Use of starter culture to inhibit the growth Aspergillus flavus and reduce aflatoxin during maize fermentation

PENGGUNAAN KULTUR STARTER UNTUK
MENGHAMBAT PERTUMBUHAN Aspergillus flavus dan
MEREDUKSI AFLATOKSIN SELAMA FERMENTASI GRITS
JAGUNG

MELINA SARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Penggunaan Kultur Starter untuk
Menghambat Pertumbuhan Aspergillus flavus dan Mereduksi Aflatoksin Selama
Fermentasi Grits Jagung adalah karya saya dengan arahan dari komisi

pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2012

Melina Sari
NIM F251090161

iv

v

ABSTRACT
MELINA SARI. Use of starter culture to inhibit the growth Aspergillus flavus and
reduce aflatoxin during maize fermentation. Under the direction of HARSI D.
KUSUMANINGRUM, RATIH DEWANTI- HARIYADI and NUR RICHANA
Aflatoxin is a human carcinogen produced as a secondary metabolite by
Aspergillus flavus that frequently contaminates maize. Previous research

indicated that spontaneous fermentation of maize grits can improve the quality of
maize flour. This research aimed to develop starter cultures from indigenous
microorganism isolated from spontaneous fermentation of maize and use them to
improve the easiness of grinding as well as to inhibit the growth Aspergillus
flavus and reduce aflatoxin during fermentation of local white corn grits varieties
Pulut. The starter culture were developed using an amylolyitic Candida famata
and a non amylolytic Lactobacillus plantarum found troughout corn spontaneous
fermentation. Use of the starter culture for maize fermentation increased the
percentage of fine flour as compared to that without fermentation. However the
percentage of fine flour is similar to spontaneous fermentation. Fermentation for
72 h using mixed starter culture of L. plantarum and Candida famata resulted in
the highest fine maize flour percentage (39.31%) during milling for 2 min. Single
starter culture L. plantarum inhibited the growth of Aspergillus flavus the fastest
after fermentation. The number of Aspergillus flavus declined for 1 log cfu/ml
during 48 h fermentation. In addition, the highest reduction of aflatoxin was
demonstrated by single starter culture L. plantarum. Fermentation for 72 h can
reduce aflatoxin until 87.83%.
Keywords: Aflatoxin, Aspergillus flavus, fermentation, L. plantarum, Candida
famata


vi

vii

RINGKASAN
MELINA SARI. Penggunaan Kultur Starter untuk Menghambat
Pertumbuhan Aspergillus Flavus dan Mereduksi Aflatoksin Selama
Fermentasi Grits Jagung. Dibimbing oleh HARSI D. KUSUMANINGRUM,
RATIH DEWANTI-HARIYADI and NUR RICHANA
Pembuatan tepung dari jagung putih lokal varietas Pulut mengalami
kendala dikarenakan sifat endosperm jagung yang keras, sehingga secara
tradisional masyarakat telah melakukan perendaman untuk mempermudah
penggilingan. Disamping itu tingginya kandungan aflatoksin yang ada pada
jagung menjadi permasalahan utama di Indonesia bahkan di dunia. Tujuan
penelitian ini adalah mengembangkan kultur starter dari mikroorganisme
indigenus yang tumbuh selama fermentasi spontan grits jagung untuk mengetahui
pengaruhnya terhadap penghambatan Aspergillus flavus dan aflatoksin selama
proses fermentasi grits jagung putih lokal varietas Pulut serta kemudahan
penggilingan grits jagung menjadi tepung.
Penelitian ini dilakukan secara bertahap. Pada tahap awal penelitian

dilakukan penyusunan formula kultur starter dari mikroorganisme indigenus yang
berasal dari fermentasi grits jagung spontan. Pada tahap kedua dilakukan
pengujian kemampuan formula kultur starter dalam menghambat pertumbuhan
Aspergillus flavus sp BCC F0219 serta mereduksi aflatoksin B1 pada grits jagung
selama fermentasi terkendali. Pada tahap ketiga dilakukan pengujian pengaruh
formula kultur starter pada fermentasi terkendali grits jagung terhadap
pertumbuhan mikroflora selama fermentasi grits jagung dan kemudahan
penggilingan grits jagung.
Isolat yang digunakan dalam formula kultur starter adalah C. famata dan
L. plantarum dengan beberapa pertimbangan antara lain (1) Isolat kapang hasil
isolasi belum teridentifikasi spesiesnya pada saat penelitian dilakukan (2) Pada
fermentasi spontan, dari isolat BAL dan khamir hanya khamir C. famata yang
bersifat amilolitik 3) Pertumbuhan L. plantarum selama fermentasi spontan
meningkat tajam dari 2 log pada 4 jam fermentasi hingga 8,5 log pada 12 jam
fermentasi. Hal ini menunjukkan bahwa L. plantarum pada 4-12 jam fermentasi
berada pada fase log 4) Candida famata yang bersifat amilolitik dapat membantu
pemecahan pati jagung, sehingga dapat dimanfaatkan oleh L. plantarum dan
pertumbuhannya akan lebih cepat.
Susunan formula yang dibuat yaitu : (S1) L. plantarum yang ditambahkan
pada awal fermentasi; (S2) L. plantarum + C. famata yang ditambahkan

bersamaan pada awal fermentasi; dan (S3) C. famata yang ditambahkan pada awal
fermentasi dan L. plantarum yang di tambahkan pada 12 jam fermentasi. Jumlah
kultur starter yang ditambahkan untuk masing-masing isolat L. plantarum dan
Candida famata sebanyak 106 sel/gram grits jagung. Jumlah spora Aspergillus
flavus BCC F0219 yang digunakan untuk mengkontaminasi grits jagung
sebanyak 106 spora/gram grits jagung, dan jumlah ekstrak aflatoksin yang
digunakan untuk mengkontaminasi grits jagung sebesar 64.30 ppb.
Penghambatan Aspergillus flavus dapat terjadi pada fermentasi spontan,
namun selama fermentasi berlangsung jenis mikroorganisme yang ada tidak dapat
dikendalikan. Fermentasi dengan kultur starter dapat menghambat Aspergillus

viii

flavus. Formula kultur starter paling baik yang dapat digunakan dalam
penghambatan Aspergillus flavus BCC F0219 selama fermentasi grits jagung
adalah penggunaan kultur tunggal Lactobacillus plantarum (S1) dengan waktu
penghambatan paling cepat yaitu 48 jam pasca inokulasi. Penggunaan formula
kultur campuran dan ko-kultur (Candida famata + L. plantarum) juga dapat
menghambat, namun membutuhkan waktu yang lebih lama.
Penggunaan fermentasi spontan untuk mereduksi aflatoksin pada grits

jagung dapat dilakukan, jika aflatoksin yang ada pada grits jagung dalam jumlah
kecil kurang dari 64.30 ppb. Reduksi aflatoksin sudah terlihat pada 48 jam
fermentasi, namun tidak sebesar reduksi setelah 72 jam fermentasi. Setelah 72 jam
fermentasi, reduksi aflatoksin tertinggi ditunjukkan oleh formula kultur starter
tunggal Lactobacillus plantarum (S1) dari 64.30 ppb turun menjadi 7.83 ppb
(87.83%).
Lama waktu fermentasi grits jagung dapat mempengaruhi pH tepung dan
jumlah tepung halus yang dihasilkan pada proses penggilingan. Semakin lama
fermentasi semakin rendah pH tepung serta meningkatkan jumlah tepung halus
yang dihasilkan dengan satu kali penggilingan. Formula kultur starter dan waktu
yang paling baik dalam menghasilkan jumlah tepung halus paling tinggi yaitu
formula S2 (L. plantarum+C. famata) pada 72 jam fermentasi.
Selama fermentasi berlangsung, pertumbuhan BAL meningkat secara
signifikan baik dengan penambahan kultur starter maupun kontrol, sedangkan
khamir cenderung menurun. Fermentasi menggunakan formula kultur starter
selama 48 jam menurunkan jumlah khamir dari jumlah awal fermentasi dan
mengalami sedikit kenaikan pada fermentasi selama 72 jam sedangkan pada
Kontrol pertumbuhan khamir menurun hingga fermentasi 72 jam.
Fermentasi terkendali dengan menggunakan kultur starter dapat
meningkatkan proporsi tepung dengan partikel halus yang lolos pada ayakan 100

mesh dengan pengayakan bertingkat selama 2 menit. Proporsi tepung dengan
partikel halus terbanyak diperoleh setelah grits jagung difermentasi selama 72 jam
dengan menggunakan kultur starter kultur campuran L. plantarum dan Candida
famata (S2) (39.31%). Jumlah tepung halus yang dihasilkan menggunakan
formula kultur campuran L. plantarum dan Candida famata (S2) menunjukkan
perbedaan yang signifikan (α0.05) dibandingkan dengan tepung yang tidak difermentasi.
Kata kunci: Aflatoksin, Aspergillus flavus, fermentasi, L. plantarum, Candida
famata

ix

© Hak cipta milik IPB, tahun 2012
Hak cipta dilindungi undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa izin
IPB

x

xi

PENGGUNAAN KULTUR STARTER UNTUK
MENGHAMBAT PERTUMBUHAN Aspergillus flavus dan
MEREDUKSI AFLATOKSIN SELAMA FERMENTASI GRITS
JAGUNG

MELINA SARI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

xii

Penguji Luar Komisi untuk Ujian Tesis: Dr. Elvira Syamsir, S.TP, M.Si.

xiii

Judul Tesis

: Penggunaan Kultur Starter Untuk Menghambat
Pertumbuhan Aspergillus flavus dan Mereduksi
Aflatoksin Selama Fermentasi Grits Jagung

Nama
NIM

:

:

Melina Sari
F251090161

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum
Ketua

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc
Anggota

Dr. Ir. Nur Richana, M.Si
Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pangan


Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian : 2 Juli 2012

Tanggal Lulus :

xiv

xv

PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas
berkat dan rahmat-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang
berjudul “Penggunaan Kultur Starter Untuk Menghambat Pertumbuhan
Aspergillus flavus dan Mereduksi Aflatoksin Selama Fermentasi Grits Jagung”.
Penelitian dan penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan, di Sekolah Pascasarjana
IPB.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan
terima kasih yang tulus kepada Dr. Ir .Harsi D. Kusumaningrum, Dr. Ir. Ratih
Dewanti-Hariyadi, M.Sc dan Dr. Ir. Nur Richana, M.Si selaku dosen pembimbing
yang telah banyak meluangkan waktu untuk berdiskusi, memberikan arahan,
bimbingan, masukan dan saran selama pelaksanaan penelitian dan penulisan karya
ilmiah ini sehingga dapat menambah ilmu pengetahuan dan wawasan pada
penulis. Terima kasih kepada Staf Pengajar di lingkungan Program Studi Ilmu
Pangan yang telah memberikan ilmu dan pengalaman selama penulis menempuh
pendidikan di IPB
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian atas bantuan biaya penelitian yang diberikan kepada
Tim Peneliti Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc melalui Kerjasama Kemitraan
Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) tahun 2011 yang telah
mendanai penelitian penulis.
Kepada Ayahanda Maas Jama dan ibunda Yulimar, penulis
menyampaikan ungkapan rasa hormat, terima kasih yang mendalam atas didikan,
doa, dorongan dan motivasi serta terima kasih juga kepada seluruh keluarga besar
atas segala doa, motivasi, dan semangat yang telah diberikan.
Terima kasih juga penulis ucapakan kepada Staf laboratorium SEAFAST
Center IPB Mba Ari, Mas Yerris, Bu Entin (Alm), Pak Taufik, Bu Sari, Pak Jun,
Pak Deni, Pak Abah, atas bantuannya selama pelaksanaan penelitian, dan juga
kepada Mba Mar yang telah memberikan kemudahan dalam menyelesaikan
kelengkapan administrasi. Staf laboratorium Seameo Biotrop Service Laboratory
ibu Santi, ibu Ely dan mba Neng yang telah memberikan bantuannya selama
penulis berada di lab. Sahabatku Yandi, Hurriyah, Anna, Zulya yang selalu ada
disaat penulis membutuhkan semangat, dukungan, tempat berbagi disaat suka dan
duka. Teman-teman seperjuangan di IPN Riyanti, Tina, kak Wanny, Hermawan,
Fenny, Mbak Wida, Rani, Rangga, Dede, mba Vanessa, Dian, Kiki, Kak Lina, Bu
Tanti, Bu Indah, Pak Supriyadi, Bang Nandi, Pak Ikhsan, Kak Cicoy, Bu Rahma,
Ni Fahma, mba Ria, Rion, Melinda terima kasih atas kebersamaannya selama ini.
Keluarga Bpk Hj. Rahmat, Ibu, Teh Ika, Teh Iis, dd’ Fauzan yang telah
memberikan kehangatan keluarga selama penulis berada di Bogor.
Terakhir penulis memohon maaf, apabila dalam penulisan karya ilmiah ini
masih jauh dari kesempurnaan. Penulis masih mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk kita semua.
Bogor, Juli 2012
Melina sari

xvi

xvii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Baturaja pada tanggal 13 November 1986 sebagai anak
tunggal dari bapak Maas Jama dan ibu Yulimar. Pendidikan Sekolah Dasar
dijalani selama enam tahun di SD Negeri 18 Baturja dan lulus pada tahun 1998.
Selanjutnya, penulis melanjutkan pendidikan lanjutan tingkat pertama di SLTP
Negeri 2 Baturaja hingga tahun 2001 dan sekolah menengah atas di SMU Negeri
1 Baturaja hingga tahun 2004. Pada tahun 2004 penulis diterima sebagai
mahasiswa Universitas Andalas Padang, Fakultas Pertanian dan memperoleh gelar
sarjana tahun 2009. Pada tahun 2009, penulis melanjutkan kembali pendidikan
Strata 2 (S2) pada Sekolah Pascasarjana IPB, Program Studi Ilmu Pangan.

xviii

xix

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xxi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xxiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xxv
PENDAHULUAN ................................................................................................

1

Latar Belakang ....................................................................................

1

Perumusan Masalah......................................................................... .....

3

Tujuan Penelitian ..................................................................................

4

Lingkup Penelitian ................................................................................

4

Hipotesis.. ..............................................................................................

4

Manfaat Penelitian ...............................................................................

4

TINJAUAN PUSTAKA
Jagung ...................................................................................................

5

Tepung Jagung ....................................................................................

7

Fermentasi Spontan Pada Proses Pengolahan Tepung Jagung ............

10

Aspergillus flavus dan Aflatoksin .........................................................

13

Aflatoksin pada Jagung .........................................................................

16

Pengendalian Aflatoksin .....................................................................

18

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian .............................................................

21

Bahan dan Alat ....................................................................................

21

Metode Penelitian ...............................................................................

22

Metode Analisis ..................................................................................

29

Analisis Statisttik ................................................................................

33

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengembangan Kultur Starter ..............................................................
a. Kandidat Isolat Formula Kultur.. ..................................................
b. Penyusunan Formula Kultur Starter .............................................
c. Konfirmasi Isolat .........................................................................

35
35
35
36

Pengaruh Penggunaan Formula Kultur Starter Terhadap Aspergillus
flavus dan Aflatoksin ...........................................................................
a. Penghambatan Pertumbuhan Aspergillus flavus Selama
Fermentasi terkendali Grits Jagung Putih Varietas Pulut...........

38
38

xx

b. Penurunan Aflatoksin B1Selama Fermentasi Terkendali Grits
Jagung Putih Varietas pulut........................................................

41

Pertumbuhan Mikroflora Selama Fermentasi Grits Jagung
Dengan Menggunakan Formula Kultur Starter .....................................

46

Pengaruh Penggunaan Formula Kultur Sarter Terhadap
Kemudahan Penggilingan Grits Jagung dan Tepung yang dihasilkan ..
a. Kemudahan Penggilingan Grits Jagung Pada Produksi Tepung ...
b. Nilai pH dan Derajat Asam Tepung ..............................................

51
51
53

KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................

57

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................

59

xxi

DAFTAR TABEL
1

Halaman
Kandungan amilosa/amilopektin biji jagung dari beberapa varietas. .......
6

2

Komposisi kimia jagung putih dan kuning (basis kering) .........................

7

3

Komposisi kimia (%) berbagai tipe jagung lokal ......................................

7

4

Syarat mutu tepung jagung berdasarkan SNI 01-3727-1995.....................

8

5

Penelitian proses fermentasi pembuatan tepung jagung dan umbi............

12

6

Kandungan aflatoksin pada jagung dan produknya di beberapa daerah
di Indonesia................................................................................................

17

Cemaran kapang dan Aspergillus flavus pada jagung di beberapa
daerah di Indonesia....................................................................................

18

8

Formulasi kultur starter yang digunakan...................................................

24

9

Susunan formula kultur starter.................................................................. .

36

10 Karakteristik mikroorganisme yang digunakan pada formulasi................

36

11 Penurunan kandungan aflatoksin pada grits jagung yang di
fermentasi menggunakan formula kultur starter S1, S2, S3, dan
K (Kontrol) yang difermentasi selama 48 dan 72 jam................................. .

44

7

12 Pertumbuhan BAL dan khamir (log koloni/ml) selama

fermentasi grits jagung menggunakan formula kultur starter S1, S2, S3,
dan K (Kontrol) yang difermentasi selama 48 dan 72 jam.........................

49

13 Persentase sebaran tepung hasil fermentasi menggunakan formula
kultur starter S1, S2, S3 dan K (Kontrol) selama 0, 48 dan 72 jam
fermentasi pada berbagai ukuran mesh ayakan dengan
satu kali penggilingan.................................................................................. 52

xxii

xxiii

DAFTAR GAMBAR
Halaman
9

1

Bagian-bagian dari permukaan biji kernel jagung ...........................................

2

Rumus struktur aflatoksin ..........................................................................

15

3

Diagram alir tahapan penelitian .................................................................

23

4

Proses fermentasi grits jagung terkontaminasi dengan formula kultur
Starter .........................................................................................................

26

Prose pembuatan tepung jagung dengan fermentasi menggunakan
Kultur starter... ...........................................................................................

28

6

Pembentukan zona bening disekitar sel khamir Candida famata ..............

37

7

Identifikasi L.plantarum (A) Gram Positif, (B) Katalase Negatif),
(C) Penampakan L. plantarum pada media yang mengandung
CaCO3 0,5% ditandai dengan membentuk zona bening. ...........................

38

Penurunan jumlah Aspergillus flavus pada fermentasi grits
jagung menggunakan formula kultur starter S1, S2, S3, dan K (Kontrol)
yang difermentasi selama 48 dan 72 jam....................................................

39

5

8

9

Penurunan kandungan aflatoksin pada grits jagung fermentasi
dengan menggunakan formula kultur starter S1, S2, S3, dan K (Kontrol)
yang difermentasi selama 48 dan 72 jam..................................................... 42

10 Pertumbuhan koloni BAL dan khamir pada fermentasi grits
jagung menggunakan formula kultur starter S1(A), Formula kultur
Starter S2 (B), formula kultur starter S3 (C) dan kontrol (D)
yang difermentasi selama 48 dan 72 jam...................................................... 47
11 Perubahan nilai pH air rendaman grits jagung fermentasi
menggunakan formula kultur starter S1, S2, S3 dan K (Kontrol) selama
0, 48, dan 72 jam fermentasi......................................................................... 49
12 Persentase sebaran tepung hasil fermentasi pada berbagai tingkat waktu
yang berbeda menggunakan formula kultur starter S1
(L. plantarum ),
S2 (L. plantarum + C. famata), S3 (C. famata +
L. plantarum), dan
K (Kontrol) serta TP (Tanpa Fermentasi) dengan satu kali
penggilingan................................................................................................. 51
13 Perubahan nilai pH tepung jagung hasil fermentasi menggunakan
formula kultur starter S1, S2, S3 dan K (Kontrol) selama 0, 48,
dan 72 jam fermentasi..............................................................................

53

xxiv

14 Derajat asam tepung jagung hasil fermentasi menggunakan formula
kultur starter S1, S2, S3 dan K (Kontrol) selama 0, 48, dan
72 jam fermentasi......................................................................................... 54

xxv

DAFTAR LAMPIRAN
1

Halaman
Hasil uji konfirmasi ulang.......................................................................... 73

2

Analisis statistik pertumbuhan L. plantarum..............................................

3

Analisis statistik pertumbuhan Aspergillus flavus....................................... 76

4

Analisis statistik pertumbuhan C. famata...................................................

77

5

Analisis statistik pH air rendaman ............................................................

78

6

Analisis statistik derajat asam tepung .......................................................

79

7

Analisis statistik Aflatoksin ......................................................................

80

8

Analisis statistik rendemen tepung dengan ukuran partikel < 60 mesh .............

81

9

Analisis statistik rendemen tepung dengan ukuran partikel 60-80 mesh ........

83

10 Analisis statistik rendemen tepung dengan ukuran partikel 80-100 mesh ......

85

11 Analisis statistik rendemen tepung dengan ukuran pertikel >100 mesh ....

87

12 Analisis statistik nilai pH tepung jagung fermentasi .................................

89

13 Gambar fermentasi grits jagung..................................................................

90

75

xxvi

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan sumber
karbohidrat selain gandum, padi dan umbi-umbian. Di Indonesia produksi jagung
sebagai bahan pangan pokok berada di urutan ketiga setelah padi dan ubi kayu.
Produksi jagung nasional selama lima tahun terakhir menunjukkan kecenderungan
meningkat dari sebesar 11 609 463 ton pada tahun 2006, 13 287 527 ton pada
tahun 2007, 16 317 252 ton pada tahun 2008, 17 041 215 ton pada tahun 2009 dan
menjadi 18 016 537 ton pada tahun 2010 (BPS 2010). Peningkatan produksi
jagung juga diikuti dengan meningkatnya konsumsi (benih, pakan, konsumsi
langsung, tercecer/susut, dan produk olahan) jagung dari tahun ke tahun sebesar
12 264 385 ton pada tahun 2005, 12 504 949 ton pada tahun 2006, 13 217 244 ton
pada tahun 2007, 14 659 525 ton pada tahun 2008 dan 15 680 459 ton pada tahun
2009 (Purna & Hamidi 2010).
Jagung yang baru dipanen mempunyai kadar air tinggi sekitar 30%. Sauer
(1986) mengatakan kadar air jagung yang melebihi 16% dengan kelembaban
udara lebih dari 85% selama masa penyimpanan memberikan kesempatan pada
Aspergillus flavus untuk berkembang dan menghasilkan aflatoksin. Aflatoksin
merupakan masalah keamanan jagung diseluruh dunia, termasuk Indonesia.
Aflatoksin B1 dikenal sebagai aflatoksin yang paling bersifat karsinogen terhadap
mamalia (Cary et al. 2000).
Peraturan tentang batasan maksimum aflatoksin dalam produk pangan
dituangkan dalam SNI 7385:2009 mengenai Batasan Maksimum Kandungan
Mikotoksin Dalam Pangan yang menyebutkan bahwa batas maksimum kandungan
aflatoksin B1 (AFB1) pada jagung dan produk olahannya adalah 20 ppb
(BSN 2009). Sementara itu berdasarkan SK Badan POM ditetapkan batas
maksimal cemaran aflatoksin B1 pada produk dan olahan jagung adalah 15 ppb
dengan batas maksimum total aflatoksin adalah 20 ppb. Namun demikian pada
kenyataannya, data yang ada menunjukkan bahwa komoditi pertanian Indonesia
masih mangandung cemaran aflatoksin lebih tinggi (> 20 ppb) (Bahri et al. 2005;
Ali et al. 1998; Rahayu 2008; Tangendjaja et al. 2008; Kusumaningrum et al.
2010).

2

Salah satu jenis jagung varietas lokal yang berasal dari Sulawesi Selatan
dan sedang dikembangkan di Indonesia adalah jagung putih varietas Pulut.
Menurut the Ohio State University Extension (2010), jagung pulut (waxy corn)
adalah jagung dengan jumlah kandungan amilopektin yang tinggi mendekati
100% sedangkan jagung normal mengandung amilopektin 75% dan 25% amilosa.
Sifat lilin (waxy) jagung pulut dikendalikan oleh gen resesif tunggal, gen wx.
Weatherwax (1922) menyatakan bahwa jagung pulut (waxy corn) memiliki
endosperm yang keras seperti tipe flint corn. Pengolahan produk jagung pulut saat
ini di Sulawesi Selatan baru sebatas pengganti makan pokok seperti binte,
baro’bo, marning, jagung rebus dan jagung bakar (Syuryawati et al. 2010). Oleh
karena itu perlu dilakukan upaya untuk dapat meningkatkan nilai ekonomi dari
jagung pulut, misalnya dengan mengolah jagung menjadi tepung jagung.
Tepung jagung bersifat fleksibel karena dapat digunakan sebagai bahan
baku berbagai produk pangan. Pengolahan jagung menjadi produk tepung telah
banyak dilakukan diantaranya sebagai tepung komposit (terigu, ubi kayu dan
jagung) dalam pembuatan mi (Yulmar et al. 1997), pengolahan jagung sebagai
bahan baku dalam bentuk tepung komposit (Susila & Resmisari 2005), serta
Suarni (2009) juga melakukan pengkajian terhadap prospek pemanfaatan tepung
jagung untuk kue kering (cookies).
Secara umum terdapat dua jenis metode penepungan yang sering
diterapkan dalam produksi tepung yaitu metode basah dan metode kering. Pada
metode basah dilakukan perendaman bahan terlebih dahulu sebelum ditepungkan,
sedangkan metode kering tidak dilakukan perendaman (Suardi et al. 2002). Upaya
peningkatan kualitas tepung yang telah dilakukan yaitu dengan melakukan
penambahan enzim atau fermentasi dengan menggunakan ragi tape pada proses
penepungan. Tepung yang dihasilkan mengalami perubahan sifat fisikokimia dan
fungsionalnya, yaitu kadar amilosa dan derajat polimerisasi menurun, sedangkan
gula reduksi dan dekstrosa ekuivalen meningkat (BB-Pascapanen 2010). Selain itu
tekstur tepung jagung yang dihasilkan lebih halus dibanding tepung aslinya.
Fermentasi spontan grits jagung yang dilakukan oleh Aini (2009)
menunjukkan bahwa lamanya waktu fermentasi spontan pada jagung putih
varietas Srikandi mempengaruhi ukuran partikel tepung, karakter tepung dan

3

beberapa sifat fisik, kimia dan fungsional dari tepung yang dihasilkan. Aini
(2009) juga menyarankan untuk mengetahui jenis mikroorganisme yang tumbuh
dominan selama fermentasi sehingga pertumbuhan dapat dikendalikan selama
fermentasi.
Sefa-Dedeh dan Cornelius (2000) mengatakan bahwa perendaman bijibijian dalam air yang berlebihan akan diikuti oleh pertumbuhan beberapa
mikroorganisme seperti

Bakteri Asam Laktat (BAL), khamir, dan kapang.

Menurut Gratz (2007) BAL berpotensi dalam mendegradasi mikotoksin atau
mengurangi bioavailabilitasnya, salah satunya dapat mengurangi availabilitas
aflatoksin secara in vitro. Elsanhoty dan Azeke (2009) melakukan pengujian
terhadap empat strain BAL dan bifidobacteria

yang menunjukkan bahwa

Lactobacillus rhamnosus TISTR 541 memiliki kemampuan paling besar dalam
mengikat aflatoksin secara in vivo dan fermentasi tepung gandum terkontaminasi
aflatoksin dengan menggunakan Lactobacillus rhamnosus TISTR 541 dan kamir
roti paling efektif mereduksi aflatoksin dibandingkan hanya menggunakan khamir
roti atau BAL saja selama fermentasi pembuatan roti Baladi.
Berdasarkan informasi dan permasalahan di atas, perlu dilakukan
pengkajian pada proses fermentasi grits jagung dengan menggunakan formula
kultur starter yang berasal dari mikroorganisme indigenus yang tumbuh selama
fermentasi spontan jagung untuk mengetahui pengaruh kultur starter terhadap
Aspergillus flavus dan penurunan aflatoksin selama proses fermentasi grits jagung
putih lokal varietas Pulut serta meningkatkan kemudahan penggilingan.
Perumusan Masalah
1.

Jagung putih lokal varietas Pulut berpotensi untuk dikembangkan menjadi
tepung jagung dan digunakan sebagai bahan baku ingredien sebagai alternatif
tepung, tetapi jagung memiliki permasalahan keamanan pangan terkait
aflatoksin serta memiliki endosperm yang keras.

2.

Fermentasi spontan dalam pembuatan tepung jagung menyebabkan terjadinya
perubahan sifat karakteristik tepung, namun perubahan sifat ini mungkin
bersifat tidak konsisten karena pertumbuhan berbagai jenis mikroorganisme
yang tidak diketahui jenisnya.

4

3.

Beberapa jenis BAL dan khamir pernah dilaporkan secara in vitro memiliki
kemampuan dalam mereduksi aflatoksin, sehingga perlu diteliti lebih lanjut.
Tujuan
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh

fermentasi dengan kultur starter terhadap penghambatan pertumbuhan Aspergillus
flavus dan reduksi kandungan aflatoksin pada grits jagung putih lokal varietas
Pulut. Tujuan khusus dari penelitian ini :
1.

Mengembangkan kultur starter dari mikroorganisme indigenus yang tumbuh
selama fermentasi spontan pada grits jagung dan mengetahui pengaruhnya
terhadap penghambatan pertumbuhan Aspergillus flavus dan reduksi
aflatoksin selama proses fermentasi grits jagung putih lokal varietas Pulut.

2.

Mengetahui pengaruh kultur starter dalam meningkatkan kemudahan
penggilingan grits jagung menjadi tepung.
Lingkup Penelitian
Analisis pada tepung jagung yang dihasilkan hanya sebatas mengetahui

jumlah rendemen tepung dengan tekstur halus yang lebih banyak dalam satu kali
penggilingan, tidak mencakup perubahan karakter sifat fisiko kimia dan
fungsional dari tepung jagung yang dihasilkan.
Hipotesis
1.

Penggunaan kultur starter dapat menghambat pertumbuhan Aspergilllus
flavus dan mereduksi aflatoksin pada grits jagung.

2.

Penggunaan kultur starter akan meningkatkan kemudahan penggilingan grits
jagung sehingga menghasilkan tekstur tepung halus yang lebih banyak dalam
satu kali penggilingan.
Manfaat
Dengan penelitian ini diharapkan dapat diperoleh formula kultur starter

yang tepat dan waktu fermentasi grits jagung terbaik untuk menghasilkan tepung
jagung dengan kandungan aflatoksin yang rendah.

5

TINJAUAN PUSTAKA
Jagung
Jagung dapat dikelompokkan menurut umur panen dan bentuk biji.
Berdasarkan umur, jagung dibagi menjadi 3 golongan, yaitu: 1) Berumur pendek
(genjah): 75-90 hari, contoh: Genjah Warangan, Genjah Kertas, Abimanyu dan
Arjuna. 2) Berumur sedang (tengahan): 90-120 hari, contoh: Hibrida C 1, Hibrida
CP 1 dan CPI 2, Hibrida IPB 4, Hibrida Pioneer 2, Malin, Metro dan Pandu.
3) Berumur panjang: lebih dari 120 hari, contoh: Kania Putih, Bastar, Kuning,
Bima dan Harapan.
Berdasarkan bentuk biji, jagung dibagi menjadi 7 golongan, yaitu: Dent
Corn, Flint Corn, Sweet Corn, Pop Corn, Flour Corn, Pod Corn, Waxy Corn.
Jagung dengan varietas unggul mempunyai sifat-sifat seperti produksi tinggi,
umur pendek, tahan serangan penyakit utama dan sifat-sifat lain yang
menguntungkan. Varietas unggul ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: jagung
hibrida dan varietas jagung bersari bebas (Prihatman 2000).
Di Indonesia ada beberapa jenis varietas jagung yang dikenal antara lain:
Abimanyu, Arjuna, Bromo, Bastar Kuning, Bima, Genjah Kertas, Harapan,
Harapan Baru, Hibrida C 1 (Hibrida Cargil 1), Hibrida IPB 4, Kalingga, Kania
Putih, Malin, Metro, Nakula, Pandu, Parikesit, Permadi, Sadewa, Wiyasa, Bogor
Composite-2 (Prihatman 2000). Syuryawati et al. (2010) mengatakan jenis jagung
yang disukai masyarakat sebagai pangan pokok adalah jagung putih varietas lokal,
salah satunya yaitu jagung putih lokal varietas Pulut. Jagung putih lokal varietas
Pulut berasal dari Sulawesi Selatan dan dikembangkan oleh Badan Penelitian
Serealia Temanggung Jawa Tengah.
Setiap jenis varietas jagung memiliki perbedaan kandungan komponen
penyusun, salah satunya kandungan amilosa dan amilopektin. Perbedaan (%)
kandungan amilosa dan amilopektin dari beberapa jenis varietas jagung dapat
dilihat seperti pada Tabel 1.

6

Tabel 1 Kandungan amilosa/amilopektin biji jagung dari beberapa varietas
Varietas
Amilosa (%)
Amilopektin (%)
Srikandi Putih -1
31.05
68.95
Srikandi Kuning -1
30.14
69.86
Anoman
29.92
70.08
Lokal non Pulut Takalar
28.50
71.50
Lokal Pulut Takalar
4.25
95.75
Sukmaraga
34.55
65.45
Sumber: Suarni dan Firmansyah (2005) dalam Suarni (2009)
Menurut the Ohio State University Extension (2010), kandungan
amilopektin jagung pulut (waxy corn) mendekati 100% sedangkan jagung normal
mengandung 75% amilopektin dan 25% amilosa. Berdasarkan kriteria tersebut
maka jagung varietas lokal Pulut Takalar termasuk dalam waxy corn, sedangkan
varietas lainnya yang tercantum pada Tabel 1 merupakan jagung normal.
Amilopektin adalah bentuk pati yang terdiri dari sub unit glukosa bercabang
sedangkan amilosa terdiri dari molekul glukosa tidak bercabang. Jagung pulut
ditemukan di Cina pada tahun 1908 yang mempunyai sifat lilin (waxy) dan
dikendalikan oleh gen resesif tunggal, gen wx. Menurut Fergason (1994) adanya
gen tunggal waxy (wx) yang bersifat resesif epistasis pada kromosom sembilan
akan mempengaruhi komposisi kimiawi pati, karena gen wx hanya memproduksi
komponen amilopektin, dan tidak memiliki fraksi amilosa. Weatherwax (1922)
menyatakan bahwa jagung pulut (waxy corn) memiliki endosperm yang keras
seperti tipe flint corn.
Berdasarkan warna bulir jagung, jagung putih adalah biji jagung tanpa
pewarnaan pigmen kuning. Poneleit (2001) menyatakan definisi lengkap jagung
putih bahwa endosperm biji jagung putih tidak hanya harus putih murni, tanpa
pigmen kuning sama sekali, tetapi juga tanpa warna merah atau biru yang
disebabkan pigmen antosianin dan coklat atau perubahan warna lain yang
diakibatkan komponen flavonoid. Perbedaan warna jagung putih dan kuning juga
dapat dilihat pada Tabel 2 yang menunjukkan kandungan karotenoid jagung pipil
kuning lebih tinggi dari jagung pipil putih. Lapisan aleuron dan kulit juga harus
bersih dan terhindar dari antosianin dan komponen flavonoid yang lain. Jagung
putih yang diinginkan mempunyai biji besar dan seragam, mempunyai specific
gravity yang tinggi, biji tidak ada yang retak dan bebas dari penyakit busuk
terutama yang dapat menyebabkan akumulasi aflatoksin (Poneleit 2001).

7

Jagung putih dan kuning memiliki komposisi kimia yang cukup berbeda.
Jagung putih memiliki kandungan kimia yang lebih tinggi, komposisi kimia
beberapa tipe jagung dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3.
Tabel 2 Komposisi kimia jagung putih dan kuning (basis kering)
Komposisi kimia
Jagung kuning pipilana)
Jagung putih pipilanb)
Protein (% bk)
9.5
10.36
Lemak (% bk)
4.3
4.9
Serat (%bk)
9.5
11.2
Kalsium (% bk)
0.03
0.008
Besi (mg/100 g)
3
2.16
Karotenoid total (mg/kg)
30
Vitamin B1 (mg/100 g)
0.33
0.38
Sumber: a) Watson (1987)
b)
Hasil pengolahan data asia maya.com (2009)
Tabel 3 Komposisi kimia (%) berbagai tipe jagung lokal
Varietas
Air
Abu Protein
Serat
Lemak
Kasar
Srikandi Putih*)
10.08 1.81
9.99
2.99
5.05
Srikandi Kuning*)
11.03 1.85
9.95
2.97
5.10
Anoman*)
10.07 1.89
9.71
2.05
4.56
Lokal pulut*)
11.12 1.99
9.11
3.02
4.97
Lokal non pulut*)
10.09 2.01
8.78
3.12
4.92
Bisi 2**)
9.07
1.00
8.40
2.20
3.60
Lamuru**)
9.80
1.20
6.90
2.60
3.20
*) Suarni dan Firmansyah (2005)
**) Suharyono et al. (2005)

Karbohidrat
73.07
72.07
73.77
72.81
74.20
75.10
76.30

Tepung Jagung
Pengolahan produk jagung pulut saat ini di Sulawesi Selatan baru sebatas
pengganti makan pokok seperti binte, baro’bo, marning, jagung rebus dan jagung
bakar (Syuryawati et al. 2010). Beberapa penduduk daerah lainnya di Indonesia
(Madura dan Nusa Tenggara) menggunakan jagung sebagai pangan pokok. Selain
sebagai sumber karbohidrat, jagung juga digunakan sebagai pakan ternak, diambil
minyak dan patinya atau dibuat tepung.
Tepung jagung merupakan salah satu produk jagung yang diperoleh
melalui proses penggilingan. Serna-Saldivar et al. (2001) membuat tepung jagung
melalui proses penggilingan kering dengan ukuran partikel kurang dari 0.192 mm
(ayakan US no 75). Syarat utama tepung jagung berdasarkan SNI nomor
01-3727-1995 adalah ukuran partikel tepung jagung minimal 99% lolos ayakan

8

60 mesh dan minimal 70% lolos ayakan 80 mesh. Persyaratan mutu lain yang
harus dipenuhi tepung jagung yang dihasilkan di Indonesia harus berdasarkan
Standar Nasional Indonesia (SNI) seperti terlihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Syarat mutu tepung jagung berdasarkan SNI 01-3727-1995
No
Kriteria Uji
Satuan
Persyaratan
1
Keadaan
1.1
Bau
Normal
1.2
Rasa
Normal
1.3
Warna
Normal
2
Benda-benda asing
Tidak boleh ada
3
Serangga dalam bentuk stadia dan
Tidak boleh ada
potongan-potongan
4
Jenis pati lain selain pati jagung
Tidak boleh ada
5
Kehalusan
%
Lolos ayakan 80 mesh
5.1
Min.70
Lolos ayakan 60 mesh
%
5.2
Min.99
Air
% b/b
6
Maks.10
Abu
%b/b
7
Maks.1.5
Silikat
% b/b
8
Maks.0.1
Serat kasar
%b/b
9
Maks.1.5
Derajat asam
ml.N.NaOH/100gr Maks.4.0
10
Cemaran logam
11
Timbal(Pb)
mg/kg
11.1
Maks.1.0
Tembaga(Cu)
mg/kg
11.2
Maks.10.0
Seng(Zn)
mg/kg
11.3
Maks.40.0
Raksa(Hg)
mg/kg
11.4
Maks.0.05
Cemaran arsen(As)
mg/kg
12
Maks. 0.5
Cemaran mikroba:
13
Angka lempeng total
koloni/gr
13.1
Maks. 5x106
E.coli
APM/gr
13.2
Maks. 10
Koloni/gr
13.3 Kapang
Maks. 104
Prinsip pengolahan biji jagung menjadi tepung adalah proses pemisahan
perikarp, endosperm dan lembaga dan dilanjutkan dengan proses pengecilan
ukuran. Perikarp harus dipisahkan pada proses pembuatan tepung jagung karena
kandungan seratnya yang tinggi dapat membuat tepung bertekstur kasar. Pada
proses pembuatan tepung, dilakukan pemisahan lembaga karena tanpa pemisahan
lembaga akan menyebabkan tepung mudah tengik. Tip cap atau bagian pangkal
juga harus dipisahkan karena dapat membuat tepung menjadi kasar. Partikel tip
cap akan terlihat sebagai butir-butir hitam yang dapat merusak warna tepung.
Pada pembuatan tepung, endosperm merupakan bagian yang digiling menjadi

9

tepung. Bagian-bagian dari permukaan biji kernel jagung seperti terlihat pada
Gambar 1.

Gambar 1. Bagian-bagian dari permukaan biji kernel jagung
Sumber: Eckhoff & Watson 2009

Suardi et al. (2002) menyatakan dua jenis metode penepungan yang sering
diterapkan dalam produksi tepung dan serealia yaitu metode basah dan metode
kering. Pada metode basah dilakukan perendaman bahan terlebih dahulu sebelum
ditepungkan, sedangkan metode kering tidak dilakukan perendaman. Richana dan
Suarni (2005) melakukan proses pembuatan tepung jagung dengan metode basah,
proses dilakukan dengan menggunakan jagung kering yang disosoh lalu direndam
selama 4 jam, ditiriskan dan selanjutnya ditepungkan.
Untuk memperbaiki kualitas tepung, proses penepungan jagung juga dapat
dilakukan dengan penambahan enzim maupun fermentasi dengan ragi tape.
Tepung jagung yang diperoleh dengan cara seperti ini disebut tepung
termodifikasi. Hal ini disebabkan karena tepung yang dihasilkan telah berubah
sifat fisikokimia dan fungsionalnya, yaitu kadar amilosa dan derajat polimerisasi
menurun,

sedangkan

gula

reduksi

dan dekstrosa ekuivalen meningkat

(BB-Pascapanen 2010). Selain itu tekstur tepung jagung termodifikasi lebih halus
dibanding tepung aslinya. Proses pembuatan tepung jagung termodifikasi yang
telah dilakukan adalah dengan membuat beras jagung, yaitu jagung yang telah
disosoh dan dikecilkan ukurannya. Kemudian beras jagung ditambah ragi tape
(1 kg : 1 g) lalu direndam dalam air selama 2 hari. Beras jagung kemudian
ditiriskan, dikeringkan, dibuat tepung, diayak, dan dikemas (BB-Pascapanen

10

2010). Pengolahan jagung menjadi produk olahan telah banyak dilakukan,
diantaranya sebagai tepung komposit (terigu, ubi kayu dan jagung) dalam
pembuatan mie (Yulmar et al. 1997), pengolahan jagung sebagai bahan baku
dalam bentuk tepung komposit (Susila & Resmisari 2005) serta Suarni (2009)
juga melakukan pengkajian terhadap prospek pemanfaatan tepung jagung untuk
kue kering (cookies).
Fermentasi Spontan Pada Proses Pengolahan Tepung
Fermentasi adalah proses metabolik yang melepaskan energi dari gula atau
molekul lain. Berbagai mikroorganisme dapat memfermentasi berbagai substrat
dan produk akhir yang dihasilkan tergantung jenis mikroba yang tumbuh, substrat
dan enzim yang berperan. Berdasarkan sumber mikroba yang berperan, proses
fermentasi dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu fermentasi spontan, back
slopping, dan fermentasi terkendali. Fermentasi spontan adalah fermentasi yang
terjadi tanpa penambahan mikroba dalam bentuk starter atau ragi, proses
fermentasi yang terjadi tergantung mikroba yang terdapat pada bahan baku.
Fermentasi back slopping adalah proses fermentasi yang berlangsung dengan
menggunakan mikroba yang terdapat pada produk fermentasi sebelumnya dan
fermentasi terkendali adalah fermentasi yang berlangsung dengan menambahkan
mikroba dalam jumlah dan jenis tertentu secara langsung pada bahan baku yang
akan difermentasi. Cara pertama dapat menghasilkan mutu produk yang tidak
seragam karena jumlah dan jenis mikroba yang berperan belum tentu sama dalam
setiap proses. Demikian juga dengan cara kedua, kemungkinan gagal karena mutu
tidak

seragam

cukup

besar.

Sebaliknya,

dengan

fermentasi

terkendali

kemungkinan berhasil (mutu produk seragam untuk setiap kali ulangan) sangat
besar karena jumlah dan jenis mikroba awal diketahui sehingga hasilnya pun
dapat diprediksi ( Tortora et al. 2004)
Proses fermentasi dapat dilakukan oleh BAL. Selama proses fermentasi,
karbohidrat diuraikan menjadi asam laktat, setelah karbohidrat, protein dan lemak
akan dihidrolisa. Ketiga komponen ini akan membentuk produk akhir berupa
senyawa asam laktat dan senyawa lainnya (Fardiaz 1989). Selain BAL, kapang
ataupun khamir juga dapat berperan dalam proses fermentasi. Kapang dapat
bersifat amilolitik, proteolitik dan lipolitik. Kapang yang bersifat amilolitik akan

11

memecah pati menjadi gula-gula sederhana. Kapang yang bersifat proteolitik
akan memecah protein menjadi asam amino dan kapang yang bersifat lipolitik
akan memecah asam lemak san senyawa aromatik lainnya.
Nout et al. (1997) mengatakan bahwa mikroflora telah ada sejak tanaman
jagung berada dalam masa pra-panen. Nout et al. (1997) juga mengatakan bahwa
mikroflora baik berupa bakteri, kapang maupun khamir pada tanaman jagung
pra-panen memegang peranan dalam menarik perhatian serangga dan juga
interaksi

terhadap pertumbuhan dan produksi mikotoksin oleh kapang. Jenis

khamir yang lazim ditemukan meliputi Candida guilliermondii (55%) Candida
zeylanoides (24%), Candida shehatae (11%), dan Debaryomyces hansenii (3%).
Selain itu juga ditemukan Trichosporon cutaneum, Cryptococcus albidus var.
Aerius dan Pichia membranijaciens. Mayoritas khamir yang ditemukan pada
jagung tidak dapat memfermentasi gula seperti sukrosa dan maltosa.
Sefa-Dedeh dan Cornelius (2000) melaporkan bahwa perendaman bijibijian dalam air yang berlebihan akan diikuti oleh pertumbuhan beberapa
mikroorganisme seperti BAL, khamir, dan kapang. Selain itu fermentasi juga
banyak dilakukan pada serealia dan umbi-umbian untuk memperbaiki mutu,
terutama pada produk singkong dan jagung. Akinrele (1970) mengatakan jenis
mikroorganisme yang terdapat selama fermentasi spontan maize di Afrika berupa
kapang Cephalosporium, Fusarium, Aspergillus dan Penicillium. BAL yang
dominan yaitu Lactobacillus plantarum dan juga beberapa khamir Candida
mycoderma, Saccharomyces cerevisiae dan Rhodotorula.
Di Afrika proses fermentasi spontan secara luas telah banyak digunakan
dalam pengolahan serealia dalam membuat berbagai jenis makanan. Fermentasi
spontan memberikan kontribusi dalam pengembangan tekstur, rasa, meningkatkan
keamanan pangan, dan meningkatkan nilai gizi (kualitas protein) pada pangan
berbasiskan jagung serta mengurangi faktor anti nutrisi (Afoakwa et al. 2007).
Beberapa penelitian proses fermentasi pembuatan tepung jagung dan
umbi-umbian dapat dilihat pada Tabel 5.

12

Tabel 5 Penelitian proses fermentasi pembuatan tepung jagung dan umbi
Nama
produk
Tepug
jagung dan
singkong
fermentasi

Tepung
jagung

Tepung
jagung
fortifikasi
kacang
tanah
Bambara

Tepung
jagung
termodifik
asi

Perlakuan

Karakteristik tepung

Referensi

Selama fermentasi pH tepung jagung Mestres et al.
menurun lebih cepat dari tepung 2000
singkong. Tepung jagung memiliki
kandungan asam yang lebih tinggi
namun tepung tidak mempunyai
kemampuan mengembang dalam
berbagai kondisi penelitian, diduga hal
ini karena tingginya kandungan asam
laktat yang dihasilkan.
Fermentasi spontan
1.
Jagung yang difermentasi Aini 2009
pada wadah tertutup
spontan sampai 36 jam,memiliki
dengan
ukuran partikel tepung yang
perbandingan
terdistribusi dengan baik dari
jangung: aquadest
ukuran partikel 75 µm-150 µm.
(3kg:6L) pada suhu
Sedangkan fermentasi 48 jam
27 oC selama 72
partikel jagung yang berukuran
jam
paling halus ( kurang dari 75µm)
meningkat.
2.
Fermentasi
spontan
menurunkan kadar protein, lemak,
serat kasar, abu, pati, gula reduksi,
pH, Densitas kamba dan kapasitas
penyerapan minyak pada tepung
yang dihasilkan, sedangkan sudut
curah, derajat putih dan kapasitas
penyerapan air meningkat.
Perendaman dalam
air pada suhu 20
atau 35 oC, 15 hari,
dikeringkan sinar
matahari 10-12 jam
atau oven 40 oC 24
jam.

Fermentasi
dengan
mencampur
tepung
jagung:kacang
bambara 70:30
direndam dengan
air perbandingan
1:1 selama 72 jam
pada suhu 28oC
(susu ruang)
Grits jagung
direndam dengan
BAL dengan
perbandingan 1
1kg grits: 1 gram
L.brevis / L. casei
direndam selama
1, 2, 3 hari.

Selama
proses
fermentasi Mbata et al,
mikroflora
secara
bertahap 2009
berubah dari bakteri enterik gram
negative, kapang, BAL dan
khamir berubah menjadi BAL dan
khamir yang mendominasi. Dan
mikroorganisme
yang
tidak
diinginkan seperti koliform dan
kapang yang muncul di awal
tereliminasi setelah 24 jam.
Dengan
penambahan
BAL
meningkatkan kualitas tepung dan
produk roti yang dihasilkan.
Berdasarkan komposisi kimia,
sifat pati dan sifat tepung,
perendaman
terbaik
adalah
dengan L.casei selama 3 hari.

Richana
al, 2011

et

13

Aspergillus flavus dan Aflatoksin
Jagung yang baru dipanen biasanya mempunyai kadar air tinggi sekitar
30%. Sauer (1986) mengatakan kadar air jagung yang melebihi 16% dengan
kelembaban udara lebih dari 85% selama masa penyimpanan memberikan
kesempatan pada Aspergillus flavus untuk berkembang dan menghasilkan
aflatoksin. Hal ini di dukung dengan iklim hujan tropis di Indonesia yang
menyebabkan kondisi kelembaban udara tinggi (RH>80%) dengan suhu rata-rata
28-33 oC. Kondisi ini sesuai dengan syarat pertumbuhan dan perkembangan
A. flavus serta menghasilkan aflatoksin.
Aflatoksin telah lama dikenal sejak tahun 1960-an, lebih dari seratus ribu
ternak kalkun mati di Inggris setelah memakan kacang yang diimpor dari Afrika
dan Amerika Selatan. Dari pakan tersebut diisolasi Aspergillus flavus dan toksin
yang dihasilkan oleh kapang ini yang dikenal dengan aflatoksin (Jay 2000).
Selain A. flavus, aflatoksin juga dihasilkan oleh A. paraciticus.
Aspergillus flavus menghasilkan Aflatoksin B1 (AFB1) dan Aflatoksin B2
(AFB2) dan A. parasiticus menghasilkan empat komponen utama aflatoksin yaitu
aflatoksin B1, G1, B2 dan G2 (Jay 2000). Jenis lain yang juga diketahui
menghasilkan aflatoksin seperti A. nomius, A. bombycis, A. pseudotamartii dan
A. ochraceoroseus (Jay 2000). Aflatoksin bersifat mutagen dan karsinogen
tarhadap manusia. Memakan makanan yang mengandung aflatoksin dapat
menyebabkan kanker liver pada manusia (Calvo 2004).
Kapang A. flavus dapat dibedakan dengan A. parasiticus berdasarkan
karakteristik morfologinya. A. flavus memproduksi konidia dengan ukuran dan
bentuk yang bervariasi, dinding sel konidia tipis dan teksturnya bervariasi dari
halus hingga kasar. Sedangkan konidia yang diproduksi oleh A. parasiticus
berbentuk bulat, dinding sel konidia tebal dan bertekstur kasar. Selain itu vesikel
pada A. flavus lebih besar dengan diameter > 50 µm, sedangkan A. parasiticus
jarang ditemukan lebih dari 30 µm (Pitt & Hocking 1997)
Aspergillus flavus memiliki hifa berseptum dan miselium bercabang,
koloni kompak, konidiofor kasar dan relatif panjang, konidiofor muncul dari sel
kaki, yaitu sel miselium yang membengkak dan berdinding tebal. Kapang ini
dikenal sebagai kapang kuning kehijauan yang dapat tumbuh pada suhu 12-48 oC

14

dengan aw paling rendah 0.8, sedangkan suhu optimal untuk pertumbuhan adalah
25-42 oC. Pertumbuhan kapang dan perkecambahan konidium ideal pada aw lebih
dari 0.9 dan akan terhambat jika aw kurang dari 0.7 (Bhatnagar et al. 2000).
Dewanti-Hariyadi et al. (2008) mengamati waktu optimum biosintesis
aflatoksin oleh A. parasiticus pada media Potato Dextrose Broth (PDB) yang
diinkubasi selama 10 hari pada suhu 28-30 oC. Jumlah aflatoksin B1 yang
dihasilkan hampir mencapai 20 ppb, sedangkan dengan pengkayaan media
menggunakan Malt Extract Broth (MEB) 50% dengan penambahan filtrat
Saccharomyces dan M rouxii dapat mempercepat biosintesis dan meningkatkan
produksi aflatoksin 40-800 ppb. Purwijatiningsih et al. (2005) melaporkan dengan
menggunakan spora A. flav