa-desa yang tidak terkena dampak pertambangan secara langsung. Ring 3 merupakan desa-desa yang tidak terkena dampak. Tabel 7 Lokasi desa penerima program pemberdayaan masyarakat 1 Kecamatan Desa Ring 1 Ring 2 Ring 3 Kelumpang tenga Sebuli, tamiang bakung Tebing tinggi, Tanah Rata, Senakin, Senakin Seberang Tanjung Selayar, Sungai Pinang, Sungai Punggawa Kelumpang Utara Pamukan Selatan Mangga, Wilas, Sungai Seluang Gunung Calang, Sekandis, Talusi Pudi, Pudi Seberang - Sukadana - Sampanahan Gunung Batu Besar, Besuang, Papaan Sepapah, Sungai Betung Sukamaju, Banjarsari, Tanjung Sari, Sampanahan 1 Sumber: SII 2012 Lubis 2011 menjelaskan tahapan program pemberdayaan masyarakat dimulai dengan identifikasi potensi dan masalah. Selanjutnya, penetapan tujuan, penetapan rencana kerja, kemudian aksi atau pelaksanaan rencana kerja, dan pada akhirnya diadakan evaluasi kegiatan. Evaluasi dan monitoring adalah salah satu kegiatan yang penting untuk melihat apakah pelaksanaan pemberdayaan sesuai dengan yang direncanakan. Tahap pertama adalah identifikasi potensi dan masalah. Tahap pertama ini dilakukan oleh pihak luar seperti Corporate Forum for Community Development CFCD setiap tiga tahun sekali. Selain itu, dilaksanakan juga oleh tim Dompet Dhuafa menurut desa yang dijadikan sasaran program. Selanjutnya penetapan tujuan dan rencana kerja didiskusikan dengan staf community department CD karena aksi program pemberdayan masyarakat ini akan dilaksnaakan oleh staf, supervisor, tim dompet dhuafa, dan tim LPPM. Wibisono 2007 berpendapat bahwa pelaksanaan program CSR atau pemberdayaan ini sedapat mungkin diupayakan memenuhi beberapa poin, diantaranya berbasis sumberdaya lokal, berbasis pada pemberdayaan masyarakat, mengutamakan program yang berkelanjutan, berdasar perencanaan partisipatif atau didahului oleh penilaian kebutuhan need assessment, dihubungkan dengan bisnis inti perusahaan, dan fokus pada prioritas. Berdasarkan hal tersebut, maka CD PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin telah berupaya memenuhi semua poin tersebut. Berbasis sumberdaya lokal telah dibuktikan PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin dalam kebijakan dasar perusahaan. Selain itu, penguatan berbagai kelompok usaha masyarakat setempat dengan potensi daerahnya. Selain itu, dilaksanakan modifikasi bibit karet yang berasal dari karet lokal yang selanjutnya akan dipergunakan oleh masyarakat setempat. Berbasis pada pemberdayaan masyarakat merupakan konsep CD PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya. Hal ini dibuktikan dalam memorandum Nomor 290AIVIII2008 bahwa c ommunity development merupakan salah satu strategi yang harus dijalankan dalam CSR. Perencanaan partisipatif dilakukan CD PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin setiap tiga tahun sekali oleh pihak luar atau setiap akan melaksanakan program baru seperti kegiatan pendampingan oleh Dompet Dhuafa. CD PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin memiliki prioritas bidang yang dijadikan acuan. Hal tersebut merupakan bukti bahwa perusahaan tersebut mengutamakan program yang berkelanjutan seperti pada bidang ekonomi dan mengutamakan prioritas pada tahun strategi. Adapun hubungan dengan bisnis inti, perusahaan melaksanakan mining tour sebagai salah satu cara pemberdayaan dalam memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai kegiatan pertambangan. Tahap selanjutnya adalah aksi atau implementasi program. Implementasi program dilaksanakan berdasarkan rencana program yang telah dibuat. Adapun tahap evaluasi dilakukan secara berjangka dan tahunan. Evaluasi berjangka dilaksanakan setiap hari untuk mengevaluasi sekaligus monitoring program yang sedang dilaksanakan. Evaluasi tahunan dilaksanakan dengan mengundang pihak luar seperti tim dari CFCD. Evaluasi yang dilaksanakan oleh pihak luar ini melibatkan partisipasi masyarakat. Berdasarkan tipe evaluasi pada tabel 1 oleh Lubis 2011, evaluasi yang dilaksanakan oleh CD merupakan kombinasi dari evaluasi konvensional dan evalusi partisipatif. Evaluasi konvensional meliputi pelaku evaluasi adalah pihak luar sedangkan evaluasi berjangka dilakukan oleh staf dan perangkat CD. Hal yang dievaluasi berdasarkan indikator keberhasilan biasanya berupa kepuasan masyarakat dan output yang dihasilkan. Evaluasi CD dilakukan dengan pola seragam dan tergantung jadwal. Hasil dari evaluasi ini menjadi bahan pelaksanaan anggaran biaya dan program yang akan dilaksanakan di tahun berikutya. Evaluasi tahunan ini juga melibatkan masyarakat di ring 1 sebagai prioritas responden sasaran program pemberdayaan masyarakat. Potensi Dampak Program Pemberdayaan Masyarakat terhadap Upaya Peningkatan Akses Pangan di Desa Wilas Program bidang ekonomi sebagai program inti yang berjalan di Desa Wilas adalah Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat PPEM dari tim Dompet Dhuafa sebagai mitra CD dalam pelaksanaan program pemberdayaan. Adapun program di bidang kesehatan dijalankan di Desa Wilas adalah pemberian makanan tambahan bagi balita setiap tiga bulan, bantuan peralatan kesehatan, dan insentif bagi bidan. Program di bidang pendidikan yang dijalankan adalah Kuliah Kerja Profesi IPB, penelitian, mining tour, pelatihan kompetensi guru, dan kompetisi pendidikan. Bidang infrastruktur yang turut dibantu perusahaan adalah penyediaan sarana air bersih, perbaikan sarana jalan, penyediaan jaringan listrik, dan pembangunan sarana olahraga, bedah rumah. Selain itu, dibidang sosial budaya, perusahaan telah melaksanakan perayaan hari besar agama islam, pembianaan olahraga dan kesenian, kegiatan keagamaan, dan sosialisasi seputar operasional tambang. Tabel 8 menunjukkan potensi dampak program pemberdayaan masyarakat berdasarkan elemen penting akses dan konsumsi pangan dalam KUKP 2010-2014. Program yang dilaksanakan menyentuh ranah upaya peningkatan akses pangan yaitu akses sosial, fisik, dan ekonomi pangan. Selain itu, salah satu dampak dari bantuan makanan tambahan bisa membantu posyandu Balita Peningkatan konsumsi pangan KUM Peningkatan akses ekonomi 2 Insentif tenaga kemasyarakatan Umum Peningkatan akses ekonomi 2 Pembinaan olahraga dan 4 Sosialisasi seputar operasional 3 Pembangunan jalan desa Umum Peningkatan akses fisik sosial peningkatan konsumsi makanan bagi balita. Hanya saja, program tersebut tidak dirancang menjadi program yang saling berkaitan. Hal ini dibuktikan dengan tujuan program pemberdayaan masyarakat CD adalah membentuk masyarakat yang mandiri ekonomi. Bidang lainnya seperti kesehatan dan pendidikan merupakan tujuan penunjang masyarakat mandiri ekonomi. Hal ini diduga akses pangan khususnya dan sistem ketahanan pangan umumnya belum tersosialisasi kepada perusahaan. Rahayu 2007 menyatakan dalam penelitiannya mengenai potensi dampak program pemberdayaan masyarakat di PT Riau Andalan Pulp and Paper RAPP bahwa belum konsep ketahanan pangan belum disosialisasikan kepada perusahaan karena belum ada peraturan yang mengikat secara khusus mengenai penerapan konsep ini. Tabel 8 Program, sasaran, dan potensi dampak program yang dilaksanakan di Desa Wilas tahun 2011 No Program Sasaran Potensi Dampak A Pendidikan 1 Kompetisi pendidikan Siswa SMP - 2 Magang dan KKN Penelitian Mahasiswa - 3 Pelatihan kompetensi guru Guru - B Kesehatan 1 Bantuan makanan tambahan 3 Bantuan pendidikan untuk bidan Bidan - 4 Bantuan tanggap darurat Umum - C Ekonomi 1 Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat PPEM tim dompet dhuafa pangan Pangan D Sosial Budaya Dan Keagamaan 1 PHBN Umum - kesenian Umum - 3 Kegiatan keagamaan Umum - tambang Umum - E Pengembangan Infrastruktur 1 Rehabilitasi sarana pendidikan Umum - 2 Air bersih Umum Peningkatan akses fisik pangan pangan 4 Pembangunan jaringan listrik Umum Peningkatan akses fisik pangan 5 Bedah rumah Umum - 6 Pembangunan sarana olahraga Umum - Program Bidang Pendidikan. Pelaksanaan program pendidikan memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia masyarakat sekitar tambang. Program pendidikan yang telah dilaksanakan adalah 1 kuliah kerja profesi dan penelitian, 2 kompetisi pendidikan, 3 mining tour, 4 pelatihan kompetensi guru. Pelaksanaan program pendidikan ini memang belum optimal diakarenakan tidak adanya data yang mendukung mengenai kebutuhan pendidikan masyarakat. Program yang telah dijalankan berdampak pada peningkatan pengetahuan dan kompetensi mengajar guru menjadi lebih baik. Selanjutnya, pengetahuan yang meningkat dapat meningkatkan kapasitas dan kompetensi siswa. Dampak dari kompetensi mengajar guru yang baik dapat meningkatkan kapasitas guru dalam mengajar. Dana KKP dan penelitian Kompetisi pendidikan pengetahuan baru penerima manfaat bertambah Meningkat- nya pengetahuan Peningkatan kapasitas dan kompetensi Mining tour Pelatihan kompeten si guru Teknik mengajar guru lebih baik Kompetensi guru mengajar lebih baik Peningka- tan kapasitas INPUT PROSES OUTPUT OUTCOME POTENSI Gambar 3 Komponen program pendidikan. DAMPAK Program Bidang Kesehatan. Program-program dibidang kesehatan yang dilakukan masih bersifat donasi. Program yang telah dilaksanakan adalah pemberian makanan tambahan bagi balita setiap tiga bulan sekali pada saat posyandu,bantuan pendidikan bagi bidan, dan bantuan tanggap darurat. Potensi dampak pada peningkatan konsumsi pangan terlihat pada program pemberian makanan tambahan PMT. terpercaya PMT balita Dana Bantuan pendidi- kan bidan Tanggap darurat Meragamkan makanan tambahaan Bidan mendapat pendidikan Keadaan darurat Status gizi kurangburuk menurun Terdapat bidan ahli di desa Penurunan tingkat bahaya Peningkatan konsumsi Peningkatan kesehatan Penurunan bahaya teratasi INPUT PROSES OUTPUT OUTCOME POTENSI Gambar 4 Komponen program kesehatan DAMPAK Program Bidang Ekonomi. Bidang ekonomi merupakan bidang utama dalam pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat. Tujuan akhir dari bidang ekonomi adalah untuk mempersiapkan masyarakat mandiri di akhir operasi tambang. Pemberdayaan ekonomi masyarakat di Desa Wilas dilaksanakan dengan pendampingan dalam bidang pertanian, perkebunan, dan peternakan. Pelaksanaan program inipertanian dan peternakan CD Senakin bekerjasama dengan tim dari Dompet Dhuafa. CD Senakin membentuk Assistant Project karet dalam bidang perkebunan. Secara umum, implementasi PPEM ini dijelaskan dalam gambar 5 berikut ini. TAHAP JANGKA PENDEK 2010- 2011 Menumbuhkan kelompok Pembentukan kelembagaan lokal Pembuatan konsensus bersama Perintisan usaha kelompok TAHAP JANGKA MENENGAH 2011- 2012 Penguatan dan pengembangan kelembagaan lokal Pengembangan usaha melalui inkubasi bisnis TAHAP JANGKA PANJANGmasa pendampingan berikutnya Kelembagaan lokal menjadi motor pemberdayaan komunitas Usaha berkembang menjadi pengelola dana-dana masyarakat profesional dan Gambar 5 Tahapan program pemberdayaan ekonomi masyarakat. Gambar 5 tersebut menunjukkan bahwa implementasi program PPEM terbagi menjadi tiga periode. Periode pertama 2010-2011 merupakan tahap awal atau inisisasi dalam merintis usaha. Saat ini, Desa Wilas sedang berada pada tahap dua atau periode jangka menengah. Pada tahap ini dihasilkan tujuh Kelompok Usaha Mandiri KUM, yaitu: 1. KUM Bina Bersama, usaha peternakan ayam kampung Kelompok ini melakukan usaha penggemukan dan pembibitan ayam kampong yang diketuai oleh Bapak Abdul Hamid. Saat ini, ada tujuh dari delapan orang yang masih mengikuti program penggemukan ayam kampong. Menurut laporan DD per Juni 2012 pengurus pada kelompok ini tidak berjalan sesuai fungsinya. Seluruh keputusan dan kebijakan kelompok diserahkan kepada anggota kelompok dan ada beberapa mitra yang belum melaksanakan usaha karena kondisi keluarga yang belum stabil. Total dana yang telah direalisasikan adalah Rp. 7.200.000,- dari total dana yang diajukan sebesar Rp. 12.951.000,-. Dana tersebut digunakan untuk membuat kandang ayam,pembelian bibit, dan pembelian disinfektan. Kendala yang dihadappi selain adanya ketidakstabilan pengurus adalah sulitnya mencari bibit ayam yang sesuai dengan besar rata-rata ½ kilogram. Lokasi kandang berada di empat lokasi dengan satu lokasi bersama dengan tiga mitra dan tiga lokasi lainnya di rumah masing-masing mitra. 2. KUM Ternak Bina Usaha, usaha itik petelur Kelompok ini menjalankan usaha peternakan itik petelur yang diketuai oleh Bapak M. Bakar. Saat ini hanya ada lima dari 13 orang yang masih mengikuti usaha peternakan ini. Pelaksanaan kepengurusan pada kelompok ini sudah berjalan sesuai fungsinya. Dana yang telah diserap dari program ini adalah sebesar Rp. 39.025.000,- dari Rp. 45.182.000,-. dana tersebut digunakan untuk pembuatan kandang, pembelian bibit itik, pembelian pakan,dan pembelian disinfektan. 3. KUM Berkat Usaha Bersama, usaha pertanian jagung Kelompok ini merupakan kelompok yang menjalankan usaha pertanian jagung. Pelaksanaan usaha ini diketuai oleh M. Hatta yang saat ini beranggotakan tiga orang. Kendala yang dihadapi dalam kelompok ini adalah pengurus kelompok belum berjalan optimal, lokasi tanam, dan pemasarannya. Sampai saat ini usaha pertanian jagung baru panen satu kali yang menghasilkan 7000 tongkol jagung. Hasil panen dipasarkan di sekitar Desa Wilas, pasar geronggang, kotabaru, dan pagatan. Dana yang telah diserap yaitu Rp.6.700.000,-. 4. KUM Harapan Kami, usaha pertanian kacang tanah Usaha pertanian Hortikultura yang dilakukan oleh kelompok ini adalah pertanian kacang tanah. Kelompok yang diketuai oleh Bapak Sahruni ini memiliki dua anggota kelompok dimana satu orang dari anggotanya sudah bisa melaksanakan usaha dari modal sendiri. Hasil panen pertama sudah bisa di pasarkan di sekitar Desa Wilas. Dana yang telah diserap untuk usaha ini adalah Rp.9.563.000,-. 5. KUM Usaha Bersama, usaha pemasaran getah karet Kelompok usaha mandiri usaha bersama ini adalah kelompok yang bergerak dalam pemasaran getah karet. Hanya ada satu orang di desa wilas yang mengikuti kelompok ini. Sebenarnya yang dijadikan binaan atau dampingan adalah pengumpul getah karet. Namun, dari hasil bagi keuntungan ada sekitar 5 bagi semua pengumpul karet yang dikumpulkan di Abdullah mendapatkan cuka. Karet yang telah dikumpulkan ini ditimbun sampai terkumpul dalam jumlah yang menguntungkan bagi produsen. Pemasaran getah karet ini juga bergabung dengan pengumpul karet di desa lain yang dijadikan desa binaan. Pemasaran getah karet ini dilakukan di Banjarmasin dengan pembagian keuntungan 30 untuk koperasi, 10 untuk induk, 30 untuk pengelola, 5 untuk bonus, dan 25 dijadikan tambahan modal usaha. Kendala yang dihadapi dalam usaha pemasaran getah karet ini adalah cuaca dan harga karet di pabrik. Dana yang sudah terserap oleh kelompok ini adalah Rp. 26.000.000,-. 6. KUM Harapan Bersama, usaha budidaya lobster air Kelompok ini menjalankan usaha di bidang budidaya lobster air tawar. Tujuan diadakan usaha budidaya ini adalah untuk menunjukkan bahwa didaerah pertanian dan perkebunan masih bisa melaksanakan usaha perikanan. KUM Harapan Bersama diketuai oleh Sardiansyah yang sudah menyerap Rp. 14.688.000,- untuk permodalan dan pelatihan. Jumlah anggota KUM Harapan Bersama berjumlah 10 orang. 7. KUM Bina Lobster Lestari, usaha budidaya lobster air tawar Kelompok ini menjalankan usaha di bidang budidaya lobster air tawar. KUM Bina Lobster Lestari yang diketuai oleh Badrudin sudah menyerap dana sebesar Rp. 16.138.000,-. KUM Bina Lobster Lestari memiliki 9 orang anggota. Selain PPEM, Desa Wilas juga menerima bibit karet unggul yang dibudidayakan di sekitar desa. Pengadaan bibit karet unggul ini merupakan inisisasi CD Senakin untuk merubah pola perkebunan karet lokal menjadi klonal karet unggul. Strategi yang dijalankan adalah memilih satu tim project yang akan mengurusi perkebunan dan program-program karet kedepannya. karet Meningkatkan Bidan Terdapat tiga program yang saat ini sedang dijalankan. Pertama adalah pengadaan karet unggul dari hasil okulasi anakan karet lokal dengan berbagai jenis karet unggul di kebun P4T Dahlia, Desa Tamiang Bakung. Kedua, pengadaan bibit karet unggul dari penangkaran karet yang ada di Plehari, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Ketiga, pengadaan bibit karet batang atas entres di Desa Wilas. Masyarakat Desa Wilas bisa mengakses bibit-bibit tersebut dengan cara membentuk kelompok-kelompok yang terdiri dari lima orang anggota. Sebanyak 500 bibit diberikan pada setiap kelompok yang harus ditanam di lahan seluas 1 hektar milik masyarakat. Perbandingan produktifitas karet lokal dan karet unggul adalah 1:3. Satu hektar lahan karet lokal dapat menghasilkan 40 kilogram karet, sedangkan karet unggul dapat mencapai 120 kilogram. Analisis terhadap komponen program bidang ekonomi bisa dilihat pada gambar 6. Gambar 6 menunjukkan bahwa input berupa dana disalurkan ke Program Pengembangan Ekonomi Masyarakat PPEM Dompet Dhuafa dan proyek karet. Keluaran dari dua proses ini adalah terbentuk Kelompok Usaha Masyarakat KUM dan tersedianya bibit karet unggul. Dampak dari terbentuknya KUM adalah peningkatan pendapatan masyarakat sehingga berpotensi untuk meningkatkan ketersediaan pangan, akses, dan konsumsi atau pemanfaatan pangan. Hasil dari proyek karet adalah tersedianya bibit karet unggul sehingga harapannya bisa meningkatkan produksi getah karet. Bertambahnya produksi getah karet ini berpotensi meningkatkan pendapatan atau akses ekonomi pangan bagi petani karet yang berada di Desa Wilas. Dana PPEM Terbentuk KUM Meningkatnya pendapatan masyarakat Meningkatkan ketersediaan, akses,dan pemanfaatan Karet Tersedianya bibit karet unggul Meningkatnya produsi getah pangan akses ekonomi pangan INPUT PROSES OUTPUT OUTCOME POTENSI DAMPAK Gambar 6 Komponen program bidang ekonomi Program bidang infrastruktur. Bidang infrastruktur merupakan bidang yang ditangani oleh divisi community relation. Program-program yang dijalankan Jalan desa dan gorong- gorong balita olahraga Tersedia media sosial Kemudahan selama tahun 2011 adalah pengadaan sarana air bersih, pembangunan jalan desa dan gorong-gorong, pembangunan jaringan listrik, bedah rumah, dan pembangunan sarana olahraga. Berdasarkan gambar 7, program dibidang infrastruktur yang mendukung terhadap peningkatan akses pangan rumahtangga adalah pembangunan jalan desa dan gorong-gorong serta pembangunan jaringan listrik. Pembangunan jalan ini menjadikan jalan desa menjadi lebih baik sehingga akses rumahtangga untuk ke pasar dan mengikuti program paket pendidikan pemerintah menjadi lebih mudah. Adapun pengadaan sarana air bersih berpotensi pada peningkatan kualitas konsumsi air bersih. Program bedah rumah dan pembangunan sarana olahraga dilakukan secara insidental sesuai dengan permintaan melalui proposal warga. Kedua program tersebut tidak berpotensi langsung terhadap peningkatan akses fisik dan konsumsi pangan. Dana Air bersih Tersedia air bersih tambahaan Terdapat jalan desa yang lebih mudah Tersedia Jaringan sarana listrik penerangan Peningkatan konsumsi air bersih Efektifitas mobilisasi Peningkatan akses media Peningkatan kualitas konsumsi pangan Peningkatan akses fisik dan sosial Peningkatan informasi elektronik Bedah rumah Kondisi rumah membaik Perbaikan kualitas papan Kelayakan tempat tinggal Sarana sarana olahraga Bertambahnya sosialisasi INPUT PROSES OUTPUT OUTCOME POTENSI Gambar 7 Komponen program infrastruktur. DAMPAK Program bidang sosial dan budaya. Program yang sudah dijalankan adalah donasi bagi perayaan hari besar islam, kegiatan keagamaan, sosialisasi seputar operasional tambang, pembinaan olahraga dan kesenian, pembinaan budaya lokal, dan penanggulangan bencana lokal jika ada. Program-program ini dilaksanakan dalam rangka memperlancar hubungan CD dengan massyarakat sekitar tambang. Akses Pangan Rumahtangga Departemen Pertanian 2008 mendefinisikan akses pangan sebagai kemampuan rumahtangga secara periodik memenuhi sejumlah pangan yang cukup melalui kombinasi cadangan pangan mereka sendiri dan hasil dari rumah atau pekarangan sendiri, pembelian , barter, pemberian, pinjaman, dan bantuan pangan. Akses pangan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai kemampuan rumahtangga dalam memperoleh pangan yang didasarkan pada akses sosial dan akses ekonomi yang disesuaikan dengan program pemberdayaan yang telah dilakukan. Akses Sosial Akses sosial didefinisikan sebagai kemampuan rumahtangga dalam memperoleh pangan yang didasarkan pada lama pendidikan suami dan istri. Lama pendidikan dikategorikan dasar jika masa pendidikan formal ≤ 9 tahun, sedang 10-12 tahun, dan tinggi 12 tahun UU RI Nomor 20 Tahun 2003. Lama pendidikan suami. Rata-rata suami di desa program mengalami masa pendidikan selama 5.87±4.47 tahun lebih lama dibandingkan dengan masa pendidikan suami di desa nonprogram selama 4.87±3.00 tahun. Adapun masa pendidikan paling lama di desa program adalah 16 tahun dan 0 tahun untuk masa pendidikan yang paling rendah. Begitupun dengan di desa nonprogram, 0 tahun merupakan masa pendidikan yang paling rendah dan 12 tahun merupakan masa pendidikan yang paling tinggi. Tabel 9 Statistik lama pendidikan suami di desa program dan nonprogram Statistik Program Nonprogram Rata-rata±standar deviasi tahun 5.87±4.47 4.87±3.00 Maksimum tahun 16 12 Minimum tahun Jumlah suami dikedua desa hanya 22 orang karena satu rumahtangga memiliki suai yang telah meninggal. Secara keseluruhan, tabel 10 menjelaskan bahwa lama pendidikan suami didominasi 88.6 oleh kategori dasar atau masa pendidikan ≤ 9 tahun dan sebesar 4.5 suami yang memiliki pendidikan tinggi. Tingkat pendidikan suami di desa program didominasi 81.8 oleh kategori dasar atau masa pendidikan ≤9 tahun. Namun, terdapat 9.1 rumahtangga di desa program dengan masa pendidikan 12 tahun atau yang tergolong tinggi. Begitupun dengan desa nonprogram, tingkat pendidikan suaminya didominasi oleh tingkat dasar 95,7. Hanya sebesar 4.5 suami di desa nonprogram yang bisa mencapai tingkat pendidikan sedang. Tingkat pendidikan Program 1 Nonprogram 1 Tabel 10 Sebaran rumahtangga berdasarkan lama pendidikan suami Total Jumlah Jumlah Jumlah Dasar ≤ 9 tahun 18 81.8 21 95.5 39 88.6 Sedang 10-12 tahun 2 9.1 1 4.5 3 6.8 Tinggi 12 tahun 2 9.1 2 4.5 1 suami meninggal sebanyak 1 orang Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata p0.05 antara lama pendidikan suami di desa program dan desa nonprogram. Hal ini diduga karena letak sekolah mengenah berada di ibukota kecamatan. Aksesibilitas menuju ibukota kecamatan masih sulit untuk dilalui dan jumlah kendaraan yang masih sedikit. Oleh karena itu, suami atau kepala keluarga lebih memilih untuk bekerja dibandingan dengan sekolah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Agustiani 2012 bahwa meskipun tidak berbeda secara statistik, persentase keluarga yang memiliki akses pangan komponen tingkat pendidikan suami lebih tinggi pada kelompok penerima apabila dibandingkan dengan keluarga pada kelompok bukan penerima program desa mandiri pangan. Permatasari 2004 menemukan hal yang sama bahwa sebagian besar tingkat pendidikan kepala keluarga petani adalah rendah. Sunarti 2009 juga menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa tingkat pendidikan formal istri dan suami yang bekerja sebagai penggarap dan buruh tani didominasi oleh lulusan SD atau tidak tamat SD. Kasryono 2000 menyatakan bahwa tenaga kerja pertanian di wilayah pedesaan didominasi oleh tenaga kerja dengan tingkat pendidikan SD atau tidak tamat sekolah. Hal tersebut diduga menjadi penyebab rendahnya akses pangan. Behrman Wolfe 1984 menyatakan bahwa akses pangan rumahtangga bergantung kepada pengambil keputusan yang salah satu karakteristiknya adalah pendidikan formal. Sukandar dkk 2009 menyatakan bahwa tingkat pendidikan di suatu wilayah pada umumnya akan mencerminkan keragaman mata pencaharian yang dijalani penduduk di wilayah tersebut. Sejalan dengan hal tersebut, Nurlatifah 2011 menjelaskan dalam hasil penelitiannya bahwa tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap produktivitas dan output yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan. Peningkatan pendapatan selanjutnya akan menentukan akses untuk mendapatkan pangan. Lama pendidikan istri. Rata-rata lama pendidikan istri di desa program tidak jauh berbeda 4.91±3.68 tahun dengan desa nonprogram 4.35±3.05 Tingkat pendidikan istri Program Nonprogram 1 tahun. Hanya saja di desa program terdapat istri yang sudah mencapai pendidikan tinggi atau lama pendidikan 14 tahun, sedangkan di desa nonprogram lama pendidikan paling tinggi adalah 9 tahun yang tergolong pendidikan dasar. Adapun dikedua desa masih terdapat istri yang tidak mengenyam pendidikan formal. Tabel 11 Statistik lama pendidikan istri di desa program dan nonprogram Statistik Program Nonprogram Rata-rata ± standar deviasi tahun 4.91±3.68 4.35±3.05 Maksimum tahun 14 9 Minimum tahun Jumlah istri pada rumahtangga nonprogram sebanyak 22 orang. Hal ini dikarenakan satu rumahtangga belum mempunyai istri. Tidak jauh berbeda dengan lama pendidikan suami, secara keseluruhan lama pendidikan dasar juga mendominasi 95,6 lama pendidikan istri. Hanya sebanyak 2.2 rumahtangga yang sampai pada tingkat pendidikan sedang dan tinggi. Tabel 12 Sebaran rumahtangga berdasarkan lama pendidikan istri Total Jumlah Jumlah Jumlah Dasar ≤ 9 tahun 21 91.3 22 100 43 95.6 Sedang 10-12 tahun 1 4.3 1 2.2 Tinggi 12 tahun 1 4.3 1 2.2 1 belum punya istri sebanyak 1 orang Lama pendidikan istri di desa program tergolong lebih tinggi meskipun tidak jauh berbeda dibandingkan desa nonprogram. Tabel 12 menunjukkan bahwa sebanyak 91,3 istri rumahtangga di desa program tergolong pendidikan dasar. Sebesar 4,3 istri rumahtangga yang tergolong memiliki lama pendidikan kategori sedang dan tinggi. Adapun sebesar 100 ibu di desa nonprogram termasuk kategori dasar. Hal ini didukung dengan hasil uji independent T-test bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat pendidikan ibu yang nyata p0.05 antara desa program dan desa nonprogram. Akses menuju ibukota kecamatan pada masa pendidikan ibu masih sangat sulit sehingga para ibu lebih memilih untuk bekerja dan menikah. Ibu yang mengenyam pendidikan tinggi dikarenakan sebelum menikah tinggal di ibukota kecamatan sehingga akses ke sekolah lanjutan cenderung lebih mudah. Hasil penelitian Permatasari 2004 menyatakan bahwa tingkat pendidikan ibu rumahtangga petani di Banten sebagian besar 62.9 adalah Sekolah Dasar, hanya sebesar 2 ibu rumahtangga yang mengenyam pendidikan lanjut. Rahayu 2007 juga menyatakan bahwa tingkat pendidikan ibu rumahtangga petani di daerah sekitar perusahaan RAPP tergolong rendah 70.6. Hasil penelitian Agustiani 2012 juga menyimpulkan bahwa tingkat pendidikan ibu rumah tangga di daerah pertanian didominasi oleh lulusan sekolah dasar. Cohen 1981 dalam Hardinsyah 2007 mengidentifikasi pola pengambilan keputusan pemilihan pangan dalam keluarga Indonesia adalah pola istri yang dominan. Behrman Wolfe 1984 juga menyatakan bahwa akses pangan rumahtangga bergantung kepada pengambil keputusan yang salah satu karakteristiknya adalah pendidikan formal ibu atau istri. Berdasarkan penelitian tersebut, istri atau ibu memegang peranan penting untuk menyiapkan makanan dalam rumahtangga. istri yang memiliki pendidikan lebih tinggi cenderung mendapat paparan yang tinggi juga dari media cetak BKKBN dan community system foundation dalam Hardinsyah 2007, sehingga aksesnya untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan gizi lebih tinggi Hardinsyah 2007. Pada akhirnya istri atau ibu akan membuat rencana atau strategi untuk mendapatkan pangan sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Akses Ekonomi Akses pangan selanjutnya adalah akses ekonomi. Akses ekonomi merupakan kemampuan rumahtangga dalam memperoleh pangan yang didasarkan pada pendekatan pengeluaran total per kapita per bulan. Pengeluaran total per kapita per bulan dihitung dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk membeli kebutuhan pangan dan nonpangan selama satu bulan termasuk konsumsi beras rumahtangga dari lahan sendiri yang dibagi dengan jumlah anggota rumahtangga. Jumlah anggota rumahtangga ini penting untuk diketahui karena pengeluaran total per kapita ditentukan oleh banyaknya anggota rumahtangga. Berkaitan dengan hal tersebut, Sukandar 2007 menjelaskan bahwa jumlah anggota rumahtangga adalah banyaknya anggota rumahtangga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya yang sama. Secara operasional, jumlah anggota rumahtangga dikategorikan menjadi rumahtangga kecil ≤ 4 orang, rumahtangga sedang 5-6 orang, dan rumahtangga besar ≥ 7 orang. Tabel 13 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah anggota rumahtangga di desa nonprogram adalah 3.5±1.2, sedangkan di desa program sebesar 4.4±2.1. Kategori Nonprogram Jumlah rumahtangga kecil dikedua desa sebanyak 71,7, rumahtangga sedang sebanyak 21,7 dan terdapat 6,5 rumahtangga yang tergolong rumahtangga besar. Jumlah rumahtangga kecil di desa nonprogram lebih besar 82,6 dibandingkan dengan jumlah rumahtangga kecil di desa program 60,9. Adapun jumlah rumahtangga yang tergolong sedang di desa nonprogram lebih rendah 17,4 dibandingkan desa program 26,1. Sebaliknya, rumahtangga yang tergolong besar hanya ada di desa program yaitu sebesar 13. Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan p0.05 antara jumlah anggota rumahtangga di desa program ataupun nonprogram. Tabel 13 Sebaran rumahtangga berdasarkan jumlah anggota rumahtangga Program Total Jumlah Jumlah Jumlah Kecil 4 orang 19 82,6 14 60,9 33 71,7 Sedang 4-6 orang 4 17,4 6 26,1 10 21,7 Besar ≥ 7 orang 0,0 3 13,0 3 6,5 Rata-rata±standar deviasi 3.5±1.2 4.4±2.1 4.0±1.8 Data BPS Kotabaru 2012 mencatat bahwa jumlah penduduk di desa program adalah 807 orang dengan 210 kepala keluarga sedangkan desa nonprogram sebanyak 175 orang dengan 48 kepala keluarga sehingga meskipun jumlah penduduk jauh berbeda namun rata-rata jumlah anggota rumahtangga tidak jauh berbeda. Kondisi ini diduga karena banyak dari penduduk desa nonprogram mencari pekerjaan diluar desa atau menjadi penduduk di desa lain. Desa program merupakan desa dengan kepadatan penduduk yang tinggi yaitu 36 orang km 2. Hal ini berbeda dengan desa nonprogram yang mencapai 6 orangkm 2 BPS Kotabaru 2012. Meskipun secara statistik tidak ada perbedaan yang nyata, namun di desa program sebesar 13,1 tergolong rumahtangga besar dan 26.1 tergolong rumahtangga sedang. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa jumlah anggota rumahtangga di desa program lebih banyak dibandingkan dengan desa nonprogram. Pengeluaran total per kapita per bulan dibagi kedalam dua jenis yaitu pengeluaran untuk pangan dan pengeluaran untuk nonpangan. Pengeluaran pangan terdiri dari biaya yang dikeluarkan untuk beras, umbi-umbian, jagung, lauk, sayur, buah, minyak, minuman, dan pangan lainnya. Adapun pengeluaran nonpangan terdiri atas biaya sekolah, pakaian, bahan bakar, kesehatan, alat Rupiah bersih, rokok, dan pengeluaran nonpangan lainnya. Perbandingan pengeluran total per kapita tersebut disajikan pada tabel 14. Tabel 14 Perbandingan pengeluaran total per kapita per bulan berdasarkan kelompok pengeluaran Desa Program Desa Nonprogram Kelompok Pengeluaran Rata-Rata A. Pangan 1. Beras 13,884 2.7 5,572 1.3 2. Umbi-Umbian 3,741 0.7 1,123 0.3 3. Jagung 1,459 0.3 629 0.2 4. Lauk 51,229 10.1 22,374 5.3 5. Sayur 5,378 1.1 2,344 0.6 6. Buah 8,088 1.6 4,149 1.0 7. Minyak 10,136 2.0 9,438 2.3 8. Minuman 24,395 4.8 34,547 8.3 9. Jajanan 55,862 11.0 56,877 13.6 10. Lainnya 22,646 4.5 31,576 7.5 Subtotal 196,819

38.7 168,629