Fairuzah Isyarat Isyarat Al Qur'an tentang Makanan yang Sehat Kajian Tafsir bi al Ilm dengan Pendekatan Tematik

Tesis

Diajukan sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Magister Agama (MA) Pada Program Studi Pengkajian Islam

Oleh : FA IRUZA H NIM . 02.2.00.1.05.01.0060

KONSENTRASI TAFSIR HADIS PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2005

Tesis dengan judul : “ Isyarat-isyarat al-Qur’an tentang Makanan Yang Sehat

(Kajian Tafsir bi al- ‘Ilmi dengan Pendekatan Tematik) yang telah ditulis oleh : Nama : Fairuzah NIM : 02.2.00.1.05.01.0060 Program Studi : Pengkajian Islam Konsentrasi : Tafsir Hadis

Telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Program Pascasarjana

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Sabtu

tanggal 10 September 2005 dan telah diperbaiki sesuai dengan permintaan Dewan Sidang Munaqasyah. Dengan demikian tesis ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Agama Islam (MA).

Jakarta, 26 September 2005

Dewan Sidang Munaqasyah

Penguji I Penguji II

Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar Dr. dr. H. Sardjana, S.pOG.

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. H. Hamdani Anwar, MA Dr. Hj. Faizah Ali Sybromalisi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis persembahkan kehadirat Allah swt., karena hidayah, taufik, dan inayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul : ISYARAT-ISYARAT AL-QUR’AN TENTANG MAKANAN YANG SEHAT : Kajian Tafsir bi al-‘ Ilm dengan Pendekatan Tematik.

Selanjutnya salawat dan salam semoga selalu Allah limpahkan kepada Nabi dan Rasul-Nya Muhammad saw. beserta sahabat dan keluarganya.

Keberhasilan menyelesaikan tesis ini, walaupun setelah melalui liku- liku perjuangan dengan beraneka ragam kendala, tidak terlepas dari bantuan dan dorongan semua pihak. Oleh sebab itu, dari lubuk hati yang paling dalam, penulis mengucapkan banyak terima kasih, terutama kepada :

1. Seluruh civitas akademika dan para dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta khsusnya bapak Prof. Dr. H. Ahmad Thibraya selaku ketua Konsentrasi Tafsir Hadis yang telah memberikan bimbingan dan ilmu pengetahuan kepada penulis dalam melaksanakan studi pada konsentrasi Tafsir Hadis.

2. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Prof. Dr.

H. Hamdani Anwar, MA. dan ibu Dr. Hj. Faizah Ali Syibromalisi, selaku pembimbing, yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

3. Teristimewa penulis persembahkan ucapan terima kasih untuk ayahanda tercinta H. M. Tsabit Khazin dan Ibunda Hj. Malthufah Mahfuzh, yang telah memberikan motifasi dan dorongan baik moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya serta melimpahkan kebahagiaan selalu untuk mereka, di dunia maupun di akhirat. Amin.

4. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada sahabat-

sahabat mahasiswa yang telah bersama-sama saling memberikan semangat dan motivasi kepada penulis dalam menyesaikan Studi ini. Dan kepada semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu-persatu, yang telah memberikan dorongan dan bantuan dalam menyelesaikan studi ini.

5. Special Thank’s untuk suami tercinta H. Ahmad Hazim, S.Si, S.Pd. yang telah merelakan hari-harinya dalam kesendirian tanpa didampingi penulis selama penyelesaian tesis ini.

Akhirnya penulis memohonkan do’a kepada Allah swt., semoga semua bantuan dan partisipasi dari semua pihak tersebut, diberikan-Nya ganjaran pahala yang berlipat ganda. Demikian pula, semoga tulisan ini dapat berguna bagi pengembangan wacana Islam khususnya dalam bidang tafsir ilmiah.

Jakarta : Jumadil ula 1426 H Agustus 2005 M

Penulis

PEDOM AN TRANSLITERASI

Tesis ini ditulis dengan menggunakan pedoman transliterasi sebagaimana diuraikan di bawah ini :

I. KONSONAN

ﺵ = sy

ﺹ = sh

ﻥ = n ﺥ = kh

ﻁ = th

ﻅ = zh

ﻩ = h ﺫ = dz

ﻍ = gh

ﻑ =f

ﺓ =at/ ah

II. VOKAL PENDEK

َ =a ِ =i ُ =u

III. VOKAL PANJANG

IV. DIFTONG

1. Penulisan al disesuaikan dengan pelafalan

2. Sistem pedoman transliterasi ini tidak digunakan secara ketat pada nama orang dan penerbit

ABSTRAK

Kehidupan manusia -dan makhluk-makhluk hidup lainnya- di dunia tidak mungkin ada tanpa tersedianya bahan makanan, maka untuk mempertahankannya manusia harus makan. Dalam Islam, makanan merupakan tolok ukur dari segala cerminan penilaian awal yang bisa mempengaruhi berbagai bentuk perilaku dan kualitas hidup seseorang.

Makanan bagi umat Islam tidak sekedar sarana pemenuhan kebutuhan secara lahiriyah semata, tetapi juga bagian dari kebutuhan spiritual yang mutlak dilindungi.

Islam memandang bahwa makanan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Karena makanan mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan jasmani dan rohani manusia. Maka dari itu di dalam ajaran Islam banyak peraturan yang berkaitan dengan “ makanan” dari mulai mengatur etika makan, mengatur idealitas kuantitas makanan di dalam perut, bahkan yang terpenting adalah mengatur makanan yang halal dan haram untuk dimakan.

Masalah halal dan haramnya makanan bukanlah persoalan sederhana yang dapat diabaikan, melainkan merupakan masalah yang amat penting dan mendapat perhatian dari ajaran agama secara umum. Karena, masalah ini tidak hanya menyangkut hubungan antar sesama manusia, tapi juga hubungan manusia dengan Tuhan. Seorang muslim tidak dibenarkan mengkonsumsi suatu makanan sebelum ia tahu benar akan kehalalannya. Mengkonsumsi yang haram, atau yang belum diketahui kehalalannya akan Masalah halal dan haramnya makanan bukanlah persoalan sederhana yang dapat diabaikan, melainkan merupakan masalah yang amat penting dan mendapat perhatian dari ajaran agama secara umum. Karena, masalah ini tidak hanya menyangkut hubungan antar sesama manusia, tapi juga hubungan manusia dengan Tuhan. Seorang muslim tidak dibenarkan mengkonsumsi suatu makanan sebelum ia tahu benar akan kehalalannya. Mengkonsumsi yang haram, atau yang belum diketahui kehalalannya akan

Sifat halal atau haram berkaitan dengan kaidah-kaidah agama (keimanan) Islam, sedangkan sifat baik ( thayyib ) atau buruk harus ditelusuri lebih rinci dengan nalar dalam bentuk ilmu. Dalam ilmu kesehatan, makanan

yang baik harus sesuai dengan ilmu gizi. Makanan yang baik harus terdiri dari zat-zat gizi yang dibutuhkan manusia.

Berbicara tentang zat gizi dalam kaitannya dengan masalah makanan yang baik, sesungguhnya petunjuknya dapat ditemukan di dalam al-Qur’an, walaupun memang harus diakui bahwa pembicaraannya hanya sekedar isyarat-isyarat.

Maka dari itu, apa yang telah diisyarat oleh al-Qur’an tersebut, akan diteliti secara lebih mendalam dengan menggunakan pendekatan tafsir bi al- ‘ Ilm. Mengingat penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian kepustaan, maka data primer diambil dari kitab-kitab tafsir dan buku-buku ilmiah yang berkaitan dengan masalah makanan.

Dari hasil penelitian ini, tegambar bahwa semua jenis-jenis makanan yang disebutkan oleh al-Qur’an memberikan isyarat yang nyata tentang makanan yang halal dan sehat. Berdasarkan hasil penelitian ilmiah khususnya ilmu gizi, dapat dibuktikan bahwa semua jenis makanan yang disebutkan di dalam al-Qur’an merupakan contoh-contoh makanan yang sempurna, yang sangat berguna bagi kesehatan jasmani dan rohani. Karena Dari hasil penelitian ini, tegambar bahwa semua jenis-jenis makanan yang disebutkan oleh al-Qur’an memberikan isyarat yang nyata tentang makanan yang halal dan sehat. Berdasarkan hasil penelitian ilmiah khususnya ilmu gizi, dapat dibuktikan bahwa semua jenis makanan yang disebutkan di dalam al-Qur’an merupakan contoh-contoh makanan yang sempurna, yang sangat berguna bagi kesehatan jasmani dan rohani. Karena

Dari hasil penelitian ini juga diketahui bahwa, makanan memiliki keterkaitan yang erat dengan masalah ibadah dan umur panjang. Karena

dengan mengkonsumsi makanan yang halal dan bergizi sesuai ajaran agama, akan diperoleh kesehatan yang optimal, sehingga manusia dapat melaksanakan ibadah-ibadah dengan sempurna. Bahkan memakan makanan yang halal menjadi sarana untuk diterimanya ibadah dan do’a seseorang. Selain itu, dengan tetap menjaga pola makan yang seimbang dan tidak berlebihan, dapat memperpanjang harapan hidup manusia karena terhindar dari berbagai macam penyakit yang dapat menyebabkan kematian.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang M asalah

Al-Qur’an adalah kitab petunjuk dan hidayah bagi manusia dan seluruh makhluk yang bertakwa di atas bumi ini sesuai dengan penegasan al- Qur’an : Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa (Q.S. al-Baqarah : 2), agar manusia dapat hidup teratur dan tertib serta benar dalam kehidupan ini.

Al-Qur’an pada hakikatnya menempati posisi sentral dalam studi- studi keislaman. Disamping berfungsi sebagai hudâ (petunjuk), al-Qur’an juga berfungsi sebagai furq â n (pembeda). Ia menjadi tolok ukur dan pembeda antara kebenaran dan kebatilan.

Keberadaan al-Qur’an di tengah-tengah umat Islam, ditambah dengan keinginan mereka untuk memahami petunjuk dan ajarannya, telah melahirkan sekian banyak disiplin ilmu keislaman yang digali dari kandungan ayat-ayatnya.

Jika kita membahas tentang hubungan al-Qur’an dan ilmu pengetahuan, bukan dinilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalamnya, bukan pula dengan menunjukkan kebenaran teori-teori ilmiah. Tetapi pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian al-Qur’an

dan sesuai pula dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri. 1

1 M. Quraish Shihab, M embumikan A l-Qur’an, (Bandung : Mizan, 2000), cet. XXI, h. 41.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa isyarat-isyarat ilmiah dalam al- Qur’an laksana mata air yang tidak pernah kering. Setiap waktu, muncul penemuan-penemuan baru dan ketetapan-ketetapan ilmiah yang sebenarnya telah ditegaskan oleh al-Qur’an sebelumnya sejak empat belas abad yang lalu.

Al-Qur’an sangat banyak mengandung aneka ragam kebenaran ilmiah, sesuai dengan realita dari penerapan keilmuan. Semuanya ditemukan

pada setiap tempat dan waktu, dan senantiasa dibenarkan oleh peradaban manapun. Berabad-abad telah berlalu sejak al-Qur’an diturunkan, telah berganti keadaan dan kebudayaan antara pengaruh-pengaruh yang ada. Namun, tidak pernah ada bukti yang menyatakan kesalahan kandungan yang diisyaratkan al-Qur’an.

Al-Qur’an menjadikan setiap isyarat sebagai metode dalam mengarungi hakikat alam dan kehidupan. Ia berpengaruh kuat dalam menguatkan keimanan. Karena, setiap ayat yang menyeru untuk menyembah Allah dan mentauhidkan-Nya selalu diiringi dengan pengarahan akal pikiran dengan meneliti bukti-bukti keagungan Ilahi melalui ciptaan alam dan ketelitian penciptaannya. Keajaiban dan keindahan ciptaan-Nya membuka

akal pikiran manusia. 2

Sebelum berbicara tentang isyarat-isyarat ilmiah al-Qur’an, terlebih dahulu perlu digarisbawahi bahwa al-Qur’an bukan suatu kitab ilmiah sebagaimana halnya kitab-kitab ilmiah yang dikenal selama ini. Salah satu

2 Muhammad Kamil Abdushshamad, M ukjizat Ilmiah dalam A l-Qur’an, (terj.), Jakarta : A kbar Media Eka Sarana, 2002, cet. I., h. 5-6 2 Muhammad Kamil Abdushshamad, M ukjizat Ilmiah dalam A l-Qur’an, (terj.), Jakarta : A kbar Media Eka Sarana, 2002, cet. I., h. 5-6

“ Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit“ . (Q.S. Al- Baqarah : 189)

Menurut ayat itu, mereka bertanya mengapa bulan (sabit) terlihat dari malam ke malam membesar hingga purnama, kemudian sedikit demi sedikit mengecil, hingga menghilang dari pandangan mata.

Pertanyaan di atas tidak dijawab al-Qur’an dengan jawaban ilmiah yang dikenal oleh astronom, tetapi jawabannya justru diarahkan kepada upaya memahami hikmah di balik kenyataan itu.

“ Katakanlah: "Yang demikian itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji” . (Q.S. Al-Baqarah : 189)

Namun demikian, karena al-Qur’an adalah kitab petunjuk bagi kebahagiaan dunia dan akhirat, maka tidak heran jika di dalamnya terdapat berbagai petunjuk tersirat dan tersurat yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan guna mendukung fungsinya sebagai kitab petunjuk.

Perlu dicatat bahwa hakikat-hakikat ilmiah yang disinggung al- Qur’an, dikemukakannya dalam redaksi yang singkat dan sarat makna, sekaligus tidak terlepas dari ciri umum redaksinya yakni memuaskan orang kebanyakan dan para pemikir. Orang kebanyakan memahami redaksi tersebut ala kadarnya, sedangkan para pemikir melalui renungan dan Perlu dicatat bahwa hakikat-hakikat ilmiah yang disinggung al- Qur’an, dikemukakannya dalam redaksi yang singkat dan sarat makna, sekaligus tidak terlepas dari ciri umum redaksinya yakni memuaskan orang kebanyakan dan para pemikir. Orang kebanyakan memahami redaksi tersebut ala kadarnya, sedangkan para pemikir melalui renungan dan

Dalam pembahasan ini penulis merasa tertarik untuk mengkaji mengenai masalah makanan dan gizi, karena hal ini mempunyai peran yang

sangat besar dalam membina dan mempertahankan kesehatan seseorang. Dalam ayat 24 surat ‘Abasa, ditemukan perintah yang sangat jelas, yang berbunyi :

“ Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya” . (Q.S. ‘Abasa : 24)

Walaupun ayat ini bersifat umum dan tujuan pokoknya adalah mengantarkan manusia untuk beriman kepada Allah swt, namun secara khusus dapat dipahami adanya semacam anjuran untuk memilih makanan- makanan yang baik dan bergizi.

Lebih jauh bila ditelusuri kata-kata akala (makan) dalam berbagai bentuknya di dalam al-Qur’an, maka dapat ditemukan –dalam konteks pembicaraan Tuhan tentang pemeliharaan dan nikmat-Nya kepada manusia – makanan-makanan daging (Q.S. an-Nahl : 5), ikan (Q.S. an-Nahl : 4),

3 M. Quraish Shihab, M ukjizat A l-Qur’an, (Bandung : Mizan, 1998) cet. III, h.165-166 3 M. Quraish Shihab, M ukjizat A l-Qur’an, (Bandung : Mizan, 1998) cet. III, h.165-166

(Q. S. al-Wâqi’ah : 68), disebutkan secara khusus. 4

Selain itu, secara khusus al-Qur’an berbicara tentang makanan bayi, yakni bahwa air susu ibu (ASI) merupakan makanan utama bayi, dan karena

itu ayah diperintahkan untuk memberi imbalan kepada ibu yang menyusukan (Q.S. At-Thalâq : 6). Ini antara lain digunakan untuk menjaga

kondisi kesehatan ibu dan kesempurnaan ASI-nya. Di lain pihak, al-Qur’an mencela ibu yang enggan menyusukan anaknya, sebagaimana dijelaskannya bahwa masa penyusuan yang sempurna adalah dua tahun penuh (24 bulan) (Q.S. al-Baqarah : 233), atau 30 bulan dikurangi masa kehamilan (Q.S. al-

Ahqâf : 15). 5 Selanjutnya ditemukan bahwa perintah makan, yang dalam al-Qur’an tersebut sebanyak 27 kali dalam berbagai konteks dan arti, apabila berbicara tentang makanan yang dimakan (objek perintah tersebut), selalu menekankan salah satu dari dua sifat halâl (boleh) dan thayyib (baik). Bahkan ditemukan empat ayat yang menggabungkan kedua sifat-sifat tersebut, yaitu

Q.S. al-Mâidah : 88; al-Baqarah : 168; al-Anfâl: 69; dan an-Nahl : 114. 6 Ayat- ayat tersebut diantaranya berbunyi :

4 M. Quraish Shihab, M embumikan al-Qur’an, Op. Cit.,

h. 287

5 Ibid. h. 288 6 Ibid

“ Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang ada di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata

bagimu” . (Q.S. al-Baqarah : 168)

Petunjuk lain yang ditemukan di dalam Al-Qur’an berkaitan dengan perintah makan adalah ayat :

“ Maka makanlah ia sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya” . (Q.S. an-Nisâ’ : 4).

Ayat ini menunjukkan bahwa makanan yang dianjurkan adalah yang sedap juga harus mempunyai akibat yang baik terhadap yang memakannya. Disamping itu, ditekankannya juga bahwa tidak boleh berlebih-lebihan dalam makan dan minum, seperti dalam firman Allah :

“ Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan” . (Q.S. al-A’râf : 31)

Selain itu al-Qur’an juga telah memberi peringatan kepada manusia bahwa yang akan tersiksa kelak di Hari Kemudian akan makan dengan memenuhi perutnya, sebagaimana terungkap dalam Q.S. ash-Shaffât : 66.

Bahkan di dalam al-Qur’an ditemukan celaan kepada orang yang makan seperti binatang:

“ Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka” . (Q.S. Muhammad : 12)

Ayat-ayat di atas agaknya memberikan petunjuk-petunjuk untuk memperhatikan dan memilih makanan yang baik, tidak seperti binatang, dan tidak pula sebagaimana halnya orang yang tersiksa yang makan dengan

memenuhi perut mereka. 7

Sebagaimana diuraikan sebelumnya, bahwa halâl -nya makanan merupakan persyaratan mutlak yang digarisbawahi selalu oleh al-Qur’an. Disamping itu al-Qur’an juga mensyaratkan makanan itu dengan sifat thayyib . Oleh karena itu, al-Qur’an dengan tegas mengharamkan makanan- makanan yang sekiranya dapat merugikan terhadap kesehatan manusia, seperti daging babi, minuman keras, bangkai dan darah dan lain sebagainya. Hal tersebut merupakan langkah preventif al-Qur’an untuk menjaga kesehatan manusia dari dampak-dampak negatif yang dapat disebabkan oleh makanan-makanan tersebut. Hal ini semakin menampakkan adanya isyarat ilmiah al-Qur’an mengenai makanan yang sehat, mengingat al-Qur’an tersebut diturunkan jauh sebelum adanya pembuktian secara ilmiah mengenai kandungan zat-zat yang dapat menyebabkan berbagai macam penyakit yang terdapat dalam makanan-makanan tersebut.

7 Ibid, h. 288

Demikianlah al-Qur’an –yang merupakan pedoman hidup bagi manusia– telah memberikan pelajaran, peringatan dan tuntunan bagi manusia yang menyangkut segala aspek kehidupan, baik jasmani maupun rohani serta kehidupan di dunia dan di akhirat.

Berdasarkan uraian dari ayat-ayat di atas, dapat diketahui bahwa al- Qur’an sangat memperhatikan masalah kesehatan jasmani manusia terutama

yang berkaitan dengan masalah makanan. Karena kehidupan manusia di dunia tak mungkin ada tanpa tersedianya bahan makanan, maka untuk

mempertahankannya, manusia harus makan. Begitu pentingnya makanan untuk kehidupan, sehingga Allah swt. mengatur masalah ini dengan tegas di dalam al-Qur’an.

Mempertahankan hidup di sini bukan berarti manusia akan hidup selamanya. Akan tetapi bagaimana agar manusia mampu menjaga kesehatan tubuh, sehingga dapat melaksanakan ibadah dengan sebaik-baiknya. Ibadah adalah cara untuk menuju hidup sejahtera dan bahagia. Untuk mendapatkan kesehatan yang prima, perlu kita memperhatikan makanan yang sehat dan sempurna.

Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk mengkaji masalah ini lebih mendalam guna mendapatkan pengetahuan yang komprehensip tentang isyarat-isyarat ilmiah al-Qur’an khususnya mengenai masalah makanan yang sehat, dengan cara menganalisa dan menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan tema tersebut dengan menggunakan pendekatan tematik serta mengkajinya dengan menyertakan hasil-hasil analisa ilmiah Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk mengkaji masalah ini lebih mendalam guna mendapatkan pengetahuan yang komprehensip tentang isyarat-isyarat ilmiah al-Qur’an khususnya mengenai masalah makanan yang sehat, dengan cara menganalisa dan menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan tema tersebut dengan menggunakan pendekatan tematik serta mengkajinya dengan menyertakan hasil-hasil analisa ilmiah

itu, penulis memberi judul penelitian ini dengan : ISYARAT-ISYARAT AL- QUR’AN TENTANG MAKANAN YANG SEHAT (Kajian Tafsir bi al- ‘Ilm dengan Pendekatan Tematik)

B. Pembatasan dan Perumusan M asalah

Dalam penelitian ini penulis membatasi kajian serta penelitiannya pada satu pokok permasalahan yaitu menyingkap isyarat-isyarat ilmiah al-

Qur’an tentang makanan-makanan yang halal dan bergizi. Oleh karena itulah penulis menggunakan pendekatan tafsir tematik.

Dari latar belakang permasalahan di atas, tergambar jelas bahwa al- Qur’an sangat menganjurkan bagi kita untuk memperhatikan masalah kesehatan jasmani terutama yang berkaitan dengan makanan, dimana ia merupakan kebutuhan primer dalam mempertahankan kelangsungan hidup bagi manusia. Disamping itu upaya untuk menggali, mengkaji dan memahami ayat-ayat al-Qur’an itu memang merupakan permasalah yang sangat urgen untuk dikedepankan, mengingat al-Qur’an adalah Kitab petunjuk serta pedoman hidup bagi manusia.

Begitu pentingnya menjaga kesehatan makanan, sehingga al-Qur’an memerintahkan kepada manusia untuk memperhatikan makanannya. Bahkan perintah tersebut disampaikan sebanyak 27 kali dengan redaksi yang berbeda-beda. Namun pada kenyataannya, jika melihat fakta yang terjadi dalam masyarakat, ternyata masih banyak orang-orang yang kurang Begitu pentingnya menjaga kesehatan makanan, sehingga al-Qur’an memerintahkan kepada manusia untuk memperhatikan makanannya. Bahkan perintah tersebut disampaikan sebanyak 27 kali dengan redaksi yang berbeda-beda. Namun pada kenyataannya, jika melihat fakta yang terjadi dalam masyarakat, ternyata masih banyak orang-orang yang kurang

Berdasarkan pembahatasan permasalahan di atas, timbullah suatu pertanyaan yang merupakan permasalahan pokok dari penelitian ( mayor

research question ) ini, yaitu : Bagaimana isyarat al-Qur’an mengenai makanan yang sehat? Untuk itu, pertanyaan-pertanyaan khusus ( minor research question ) yang bersifat mengarahkan pada pengumpulan data adalah meliputi :

1. Bagaimana kriteria makanan yang sehat menurut al-Qur’an?

2. Apa saja bahan-bahan makanan yang halâl dan thayyib yang terdapat dalam al-Qur’an?

3. Adakah hubungan antara makanan halal dan bergizi dengan kesehatan jasmani dan rohani?

C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menyingkap isyarat-isyarat ilmiah al-Qur’an dalam kaitannya dengan masalah kesehatan makanan.

2. Memberikan informasi kepada masyarakat dalam hal pelajaran, perhatian dan perencanaan makanan yang halal dan bergizi sesuai dengan ajaran al-

Qur’an.

3. Mendorong masyarakat untuk memperhatikan makanannya guna mencapai derajat kesehatan yang optimal dan diridhai Allah saw..

4. Untuk memenuhi persyaratan dalam rangka penyelesaian studi program S2 pada Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sedangkan signifikansi penelitian ini adalah :

1. Memperkaya khazanah pengetahuan keislaman di lingkungan institusi pendidikan tinggi Islam, khususnya pada kajian di bidang tafsir al-Qur’an.

2. Penelitian ini bermanfaat dalam melahirkan paradigma, konsep, serta teori menyangkut hubungan pemahaman serta penafsiran al-Qur’an dengan kehidupan sosial.

3. Mengetahui ajaran al-Qur’an dalam aspek ilmiah, khususnya dalam bidang nutrisi, sehingga dapat memperteguh keimanan kepada Allah swt.

D. Metodologi Penelitian

Dalam setiap karya ilmiah, dibutuhkan suatu metode penelitian. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatakan data yang lengkap dan obyektif. Adapun penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian kepustakaan ( library research ), yaitu sebuah penelitian yang data-data, informasi dan bahan-bahan yang dijadikan bahasan dan rujukan penelitian berasal dari

buku-buku, kitab-kitab karya-karya ilmiah dan yang semacamnya yang memiliki tema yang berhubungan dengan tema penelitian.

Karena penelitian ini bersifat kepustakaan murni, maka sumber- sumber data yang berasal dari buku-buku dan kitab-kitab sangat diperlukan dalam penelitian ini, baik sumber data primer maupun sumber data skunder. Adapun data primer dari penelitian ini adalah Al-Qur’an al-Karim. Dan untuk data skunder diambil dari buku-buku pendukungnya diantaranya : kamus bahasa dan ensiklopedi, kitab-kitab tafsir seperti : tafsîr al-Qur’ ân al- ‘ Azhîm karya Ibnu Katsir, tafsîr al-Marâghî karya Musthafa al-Maraghi, tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’ an karya Quraish Shihab, tafsîr al-Munîr fi al-‘Aqîdah wa asy-Syarî’ah wa al-Manhâj karya Wahbah Zuhaili, dan tafsir-tafsir lainnya, kitab-kitab hadis seperti kutub as-Sittah dan syarahnya, serta buku-buku ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan dan pembahasan penelitian ini.

Setelah data-data terkumpul, penulis melakukan pengolahan data- data tersebut dengan metode deskriptif analitis . Metode deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran yang obyektif tentang masalah makanan Setelah data-data terkumpul, penulis melakukan pengolahan data- data tersebut dengan metode deskriptif analitis . Metode deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran yang obyektif tentang masalah makanan

Karena kajian ini menggunakan pendekatan tematik al-Qur’an, maka diperlukan juga metode tafsir maudhu’ i yakni suatu metode tafsir yang berusaha mencari jawaban al-Qur’an tentang suatu masalah tertentu dengan jalan menghimpun seluruh ayat-ayat yang dimaksud, lalu menganalisanya

lewat ilmu-ilmu bantu yang relevan dengan masalah yang dibahas, untuk kemudian melahirkan konsep utuh dari al-Qur’an tentang masalah tersebut. 8

Dalam penelitian ini penulis menggunakan ilmu gizi sebagai ilmu bantunya, yaitu dengan cara menganalisa dan mengkomparasikan penafsiran- penafsiran para ulama dengan hasil penelitian dan fakta-fakta ilmiah dalam kaitannya dengan ilmu gizi, sehingga melahirkan suatu kajian tafsir yang

bercorak tafsir bi al-‘Ilm 9 ,

Sedangkan teknik penulisan tesis ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

8 ‘A bd. Al-Hayy al-Farmawi, A l-Bidayah fî Tafsîr al-Maudhu’i, (Kairo : al-Hadhârah al- ‘Arabiyah, 1977), Cet. II, h. 23 9 Tafsir bi al-‘Ilmi adalah tafsir yang menempatkan berbagai terminologi ilmiah dalam ujaran-ujaran tertentu dalam al-Qur’an atau berusaha mendeduksi berbagai ilmu serta pandangan-pandangan filosofisnya dari ayat-ayat al-Qur’an. Abdul Mustaqim, M adzahibut Tafsir, Peta M etodologi Penafsiran al-Qur’an Periode Klasik Hingga Kontemporer, (Yogyakarta : Nun Pustaka, 2003), cet. I. h. 86

Tasir ini dibangun berdasarkan asumsi bahwa al-Qur’an mengandung berbagai macam ilmu baik yang sudah ditemukan maupun belum. Corak penafsiran ilmiah ini telah lama dikenal. Benihnya bermula pada masa Dinasti A bbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan khalifah al-Ma’mun (w . 853), akibat penerjemahan kitab-kitab ilmiah. M. Quraish Shihab, M embumikan al-Qur’an, Op. Cit.,

h. 101

E. Kajian Pustaka

Sejauh pengamatan penulis, belum ada satu buku utuh ataupun karya ilmiah berupa skripsi, tesis atau disertasi yang khusus memfokuskan pembahasan tentang isyarat-isyarat al-Qur’an mengenai makanan (nutrisi) yang sehat. Penulis hanya mendapatkan beberapa tulisan ilmiah yang membahas tema tersebut yang merupakan sub bab dalam kajian-kajian

mukjizat ilmiah al-Qur’an. Diantara tulisan-tulisan tersebut adalah bab At- Taghdziyah fî al-Qur’ân yang terdapat dalam kitab al-I‘ jâz al-‘ Ilmî fî al-Qur’ ân

al-Karîm karya Dr. Hamid an-Najdi dan bab Ilmu Kesehatan Makanan yang terdapat dalam buku Mukjizat Ilmiah dalam al-Qur’ an karya Muhammad Kamil Abdushshamad. Kedua tulisan tersebut pembahasannya tidak tuntas karena tidak semua ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan makanan dibahasnya, sehingga analisa yang didapat kurang utuh, karena pembahasan selanjutnya beralih ke bab-bab yang lain.

Selain kedua tulisan di atas, terdapat pula tulisan lain yang membahas tentang makanan, seperti buku W awasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’ i atas Pelbagai Persoalan Umat, dan buku Membumikan Al-Qur’ an : Fungsi dan Peran W ahyu dalam Kehidupan Masyarakat, karya M. Quraish Shihab, dan Al-Qur’ an dan Panduan Kesehatan Masyarakat karya Dr. H.R. Su’dan M.D. Buku-buku tersebut juga membahas masalah makanan secara singkat dalam satu bab.

Selain buku-buku di atas, adalah buku Al-Qur’ an dan Ilmu Gizi karya Maimunan Hasan-lah yang merupakan satu buku utuh yang membahas tentang masalah yang ada kaitannya dengan makanan dan perintah untuk Selain buku-buku di atas, adalah buku Al-Qur’ an dan Ilmu Gizi karya Maimunan Hasan-lah yang merupakan satu buku utuh yang membahas tentang masalah yang ada kaitannya dengan makanan dan perintah untuk

masalah gizi. Dari beberapa karya ilmiah yang penulis paparkan di atas, belum ada

satu tulisan yang secara khusus dan tuntas membahas isyarat-isyarat al- Qur’an mengenai makanan yang sehat. Oleh karena itu, dalam tesis ini penulis berusaha membahasnya secara ilmiah dengan menggunakan pendekatan tafsir tematik.

F. Sistematika Pembahasan

Untuk memperoleh suatu penelitian yang komprehensif dan sistemasis, maka penelitian ini menggunakan sistematika pembahasan sebagai berikut :

Bab pertama, merupakan pendahuluan dari penelitian ini, yang mencakup latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan signifikansi penelitian, metodologi penelitian, kajian pustaka dan sistematika penulisan.

Selanjutnya, pada Bab kedua, penulis berusaha memaparkan definisi- definisi dan prinsip-prinsip dasar dari kajian ini, yang dibagi menjadi Selanjutnya, pada Bab kedua, penulis berusaha memaparkan definisi- definisi dan prinsip-prinsip dasar dari kajian ini, yang dibagi menjadi

Bab ketiga berisi tentang sumber-sumber makanan halal dan bergizi yang terdapat di dalam al-Qur’an. Yaitu yang terdiri dari makanan hewani

seperti ikan, binatang ternak, dan burung. Dan sumber makanan nabati seperti buah tin dan buah zaitun, anggur, kurma, jahe, manna, mentimun, bawang dan lain-lain. Serta memaparkan tentang minuman-minuman untuk kesehatan seperti susu, Air Susu Ibu (ASI), dan Madu. Penulis berusaha menjelaskan manfaat dan kandungan gizi dari makanan-makanan tersebut berdasarkan penjelasan para mufassir dan ahli gizi.

Kemudian kebalikan dari bab ketiga, pada bab keempat ini penulis berusaha memaparkan tentang hikmah diharamkannya beberapa jenis makanan dalam rangka menjaga kesehatan, seperti hikmah diharamkannya daging babi, bangkai dan darah, serta pengharaman minuman keras.

Bab kelima berisi analisa tentang implikasi makanan halal dan sehat terhadap kesehatan jasmani dan rohani, yang mencakup tentang urgensi makanan bergizi bagi muslim yaitu meningkatkan kekuatan tubuh dan meningkatkan keseimbangan mental, makanan halal serta sehat dan hubungannya dengan ibadah serta urgensi makanan sehat dan hubungannya dengan umur panjang.

Bab terakhir adalah bab keenam merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran.

BAB II DEFINISI DAN PRINSIP-PRINSIP DASAR

A. Definisi M akanan Secara Bahasa

Dalam Kamus besar bahasa Indonesia, definisi makanan adalah segala apa yang boleh dimakan, (seperti penganan, lauk pauk, kue dan lain-lain). 1 Sedangkan dalam buku-buku Ensiklopedi, makanan berarti segala apa yang boleh dimakan oleh manusia; sesuatu yang dapat menghilangkan rasa lapar; 2 dan dapat menguatkan badan. 3 Diartikan juga bahwa definisi makanan adalah segala bahan yang bila dimakan atau masuk ke dalam tubuh akan membentuk atau mengganti jaringan tubuh, memberikan tenaga, atau mengatur semua proses dalam tubuh. Di samping itu, makanan juga mengandung nilai tertentu bagi berbagai kelompok manusia, suku bangsa atau perorangan, yakni unsur kelezatan, memberikan rasa kenyang dan nilai yang dikaitkan dengan faktor-faktor lain, seperti emosi, perasaan, tingkat

sosial, agama, kepercayaan, dan lain-lain. 4

Dalam bahasa Arab kata makanan berasal dari lafazh ﺔــﻤِﻌﻃﺃ ( al- ath’imah ). Kata al-ath’ imah adalah bentuk jamak dari kata ﻡﺎﻌﻃ ( tha‘ âm ) . Secara etimilogi makanan ( at-tha‘ âm ) adalah segala sesuatu yang dapat dimakan dan

segala sesuatu yang dijadikan untuk kekuatan tubuh. 5

1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1998), Cet. I, h. 547

2 Abdul Azizi Dahlan at. al. (Edit.), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), Cet. I, Jilid IV, h. 1071

3 Ensiklopedi Islam, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), jilid III, h. 127

4 Hassan Shadily (Red.), Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1983), jilid IV, h. 2096

5 Ibnu Manzhur, Lisan al-A rab, (Beirut : Dar Al-Fikr,t.th), Juz XV, h. 256

Menurut istilah para ahli fiqih, lafazh ﻡﺎـﻌﻃ digunakan dalam makna

yang berbeda-beda mengikuti perbedaan negerinya. Sebagian besar mereka menggunakan lafazh ini untuk menunjukan bahan makanan yang digunakan untuk membayar kaffarât dan fidyah , maka yang dimaksud dengan lafazh ﻡﺎﻌﻃ di sini adalah makanan pokok, seperti gandum, jagung, kurma, dan lain

sebagainya. 6

Dan mereka juga mendefinisikan bahwa lafazh ﻡﺎـﻌﻃ

adalah semua

yang dimakan oleh manusia yang meliputi makanan untuk memberikan tenaga seperti gandum, makanan yang dibubuhkan sebagai rempah-rempah seperti minyak, juga makanan untuk kenikmatan atau kesenangan seperti apel, dan makanan untuk pengobatan dan penyembuhan seperti biji hitam

atau garam. 7

Sedangkan penduduk Hijaz menggunakan lafazh ﻡﺎـﻌﻃ secara khusus

dalam arti gandum. 8 Selain itu juga, ada hadis yang diriwayatkan oleh Abu

Sa’id yang menunjukkan lafazh ﻡﺎﻌﻃ dalam arti gandum, yaitu hadis : “ ﱯﻨﻟﺍ ﻥﺃ ﲑﻌﺷ ﻦﻣ

Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka yang dimaksud dengan makanan dalam tesis ini adalah semua bahan yang dapat dimakan oleh manusia yang berfungsi untuk menumbuhkan, memelihara kesehatan,

6 Ahmad at-Thariqi, A hkâm al-A th‘imah fî asy-Syari‘ah al-Islâmiyyah, (Riyadh : 1984), cet. I, h. 63

7 Ibid. 8 Ibnu Manzhûr, Op. Cit ., h. 256

9 Ibid. Lihat juga Ar-Râghib al-Ashfahâni, M u’jam mufradât alfâzh al-Qur’ân, (Beirut Dâr al-Fikr, t.th.), h. 313 9 Ibid. Lihat juga Ar-Râghib al-Ashfahâni, M u’jam mufradât alfâzh al-Qur’ân, (Beirut Dâr al-Fikr, t.th.), h. 313

Oleh karena itu, setiap bahan makanan yang dikonsumsi oleh manusia harus memiliki kandungan nutrisi yang dibutuhkan manusia. Jadi berbicara tentang makanan, maka sangat erat sekali kaitannya dengan nutrisi. Karena nutrisi adalah ikatan kimia yang terdapat di dalam bahan makanan yang

diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya, yaitu menghasilkan energi, membangun dan memelihara jaringan, serta mengatur proses-proses

kehidupan. 10 Dalam bahasa Inggris, Nutrisi disebut dengan kata Nutrient, yang artinya sesuatu yang menumbuhkan, atau makanan bergizi. Sedangkan kata Gizi berasal dari bahasa Arab ghidzdzî, ghidzâ’ dan taghdziyah, yang artinya

sesuatu yang berhubungan dengan makanan. 11

Jadi nutrisi merupakan istilah bagi semua zat gizi yang terdapat dalam bahan makanan, yang berfungsi satu atau lebih dalam melengkapi, membangun serta memperbaiki jaringan dan untuk mengatur proses kehidupan tubuh. Dikenal ada enam jenis nutrisi yang diperlukan oleh

tubuh, yaitu Protein, Lemak, Karbohidrat, Vitamin, Mineral dan Air. 12 Adapun fungsi-fungsi nutrisi tersebut bagi tubuh manusia akan dijelaskan dalam pembahasan selanjutnya.

10 Sunita Almatsier, Prinsip Dasar Ilmu Gizi, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, t.th.), h. 3

11 Atabik A li, Kamus Inggris-Indonesia-A rab, (Yogyakarta : Multi Karya Grafika, 2003), cet. I, h. 864

12 Hassan Syadily (Red.), Op. Cit.,

h. 2416

B. M akna dan Term-term Lafazh M akanan (Tha‘âm) dalam Al-Qur ’ an

Kata ﻡﺎــﻌﻃ ( tha‘ âm ) dalam berbagai bentuknya terulang dalam al-

Qur’an sebanyak 48 kali yang antara lain berbicara tentang berbagai aspek berkaitan dengan makanan.

Kata tha‘ âm diungkapkan untuk segala perkara yang dapat dimakan

termasuk air. Di dalam al-Qur’an kata ﺏﺮـﺷ ( syariba) (minum) dan ﻢــﻌْﻄﻳ

( yath‘am) (makan) digunakan untuk objek yang berkaitan dengan air minum. 13 Hal ini sebagaimana terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 249,

sebagai berikut :

“ Maka siapa di antara kamu meminum airnya, bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, maka ia adalah pengikutku…” . (Q.S. al-Baqarah : 249)

Berdasarkan ayat ini, kata tha‘ âm diungkapkan umumnya untuk segala sesuatu yang dapat dimakan dan kadang diungkapkan pula untuk sesuatu yang dapat diminum.

Di dalam sebuah hadis Nabi juga terdapat kata tha‘âm yang digunakan untuk makna minum. Yaitu hadis tentang air zam-zam yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Dzar al-Ghifari, sebagai berikut :

13 Ahmad at-Thariqi, Op. Cit. , h. 61 14 Abu Daud ath-Thayalisi, Musnad A bu Daud,

h. 61. Hdais ini juga diriwayatkan oleh

Imam Ahmad dan Imam Muslim, tanpa menyebutkan lafazh " ﻢﻘﺳ ﺀﺎﻔﺷ ﻭ "

“ Sesungguhnya air zam-zam itu adalah makanan yang mengenyangkan dan obat yang menyembuhkan.” (H.R. Abu Daud)

Lafazh ﻡﺎﻌﻃ juga digunakan untuk menunjukkan jenis-jenis makanan

tertentu, tergantung pada konteks pembicaraan dalam ayat tersebut.

Misalnya, yang terdapat dalam surat al-Mâ’idah ayat 96, lafazh ﻡﺎــﻌﻃ

digunakan untuk makna ikan dan makhluk hidup lain yang hidup di air, 15

dengan ayat yang berbunyi :

“ Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang- orang yang dalam perjalanan” . (Q.S. al-Mâ’idah : 96)

Berkaitan dengan makanan ahlul kitab dalam surat al-Mâ’idah ayat

ayat 5, lafazh ﻡﺎـﻌﻃ secara khusus mengandung arti binatang sembelihan. 16

Sebagaimana ayat :

“ Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka” . (Q.S. al- Mâ’idah : 5)

Itulah beberapa makna lafazh ﻡﺎـﻌﻃ yang terdapat dalam al-Qur’an.

Selain lafazh tha‘ âm, kata makanan di dalam al-Qur’an diungkapkan juga

dengan lafazh ﺓﺪـﺋﺎﻣ , sebagaimana terdapat dalam surat al-Mâ’idah ayat 112

dan 114, yaitu :

15 Ibnu Katsir A d-Dimasyqi, Tafsîr A l-Qur’ân A l-‘A zhîm, (Beirut : Dâr al-Fikr, 1992), Jilid II, h. 126

16 Al-Khâzin, Tafsîr al-Khâzin, (Beirut : Dâr al-Fikr, 1979), juz II, h. 14

“ (Ingatlah), ketika pengikut-pengikut `Isa berkata: “ Hai `Isa putera Maryam, bersediakah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami” `Isa menjawab: “ Bertakwalah kepada Allah jika

betul-betul kamu orang yang beriman” . Mereka berkata; “ kami ingin memakan hidangan itu dan supaya tenteram hati kami dan supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami, dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan itu” . (Q.S. al-Mâ’idah : 112-113)

Ayat tersebut menerangkan tentang mukjizat hidangan yang diminta oleh orang-orang Hawâriyûn, para pengikut Isa. Dan karena mukjizat itu pula surat ini dinamakan surat al-Mâ’idah. Hal ini bermula ketika para pengikut Isa meminta satu bukti kekuasaan kepada Isa dan sekaligus bukti penguat tentang kebenaran dan kedekatannya dengan Allah. Mereka mengkhususkan permintaan berupa makanan atau hidangan yang turun dari langit, yang kemudian mereka bisa memakannya sebagai berkah, yang membuat jiwa mereka tenang ketika melihatnya, agar dapat menambah

keyakinan akan kebenaran Isa. 17 Maka Allah swt. memenuhi permintaan

tersebut atas doa Isa as. Firman Allah :

17 Muhammad Ali ash-Shabuny, Cahaya al-Qur’an, Tafsir Tematik, (terj.), (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2002), cet. II, h. 300

“ Isa putera Maryam berdo`a: “ Ya Tuhan kami, turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu bagi orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezekilah kami, dan Engkaulah Pemberi rezeki Yang Paling Utama” . (Q.S. al-Mâ’idah : 114)

Allah swt. memenuhi doa Nabi Isa, sehingga Dia menurunkan hidangan kepada kaumnya, yang menurut beberapa riwayat dikatakan bahwa hidangan tersebut berupa roti, daging dan minuman, dari jenis

makanan yang lezat dan baik. 18

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa ada perbedaan antara

makna lafazh ﻡﺎـﻌﻃ dan ﺓﺪـﺋﺎﻣ , karena lafazh ﺓﺪـﺋﺎﻣ hanya digunakan untuk

menunjukkan suatu menu hidangan lengkap yang siap disantap, misalnya terdiri dari nasi/ roti lengkap dengan lauk-pauk, dan minumannya.

Di al-Qur’an juga diungkapkan kata yang berarti makanan dengan menggunakan lafazh ﺀﺍﺬﻏ . Namun lafazh ini memiliki arti yang lebih khusus, yaitu berarti makanan untuk menu makan siang, sebagaimana terdapat

dalam dalam surat al-Kahfi ayat 62, yaitu :

18 Ibid, h. 301, Ada pula yang berpendapat bahwa hidangan yang diturunkan itu berupa roti dan ikan, dan ada pula yang menyebutkan manna. Ensiklopedi A l-Qur’an, Kajian Kosakata dan Tafsirnya, (Jakarta : Yayasan Bimantara, 1997), h. 243

“ Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah ke mari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini” . (Q. S. al-Kahfi : 62)

C. Unsur-unsur Makanan Sehat Menurut Al-Qur’an

Islam memandang bahwa makanan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Karena makanan mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan jasmani dan rohani manusia. Maka dari itu di dalam ajaran Islam banyak peraturan yang berkaitan dengan “ makanan” dari mulai mengatur etika makan, mengatur idealitas kuantitas makanan di dalam perut, bahkan yang terpenting adalah mengatur makanan yang halal dan haram untuk dimakan.

Masalah halal dan haramnya makanan bukanlah persoalan sederhana yang dapat diabaikan, melainkan merupakan masalah yang amat penting dan mendapat perhatian dari ajaran agama secara umum. Karena, masalah ini tidak hanya menyangkut hubungan antar sesama manusia, tapi juga hubungan manusia dengan Tuhan. Seorang muslim tidak dibenarkan mengkonsumsi suatu makanan sebelum ia tahu benar akan kehalalannya. Mengkonsumsi yang haram, atau yang belum diketahui kehalalannya akan berakibat buruk baik di dunia maupun di akhirat. Jadi masalah ini mengandung dimensi duniawi dan sekaligus ukhrawi.

Oleh karenanya, di dalam al-Qur’an dijelaskan dengan tegas bahwa manusia diperintahkan untuk memilih makanan yang halal untuk dikonsumsinya., sebagaimana ayat berikut :

“ Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah- langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang

nyata bagimu.” (Q.S. al-Baqarah : 168) 19

Dengan demikian dapat dipahami bahwa kehalalan suatu makanan merupakan unsur terpenting yang wajib diperhatikan oleh umat Islam dalam

memilih makanannya. Selain itu, dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa selain halal makanan itu harus baik, dalam arti tidak membahayakan bagi kesehatan fisik dan mental manusia.

Oleh karena itu, pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah apakah semua yang halal itu pasti sehat dan baik untuk dikonsumsi? Menurut Prof. H.M. Hembing Wijayakusuma, pakar pengobatan alternatif dan akupuntur, bahwa makanan yang halal dan sehat adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Makanan yang halal akan mencerminkan jiwa yang bersih. Pikiran dan jasmani yang segar menimbulkan ketentraman dan kekhusyukan. Sebaliknya, setiap makanan yang telah diharamkan oleh Islam mengandung bahaya, baik lahir maupun batin.

Dalam pandangannya, tidak ada makanan atau minuman yang dinyatakan haram oleh Islam tiba-tiba dinyatakan sehat menurut organisasi kesehatan dunia, WHO, yakni sehat itu berarti sehat jasmani, rohani, dan

19 Ayat serupa juga terdapat dalam Q.S. Al-Mâ’idah : 88, Al-Anfâl : 69, dan A n-Nahl : 114 19 Ayat serupa juga terdapat dalam Q.S. Al-Mâ’idah : 88, Al-Anfâl : 69, dan A n-Nahl : 114

pastilah dengan melihat semua faktor tersebut. 20

Pendapat berbeda disampaikan oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab ketika menafsirkan ayat di atas, bahwa tidak semua makanan yang halal otomatis baik. Karena tidak semua yang halal sesuai dengan kondisi masing- masing. Ada halal yang baik buat si A yang memiliki kondisi kesehatan

tertentu, dan ada juga yang kurang baik untuknya, walaupun baik buat yang lain. Ada makanan yang halal tetapi tidak bergizi, dan ketika itu ia menjadi

kurang baik. Yang diperintahkan adalah yang halâl lagi baik. 21 Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan bahwa unsur- unsur makanan yang sehat menurut al-Qur’an adalah harus halal dan baik ( thayyib ).

Sifat halal atau haram berkaitan dengan kaidah-kaidah agama (keimanan) Islam, sedangkan sifat baik ( thayyib ) atau buruk harus ditelusuri lebih rinci dengan nalar dalam bentuk ilmu. Memang pada umumnya jenis makanan yang halal menurut agama Islam, termasuk pula bersifat baik

menurut pertimbangan ilmu. 22

Berikut ini akan dijelaskan mengenai definisi makanan halal dan haram berdasarkan hukum syara’ serta definisi makanan yang baik (bergizi) berdasarkan penjelasan ilmu gizi.

20 Pendapat tersebut dikutip oleh Thobieb A l-Asyhar, dalam Bukunya , Bahaya M akanan Haram bagi Kesehatan Jasmani dan Kesucian Rohani, (Jakarta : P.T. Al-Mawardi Prima, 2002), cet. I, h. 41

21 M. Quraish Shihab, Tafsir al-M ishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. (Jakarta : Lentera Hati, 2000) Cet. I, Volume I, h. 355

22 A. Djaelani Sediaoetama, Ilmu Gizi M enurut Pandangan Islam, (Jakarta : Dian Rakyat, 1990), cet. I, h. 20

1. Makanan Yang Halal

a. Definisi Halal Secara Umum Kata halal berasal dari bahasa Arab halla, yahillu, hillan , yang artinya, secara etimologi adalah membebaskan, melepaskan, memecahkan, membubarkan dan membolehkan. 23 Sedangkan secara terminologi halal mengandung dua arti, yaitu : 1) Segala sesuatu yang menyebabkan seseorang

tidak dihukum jika menggunakannya. 2) Sesuatu yang boleh dikerjakan menurut syara’ . 24

Halal adalah kebalikan dari haram. Ungkapan lain yang menunjukkan kepada pengertian yang sama ialah mubâh dan jâiz. Menurut al-Jurjani, ahli bahasa Arab, dalam kitab at-Ta ’ rîfât (kitab definisi) mengemukakan, pengertian pertama di atas menunjukkan bahwa kata “ halâl ” menyangkut kebolehan menggunakan benda-benda atau apa saja yang dibutuhkan untuk memenuhi keperluan fisik, termasuk di dalamnya makanan, minuman, dan obat-obatan. Sedangkan pengertian kedua berkaitan dengan kebolehan memanfaatkan, memakan, meminum dan

mengerjakan sesuatu yang kesemuanya ditentukan berdasarkan nas. 25 Kata halal juga mengandung arti segala sesuatu yang boleh dikerjakan atau dimakan. Dengan pengertian bahwa orang yang melakukannya tidak

mendapat sanksi dari Allah swt. 26

23 Abdul Aziz Dahlan, et. al. (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), cet. I, jilid 2, h. 505

24 Ibid, h. 506. 25 Ibid. 26 M. Abdul Mujieb, dkk., Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta : PT. Pustaka Firdaus, 1994), Cet. I, h. 97

Di dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa yang berhak atau berwenang menentukan kehalalan segala sesuatu adalah Allah swt. Hal ini sebagaimana

terdapat dalam surat Yûnus ayat 59, yaitu : 27

“ Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal". Katakanlah: "Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan

saja terhadap Allah?” . (Q.S. Yûnus : 59)

Manusia dalam hal ini tidak mempunyai kewenangan sedikitpun. Menurutnya, siapa yang melakukannya berarti telah membuat sekutu bagi- Nya. Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah dari Salman al-Farisi menyebutkan bahwa pada suatu ketika Rasulullah saw. ditanya tentang hukum samin, keju, dan keledai hutan. Rasulullah saw. bersabda : “ Yang disebut halal itu ialah yang dihalalkan oleh

Allah” . Hadis yang senada diriwayatkan oleh Al-Hakim dan Al-Bazzar. 28 Segala sesuatu yang dihalalkan Allah swt. adalah bermanfaat bagi manusia itu sendiri, baik bagi fisik maupun mental. Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziah, ulama fiqih madzhab Hanbali, Allah swt. tidak semata-mata mengharamkan sesuatu kecuali dibalik itu Allah swt. menghalalkan yang lainnya sebagai solusi akibat larangan itu, dan sebaliknya. Misalnya, Allah

27 Dalil serupa juga terdapat dalam surat At-Taubah ayat 31, dan asy-Syurâ ayat 21 28 Abdul Aziz Dahlan, et. al., (ed), Op. Cit.,

h. 506.