Tafsir bi al-Ma’tsur

KATA PENGANTAR
Al-quran memeperkenalkan dirinya antara lain sebagai
hudan li al- nas dan sebagai kitab yang diturunkan agar
manusia keluar dari kegelapan QS (14-1). Melalui kitab suci AlQurán, manusia dihrapkan dapat menyelesaikan berbagai
masalah

mereka

dan

menemukan

jalan

keluar

bagi

penyelesaian problem-problem yang mereka hadapi QS
(2:213).Agar Al-Quran berguna sesuai dengan fungsi-fungsi
yang digambarkan diatas, Al-Qurán perlu dipelajari dan

dipahami (QS 38: 29), sehingga kita dapat menentukan
petunjuk-petunjuk Allah SWT yang bisa mengantarkan kita
kepada kehidupan yang bahagia dunia dan akhirat.
Memahami Al-Qurán tentu membutuhkan penafsiran,
kebutuhan terhadap penafsiran ini sangat mendesak mengingat
sifat redaksinya yang beragam, yakni ada yang jelas dan rinci,
ada pula yang samar dan global , ada yang mutlak dan
muqayyad, ada yang aam dan khas. Jangankan yang samar
yang jelas sekalipun kita masih membutuhkan penafsiran.
Rasulullah SAW sebagai pihak yang menerima Al-Qur’an,
mendapat tugas untuk menjelaskan maksud ayat-ayat AlQur’an QS 16: 44 . Penegasan ini memberi petunjuk bahwa
penjelasan-penjelasan Rasul pasti benar karena sifatnya yang
ma’shum terpelihara .
Tafsir sebagai upaya memahami Al-Qurán telah dimulai
sejak

masa

Rasulullah


SAW

berlanjut

hingga

generasi

sesudahnya, yakni masa sahabat, tabi’in, tabi tabiín sampai saat
ini Dari sini mutlak perlu untuk memperhatikan penjelasanpenjelasan

nabi

tersebut

ketika

menafsirkan

Al-Qurán,

i

sehingga

tidak

terjadi

penafsiran

yang

bertentangan

dengannya. Namun penjelasan nabi tersebut tidak banyak yang
kita ketahui. Sampai saat ini, bukan saja karena sedikitnya
riwayat-riwayat tafsir dari generasi sesudah masa nabi sampai
ketangan kita, tetapi juga karena Rasul SAW tidak menfsirkan
seluruh ayat Al-Qurán.
Kegiatan penafsiran Al-Quran yang terus berlanjut

sampai saat ini, sangat terkait dengan tafsir bil ma’tsur / tafsir
nabi, selain nabi sebagai peletak dasar ilmu tafsir, tafsir juga
sangat terkait dengan riwayat-riwayat yang mengandung sebab
nuzul nasakh mansukh, Qiraát dan Maghazi, yaitu bidangbidang yang tidak bisa di nalar tapi ditemui langsung dari
rasululllah SAW. Oleh sebab itu tafsir bil ma’tsur harus benarbenar dukuasai mahasiswa. Kenyataanya banyak kendala yang
dihadapi mahasiswa untuk menguasai ilmu tafsir. Diantaranya:
pertama, kurangnya penguasaan mahasiswa terhadap bahasa
arab, sehingga mereka menemuikesulitan ketika membaca
literature tafsir yang berbahasa arab. kedua, kurangnya buku
ajar sebagai referensi yang berbahasa Indonesia yang bisa
dirujuk oleh mahasiswa.
Semua

kendala

ini

akan

memperlambat


proses

pembelajaran di fakultas dan memperlemah pemahaman alQurán, pada gilirannya kelemahan ini akan memperlemah
pemahaman masyarakat dan umat islam. Padahal Al-Quraán
harus menjadi pedoman hidup ketika menghadapi berbagai
rintangan dan mencari solusinya demi mencapai kebahagiaan
dunia dan akhirat.
Buku tafsir nabi ini ditulis sebagai bahan ajar atau
referensi bagi mahasiswa strata satu atau siapa saja yang
ii

berminat memperdalam pemahamannya dalam bidang tafsir,
khususnya tafsir nabi. Diharapkan buku ini bisa meminimalisir
berbagai

kendala

yang


menghambat

mahasiswa

untuk

memahami ilmu-ilmu dasar penafsiran Al-Qurán.

iii

iv

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur ân selain berfungsi sebagai bukti kebenaran
risalah Nabi besar Muhammad saw., juga berfungsi sebagai
petunjuk kepada seluruh manusia (QS. al-Isrâ 17/9 dan alBaqarah 2/185). Setiap muslim wajib memahami al-Qur an,
karena ayat-ayatnya tidak hanya diturunkan khusus untuk

orang-orang Arab di zaman Nabi saw., tetapi juga untuk orangorang di masa kini dan sesudahnya sampai hari kiamat.
Manusia
diperintahkan
untuk
memikirkan
isi
kandungan al-Qur ân sesuai dengan akal dan pikiran mereka.
Memahami al-Qur ân sangat penting karena al-Qur ân sebagai
kitab suci menempati posisi sentral dalam perkembangan dan
pengembangan ilmu-ilmu keislaman. al-Qur ân adalah
pedoman dan pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang
sejarah. Pemahaman al-Qur ân melalui penafsiran memegang
peranan penting bagi maju mundurnya umat Islam.1
Disisi lain, pemahaman al-Qur ân dan penafsirannya
terkait erat dengan pemahaman tentang ilmu qirâ at (bacaan alQur ân yang bermacam-macam disamping ilmu-ilmu lain
seperti sejarah al-Qur ân, Ulum al-Qur ân dan kaidah-kaidah
tafsir.
Ketika Allah SWT. menyatakan dengan firmannya QS.
Ibrahim 14/4:


1

Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung, Mizan, 1994, h 83

1

             
       
Artinya: Kami tidak mengutus seorang Rasulpun, melainkan
dengan bahasa kaumnya, supaya
       
Artinya:

Dan Sesungguhnya Telah kami mudahkan ‚l-Qurân
untuk pelajaran, Maka Adakah orang yang
mengambil pelajaran? (QS. al-Qamr: 17)

Itulah sebabnya Allah SWT menurunkan al-Qur ân
dalam berbagai ragam bahasa Arab yang mereka kenal, karena
masih serumpun, meskipun dialek, dan logatnya berbeda-beda.

Rasul Saw membacakan al-Qur ân kepada mereka dengan
bacaan yang memudahkan bagi setiap kabilah untuk
membacanya, yaitu dengan bacaan yang sesuai dengan logat
dan dialek mereka.
Para sahabat menerima bacaan tersebut dari Nabi Saw.
Meriwayatkannya tanpa melalaikan sedikitpun kalimat, huruf
atau harakat yang diterima dari Rasul. Dari para sahabat inilah
berbagai macam qiraat disampaikan secara turun-temurun dari
mulut ke mulut (‫ )التلقى المشاف ة‬sampai saat ini. Dengan cara ini
pula qirâ at-qirâ at tersebut dipelihara dan dapat dilestarikan
keberadaanny sampai kini.
Begitu ketatnya sahabat menjaga otentisitas bacaan alQur ân, terlihat pada sikap Umar bin Khatab ketika mendengar
seorang sahabat bernama Hisyam bin Hakim yang ketika itu
menjadi imam shalat, membaca surah al-Furqon dengan qirâ at
selain qirâ at yang diketahuinya, ia segera bereaksi. Begitu
2

selesai sholat, Umar langsung menyeret Hisyam kehadapan
Rasul dan mengadukan bacaan Hisyam kepada Rasulullah
Saw. Setelah mendengar langsung bacaan masing-masing, Nabi

kemudian membenarkan bacaan keduanya, seraya bersabda:
‚l-Qur ân ini diturunkan ala sab ah ahrufin bacalah darinya
yang memudahkan bagimu membacanya. 2
Dari paparan diatas biasa dikatakan bahwa selama
qirâ at itu memang bersumber dari Nabi dan diizinkan Nabi
membacanya atau selama para qurra itu hanya mentransfer
bacaannya dari Nabi, bukan hasil ijtihad mereka, maka semua
bacaan itu meskipun bermacam-macam tetap pastinya adalah
kalamullah.
Berbagai qirâ at tersebut memang dinisbahkan kepada
orang-orang tertentu seperti qirâ at Nâfi , Ibnu Katsir, Âshim,
Qôlun, dan lain-lain. Namun penisbahan ini bukanlah karena
qira at itu hasil ijtihad mereka tapi adalah hasil pilihan mereka
terhadap qirâ at yang beragam itu disamping upaya mereka
mendalami qirâ at yang menjadi pilihan mereka tersebut,
mereka juga selalu membacanya dan menyebar luaskannya
kepada masyarakat, sehingga akhirnya bacaan itu dinisbahkan
kepada mereka.
Maka sungguh keliru orang-orang yang menyangka
bahwa bacaan al-Qur ân yang beragam itu muncul karena

perbedaan bahasa dan logat semata atau karena tulisan-tulisan
al-Qur ân itu pada mulanya tidak bertitik dan tidak berbaris.
Thoha Husein misalnya mengatakan bahwa Qirâ at sab ah
bukan bersumber dari wahyu, sehingga orang yang
mengingkarinya tidak menjadi kafir. Menurutnya sumber

2

Shahih al-Bukhari, Kitab al-khusumat,Bab Fadhail Al-Qur’an jilid 5, h.

27.

3

qirâ at adalah perbedaan lahjah (logat) sehingga boleh diingkari
dan diperdebatkan.3
Perbedaan qirâ at di antara para ulama ahli qirâ at
ternyata berimplikasi kepada perbedaan penafsiran al-Qur ân.
Karena bentuk kosa kata yang memiliki beberapa kemungkinan
bacaan juga memiliki kemungkinan beberapa makna.
Seperti, ‫ ننشرها‬yang bermakna kami menghidupkannnya dan
kata ‫ ننشزها‬yang brmakna kami menyusu/membalut (tulangtulang) nya, (QS. Al-Baqarah: 2/259). kata ‫ مالك‬yang bermakna
pemilik dan ‫ ملك‬yang bermakna raja. Kata ‫ امستم‬yang bermakna
saling bersentuhan dan kata ‫ لمستم‬yang bermakna (hanya)
bersentuhan saja. Bentuk baku dari kata nunsyiruhâ tanpa titik
dan harokat. Jika diberi harokat dan titik bisa dibaca menjadi
nunsyiruhâ atau nunsyizuhâ arti kedua kasa kata ini jadi berbeda
meskipun bentuk/struktur asli tulisannya sama. Begitu juga
kata maliki dan mâliki, ditulis dalam satu bentuk tulisan,
meskipun bisa dibaca dalam dua bacaan yang berbeda, yang
memiliki arti yang juga berbeda. Kosa kata lamastum dan
lâmastum bukan hanya bisa dibaca dengan bacaan berbeda,
meskipun bentuk baku kosa katanya adalah sama, tapi juga
berdampak pada perbedaan hukum dari masing-masing
bacaan. Kata lâmastum antara suami istri mewajibkan keduanya
mandi junub. Sedangkan bacaan lamastum tanpa alif hanya
mewajibkan
wudhu .
Perbedaan
bacaan
ini
selain
menimbulkan perbedaan penafsiran juga menimbulkan
perbedaan hasil dari istinbath hukum dari bacaan-bacaan
tersebut.4

3

ThohaHusein, Al-AdabAl-Jahili, h.98-99. At-Thohawi mengomentari alahruf as-sab’ah, ia mengatakan ahruf as-sab’ah adalah rukhsoh (keringanan), karena
sulit bagi seseorang membaca dengan lafaz yang sama, karena mereka tidak pandai
memahami tulisan. Kemudian qira’ah sab’ah dinasah dengan hilangnya kesulitan
yang mereka hadapi diawal Isalam dan diperolehnya kemudahan dalam tulisan.
4
Lihat selengkapnya Ibn ‘Âsyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr Jilid 1 h. 55.

4

Begitu pentingnya pengetahuan tentang qirâ at terhadap
penafsiran dan pengambilan hukum dari ayat-ayat suci alQur an, sehingga membuat para ulama qirâ at sejak abad kedua
hijriyah-diantaranya Abu Syamah al-Dimasqi (w. 665/1266 H)
sudah membuat rumusan tentang ilmu qirâ at dan
menjadikannya bagian dari ilmu ulum al-Qur ân, dengan
menulis buku yang khusus membahas ilmu qira at, yang
berjudul Ibraz Al-Ma âni min Hirz al-‚many fi Qirâ at al-Sab ah Ii
al-Imam al-Syathibi 5
Sampai saat ini masih banyak diantara ulama tafsir
yang sangat memperhatikan perbedaan qirâ at dalam tafsirnya.
Muhammad al-Thahir bin Muhammad bin Muhammad alThahir bin Asyur al-Tunisi (1296-1393 H/ 1879-1973 M) adalah
termasuk salah seorang ulama tafsir yang memperhatikan
masalah qira at dan pengaruhnya terhadap penafsiran alQur an. Karyanya dalam bidang tafsir yang berjudul al-Tah}rir
wa al-Tanwir atau biasa dikenal dengan tafsir Ibnu ‚syur,
banyak membahas perbedaan qira at dalam menafsirkan ayatayat al-Qur an. Dalam muqaddimah kitab tafsirnya beliau
membahas tentang qira at dan pengaruhnya terhadap
penafsiran al-Qur an. Menurut Ibn Asyur hubungan antara
qira at dan tafsir dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok,
pertama, qira at yang tidak ada korelasinya dengan tafsir. Kedua,
qira at yang ada korelasinya dengan tafsir.6
Jenis pertama, yaitu perbedaan qira at yang tidak
mempengaruhi penafsiran, diantaranya hanya disebabkan
perbedaan pengucapan huruf, harokat, mad (panjang dan
pendeknya bacaan), al-Imalah, al-Takhfif, al-Tashil, al-Tah}qiq, al-

Abu syamah al-Dimasyqiy,Ibraz Al-Ma’ani min Hirz al-Amany fi Qira’at
al-Sab’ah Ii al-Imam al-Syathibi, Mesir, Maktabah Mustafa al-Albaniy al-Halabiy
wa Auladuhu ,tth, h.12
6
Ibnu Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir Jilid 1 h. 50
5

5

Jahr, al-Hams dan al-Ghunnah. Beliau mencontohkan ayat (alBaqarah 2/254):
      
Tiga kosa kata pada ayat di atas dapat dibaca dhommah
seluruhnya atau fath}ah seluruhnya, atau dapat juga dibaca
salah satunya rofa dan yang lainnya fathah tanpa menimbulkan
perbedaan makna yang dapat mempengaruhi penafsiran alQur an.7 Sedangkan bacaan yang berpengaruh terhadap
penafsiran seperti dicontohkan beliau adalah firman Allah
pada
QS
Yusuf
/12:110
berikut
ini:
           
        
Artinya: Sehingga apabila Para Rasul tidak mempunyai harapan
lagi (tentang keimanan mereka) dan telah meyakini bahwa mereka
telah didustakan, datanglah kepada Para Rasul itu pertolongan Kami,
lalu diselamatkan orang-orang yang Kami kehendaki. dan tidak dapat
ditolak siksa Kami dari orang-orangyang berdosa .
Pada potongan ayat qod kudzibuu dapat dibaca dengan tasydid
yang bermakna mereka
z|al qod kuzǀibû
(para Rasul) telah didustakan atau tanpa tasydid zǀal
qod
kuzǀibû yang bermakna mereka orang-orang) yang berdosa
telah mendustakan Rasul. perbedaan bacaan ini terbukti
mempengaruhi penafsiran.8

7
8

6

Ibnu Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir Jilid 1 h. 50.
Ibnu Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir Jilid 1 h. 55.