POLITIK PENDIDIKAN

International Conference on Education
“Poverty, Technology, and Policy:

Threats and Opportunities of Character Education”
The Sahid Rich Jogja Hotel
Saturday, May 9, 2015

UNIVERSITY OF TECHNOLOGY YOGYAKARTA
Campus I: Jalan Ringroad Utara, Jombor, Sleman 55285
Campus II: Jalan Glagahsari No. 63 Umbulharjo, Yogyakarta 55164
Campus III: Jalan Prof. Dr. Soepomo, S.H. No. 21 Janturan, Umbulharjo, Yogyakarta 55165

Proceedings:
International Conference on Education
Faculty of Education – University of Technology Yogyakarta, 2015

POLITIK PENDIDIKAN:
UPAYA MEMBANGUN SDM KOMPETITIF
DI TENGAH KETIMPANGAN AKSES
Hasse J.
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

praktisi_99@yahoo.com

Page | 126

ABSTRAK
Tulisan ini difokuskan pada rendahnya daya saing SDM bangsa yang disebabkan oleh berbagai
faktor termasuk ketimpangan akses terhadap fasilitas pendidikan. Hak memperoleh pendidikan
yang layak telah digariskan dalam konstitusi sehingga harus diwujudkan dengan skema-skema
yang menguntungkan. Ketertinggalan bangsa yang ditandai oleh rendahnya daya saing
semestinya tidak terjadi apabila pengelolaan pendidikan dilakukan dengan menyeluruh dan
mengedepankan kepentingan bangsa. Fasilitas pendidikan telah berdiri kokoh hingga pelosok,
namun kurang dimanfaatkan untuk mencetak anak bangsa yang unggul dan memiliki daya saing
yang tinggi. Kebijakan pendidikan harus mengarah pada pemenuhan hak dasar pendidikan
bangsa, tidak meluluh pencapaian target yang dapat diukur dengan angka-angka semata.
Pemerataan pendidikan tidak hanya terpaku pada bagaimana memberikan pendidikan kepada
seluruh elemen bangsa, tetapi juga harus memperhatikan tingakt aksesibilitas bagi semua lapisan
sehingga pendidikan menjadi milik seluruh anak bangsa.
Kata Kunci: Pendidikan, Akses, Ketimpangan

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan sebuah media untuk membangun peradaban (Nelly, 2015: 21), bangsa yang
maju (Hasse J, 2014: 36). Oleh Karen itu, pendidikan mutlak dilakukan dan dinikmati oleh seluruh
elemen bangsa, tanpa ada diskriminasi. Hal ini merupakan amanat konstitusi yang wajib dipenuhi
oleh penyelenggara negara. Pemenuhan hak atas pendidikan menjadi pekerjaan yang sangat
“mulia” sekaligus “berat” karena menyangkut banyak hal seperti komitmen untuk maju bersama,
komitmen membangun bangsa, dan komitmen melakukan pemerataan, serta komitmen untuk
bersaing dan unggul dari bangsa-bangsa lain. Hak atas pemenuhan kebutuhan dasar seperti
pendidikan tidak hanya terkait dengan bagaimana mengenyam pendidikan sebaik-mungkin bagi
siapa saja, tetapi juga menyangkut bagaimana menyediakan layanan pendidikan yang proporsional
dan terjangkau bagi seluruh anak bangsa di seluruh penjuru negeri.
Landasan yuridis pelaksanaan pendidikan Indonesia sangat tegas. Dalam UUD 1945
sangat jelas digariskan bahwa “mencerdaskan kehidupan bangsa” harus tegakkan. Mencerdaskan
berarti mengubah diri dan wajah bangsa ke arah yang lebih cerah melalui berbagai cara seperti
pemberian pengetahuan melalui keberadaan lembaga-lembaga pendidikan. Secara khusus, pada
pasal 28 C ayat (1) ditetapkan bahwa “setiap orang berhak mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia”. Hak mutlak ini kemudian dipertegas lagi pada Pasal 31 ayat (1)
bahwa “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Selanjutnya, menjadi kewajiban
negara untuk memfasilitasi keterpenuhan pendidikan tersebut sebagaimana disebutkan dalam Pasal

31 ayat (2), bahwa “setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya”.
Dalam Undang-Undang No 23 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan
tegas dinyatakan bahwa “pendidikan merupakan usaha sadardan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

Poverty, Technology, and Policy: Threats and Opportunities of Character Education

Proceedings:
International Conference on Education
Faculty of Education – University of Technology Yogyakarta, 2015

dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara”. UU
ini menyiratkan penyediaan “media” pendidikan bagi seluruh bangsa yang disertai dengan tujuan
dan fungsi yang jelas. Pendidikan itu sendiri, sebagaimana yang ditegaskan dalam UU ini, adalah
“mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa…”.
Landasan yuridis di atas memberikan gambaran yang komprehensif mengenai proses atau Page | 127
penyelenggaraan serta hak dan kwajiban bagi warga dan negara dalam pelaksanaan pendidikan.

Warga Negara berhak memperoleh pendidikan yang layak, sementara negara berkewajiban
menyediakan dan membiayai jalannya pendidikan. Di tengah gencarnya upaya penegakan
konstitusi tersebut seiring dengan kewajiban mengalokasikan anggaran APBN sebanyak 20 %
untuk sektor pendidikan, di berbagai tempat masih ditemukan bagaimana warga negara kesulitan
memperoleh hak dasarnya (pendidikan). Hal ini disebabkan oleh bukan pada ketidak-tersediaan
sarana pendidikan seperti bangunan sekolah, tetapi lebih disebabkan oleh minimnya akses untuk
sampai pada pemenuhan kebutuhan atas pendidikan baginya. Masih ditemukan di beberapa pojok
negeri ini bagaimana sekelompok anak sekolah harus menempuh puluhan kilometer untuk sampai
ke sekolah. Bahkan, mereka harus menyeberangi sungai untuk menggapai sekolah demi impian
untuk meraih dan mengubah nasib.
Bagi kebanyakan orang, pendidikan merupakan salah satu cara mengubah nasib dengan
pengeluaran (uang) yang relatif ringan dan risiko yang rendah. Akan tetapi, pengetahuan
kebanyakan orang juga tidak merata mengenai bagaimana memperoleh pendidikan yang layak.
Bagi Friedmen (1991) faktor sturktural-lah yang menjadikan hal tersebut terjadi di mana fasilitas
pendidikan telah didirikan oleh negara, namun warganya tidak mampu menikmatinya dengan baik
karena jarak, ketersediaan informasi, dan berbagai kendala struktural lainnya. Tulisan ini menitikberatkan kajian pada persoalan struktual tadi, artinya mutu pendidikan terbelakang bukan karena
fasilitas yang kurang memadai, tetapi diakibatkan oleh akses yang tidak merata terhadap
pendidikan itu sendiri.

METODE

Tulisan ini dibangun berdasarkan pengamatan penulis terhadap akses pendidikan bagi sekelompok
anak di beberapa daerah terpencil di Indonesia seperti di Papua, Sulawesi Selatan dan Jawa.
Pengamatan ini dilakukan selama kurun waktu 2011-2014 ketika penulis melakukan berbagai
kegiatan di beberapa daerah tersebut. Di Papua misalnya, yang selama ini dianggap „terbelakang‟
dari pendidikan selamanya tidak tepat karena fasilitas pendidikan di daerah ini sudah ada
meskipun belum selengkap di Jawa. Hanya saja, kesadaran masyarakat menjadi persoalan sendiri
di sini, di samping kondisi goegrafis yang kurang mendukung untuk mencapai fasilitas pendidikan
yang ada.
Di Sulawesi Selatan juga demikian, meskipun fasilitas seperti sekolah sudah ada, tetapi
lokasinya masih terisolasi seperti tidak-adanya jembatan penghubung anak-anak untuk ke sekolah
sehingga membutuhkan semangat dan keberanian ekstra. Bahkan di Jawa (DIY) masih ditemukan
hal yang hampir sama. Pada sebuah pemukiamn di wilayah pegunungan Menoreh misalnya, anakanak sekolah harus berangkat lebih awal ke sekolah karena jarak tempuh yang sulit. Mereka harus
menuruni dan mendaki gunung dengan berjalan kaki. Di Banten juga demikian, anak-anak sekolah
harus menghabiskan waktunya di jalan untuk mencapai sekolahnya, bahkan harus menyeberang
sungai. Hal ini tentunya sangat tidak efisien bagi anak-anak seusia sekolah untuk memperoleh
pendidikan yang maksimal.
Data pengamatan yang diperoleh kemudian dikombinasikan dengan data dokumentasi
yang diperoleh dari klipping Koran Harian Kompas pada beberapa edisi yang dipilih berdasarkan
persoalan utama kajian ini. Data tersebut kemudian dianalisis menggunakan pendekatan keadilan
distributif ala John Rawls (1973) yang melihat bahwa sesuatu tidak bisa diperoleh bukan karena

ketiadaan barang, tetapi lebih pada distribusi tidak maksimal. Keadilan tidak hanya menuntut
equality, tetapi juga fairness. Setiap orang harus memiliki hak yang sama untuk kebebasan dasar
seluas-luasnya dan menguntungkan semua orang (Sholihan, 2014: 41-48). Dalam hal ini, distribusi

Poverty, Technology, and Policy: Threats and Opportunities of Character Education

Proceedings:
International Conference on Education
Faculty of Education – University of Technology Yogyakarta, 2015

pendidikan (akses) tidak merata. Asumsi ini sejalan dengan pandangan John Friedman (1992)
bahwa keterbelakangan pendidikan bukan disebabkan oleh kelafaan fasilitas pendidikan, tetapi
diakibatkan oleh akses terhadap fasilitas pendidikan itu sendiri yang tersedia.

HASIL
Page | 128
Ada dua hal utama yang akan disajikan dalam tulisan ini. Pertama , pemerataan akses pendidikan,
dan kedua , menyangkut kesiapan SDM bangsa menghadapi persaingan global. Persoalan pertama
sangat terkait erat komitmen negara untuk mengelola pendidikan secara komprehensif, tidak
parsial. Ketersediaan pelayanan yang menyeluruh masih sebatas wacana ketika melihat relaitas di

dunia pendidikan khususnya perguruan tinggi. Persoalan kedua erat hubungannya dengan metode
mencetak SDM yang unggul dan kompetitif. Hal ini juga tidak bisa lepas dari persoalan pertama
tadi sehingga dibutuhkan bentuk pengelolaan pendidikan yang berorientasi pada pemenuhan
kebutuhan pendidikan untuk semua kalangan tanpa pembedaan yang didasarkan pada klaim dalam
bentuk apapun.
Kebijakan mengenai pendidikan sebenarnya sudah di „jalan yang benar‟, tetapi belum
didukung oleh komitmen yang mengarah pada pengelolaan pendidikan beradasarkan asas
pemerataan. Hal ini dapat dijumpai pada komitmen penganggaran yang dengan tegas menetapkan
anggaran yang lebih besar dari periode sebelumnya. Hanya saja, masih terdapat pula
kecenderungan pendidikan menganut sistem „prioritas geografis‟ di mana Jawa menjadi basis
pembangunan sekaligus ukuran bagi keberhasilan pengelolaan. Bahkan, standar yang digunakan
bagi calon mahasiswa agar dapat menuntut ilmu pada perguruan tinggi terkemuka seragam
sehingga menyulitkan bagi calon mahasiswa yang sebelumnya tidak memiliki faslitas pendukung
yang lebih baik. Pada pelaksanaan UAN, misalnya, yang mulai menggunakan komputer
(Computer Based Test), bukan lagi Paper Based Test. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah:
apakah semua siswa bisa mengaplikasikan metode tersebut? Demikian pula, syarat skor TOEFL
yang ditentukan oleh beberapa perguruan tinggi ternama (di Jawa). Hal ini pun menjadi momok
karena tidak semua orang memiliki basis bahasa Inggris yang cukup untuk memperoleh skor
TOEFL seperti yang disyaratkan. Jangankan kemampuan berbahasa Inggris, berbahasa Indonesia
saja masih lemah sehingga syarat ini sering menjadi kendala untuk menuntut ilmu pada perguruan

tinggi terkemuka dengan jaminan mutu yang dapat dipertanggung-jawabkan.
Pertanyaan di atas muncul dilandasi oleh kenyataan bahwa kemampuan dan fasilitas
siswa (dari aspek geografis) sangat beragam. Belum lagi persoalan keterpenuhan listrik pada
masing-masing wliayah yang timpang. Bagaimana dengan daerah-daerah di pedalaman yang tidak
memiliki jaringan internet? Hal ini terkait dengan ketersediaan jaringan internet di mana sebanyak
135 kabupaten/kota belum memiliki akses (Kompas, 14 April 2015: 12). Inilah salah satu contoh
riil ketimpangan akses di dalam negeri. Ketimpangan juag terjadi antara Perguruan Tinggi (PT) di
Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Pada penilaian mutu eksternal BAN PT pada 2014 misalnya,
sebanyak 164 PT dari total 4.274 yang terakreditasi institusinya, hanya 2 (dua) PT yang
memperoleh akreditasi A di luar Pulau Jawa. Demikian pula di tingkat Program Studi (Prodi),
hanya 223 prodi yang mendapat nilai A di luar Pulau Jawa, sementara sebanyak 1.478 prodi yang
berhasil meraih akreditasi A di Pulau Jawa. Pada persaingan pendidikan tinggi juga terjadi hal
demikian, khususnya jika dibandingkan dengan publikasi Perguruan Tinggi (PT) dalam negeri
dengan PT luar negeri. Publikasi ilmiah PT di Indonesia hanya sekitar 14.000 yang terindeks
Scopus dari total 10 PT, sementara publikasi di Malaysia (UKM) mampu menembus angka 18.000
publikasi ilmiah (Kompas, 25 April 2015).
Penulis, melalui kesempatan ini tidaklah ingin mengungkapkan ketidak-setujuan
mengenai kebijakan tersebut, tetapi ingin menunjukkan betapa akutnya ketimpangan yang terjadi
selama ini. Pemerataan pendidikan sebagaimana telah disinggung di bagian awal tulisan ini
menjadi mutlak dilakukan dengan berbaagi strategi yang menguntungkan bagi bangsa ini, tidak

justru dianggap hanya menguntungkan sebagian orang apalagi wilayah. Setidaknya, dengan
kebijakan seperti itu akan memantik „kecemburuan‟ bagi sekelompok masyarakat yang pada
akhirnya justru menganggap dianak-tirikan oleh negara melalui kebijakan-kebijakan yang tidak
merata. Perlakuan yang timpang seperti ini akan selalu menjadi penghalang dan dianggap sebagai

Poverty, Technology, and Policy: Threats and Opportunities of Character Education

Proceedings:
International Conference on Education
Faculty of Education – University of Technology Yogyakarta, 2015

perlakukan diskriminatif khususnya bagi (anak) pada wilayah-wilayah yang memang secara
geografis jauh dari pusat kekuasaan.
Amanat konstitusi mengenai pendidikan khususnya alokasi anggaran sebesar 20 % dari
dana APBN harus tepat guna dan dapat dinikmati oleh seluruh elemen bangsa. Oleh karena itu,
pembangunan sarana (fasilitas) pendidikan harus didukung oleh keteresediaan akses yang lebih
terbuka. Banyak bangunan sekolah yang ide pembangunannya sangat cerdas, seperti memberikan
kesempatan kepada sekelompok anak di pedalaman untuk mengenyam pendidikan. Akan tetapi, Page | 129
ide cerdas tersebut terpatahkan oleh kondisi alam dan masyarakat setempat tidak sesuai. Misalnya,
bangunan sekolah berdiri kokoh namun minim murid. Hal ini salah satunya disebabkan oleh

ketersediaan tenaga pengajar yang kurang. Di sinilah distribusi guru perlu ditekankan dalam
rangka menjawab persoalan tersebut. Akhirnya, pendidikan anak bangsa jalan di tempat sehingga
kemiskinan pun semakin menyelimutinya, bahkan terus terproduksi dengan sendirinya.
Persoalan selanjutnya yang sangat terkait dengan ulasan di atas adalah kesiapan SDM
menghadapi kompetisi global. Persoalan kesiapan SDM menjadi salah satu persoalan akut yang
belum terselesaikan. Rendahnya kualitas SDM Indonesia dapat dilihat dari Indeks Pembangunan
Manusia atau Human Development Index (HDI). Berdasarkan IPM saat ini, Indonesia berada jauh
di bawah beberapa negara di Asean khususnya Singapura dan Malaysia serta Thailand (Effendi,
2009), bahkan tidak jauh dari posisi Vietnam yang umurnya masih sangat belia jika dibandingkan
dengan Indonesia. Kondisi ini memberikan gambaran lugas kepada bangsa Indonesia mengenai
tingkat atau kemampuan bersaing manusianya dengan negara-negara lain yang relatif rendah.
Daya saing yang dimiliki sangat rendah sehingga tidak mampu mengimbangi apalagi menyaingi
SDM negara-negara lain (Takbir, 2015). Hal ini berpengaruh langsung terhadap kompetisi dalam
memperebutkan lapangan pekerjaan yang layak khususnya menghadai era perdagangan bebas ke
depan.
Rendahnya indeks pembangunan manusia Indonesia salah satunya diakibatkan oleh
ketidak-merataan akses terhadap pendidikan seeperti telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini juga erat
kaitannya dengan perubahan kebijakan pada setiap rezim pemerintahan. Ada kecenderungan yang
mengarah pada ketidak-percayaan satu rezim pemerintahan terhadap rezim pemerintahan lain
khususnya dalam hal kebijakan pendidikan. Tidak aneh kiranya, setiap ada pergantian menteri,

berganti pula kebijakannya. Misalnya, dalam pengelolaan pendidikan seperti kurikulum yang
berubah-ubah tergantung pada siapa menteri pendidikannya. Padahal, yang harus dibangun adalah
sebuah road map pendidikan yang komprehensif termasuk kurikulum yang dibangun berdasarkan
kajian mendalam sehingga tidak berganti ketika ada pergantian pejabat.
Melihat realitas dunia pendidikan (khususnya pendidikan tinggi), ada tren perubahan arah
pendidikan sebagaimana yang diamanatkan konstitusi. Ada semacam deviasi antara ketentuan
konstitusi dengan pelaksanaannya. Akibat pengaruh globalisasi yang ditunggangi oleh pasar,
perubahan terjadi khususnya pada proses penyelenggaraan di mana pendidikan tidak lagi
sepenuhnya dipandang sebagai upaya mencerdaskan bangsa atau proses pemerdekaan manusia,
tetapi mulai bergeser menuju komodikasi pendidikan (Effendi, 2009:141) sehingga terjadi ketidaksingkronan antara kebutuhan masyarakat dengan lulusan perguruan tinggi yang memicu lahirnya
penganguran-pengangguran (sarjana) baru. Hal ini menunjukkan lemahnya manajemen
pengelolaan pendidikan di Indonesia.
Menurunnya tingkat relevansi pendidikan Indonesia sebenarnya telah terjadi sejak lama.
Beeby, seorang penelitian asal Australia, menunjukkan hal tersebut. Pada tahun 1970 menurutnya,
Indonesia setingkat dengan Malaysia, tetapi saat ini justru berada hanya satu tingkat di atas Laos,
Myanmar, dan Kamboja. Artinya, jauh di bawah Kamboja yang sudah melejit (terutama untuk
pendidikan dasar) (Effendi, 2009). Saat ini, yang bisa dilakukan adalah menyesuaikan antara
kebutuhan pasar dengan tingkat kompetensi lulusan. Ini pun sebenarnya bukan hal baru. System
atau pola “Link and Macth ” pernah dilakukan di era Orde Baru, tetapi tidak lagi dilanjutkan
(Qodir, 2009: 203). Kebijakan ini sendiri dianggap menggiring pendidikan ke arah penguasaan
pengetahuan dan teknologi sehingga linear dengan kebutuhan dunia kerja. Hanya saja, kebijakan
tersebut dinilai meninggalkan karakter bangsa dengan nilai-nilai luhurnya.

Poverty, Technology, and Policy: Threats and Opportunities of Character Education

Proceedings:
International Conference on Education
Faculty of Education – University of Technology Yogyakarta, 2015

SIMPULAN

Page | 130

Pengelolaan pendidikan yang didukung oleh ketersediaan anggaran yang cukup besar ternyata
belum mampu menuntaskan persoalan-persoalan yang ada di tengah masyarakat. Pangkal
persoalannya bukan hanya pada ketersediaan fasilitas, tetapi lebih pada aksesibilitas warga
terhadap fasilitas pendidikan yang ada. Komitmen negara untuk mencerdaskan bangsa melalui
penyediaan fasilitas pendidikan tidak berbanding lurus dengan realitas di lapangan. Jarak tempuh
antara pemukiman dan sekolah menjadi titik „lemah‟ upaya pencerdasan tersebut sehingga tidak
berjalan secara maksimal. Demikian pula, keterbatasan informasi mengenai pentingnya pendidikan
perlu ditingkatkan agar warga negara benar-benar memiliki kesadaran untuk memperoleh hak
pendidikan yang lebih layak.
Alokasi anggaran yang besar tidak serta-merta melahirkan kebijakan yang memihak bagi
seluruh anak bangsa dalam menikmati pendidikan. Selain jarak dan akses informasi yang kurang,
biaya pendidikan yang tinggi juga semakin menambah runyam warga miskin untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Biaya pendidikan yang tinggi minat melanjutkan
pendidikan semakin rendah. Hal ini pun kemudian berdampak pada tingkat daya saing SDM yang
juga rendah. Oleh karena itu, negara harus mengaktualisasikan kebijakan pendidikan dengan tetap
mengedepankan azas pemerataan bukan kesama-rataan sehingga dapat diakses oleh semua lapisan
masyarakat. Dengan demikian, pendidikan akan dapat dinikmati oleh siapa saja tanpa ada
pembedaan.
Sinergitas semua pihak dalam pengelolaan pendidikan harus dikedepankan dalam rangka
mengatasi berbagai persoalan bangsa yang semakin menumpuk. Kebutuhan dunia kerja harus
singkron dengan lulusan perguruan tinggi. Perguruan tinggi pun tidak lagi hanya mencetak lulusan
tanpa mempertimbangkan kebutuhan pasar dengan tetap menegakkan kaidah akademik.
Pembukaan akses terhadap pendidikan yang lebih luas setidaknya akan mampu mengurai ketidakmerataan pendidikan selama ini dan keadilan dapat dinikmati oleh semua elemen bangsa. Ke
depan, kualitas SDM harus memiliki daya saing (unggul dan kompetitif) sehingga mampu merebut
pasar dan tidak menjadi pelengkap dunia kerja yang semakin kompleks.

REFERENSI
Effendi, Sofian. 2009.”Reposisi Pendidikan Nasional”, dalam A. Ferry T Indratno (ed.), Negara
Minus Nurani: Esai-esai Kritis Kebijakan Publik. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Friedman, John. 1992. Empowerment: The Politics of Alternative Development. Cambridge:
Blackwell.
Harian Kompas. Jaringan Diperluas: 135 Kabupaten/Kota Belum Terkoneksi Internets. Edisi
Selasa, 14 April 2015.
Harian Kompas. Mutu Perguruan Tinggi Tertinggal. Edisi Sabtu, 25 April 2015.
Hasse J. 2014. “Membangun Pendidikan Berkeadaban: Pesantren Sebagai Basis dan Pilar
Pembinaan”, dalam Jurnal Jabal Hikmah: Jurnal Studi Kependidikan dan Hukum, Vol. 3
Nomor 1 2014. Jayapura: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Al Fatah
Jayapura-Papua.
Nelly. 2015. “Islam dan Pendidikan Global”, dalam Jurnal Jabal Hikmah: Jurnal Studi
Kependidikan dan Hukum, Vol. 4 Nomor 1 2015. Jayapura: Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN) Al Fatah Jayapura-Papua.
Qodir, Zuly. 2009. “Pendidikan Berkarakter, Jalan Selamatkan Indonesia”, dalam A. Ferry T
Indratno (ed.), Negara Minus Nurani: Esai-esai Kritis Kebijakan Publik. Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara.
Rawls, John. 197. A Theory of Justice. London: Oxford University Press.
Sholihan. 2014. Keadilan Sosial dalam Pemikiran Barat dan Islam Kontemporer: Kajian terhadap
Pemikiran John Rawls dan Sayyid Qutb. Semarang: RaSAIL Media Group.

Poverty, Technology, and Policy: Threats and Opportunities of Character Education

Proceedings:
International Conference on Education
Faculty of Education – University of Technology Yogyakarta, 2015

Takbir M, Muhammad. 2015. “Kebijakan Lembaga Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam dalam
Pengembangan Human Kapital Menghadapi AFTA: Studi Kasus pada Kebijakan Jurusan
Akidah Filsafat UIN Alauddin Makassar”, dalam Jurnal Jabal Hikmah Vol. 4 Nomor 1
2015. Jayapura: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Al Fatah Jayapura-Papua.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Page | 131
PENULIS
Dr. Hasse J., M.A. adalah dosen pada pada Program Studi (S3) Politik Ilsam-Ilmu Politik
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, menyelesaikan pendidikan doktor
pada Centre for Religious and Cross-cultural Studies Sekolah Pascasarjana UGM pada
tahun 2012. Selain mengajar di UMY, penulis juga mengajar pada beberapa perguruan
tinggi di Yogyakarta seperti UGM, UNY, dan UTY serta IAINU Kebumen. Selain itu,
penulis juga aktif mengisi Workshop dan Pelatihan Metodologi Penelitian (Sosial
Keagamaan) pada beberapa perguruang tinggi di Indonesia. Di sela-sela waktu yang ada,
penulis juga aktif melakukan penelitian khusunya menyangkut tema Agama dan Politik
serta tema-tema Religious Studies lainnya dan hasilnya telah dipublikasikan baik dalam
bentuk book chapter maupun jurnal ilmiah.

Poverty, Technology, and Policy: Threats and Opportunities of Character Education

UNIVERSITY OF TECHNOLOGY YOGYAKARTA

FACULTY OF EDUCATION