Pemerintah Belanda Orang Mee dan Misi
JURUSAN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2011
Motto
Free at last, Free at last, Thank God Almighty, We’re free at last. (Martin Luther King, Jr ‘I Have a Dream’)
Motto
Free at last, Free at last, Thank God Almighty, We’re free at last. (Martin Luther King, Jr ‘I Have a Dream’)
PERSEMBAHAN
Karya ini saya persembahkan untuk Papua, untuk orang Mee, semoga ini hanya awal dari persembahan saya
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul 'Pemerintah Belanda, Orang Mee dan zending C&MA di Onderafdelling Wisselmeren 1938-1956' bertujuan untuk menguraikan dinamika hubungan pemerintah Belanda, orang Mee dan zending C&MA mulai dari tahun 1938 hingga tahun 1956 ketika Perang Obano dimulai.
Perang Obano merupakan usaha orang Mee untuk menyingkirkan pihak- pihak yang dianggap bertanggungjawab dalam masalah-masalah yang menimpa masyarakat Mee saat itu. Kehadiran Belanda membawa masalah karena kekerasan yang mereka pakai untuk menegakkan kekuasaan mereka. Pihak zending C&MA berada di tengah kedua pihak ini, namun pada awal perang Obano pihak C&MA merupakan pihak dengan korban terbanyak. Hal ini mengindikasikan bahwa pihak C&MA juga menjadi sasaran antagonisme orang Mee.
Penjelasan mengenai antagonisme massa terhadap C&MA ini diurai dalam karya ini. Analisa ini dimulai dengan menjelaskan posisi C&MA dalam kolonisasi pemerintah Kolonial Belanda di Onderafdelling Wisselmeren dan bagaimana posisi ini mempengaruhi hubungan C&MA dengan orang Mee. Teori yang dipakai adalah konsep Repressive State Apparatus (RSA) dan Ideological State Apparatus (ISA) yang digagas oleh Louis Althusser. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian di lapangan dengan melakukan wawancara dan studi pustaka.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa selama bekerja di Wisselmeren, C&MA perlu mempertahankan hubungan mereka dengan pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda tidak diterima oleh mayoritas orang Mee. Hubungan dekat antara pemerintah Belanda-C&MA ini berdampak buruk. C&MA-Pemerintah Belanda dianggap sebagai sebuah kesatuan. Kebencian terhadap pemerintah Belanda kemudian turut dialamatkan kepada C&MA. Dalam perang Obano, konsekuensi dari persepsi mengenai kesatuan tersebut nyata dalam serangan terhadap para pekerja dan aset-aset C&MA.
Keyword: Misi, Penjajahan Belanda, Paniai
ABSTRACT
The title of this thesis is 'Pemerintah Belanda, Orang Mee dan zending C&MA di Onderafdelling Wisselmeren 1938-1956'. It intends to explain the dynamics of the relation between Dutch Government, the Mee people and C&MA between the year 1938 when Dutch began to settle in Wisselmeren until 1956 when the Obano War took place.
The Obano War (also called the Obano Revolt) was an effort of the Mee people to chase away parties considered responsible for problems that arose during that period. The presence of Dutch government brings problem due to the violence they use to enforce their authority over the Mee people. C&MA is stuck in the middle of this tension, but in the beginning of the war they were the party with most casualties. This indicates the antagonism of Mee people towards the C&MA.
Explanation of the mass antagonism towards C&MA is explored in this work. This analysis begins with the examination of the position C&MA holds in the colonization of Dutch government and how that position affects the relation between C&MA and Mee people. The theory used is the Louis Althusser’s concept of Repressive State Apparatus (RSA) and Ideological State Apparatus (ISA). The data gathering methods used are field studies by conducting interviews and literary studies.
It was found that during their work in Wisselmeren, C&MA maintains a close relationship with C&MA out of necessity. The Dutch administration was not widely accepted by Mee people. This close relation between C&MA and the Dutch government reflects poorly on the C&MA, causing the Mee people to see them as a single unit. The hatred towards the Dutch government was also quickly addressed to C&MA. In the Obano War, the consequence of being considered a unit with the Dutch government was tangible in the attack to the C&MA workers and properties.
Keyword: Mission, Dutch colonization, Paniai
KATA PENGANTAR
Akhirnya selesai juga! Skripsi yang dibuat dengan perang tiada henti melawan kemalasan akhirnya selesai. Tuhan, rasa terimakasih yang paling besar merupakan milik-Mu. Ucapan terimakasih juga dialamatkan kepada pihak-pihak yang sudah membantu dan mendukung saya:
1. Dosen Pembimbing, Pak Silverio R. L. A. S., yang sekarang juga merupakan Kaprodi Ilmu Sejarah dan Pak Hery selaku Pembimbing Akademik yang dua- duanya sering jadi sasaran rasa ingin tahu dan tidak tahu malu saya. Terimakasih untuk semua kesabaran yang sudah dimanfaatkan selama menghadapi saya.
2. Rm. G. Budi Subanar, SJ yang bersedia membuang waktu untuk mendengar dan memberikan saya ide-ide segar yang saya pakai dalam penyelesaian tugas ini. Rm. FX. Baskara T. Wardaya, SJ terimakasih untuk perbedaan pendapat yang sehat, yang terus menerus memaksa saya untuk berpikir dan bersifat kritis terhadap diri sendiri dan semua pilihan akademis saya.
3. Pak Sandiwan, terimakasih untuk semua mata pelajaran yang ‘berat’ dan inspirasi serta motivasi konstan untuk selalu berpikir. Pak Anton Haryono, terimakasih untuk semua kuliah yang memperkuat niat saya untuk menulis sejarah lokal, dan semua rasa bangga akan budaya sendiri yang saya peroleh melalui mata kuliah bapak. Pak Purwanto, terimakasih untuk semua narasi- narasi alternatif yang selalu memacu saya untuk melihat wilayah abu-abu dalam sejarah.
4. Prof. Dr. PJ. Suwarno, terimakasih untuk kuliah selama 6 semester yang penuh kesan, kalau bukan karena bapak saya mungkin tidak akan terpaksa mencari sumber lain hanya supaya tidak kalah gengsi haha…
5. Mas Tri yang berkantor di Sekretariat Fakultas, trims untuk semua bantuan administratif selama saya kuliah.
6. Trimakasih banyak untuk keluarga yang menggedor-gedor dengan pertanyaan kuliah, Paps, Ma, Libbie, dan Vico. Mam Rukiah dan keluarga di Pulo Sapi, Malinau dan Onago, yang terus mengingat sa dalam doa. Kode yang bawel dan kak Kede yang seperjuangan juga, sok atuh!
7. Teman-teman seperjuangan di Jurusan Ilmu Sejarah, terutama angkatan 2007, Irawan ‘om Ir’, Adi, Aryo, Bene, Audy, Mbak Wahyu, Mbak Krisna, Tian dan Andri, terimakasih untuk pertemanan selama kuliah, dan penerimaan yang tidak ragu-ragu. Trimakasih untuk semua toleransi yang sudah diberikan untuk saya yang sangat ‘tidak Jawa’ ini… Terus semangat!
8. Masyarakat di Malompo Nabire: Bapade Sepe, Mama Buna, rombongan anak-anak kecil; Eben, Samy, Sonia, Abi, Jenny, trims untuk semua hiburan selama sa tinggal di sana. Kaka Mister Johan, Bapade Mister Yesaya dan Bapade Grandmaster Yos, trimakasih untuk semua kursus kilat bahasa Mee. Aniko inimana topiine, Idekagaga..
9. Kaka-kaka di Enarotali: Kaka Ance ‘Anbo’ Boma yang melanjutkan program mengajar bahasa Mee dan Kaka Angganeta Sobuber yang juga masih latihan bicara bahasa Mee: Kaka dua, trimakasih banyak sampe tong nanti ketemu 9. Kaka-kaka di Enarotali: Kaka Ance ‘Anbo’ Boma yang melanjutkan program mengajar bahasa Mee dan Kaka Angganeta Sobuber yang juga masih latihan bicara bahasa Mee: Kaka dua, trimakasih banyak sampe tong nanti ketemu
10. Orang-orang di Obano, thanks for making my work there easy and fun. Pdt. Paulus ‘Bomaadama’ Boma dan keluarga, Pak Isak Boma, Kaka Gad Boma, Kaka Hanokh Pigai yang sudah bantu menerjemahkan dan memastikan bahwa sa tra ketinggalan dalam FGD. Bomaadama, idekagaga, juga untuk wede dan nota bakar paling enak yang pernah sa makan.
11. Terimakasih banyak untuk teman-teman di kost; Melisa, kak Winta dan kak Eno terutama: ayo lulus! Juga kak Elen, kak Rina, kak Linda, kak Dini, kak Riska, kak Dewi.
12. Rekan-rekan di Komunitas MAGiS Yogyakarta: Bang Toyib, kak Ayek, kak Ijup, kak Ana, kak Dhiyu, Via, Yudho, kak Lisa Budhe, kak Pras, kak Tio, Rodo, Bintang, kak Thomas, Sekar. Trimakasih untuk semua usaha memaksa sa menghadapi diri sendiri walaupun berat. Terimakasih juga untuk komunitas FcJ Soropadan dan Baciro; Sr. Betha, Sr. Inez, Sr. Iren untuk semua dukungan yang saya peroleh selama masa-masa akhir kuliah. AMDG!
13. Trimakasih banyak untuk tim Papuaweb untuk kesediaan referensi gratis dan mudah diakses tentang Papua. semoga papuaweb dapat terus membantu orang-orang lain yang juga menulis tentang Papua, salam!
Hasil karya ini tidak sempurna, karena itu semua kritik dan saran saya terima dengan senang hati dan sangat diharapkan.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latarbelakang
Minggu, 4 November 1956 merupakan bagian dari sejarah kelam karya kaum misionaris di Papua. Hari Minggu itu merupakan titik dimana pertemuan antara dua budaya yang sama sekali berbeda akhirnya berujung pada krisis besar.
Kaum zending 1 menjadi sasaran serangan masyarakat Mee di Obano, wilayah yang merupakan bagian dari Distrik Paniai Barat, Onderafdeling Wisselmeren 2
(Kini merupakan bagian dari Kabupaten Paniai, Papua). Bertahun-tahun setelah itu, serangan yang menjadi awal dari perang Obano ini diingat dengan deskripsi yang jelas; ‘setelah kebaktian Minggu ada
3 pemberontakan di kalangan orang Kapauku 4 di daerah Obano.’ Sasaran serangan
1 Zending merupakan istilah untuk para penginjil Protestan, dipakai untuk membedakan dengan para penginjil Katolik yang cenderung diberi istilah
‘misionaris’. Penggunaan istilah zending di sini dipakai karena para penginjil yang diserang dalam perang Obano berasal dari Christian and Missionary Alliance (C&MA, atau sering disebut CAMA), yang notabene adalah pusat penginjilan Protestan yang berpusat di Amerika Serikat. Penggunaan istilah ‘misionaris’ dalam tulisan ini karena itu akan dipakai untuk menyebut para pekerja penginjilan secara umum, kecuali dinyatakan sebaliknya.
2 Wilayah administratif di bawah Afdeling, yang setingkat dengan kabupaten. Dengan demikian Onderafdeling adalah sebutan untuk wilayah
administratif setingkat wedana. Pada jaman kekuasaan Belanda wilayah Papua (saat itu dikenal dengan istilah Nugini-Belanda) dibagi menjadi 6 Afdeling. Onderafdeling Wisselmeren merupakan bagian Afdeling Centraal-Nieuw-Guinea. Lihat Pim Schoorl, 2001, Belanda di Irian Jaya: Amtenar di Masa Penuh Gejolak 1945-1962, Jakarta: Garba Budaya.
3 Kapauku adalah ungkapan lain untuk orang Mee, diberikan oleh Leopold Pospisil 3 Kapauku adalah ungkapan lain untuk orang Mee, diberikan oleh Leopold Pospisil
namun juga pada staf kaum zending, yang paling terkenal di antaranya Pdt. Ruland Lesnussa dan istrinya. 6 Keduanya bukan hanya dibunuh tetapi juga
dimutilasi. Pesawat milik zending dirusak dengan menggunakan kapak hingga tidak bisa dipakai lagi. 7 Perang Obano kemudian berlangsung selama 3 bulan.
Ditinjau dari misiologi, Perang Obano merupakan salah satu contoh tentang betapa beresikonya pekerjaan sebagai penginjil. Namun sama seperti banyak kematian penginjil sebelumnya, kematian Ruland Lesnussa tidak lantas mengakhiri kehadiran maupun karya zending di Paniai setelah itu. Penginjilan merupakan pekerjaan yang membutuhkan dedikasi, komitmen dan keyakinan
yang kuat bahwa Injil harus disebarkan ke seluruh bumi. 8 Agama, atau lebih tepatnya keimanan terhadap agama, yang menjadi dasar dari semangat ini.
Keyakinan ini tidak membuat misi tersebut menjadi lebih mudah; cerita mengenai tantangan yang dialami para penyebar Injil adalah sesuatu yang lazim. Tantangan
4 Lihat William F. Smalley, t.t. Alliance Mission in Irian Jaya 1950-1962 Volume I. New York: C&MA. Hlm. 285
5 Ibid.
6 Lihat Albert Keiya, 1998, Perang Obano tahun 1956: Suatu Tinjauan Sejarah dan Pengaruhnya dalam Pertumbuhan Gereja di Daerah Obano Skripsi,
Sentani: STT Walter Post Jayapura. Hlm. 30-31
7 Smalley, loc.cit.
8 Lihat Norm Lewis, 1979, editorial dalam Mission Frontiers Vol I: 1 Jan- Feb 1979, California: USCWM, hlm. 2. Lihat juga David Hilliard, 1969, The
South Sea Evangelical Mission in the Solomon Islands dalam The Journal of Pacific History Vol IV 1969, hlm. 43 South Sea Evangelical Mission in the Solomon Islands dalam The Journal of Pacific History Vol IV 1969, hlm. 43
Hubungan antara kaum misionaris dengan pemerintah kolonial umumnya dekat dan saling mendukung, bahkan pada abad ke-16 dan ke-17 karya misionaris menjadi bagian penting dari eksplorasi Dunia Baru. Penyebaran Kristianitas
mengikuti dengan setia ekspansi Eropa di seluruh dunia. 10 Belanda merupakan pengecualian terhadap tradisi itu, dan hingga tahun 1962 Papua merupakan
wilayah kekuasaan Belanda. Jelas bahwa kebijakan dan posisi Belanda sehubungan dengan kehadiran misionaris di wilayahnya penting untuk diamati. Terutama karena di berbagai wilayah Nusantara (Jawa, Makassar, dan Timor)
Belanda berkali-kali menghentikan kegiatan kaum misionaris Katolik. 11 Pesan yang sampai jelas: bahwa sehubungan dengan agama dan karya misi, pemerintah
Belanda memiliki posisi yang sangat praktis dan sederhana; kalau mengganggu, hentikan saja kegiatan misi.
Dalam keadaan yang tidak pasti para pekerja zending C&MA bekerja, tidak hanya di bawah ancaman serangan sewaktu-waktu dari orang Mee yang bermukim di daerah Paniai namun juga di bawah administrasi pemerintah Belanda yang seperti telah disebut sebelumnya memiliki reputasi sehubungan dengan naik turunnya ijin beraktifitas kaum misionaris di Nusantara hingga akhir abad ke-19.
9 Hilliard, op.cit., hlm. 48
10 Lihat Peter N. Stearns, 2000 (2006), Gender in World History, New York: Routledge, hlm. 63
11 Lihat G. Budi Subanar, 2005, Menuju Gereja Mandiri: Sejarah Keuskupan Semarang di Bawah Dua Uskup, Yogyakarta: Penerbit USD, Hlm. 19-
Jelaslah bahwa zending di Paniai perlu bergerak dengan hati-hati, menyadari posisinya yang (sepertinya) terjepit di tengah-tengah kedua kekuatan tersebut.
Perang Obano terjadi di tengah situasi politik yang tidak stabil karena belum tegaknya kekuasaan pemerintah Belanda di Wisselmeren. Pada tahun 1956 itulah, posisi kaum zending yang sudah menetap di Onderafdeling Wisselmeren selama
15 tahun benar-benar terancam secara fisik. Zending mulai menetap dan berkarya di Wisselmeren pada tahun 1941, 12 namun ancaman fisik terhadap keberadaan
mereka secara keseluruhan baru terjadi pada 1956. Apa yang terjadi selama 15 tahun itu? Apalagi ketika seorang penulis merasakan kebutuhan untuk menekankan bahwa apapun yang menyebabkan serangan ini bukanlah kebencian
terhadap misi, 13 pertanyaan mengenai kontribusi dan hakikat hubungan pemerintah kolonial Belanda-zending-masyarakat Mee dalam menyebabkan
perang Obano menjadi perlu untuk diangkat. Sebelum eksplorasi hubungan antara kolonial Belanda-zending-masyarakat Mee, penting untuk melihat faktor- faktor lain yang telah ditinjau dan disebut sebagai penyebab perang Obano. Albert Keiya menyebut paling tidak 8 faktor yang dianggap sebagai penyebab perang Obano. Faktor-faktor tersebut antara
lain: 14
12 Lihat Gotay R. Pigay, 2008, Mungkinkah Nilai-nilai Budaya Hidup Suku Mee Bersinar Kembali?, Jayapura: Deiyai, Hlm. 30-31
13 Albert, op.cit., hlm. 3
14 Ibid., hlm 109 dst. Keiya menyebutkan 8 faktor yang dalam penjelasan ini digabung menjadi 7 poin. Factor yang dalam sumber aslinya terpisah kemudian
digabung dalam penjelasan di atas adalah poin mengenai kecurigaan terhadap proyek zending di mana kecurigaan terhadap pembangunan lapangan terbang dan rumah dipisah oleh Albert Keiya.
1) Tersebarnya wabah penyakit di kalangan masyarakat maupun ternak babi. Keiya menyebutkan bahwa bersamaan dengan kedatangan zending C&MA tersebar penyakit yang membunuh banyak anak-anak laki-laki
berumur di bawah 12 tahun. 15 Dalam masyarakat yang patriarkal, kehilangan anak laki-laki yang dianggap sebagai harapan keluarga
berdampak besar bagi keluarga. Ternak pun tidak luput dari kemalangan ini, dimana Keiya mencatat banyak kematian ternak babi milik
masyarakat. 16 Tuduhan ini bukannya tidak masuk akal, terutama ketika kita melihat bahwa wabah merupakan salah satu bagian yang tidak
terpisah dari kontak orang-orang Eropa dengan masyarakat pribumi lain di berbagai belahan dunia. Diamond menyebutkan bahwa ‘kuman Eurasia memiliki peran besar dalam menyingkirkan banyak kaum
pribumi di belahan dunia lain.’ 17 Penyakit jarang merupakan alat yang secara sengaja dipakai dalam perang, namun dalam hubungan bangsa
Eropa dengan dunia lain, penyakit menjadi efek samping yang rutin dalam kontak budaya. Gerrit Jan Inauri, seorang pegawai Belanda mengakui bahwa orang-orang yang datang dari daerah luar
15 Ibid.,hlm. 112
16 Ibid., hlm. 110
17 Lihat Jared Diamond, 1997 (2005), Guns Germs and Steel: A Short History of Everybody for the Last 13,000 years, London: Vintage Books, hlm. 213 17 Lihat Jared Diamond, 1997 (2005), Guns Germs and Steel: A Short History of Everybody for the Last 13,000 years, London: Vintage Books, hlm. 213
Mengenai apakah orang-orang asing yang datang membawa penyakit ini sengaja atau tidak merupakan hal lain. Kenyataannya adalah bahwa banyak orang mati karena penyakit yang sebelumnya tidak ditemukan. Logika orang Mee, meski tidak secanggih pengetahuan Diamond di atas, cukup untuk menemukan hubungan antara kemunculan orang asing dan penyakit yang timbul setelah kehadiran mereka. Walaupun tidak definitif, kemungkinan ini tidak boleh dibuang hingga terbukti salah.
2) Kecurigaan terhadap ternak babi yang dibawa oleh misi zending. Zending C&MA yang datang ke wilayah Wisselmeren membawa jenis babi yang baru di daerah itu dan masyarakat mencurigai babi jenis ini karena berbeda dengan jenis babi yang selama ini dipelihara oleh orang
Mee. 19 Keiya menyimpulkan bahwa kecurigaan ini didasari oleh ketidaktahuan masyarakat Mee mengenai ternak babi jenis lain yang
dipelihara di luar daerah pedalaman Papua. 20 Kehadiran babi yang berbeda dengan yang biasa dilihat masyarakat ini kemudian berdampak
pada kecurigaan sehubungan dengan penyakit yang menyerang ternak babi seperti telah disebutkan di atas.
18 Lihat Gerrit Jan Inauri, Perang Tiga Bulan di Paniai dalam Leontine E. Visser & Amapon Jos Marey, 2008, Bakti Pamong Praja Papua: di Era Transisi
Kekuasaan Belanda ke Indonesia. Jakarta: Kompas. Hlm. 120
19 Lihat Albert, op.cit., hlm. 113
20 Ibid., hlm. 114
3) Kecurigaan terhadap proyek pembangunan misi (rumah dan lapangan terbang). Sehubungan dengan wabah penyakit yang menyerang anak laki-laki seperti disebutkan pada poin pertama, lapangan terbang yang dibangun dipandang dengan curiga. Pesawat yang menggunakan lapangan terbang itu pulang pergi Wisselmeren dan sekitarnya dianggap masyarakat membawa roh orang mati yang kemudian kembali menyebar
penyakit. 21 Menggunakan argumen yang sama dengan penjelasan untuk poin pertama, pernyataan Diamond yang menyatakan bahwa orang
Eropa mempunyai peranan dalam menyebar penyakit menunjukkan bahwa pendapat dan pemikiran masyarakat ini bukannya tidak mungkin benar. Dalam konteks masyarakat Mee sebelum Perang Obano, ini berarti bahwa dengan kehadiran pesawat terbang yang memudahkan kedatangan orang asing, dan penyebaran penyakit baru menjadi semakin mungkin di kalangan orang Mee yang belum memiliki kekebalan terhadap penyakit-penyakit yang dibawa.
4) Pergeseran posisi orang kaya (tonawi) dalam masyarakat Mee. Sebelum kedatangan zending, pihak yang paling memiliki pengaruh dalam sebuah kelompok masyarakat adalah orang yang kaya. Kekayaan diukur dengan
berdasar pada kepemilikan babi. 22 Dengan cara inilah orang kaya juga menjadi orang yang berpengaruh di kalangan masyarakat, yakni
21 Ibid., hlm. 119
22 Hylkema, S. 1990 (2002). Paniyai, Kamu-Tigi and Mapiya, Paniai district, PapuaIntroduced and translated by Anton Ploeg dalam Bijdragen tot de
Taal-, Land- en Volkenkunde 158 (2002), no: 2, Leiden hlm. 234 Taal-, Land- en Volkenkunde 158 (2002), no: 2, Leiden hlm. 234
yang menyelesaikan masalah yang muncul dalam masyarakat. 24
Kehadiran zending dan pemerintah Belanda mengubah hal ini, di satu sisi zending menyediakan pendidikan yang diikuti oleh anak muda dan karenanya kemudian menyamakan posisi mereka secara
pengetahuan dan politik dengan tonawi. 25 Ketika pendidikan sudah ada dan anak-anak muda ini dilatih oleh zending maka mereka juga tidak
terlalu bergantung lagi pada tonawi. Sudah disebutkan sebelumnya bahwa tonawi merupakan pihak yang menjadi pembimbing dalam masalah-masalah sosial, dan salah satu alasan mereka memiliki posisi seperti itu ialah karena anggota masyarakat yang lain berhutang kepada
26 mereka. 27 Zending kemudian mulai menggaji pekerjanya dengan mege,
23 Albert, op.cit. hlm. 115
24 Ibid., lihat juga tulisan Leopold Pospisil, 1958, Social Change and Primitive Law: Consequences of a Papuan Legal Case, dimuat dalam American
Anthropologist, New Series, Vol. 60, No. 5 (Oct., 1958), hlm. 832-837 yang menceritakan bagaimana seorang yang berpengaruh bisa memulai perubahan nilai dalam masyarakat.
25 Ibid.,hlm. 116
26 Lihat Hylkema, op.cit., hlm. 234
27 Mata uang yang dipakai oleh masyarakat Mee, terbuat dari kulit kerang (kulit bia) penjelasan yang mendalam tentang mege ini dimuat dalam tulisan L. F.
B. Dubbeldam, 1964, The Devaluation of the Kapauku-Cowrie as a Factor of Social Disintegration dimuat dalam American Anthropologist, New Series, Vol.
66, No. 4, Part 2: New Guinea: The CentralHighlands (Aug., 1964), hlm. 293-303 66, No. 4, Part 2: New Guinea: The CentralHighlands (Aug., 1964), hlm. 293-303
Sehubungan dengan isu mege, Dubbeldam menambahkan bahwa pemerintah kolonial Belanda dan misi zending juga bertanggungjawab dalam terjadinya inflasi di wilayah Wisselmeren, dan karenanya juga
pada goyahnya posisi tonawi. 29 Mege berharga karena jumlahnya terbatas, kenyataan bahwa zending dan pemerintah kolonial Belanda
memasok mege ke wilayah Wisselmeren, ‘banyak kotak’ mengutip Dubbeldam, setara problematisnya dengan mencetak terlalu banyak dalam sistem moneter modern – menjamin terjadinya devaluasi yang juga berdampak bagi mege yang dimiliki para tonawi. Kehadiran zending dan pemerintah Belanda beserta mege yang mereka bawa dengan kedatangan mereka bukan hanya mengganggu cara hidup yang selama ini dimiliki oleh orang Mee (order), tapi juga mengakhiri dominasi orang yang dalam cara hidup sebelumnya memiliki posisi yang tinggi dalam masyarakat.
Kehadiran orang asing di Wisselmeren terbukti merevolusi hidup orang Mee, C&MA memecah masyarakat menjadi setidaknya dua kelompok masyarakat, yakni kelompok yang menolak C&MA karena perubahan yang mereka bawa dan kelompok lain yang menerima C&MA, menjadi Kristen serta turut beruntung dalam perubahan yang
28 Dubbeldam, op.cit, hlm 299
29 Ibid., 29 Ibid.,
5) Kondisi tanah yang bercacing. Pada masa-masa sebelum perang ini dimulai, masyarakat memperhatikan adanya gejala yang tidak menyenangkan: muncul cacing-cacing yang merusak hasil kebun, dege
toka. 30 Cacing-cacing ini menyebabkan hasil kebun (umumnya Ipomoea batatas, sering disebut betatas) menjadi kecil. Masyarakat kemudian
menghubungkan masalah cacing dege toka tersebut dengan kehadiran orang asing di daerah mereka.
6) Campur tangan pemerintah dalam kasus pelanggaran hukum adat. Masyarakat Mee memiliki ketentuan-ketentuan yang sangat tegas sehubungan dengan segala jenis perzinahan. Seperti diungkapkan oleh Pigay, tindakan berzinah bisa mengakibatkan hukuman mati bagi para
pelakunya. 31 Hal yang sama sedianya berlaku ketika putri Makitopai Boma menjadi korban pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang guru
Katolik dan kemudian meninggal. 32 Masyarakat Mee mengharapkan penyelesaian secara adat (yang bisa saja berarti denda atau kematian
bagi sang guru), namun pemerintah Belanda kemudian menyelesaikan
30 Albert, op.cit., hlm. 120
31 Gotay R. Pigay, 2008, Mungkinkah Nilai-nilai Budaya Hidup Suku Mee Bersinar Kembali?, Jayapura: Deiyai hlm.
32 Albert, op. cit.,hlm. 119 32 Albert, op. cit.,hlm. 119
masyarakat Mee di Paniai Barat. Wisselmeren bukanlah satu-satunya daerah di mana ketidakpuasan karena tubrukan sistem hukum menjadi masalah bagi Belanda yang tengah berusaha untuk menegakkan dominasi mereka di seluruh wilayah
Nieuw Guinea. 34 Lagerberg dan Schoorl mengalami masalah yang sama dalam tugas masing-masing di Muyu dan di Mimika. 35 Dalam hampir
semua kasus sebisa mungkin hukum adat dikedepankan dalam penyelesaian masalah-masalah di tengah masyarakat, namun seperti diungkapkan Lagerberg, ‘tatanan hukum yang baru tidak selalu sejalan
dengan adat setempat.’ 36 Dalam kasus seperti ini, semua kembali pada agen pemerintah yang memiliki kewenangan di daerah itu. Beberapa
keputusan yang diambil oleh agen pemerintah, seperti diungkapkan oleh Keiya, Schoorl dan Lagerberg di atas, mengakibatkan rasa tidak puas baik bagi masyarakat maupun agen pemerintah Belanda yang terlibat dalam masalah tersebut. Dalam kasus pemerkosaan yang telah disebut di
33 Ibid.,hlm. 117
34 Lihat Pim Schoorl, Kontrollir BB sebagai Agen Pembangunan dalam Pim Schoorl (peny), 2001, Belanda di Irian Jaya: Amtenar di Masa Penuh Gejolak
1945-1962, Jakarta: Garba Budaya hlm. 11-13
35 Ibid,. hlm. 12 dan Kees Lagerberg, Ibu kota dan Kontrolir di Lapangan dalam Schoorl, ibid., hlm. 45-47
36 Lagerberg, ibid.,hlm. 45 36 Lagerberg, ibid.,hlm. 45
7) Ketidakpatuhan ogai 37 terhadap norma-norma masyarakat. Telah disebut sebelumnya bahwa masyarakat Mee memiliki peraturan sehubungan
dengan perzinahan. Hal yang sama berlaku untuk interaksi antara laki- laki dan perempuan, dan demikian pula dengan seks yang (hampir) tabu untuk dibicarakan. Bahkan setelah menikah pun pasangan suami istri
masih tidur terpisah dan berjauhan. 38 Semua orang asing yang datang tidak mengikuti ketentuan ini (bahkan untuk orang Protestan yang paling
konservatif sekalipun ini mungkin tampak aneh), dan hal ini tidak menyenangkan orang Mee.
Semua faktor kausal yang disebut di atas berkumpul menjadi alasan penyerangan terhadap kaum zending, dan semuanya dapat dijelaskan secara rasional kecuali faktor rusaknya hasil perkebunan karena cacing. Beberapa faktor lain yang tidak disebut Keiya akan dijelaskan dalam bab-bab berikutnya, seperti pengaruh pendudukan Jepang dan dinamika hubungan masyarakat dengan orang asing.
Semua asumsi di atas menyatukan dua pihak asing menjadi satu: ogai. Zending dan pemerintah kolonial Belanda berasal dari pihak yang berbeda dengan tujuan yang berbeda, namun bagi masyarakat Mee kesalahan ini dibagi dan
37 Istilah ogai berarti Tuan, dan digunakan untuk merujuk orang yang memiliki posisi dan status sosial yang tinggi. Namun dalam konteks ini ogai
dipakai untuk merujuk pada orang-orang asing.
38 Albert, op.cit.,hlm. 118 38 Albert, op.cit.,hlm. 118
1.2 Rumusan Masalah
Sehubungan dengan latar belakang tersebut, penelitian ini hendak mengangkat dan menjawab 3 pertanyaan berikut:
1. Bagaimanakah hubungan zending dengan pemerintah kolonial Belanda sebelum Perang Obano dimulai?
2. Bagaimanakah hubungan pemerintah kolonial Belanda dengan masyarakat Mee?
3. Bagaimana masyarakat menilai hubungan zending dengan pemerintah kolonial dan apakah hubungannya dengan serangan yang kemudian terjadi?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Akademis
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah menggali pentingnya faktor hubungan antara pemerintah kolonial Belanda-zending-masyarakat Mee dalam menyebabkan terjadinya Perang Obano. Selain itu analisa yang diberikan Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah menggali pentingnya faktor hubungan antara pemerintah kolonial Belanda-zending-masyarakat Mee dalam menyebabkan terjadinya Perang Obano. Selain itu analisa yang diberikan
1.3.2 Tujuan Praktis
Secara praktis, tujuan yang ingin dicapai oleh penelitian ini adalah ikut menyumbang bagi bertambahnya penelitian dan penulisan narasi sejarah lokal yang selama ini sering dianggap kalah penting dari sejarah nasional.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya penulisan dan narasi sejarah lokal yang saat ini sedang diusahakan untuk dikembangkan dalam bidang keilmuan sejarah Indonesia. Penelitian ini juga akan menyediakan narasi alternatif tentang pemerintah kolonial Belanda di Papua.
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penulisan ini antara lain memberikan pemahaman lebih jauh tentang proses Kristenisasi dan posisi lembaga penginjilan Kristen dalam kolonialisme di Indonesia, dalam hal ini di daerah Paniai.
1.5 Tinjauan Pustaka
Isu sentral yang ingin diperhatikan serta diamati lebih jauh adalah apa yang dikatakan oleh para penulis tentang penyebab perang Obano dan sehubungan Isu sentral yang ingin diperhatikan serta diamati lebih jauh adalah apa yang dikatakan oleh para penulis tentang penyebab perang Obano dan sehubungan
Mengenai Perang Obano dan penyebabnya sendiri telah ditulis oleh Albert Keiya Perang Obano tahun 1956: Suatu Tinjauan Sejarah dan Pengaruhnya
dalam Pertumbuhan Gereja di Daerah Obano. 39 Penulisan ini menguraikan Perang Obano dalam hubungannnya dengan sejarah masuknya Gereja Kingmi di
Paniai. Meski ia memberikan penyebab langsung Perang Obano, ia tidak menggambarkan hubungan pemerintah kolonial–zending–masyarakat Mee dan menggali lebih dalam factor-faktor penyebab peristiwa tersebut.
Selain itu Perang Obano juga diceritakan dalam buku Gotay Ruben Pigay Mungkinkah Nilai-nilai Budaya Hidup Suku Mee Bersinar Kembali? 40 Pigay
merupakan saksi mata yang melihat Perang Obano secara langsung dan sama seperti Keiya, ia pun menceritakan kembali peristiwa tersebut tetapi tidak menganalisa secara mendalam kontribusi kaum zending sebagai faktor yang menyebabkan perang Obano.
Hal baru yang ingin dicapai oleh penelitian ini adalah pengertian mengenai bagaimana hubungan pemerintah kolonial Belanda–zending–masyarakat Mee sebelum tahun 1956 dan kontribusinya sebagai faktor penyebab perang Obano.
39 Ibid.,
40 Gotay., loc.cit
1.6 Landasan Teori
Dalam melihat hubungan pemerintah kolonial-zending-masyarakat Mee seperti yang telah disebut di atas ini pendekatan yang akan dipakai adalah pemikiran Louis Althusser tentang fungsi Repressive State Apparatus (RSA, Aparatur Negara yang Represif) dan Ideological State Apparatus (ISA, Aparatur Negara Ideologis) dalam reproduksi hubungan produksi, yang pada akhirnya bertujuan untuk memastikan keberlangsungan dominasi kelas borjuis yang berkuasa dalam sebuah masyarakat kapitalis.
Althusser berangkat dari pemikiran Marx tentang pertentangan antara kaum proletar dan borjuasi, dan asumsi bahwa negara merupakan alat represi kelas yang
berkuasa. 41 Negara (the State) disebut Repressive State Apparatus (RSA), untuk menyebut aparat yang dikuasai oleh kelas yang berkuasa untuk mempertahankan
kekuasaan kelas tersebut dengan menggunakan kekerasan. 42 Di samping itu masih ada Ideological State Apparatus (ISA), yang ada dengan tujuan yang sama dengan
RSA namun bergerak di wilayah yang ideologis. 43 Selain ruang gerak dan cara yang dipakai untuk mendukung kelanggengan
kekuasaan, ISA juga berbeda dengan RSA karena ISA bisa saja merupakan lembaga-lembaga atau wadah yang non-pemerintah. Termasuk RSA antara lain
41 Lihat Louis Althusser, 1971, Ideology and Ideological State Apparatuses, diunduh
dari http://www.marxists.org/reference/archive/althusser/1970/ideology.htm ,
pada tanggal 12 Maret 2011
42 Lihat ‘Louis Althusser’, http://www.marxists.org/glossary/people/a/l.htm , diunduh tanggal 12 Maret 2011
43 Ibid., 43 Ibid.,
maupun institusi yang dimiliki atau dijalankan oleh swasta. Terpisah dari semua perbedaan itu RSA dan ISA dihubungkan oleh satu benang merah yang menjadi inti dari keberadaan mereka: fungsi. Fungsi semua aparat ini sesuai dengan pihak yang berkuasa, karena itulah Althusser menulis ‘apakah lembaga-lembaga ini swasta atau publik tidaklah penting, yang penting
adalah bagaimana mereka berfungsi’. 46 Fungsi kedua lembaga ini terpisah dari sifatnya yang berbeda adalah menjamin kelanggengan kekuasaan pihak yang
berkuasa. Dalam penelitian ini, yang diambil bukanlah fokus pada pentingnya reproduksi hubungan produksi, namun mengenai pertentangan antara pihak yang berkuasa dengan semua aparatnya versus pihak yang dikuasai. Demikian juga mengenai apa fungsi dan gerak ISA dan RSA dalam konteks kolonialisme Belanda akan dipakai untuk menganalisa hubungan pemerintah kolonial-zending- masyarakat suku Mee.
1.7 Metode Penelitian
Metode yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah studi pustaka dan wawancara. Dalam studi pustaka sumber yang akan dicari adalah sumber primer yang berupa surat menyurat para pekerja zending yang bisa dipakai untuk melihat
44 Althusser., op.cit.,
45 Ibid.,
46 Ibid.
hubungan mereka dengan masyarakat Mee dan pemerintah Belanda. Setelah pengumpulan data dilakukan dan ditemukan relevan, semua data yang ada diverifikasi dan diinterpretasi. Verifikasi dilakukan dengan melihat sumber- sumber lain yang ada dan dipakai. Interpretasi dan analisa data digunakan untuk membentuk kesimpulan penelitian.
Studi wawancara dilakukan untuk memperoleh data tentang pandangan dan hubungan orang Mee dengan pekerja zending dan pemerintah Belanda sekitar tahun 1956. Dalam studi ini selain mencari orang-orang yang menjadi saksi Perang Obano 1956, digunakan juga metode oral history karena sebagai masyarakat yang tidak memiliki budaya menulis, sejarah dan pengetahun diwariskan secara lisan terhadap generasi berikut orang Mee.
1.8 Sistematika Penulisan
Penulisan hasil penelitian ini dimuat dalam lima bab secara berurutan sebagai berikut, Bab I akan berisi Pendahuluan yang memuat latarbelakang, rumusan masalah dan metode yang dipakai selama penelitian ini. Bab II akan menguraikan hubungan pemerintah kolonial Belanda dengan masyarakat Mee sebelum Perang Obano. Bab III menguraikan hubungan zending dengan pemerintah kolonial Belanda sebelum Perang Obano. Bab IV berisi analisa pandangan masyarakat Mee tentang hubungan kaum zending dengan pemerintah kolonial dan bagaimana hubungan tersebut berperan dalam menjelaskan serangan terhadap zending pada Perang Obano dan Bab V merupakan penutup berisi kesimpulan dan saran.
BAB II PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA DAN MASYARAKAT MEE
1938-1956
2.1. Pemerintah Kolonial Belanda di Nieuw Guinea Belanda
Kehadiran administrasi Belanda di Nieuw Guinea Belanda adalah kehadiran yang luar biasa tertunda. Nieuw Guinea Belanda merupakan wilayah yang sudah
diakui sebagai milik Belanda dari tahun 1814. 47 Pengakuan ini mengamankan wilayah New Guinea Belanda dari gangguan negara Barat lain. 48 Pengakuan itu
tidak berarti banyak bagi orang Nieuw Guinea Belanda hingga tahun 1884 ketika Jerman mulai mengklaim utara Nieuw Guinea Belanda. 49 Tahun 1884 penting
bagi pemerintah Belanda karena setelah Konferensi Berlin semua negara induk (yang notabene adalah para penjajah) merumuskan prinsip yang mengharuskan
adanya pemerintahan kolonial yang efektif di wilayah jajahan. 50 Adanya prinsip tersebut dan kesadaran bahwa kekuatan Eropa lain mulai menunjukkan
ketertarikan pada wilayah ini mendorong Belanda untuk mulai mewujudkan klaimnya. 51
47 Schoorl, op.cit., hlm. 2
48 Perjanjian ini memang hanya merupakan perjanjian bilateral antara Inggris dan Belanda, namun sejujurnya, yang diperlukan pada titik ini hanya pengakuan
dari Inggris untuk mengamankan wilayah ini, karena hanya kedua pihak inilah yang memperebutkan klaim wilayah Nusantara.
49 Schoorl, loc.cit.
50 Lihat Marieke Bloembergen, 2011, Polisi zaman Hindia Belanda: Dari Kepedulian dan Ketakutan, Jakarta: Kompas & KITLV, hlm. xxxvii
51 Schoorl, loc.cit.
Klaim ini sendiri sulit untuk dijelaskan pengaruhnya bagi orang Papua. Jaarsma tepat ketika menyatakan ‘sebelum Perang Pasifik, Nieuw Guinea Belanda
memiliki posisi yang sangat marjinal.’ 52 Bentuk klaim Belanda adalah adanya pos-pos pemerintah, namun selain itu kendali pemerintah atas wilayah ini tidak
solid. De Wolf & Jaarsma melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa sebelum perang Pasifik ‘sebagian besar wilayah pulau tersebut masih di luar
kendali teratur (pemerintah).’ 53 Yang relevan bukanlah sejauh apa pemerintah kolonial Belanda berhasil dalam hal wilayah kekuasaannya, tetapi seberapa
‘terasa’ kehadiran mereka di wilayah di mana mereka menunjukkan klaimnya dengan mendirikan pos-pos pemerintahan.
Onderafdeling Wisselmeren merupakan wilayah di pedalaman Nieuw Guinea Belanda yang mencakup Danau Paniai, Danau Tage dan Danau Tigi.
Wilayah ini ditemukan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1936. 54 Pada tahun 1938 Jan van Eechoud mendirikan pos pemerintah di Enarotali. 55 Setelah pos ini
didirikan, administrasi Belanda mulai bekerja di wilayah Wisselmeren.
52 Lihat J.J. de Wolf dan S.R. Jaarsma, Colonial ethnography: West New Guinea (1950-1962) dimuat dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde
148 (1992), no: 1, Leiden, hlm. 109. Istilah ‘marjinal’ berarti bahwa Nieuw Guinea Belanda tidak memperoleh perhatian dari pemerintah Belanda dan karenanya tidak menjadi sasaran dari kebijakan-kebijakan kolonisasi Belanda.
53 Ibid.
54 Lihat P.J. Drooglever, 2010, Tindakan Pilihan Bebas! Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri, Yogyakarta: Kanisius , hlm. 34
55 Lihat Benny Giay, 1995, Zakheus Pakage and His Communities: Indigenous Religious Discourse, Socio-political Resistance, and Ethnohistory of
the Me of Irian Jaya. PhD Dissertation, Department of Cultural Anthropology/ Sociology of Development. Free University: Amsterdam, hlm. 26
2.2. Masyarakat Mee dan Wisselmeren Sebelum Kehadiran Pemerintah Belanda
Mee merupakan sebutan yang diberikan untuk masyarakat yang menghuni daerah sekitar Danau Paniai. Pada zaman Belanda, danau ini disebut Danau Wissel, sesuai dengan nama pilot pertama yang berhasil mengambil foto udara
danau ini (Wisselmeren: Danau Wissel). 56 Sebelum kehadiran pemerintah Belanda dan misi/zending daerah ini memiliki cara hidup yang kemudian berubah seiring
dengan kehadiran pihak asing tersebut. Kekerabatan orang Mee patrilineal, di mana pernikahan mengharuskan perempuan untuk mengikuti keluarga suaminya, dan umumnya memiliki struktur
sosial masyarakat yang patriarkal poligini. 57 Dalam sebuah kelompok masyarakat, nilai-nilai yang ada diterapkan dengan ketat, 58 hukum dan ketertiban diatur oleh seorang pemimpin yang kaya (tonawi). 59 Adanya nilai-nilai ini menghambat
perpindahan ke agama Kristen (baik Katolik maupun Protestan), karena dianggap cukup dan sudah memuaskan kebutuhan masyarakat akan ketertiban.
56 Benny, loc.cit.
57 Leopold Pospisil, 1958, Social Change and Primitive Law: Consequences of a Papuan Legal Case dimuat dalam American Anthropologist, New Series, vol.
60, No. 5 (Okt., 1958) hlm. 832-837. Hlm. 832
58 Gotay, op.cit. hlm. xiii. Gotay menyebut ketentuan-ketentuan ini, yakni Akaitai, akukai ibo eyaikai (hormatilah ayahmu dan ibumu), Me tewagi (jangan
membunuh), Puya mana teyawagai (jangan berdusta), Mogai tetai (jangan berzinah), Oma temoti (jangan mencuri), Puya daa (jangan berbohong), Meka yagamo, kibigi tegai (jangan mengingini istri sesamamu), Meka yame, kibigi tegai (jangan mengingini suami sesamamu) Meka owa, kibigi tegai jangan mengingini rumah sesamamu, Meka tai kibigi tegai (jangan mengingini kebun sesamamu) dan Meka muniya agiyo kigibi tegai (jangan mengingini harta sesamamu).
59 Pospisil, loc.cit.
Selain keberadaan Tonawi, setiap orang Mee dalam masyarakatnya memiliki posisi yang relatif setara. Tonawi merupakan orang yang paling berpengaruh dalam masyarakat, dan wibawanya ia peroleh berdasarkan kekayaannya. Mege (kulit kerang yang berperan sebagai uang) merupakan komoditi yang terbatas sebelum kehadiran Barat, dan posisi seorang tonawi
bergantung pada sistem ekonomi yang berpusat pada mege ini. 60 Salah satu indikasi lain dari kekayaan adalah kepemilikan babi, yang merupakan sumber
protein utama dalam konsumsi masyarakat Mee. 61 Hanya orang yang memiliki babi yang bisa terlibat dalam kelompok yang
memakai mege. 62 Sebagian besar masyarakat Mee berprofesi sebagai petani. Biasanya satu keluarga memiliki 3-4 kebun. 63 Berburu dan mencari ikan
dilaksanakan namun terbatas hanya untuk subsistensi, umumnya makanan merupakan sayur-sayuran dan daging babi, seperti telah disebutkan sebelumnya, menjadi sumber protein yang jarang dikonsumsi karena fungsinya yang cenderung
sebagai investasi. 65 Gaya hidup seperti ini tidak menyediakan waktu luang, dan sebab itu budaya menulis tidak pernah dikembangkan.
Stratifikasi sosial di dalam masyarakat Mee terbatas pada tonawi dan rakyat biasa. Dua pihak yang berbeda ini pada perkembangan selanjutnya menanggapi
60 Dubbeldam, op.cit., hlm. 299
61 Leopold Pospisil, The Kapauku Papuans and Their Kinship Organization dimuat dalam jurnal Oceania, Vol. 30, No. 3 (Maret 1960), hlm. 188-205. Hlm.
62 Hylkema, op.cit., hlm. 234
63 Gotay, op.cit., hlm. 16
64 Hylkema, loc.cit.
65 Gotay, op.cit., hlm. 11 65 Gotay, op.cit., hlm. 11
2.3. Penguasaan Wisselmeren sebelum dan selama Perang Dunia II (1938- 1946) 66
2.3.1. Wisselmeren pada masa kekuasaan Belanda (1938-1943)
Telah disebut di bagian sebelumnya, pada tahun 1938 pos pemerintah di Enarotali dibuka, menandakan permulaan usaha Belanda untuk menyusun administrasinya di wilayah Wisselmeren. Pelaksanaan pemerintahan Belanda di Wisselmeren terhambat karena guncangnya politik internasional di Eropa karena Perang Dunia II. Pada bulan Maret 1940 pos ini ditutup karena ketidakpastian
status koloni Belanda setelah invasi Jerman. 67 Bulan Oktober 1940 pos ini kembali dibuka oleh pemerintah Belanda. 68 Pada tahun 1943, ketika Jepang
sedang mengekspansi wilayahnya di koloni-koloni negara Barat di Asia Tenggara, Nieuw Guinea Belanda tidak luput dari ekspansi tersebut. Tanggal 24 Mei 1943, dua hari setelah para pegawai Belanda dan zending dievakuasi, Jepang tiba di
Enarotali. 69 Pos pemerintah Belanda kembali ditutup dan kehadiran administrasi Belanda untuk sementara berakhir.
Karena banyaknya ‘gangguan’ dalam usaha pemerintah Belanda menguasai Wisselmeren, sulit untuk mengatakan apa yang berhasil dilakukan dan dicapai
66 Penggunaan Perang Dunia II sebagai alat untuk melakukan periodisasi di Onderafdeling Wisselmeren dilakukan karena Perang Dunia II mempengaruhi
penguasaan di wilayah ini.
67 Ibid., hlm. 27
68 Ibid.
69 Ibid., hlm. 28 69 Ibid., hlm. 28
ketertiban dan kemakmuran hidup mereka.’ 70 Pernyataan penulis ini tidak dapat diterima begitu saja, mengingat kenyataan bahwa segera setelah masa Belanda ini
hadir para tentara Jepang dan dengan demikian perbandingan dibuat. Sebelum tahun 1943 pun, ada penolakan terhadap kehadiran Belanda. Penolakan itu diekspresikan dengan pemberontakan di Kebo pada tahun 1939 yang kemudian dihentikan dengan kekerasan khas penjajah, pada akhir usaha untuk menghentikan
pemberontakan ini Kebo hancur. 71 Kesimpulan yang dapat diambil dari pernyataan Pigay adalah bahwa hingga
tahun 1943, Pemerintah Belanda belum melakukan intervensi yang relevan pada hidup masyarakat Mee. Intervensi yang ada dilakukan karena ada penolakan terhadap kehadiran ogai dan bukan karena hal-hal yang disebabkan oleh pemerintah Belanda. Penolakan ini terbatas pada suatu daerah, dan di tempat lain termasuk di kampung Pigay, kehadiran Belanda tidak dianggap sebagai masalah. Ini tidak berarti banyak, tapi pada skala minimal ini menunjukkan bahwa Belanda belum mulai ikut campur dalam perang antarkampung, atau mengganggu posisi para tonawi maupun menuntut ketaatan dari masyarakat dengan menggunakan kekerasan.
70 Gotay, op.cit., hlm. 36
71 Benny, op.cit., hlm. 48
2.3.2. Wisselmeren pada masa kekuasaan Jepang (1943-1946)
Dominasi Belanda di Nieuw Guinea terhenti sementara pada masa Perang Dunia II. Nieuw Guinea Belanda turut diincar Jepang dalam usaha mereka untuk membuat persemakmuran, dan turut menjadi wilayah sengketa dalam Perang Pasifik. Dalam hal durasi, keberadaan Jepang di Nieuw Guinea Belanda berlangsung lebih singkat daripada pemerintah Belanda, namun kehadiran mereka dan dampaknya menggema dalam ingatan orang Mee.
Kehadiran Jepang di Nieuw Guinea Belanda dimulai pada April 1942. 72 Sama seperti Belanda, penguasaan ini dimulai dengan pengambilalihan daerah-
daerah yang berada di sepanjang pantai utara Nieuw Guinea Belanda. Intervensi Sekutu yang dimulai pada paruh pertama 1944 mengakhiri semua niat Jepang untuk memperluas dan memperlama dominasi mereka di Nieuw Guinea Belanda. Pada akhir Perang Dunia II hanya ada dua onderafdelling yang masih menjadi
milik Belanda yakni Onderafdelling Merauke dan Boven-Digul. 73 Belanda sendiri baru mulai kembali secara resmi menjalankan pemerintahan ini (tanpa campur
tangan Sekutu) pada Juli 1946. 74 Kehadiran Jepang di seluruh Nieuw Guinea Belanda (kecuali di dua
onderafdelling yang telah disebut) tidak terbantahkan. Hal ini benar bukan hanya dalam hal klaim secara wilayah namun juga bahwa kehadiran fisik mereka ‘terasa’. Jepang tidak ragu dalam menjalankan otoritas mereka, Drooglever
72 Drooglever, op.cit., hlm. 75
73 Schoorl, op.cit., hlm. 4 Dua onderafdelling ini karenanya adalah pengecualian pos terakhir Belanda yang tidak berhasil diambil alih oleh Jepang
selama keberadaan mereka di Nieuw Guinea Belanda.
74 Drooglever, op.cit., hlm. 90 74 Drooglever, op.cit., hlm. 90
Guinea Belanda, namun tidak terbatas hanya pada daerah itu. Orang Mee di Onderafdeling Wisselmeren juga mengalami kekerasan yang sama. Jepang merupakan penjajah yang efektif, dalam waktu kurang dari tiga tahun mereka berhasil menebar lebih banyak kebencian daripada kehadiran pemerintah Belanda sebelumnya. Kehadiran Jepang dimulai dengan awal yang
tidak baik, mereka mengancam masyarakat karena tidak bekerjasama. 76 Ketidakmampuan Jepang memperoleh informasi tentang keberadaan J.V. De
Bruijn 77 menyebabkan masyarakat menjadi korban. Beberapa desa di Komopa dibakar dan ada masyarakat yang dibunuh; Jepang menyalahkan masyarakat Mee
karena tidak memberi informasi yang dapat membantu mereka menangkap De Bruijn. 78 Di luar itu sejumlah masyarakat dibunuh dan juga dilakukan
pemerkosaan oleh para tentara Jepang. 79 Selain kekerasan yang dialami masyarakat, kehadiran Jepang juga
berdampak pada kehidupan ekonomi masyarakat. Selama tentara Jepang tinggal di wilayah Wisselmeren, kehidupan mereka ditopang oleh masyarakat. Ini bencana bagi orang Mee, yang karena kehadiran Jepang tidak dapat bertani seperti biasa
75 Ibid., hlm. 80-81
76 Benny, op.cit., hlm. 29
77 Kontrolir Belanda yang bertahan di wilayah hutan Wisselmeren selama setahun setelah invasi Jepang di Wisselmeren sebelum bergabung dengan para
pegawai pemerintah lain di Australia.
78 Benny, loc.cit
79 Gotay, op.cit., hlm.38-39 79 Gotay, op.cit., hlm.38-39
membuat perahu untuk tentara Jepang, 81 menjauhkan mereka bukan hanya dari kegiatan ekonomi, namun juga mengganggu apa yang sudah menjadi bagian dari
kehidupan sehari-hari. Penolakan terhadap Jepang lebih dari sekedar penolakan terhadap ogai dan segala perubahan yang dibawa ogai, penolakan terhadap Jepang merupakan usaha untuk mengusir orang-orang yang mengancam hidup dan penghidupan orang Mee, secara harfiah. Orang Mee dari berbagai kampung bersatu dan kemudian