Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Co-Management di Desa Pasarbanggi, Kabupaten Rembang, Jawa

i

PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE
BERBASIS CO-MANAGEMENT DI DESA PASARBANGGI,
KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

AHMAD MUQORROBIN

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengelolaan Ekosistem

Mangrove Berbasis Co-Management di Desa Pasarbanggi, Kabupaten Rembang,
Jawa Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2013
Ahmad Muqorrobin
NIM C24080092

iv

ABSTRAK
AHMAD MUQORROBIN. Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis CoManagement di Desa Pasarbanggi, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA dan TARYONO KODIRAN.
Mangrove merupakan salah satu ekosistem penting pesisir yang memiliki
berbagai manfaat dan pemanfaatannya dilakukan oleh berbagai pemangku
kepentingan. Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui dan menganalisis

kondisi sumber daya mangrove dan masyarakat pemanfaat,2) menganalisis peran
dan fungsi setiap pemangku kepentingan, serta 3) mengetahui dan menganalisis
bentuk co-management terhadap pengelolaan ekosistem mangrove Desa
Pasarbanggi, Kabupaten Rembang. Pengambilan data vegetasi mangrove
dilakukan dengan menggunakan metode transek kuadrat; sedangkan pengambilan
data sosial ekonomi, kelembagaan, dan wawancara dengan metode survei dan
purposive sampling. Data yang diperoleh dari vegetasi mangrove meliputi
kerapatan, frekuensi, penutupan, dan indeks nilai penting mangrove. Analisis
pemangku kepentingan dengan menggunakan matriks kepentingan dan pengaruh.
Penelitian menunjukkan terdapat 5 jenis mangrove di Desa Pasarbanggi yaitu
Avicennia marina, Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Rhizophora
stylosa dan Sonneratia alba. Strategi dalam rangka perluasan hutan mangrove
yaitu dengan jenis-jenis tersebut. Analisis stakeholder mengidentifikasi 16
pemangku kepentingan yang diklasifikasi dalam 4 grup yaitu subject, key players,
crowd, dan by standers. Pengelolaan mangrove di Desa Pasarbanggi masih dalam
tahap konsultatif. Untuk meningkatkan efektifitas, pengelolaan diarahkan pada
tingkat kooperatif dalam spektrum co-management dengan strategi manajemen.
Kata kunci: mangrove, pemangku kepentingan, co-management

ABSTRACT

AHMAD MUQORROBIN. Co-Management Mangrove Ecosystem in the
Pasarbanggi village, Rembang District, Central Java. Supervised by FREDINAN
YULIANDA dan TARYONO KODIRAN.
Mangrove is one of coastal’s important ecosystems that have benefits and
it is utilized by many stakeholders. This particular study aimed to 1) identify and
analyze condition of mangrove resources and host of users, 2) analyze the role and
function of each stakeholders, and 3) identify and analyze the forms of comanagement of the mangrove ecosystems management in Pasarbanggi village,
Rembang district. Mangrove vegetation data was performed using a quadratic
transect method and data collection were done with purposive sampling
interviews. Data obtained from the mangrove vegetation covers density, frequency,
cover, and importance value index of mangroves. Stakeholders were analyzed
using matrix of interests and influence determined by criteria and indicators of
interest and influence. The results showed that five species of mangrove that exist
in the area are Avicennia marina, Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata,
Rhizophora stylosa and Sonneratia alba. This spesies are recommended to

v

mangrove rehabilitation of the site. Whereas based on stakeholder analysis, there
are 16 stakeholders which are classified into 4 group i.e. subject, key players,

crowd, dan by standers. According to co-management spectrum, mangove
management pattern of Pasarbanggi village is still in a consultative level.
Therefore, it’s required to improve management pattern to be cooperative level.
Key word: mangrove, stakeholder, co-management

vi

vii

PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE
BERBASIS CO-MANAGEMENT DI DESA PASARBANGGI,
KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

AHMAD MUQORROBIN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
pada
Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan


DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

viii

ix

Judul Skripsi : Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Co-Management
di Desa Pasarbanggi, Kabupaten Rembang, Jawa
Nama
: Ahmad Muqorrobin
NIM
: C24080092

Disetujui oleh


Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc
Pembimbing I

Taryono Kodiran, S. Pi, M.Si
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc.
Ketua Departemen

Tanggal Lulus: 7 Februari 2013

x

PRAKATA
Alhamdulillah puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas
limpahan rahmat dan petunjuk-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Co-Management di
Desa Pasarbanggi, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah”. Skripsi ini disusun

berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dari bulan April-Juni 2012 dan
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc
selaku dosen pembimbing pertama, Taryono Kodiran, S.Pi, M.Si selaku dosen
pembimbing kedua, dan Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil selaku Komisi
Pendidikan Manajemen Sumber Daya Perairan yang telah membantu dalam
memberikan bimbingan, arahan, serta masukan dalam penyusunan skripsi ini
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.
Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih banyak kekurangan.
Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang
memerlukannya.

Bogor, Februari 2013
Ahmad Muqorrobin

xi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Ekosistem Mangrove
Permasalahan Ekosistem Mangrove
Pengelolaan Mangrove
Pengkajian ekologi dan sosial ekonomi
Kelembagaan dan perangkat hukum
Strategi dan pelaksanaan rencana pengelolaan
Co-Management (Pengelolaan Bersama)
Beberapa Studi Kasus
Co-management di Pulau Bali
Co-management di Taman Nasional Bunaken (Sulawesi Utara)
Co-management di Kabupaten Lombok Timur (NTB)
METODE

Waktu dan Tempat
Alat dan Bahan
Data Primer
Data Sekunder
Analisis Data
Analisis kondisi ekosistem mangrove
Analisis pemangku kepentingan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Wilayah
Keadaan geografis
Keadaan sosial demografi
Kondisi ekosistem mangrove
Tingkat kerusakan dan ancaman mangrove
Karakteristik masyarakat pemanfaat ekosistem mangrove
Pola Pemanfaaatan Ekosistem Mangrove
Analisis pemangku kepentingan dan perannya

xiii
xiii
xiii

1
1
2
3
3
3
3
5
6
7
7
7
8
11
11
12
12
13
13
13

13
15
15
15
16
19
19
19
20
22
26
27
33
33

xii

Interaksi masyarakat Desa Pasarbanggi terhadap mangrove
Pengelolaan Ekosistem Mangrove Secara Co-management
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

36
37
43
43
44
44
48
50

xiii

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Dampak kegiatan manusia pada ekosistem mangrove
Peran pemangku kepentingan kunci dalam co-management
Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian
Pengambilan responden wawancara
Penilaian kuantitatif tingkat kepentingan
Penilaian kuantitatif tingkat pengaruh
Kriteria tingkat kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan
Jumlah penduduk Desa Pasarbanggi berdasarkan kelompok umur
Kualitas usia produktif masyarakat desa berdasarkan tingkat pendidikan
Desa Pasarbanggi tahun 2011
Daftar mata pencaharian masyarakat Desa Pasarbanggi
Komposisi jenis mangrove yang didapatkan
Indeks Nilai Penting pohon mangrove di tiga stasiun
Kajian pengelolaan mangrove di Desa Pasarbanggi
Peran pemangku kepentingan dalam lembaga pengelola

6
10
13
14
17
17
18
20
21
21
23
25
39
41

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Alur rumusan masalah
Interaksi pada ekosistem mangrove
Spektrum co-management
Matriks analisis kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan
Vegetasi dalam tiap stasiun
Diagram tipologi masyarakat pemanfaat mangrove
Diagram karakteristik usia masyarakat pemanfaat
Diagram karakteristik pendidikan masyarakat pemanfaat
Diagram pendapatan masyarakat pemanfaat
Diagram persepsi masyarakat pemanfaat terhadap kondisi mangrove
Diagram pemahaman masyarakat pemanfaat tentang mangrove
Diagram pemahaman masyarakat pemanfaat tentang konservasi
Diagram persepsi masyarakat pemanfaat mengenai sosialisasi
pemerintah
14 Diagram persepsi masyarakat pemanfaat mengenai peran pemerintah
15 Diagram persepsi masyarakat mengenai keinginan terlibat
16 Matriks analisis pemangku kepentingan

2
5
9
18
24
27
28
28
29
29
30
30
31
31
32
34

DAFTAR LAMPIRAN
17
18
19
20
21
22

Contoh Perhitungan RDi pohon Rhizophora stylosa stasiun 1 plot 1
Contoh Perhitungan RFi pohon Rhizophora stylosa stasiun 1 plot 1
Contoh Perhitungan BA pohon Rhizophora stylosa stasiun 1 plot 1
Contoh Perhitungan Ci pohon Rhizophora stylosa stasiun 1 plot 1
Contoh Perhitungan RCi pohon Rhizophora stylosa stasiun 1 plot 1
Mangrove di Desa Pasarbanggi

48
48
48
48
48
49

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdiri dari
kumpulan tanaman darat yang mampu hidup pada salinitas air laut. Ekosistem
mangrove memiliki fungsi ekologis maupun fungsi ekonomis. Pengelolaan dan
pemanfaatan terhadap ekosistem mangrove akan berdampak pada kelestarian
ekosistem tersebut. Apabila dalam memanfaatkan ekosistem tanpa diiringi dengan
etika pemanfaatan ekosistem yang lestari, maka akan merusak ekosistem
mangrove itu sendiri.
Saat ini banyak ekosistem mangrove yang telah dikonversi untuk
kepentingan manusia. Luas mangrove di Indonesia pada tahun 2005 hanya
mencapai 3.062.300 ha. Berdasarkan data FAO (2007) luas mangrove di
Indonesia telah berkurang sekitar 120.000 ha dari tahun 1980 sampai 2005 karena
alasan perubahan penggunaan lahan. Sedangkan Paena et al. (2010) menyatakan
pada tahun 2006 luas mangrove di Indonesia menjadi 2,59 juta hektar.
Adapun bentuk-bentuk konversi yang dilakukan manusia pada ekosistem
mangrove seperti pembuatan tambak, bangunan rumah, industri, maupun
persawahan. Berkurangnya ekosistem mangrove akan berdampak pula pada
kondisi pesisir baik pada ekologi maupun ekonomi penduduk pesisir seperti yang
terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Tanjung Jabung Timur Jambi yang
menunjukkan hasil tangkapan udang laut nelayan semakin turun dengan semakin
berkurangnya hutan mangrove di sekitar ekosistem tersebut (Huda 2008).
Berbagai pemangku kepentingan terhadap ekosistem mangrove memiliki
kepentingan masing-masing terhadap ekosistem mangrove sehingga pengawasan
dan kontrol terhadap penggunaan lahan mangrove sering menjadi lemah. Hal ini
menjadi kendala utama dalam pengelolaan ekosistem mangrove. Selain itu,
permasalahan yang sering dihadapi dalam pengelolaan adalah lemahnya
koordinasi antar pemangku kepentingan karena memiliki kepentingan masingmasing terhadap sumber daya yang ada. Oleh karena itu dalam penelitian ini
bentuk interaksi dan kepentingan yang dilakukan oleh masing masing pemangku
kepentingan terutama masyarakat yang berada di sekitar ekosistem mangrove
Desa Pasarbanggi akan dibahas.
Bentuk pengelolaan terhadap suatu ekosistem sumber daya harus
ditentukan agar dalam melakukan pengelolaan ekosistem dapat berjalan maksimal.
Adapun bentuk-bentuk pengelolaan terhadap suatu sumber daya dapat
berdasarkan State/Goverment Based, Community Based, maupun Collaborative
Based. Ketiga bentuk pengelolaan tersebut memiliki kelemahan dan kelebihan
masing-masing. Jika dilihat berdasarkan keterlibatannya berbagai pemangku
kepentingan dalam pengelolaan sumber daya maka opsi yang terbaik untuk
pengelolaan sumber daya adalah bentuk Collaborative Based (Pengelolaan
Bersama/Co-management).
Daerah ekosistem mangrove di Kabupaten Rembang dipilih karena daerah
ini memiliki potensi akan hutan mangroven yang masih dapat dikembangkan.
Banyaknya daerah pesisir berlumpur yang khas sebagai tempat hidup dari

2

mangrove menjadi potensi tersendiri dalam pengembangan hutan mangrove di
wilayah Kabupaten Rembang.

Perumusan Masalah
Mangrove merupakan salah satu ekosistem yang penting di daerah pesisir.
Berbagai jenis vegetasi mangrove memiliki berbagai fungsi baik fungsi ekologis
maupun fungsi ekonomis. Berbagai jenis pohon mangrove dapat dimanfaatkan
untuk meningkatkan ekonomi masyarakat pesisir sehingga dalam pengelolaan
serta pengembangan ekosistem mangrove maka perlu diketahui jenis-jenis dari
vegetasi mangrove yang berada pada Desa Pasarbanggi, Kabupaten Rembang.
Tingginya tingkat degradasi akibat pengalihan fungsi dan over-eksploitasi
hutan mangrove menjadi masalah utama dalam pengelolaan mangrove di
sepanjang pesisir utara Provinsi Jawa Tengah khususnya di wilayah pesisir
Kabupaten Rembang. Beberapa permasalahan ekosistem mangrove di Kabupaten
Rembang adalah konversi lahan mangrove menjadi tambak garam, tambak ikan,
tambak udang. Berbagai pemangku kepentingan memiliki interaksi dan
kepentingan masing-masing terhadap ekosistem mangrove sehingga tingkat
kerawanan terhadap eksploitasi ekosistem mangrove semakin tinggi sehingga
perlu diketahui bagaimana interaksi masyarakat dan kepentingan masing-masing
pemangku kepentingan terhadap ekosistem mangrove (Gambar 1).

: Alur Masalah
: Cakupan Penelitian
Gambar 1. Alur rumusan masalah

3

Pendekatan co-management lahir dikarenakan adanya kenyataan bahwa
pendekatan state based yang lebih menempatkan pemerintah sebagai pemegang
peran utama (top-down), terbukti tidak efektif. Pengelolaan sumber daya yang
dilakukan oleh masing-masing pemangku kepentingan dan cenderung
mengesampingkan peran pemerintah, seperti dalam comunity based management
juga terbukti belum terlalu efektif. Hal ini merupakan titik tolak berkembangnya
pemikiran bahwa diperlukan kerjasama antara pemerintah dan masyarakat dalam
pengelolaan ekosistem sumber daya untuk kepentingan bersama melalui sistem
pengelolaan bersama (co-management).
Sistem pengelolaan co-management merupakan suatu bentuk pembagian
tanggung jawab dan wewenang yang mampu mengakomodir semua input diantara
semua pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumber daya alam. Berdasarkan
hal tersebut perlu diketahui bagaimana peran posisi pemerintah dan pemangku
kepentingan lain saat ini sehingga dapat dibentuk sistem pengelolaan secara comanagement yang dapat diterapkan dalam pengelolaan ekosistem mangrove di
Desa Pasarbanggi, Kabupaten Rembang.

Tujuan Penelitian
Penelitian tentang mangrove di pesisir Desa Pasarbanggi, Kabupaten
Rembang ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui dan menganalisis kondisi sumber daya mangrove dan masyarakat
pemanfaat mangrove Desa Pasarbanggi, Kabupaten Rembang.
2. Menganalisis peran dan fungsi dari masing-masing pemangku kepentingan.
3. Mengetahui dan menganalisis bentuk co-management terhadap pengelolaan
ekosistem mangrove Desa Pasarbanggi, Kabupaten Rembang.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai salah satu masukan bagi
Pemerintah Daerah Rembang dalam membuat rencana pengelolaan ekosistem
mangrove dan sebagai informasi mengenai keanekaragaman hayati mangrove di
pesisir Kabupaten Rembang.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove menurut Bengen (2002) adalah sekumpulan komunitas
vegetasi di pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi beberapa jenis pohon
mangrove yang mampu hidup dan beradaptasi pada pantai berlumpur serta
mendapat pengaruh pasang surut. Mangrove merupakan salah satu dari sedikit
tumbuh-tumbuhan di tanah timbul yang tahan terhadap salinitas laut terbuka

4

(Odum 1993). Kusmana (2007) mengemukakan bahwa ekosistem mangrove
merupakan ekosistem interface antara ekosistem daratan dengan ekosistem lautan.
Oleh karena itu, ekosistem ini memiliki fungsi spesifik yang keberlangsungannya
bergantung pada dinamika yang terjadi di ekosistem daratan dan lautan.
Secara umum, karakteristik habitat mangrove berhubungan dengan kondisi
salinitas, struktur tanah, penggenangan air, pasang surut, serta jumlah oksigen di
dalam tanah. IUCN (1993) menyebutkan bahwa komposisi spesies dan
karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan
pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah.
Bentuk adaptasi dari tumbuhan mangrove terhadap habitatnya terlihat pada
fisiologi dan struktur tumbuhan mangrove (Bengen 2002).
Bengen (2002) mengklasifikasikan ekosistem mangrove berada pada
salinitas air payau (salinitas 2‰-22‰) sampai salinitas air laut (salinitas 35‰).
Hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria,
dan daerah pantai yang terlindung. Jenis tanah yang mendominasi ekosistem
mangrove biasanya adalah fraksi lempung berdebu, akibat rapatnya bentuk
perakaran-perakaran yang ada. Fraksi lempung berpasir hanya terdapat dibagian
depan (arah pantai). Sebagian besar jenis-jenis mangrove tumbuh dengan baik
pada tanah berlumpur, terutama di daerah endapan lumpur terakumulasi.
Di Indonesia substrat berlumpur ini sangat baik untuk tegakan Rhizophora
mucronata dan Avicennia marina (Bengen 2002; Gunarto 2004; Setyawan dan
Winarno 2006). Nilai pH tanah di ekosistem mangrove berbeda-beda, tergantung
pada tingkat kerapatan vegetasi yang tumbuh diekosistem tersebut. Jika kerapatan
rendah, tanah akan mempunyai nilai pH yang cenderung tinggi. Nilai pH tidak
banyak berbeda, yaitu antara 4,6-6,5 dibawah tegakan jenis Rhizophora spp (Arief
2003). Kennish (2000) mengatakan bahwa spesies mangrove juga memiliki
tingkat toleransi terhadap suhu yang berbeda, seperti Avicennia marina lebih
tahan terhadap perubahan suhu yang relative jauh daripada Rhizophora mangle.
Pasang surut menentukan zonasi komunitas flora dan fauna mangrove.
Durasi pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada areal
mangrove. Salinitas air menjadi sangat tinggi pada saat pasang naik dan menurun
selama pasang surut. Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang merupakan
salah satu faktor yang membatasi distribusi jenis mangrove. Menurut Bengen
(2002) pada areal yang selalu tergenang pasang surut hanya Rhizophora spp yang
tumbuh baik, sedangkan Bruguiera spp dan Xylocarpus spp jarang mendominasi
daerah yang sering tergenang. Faktor lingkungan yang paling mempengaruhi
zonasi jenis mangrove menurut Sukmarani et al. (2009) adalah salinitas, pasang
surut dan intensitas cahaya.
Mangrove memiliki berbagai fungsi. Secara garis besar ekosistem hutan
mangrove mempunyai dua fungsi utama, yaitu fungsi ekologis dan fungsi
ekonomi. Bengen (2002) menyatakan bahwa ekosistem mangrove memiliki fungsi
antara lain : (1) sebagai pelindung pantai dari gempuran ombak, arus dan angin,
(2) sebagai tempat berlindung, berpijah atau berkembang biak dan daerah asuhan
(nursery ground) dan mencari makan (feeding ground) berbagai jenis biota (3)
sebagai penghasil bahan organik yang sangat produktif (detritus), (4) sebagai
sumber bahan baku industri bahan bakar, (5) pemasok larva ikan, udang dan biota
laut lainnya, serta (6) tempat pariwisata (Gambar 2).

5

Gambar 2. Interaksi pada ekosistem mangrove (www.fao.org)
Kusmana (2005) mengemukakan apabila terjadi kerusakan pada ekosistem
mangrove ekosistem ini dapat memperbaiki kondisinya secara alami dalam waktu
15 - 20 tahun jika: (1) kondisi normal hidrologi tidak terganggu, dan (2)
ketersediaan biji dan bibit serta jaraknya tidak terganggu atau terhalangi. Jika
kondisi hidrologi normal atau mendekati normal tetapi biji bakau tidak dapat
mendekati daerah restorasi, maka dapat direstorasi dengan cara penanaman. Selain
itu kondisi dan jenis tanah menentukan dari jenis tanaman mangrove yang akan
ditanam. Oleh karena itu,ekosistem mangrove yang rusak dapat diperbaiki melalui
penanamandengan melihat potensi aliran air laut, faktor alam, dan tekanantekanan lain yang mungkin menghambat perkembangan tanaman mangrove.

Permasalahan Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove yang berada di daerah pesisir merupakan ekosistem
strategis karena memiliki banyak potensi, baik dalam segi ekologi maupun
ekonomi. Menurut Bengen (2002) Usaha peningkatan aktifitas ekosistem dan
kegiatan ekonomi yang kurang memperhatikan aspek kelestarian ekosistem dapat

6

menimbulkan permasalahan yang sangat membahayakan bagi ekosistem tersebut
(Tabel 1).
Tabel 1. Dampak kegiatan manusia pada ekosistem mangrove
Kegiatan

Dampak Potensial

Tebang habis

- Berubahnya komposisi tumbuhan mangrove
-Tidak berfungsinya daerah mencari makanan dan
pengasuhan

Pengalihan aliran air tawar

- Peningkatan salinitas hutan mangrove
- Menurunnya tingkat kesuburan hutan

Konversi lahan

- Mengancam regenerasi stok ikan dan udang di
perairan lepas pantai yang memerlukan hutan
- Terjadi pencemaran laut oleh bahan pencemar
yang sebelumnya diikat substrat mangrove
- Erosi garis pantai, pendangkalan dan intrusi garam

Pembuangan sampah cair

- Penurunan kandungan oksigen terlarut, timbul gas H2S

Pembuangan sampah padat

- Kemungkinan terlapisnya pneumatofora yang
mengakibatkan matinya pohon mangrove
- Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah
padat

Tumpahan minyak

- Kematian pohon mangrove

Penambangan dan ekstraksi
mineral

- Kerusakan total ekosistem mangrove, sehingga
memusnahkan fungsi ekologis hutan
mangrove
(daerah pencari makanan, asuhan
- Pengendapan sedimen yang dapat mematikan pohon
mangrove.

Sumber : Bengen (2002)
Dampak dari semua kegiatan dengan cara memanfaatkan hutan mangrove
umumnya akan menimbulkan permasalahan yang cukup pelik, yakni akan
merusak dan pada akhirnya dapat menyebabkan hilangnya sumber daya tersebut.
Kerusakan hutan mangrove di beberapa wilayah pesisir pantai Indonesia sudah
cukup serius, misalnya pantai utara Pulau Jawa, daerah Cilacap, pantai barat Pulau
Lombok, pesisir Lampung, daerah Riau dan daerah Aceh (Pramudji 2000).

Pengelolaan Mangrove
Pengelolaan mangrove di Indonesia berdasarkan Raymond et al. (2010)
perlu dilakukan tiga tahapan utama yaitu pengkajian ekologi dan sosial ekonomi,
kelembagaan dan perangkat hukum, serta strategi dan pelaksanaan rencana
pengelolaan.

7

Pengkajian ekologi dan sosial ekonomi
Pengkajian terhadap ekologi mangrove meliputi dampak ekologis
intervensi manusia terhadap ekosistem mangrove. Berbagai dampak kegiatan
yang dilakukan manusia terhadap ekosistem mangrove baik secara langsung
maupun secara tidak langsung harus diidentifikasi. Dalam pengelolaan ekosistem
mangrove juga diperlukan pengkajian terhadap kondisi sosial ekonomi yang
mencangkup kebiasaan masyarakat di sekitar hutan mangrove dalam
memanfaatkan sumber daya mangrove. Selain itu kegiatan industri, tambak,
perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan sebagainya yang dilakukan di sekitar
hutan mangrove harus diidentifikasi dengan baik untuk, mengurangi dampak
resiko kerusakan pada ekosistem mangrove akibat faktor kegiatan manusia
(Syukur et al. 2007).
Kelembagaan dan perangkat hukum
Kelembagaan memiliki fungsi penting dalam mengatur hubungan antara
manusia dengan sumber daya alam agar tetap lestari (Nurjannah 2009). Suatu
kelembagaan yang fungsional dan mandiri sangat penting untuk akses
pengelolaan suatu ekosistem agar skema penguasaan sumber daya tidak anarkis,
melainkan melalui pendekatan kolektif yang diorientasikan kepada kesejahteraan
seluruh masyarakat. Dengan demikian, obsesi menjadikan kelompok-kelompok
dan lembaga-lembaga lokal di masyarakat untuk peran dalam pengaturan fungsi
hutan mangrove yang menyelaraskan kepentingan ekonomi dan konservasi dapat
terlaksana (Awang et al. 2000).
Pengelolaan sumber daya yang bersifat common property sangat
diperlukan koordinasi antar instansi/lembaga yang terkait dengan pengelolaan,
contoh lembaga yang terkait dengan pengelolaan mangrove adalah Dinas
Kehutanan, Dinas Kelautan Perikanan, dan Dinas Lingkungan Hidup. Peran
pemerintah dalam menentukan arah kebijakan terhadap pemanfaatan suatu sumber
daya sangat diperlukan. Daniel (1999) dan Marks (1991) in Aguilera et al. (2006)
menyatakan bahwa ketika masing-masing lembaga saling melakukan koordinasi
dan membentuk sebuah lembaga baru, maka akan terbentuk tujuan bersama,
memiliki aturan baru, norma baru dan keyakinan baru terhadap lembaga tersebut.
Aspek perangkat hukum adalah peraturan dan undang-undang yang terkait
dengan pengelolaan mangrove. Beberapa peraturan mengenai pengelolaan dan
perlindungan terhadap ekosistem mangrove sebagai berikut : Undang-Undang
No.5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya,
Peraturan Pemerintah No.60 Tahun 2007 tentang konservasi sumber daya ikan,
Undang-Undang No.27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil.
Strategi dan pelaksanaan rencana pengelolaan
Kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep
utama yang dapat diterapkan yaitu perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi
hutan mangrove (Bengen 2002). Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam
rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan

8

menunjuk suatu ekosistem hutan mangrove untuk dijadikan ekosistem konservasi,
dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai.
Saat ini dikembangkan pola pengelolaan secara co-management yang
melibatkan kerjasama antara pemangku kepentingan baik dari pihak pemerintah
maupun masyarakat. Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove secara
co-management meliputi komponen yang diawasi, sosialisasi dan transparansi
kebijakan, institusi formal yang mengawasi, para pihak yang terlibat dalam
pengawasan, mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi (Santoso 2000).
Masyarakat pesisir umumnya memiliki struktur yang masih sederhana
sehingga setiap proses-proses pengelolaan mulai dari perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan sampai kepada penerapan sanksi
hukum, dilakukan secara bersama oleh masyarakat (Wahyudin 2003). Sifat yang
demikian membuat aturan yang telah dibuat dan disepakati bersama cenderung
dapat dilakukan dan ditaati.

Co-management (Pengelolaan Bersama)
Pendekatan co-management merupakan pendekatan menengah dari adanya
pendekatan state-based dan pendekatan community based. Pendekatan state-based
yang menempatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan suatu sumber daya
sangat terbatas. Pendekatan ini lebih didominasi oleh peran pemerintah dan
bersifat “top-down”. Nikijuluw (2001) berpendapat bahwa kebutuhan yang selama
ini tidak dilakukan untuk mengembangkan wilayah pesisir yaitu kurang
dilibatkannya masyarakat pesisir dalam pembangunan. Keterlibatan masyarakat
secara total dalam semua aspek program pembangunan yang menyangkut diri dan
wilayah kehidupan mereka, yaitu sejak perencanaan program, pelaksanaannya,
evaluasinya, serta prelevansiannya. Inilah yang sering menjadi kelemahan dalam
pelaksanaan pengelolaan suatu ekosistem karena pelaku utama yang seharusnya
terlibat diabaikan.
Pendekatan selanjutnya adalah model pendekatan community based.
Model pendekatan ini juga memiliki kelemahan karena pendekatan cenderung
mengesampingkan peran pemerintah. Masyarakat juga bergerak sendiri dalam
pengelolaan lingkungan sehingga tidak ada arahan dan pengetahuan teknis yang
dibutuhkan yang diberikan dari pemerintah sehingga dalam pelaksanaan tidak
terprogram dengan baik. Dalam pengelolaan ekosistem mangrove di desa
Pasarbanggi tidak dapat hanya masyarakat yang menangani dan perlu adanya
perhatian dari pihak pemerintah dan pemangku kepentingan lain yang
berhubungan dengan potensi sumber daya mangrove yang cukup berpotensi,
sehingga dibutuhkan kehati-hatian dalam kebijakan dan pengelolaan ekosistem
mangrove tersebut.
Pendekatan co-management merupakan alternatif untuk mengatasi
kelemahan dari pendekatan state-based dan community-based dalam pengelolaan
Konsep co-management didasarkan pada kebersamaan dan kemitraan antara
pemerintah, masyarakat dan pemangku kepentingan lain yang diyakini tepat untuk
mengarah pada pembangunan berkelanjutan dengan mengakomodir kepentingan
masing masing pemangku kepentingan (Pomeroy dan Gueib 2006). Pengelolaan
dengan sistem ini memberikan tanggung jawab kepada masyarakat dengan

9

mengikutsertakan mereka dalam proses pengelolaan karena masyarakat
merupakan pengguna utama dari sumber daya alam.
Pomeroy (1995) dan Mallawa (2006) menyatakan bahwa dalam penerapan
sistem pengelolaan co-management akan berbeda-beda dan tergantung pada
kondisi spesifik dan sosial dari suatu wilayah. Oleh karena itu, co-management
hendaknya tidak dipandang sebagai strategi tunggal untuk menyelesaikan seluruh
problem sumber daya, tetapi dipandang sebagai alternatif pengelolaan yang sesuai
situasi dan lokasi tertentu.
Menurut Adrianto (2007) terdapat enam bentuk tahap dari spektrum comanagement berdasarkan peran dari pihak pemerintah dan pihak pengguna
sumber daya (masyarakat dan pemangku kepentingan lain) yaitu (1) tahap
instruktif, (2) tahap konsultatif, (3) tahap komunikatif, (4) tahap advokasi, dan (5)
tahap aksi keterlibatan (6) tahap kontrol masyarakat. Adapun gambaran comanagement dari bentuk tanggung jawab pemerintah dan masyarakat selaku
pemangku kepentingan dalam pengelolaan dapat dilihat pada gambar diagram
dibawah ini (Gambar 3).

Gambar 3. Spektrum co-management (Modifikasi dari Pameroy and
Rivera-Guieb (2006) oleh Adrianto (2007))
Dalam kerangka co-management, definisi pemangku kepentingan adalah
semua pihak yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kebijakan, keputusan dan
aksi dari sistem tersebut. Dalam hal ini, unit pemangku kepentingan dapat berupa
individu, kelompok sosial atau komunitas berbagai tingkatan dalam masyarakat
(Adrianto et al. 2009). Secara umum Pomeroy dan Rivera-Guieb (2006)
mengklasifikasikan empat pemangku kepentingan kunci dalam kerangka
pengelolaan kolaboratif, yaitu (1) pelaku pemanfaatan sumberdaya, (2)
pemerintah, (3) pemangku kepentingan lain, dan (4) agen perubahan (Tabel 2).

10

Tabel 2. Peran pemangku kepentingan kunci dalam co-management
Pemangku
kepentingan kunci
Pelaku
Pemanfaatan
Sumberdaya

Pemerintah

Pemangku
kepentingan lain

Agen perubahan

Peran
a) Mengidentifikasi isu terkait masyarakat.
b) Memobilisasi aktivitas dalam co-management.
c) Berpartisipasi dalam penelitian, pengumpulan dan analisis
data.
d) Perencanaan dan implementasi kegiatan.
e) Monitaring dan evaluasi.
f) Advokasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
a) Menyediakan perangkat legislasi untuk menjamin dan
melegitimasi hak masyarakat berpartisipasi dalam kerangka
co-management.
b) Menentukan bentuk dan proses desentralisasi pengelolaan.
c) Menyediakan perangkat legitimasi bagi sistem pengelolaan
yang sudah ada di masyarakat.
d) Menyediakan bantuan teknis, finansial dan penyuluhan dalam
inisiasi co-managament.
e) Resolusi konflik antar pemangku kepentingan.
f) Mengkoordinasi forum lokal bagi kemitraan pemangku
kepentingan dalam kerangka co-management.
g) Menentukan alokasi fungsi pengelolaan.
a) Mengidentifikasi isu-isu dalam masyarakat, khususnya di luar
masyarakat perikanan.
b) Berpartisipasi dalam perencanaan dan implementasi comanagement.
c) Menyediakan insentif bagi tindakan nyata.
d) Pengelolaan konflik.
e) Memfasilitasi kepentingan masyarakat.
a) Memfasilitasi pemangku kepentingan dalam proses
perencanaan dan implementasi.
b) Pengorganisasian masyarakat dalam inisiasi maupun
implementasi co-management.
c) Jasa konsultasi dalam perencanaan dan implementasi comanagement.
d) Menyediakan informasi data dalam perencanaan dan
implementasi co-management.

Sumber : Pomeroy dan Rivera-Gueib (2006); Adrianto et al. (2009)
Pada dasarnya pemerintah dan pemangku kepentingan lain dapat bekerja
secara sinergi, karena mempunyai kepentingan yang sama. Tetapi
kekurangpahaman dan kurang komunikasi antar keduanya dapat menimbulkan
perbedaan peran yang saling bertentangan sehingga perlu adanya pengaturan
kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya yaitu mitra kolaborasi yang berupa
sebuah lembaga/forum yang dapat mewakili dan diakui oleh masyarakat dan
pemerintah yang didalamnya lembaga terdapat unsur pemerintah, masyarakat dan
pemangku kepentingan yang terkait dengan pengeloaan mangrove.
Lembaga/forum tersebut harus dibuat dalam SK Kepala Daerah (Bupati) tersebut
yang mengesahkan keberadaan lembaga pengelola ekosistem mangrove tersebut
dan menjelaskan kewenangan yang diberikan kepada mereka. Pemerintah juga
perlu mengambil inisiatif untuk memungkinkan terjadinya pengelolaan partisipatif.

11

White (1994) in Wijanarko (2006) telah merinci dukungan instansi pemerintah
daerah yang sangat diperlukan untuk membangun pengelolaan kolaboratif sebagai
berikut:
a. Menciptakan ruang politik yang cukup untuk partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan. Pemerintah perlu menyediakan forum dialog yang setara antara
wakil pemerintah dengan wakil masyarakat dalam mendiskusikan
pengelolaan kolaboratif.
b. Menentukan arah kebijakan pengelolaan sumber daya yang bisa
mengakomodasi aspirasi masyarakat.
c. Melakukan koordinasi dengan instansi lain yang terkait agar kegiatankegiatan yang dilakukan oleh semua pemangku kepentingan (pemangku
kepentingan) dari banyak instansi bisa berjalan dengan harmonis.
d. Memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap kegiatan kelompok
masyarakat yang berhasil.
e. Menegakkan hukum terhadap pelanggaran aturan lokal sehingga instansi
pemerintah perlu selalu memantau efektifitas aturan lokal terkait pengelolaan
partisipatif oleh masyarakat.
f. Menyelesaikan konflik dan masalah yang muncul antara pemangku
kepentingan.
g. Memberikan bantuan kepada masyarakat berupa pelatihan, penyuluhan,
keuangan, sarana dan perlengkapan, serta peningkatan kesadaran masyarakat.
Menurut Noble (2000) terdapat 6 (enam) prinsip bagi institusi dalam
menerapkan co-management. Dari enam prisip tersebut empat prinsip diantaranya
menggambarkan proses terbentuknya institusi dan dua prinsip lainnya
menggambarkan penilaian keefektifan institusi tersebut. Adapun enam prinsip
tersebut antara lain organisasi yang interaktif, kontrol lokal, dukungan masyarakat,
proses yang terencana, keragaman anggota, prinsip holism (pengkajian semua
aspek).

Beberapa Studi Kasus
Pelaksanaan co-management telah dilakukan pada beberapa wilayah di
Indonesia dan menjadi studi kasus penelitian seperti di Bali (Nikijuluw 1996),
Taman Nasional Bunaken (Erdmann 2001 in Daryanto 2012) dan Nusa Tenggara
Barat (Indrawasih 2008). Studi kasus penerapan co-management juga telah
dilakukan pada beberapa negara di Asia seperti
Co-management di Pulau Bali
Nikijuluw (1996) menjelaskan bahwa penerapan co-management di Pulau
Bali dibangun sebagai akibat dari penyebaran terumbu karang buatan di desa
Jemluk. Terumbu karang buatan disebarkan oleh pemerintah daerah yang
kemudian dikelola oleh nelayan. Nelayan diuntungkan dengan adanya terumbu
karang buatan ini, yaitu meningkatkan pendapatan melalui perikanan dan aktivitas
wisata. Penerapan co-management yang dilakukan di desa Jemluk adalah
pengelolaan kolaboratif antara pemerintah dan desa untuk mengelola terumbu
karang buatan.

12

Sejak awal penduduk Desa Jemluk telah dilibatkan dalam pembuatan dan
penempatan terumbu karang buatan. Kerjasama atas pembuatan terumbu karang
buatan ini dilakukan antara masyarakat desa dengan Dinas Perikanan Provinsi
dan RIMF (Research Institute for Marine Fisheries). Kerjasama ini berdampak
pada meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mengelola sumber daya terumbu
karang. Nelayan menyadari bahwa terumbu karang ini merupakan milik mereka,
sehingga pengelolaannya harus dilakukan oleh mereka sendiri. Namun,
pengelolaannya tetap dibawah tanggung jawab pemerintah.
Masyarakat Desa Jemluk yang umumnya nelayan membentuk persatuan
nelayan (Tunas Mekar Fisher Association/TMFA) kemudian mengembangkan
mekanisme pengelolaan co-management dalam bidang wisata bersama dengan
Dinas Perikanan Provinsi, Departemen Kepariwisataan, dan Satuan Polisi Lokal.
Co-management di Taman Nasional Bunaken (Sulawesi Utara)
Co-management di Taman Nasional Bunaken, Sulawesi Utara dilakukan
melalui pembentukan DPTNB (Dewan Pengelolaan Taman Nasional Bunaken)
oleh pemerintah, swasta dan masyarakat. Salah satu hasil rumusannya adalah
penentuan tarif masuk Taman Nasional Bunaken dan pendistribusian hasil tarif
masuk tersebut yang diperkirakan sekitar Rp 750 juta per tahun. Pendistribusian
dari pemasukan tarif masuk Taman Nasional Bunaken terdiri atas 5% untuk dana
pembangunan propinsi, 5% untuk pembiayaan pembangunan daerah-kota, 5%
untuk pusat yang diperuntukkan untuk pembangunan KSDA dan ekosistemnya
melalui Departemen Kehutanan dan Ditjen PKA, dan 85% sebagai dana
pendukung pengelolaan dan pengembangan fasilitas Taman Nasional Bunaken.
Co-management di Kabupaten Lombok Timur (NTB)
Penerapan co-management di Kabupaten Lombok Timur (NTB) dilakukan
melalui proyek Co-fish (Coastal Community Development and Fisheries Resourcs
Management Project), yaitu pengelolaan sumber daya laut yang dilakukan dengan
pendekatan co-management dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan
yang dihimpun dalam satu kelembagaan yang disebut KKPK (Komite Kelautan
Perikanan Kabupaten) untuk tingkat kabupaten dan KPPL (Komite Pengelolaan
Perikanan Laut) di tingkat ekosistem dan desa. Proyek ini merupakan proyek
pemerintah pusat yang pendanaannya berasal dari Asian Development Bank
(ADB) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka
merealisasikan visi pembangunan kelautan dan perikanan. Daerah ini dipilih
sebagai lokasi proyek karena daerah ini sebelumnya telah menerapkan community
based management.
Kegiatan pengelolaan sumber daya yang telah dilakukan dalam proyek
Cofish terdiri dari 4 (empat) paket kegiatan antara lain pengelolaan
kanekaragaman hayati, perbaikan lingkungan dan pusat pendaratan ikan
(Environmental Improvement and Fish Landing Centres/ IFLC), pengembangan
usaha ekonomi masyarakat, dan penguatan kelembagaan (Institutional
Strengthening/ IS) internal maupun eksternal.

13

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Kegiatan penelitian dibagi dalam dua tahap, yaitu pertama, kegiatan
pengambilan sampel vegetasi mangrove. Kedua, pengambilan sampel wawancara
tiap perwakilan pemangku kepentingan yang telah ditentukan. Masing-masing
kegiatan tersebut dilakukan di lapang pada tanggal 26 April – 10 Juni 2012.
Penelitian ini dilakukan di Desa Pasarbanggi, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah
dengan alasan desa tersebut memiliki mangrove yang cukup baik.
Penentuan stasiun-stasiun pengamatan didasarkan atas keterwakilan zonasi
mangrove. Pada penelitian ini terdapat 3 stasiun yaitu stasiun I di tepi pantai
dengan titik koordinat 6 o42’10.02” LS dan 111 o22’49.0” BT, stasiun II berada di
sekitar tambak penduduk dengan titik koordinat 6 o41’56.4” LS dan 111 o23’10.0”
BT, dan stasiun III berada di muara sungai Kaliuntu dengan titik koordinat
6o41’56.1” LS dan 111o23’19.9” BT.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian secara insitu untuk mengetahui
vegetasi mangrove antara lain kamera, termometer, refraktometer, pH stik, GPS,
meteran, tali dan data sheet. Sedangkan alat yang digunakan secara eksitu adalah
buku identifikasi (Tabel 3).
Tabel 3. Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian
Alat
Kamera
Termometer
Refraktometer
pH stik
GPS dan peta
Meteran
Tali
Data sheet
Buku identifikasi
Kuisioner

Parameter yang dilihat
Dokumentasi lokasi
Pengukuran suhu
Pengukuran salinitas
Pengukuran pH
Menentukan posisi sampling
Lingkar batang
Membuat transek
Pencatatan
Identifikasi jenis mangrove
Wawancara

Unit
0

C
Permil
Derajat
Cm
Meter

Orang

Metode
In situ
In situ
In situ
In situ
In situ
In situ
In situ
In situ
Ek situ
In situ

Data Primer
Pengumpulan data primer dilakukan melalui pengamatan langsung
(observasi) di lapangan, dengan melakukan pengukuran vegetasi mangrove,
wawancara langsung dengan masyarakat lokal dan instansi terkait.
a.
Metode Pengamatan Ekosistem Mangrove
Lokasi yang ditentukan untuk pengamatan vegetasi mangrove harus dapat
mewakili setiap zona mangrove yang terdapat di wilayah kajian (Bengen 2002).
Data vegetasi mangrove yang diambil berupa data primer. Penentuan lokasi
stasiun pengamatan mangrove dilakukan dengan menentukan perwakilan dari
setiap zonasi yang bisa dilihat pada peta google tahun 2012.

14

Pada setiap lokasi pengamatan, letakkan petak-petak contoh (plot)
berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10 x 10 m untuk tingkat pohon (diameter
batang > 4 cm), 5 x 5 m untuk tingkat pancang (diameter < 4 cm, tinggi > 1 m ),
1 x 1 m untuk semai dan tumbuhan bawah (tinggi < 1 m). Data yang diambil pada
pengamatan ekosistem mangrove adalah pengukuran diameter setiap pohon
setinggi dada (1,30 m) yang berada di dalam.
b.
Metode Pengambilan Data Instansi
Data dikumpulkan secara langsung di kantor instansi melalui wawancara
secara terstruktur dengan responden (pedoman dengan kuisioner) dengan jumlah
responden masing masing setiap instansi pemerintahan diwakili oleh seorang yang
berkutat pada bidangnya khususnya mangrove (Tabel 4). Data yang dikumpulkan
meliputi tupoksi masing masing instansi terkait kebijakan terhadap ekosistem
mangrove dan keterlibatan instansi
c.
Metode Pengambilan Data Persepsi Masyarakat
Data dikumpulkan secara langsung di lokasi penelitian melalui wawancara
secara terstruktur dengan responden (pedoman dengan kuisioner) dengan jumlah
48 orang. Metode pengambilan sampel/responden yang digunakan adalah
purposive sampling, yaitu metode pengambilan sampel tidak secara acak
melainkan berdasarkan pertimbangan tertentu atau disengaja. Adapun tujuan dari
pengambilan secara purposive sampling adalah untuk mencari pengetahuan dan
informasi sebesar-besarnya dari narasumber mengenai permasalahan yang
diajukan. Dalam hal ini yang menjadi pertimbangan adalah responden
(masyarakat) yang memanfaatkan ekosistem mangrove dan bersedia untuk
diwawancarai (Tabel 4). Data yang dikumpulkan meliputi (1) data karakteristik
responden (umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan), (2) kegiatan pemanfaatan
ekosistem mangrove oleh masyarakat, (3) pemahaman atau persepsi masyarakat
tentang mangrove, dan (4) keterlibatan masyarakat.
Tabel 4. Pengambilan responden wawancara
Responden
Kelurahan Desa Pasarbanggi
Kelompok Tani Mangrove
“Sidodadi Maju”
Kelompok Nelayan “Sido
Mulyo”
Pemanfaat kayu bangunan
Petambak
Pencari tiram
Pencari kepiting
Pencari kayu bakar
LSM
Dinas Kelautan dan Perikanan
Dinas Kehutanan
Kantor Lingkungan Hidup
BAPPEDA
Jumlah

Jumlah
(orang)
1
12

Keterangan
Kepala Desa
Ketua dan Pengurus

14

Pengurus dan Anggota

2
9
6
3
2
1

Pemanfaat
Anggota kelompok tani
Pemanfaat
Pemanfaat
Pemanfaat
Pengurus

1
1
1
1
53

Kepala Seksi Perlindungan SDP2K
Kepala Seksi Penghutanan Sosial
Bagian KSDA pesisir dan pulau pulau kecil
Kepala Sub Bidang SDA dan LH

15

Data Sekunder
Data sekunder dikumpulkan dari berbagai studi pustaka, buku laporan,
jurnal, hasil penelitian, perundang-undangan dan data pendukung lainnya yang
berhubungan dengan penelitian yang sedang dilakukan.
Analisis Data
Analisis kondisi ekosistem mangrove
Data yang dikumpulkan meliputi data mengenai jenis spesies, jumlah
individu dan diameter pohon. Data diolah dan dianalisis potensi ekosistem
mangrovenya, meliputi :
a. Kerapatan Jenis (Di)
Kerapatan jenis (Di) merupakan jumlah tegakan jenis ke-i dalam suatu unit
area (Bengen 2000). Penentuan kerapatan jenis melalui rumus :

Keterangan :
Di
= Kerapatan spesies ke-i
ni
= Jumlah total tegakan spesies ke-i
A
= Luas total area pengambilan contoh (m2)
b. Kerapatan Relatif (RDi)
Kerapatan Relatif (RDi) merupakan perbandingan antara kerapatan spesies ke-i
dengan total kerapatan seluruh spesies (Kusmana dan Istomo 1995 in Supardjo
2008). Penentuan Kerapatan Relatif (RDi) :

Keterangan :
RDi = Kerapatan Relatif
Di
= Kerapatan spesies ke-i
ΣDi = Jumlah total kerapatan seluruh spesies
c. Frekuensi Spesies (Fi)
Frekuensi spesies (Fi) adalah peluang ditemukan suatu spesies ke-i dalam
semua petak contoh dibanding dengan jumlah total petak contoh yang dibuat
(Bengen 2000). Untuk menghitung frekuensi spesies (Fi) digunakan rumus :

Keterangan :
Fi
= Frekuensi spesies ke-i
Pi
= Jumlah petak contoh tempat ditemukannya spesies ke-i
ΣPi
= Jumlah total plot yang diamati
d. Frekuensi Relatif (RFi)
Frekuensi relatif (RFi) adalah perbandingan antara frekuensi spesies ke-i
dengan jumlah frekuensi seluruh spesies (Bengen 2000). Untuk menghitung
frekuensi relatif menggunakan rumus :

16

Keterangan :
RFi
= Frekuensi relatif spesies
Fi
= Frekuensi spesies ke-i
ΣF
= Jumlah frekuensi untuk seluruh spesies
e. Penutupan Spesies (Ci)
Penutupan spesies (Ci) adalah luas penutupan spesies ke-i dalam suatu unit
area tertentu (Bengen 2000).
Keterangan :
Ci
= Penutupan spesies
ΣBA =
(d = diameter batang setinggi dada,
A
= Luas total area pengambilan contoh (m2)

= 3,14)

f. Penutupan Relatif (RCi)
Penutupun relatif (RCi) yaitu perbandingan antara penutupan spesies ke-i
dengan luas total penutupan untuk seluruh spesies (Bengen 2000). Untuk
menghitung RCi, maka digunakan rumus :

Keterangan :
RCi = Penutupan relatif
Ci
= Penutupan spesies ke-i
ΣCi
= Jumlah total untuk seluruh spesies
g. Indeks Nilai Penting (INP)
Melalui nilai Indeks Nilai Penting dapat menduga keadaan atau karakteristik
suatu ekosistem mangrove. Indeks Nilai Penting didapat dari penjumlahan nilai
relatif (Rdi), frekuensi relatif (RFi), dan penutupan relatif (RCi) dari mangrove
(Bengen 2000).
Keterangan :
INP = Indeks Nilai Penting
RDi = Kerapatan Jenis Relatif
RFi
= Frekuensi Jenis Relatif
RCi = Penutupan Jenis Relatif
Analisis pemangku kepentingan
Analisis pemangku kepentingan dilakukan melalui pemetaan tiap pemangku
kepentingan ke dalam matriks analisis pemangku kepentingan berdasarkan tingkat
kepentingan dan pengaruh. Jawaban kuisioner dari informan yang diperoleh
ditranformasikan menjadi data kuantitatif (skoring) dengan membuat penilaian
kuantitatif tingkat kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan (Tabel 5 dan
Tabel 6).

17

Tabel 5. Penilaian kuantitatif tingkat kepentingan
No
Variabel
1
Keterlibatan

2

Manfaat Pengelolaan

3

Prioritas pengelolaan

4

Ketergantungan
daya

terhadap

sumber

Indikator
Terlibat seluruh proses
Terlibat 3 proses
Terlibat 2 proses
Terlibat 1 proses
Tidak terlibat
Mendapat 4 manfaat
Mendapat 3 manfaat
Mendapat 2 manfaat
Mendapat 1 manfaat
Tidak Mendapat manfaat
Sangat menjadi prioritas
Prioritas
Cukup
Kurang
Tidak menjadi prioritas
81 %-100% bergantung
61 %-80% bergantung
41 %-60% bergantung
21 %-40% bergantung
≤ 20 % bergantung

Skor
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1

Tabel 6. Penilaian kuantitatif tingkat pengaruh
No
1

Variabel
Aturan/Kebijakan pengelolaan

Indikator
Terlibat seluruh proses
Terlibat 3 proses
Terlibat 2 proses
Terlibat 1 proses
Tidak terlibat
2
Peran dan partisipasi
Berkonstribusi pada semua point
Berkonstribusi dalam 3 point
Berkonstribusi dalam 2 point
Berkonstribusi dalam 31 point
Tidak berkonstribusi
3
Kewenangan dalam pengelolaan Kewenangan dalam semua proses
Kewenangan dalam 3 proses
Kewenangan dalam 2 proses
Kewenangan dalam 1 proses
Tidak memiliki kewenangan
4
Kapasitas sumber daya yang Semua sumber daya
disediakan
3 sumber daya
2 sumber daya
1 sumber daya
Tidak menyediakan apapun
Sumber : Abbas (2005)

Skor
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1

Penetapan kriteria dan indikator pemangku kepentingan menggunakan
pertanyaan untuk mengukur tingkat kepentingan dan pengaruh pemangku
kepentingan adalah modifikasi dari model yang dikembangkan oleh Abbas (2005)

18

yaitu pengukuran data berjenjang lima (Tabel 7). Nilai pada tabel kriteria dan
indikator kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan merupakan akumulasi
dari penilaian tingkat kepentingan maupun penilaian tingkat pengaruh.
Tabel 7. Kriteria dan indikator tingkat kepentingan dan pengaruh pemangku
kepentingan
Skor
9
7
5
3
1

Kriteria
Sangat tinggi
Tinggi
Sedang
Cukup tinggi
Rendah

Skor Kriteria
9
Sangat tinggi
7
Tinggi
5
Sedang
3
Cukup tinggi
1
Rendah
Sumber : Abbas (2005)

Kepentingan Pemangku kepentingan
Nilai
Keterangan
17 – 20 Sangat bergantung pada keberadaan mangrove
13 – 16 Bergantung pada mangrove
9-12
Cukup bergantung pada mangrove
5–8
Kurang bergantung pada keberadaan mangrove
1–4
Tidak bergantung keberadaan mangrove
Pengaruh Pemangku kepentingan
Nilai
Keterangan
17 – 20 Sangat berpengaruh dalam pengelolaan mangrove
13 – 16 Berpengaruh dalam pengelolaan mangrove
9 – 12 Cukup berpengaruh dalam pengelolaan mangrove
5–8
Kurang berpengaruh dalam pengelolaan mangrove
1–4
Tidak mempengaruhi pengelolaan mangrove

Hasil skoring terhadap tingkat kepentingan dan pengaruh masing-masing
pemangku kepentingan dikelompokkan menurut jenis indikatornya dan kemudian
disandingkan sehingga membentuk koordinat/matrik (Gambar 4). Melalui
pembagian kuadran dari matrik dapat diketahui informasi mengenai potensi peran
pemangku kepentingan dalam proses konstruksi lembaga pengelolaan ekosistem.
Kuadran 1 bertindak sebagai subjek, kuadran 2 bertindak sebagai pemain (Key
players), kuadran 3 bertindak sebagai pengikut (Crowd) dan kuadran 4 bertindak
sebagai contex seter.

Kepentingan
tinggi

Kepentingan
rendah

Kelompok pemangku
kepentingan yang penting namun
perlu pemberdayaan
(kuadran I – subject)

Kelompok pemangku
kepentingan yang paling rendah
kepentingan (kuadran III-Crowd)

Pengaruh rendah

Kelompok pemangku
kepentingan yang paling kritis dan
penting dalam perumusan
kebijakan(kuadran II-Key player)
Kelompok pemangku
kepentingan yang bermanfaat bagi
perumusan atau menjelaskan
keputusan dan opini (kuadran IV
contex seter)
Pengaruh tinggi

Gambar 4. Matrik analisis kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan
(sumber : Adrianto et al.2009)
Masing-masing k