Penggunaan Hepes dan Butiran Efervesen dalam Sistem Inkubasi Pada Produksi Embrio Domba Secara In Vitro

PENGGUNAAN HEPES DAN BUTIRAN EFERVESEN
DALAM SISTEM INKUBASI PADA PRODUKSI EMBRIO
DOMBA SECARA IN VlTRO

Oleh
JASWANDI

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002

&
-

SWX akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat (QS. Al-Mujibdalah :11).
dan

........barang siapa menempuh jalan


untuk menuntut ilmu
maka Allah SWT. akan memudahkan baginya jalan ke
surga (Muslim dari Abu Hurairah).

Xeharibaan kedua orang tuaku
yang senantiasa berdo'a untuk
keberhasilan dan keselamatan
anak-anaknya.
Ystri dan anak-anakku tercinta,
beserta seluruh keluarga.

ABSTRAK
JASWANDI, 2002. Penggunaan Hepes dan Butiran Efervesen dalam Sistem
Inkubasi pada Produksi Embrio Domba Secara In Vitro. Dibawah bimbingan
YUHARA SIJKRA, MOZES R. TOELLHERE, ARIEF BOEDIONO DAN
M. AGUS SETIADI.
Penelitian ini bertujuan mempelajari penggunaan Hepes dan butiran efervesen
dalam sistem inkubasi pada produksi embrio domba secara m vitro. Oosit yang
mempunyai beberapa lapis sel kurnulus (COC) dimatangkan dengan medium tzssue
culture ~nedtum-199 (TCM-199) yang disuplementasi dengan beberapa level (konsentrasi) Hepes (0, 10,20 dan 30 mM) dalam cawan petri dan straw. Oosit diinkubasi

pada tiga kondisi yang berbeda yaitu inkubasi C02 5%, tanpa C02 5% dan butiran
efervesen. Untuk mendapatkan waktu optimum pada ketiga sistem inkubasi dilakukan percobaan pematangan oosit selama 16,20,24,28 dan 32 jam. Oosit yang telah
matang difertilisasi dengan sperma segar selama 6 , 12, 18 dan 24 jam dalam masingmasing sistem inkubasi (C02 5%, tanpa C02 5% dan butiran efervesen). Oosit yang
telah difertilisasi dikultur untuk menentukan pengaruh inkubasi selama pematangan
dan fertilisasi in vztra terhadap perkembangan embrio.
Tingkat kematangan oosit dalam straw tidak menunjukkan perbedaan
(P>0,05) dengan tingkat kematangan oosit dalam cawan petri, sementara penggunaan
Hepes, tempat pernatangan dan sistem inkubasi menunjukkan interaksi yang nyata
(P2 PN (>2 pronuklei) pada berbagai periode pematangan dan sistem inkubasi.
12. Analisis sidik ragam >2 PN (>2 pronuklei) pada berbagai periode pematangan
dan sistem inkubasi.
13. Sebaran normal data tingkat fertilisasi in vitro pada berbagai periode pematangan dan sistem inkubasi.
14. Analisis sichk ragam tingkat fertilisasi oosit in vitro pada berbagai periode
pematangan dan sistem inkubasi.
15. Perkembangan embrio dari oosit hasil pematangan dan fertilisasi in vitro
dengan berbagai sistem inkubasi .... ... ... . .. ... ... . .. . ... . ..

DAFTAR IS1
Halaman
PRAKATA


................................................................

DAFTAR IS1 .....................................................................
DAFTAR TABEL ...............................................................
DAFTAR GAMBAR ............................................................
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................
PENDAHULUAN ..............................................................
Tujuan Penelitian ............................................................
Manfaat Penelitian ..........................................................
Hipotesis ......................................................................
TINJAUAN PUSTAKA .........................................................
Potensi dan Perkembangan Oosit ...........................................
Produksi Embrio In Vitro ...................................................
Sistem Inkubasi ...............................................................
MATERI DAN METODE PENELITIAN
Materi Penelitian .............................................................
Metode Penelitian ............................................................
Rancangan Penelitian .........................................................
Analisis Statistik ...............................................................

HASIL DAN PEMBAHASAN
Potensi Ovarium Domba Sebagai Sumber Oosit .........................
Pematangan Oosit In Vitro ..................................................
Fertilisasi In Vitro ...........................................................
Kultur Embrio In Vitro ......................................................
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ..................................................................
Saran-saran ..................................................................
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................
LAMPIRAN.

xii

...

Vlll

xii
...


Xlll

DAFTARTABEL
Halaman
1. Rata-rata jumlah foli'kel dan kualitas oosit yang diperoleh per
ovarium ......................................................................

43

2. Tingkat kematangan oosit in vitro pada berbagai konsentrasi
Hepes, tempat pematangan dan sistem inkubasi (%) ...................

47

3. Tingkat kematangan oosit pada berbagai periode pematangan
dan sistem inkubasi (%). ..................................................

54

4. Perkembangan pronukleus IPN, 2 PN dan >2 PN dan tingkat

fertilisasi in vitro pada berbagai periode fertilisasi dan sistem
inkubasi ......................................................................

59

5. Perkembangan embrio domba dari oosit hasil pematangan dan
fertiIisasi in vitro dengan berbagai sistem inkubasi ...................

68

PENDAHULUAN
Kebutuhan terhadap produksi peternakan seperti daging, telur dan susu terus
meningkat sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap gizi.
Namun demikian peningkatan tersebut belum diimbangi oleh penyediaannya. Hal
ini terlihat dari konsumsi daging tahun 2000 yang mencapai 1.523.000 ton,
sementara produksi daging dalam negeri hanya 1.450.700 ton (Anonimus, 2001a).
Kekurangan produksi tersebut dipenuhi dengan mengimpor baik dalam bentuk
daging beku maupun sapi bakalan.
Dalarn upaya mencukupi kebutuhan pangan hewani masyarakat, pemerintah
telah menetapkan visi pembangunan subsektor peternakan tahun 2000 - 2005 yaitu :


"terwujudnya rnasyarakat yang sehat dan produktif serta kreatif melalui pembangunan peternakan yang tangguh berbasis sumber daya lokal" (Anonimus,
200 1b). Salah satu surnber daya lokal yang dijadikan sebagai komoditi ternak utarna
dalam mewujudkan sasaran tersebut adalah ternak domba. Keunggulan temak
domba antara Iain mudah dipelihara, tidak membutuhkan lahan yang luas, mempunyai produktifitas yang tinggi karena masa bunting yang pendek dan dapat melahirkan anak lebih dar~satu qkor dalarn satu kelahiran. Populasi ternak domba di
Indonesia pada tahun 2000 adalah 8.621.237 ekor, dengan kenaikan populasi ratarata 3,41 % per tahun. Hampir 90% dari populasi tersebut tersebar di pulau Jawa
dan terbanyak di daerah Jawa Barat yaitu sekitar 3,8 juta. Kontribusi ternak domba
terhadap produksi daging nasional masih rendah yaitu 2,07% (Anonimus, 2001a).

Untuk ineningkatkan peran yang lebih besar sebagai sumber pangan hewani
di masa depan diperlukan perbaikan manajemen pemeliharaanya. Selain dengan
cara-cara konvensional, peningkatan produktifitas ternak ini akan lebih efektif bila
perbaikan tersebut juga disertai dengan penerapan temuan-temuan baru khususnya
dalam bidang bioteknologi. Dalam aspek reproduksi, penerapan bioteknologi seperti
Inseminasi Buatan (IB) pada sistem perkawinan ternak telah memberikan
sumbangan yang cukup signifikan bagi peningkatan populasi dan produksi ternak,
khususnya pada ternak sapi dan sudah dirintis pada ternak domba. Disamping IB,
dalam beberapa dekade belakangan ini mulai dikembangkan teknologi TransJer
Embrro (TE) dan Fertilisasi In Vitro (FIV).


Teknologi fertilisasi zn vltro merupakan teknologi untuk produksi embrio
pada lingkungan buatan (di luar tubuh). Teknologi ini terdiri atas serangkaian
kegiatan yang meliputi pematangan oosit, fertilisasi oosit dengan sperma dan kultur
embrio. Produksi embrio melalui fertilisasi in vitro dapat menggunakan oosit yang
berasal dari Rumah Potong Hewan (RPH) maupun dari hewan hidup yang diperoleh
melalui teknik Ovum Plck-Up (OPU) dengan bantuan ultrasonografr (Ptak et al.,
1999 dan Kochhar el al., 2002). Dengan demikian teknologi fertilisasi in vitro dapat
menjadi alternatif produksi embrio dalam pelaksanaan TE, selain melalui superovulasi yang memiliki keterbatasan berupa keragaman respons individu terhadap pemberian hormon gonadotropin (Gordon, 1994, dan Brackett dan Zuelke, 1993).
Manfaat lain dari teknologi fertilisasi m vitro adalah membuka peluang yang lebih
besar untuk mengembangkan teknik manipulasi gamet dan embrio seperti produksi
kloning melalui transfer inti, transgenik, kimera dan partenogenetik (Gordon, 1994),

dengan menyediakan embrio dalam jumlah banyak dan murah. Produksi embrio
secara in vitro telah banyak dilakukan pada berbagai spesies ternak seperti sapi
(Trounson et al., 1994 dan Boediono et al., 1994), kerbau (Totey et al., 1993),
domba (Brown et al., 1998, Ptak et ul., 1999, Ledda et al., 1999 dan Jaswandi et al.,
200 I), kambing (Pawshe et al., 1994 dan Boediono et al., 200 1) dan pada kucing,
anjing dan cheetah (Beveridge dan Jabtour, 1998).
Dalam pemanfaatan oosit hewan yang dipotong atau mati untuk produksi
embrio in vrtro belum semua potensi oosit yang ada termanfaatkan karena terbatasnya daya hidup oosit, sementara teknologi koleksi ovarium yang dapat meinpertahankan viabilitas oosit dalam waktu yang cukup lama atau selama transportasi ke

laboratorium belum optimal. Keadaan tersebut merupakan kendala dalam pemanfaatan ovarium yang terdapat pada tempat yang jauh dari laboratorium FIV termasuk
ternak domba dan kambing yang pada umumnya tempat pemotongannya tersebar di
berbagai lokasi dalam skala kecil. Hal tersebut juga merupakan faktor penghambat
penerapan teknologi fertilisasi In vitro dalam upaya penyelamatan plasma nutfah
satwa liar, khususnya satwa langka yang dilindungi (endangered specres) yang mati
di habitatnya. Untuk ini diperlukan teknologi yang memungkinkan proses produksi
embrio in vitro dilakukan selama transportasi atau di luar laboratorium.
Kendala utama dalam produksi embrio di luar laboratorium atau selama
transportasi adalah keberadaan C02 dan tempat

pematangan. Menurut

Pinyopummintr dan Bavister (1995) produksi einbrio secara in vitro dilakukan
dalam kondisi lingkungan inkubator yang terkontrol, yaitu pada suhu 3 9 ' ~dan
udara yang mengandung C02 2,5-5% dan

0 2

20%. Keberadaan C02 5% dalam


Upaya lain untuk meningkatkan fleksibilitas produksi embrio in vltro dapat
dilakukan dengan memodifikasi tempat pematangan dengan yang mudah dikemas
seperti tabung Epppenctorf dan straw. Selama ini straw telah digunakan untuk
kemasan oosit beku dan semen beku (Chen et al., 2000 dan Chen et al., 2001); oleh
karena itu diharapkan j uga dapat digunakan untuk pematangan dan fertilisasi oosit.
Penggunaan straw untuk tujuan tersebut akan memudahkan proses transportasi.
Dalam penggunaan wadah tertutup seperti straw untuk menyimpan sel-sel
yang aktif melakukan metabolisme diperlukan beberapa pertimbangan seperti faktor
waktu, karena produk metabolisme berupa C02 dan asam laktat dapat menurunkan
pH medium (Freshney, 1987). Disamping itu kondisi inkubasi seperti dalam straw
diduga juga mempengaruhi laju pematangan. Penelitian Shamsuddin et al., (1993)
menunjukkan bahwa pada kondisi tanpa C02 5% proses pematangan yang ditandai
dengan pengeluaran polar body I (badan kutub I) cenderung lebih lambat dari pada
kondisi dengan COz 5%. Dengan demikian penggunaan straw perlu dikaitkan
dengan penambahan penyangga Hepes dalam medium serta waktu inkubasi sehingga efek sinergi penggunaannya dapat dicapai secara optimal.
Untuk mencapai tuiuan di atas dilakukan penelitian yang terdiri atas tiga
rangkaian percobaan dengan judul : Penggunaan Hepes dan Butiran Efervesen

Dalam Sistem Inkubasi pada Produksi Embrio Domba Secara In Etro.


Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. Membandingkan dan menentukan efektifitas penambahan berbagai level

penyangga Hepes dalam medium TCM-199 untuk pematangan oosit yang
dilakukan pada cawan Petri atau straw yang dikultur pada sistem inkubasi

C02 5%, tanpa C02 5% maupun menggunakan butiran efervesen.
2. Mendapatkan waktu atau periode terbaik pematangan dan fertilisasi zn vitro
pada sistem inkubasi tanpa C025% dan menggunakan butiran efervesen.
3. Mengetahui pengaruh sistein inkubasi pada pematangan dan fertilisasi oosit

terhadap perkembangan embrio in vitro.

Kegunaan Penelitian
1. Meningkatkan pemberdayaan potensi oosit ternak yang dipotong atau mati
terutama yang berasal dari tempat pemotongan yang jauh dari laboratorium

FIV untuk produksi embrio in vitro.
2. Mengatasi keterbatasan fasilitas C02 dalam produksi embrio zn vztro, sehingga dengan didapatkannya metode tanpa C02, produksi embrio in vitro
dapat dilakukan di luar laboratorium atau selama dalam transportasi.

Hipotesis

I . Penambahan berbagai level penyangga Hepes dalam medium pematangan

TCM- 199 yang dikombinasikan dengan penggunaan straw sebagai tempat
pematangan akan meningkatkan efektifitas pematangan oosit pada sistem
inkubasi dengan atau tanpa COz 5% maupun menggunakan butiran
efervesen.
2. Perpanjangan periode pematangan akan meningkatkan persentase oosit yang

mencapai tahap Metafase-IT, baik pada sistem inkubasi C02 5%, tanpa C02
5% maupun menggunakan butiran efervesen.

3. Perpanjangn periode fertilisasi akan memberi peluang oosit terfertilisasi yang
lebih banyak, baik pada sistem inkubasi C02 5%, tanpa C02 5% maupun
menggunakan butiran efervesen.
4. Kemampuan berkembang embrio dari oosit hasil pematangan dan fertilisasi
in vltro dengan sistem inkubasi tanpa C02 5% atau menggunakan butiran

efervesen sarna atau Iebih baik dibandingkan dengan oosit hasil pematangan
dan fertilisasi In vztro dengan sistem inkubasi C02 5%.

TINJAUAN PUSTAKA

Potensi dan Perkembangan Oosit
Potensi oosit yang terdapat pada ovarium mamalia pada saat dilahirkan
diperkirakan mencapai 200.000 buah. Namun demikian tidak semua oosit tersebut
tumbuh menjadi matang, hanya sekitar 300 buah yang dapat mencapai tahap pematangan dan dapat diovulasikan, sedangkan yang lainnya mengalami pertumbuhan
sesaat dan kemudian mati (Gordon, 1994).
Pada sebagian besar mamalia, pematangan meiosis dimulai

menjelang

waktu lahir ketika oogonia mengalami proliferasi dan masuk profase meiosis I. Sel
germinal yang sekarang dikenal sebagai oosit terhenti pada tahap drctiate yang
ditandai oleh sebuah inti yang besar yang disebut germznal vesrcle (GV). Pada saat
ini kromatin mengalami kondensasi dan oosit dikelilingi oleh sel-sel epitel yang
membentuk folikel primordial. Folikel ini berperan sebagai pool oosit yang siap
direkrut selama usia produktif hewan betina. Beberapa signal akan mendorong perkembangan folikel primordial, folikel yang sedang berkembang (growzngfollrcles)
dan folikel vesikuler. Hulshof et al. (1 993) menjelaskan bahwa folikel primordial
dibedakan dari folikel yang sedang berkembang berdasarkan sel-sel yang mengelilingi oosit. Pada folikel-folikel yang sedang berkembang sel yang mengelilingi
lebih banyak dari pada folikel primordial. Selanjutnya Monioux et al. (1993)
menyatakan bahwa folikel vesikuler terdiri atas sebuah oosit primer, komponen
kompleks sel somatik sel granulosa dan sel kolumnar dan sebuah ruang berisi cairan
yang hsebut dengan folikel antrum.

Oosit yang telah selesai berkembang dikelilingi oleh suatu lapisan sel folikel
yang kompak untuk membentuk kompleks kurnulus oosit (cumulus-oocyte complex,
COC). Selama pra ovulasi, sel kumulus mensintesis dan menimbun suatu matrik
intraseluler yang diperkaya dengan asam hialuronat.

Fenomena ini ditujukan

sebagai ekspansi kumulus, yang memfasilitasi pelepasan COC dari dinding folikel
dan pengeluarannya saat ovulasi serta penangkapan oosit oleh fimbriae oviduk.
Selanjutnya, perluasan kumulus dapat juga mempengaruhi keragaman perkembangan baik oosit maupun spenna yang diperlukan untuk keberhasilan pembentukan dan
perkembangan zigot (Chen et al., 1993).
Pematangan oosit baik secara m vivo maupun in vrtro meliputi pematangan
inti dan sitoplasma. Secara in vzvo pematangan oosit terjadi dalam folikel pra
ovulasi setelah LH surge bersamaan dengan selesainya perkembangan folikel pra
ovulasi. Pematangan inti merupakan mulainya meiosis dari tahap GV sampai tahap
Metafase-I1 (M-11). Pematangan sitoplasma meliputi perubahan struktural dan
molekuler yang menyiapkan kemampuan (competency) oosit yang telah matang
untuk terjadinya fertilisasi dan perkembangan embrio tahap awal (Bevers et al.,
1997). Sitoplasma memainkan peranan penting daIam penyusunan perlengkapan
metabolik untuk produksi energi yang mencukupi fungsi seluler selama pematangan, cleavage dan pembentukan blastosis (Krisher dan Bavister, 1998). Hasil
pengamatan terhadap perkembangan inti oosit kambing pada berbagai waktu
pematangan tn vltro menunjukkan bahwa 89% oosit yang dikoIeksi dari ovarium
berada pada tahap GV. Pada permulaan kultur, 16,4% oosit mulai mengalami
penipisan membran, dan peleburan sitoplasma serta nukleoplasma (Germmal

Veslcle Breakdown, GVBD) inencapai puncak setelah einpat jam. Metafase I
tercapai antara 12 dan 14 jam setelah inkubasi. Tahap anafase dan telofase relatif
singkat yaitu antara 14 dan 18 jam setelah inkubasi. Metafase 11 yang ditandai
dengan dikeluarkannya Badan Kutub-I (BK-I) terjadi setelah 16 jam clan mencapai
87% setelah 24 jam (Pawshe et al., 1994a)
Dalam proses in vivo, oosit yang dilepaskan folikel akan masuk ke dalam
tuba fallopii, yaitu tempat terjadinya proses pembuahan atau fertilisasi. Hanya
sperma yang telah mengalami kapasitasi yang dapat memasuki oosit, sedangkan
sperma yang tidak mengalami kapasitasi akan tetap menempel pada permukaan oosit
(Yanagimachi, 1994). Kapasitasi sperrna dan reaksi akrosom merupakan kejadian
fisiologis yang penting sehingga memungkinkan sperma melakukan penetrasi zona
pelusida dari oosit untuk memulai proses fertilisasi. Kapasitasi sperma melibatkan
perubahan biokimia pada bagian luar inembran sperma. Sedangkan reaksi akrosom
meliputi fusi dan pecahnya plasma sperma serta membran bagian luar akrosom
berlanjut dengan eksositosis yang memungkinkan pelepasan enzim. Kejadian ini
bersamaan dengan hiperaktifitas motilitas sperma, dan secara normal terjadi dekat
atau di dalam zona pelusida (Brackett dan ZueIke, 1993).
Pada peristiwa kapasitasi terjadi pelepasan enzim hyaluronrdase yang
berperan dalam penetrasi sel-sel kumulus. Penetrasi pada lapisan ini melibatkan
proses enzimatik (trypsin llke substances dun zona lysine) yang membentuk celah
tempat sperma melewati lapisan ini (White et al., 1992). Menurut Yanagiinachi
(1994) reaksi akrosom dipicu oleh adanya ion-ion ca2+ ekstraseluler disamping

rasio ~ a :' K+ yang makin meningkat di daerah ampula tuba Fallopii, proses
kapasitasi berakhir menjelang sperma menembus korona radiata.
Reaksi akrosom dapat terjadi sebelum atau setelah penempelan kepala
sperma pada reseptor glikoprotein yang terdapat pada zona. Penempelan kepala
sperma pada zona pelluctda 3 (ZP3) memungkinkan interaksi dengan komponenkomponen zona lainnya yang menstimulasi reaksi akrosom. Penetrasi zona oleh
sperma terjadi tiga sampai 15 menit setelah penempelan kepala sperma. Pada saat
sperma yang telah mengalami reaksi akrosom mulai penetrasi ke dalam zona
pelusida glikoprotein zona pelluctda-2 (ZP 2) berperan sebagai reseptor sperma
yang kedua yang mempertahankan penempelan sperma selama melewati seluruh
lapisan zona (Hafez dan Hafez, 2000).
Dalam sitoplasma oosit, membran sperma pecah dan sperma masuk ke
dalam ooplasma oosit tanpa membran. Di dalam ooplasma, pada inti sperma akan
terbentuk beberapa nukleoli yang langsung bersatu dan selapis membran yang
mengelilingi. Struktur ini disebut dengan pronukleus (PN) jantan. Penetrasi spenna
menyebabkan oosit mengalami aktivasi. Setelah sperma masuk ke dalam ooplasma,
badan kutub I1 dikeluarkan dan secara bersamaan diikuti oleh pembentukan PN
betina. Kedua pronuklei akan bergabung sebelum meiosis pertama dari tahap cleuv q e dimulai. Proses ini disebut dengan szngamr dan terjadi 14 sampai 16 jam

setelah penetrasi sperma (Toelihere, 1985 dan Gordon, 1994). Proses fertilisasi selesai setelah PN menghilang dan digantikan oleh kromosoin yang bersatu pada profase
dari pembelahan pertama (Yanagimachi, 1994 ). Menurut Bazer et al. (1993) zigot
kemudian mulai membelah secara vertikal, alur pembelahan terjadi pada daerah

mzszasz pronukIeus ketika terjadi proses singami. Sei-sel hasil pembelahan itu

disebut blastomer. Pembelahan sel berlanjut sampai terbentuk blastomer yang lebih
banyak tetapi bentuk yang lebih kecil. Proses pembelahan sel tanpa penambahan
massa sel ini disebut cleavage.

Produksi Embrio In Vitro
Produksi embrio menggunakan teknik in vitro memerlukan oosit untuk
melewati tiga proses biologis yaitu pematangan, fertilisasi dan perkembangan zigot
sampai tahap blastosis.

Pematangan Oosit In Vitro
Untuk dapat dibuahi oleh sperma, oosit hams mengalami pematangan inti
maupun sitoplasma. Tujuan pematangan oosit adalah untuk menghasilkan sebuah
oosit sekunder haploid yang diperlengkapi dengan berbagai kebutuhan biologis yang
diperlukan untuk keberhasilan perkembangan embrio berikutnya (Hyttell et ul,
1997). Pada saat ini oosit mamalia yang dikeluarkan dari folikel dan dikultur secara
zn vitro dapat mengalami pematangan meiosis (M-11), baik pada medium yang

diperkaya dengan atau tanpa hormon (Downs ,1993).
Pada seluruh spesies mamalia, kompetensi meiosis yang sempurna dicapai
setelah folikel berukuran f 3 mm atau satelah oosit mencapai diameter

+ 110 pm

(Hyttel et al., 1997). Dalam produksi embrio in vitro, pada urnumnya oosit yang
digunakan diperoleh dan folikel berukuran 2 4 mm. Oosit yang berasal dari folikel

yang kurang dari 2 inm menghasilkan angka cleavage yang lebih rendah dari ukuran
2-6 mm (De Smedt et al., 1992). Viabilitas oosit dipengaruhi oleh metode koleksi

ovarium, sumber oosit dan kualitas oosit. Koleksi dan transportasi ovarium dari
tempat pemotongan ke Iaboratorium dilakukan pada suhu 30-35'~ (Gordon, 1994).
Pengumpulan ovarium pada suhu jauh di bawah 3 0 ' ~menyebabkan oosit mengalami pematangan inti yang tidak sempuma (First clan Parish, 1987). Koleksi oosit
dari ovarium dengan teknik penyayatan (slzczng) merupakan cara yang sederhana
dan efisien. Meskipun teknik aspirasi menghasilkan jurnlah oosit yang lebih banyak
per ovarium, tetapi persentase oosit dengan sel kumulus kompak lebih tinggi diperoleh dengan teknik penyayatan (Paswhe et al., 1994b).
Kondisi morfologi sel-sel kumulus berhubungan dengan potensi perkembangan oosit (Boni et al., 2002). Sel-sel kumulus mendukung perkembangan oosit
antara lain melalui sekresi faktor-faktor terlarut yang mendorong kompetensi
perkembangan oosit atau dengan menghilangkan komponen yang menekan perkembangan embrio dari medium (Hashimoto et al., 1998). Sel-sel kumulus mensintesis
tiga macam protein. Protein dengan berat molekul 25,5; 79 dan 104 kDA disintesis
dalam jumlah banyak selama 12 jam pertama pematangan dan secara gradual inenurun sampai 24 jam. Satu macam protein (41 H A ) disintesis oleh sel-sel kumulus
empat jam setelah pematangan dimulai (Wu et al., 1996).
Berdasarkan keadaan sel-sel kurnulus dan sitoplasma oosit, Loos et al,
(1988) mengelompokkan oosit atas empat kategori kualitas yaitu (A) oosit yang
dikelilingi oleh multi lapisan sel-sel kurnulus dan mempunyai sitoplasma homogen,
terang dan transparan, (B) oosit yang dikelilingi oleh multi lapisan sel-sel kumulus

dan mempunyai sitoplasma koinpak, kasar dan bagian tepi agak hitam, (C) oosit
yang dikelilingi oleh lapisan sel-sel kumulus yang kurang kompak dan mempunyai
sitoplasma tidak beraturan dengan bercak-bercak hitam dan lebih gelap dari kuaiitas
A dan B, dan (D) lapisan sel-sel kumulus berpencar membentuk gumpalan gelap

dan sitoplasma tidak beraturan serta oosit secara keseluruhan menghitam. Djati
(1999) mengemukakan bahwa tingkat pematangan oosit A dan B tidak dipengaruhi
oleh musim maupun bangsa ternak, sehingga dapat digunakan untuk mengurangi
ketidakseragaman individu dari sampel dan kondisi lingkungan atau musim
Medium yang digunakan dalam pematangan oosit in vztro tidak hanya dapat
mempengaruhi proporsi oosit yang mencapai M-I1 atau fertilisasi, tetapi juga akan
mempengaruhi perkembangan embrio berikutnya (Bavister, 1992). Salah satu
medium yang banyak digunakan untuk pematangan dan kultur embrio in vitro
adalah tissue culture medium199 (TCM- 1 99). TCM- 1 99 terdiri atas garam-garam
Earle 's yang mengandung N-(2-hidroxylethio-piperuzine-N-(2-ethane
sulfonic acid)

(HEPES) atau natrium bikarbonat sebagai penyangga dan disuplementasi dengan
piruvat, laktat, asarn amino, vitamin, purin serta substansi lainnya yang terdapat
dalam serum (Gordon, 1994). Medium TCM-199 telah menjadi media standar yang
digunakan dalam pematangan in vitro pada ternak sapi dan domba. Medium lain
yang digunakan dalam pematangan oosit in vztro antara lain adalah CR-laa
(Rosenkrans dan First, 1994 dan Rusiyantono, 2001) dan medium Ham's F-I0
(Hawk dan Wall, 1993).
Penambahan serum ke dalam medium pematangan dapat meningkatkan
perkembangan oosit dan embrio yang dikultur, mencegah pengerasan zona (Gordon,

1994) dan swnber nutrisi seperti asam-asam amino dan garam-garam organik
(Walker et al., 1992). Serum mungkin mempengaruhi perkembangan oosit secara
langsung atau secara tak langsung melalui sel-sel kumulus (Trounson et al., 1994).
Penelitian pada domba menunjukkan bahwa 98% oosit domba yang berasal
dari folikel 2-6 mm inengalami pematangan sempurna dalam medium TCM-199
yang Isuplementasi Fetal CaZfSerum (FCS) lo%, FSH dan LH (masing-masing 10
pg/ml) dan estradiol 1 pg/ml (Szolozi et al., 1988). Slavik et al. (1992) menambahkan Calf Serum (CS) 15% dalam medium yang sama untuk pematangan oosit
domba. Berdasarkan evaluasi sitologi setelah fertilisasi diperoleh 81% zigot
mempunyai dua buah pronukleus (2 PN). Pada babi pematangan oosit menggunakan medium TCM- 199 yang disuplementasi dengan FCS 10% menghasilkan angka
pematangan 9 1,1%, dan 86,6% mempunyai PN setelah diaktivasi (Setiadi et al.,
1998). Beberapa jenis serum lain yang digunakan dalam pematangan dan fertilisasi
in vitro adalah Fetal Bovine Serum (FBS) dan Bovine Serum Albumin (BSA)

(Gordon, 1994), Superovulated Cows Serum (Boediono et al, 1994).
Suplementasi gonadotropin seperti FSH, estradiol dan LH ke dalam medium
pematangan mernpertihatkan hasil yang bervariasi. Guler et al. (2000) rnenyatakan
bahwa penambahan estradiol (E2) sebesar 100 qg' mL ke dalam medium TCM-199
yang juga disuplementasi dengan

FSH mempunyai pengaruh positif terhadap

pematangan inti dan sitoplasma oosit. Penambahan hormon secara bersama-sama
dengan set-sel folikel dilaporkan dapat mendorong ekspansi sel-sel kumulus
(Setiadi, et al., 1998). Pada medium pematangan tanpa serum terlihat b

h

penambahan berbagai dosis kombinasi FSH (0-15 qg) dan LH (0-49 pg)
meningkatkan ekspansi sel-sel kumulus tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap
angka blastosis. Ekspansi sei kumulus yang maksimal terjadi pada penambahan
FSH 1 qglml dan LH 1 pg /ml dalam medium (Choi et al., 2001). Dalarn penelitian
lain dilaporkan bahwa medium tanpa hormon menghasilkan angka pematangan
(Wahid et al., 1991) dan viabilitas oosit (Galli dan Moor, 1991) yang cukup tinggi.
Shamsuddin et al. (1993) mengemukakan bahwa baik pada inkubasi dengan
C02 5% maupun tanpa C02 5%, Badan Kutub (BK) mulai Qkeluarkan 18 jam
setelah oosit diinkubasi. Munculnya BK akan meningkat secara signifikan selama
periode kultur 20 jam pada sistem inkubasi CO;! 5% dan 24 jam pada sistem
inkubasi tanpa C02 5%. Beberapa laporan lain mengenai lama pematangan rn vrtro
menunjukkan bahwa waktu pematangan yang terbaik adalah 24 jam sampai 27 jam
(Pawshe, et al., 1994 dan De Smedt, et al., 1992). Pematangan oosit selama 18 dan
24 jam menghasilkan angka cleavage yang sarna, tetapi blastosis yang Qhasilkan
dari oosit yang dimatangkan selama 24 jam lebih tinggi dari pematangan 18 jam
(Monaghan et al., 1993).

Fertilisasi In Vitro
Fertilisasi merupakan suatu proses yang kompleks yang menghasilkan
penggabungan dua gamet, restorasi jumlah kromosom somatik dan mulainya
perkembangan suatu individu baru (Gordon. 1994). Keberhasilan fertilisasi in vrtro
memerlukan kesiapan yang xnemadai dari oosit dan sperrna secara biologis dan
kondisi kultur yang mendukung efektifitas metabolis dari gamet jantan dan betina

(Bracket dan Zuelke, 1993). Berbagai aspek kondisi kultur seperti medium, waktu
inseminasi dan kapasitasi, sistem kultur terus diidentifikasi untuk meningkatkan
keberhasilan fertilisasi in vztro.
Fertilisasi In vltro dapat dilakukan dalam beberapa media diantaranya
medium

Tyrode-Athumtn/Lactate/fl~yruvlc
actd (TALP, Parrish et a/., 1986),

Brackett-Oliphant (B-0; Brackett dan Oliphant, 1975) dan Defined Medium-Hepes

(DM-H). DM-H merupakan modifikasi medium B-0 yang digunakan Crozet et ~ d . ,
(1987) untuk fertilisasi in vitro pada domba. Medium ini juga memperlihatkan
tingkat keberhasilan yang tinggi pada kambing (De Smedt et a/., 1992, Le Gal,
1995 dan Martino et ul., 1996). Medium DM-H mengandung NaCl 129,5 mM,
NaHC03 4,16 mM dan Hepes 10 mM. Untuk kapasitasi medium DM-H di
suplementasi dengan serum domba yang diinaktivasi (heat inactivated sheep serum)
20%, dan medium fertilisasi juga ditambah dengan Hemicalcium 7,75 mM.
Untuk dapat membuahi oosit, sperma hams mengalami proses kapasitasi dan
reaksi akrosorn. Dalarn pelaksanaan FIV proses kapasitasi rneliputi kegiatan pemisahan (pencucian) sperma dari bagian plasma semen dan inkubasi sperma. Lu et ul.
(1987) melakukan pemisahan sperma dari plasma dengan metode swim-up dalam
medium yang mengandung heparin 100 pg /ml selama 15 menit. Penggunaan
konsentrasi heparin yang lebih rendah juga efektif dengan memperpanjang waktu
inkubasi. De Smedt et ul. (1992) melakukan pencucian sperma menggunakan
teknik sentrifugasi pada kecepatan 200 G selama 10 menit dalam medium DM-H.
Sperma motil dari hasil pencucian diperoleh dengan metode swim-up selama dua

jam dalam 2 ml medium DM-H yang ditainbah dengan serum doinba estrus 20%.
Bagian atas yang kaya dengan sperma motil diencerkan sampai 1 x lo7 spermalml
lalu diinkubasi selama lima sampai enam jam pada suhu 3 8 , 5 ' ~dalam tabung tertutup (tanpa COz 5%). Dengan prosedur yang sama Martino et al. (1996) melakukan
inkubasi spenna selama empat jam.
Suplementasi substrat seperti kafein dan heparin ke dalam medium dapat
meningkatkan proses kapasitasi sperma dan memperbaiki keberhasilan fertilisasi m
vrtro. Pengujian menggunakan pewarnaan chlortetracyclrne (CTC) memperlihatkan

frekuensi sperma terkapasitasi yang lebih tinggi dalain medium yang inengandung
kafein dibandingkan dengan medium tanpa kafein. Keberhasilan kapasitasi tertinggi
diperoleh pada penambahan kafein 7,5 mM (Coscioni et ul., 2001). Penambahan
kombinasi kafein dan heparin dalam medium akan memberikan kemampuan penetrasi spenna pada sel telur yang lebih baik jika dibandingkan dengan penambahan
heparin atau kafein saja. Pengaruh sinergis diperoleh dari penggunaan heparin 20
pg/inl dan kafein 10 mM dalarn medium kapasitasi sperma beku yang dicuci menggunakan teknik sentrifugasi selama 20 menit sebelum inseminasi (Niwa dan
Ohgoda, 1988). Dalam penelitian yang lain Niwa et al. (1992) menggunakan
medium B-0 ditambah dengan kafein-culcc.ium luctute 10 mM untuk pencucian
sperma, dan medium B-0 ditambah dengan heparin 20 pglml dan Hovrne ,Cerum
Albumzn (BSA) 2% untuk pencucian oosit. Dalam penelitian tersebut medium

fertilisasi mengandung kafein 5 mM, heparin 5 pg/ml dan BSA 1%.

Kecepatan reaksi akrosom juga dipengaruhi oleh suhu inkubasi. Juinlah
sperma yang mengalami reaksi akrosom meningkat dengan meningkatnya suhu
inkubasi. Iqbal &an Hunter (1992) menggunakan media fertilisasi yang diperkaya
dengan heparin mendapatkan angka fertilisasi yang lebih tinggi dari oosit yang
diinkubasi dengan sperma pada suhu 3 9 ' ~dibandingkan inkubasi suhu 37".
Ferti lisasi oosit m vltro dilakukan dengan mencampurkan 1 x 1~ \ ~ e r m a / m l
yang telah dikapasitasi dengan oosit rang telah matang dalam 50-100 p1 medium.
Medium fertilisasi ditutup dengan minyak mineral kemudian diinkubasi selama 48
jam (Sirard el a/., 1985). De Srnedt et a1 (1992) dan Le Gal, (1995) melakukan
fertilisasi oosit kambing dengan 1 x lo6 sperma/ml dalam tabung tertutup 1 ml
selama 17 jam. Penempatan oosit 50 per drop dapat terfertilisasi oleh sperma, tetapi
produksi blastosis akan menurun bila konsentrasi sperma melebihi 1,6 x 10"
spemdml (Ling dan Lu, 1990)
Menurut Gordon (1994) inkubasi oosit dan sperma yang terlalu lama dapat
mengurangi kemampuan oosit berkembang karena sperma mempunyai potensi untuk
melepaskan enzlm hzdrolltzk ke dalam medium fertilisasi. Tingkat fertilisasi m vztro
tertinggi diperoleh pada oosit yang dimatangkan 22-24 jam dan difertilisasi dengan
sperma delapan jam (Chian el at., 1992). Menurut Dode et al. (2002) selama tiga
jain pertama hanya 26,5% oosit yang terbuahi dengan tingkat cleuvuge 13,1%.
Tingkat fertilisasi dan cleavage secara progresif meningkat dari 6-12 jam inkubasi.
Beberapa peneliti lain mendapatkan waktu optimal fertilisasi 18-20 jam (Long et
al., 1993 dan Ward el ul., 2002) atau 24 jam (Rehman et ul., 1994).

Kultur Embrio In Vilro
Transfer embrio pada umumnya dilakukan setelah etnbrio berumur enam
sampai tujuh hari yaitu setelah berada pada tahap morula atau tahap blastosis.
Transfer embrio tahap 2-4 sel menghasilkan tingkat kebuntingan dan kelahiran yang
relatif rendah (Slavik et ul., 1992). Untuk itu zigot hasil fertilisasi perlu dikultur
untuk perkembangan berikutnya sebelum di transfer atau dibekukan. Kultur embrio
mamalia secara m vztro membutuhkan lingkungan yang cocok sehingga memungkinkan zigot mengalami pembelahan (cleavage) dan berkembang sampai tahap
blastosis (Peters, 1992). Beberapa komponen lingkungan kultur yang sangat inempengaruhi adalah medium, serum, subtrat energi, sistem inkubasi (seperti fase gas,
pH dan suhu), penggunaan ko-kultur dan kualitas air (Gordon, 1994). Perbedaan
hasil yang diperoleh para peneliti dapat disebabkan karena perbedaan satu atau lebih
dari kom ponen-koinponen tersebut (Shamsuddin et ul., 1993).
Slavik et ul. (1992) melakukan kultur embrio domba dalam drop (0,l ml)
medium TCM-199 yang ditambah dengan Calf Serum 15%, dan diinkubasi pada
suhu 3 8 , 5 ' ~dalam inkubator dengan komposisi udara C 0 2 5%, 0 2 10% dan N285%
Setelah 24 sampai 26 jam di kultur, 60% einbrio inengalami peinbelahan tahap 2 sel
dan meningkat 68% setelah dikultur 50 jam. Trounson et u1. (1994) melakukan
kultur embrio dengan menempatkan empat embrio per tetes medium dan menginkubasi selama 24 jam dalam inkubator COz 5%. Mereka mendapatkan 39% zigot
berkeinbang mencapai tahap blastosis. Gardner et at. (1994) mengeinukakan bahwa
kultur embrio secara berkelompok lebih menguntungkan dari pada sendiri-sendiri

karena embrio mensekresikan faktor-fak?or yang mempertahankan perkembangan
mereka.
Pada embrio sapi, domba dan babi, masalah yang dihadapi dalam mencapai
perkembangan zigot sampai blastosis adalah adanya hambatan perkembangan (zn
vitro development block). Hambatan ini terjadi pada tahap yang berbeda diantara
spesies. Pada babi terjadi pada tahap 4 sel dan pada sapi dan domba tahap 8-16 sel.
Cara-cara yang telah digunakan untuk mengatasi ham