52 BAB IV EPISTEMOLOGI JALALUDDIN RAKHMAT DALAM BUKUNYA TAFSIR BIL MA’TSUR : PESAN MORAL AL-QUR`AN DAN AL- THABARI DALAM KITABNYA JAMI’ AL-BAYAN FI TAFSIR AL- QUR`AN

BAB IV
EPISTEMOLOGI JALALUDDIN RAKHMAT DALAM BUKUNYA
TAFSIR BIL MA’TSUR : PESAN MORAL AL-QUR`AN DAN ALTHABARI DALAM KITABNYA JAMI’ AL-BAYAN FI TAFSIR ALQUR`AN
A. Epistemologi Tafsir bi al-Ma’tsur Jalaluddin Rakhmat dan alThabari
1. Konsep Tafsir bi al-Ma’tsur Jalaluddin Rakhmat dan al Thabari
Tafsir

bi

menurut

al-ma’tsur

Jalaluddin

Rakhmat adalah

sebagaimana ia kutip pendapat al-Dzahabi dalam bukunya al-Tafsir wa
al-Mufassirun yaitu menafsirkan al-Qur`an dengan al-Qur`an, atau
mengutip sabda Rasulullah SAW, ucapan para sahabat dan tabi’in.1
Menurutnya tafsir yang paling baik adalah menafsirkan al-Qur`an

dengan

al-Qur`an,

tetapi

melakukannya

lebih

sukar

dari

mengucapkannya. Penafsiran al-Qur`an dengan al-Qur`an tanpa
metode yang ketat akan menjerumuskan orang pada ilusi. Ia sudah
merasa

menafsirkan


kenyataannya

ia

al-Qur`an

dengan

al-Qur`an,

padahal

menghubung-hubungkan

ayat-ayat

menurut

konstruksi teoritis yang dimilikinya atau menurut seleranya sendiri.2
Hal ini dapat terjadi jika seseorang yang menafsirkan al-Qur`an

tidak mengetahui kaidah- kaidah dalam menafsirkan al-Qur`an, seperti
mengetahui bahasa Arab dengan benar karena al-Qur`an diturunkan
dengan berbahasa Arab, Ilmu Munasabah ayat yang penting untuk
Jalaluddin Rakhmat, Tafsir bi al Ma’tsur : Pesan Moral al Qur`an, (Bandung : Remaja
Rosdakarya, 1993), cet. 1, h. vi
2
Ibid.
1

52

53

mengetahui keterkaitan antara ayat dengan ayat, atau antara suatu surat
dengan surat lainnya yang mampu mengantarkan seorang mufassir
memahami al-Qur`an sehingga penafsiran al-Qur`an dengan al-Qur`an
itu dapat dilakukan.
Jalaluddin mengungkapkan pula agar terhindar dari kekeliruan
maka penafsiran al-Qur`an itu dapat dilakukan dengan melihat
peristiwa- peristiwa yang terjadi pada zaman Nabi, inilah yang ia sebut

dengan asbab al-nuzul. Dan ini termasuk salah satu cara dalam tafsir
bi al-ma’tsur. Cara lain adalah dengan mengutip peristiwa-peristiwa di
luar zaman Nabi yang digunakan para mufasir untuk menerangkan
kandungan makna al Qur`an.3 Metode inilah yang diterapkan oleh
Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Tafsir bil Ma’tsur : Pesan Moral
al-Qur`an.
Islah gusmian mengatakan bahwa karya Jalaluddin Rakhmat ini
merupakan suatu karya di bidang tafsir riwayat yang merupakan
gambaran mengenai sebab turunnya ayat yang dikutip dan menjadi
objek tafsir. Oleh karena itu, kesan yang muncul dari buku tafsir
Jalaluddin ini adalah pengemasan bentuk baru dari asbab al-nuzul.4
Proses pengemasan itu bisa dilihat misalnya ketika karya ini
menguraikan Q.S. al-Layl : 5-7.

Dalam kasus ini, diuraikan satu

peristiwa, dimana ada seorang kaya Madinah memiliki sebatang kurma
yang kebetulan pohonnya condong ke rumah orang miskin yang
3


Ibid.
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi, (Jakarta
: Teraju, 2003), h. 198-199
4

54

banyak anaknya. Sebagian buahnya berjatuhan di halaman si miskin.
Anak-anaknya yang lapar memungut dan memakannya. Ketika
menyaksikan hal itu, yang punya bergegas memungut butir kurma
yang jatuh dan merebut butir kurma yang dipegang anak itu. Dan
memasukkan jari-jarinya ke dalam mulut anak tersebut kalau ia telah
memakannya. Ia berusaha menyelamatkan setiap butir kurma yang
ada.
Si miskin mengadukan peristiwa itu pada Nabi. Nabi pun segera
menemui si pemilik pohon kurma tersebut dan membujuknya untuk
memberikan pohon yang condong ke rumah si miskin itu ia berikan
dengan balasan ia akan mendapatkan balasan pohon kurma di surga.
Namun, sang pemilik tidak mau dan pergi meninggalkan Nabi.
Abu Dahdah, seorang sahabat Nabi yang mendengar hal itu

bertanya kepada Nabi. Jika ia membeli pohon kurma itu apakah ia
akan mendapatkan pohon kurma di surga. Nabipun mengangguk.
Kemudian, Abu Dahdah membeli pohon kurma tersebut dan
menyerahannya kepada Nabi untuk diberikan pada si miskin. Maka,
turunlah surah al-Layl : 5-7. Allah memuji Abu Dahdah dan dan
mengecam pemilik kurma yang rakus. 5
Sedangkan menurut penulis tafsir bi al-ma’tsur menurut al-Thabari
dia tidak memberikan pengertian tafsir bi al-ma’tsur secara definitif.
Hal ini didasari bahwa tidak ditemukannya pengertian tersebut secara

5

Ibid., h. 199

55

tertulis. Namun, dilihat dari karyanya dapat diambil kesimpulan bahwa
tafsir bi al-ma’tsur menurut al-Thabari itu adalah sebagaimana ulamaulama yang lain yaitu menafsirkan al-Qur`an dengan al-Qur`an, alQur`an dengan Hadis Nabi, atau riwayat-riwayat dari sahabat dan
tabi’in.
Contohnya ketika menjelaskan kata alladzina yukminuna dalam Q.S. al

Baqarah : 3.
Diriwayatkan dari Muhammad bin Hamid al-Razi menceritakan
kepada kami, dia berkata : Salamah al-Fadhl menceritakan kepada
kami dari Muhammad bin Abi Muhammad pembantu Zaid bin Tsabit
dari Ikrimah, atau dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, dia berkata :

‫اَّل ِن ْي َن ُيُن ْي ِن ُنُي ْي َن‬

artinya : orang-orang yang mempercayai. Menurut orang

Arab kata “iman” berarti membenarkan, maka orang yang
membenarkan sesuatu secara lisan disebut mukmin, dan orang yang
membenarkan perkataannya dengan perbuatan disebut mukmin. Allah
SWT berfirman :

‫ِن ِن‬
‫ِن ِن‬
‫َن َن َنْي َن ُنْي ٍن اَّلَن َن اَن ْي ُن َّل َن ْي َن‬

“Dan kamu sekali-


kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orangorang yang benar.”
Jadi, menurut al Thabari orang-orang yang beriman yang dimaksud
dalam Q.S. al Baqarah : 3 tersebut adalah orang-orang yang
mempercayai baik itu secara lisan maupun perbuatan.

2. Sumber-sumber Rujukan dalam Tafsir
Rujukan utama Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Tafsir bil
Ma’tsur : Pesan Moral al-Qur`an adalah Tafsir al-Durr al-Mantsur fi
Tafsir bi al-Ma’tsur karya Jalaluddin al-Suyuthi.6 Sebuah karya yang
dinilai sebagai salah satu karya tafsir bi al-ma’tsur yang murni. Dalam
6

Ibid.

56

tafsirnya ini, ia hanya memuat hadis-hadis saja tanpa mengikutsertakan
pendapatnya.7
Jalaluddin Rakhmat memilih sumber utama dalam penafsirannya

kitab tafsir karya Jalaluddin al-Suyuthi dikarenakan kitab ini terkenal
dengan kitab tafsir bi al-ma’tsur yang banyak mengutip asbab alnuzul.
Hal ini bisa dilihat ketika menjelaskan Q.S. al Hujurat ayat 1-2
Jalaluddin mengatakan bahwa ayat ini turun karena ada rombongan
Bani Tamim menghadap Rasulullah saw. Mereka ingin memohon
kepada Nabi

untuk menunjuk pemimpin mereka. Sebelum Nabi

memutuskan siapa, Abu Bakar berkata, “Angkat al-Qa’qa’ bin Ma’had
sebagai amir.” Kata Umar, “Tidak, angkatlah al-Aqra’ bin Habis. Kata
Abu Bakar, “Kamu hanya ingin membantah aku saja.” “Aku tidak
bermaksud membantahmu,” kata Umar. Keduanya berbantahan
sehingga suara mereka terdengar makin keras.8 Maka turunlah ayat
tersebut. Ini dikutip oleh Jalaluddin dari Tafsir al-Durr al-Mantsur.
Selain itu, dia juga merujuk kepada Tafsir Majma’ al-Bayan, Tafsir
al-Fakh al Razi, Tafsir al-Qurthubi, Hayat al-Shahabah, al-Targhib
wa al-Tarhib, Tafsir al-Mizan, Tahdzib al-Tahdzib, Syarh Nahj alBalaghah, Tafsir Ibn Katsir, Tafsir al-Thabari, Kanz al-‘Ummal, alIsti’ab Homisy al-Ishabah, Usud al-Ghabah, Shahih Bukhari, Shahih

7


Sri Mahrani, Metode Jalaluddin al Suyuthi dalam Menafsirkan al Qur`an (Tinjauan
terhadap Tafsir al Durr al Mantsur fi al Tafsir al Ma’tsur), (Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN
Sultan Syarif Kasim Riau, 2011)
8
Jalaluddin Rakhmat, op. cit., h. 41

57

Muslim, Tafsir al-Baihaqi, Tafsir al-Zamakhsyari, al-Wahidi, Asbab
al-Nuzul, dan al-Syawkani.
Berbeda halnya dengan Jalaluddin Rakhmat, yang menjadi sumber
rujukan bagi al Thabari dalam menafsirkan ayat-ayat al Qur`an adalah
Hadis Nabi SAW, perkataan sahabat dan tabi’in.9
Al Thabari terkenal sebagai seorang ulama yang sangat pakar di
bidang riwayat. Banyak riwayat-riwayat dari sahabat dan tabi’in yang
diketahui. Sehingga dengan pengetahuan yang dimilikinya itulah ia
menghasilkan karyanya Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur`an.
B. Perbedaan Epistemologi Tafsir bi al-Ma’tsur Jalaluddin Rakhmat
dengan al-Thabari

Metode merupakan salah satu sarana untuk mencapai suatu tujuan
yang telah direncanakan. “Dalam kaitan ini, studi tafsir al-Qur’an tidak
lepas dari metode, yakni suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik
untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan
Allah di dalam ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW.10
Metode antara satu mufassir dengan mufassir yang lainnya berbeda
tergantung latar belakang keilmuan atau kecenderungan masing-masing
mufassir. Salahsatunya adalah al Thabari dan Jalaluddin Rakhmat. Kedua
mufassir ini sama-sama menggunakan metode tafsir bi al-ma’tsur. Namun,

Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al Thabari, Jami’ al Bayan al Ta’wil Ayi al Qur`an,
(Beirut : Dar al Fikr, 1984), h. 5
10
Sudirman, Corak dan Metode Penafsiran al Qur`an, pdf
9

58

dalam menyajikan tafsir bi al-ma’tsur tersebut terdapat perbedaan di
antara keduanya.
Perbedaan metode tafsir bi al-ma’tsur al-Thabari dengan Jalaluddin
Rakhmat dapat di lihat dari berbagai segi :
Pertama, dari segi sumber riwayatnya. Pada umumnya riwayatriwayat yang dikutip oleh al-Thabari dalam kitabnya adalah riwayat yang
berasal dari sahabat dan tabi’in. Sedangkan Jalaluddin mengutip riwayatriwayat yang berasal dari sahabat. Hal ini karena Jalaluddin memfokuskan
riwayat yang menjelaskan peristiwa apa yang terjadi pada masa Nabi yang
menjelaskan ayat tersebut. Pengutipan riwayat yang dilakukan oleh
Jalaluddin pun banyak merujuk kepada kitab Tafsir al-Dur al-Mantsur
karya Jalaluddin al Suyuthi. Kitab tafsir yang banyak memunculkan asbab
al-nuzul dalam menjelaskan al-Qur`an.
Kedua, dari segi pendekatannya. Pendekatan yang digunakan oleh alThabari

adalah

pendekatan

kebahasaan.

Pada

masa

awal-awal

perkembangan tafsir pendekatan inilah yang sangat menonjol. Para
mufasir pada saat itu ingin menampakkan sisi kemukjizatan al-Qur`an
yang sangat unggul dari segi kebahasaannya.
Sedangkan Jalaluddin Rakhmat menggunakan pendekatan historis
atau sejarah. Jalaluddin Rakhmat menggunakan asbab al-nuzul sebagai
landasan dalam memahami maksud ayat.

59

Ketiga, al-Thabari mengutip riwayat dengan sanad-sanad yang
lengkap sedangkan Jalaluddin tidak memunculkan satupun sanad dalam
riwayat yang dikutipnya.
Keempat, terhadap riwayat yang dikutip al-Thabari melakukan tarjih.
Sedangkan Jalaluddin cukup dengan menjelaskan asbab al-nuzul.
Menurut hemat penulis, Jalaluddin tidak melakukan tarjih disebabkan
riwayat yang ia kutip cukup hanya satu riwayat saja. sedangkan al-Thabari
memunculkan banyak riwayat. Dari riwayat yang banyak itulah ia
melakukan tarjih. Di mana riwayat yang menurutnya lebih kuat sehingga
pemahaman terhadap ayat tersebut dapat tercapai.

C. Pola-pola Penafsiran Tafsir bi al-Ma’tsur Jalaluddin Rakhmat dan alThabari
Berdasarkan paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa polapola penafsiran tafsir bi al-ma’tsur Jalaluddin Rakhmat dan al-Thabari
sebagai berikut :
No.

Kategori

Jalaluddin Rakhmat Al Thabari

1.

Sumber riwayat

Tafsir sahabat

Tafsir

sahabat

tabi’in
2.

Bentuk riwayat

Asbab al-nuzul

Lughawi

3.

Pendekatan

Sosio-historis

Kebahasaan

dan

60

4.

5.

Bentuk

Penyajian Sanad

riwayat

lengkap

Bentuk analisa

Memahami
peristiwa

tidak Sanad yang lengkap

dari Melakukan tarjih dari
yang berbagai riwayat

terjadi
6.

7.

Sumber rujukan

Sistematika

Tafsir al-Durr al- Riwayat dari Nabi,
Mantsur

sahabat dan tab’in.

Tematik klasik

Lengkap 30 juz.

Penyajian
8.

Bentuk Pemahaman

Konteks historis

Makna lughawi

9.

Nuansa Tafsir

Sosial

Kebahasaan

Kemasyarakatan
10.

Gaya Bahasa

Reportase

Ilmiah

Penulisan Tafsir

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa berbedanya zaman
yang dihadapi oleh seorang maka berbeda pula pendekatan yang
digunakan dalam memahami al-Qur’an. Hal ini sebagaimana yang melatar
belakangi kedua tokoh ini melahirkan karyanya.
Menurut penulis, dari tabel ini juga dapat dipahami

bahwa

epistemologi tafsir bi al-ma’tsur yang digunakan oleh Jalaluddin Rakhmat
dan al-Thabari masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.

61

Kelebihan dari epistemologi tafsir bi al-ma’tsur Jalaluddin Rakhmat
adalah mengetahui hikmah yang melatarbelakangi turunnya ayat al-Quran.
Namun, dengan ia tidak mengungkapkan sanadnya secara lengkap tidak
dapat diketahui apakah riwayat tersebut shahih atau tidak.
Sedangkan kelebihan epistemologi tafsir bi al-ma’tsur al-Thabari
dari pendekatan kebahasaan yang digunakan dapat diketahui apa yang
dimaksudkan oleh ayat tersebut, dapat diketahui makna kata yang sukar
dipahami. Meskipun demikian, dengan mengungkapkan semua riwayat
terhadap suatu ayat membutuhkan waktu yang lama pembaca dalam
memahami apa yang dijelaskan oleh ayat tersebut.

D. Aplikasi Metode Tafsir bi al-Ma’tsur al Thabari dalam kitabnya
Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur`an dan Jalaluddin Rakhmat dalam
bukunya Tafsir bil Ma’tsur : Pesan Moral al-Qur`an
Metode tafsir bi al-ma’tsur yang digunakan oleh al Thabari dalam
kitabnya Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur`an dan Jalaluddin Rakhmat
dalam bukunya Tafsir bil Ma’tsur : Pesan Moral al-Qur`an dapat di lihat
dari aplikasi penafsiran berikut ini :
1. Aplikasi Metode Tafsir bi al-Ma’tsur oleh al Thabari
Kitab tafsir karya al Thabari ini adalah kitab tafsir yang terkenal
memakai metode tafsir bi al-ma’tsur karena dalam mengemukakan
penafsiran suatu ayat, ia mengemukakan pendapat-pendapat sahabat,
tabi’in serta menyebutkan sanad-sanadnya. Kemudian men-tarjih

62

mana di antara riwayat itu yang lebih kuat, serta membahas segi-segi
i’rab yang dapat memperjelas makna ayat yang ditafsirkan, dan juga
mengemukakan istinbath hukum.11
Metode al-Thabari ini dapat dilihat ketika menjelaskan ayat Q.S.
al-Baqarah : 3. Dalam ayat ini al-Thabari menjelaskan kata per kata.
Pertama, dalam menjelaskan kata

‫اَّل ِن ْي َن ُيُن ْي ِن ُنُي ْي َن‬

diriwayatkan al-Thabari

dari jalur Muhammad bin Hammad al-Razi yang bersumber dari Ibnu
Abbas yang dimaksud dengan kata

‫اَّل ِن ْي َن ُيُن ْي ِن ُنُي ْي َن‬

adalah orang-orang

yang mempercayai.
Pada jalur al-Mutsanna bin Ibrahim dari Ishak bin al-Hajjaj dari
Abdullah bin Abu Ja’far dari bapaknya, dari Rabi’ bahwa yang
dimaksud dengan

‫اَّل ِن ْي َن ُيُن ْي ِن ُنُي ْي َن‬

adalah orang-orang yang khusyu’. Lain

pula halnya dengan riwayat Abdullah dengan jalur Ammar bin al
Hasan mengatakan bahwa Iman artinya membenarkan. Menurut orang
Arab kata “iman” berarti membenarkan, baik dengan lisan maupun
perbuatan. Allah SWT juga berfirman dalam Q.S. Yusuf : 17.
:

‫ِن ِن‬
‫ِن ِن‬
‫َن َن َنْي َن ُنْي ٍن اَّلَن َن اَن ْي ُن َّل َن ْي َن‬

Artinya : Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami,
sekalipun kami adalah orang-orang yang benar.12
11

Sarmida Hanum, op. cit., h. 17
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al Bayan al Ta’wil Ayi al-Qur’an,
diterjemahkan oleh : Ahsan Askan dengan judul : Tafsir al-Thabari, (Jakarta : Pustaka Azzam,
2011), jilid 1, h. 309
12

63

Dalam hal ini al-Thabari menekankan bahwa iman yang dimaksud
dalam ayat di atas adalah percaya. Percaya dalam bentuk pengakuan
dengan lisan dan direalisasikan dengan perbuatan.
Riwayat dari Bisyr bin Mu’adz al-Uqadi dari Yazid bin Zura’i dari
Sa’id bin Abi Arubah dari Qatadah yang dimaksud dengan

‫ُيُن ْي ِن ُنُي ْي َن ِن اْي َنْي ِن‬

‫َّل‬
‫ا ْي َن‬

dalam firman Allah tersebut yaitu mereka yang beriman

dengan surga, neraka, kebangkitan sesudah kematian, hari kiamat.
Semua itu adalah gaib.13
Ammar bin al Hasan meriwayatkan dari Abdullah bin Abu Ja’far,
dari bapaknya, dari Rabi’ bin Anas bahwa yang dimaksud dengan
firman Allah

‫اَّل ْي ُيُن ْي ِن ُنُي ْي َن ِن اْي َنْي ِن‬
‫َن‬

adalah mereka yang beriman kepada

Allah, malaikat, para Rasul, hari Kiamat, surga, neraka, pertemuan
dengan Allah, dan kehidupan setelah kematian.
Menurut al-Thabari kata gaib asalnya adalah segala sesuatu yang
tidak diketahui. Dengan demikian,

‫اَّل ْي ُيُن ْي ِن ُنُي ْي َن ِن اْي َنْي ِن‬
‫َن‬

adalah orang-

orang yang beriman kepada segala sesuatu yang tidak diketahuinya,
baik itu kepada Allah, malaikat-Nya, surga, neraka, hari kebangkitan
dan lainnya.14

13
14

Ibid., h. 312
Ibid., h. 314

64

Kata ‫َنو‬

‫الَن‬
‫َّل‬

dalam firman Allah diartikan al-Thabari dengan shalat

fardhu. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkannya dari Yahya bin Abu
Thalib dari Yazid dari Juwaibir dari al-Dhahak bahwa

‫َن ُنِن ْي ُن ْي َن َّل‬
‫الَن وَن‬

adalah shalat fardhu. Dinamai demikian menurutnya karena orang
yang shalat memperlihatkan pekerjaannya agar memperoleh pahala
dan mendapatkan apa yang dipintanya dari Allah SWT seperti orang
yang berdo’a yang memperlihatkan do’anya kepada Tuhannya agar
memperoleh apa yang dipintanya.15
Namun, dalam riwayat lain yang dikutip oleh al-Thabari
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mendirikan shalat adalah
menyempurnakan ruku’, sujud, bacaan khusyu’, dan konsentrasi
padanya.16 Dengan kata lain bahwa yang dimaksud dengan mendirikan
shalat adalah melaksanakan shalat dengan sempurna baik itu shalat
fardhu atau shalat yang lainnya.
Dalam hal ini al-Thabari melakukan tarjih terhadap riwayat yang
menurutnya

lebih

kuat.

Dengan

inilah

al-Thabari

dipandang

menggunakan ra’yinya untuk menjelaskan ayat tidak semata dengan
riwayat saja.

15
16

Ibid., h. 3 16
Ibid.

65

Selanjutnya, kata

‫َنِنِمَّل َنرَنزْيُيَنُي ُنه ْيم ُيُنْي ِنف ُن ْي َن‬

yang berbeda mufassir dalam

menjelaskannya. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
menafkahkan sebagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka
adalah mengeluarkan zakat dengan penuh kepasrahan atasnya. Hal ini
berdasarkan riwayat dari Ibnu Hamid dari Muhammad bin Ishak dari
Muhammad bin Abi Muhammad (pembantu Zaid bin Tsabit) dari
Ikrimah atau Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas.17
Sebagian mereka berpendapat adalah nafkah laki-laki atas
keluarganya berdasarkan riwayat dari Musa bin Harun dari Amru bin
Hamad dari Asbath bin Nashr dari Ismail al-Suddi dari Abu Malik,
dari Abu Shalih dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa yang
dimaksud dari ayat tersebut adalah nafkah laki-laki atas keluarganya,
dan hal ini sebelum turun perintah zakat.18
Dengan berbagai pendapat demikian, al-Thabari memahami ayat
tersebut secara umum mencakup pemberian zakat atau nafkah laki-laki
atas keluarganya, karena Allah menyebutkan sifat mereka secara
umum yaitu menyedekahkan sebagian harta yang mereka miliki. Allah
lalu memuji perilaku baik mereka, karena Allah tidak mengkhususkan
pujian mereka atas satu bentuk sedekah tertentu. Jadi, segala bentuk
sedekah termasuk dalam ayat ini.19

17

Ibid., h. 318
Ibid., h. 319
19
Ibid.
18

66

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa al-Thabari
menafsirkan suatu ayat kata per kata berdasarkan riwayat yang ada.
Sesekali menjelaskan sisi kebahasaannya. Hal ini bisa dilihat ketika
menjelaskan kata al-ghaib dan al-shalah di atas. Kemudian melakukan
tarjih terhadap riwayat yang menurut al-Thabari itu dipandang lebih
kuat kebenarannya.
2. Aplikasi Metode Tafsir bi al-Ma’tsur oleh Jalaluddin Rakhmat
Tafsir bil Ma’tsur : Pesan Moral al-Qur`an termasuk salah satu
karya di bidang tafsir yang memakai metode tafsir bi al-ma’tsur. Hal
ini bisa di lihat dari judul buku itu sendiri yaitu Tafsir bil Ma’tsur :
Pesan Moral al-Qur`an. Tidak hanya itu saja, dalam menjelaskan ayatayat al-Qur`an yang ditafsirkan dalam buku ini Kang Jalal, yang
merupakan panggilan akrabnya mengemukakakan riwayat-riwayat
yang terkait.20
Riwayat-riwayat yang dikutip oleh Kang Jalal adalah riwayatriwayat yang mengenai peristiwa-peristiwa pada zaman Rasulullah dan
juga mengutip peristiwa-peristiwa di luar zaman Nabi. Tetapi yang
paling sering dikutip

adalah

peristiwa-peristiwa pada

zaman

Rasulullah.
Pemilihan hadis atau peristiwa-peristiwa itu dilakukan secara
selektif. Hadis-hadis dipilih berdasarkan tiga hal yaitu :

20

Jurnal Ilmu al Qur`an & Hadis vol. 3 No. 2/ Desember 2013, (Muslim, Pesan Moral al
Qur`an : Studi Kritis terhadap Buku Tafsir bil Ma’tsur Karya Jalaluddin Rakhmat), h. 147

67

a. Otentisitas, keshahihan hadis.
b. Relevansi, kaitannya dengan pesan moral yang di kandung ayat al
Qur`an.
c. Aktualitas, kaitan pesan moral itu dengan keadaan umat Islam
sekarang.21
Dengan

ini

Kang

Jalal

menekankan

bahwa

pentingnya

mengetahui penyebab historis munculnya suatu ayat yang dapat
memudahkan dalam memahaminya.
Menurut Kang Jalal memahami al Qur`an dengan menggunakan
asbab al-nuzul karena peristiwa-peristiwa yang menjadi sebab
turunnya al-Qur`an dapat menjelaskan yang samar, menegaskan yang
kabur, atau memecahkan yang musykil.22
Asbab al-nuzul juga dapat membantu menjelaskan hikmah yang
dikandung dalam penetapan suatu hukum. Proses penetapan hukum
banyak mengandung hikmah yang bisa dijadikan pelajaran.
Metode yang dilakukan oleh Kang Jalal ini dapat dilihat ketika
menjelaskan Surat al Baqarah : 3. Dalam menjelaskan ayat tersebut
didahului dengan mengungkapkan riwayat terkait peristiwa yang
terjadi pada zaman Nabi.
Ketika hendak melaksanakan shalat shubuh, Rasulullah SAW dan
para sahabat kesulitan mendapatkan air untuk berwudhu’. Kemudian,
Rasulullah SAW menyuruh Bilal untuk membawa kantong kulit yang
21
22

Jalaluddin Rakhmat, op.cit., h. ix
Ibid.

68

biasa untuk menyimpan air. Beliau meletakkan tangannya di atasnya
dan membuka jari-jari tangannya. Kemudian, memancarlah air dari
sela-sela jari Rasulullah SAW sehingga mereka bisa berwudhu’.
Setelah itu, mereka melaksanakan shalat yang dipimpin oleh Rasullah
SAW.23
Seusai shalat, Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat,
“Siapa makhluk Allah yang paling menakjubkan imannya?” para
sahabat menjawab, “malaikat!”. “Bagaimana malaikat tidak beriman
padahal mereka pelaksana perintah Allah.”jawab Nabi. “Kalau begitu,
para Nabi,” jawab sahabat lagi. “Bagaimana para Nabi tidak beriman,
padahal wahyu dari langit turun kepada mereka.” “Kalau begitu,
sahabat-sahabatmu ya Rasulullah.” Bagaimana sahabat-sahabatku
tidak beriman, padahal mereka menyaksikan apa yang mereka
saksikan.”24
Kemudian,

Nabi

menjelaskan

bahwa

orang

yang

paling

menakjubkan imannya ialah “kaum yang datang sesudah kamu
sekalian. Mereka membenarkan aku tanpa pernah melihatku. Mereka
menemukan tulisan dan beriman kepadaku. Mereka mengamalkan apa
yang ada dalam tulisan itu. mereka membela aku seperti kalian
membelaku. Alangkah inginnya Aku berjumpa dengan ikhwanku itu!”
kemudian Rasulullah SAW membaca surat al-Baqarah : 3.25

23

Ibid., h. 21
Ibid.
25
Ibid.
24

69

Jalaluddin berpendapat bahwa secara tidak langsung Nabi SAW
mengajar para sahabatnya tentang evolusi manusia yang progresif.
Umat

manusia

secara

keseluruhan

berkembang

menuju

kesempurnaan, intelegensinya makin tinggi, pengetahuannya makin
luas, dan keimanannya juga semakin dalam.26
Riwayat di atas beliau kutip dari Tafsir al-Dur al-Mantsur karya
Jalaluddin al-Suyuthi. Beliau tidak langsung merujuk ke kitab-kitab
hadis yang mencantupkan langsung tentang riwayat tersebut. Sehingga
terkesan karya beliau ini saduran sederhana dari kitab Tafsir al-Dur
al-Mantsur. Menurut penulis, di sinilah letak salahsatu kelemahan
karya Jalaluddin Rakhmat.
Dengan peristiwa ini Jalaluddin menjelaskan bahwa orang yang
dimaksud dalam QS. al Baqarah : 3 adalah orang-orang yang beriman
kepada Nabi dan apa yang diturunkan kepada nabi melalui hati dan
akalnya.
Dari riwayat di atas Jalaluddin menjelaskan bahwa yang
melatarbelakangi Q.S. al-Baqarah : 3 ini adalah ketika sahabat
kekurangan air untuk berwudhu kemudian keluarlah air dari sela-sela
jari Nabi sehingga mereka bisa melaksanakan shalat. Setelah selesai
shalat Nabi menjelaskan apa yang dimaksud oleh ayat Q. S. Al
Baqarah : 3.

26

Ibid., h. 22

70

Menurut penulis inilah salahsatu bentuk penafsiran al-Quran
dengan Hadis Nabi. Namun, ada kekurangan dalam penafsiran ini
dimana Jalaluddin tidak mengemukakan jalur sanad riwayat, sehingga
tidak dapat diketahui dari siapa riwayat tersebut dan keotentisitasan
riwayat tersebut juga tidak dapat diketahui.
Namun, di bagian lampiran buku Jalaluddin ini, ia mencantupkan
riwayat yang lengkap dengan sanadnya. Hal ini dilakukan oleh
Jalaluddin dikarenakan sasaran utama karyanya ini adalah untuk orang
awam yang tidak bisa berbahasa Arab dengan menampilkan bentuk
asbab al-nuzul yang sederhana sehingga mudah dipahami. Jalaluddin
menyebutkan jika ingin mengetahui lebih tentang riwayat tersebut,
maka bisa dilihat pada bagian lampirannya.
Begitu juga ketika menjelaskan Q.S. Alu Imran : 92. Jalaluddin
mengemukakan riwayat-riwayat yang terkait dengan peristiwa–
peristiwa yang terjadi setelah ayat tersebut diturunkan. Peristiwa
bagaimana para sahabat memahami dan melaksanakan ayat tersebut.
Diriwayatkan bahwa ketika ayat tersebut turun, Abu Thalhah
seorang yang paling banyak memiliki kebun kurma di Madinah. Dari
sekian banyak kebun yang dimilikinya, yang paling ia sukai adalah
Birha, kebun kurma yang menghadap ke arah mesjid Nabi. Nabi SAW
sering masuk ke kebun itu dan meminum airnya yang segar. Ketika
mendengar Q.S. Alu Imran : 92 tersebut ia menemui Nabi dan

71

menyerahkan kebun Birha sebagai sedekah karena Allah. Ia ingin
menyimpannya di sisi Allah.
Rasulullah SAW menyuruh Abu Thalhah membagikan kebunnya
tersebut kepada keluarganya yang miskin. Kemudian, ia membagikan
kebun itu kepada kerabatnya dan saudara misannya.27
Bukan hanya Abu Thalhah yang tersentuh dengan ayat ini. Zaid
bin Haritsah, budak yang pernah menjadi anak angkat Rasulullah yang
membawa kuda kesayangannya kepada Rasulullah fi sabilillah dan
juga Abdullah bin Umar yang membebaskan budak yang sangat ia
sukai karena Allah.
Dari riwayat tersebut dapat diketahui bahwa pemahaman para
sahabat terhadap ayat tersebut secara tekstual. Para sahabat
menjalankan sebagaimana yang tersurat dalam ayat tanpa memerlukan
pemahaman yang lebih mendalam apa yang dimaksud ayat tersebut.

E. Analisa Penulis terhadap Metode Tafsir bi al-Ma’tsur Jalaluddin
Rakhmat dan al-Thabari
Dari penjelasan yang telah diuraikan di atas bahwa metode tafsir bi
al-ma’tsur Jalaluddin Rakhmat dan al-Thabari adalah tafsir bi al-ma’tsur
dengan bentuk penafsiran al-Qur`an dengan Hadis Nabi dan Perkataan
Sahabat. Tetapi bentuk penafsiran keduanya berbeda. Di mana Jalaluddin
Rakhmat mengambil riwayat yang terkait dengan peristiwa-peristiwa yang

27

Ibid., h. 35

72

melatarbelakangi turunnya ayat tersebut atau dapat dikatakan penafsiran
ayat al-Qur`an dengan melihat asbab al-nuzul ayat tersebut.
Metode yang dilakukan oleh Jalaluddin Rakhmat ini bukanlah
sesuatu yang baru. Hal ini sudah dilakukan oleh ulama sebelumnya,
Jalaluddin al Suyuthi dalam kitab tafsirnya Tafsir al-Dur al-Mantsur yang
merupakan rujukan utama Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Tafsir bil
Ma’tsur : Pesan Moral al-Qur`an ini. Hal inilah yang menurut penulis
yang melatarbelakangi Jalaluddin Rakhmat mengemas karyanya seperti
yang ada sekarang.
Jalal lebih mengedepankan penafsiran al-Qur`an dengan Hadis
Nabi dan tidak banyak menggunakan penafsiran al-Qur`an dengan alQur`an. Jalal berpendapat bahwa hal itu sangat sulit dilakukan dan dapat
menjatuhkan seseorang pada penafsiran yang salah.
Jalal berpendapat demikian disebabkan dia bukanlah seorang yang
pakar di bidang tafsir dan keilmuan Islam lainnya melainkan seorang
yang pakar dalam bidang komunikasi. Meraih gelah doktor bidang
komunikasi di Iowa State University, Amerika Serikat. Inilah salah satu
bentuk kehati-hatian Jalal dalam menafsirkan al-Qur`an.
Dengan metode yang dilakukan oleh Jalal ini menunjukkan bahwa
sangat pentingnya mengetahui asbab al-nuzul dalam memahami suatu ayat
dalam al-Qur`an. Al-Qur`an turun kepada Nabi dengan berbagai peristiwa
yang mengitari kehidupan Nabi.

73

Sedangkan al-Thabari mengambil riwayat yang menjelaskan ayat
tersebut dengan menggunakan pendekataan kebahasaan. Sehingga dengan
riwayat tersebut dapat langsung dipahami apa yang dimaksud oleh ayat
tersebut.
Perbedaan kedua metode ini menunjukkan bahwa al-Qur`an
terbuka terhadap berbagai keilmuan serta ruang dan waktu.
Dengan penafsiran yang dilakukan oleh Jalaluddin Rakhmat ini
menunjukkan bahwa al-Qur`an itu dapat dipahami oleh siapapun dengan
melakukan

berbagai

metode

dan

pendekatan.

Walaupun

bukan

berlatarbelakang keilmuan tafsir. Namun, dengan melihat berbagai cara
yang dilakukan oleh ulama sebelumnya seseorang dapat memahami alQur`an serta menghasilkan suatu karya.
Perbedaan kedua metode yang dilakukan oleh kedua tokoh ini
menunjukkan bahwa keilmuan al-Qur`an terus berkembang sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan. Berbedanya zaman dan tempat yang
dialami oleh seorang mufasir, berbeda pula metode yang digunakan dalam
memahami al-Qur`an.
Al-Thabari seorang yang hidup di wilayah sekitar abad ke 3 H
dengan keadaan keilmuan Islam yang sedang berkembang pesat.
Eksistensi al-Thabari di bidang tafsir tak bisa diragukan lagi. Sebuah
karyanya Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur`an sampai sekarang masih
menjadi rujukan bagi umat Islam dalam memahami al-Qur`an dan masih
termasuk karya tafsir bi al-ma’tsur yang termasyhur.

74

Sedangkan Jalaluddin Rakhmat seorang tokoh Indonesia yang
hidup zaman kontemporer dengan berbagai permasalahan yang ada.
Melalui karyanya Tafsir bil Ma’tsur : Pesan Moral al-Qur`an ia
melakukan kembali metode tafsir bi al-ma’tsur dengan melakukan
pengemasan yang berbeda dengan ulama sebelumnya.