Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN Kolonialisme dan Misi Kristen di Jawa, Studi Historis Tentang Dukungan Pemerintah Hindia Belanda Terhadap Penetrasi Misi Kristen Pada 1901—1942.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Abad XVI merupakan abad terpenting dalam sejarah Barat, bahkan dalam sejarah umat manusia. Abad ini merupakan abad kebangkitan Eropa yang diwarnai oleh semangat penemuan dan penciptaan. Orang-orang Eropa tergerak untuk menyelidiki rahasia alam semesta, menaklukkan lautan, dan menjelajah benua yang sebelumnya masih diliputi kegelapan. 1 Bangkitnya kekuatan Eropa mengantarkan mereka pada konflik dunia dengan masyarakat Muslim. Mereka mulai melakukan ekspansi untuk menguasai wilayah-wilayah Islam dengan memonopoli perdagangan dan berakhir dengan pendirian rezim-rezim kolonial. 2 Sejak akhir abad XV, Spanyol dan Portugis memelopori bangsa Eropa dalam melakukan pelayaran untuk mencari jalan sendiri menuju kekayaan Asia. Selain karena motif ekonomi untuk memotong lalu lintas perdagangan di Laut Tengah yang dikuasai para pedagang Muslim –di antaranya Turki–, mereka juga ingin melumpuhkan kekuatan Turki dengan menghancurkan perdagangannya. Pada saat itu, Turki memang sedang melancarkan serangan-serangan dahsyat ke negara-negara Eropa. Motif penting lain yang tidak dapat dipisahkan dari ekspansi tersebut adalah agama. Mereka ingin mengepung lawan yang beragama Islam dan 1 Abul Hasan Ali Al-Nadwi, Islam Membangun Peradaban Dunia, Jakarta: Pustaka Jaya, 1988, hlm. 220. 2 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian Kesatu dan Kedua, Jakarta: Rajawali, 1999, hlm. 423. menyiarkan agama Kristen di seberang lautan. 3 Ekspansi kolonialisme Portugis dan Spanyol itu mendapatkan restu dari Paus Alexander VI. Dalam Perjanjian Tordesillas pada 4 Mei 1493, dia membagi dunia baru antara Portugis dan Spanyol. Salah satu syaratnya adalah raja atau negara harus memajukan misi Katolik Roma di daerah-daerah yang telah diserahkan kepada mereka. 4 Kerajaan bertanggungjawab untuk mengubah penduduk pribumi menjadi penganut Kristen. Banyak dari upaya misionaris selama dua setengah abad berikutnya dilakukan di bawah kekuasaan Portugis. Sebagian besar para misionaris saat itu adalah imam Katolik Roma. Beberapa di antara mereka adalah pengikut ordo Jesuit, Kapusin, dan Fransiskan. 5 Semangat Perang Salib sangat kuat mendorong ekspansi mereka. 6 Portugis memandang semua penganut Islam adalah bangsa Moor dan musuh yang harus diperangi. 7 Oleh karena itulah ketika Alfonso dAlbuquerque berhasil menduduki Malaka pada 1511, dia berpidato, Tugas besar yang harus kita abdikan kepada Tuhan kita dalam mengusir orang-orang Moor dari negara ini dan memadamkan api Sekte Muhammad sehingga ia tidak muncul lagi sesudah ini... Saya yakin, jika kita berhasil 3 M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991, hlm.32. Lihat juga Th. van den End, Ragi Carita 1; Sejarah Gereja di Indonesia 1500—1860, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007, hlm. 28. 4 H. Berkhof, Sedjarah Geredja, Jilid II, Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1952, hlm. 86. Lihat juga Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006, hlm. 20—21. 5 Katie Geneva Cannon, “Christian Imperialism and The Transatlantic Slave Trade”, dalam Journal of Feminist Studies in Religion, Volume 24, Number 1 2008, hlm. 128. 6 Motif ekonomi turut berperan dalam Perang Salib. Bandar-bandar dagang di Italia, terutama Venesia, bersedia membiayai beberapa Perang Salib. Mereka yang ikut dalam perang itu kembali ke tanah airnya dengan membawa barang-barang mewah dari Dunia Timur. Hal itu menyebabkan Eropa mengimport gelas, keramik, kertas yang terbuat dari sutera halus yang tipis, emas dewanga, barang-barang dari kaca dan kristal, barang-barang tempaan yang halus dan senjata yang indah pedang Damaskus. Lihat J. J. Romein, Aera Eropa; Peradaban Eropa Sebagai Penjimpangan dari Pola Umum, Bandung: Ganaco N.V., 1956, hlm. 60. 7 Bernard H. M. Vlekke, Nusantara; Sejarah Indonesia, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008, hlm. 97. merebut jalur perdagangan Malaka ini dari tangan mereka orang-orang Moor, Kairo dan Mekkah akan hancur total dan Venesia tidak akan menerima rempah-rempah kecuali para pedagangnya pergi dan membelinya di Portugis. 8 Portugis datang ke Malaka, kemudian ke Nusantara, dengan membawa para misionaris. Penyebaran agama Kristen Katolik menjadi tujuan utama mereka, bukan pekerjaan sambil lalu saja. Di setiap wilayah Nusantara yang ditaklukkan Portugis, misi Katolik segera masuk dan mengkonversi penduduk. Seorang misionaris, Franciscus Xaverius, selama lima belas bulan bekerja di Maluku berhasil membaptis beribu-ribu orang. 9 Selain Maluku, misi Katolik juga segera menyebar ke daerah-daerah lain, seperti Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Timur. Bangkitnya kekuasaan Katolik Portugis dan Spanyol pada akhir abad XV tidak hanya memulai kolonialisme modern. Akan tetapi, mereka juga meletakkan dasar-dasar dibangunnya aliansi modern antara misi Kristen dan ekspansi kolonial. Sejak akhir abad XVI, Belanda, Inggris dan Denmark merebut kuasa di laut dari Spanyol dan Portugis. Keterlibatan mereka dalam sejarah kolonial itu menandai permulaan umum ekspansi misionaris Protestan. Seperti pendahulu mereka yang menganut Katolik, kaum Protestan memandang kolonialisme dan imperialisme Eropa yang sekuler sebagai sarana memenuhi takdir. Para misionaris Kristen dari semua kepercayaan dan sekte disatukan dalam kepercayaan umum 8 Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat; Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, Jakarta: Gema Insani Press, 2005, hlm. 372. 9 H. Berkhof, op.cit., hlm. 86. bahwa ekspansi Eropa adalah manifestasi titah Tuhan untuk menyebarkan kerajaan-Nya di dunia. 10 Pada 1598, para pedagang Belanda mulai datang ke Nusantara. Empat tahun berikutnya, didirikanlah Verenigde Oost-Indische Compagnie VOC, sebuah organisasi dagang yang dibentuk untuk mencegah persaingan antarkelompok dagang Belanda. Mengenai sikap terhadap perkara agama di Nusantara, Encyclopædie van Nederlandsch-Indië menyebutkan bahwa orang Belanda tidak jauh berbeda dengan orang Portugis. Di mana pun dia tinggal dan didapatinya telah ada pribumi yang Kristen, keadaan mereka itu tidak disia- siakannya. Sebaliknya, di mana pun didapatinya belum ada, dia berusaha menanam Kristen di tengah-tengah mereka. 11 Seperti halnya Portugis, Belanda datang ke Nusantara juga dengan membawa pendeta-pendeta sebagai pegawai VOC. Mereka bertugas bukan saja menyelenggarakan kebutuhan ruhani para pedagang, pegawai dan pasukan Belanda di pulau-pulau tempat VOC telah membuka kantornya, tetapi juga mengusahakan pertaubatan orang kafir dan pendidikan anak-anak mereka. 12 Selain mengejar keuntungan ekonomis dan ikut membangun imperium Belanda, VOC juga mendapat mandat dari Gereja Protestan Belanda Gereformeerde Kerk, yang waktu itu berstatus sebagai gereja negara, untuk menyebarkan iman Kristen, sesuai dengan isi pasal 36 Pengakuan Iman Belanda tahun 1561, yang 10 Horst Gründer, “Christian Mission and Colonial Expansion-Historical and Structural Connections”, dalam Mission Studies, Volume 12, Number 1 1995, hlm. 19. 11 Joh. F. Snelleman, Encyclopædie van Nederlandsch-Indië, Jilid IV, Leiden: Martinus Nijhoff, 1905, hlm. 829. 12 H. Berkhof, op.cit., hlm. 88. Lihat juga C. R. Boxer, Jan Kompeni Dalam Perang dan Damai 1602—1799, Jakarta: Sinar Harapan, 1985, hlm. 15. antara lain berbunyi, Juga jabatan itu maksudnya tugas pemerintah meliputi: mempertahankan pelayanan Gereja yang kudus, memberantas dan memusnahkan seluruh penyembahan berhala dan agama palsu, menjatuhkan kerajaan Anti- Kristus, dan berikhtiar supaya kerajaan Yesus Kristus berkembang. 13 Namun demikian, dalam prakteknya, VOC tidak terlalu bersemangat menyebarkan agama Kristen. Selama 200 tahun menguasai beberapa wilayah di Nusantara, pertumbuhan agama Kristen pada zaman VOC mempunyai hasil minim. VOC hanya memprioritaskan daerah-daerah bekas koloni Portugis dan Spanyol, seperti Maluku, Minahasa dan lainnya. Kegiatan para pendeta terbatas pada melayani orang-orang Eropa dan orang-orang pribumi yang telah masuk Kristen. Orang-orang Maluku yang sudah beragama Katolik dipaksa untuk berpindah ke Protestan-Calvinis. Barulah setelah VOC jatuh dan setelah melewati permulaan abad XIX yang penuh dengan keguncangan, mencuat keinginan untuk melakukan Kristenisasi terhadap kaum pribumi secara menggebu-gebu. 14 Dibanding dengan VOC, Pemerintah Hindia Belanda memberikan perhatian lebih banyak terhadap perkembangan Kristen di daerah koloninya. Abad XIX memang kadang-kadang disebut sebagai Era Misi Age of Missions. 15 Berbagai lembaga misionaris pun dibentuk dan berlomba-lomba mengembangkan agama Kristen di kalangan pribumi. Pemerintah bahkan memberikan gaji kepada para pendeta yang berkarya di Hindia Belanda. 16 Meskipun demikian, pemerintah 13 Jan S. Aritonang, op.cit., hlm. 49—50. 14 C. Guillot, Kiai Sadrach; Riwayat Kristenisasi di Jawa, Jakarta: Grafiti Pres, 1985, hlm. 4—5. 15 Alwi Shihab, Membendung Arus; Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Bandung: Mizan, 1998, hlm. 37. 16 Karel A. Steenbrink, Orang-Orang Katolik di Indonesia 1808-1942; Suatu Pemulihan Bersahaja 1808-1903, Jilid I, Maumere: Ledalero, 2006, hlm. 52. tetap berhati-hati dalam menyikapi pengembangan dan penyebaran Kristen. Beberapa daerah yang berpenduduk mayoritas Muslim dinyatakan sebagai wilayah tertutup bagi kegiatan misi. Misionaris yang akan menyebarkan agamanya harus meminta dan mengantongi izin terlebih dahulu dari pemerintah. Alasan pemerintah Hindia Belanda untuk menerapkan kebijakan seperti itu adalah untuk menjaga keamanan dan ketertiban rust en orde di wilayah jajahannya. Kegiatan misi Kristen semakin meningkat pesat pada abad XX. Dalam sejarah penjajahan Belanda di Indonesia, periode ini dikenal sebagai masa politik etis. Pemerintah Hindia Belanda ingin meningkatkan kesejahteraan pribumi dan memperadabkan mereka. Sejalan dengan kebijakan politik etis yang ingin memperadabkan pribumi, para misionaris mendirikan sekolah-sekolah dengan bantuan subsidi dari Pemerintah Hindia Belanda. Mereka juga giat dalam bidang sosial dengan mendirikan rumah sakit dan balai-balai kesehatan. Oleh karena itu, tepatlah jika Alwi Shihab mengatakan bahwa politik etis adalah kerangka kerja yang di atasnya konsolidasi agama Kristen di Indonesia dimapankan. 17 Bagi orang Muslim, kolonialisme Eropa merupakan tragedi yang melemahkan Islam dan bencana yang tidak tanggung-tanggung. Pemerintah kolonial melumpuhkan masyarakat Muslim, membekukan pemikiran, dan menguburkan kejayaan masa lalu orang Muslim. Lebih buruk lagi, masa kolonial telah merusak rasa percaya diri orang Muslim sehingga membuat mereka tidak berdaya seperti seorang anak kecil. 18 Kolonialisme juga sering bekerja sama 17 Alwi Shihab, op.cit., hlm. 43. 18 Akbar S. Ahmed, Citra Islam; Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, Jakarta: Erlangga, 1992, hlm. 128 dan 144. dengan misi Kristen untuk melanggengkan kekuasaannya. Hal ini merupakan sebuah fakta sejarah yang didukung banyak bukti dan sulit dipungkiri. Ada hal menarik mengenai sejarah politik etis. Selama ini, politik etis sering digambarkan sebagai politik balas budi Pemerintah Hindia Belanda kepada rakyat jajahannya. Pendidikan yang diselenggarakan pemerintah dianggap telah meningkatkan pengetahuan dan kecerdasan pribumi, bahkan juga memunculkan kelas elit modern Indonesia –meminjam istilah Robert van Niel—. Meskipun jumlahnya relatif sedikit dibanding jumlah keseluruhan rakyat, namun kelas ini sering dipandang sebagai pemicu gerakan kebangkitan nasional yang dengan aktif menuntut kemerdekaan Indonesia dan mengajak rakyat bersatu. Demikianlah sejarah yang diajarkan kepada generasi muda Indonesia. Fakta bahwa Kristenisasi meningkat tajam pada masa politik etis 19 hingga akhir pemerintahan Hindia Belanda sangat jarang diungkap. Peningkatan Kristenisasi tersebut tentu mempunyai hubungan erat dengan politik etis. Selain itu, masa politik etis juga menunjukkan munculnya golongan nasionalis sekuler ke panggung sejarah Indonesia. Golongan ini tidak muncul begitu saja. Sekolah-sekolah model Barat yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda berperan besar dalam memunculkan golongan ini. Dalam perjalanan sejarah berikutnya, golongan Kristen maupun golongan nasionalis sekuler sering terlibat perseteruan dengan golongan Islam. Agaknya tidak salah jika penulis berasumsi bahwa politik etis sebenarnya adalah upaya pemerintah Hindia Belanda untuk mengkristenkan atau membaratkan rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim. 19 Ada perbedaan pendapat di kalangan sejarawan mengenai kapan berakhirnya politik etis. Hal ini akan dibahas lebih lanjut pada bab III. Masalah sebagaimana yang telah dipaparkan tadi penting untuk dikaji lebih lanjut dan lebih mendalam. Hal itu karena beberapa alasan. Pertama, Kristenisasi merupakan salah satu tantangan dakwah terbesar yang dihadapi oleh umat Islam Indonesia. Hubungan umat Islam dengan umat Kristen sering mengalami ketegangan. Berbagai upaya dilakukan untuk mengharmoniskan hubungan tersebut. Sebagai mayoritas, umat Islam dituntut untuk bersikap toleran kepada umat Kristen yang merupakan minoritas. Akan tetapi, berkali-kali umat Islam menghadapi usaha penyebaran agama dengan cara tidak sehat dari pihak Kristen. Tidak jarang usaha pihak Kristen tersebut disertai penodaan terhadap agama Islam. Oleh karena itu, memahami sejarah Kristenisasi dapat membantu umat Islam untuk menentukan langkah yang tepat dalam menghadapi tantangan ini. Kedua, kajian mengenai sejarah perjumpaan Islam dan Kristen di Indonesia belum banyak diperhatikan di kalangan umat Islam. Baru ada sedikit karya mereka yang secara khusus membahas hal itu. Di antaranya, Membendung Arus; Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia karya Alwi Shihab dan Politik Islam Hindia Belanda karya H. Aqib Suminto. Karya terakhir memasukkan masalah hubungan Islam dan Kristen dalam bagian pembahasan politik Islam Pemerintah Hindia Belanda. Sementara itu, kajian tadi telah banyak ditulis dan diperhatikan di kalangan umat Kristen; baik secara khusus maupun menjadi bagian dari sejarah gereja. Sebut saja, misalnya, Jan S. Aritonang yang menulis Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Beberapa sarjana Kristen lain yang menulis tema tersebut adalah Karel A. Steenbrink, Th. van den End, Th. Muller Kruger, dan H. Berkhof. Harus diakui, kesadaran sejarah di kalangan umat Islam masih sangat rendah. Ketiga, sebagian orang –terutama dari kalangan Kristen— mengingkari adanya hubungan saling menguntungkan antara kolonialisme dan misi Kristen. W.B. Sidjabat, misalnya, berusaha mengelak bahwa kekuasaan kolonial Belanda ikut membantu penyebaran agama Kristen di Indonesia. Menurutnya, kaum misionaris sama sekali tidak ada kaitannya dengan ambisi duniawi kaum kolonialis. Penyebaran agama Kristen lebih disebabkan oleh kuasa Al-Kitab dan bukan terutama disebabkan oleh upaya orang-orang Kristen. 20 Tidak jauh berbeda dengan W.B. Sidjabat, Jan S. Aritonang juga menolak asumsi bahwa pemerintah kolonial memberi perlindungan kepada misi Kristen. Dia mengatakan, “Tidak selamanya atau tidak di setiap waktu dan tempat pemerintah Hindia Belanda mendukung pekabaran Injil, seperti yang cukup sering dikesankan oleh penulis tertentu dari kalangan Islam.” 21 Selain mereka, sarjana Kristen lain yang menolak asumsi di atas adalah Chris Hartono dan Adolf Heuken SJ. Menurut Chris Hartono, pernyataan bahwa meluasnya penjajahan dan kemajuan karya zending sama-sama merupakan wadah ekspansi Barat adalah tidak benar, sekurang- kurangnya tidak tepat, karena di antara keduanya terdapat perbedaan yang hakiki. 22 Sementara itu, Adolf Heuken SJ menyatakan bahwa tidak selamanya pemerintah kolonial memberikan bantuan dan perlindungan kepada misi Kristen. 20 W.B. Sidjabat, Panggilan Kita di Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1964, hlm. 24. 21 Jan S. Aritonang, op.cit., hlm. 79. 22 Chris Hartono, “Kehadiran Zending di Zaman Kolonial Belanda; Suatu Tinjauan Historis- Teologis”, dalam F.W. Raintung ed, Tahun Rahmat dan Kemerdekaan; Perenungan Perjalanan Lima Puluh Tahun Republik Indonesia, Surakarta: Yayasan Bimbingan Kesejahteraan Sosial, 1995, hlm. 21. Menurutnya, pemerintah kolonial juga sering menghambat upaya penyebaran Kristen sampai 1942. Lebih lanjut, dia mengatakan, “Tuduhan bahwa misi dimanja oleh pemerintah kolonial merupakan fitnah yang tak pernah disertai data yang memang tidak ada.” 23 Semua nama sarjana Kristen tadi berikut pernyataan mereka sekadar contoh. Kedatangan dan penyebaran Kristen yang mengikuti kedatangan dan penyebaran kolonialisme Barat di negeri ini sebenarnya sudah cukup menjadi bukti bahwa keduanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Namun demikian, pengelakan dan penolakan mereka perlu dikaji kembali kebenarannya berdasarkan data sejarah yang ada. Kajian ini dibatasi pada spasial Pulau Jawa dengan temporal dari 1901 hingga 1942. Alasan batasan spasial adalah karena Jawa merupakan pusat kekuasaan Pemerintah Hinda Belanda sehingga memiliki posisi strategis dibandingkan wilayah lainnya. Alasan dimulainya kajian ini dari 1901 karena tahun ini adalah tahun dimulainya politik etis dimana kegiatan zending maupun misi meningkat tajam. Batasan akhir kajian pada 1942 karena pada tahun ini Pemerintah Hindia Belanda runtuh dan digantikan oleh Jepang. Peristiwa ini mengakhiri dukungannya terhadap penetrasi misi Kristen bukan hanya di Jawa, bahkan di seluruh wilayah Indonesia.

B. Perumusan Masalah