Formulasi dan Evaluasi In Vitro Sediaan Floating Beads dari Metronidazol dengan Basis Alginat

(1)

FO

ORMULA

FLOAT

PROGR

UNIV

ASI DAN

TING BEA

DENGA

N

RAM ST

FAKU

VERSITA

EVALUA

ADS DAR

AN BASI

SKRIP

OLEH

FRED

NIM 1015

TUDI SA

ULTAS F

AS SUM

MEDA

2014

ASI IN VI

RI METR

S ALGIN

PSI

H:

DY

501022

ARJANA

FARMA

MATERA

AN

4

VITRO SED

RONIDAZ

NAT

A FARM

ASI

A UTAR

DIAAN

ZOL

MASI

RA


(2)

FO

ORMULA

FLOAT

Diajukan Gela

PROGR

UNIV

ASI DAN

TING BEA

DENGA

n sebagai s ar Sarjana Unive

N

RAM ST

FAKU

VERSITA

EVALUA

ADS DAR

AN BASI

SKRIP

salah satu s Farmasi pa ersitas Sum

OLEH

FRED

NIM 1015

TUDI SA

ULTAS F

AS SUM

MEDA

2014

ASI IN VI

RI METR

S ALGIN

PSI

syarat untu ada Fakult matera Utar

H:

DY

501022

ARJANA

FARMA

MATERA

AN

4

VITRO SED

RONIDAZ

NAT

uk mempero tas Farmasi ra

A FARM

ASI

A UTAR

DIAAN

ZOL

oleh si

MASI

RA


(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

FORMULASI DAN EVALUASI IN VITRO SEDIAAN

FLOATING BEADS DARI METRONIDAZOL

DENGAN BASIS ALGINAT

OLEH: FREDY NIM 101501022

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal: 26 Agustus 2014

 

Disetujui Oleh: Pembimbing I,

Prof. Dr. Hakim Bangun, Apt. NIP 195201171980031002

Pembimbing II,

Dra. Anayanti Arianto, M.Si., Apt. NIP 195306251986012001

Medan, Oktober 2014 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Dekan,

Panitia Penguji

Dr. Kasmirul R. Sinaga, M.S., Apt. NIP 195504241983031003

Prof. Dr. Hakim Bangun, Apt. NIP 195201171980031002

Prof. Dr. Karsono, Apt. NIP 195409091982011001

Dra. Azizah Nasution, M.Sc., Ph.D., Apt. NIP 195503121983032001 


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitan dan penyusunan skripsi yang berjudul ”Formulasi dan Evaluasi In Vitro Sediaan Floating Beads dari Metronidazol dengan Basis Alginat”. Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat bagi penulis mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, dengan kerendahan hati dan hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi USU Medan, yang telah memberikan bimbingan dan penyediaan fasilitas sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan. Bapak Prof. Dr. Hakim Bangun, Apt., selaku Pembimbing I dan yang telah memberikan bantuan berupa pengadaan sampel dan reagen seperti metronidazol, natrium alginat dan kalsium klorida untuk melaksanakan penelitian ini. Ibu Dra. Anayanti Arianto, M.Si., Apt., selaku Pembimbing II yang telah membimbing, memberikan petunjuk, saran-saran selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Bapak Drs. David Sinurat, M.Si., Apt., selaku Kepala Laboratorium Farmasi Fisik yang telah memberikan izin kepada penulis dalam pemakaian alat dan bahan yang diperlukan dalam menyelesaikan penelitian ini. Bapak Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.Si., Apt., Prof. Dr. Karsono, Apt., dan Dra. Azizah Nasution, M.Sc., Ph.D., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik, saran dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Ibu Marianne, S.Si., M.Si., Apt., selaku


(5)

dosen penasehat akademik penulis serta Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi USU Medan yang telah mendidik selama perkuliahan.

Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayah Husin dan Ibu Erna yang tidak pernah berhenti mendoakan dan mencurahkan dukungan baik moril maupun materil. Kepada abang Tonny Hartanto, kakak Fransisca dan Trianti serta seluruh keluarga yang selalu mendukung, mendoakan dan memberikan semangat kepada penulis. Kepada teman-teman asisten Laboratorium Farmasi Fisik yang telah membantu dan menemani penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi dan seluruh teman-teman Farmasi USU stambuk 2010 yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu, atas segala dorongan motivasi dan bantuannya kepada penulis hingga selesainya penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.

Medan, Oktober 2014

Fredy

NIM 101501022

 


(6)

FORMULASI DAN EVALUASI IN VITRO SEDIAAN FLOATING BEADS

DARI METRONIDAZOL DENGAN BASIS ALGINAT

ABSTRAK

Pengobatan ulkus yang disebabkan oleh bakteri Helicobacter pylori dengan menggunakan sediaan konvensional dari metronidazol kurang efektif karena waktu tinggal yang singkat di lambung. Untuk itu perlu dibuat sediaan yang dapat bertahan di lambung dalam waktu yang lama, yaitu dengan sistem floating. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuat sediaan metronidazol dalam bentuk beads yang dapat mengapung di lambung sehingga memperlama waktu tinggal di lambung dan pelepasannya berkesinambungan (sustained release).

Beads metronidazol dibuat dengan menggunakan alginat dan parafin dalam tiga formula mengandung metronidazol 5% dengan curing time dalam larutan kalsium klorida 0,15M berturut-turut 5, 10, dan 15 menit. Diameter beads diukur dengan menggunakan micrometer. Efisiensi penjeratan ditentukan dengan mengukur jumlah obat yang terjerat dalam 20 beads menggunakan spektrofotometer. Pelepasan metronidazol dari beads alginat diuji dengan menggunakan alat disolusi metode dayung dalam medium pH 1,2. Kadar metronidazol diukur dengan menggunakan spektrofotometer ultraviolet pada panjang gelombang 277,6 nm. Data pelepasan metronidazol dari beads diuji statistik dengan menggunakan metode ANOVA (Analysis of variance).

Beads yang diperoleh dari semua formula mempunyai diameter berkisar antara 2,76 sampai 3,23 mm. Semakin lama curing time maka semakin kecil efisiensi penjeratannya. Beads alginat dari semua formula tidak memiliki floating lag time. dan dapat mengapung lebih dari 12 jam. Uji pelepasan metronidazol dari beads alginat menunjukkan bahwa beads dapat melepaskan metronidazol terus menerus selama lebih dari 12 jam. Kinetika pelepasan metronidazol dari beads mengikuti model Korsmeyer-peppas. Dari hasil penelitian yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa beads alginat berpotensi sebagai sediaan sustained release dengan sistem floating.

Kata kunci:beads, alginat, floating, parafin


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 3

1.5 Manfaat Penelitian ... 3

1.6 Kerangka Pikir Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Ulkus Peptikum (Peptic Ulcer) ... 5

2.1.1 Etiologi ... 5

2.1.2 Patofisiologi ... 5

2.1.2.1 Asam lambung dan pepsin ... 5


(8)

2.1.2.3 Helicobacter pylori ... 6

2.2 Sistem Penghantaran Obat Tertahan di Lambung ... 7

2.2.1 Faktor yang Mempengaruhi Sediaan Obat Tertahan di Lambung ... 7

2.2.2 Sistem Penghantaran Obat yang Mengapung... 8

2.3 Metronidazol ... 11

2.3.1 Sifat fisika kimia metronidazol ... 11

2.3.2 Farmakologi ... 11

2.3.3 Farmakokinetik ... 12

2.4 Natrium Alginat ... 12

2.5 Parafin Cair ... 14

2.7 Disolusi ... 16

BAB III METODE PENELITIAN ... 20

3.1 Alat-alat Penelitian ... 20

3.2 Bahan-bahan Penelitian ... 20

3.3 Prosedur Penelitian ... 20

3.3.1 Pembuatan larutan kalsium klorida 0,15 M ... 20

3.3.2 Pembuatan medium lambung buatan (medium pH 1,2) 20 3.3.3 Pembuatan kurva serapan dan kurva kalibrasi metronidazol ... 21

3.3.3.1 Pembuatan larutan induk baku metronidazol dalam medium pH 1,2 ... 21

3.3.3.2 Pembuatan kurva serapan metronidazol dalam medium pH 1,2 ... 21

3.3.3.3 Pembuatan kurva kalibrasi metronidazol dalam medim pH 1,2 ... 21


(9)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

4.1 Penentuan Spesifikasi Beads Alginat ... 23

4.2 Pengujian Floating Lag Time ... 25

4.3 Pengujian Floating Time ... 25

4.4 Efektivitas Penjeratan (Entrapment Efficiency) ... 26

4.5 Pelepasan Metronidazole dari Beads ... 27

4.6 Kinetika Pelepasan Metronidazol dari Beads Alginat ... 28

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 32

5.1 Kesimpulan ... 32

5.2 Saran ... 32

DAFTAR PUSTAKA ... 33


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Sifat dan kegunaan berbagai jenis Eudragit di pasaran ... 15

Tabel 3.1 Komposisi dari masing-masing formula ... 22

Tabel 4.1 Diameter beads dari masing-masing formula ... 24

Tabel 4.2 Berat rata-rata 20 beads dari masing-masing formula ... 24

Tabel 4.3 Floating lag time dari beads dari masing-masing formula ... 25

Tabel 4.4 Efisiensi penjeratan dari masing-masing formula ... 26

Tabel 4.5 Pelepasan metronidazol dari beads alginat (F1-F3) ... 27

Tabel 4.7 Korelasi kinetika pelepasan metronidazol orde nol, orde satu, model Higuchi, dan Korsmeyer-pepas dari beads alginat ... 29


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1.1 Bagan kerangka pikir penelitian ... 4

Gambar 2.1 Struktur kimia metronidazol ... 11 Gambar 2.2 Struktur G: - L asam guluronat dan M: - D asam

mannuronat ... 13 Gambar 2.3 Struktur kimia eudragit ... 16 Gambar 4.1 Beads alginat ... 23 Gambar 4.2 Grafik pengaruh curing time terhadap pelepasan

metronidazol dari beads alginat formula1 sampai 3 ... 28 Gambar 4.3 Grafik kinetika pelepasan orde nol dari beads F1-F3 ... 30 Gambar 4.4 Grafik kinetika pelepasan model Higuchi dari beads F1-F3 30 Gambar 4.5 Grafik kinetika pelepasan model Korsmeyer-peppas dari


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Gambar alat pembuatan beads dan penyalutan beads ... 36

Lampiran 2 Gambar alat uji spesifikasi beads ... 37

Lampiran 3 Gambar alat uji disolusi ... 38

Lampiran 4 Sertifikat analisis metronidazol ... 39

Lampiran 5 Kurva serapan larutan metronidazol dalam medium lambung buatan pH 1,2 ... 40

Lampiran 6 Pengukuran kurva kalibrasi larutan metronidazol dengan berbagai konsentrasi pada panjang gelombang 277,6 nm dalam medium lambung buatan pH 1,2 ... 41


(13)

FORMULASI DAN EVALUASI IN VITRO SEDIAAN FLOATING BEADS

DARI METRONIDAZOL DENGAN BASIS ALGINAT

ABSTRAK

Pengobatan ulkus yang disebabkan oleh bakteri Helicobacter pylori dengan menggunakan sediaan konvensional dari metronidazol kurang efektif karena waktu tinggal yang singkat di lambung. Untuk itu perlu dibuat sediaan yang dapat bertahan di lambung dalam waktu yang lama, yaitu dengan sistem floating. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuat sediaan metronidazol dalam bentuk beads yang dapat mengapung di lambung sehingga memperlama waktu tinggal di lambung dan pelepasannya berkesinambungan (sustained release).

Beads metronidazol dibuat dengan menggunakan alginat dan parafin dalam tiga formula mengandung metronidazol 5% dengan curing time dalam larutan kalsium klorida 0,15M berturut-turut 5, 10, dan 15 menit. Diameter beads diukur dengan menggunakan micrometer. Efisiensi penjeratan ditentukan dengan mengukur jumlah obat yang terjerat dalam 20 beads menggunakan spektrofotometer. Pelepasan metronidazol dari beads alginat diuji dengan menggunakan alat disolusi metode dayung dalam medium pH 1,2. Kadar metronidazol diukur dengan menggunakan spektrofotometer ultraviolet pada panjang gelombang 277,6 nm. Data pelepasan metronidazol dari beads diuji statistik dengan menggunakan metode ANOVA (Analysis of variance).

Beads yang diperoleh dari semua formula mempunyai diameter berkisar antara 2,76 sampai 3,23 mm. Semakin lama curing time maka semakin kecil efisiensi penjeratannya. Beads alginat dari semua formula tidak memiliki floating lag time. dan dapat mengapung lebih dari 12 jam. Uji pelepasan metronidazol dari beads alginat menunjukkan bahwa beads dapat melepaskan metronidazol terus menerus selama lebih dari 12 jam. Kinetika pelepasan metronidazol dari beads mengikuti model Korsmeyer-peppas. Dari hasil penelitian yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa beads alginat berpotensi sebagai sediaan sustained release dengan sistem floating.

Kata kunci:beads, alginat, floating, parafin


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Ulkus peptikum merupakan kerusakan pada mukosa gastrointestinal yang mencapai hingga ke mukosa muskularis yang berlangsung lama dan umumnya bergantung pada aktivitas asam lambung. Penyebab umum ulkus peptikum yaitu infeksi bakteri Helicobacter pylori dan penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (Soll dan Graham, 2009). Helicobacter pylori merupakan bakteri gram negatif, berbentuk spiral, pH sensitif dan tinggal diantara lapisan mukus dan permukaan sel epitelium di lambung. Pengobatan dengan metronidazol meningkatkan efek yang merugikan terutama dengan dosis lebih dari 1g/hari (Berardi dan Welage, 2005).

Upaya untuk mengembangkan sistem penghantaran obat terkontrol dapat memberikan konsentrasi obat dalam plasma yang konstan untuk jangka waktu lebih lama, sehingga mengurangi frekuensi pemberian obat dan meminimalkan fluktuasi konsentrasi obat dalam plasma (Sood dan Panchagnula, 2003).

Sistem penghantaran obat yang mengapung (floating) dirancang dengan densitas yang rendah untuk tetap mengapung di lambung untuk jangka waktu yang lama tanpa dipengaruhi oleh laju pengosongan lambung. Selama sistem mengapung di cairan lambung, obat secara perlahan dilepaskan pada laju yang diinginkan. Sistem penghantaran obat mengapung memiliki keuntungan yang memungkinkan penghantaran obat lokal di lambung, juga mengurangi perbedaan dalam bioavailabilitas yang dijumpai dalam beberapa sistem penghantaran obat langsung dan yang dimodifikasi (Satish, et al., 2011). Akhir-akhir ini, baik


(15)

polimer hidrofilik alami maupun sintetik dari sistem poliionik seperti alginat telah diselidiki untuk pembuatan sedian floating multiple unit. Beads kalsium alginat yang mengandung riboflavin sebagai model obat dan menggunakan bahan pembentuk gas berupa CaCO2 dan NaHCO3. Beads kalsium alginat ini dapat

melepaskan riboflavin terus menerus selama dua jam. Beads yang mengandung CaCO3 memiliki pelepasan yang lebih lambat dibandingkan dengan beads yang

mengandung NaHCO3(Choi, et al., 2002).

Jaiswal, et al., (2009), memformulasikan beads alginat dari ranitidin hidroklorida dengan parafin cair untuk membuat berat jenis lebih rendah. Beads ini dapat mengapung selama lebih dari 20 jam. Semakin tinggi konsentrasi minyak yang digunakan, maka semakin lambat pelepasan obat dari beads. Dari hasil uji pelepasan, ranitidin hidroklorida dilepaskan secara cepat pada 1 sampai 4 jam pertama disolusi.

Untuk penelitian lebih lanjut tentang pengobatan ulkus yang disebabkan oleh bakteri Helicobacter pylori maka peneliti tertarik untuk meneliti pembuatan sediaan floating dari alginat dengan menggunakan metronidazol sebagai model obat. Metronidazol adalah obat antibiotik yang digunakan terutama dalam pengobatan infeksi yang disebabkan oleh organisme yang rentan, terutama bakteri anaerob dan protozoa. Pengobatan ulkus yang disebabkan oleh Helicobacter pylori dengan menggunakan sediaan konvensional dari metronidazol kurang efektif karena membutuhkan waktu pengobatan yang lama dan frekuensi pemberian obat yang tinggi sehingga mengurangi kepatuhan pasien. Oleh karena itu perlu dibuat sediaan yang dapat memperlama waktu tinggal metronidazol di lambung dan memiliki pelepasan yang berkelanjutan (sustained release).


(16)

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, diambil perumusan masalah yaitu:

a. Apakah beads alginat dari metronidazol merupakan sediaan mengapung yang bertahan di lambung?

b. Apakah pelepasan metronidazol dari beads alginat merupakan pelepasan berkesinambungan (sustained released) ?

1.3Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah: a. Beads alginat dari metronidazol merupakan sediaan mengapung yang bertahan

di lambung.

b. Pelepasan metronidazol dari beads alginat merupakan pelepasan berkesinambungan (sustained released).

1.4Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk membuat sediaan floating dari metronidazol dengan basis alginat yang dapat bertahan di lambung.

b. Untuk mengetahui pelepasan metronidazol dari beads yang dibuat dengan basis alginat.

1.5Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat mendapatkan informasi tentang pemakaian beads alginat sebagai sediaan floating yang dapat bertahan di lambung.


(17)

1.6Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan mengacu pada kerangka konsep seperti ditunjukkan pada Gambar 1.1:

Latar Belakang Penyelesaian Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter

Gambar 1.1 Bagan kerangka pikir penelitian

    warna Spesifikasi beads Kendala pada penghantara

n obat di lambung dari sediaan konvesional untuk pengobatan ulkus yang disebabkan oleh bakteri Helicobacter pylori adalah

waktu tinggalnya yang singkat Pembuata n sediaan floating yang dapat bertahan lama di Floating Lag time Waktu yang dibutuhkan untuk mengapun lama beads dapat tetap mengapun Floating time % kadar obat yang terjerat Efisiensi penjeratan Pelepasan Metronidazol

dari beads alginat

Jumlah obat yang

terlepas (%) Orde pelepasan Kinetika Pelepasan Metronidazol

dari beads alginat Lama curing time dalam kalsium klorida diameter berat


(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ulkus Peptikum (Peptic Ulcer)

Ulkus peptikum merupakan kerusakan pada mukosa gastrointestinal yang meluas hingga ke mukosa muskularis, yang berlangsung lama dan umumnya bergantung pada aktivitas asam lambung. Penyebab umum ulkus peptikum yaitu infeksi bakteri Helicobacter pylori dan penggunaan obat nonsteroid (Soll dan Graham, 2009).

2.1.1 Etiologi

Kebanyakan ulkus terjadi dengan adanya asam dan pepsin ketika H.pylori, NSAID, atau faktor lain yang mengganggu pertahanan mukosa normal dan mekanisme penyembuhan. Hipersekresi asam adalah mekanisme pathogenesis utama (Berardy dan Welage, 2005).

2.1.2 Patofisiologi

Ulkus peptikum terjadi karena ketidakseimbangan antara faktor agresif (asam lambung dan pepsin) dan mekanisme yang menjaga integritas mukosa (pertahanan mukosa dan perbaikan) (Soll dan Graham, 2009).

2.1.2.1 Asam lambung dan pepsin

Potensi untuk membuat kerusakan mukosa berhubungan dengan sekresi dari asam lambung (hidroklorida) dan pepsin. Asam hidroklorida disekresikan oleh sel parietal, yang mengandung reseptor untuk histamin, gastrin, dan asetilkolin. Asam (serta infeksi H.pylori dan penggunaan NSAID) merupakan faktor independen yang berkontribusi terhadap gangguan integritas mukosa (Berardy dan Welage, 2005).


(19)

2.1.2.2 Pertahanan dan perbaikan mukosa

Mekanisme pertahanan dan perbaikan mukosa saluran cerna yang melindungi mukosa dari endogen berbahaya dan substansi eksogen. Mekanisme pertahanan mukosa termasuk lender dan sekresi bikarbonat, pertahanan intrinsic sel epitel dan aliran darah mukosa. Kekentalan dan pH yang hampir netral dari mukus-bikarbonat melindungi lambung dari isinya yang asam dalam lumen lambung. Perbaikan mukosa setelah cedera berhubungan dengan rewstitusi sel epitel, pertumbuhan dan regenerasi. Pemeliharaan integritas dan perbaikan mukosa dimediasi oleh produksi prostaglandin endogen. Perubahan dalam pertahanan mukosa yang disebabkan oleh H. pylori atau penggunaan NSAID adalah kofaktor yang paling penting dalam pembentukan ulkus peptikum (Berardy dan Welage, 2005).

2.1.2.3 Helicobacter pylori

Helicobacter pylori memproduksi urease dalam jumlah besar yang menghidrolisis urea dalam asam lambung dan mengubahnya menjadi amoniak dan karbon dioksida. Efek buffer lokal dari amoniak menciptakan lingkungan kecil yang netral di sekitar bakteri yang melindungi dari efek asam lambung yang mematikan. H.pylori juga memproduksi protein penghambat asam yang memungkinkan untuk beradaptasi dengan lingkungan pH rendah di lambung (Berardy dan Welage, 2005).

Kerusakan mukosa langsung dihasilkan oleh faktor virulensi (vacuolating cytotoxin, protein gen terkait cytotoxin dan faktor inhibitor pertumbuhan, enzim pengurai dari bakteri (lipase, protease, dan urease). H.pylori juga memproduksi protein toksin (Vac A) yang bertanggung jawab untuk pembentukan vakuola


(20)

seluler. Lipase dan protease mendegradasi mukus, ammonia yang dihasilkan oleh urease bersifat toksik terhadap sel epitel dan penempelan bakteri meningkatkan pemasukan toksin ke dalam sel epitel. Infeksi H.pylori mengubah respon inflamasi dan merusak sel epitel secara langsung oleh mekanisme kekebalan yang dimediasi oleh sel atau secara tidak langsung dengan mengaktifkan neutrofil atau makrofag mencoba untuk memfagosit bakteri atau produk dari bakteri (Berardy dan Welage, 2005).

2.2 Sistem Penghantaran Obat Tertahan di Lambung

Penghantaran obat yang tertahan di lambung merupakan suatu pendekatan untuk memperlama waktu tinggal di lambung, dengan cara menargetkan tempat pelepasan obat secara spesifik pada bagian atas saluran pencernaan untuk efek lokal maupun sistemik. Sediaan gastroretentif dapat tetap berada di lambung untuk waktu yang lama dan karenanya dapat memperlama waktu tinggal di lambung secara signifikan (Nayak, et al., 2010).

2.2.1 Faktor yang mempengaruhi sediaan obat tertahan di lambung

Anatomi dan fisiologi lambung memiliki parameter-parameter untuk dipertimbangkan dalam mengembangkan sediaan obat yang bertahan di lambung. Untuk melewati katup pilorus ke usus halus ukuran partikel harus berkisar antara 1-2 mm. Parameter yang paling penting mempengaruhi waktu bertahan di lambung dari sediaan oral diantaranya: berat jenis, bentuk dan ukuran partikel, makanan yang dimakan, kandungan kalori dan frekuensi makan, postur, jenis kelamin, umur, tidur, indeks masa tubuh, aktivitas fisik, dan penyakit yang diderita (contohnya penyakit kronis, diabetes, dan lain-lain) dan pemberian obat dengan pengaruh yang kuat pada waktu tinggal di lambung, contohnya obat-obat


(21)

yang berperan sebagai agen antikolinergik (contohnya atropine, prophanteline), opium (contohnya kodein), dan agen prokinetik (contohnya metoklopramid, kisaprid) (Streubel, et al., 2006).

2.2.2 Sistem penghantaran obat yang mengapung

Sistem penghantaran obat mengapung merupakan salah satu pendekatan yang penting untuk mencapai penahanan di lambung untuk memperoleh bioavailabilitas obat yang cukup (Singh dan Kim, 2000). Sistem penghantaran ini diperlukan untuk obat dengan tapak absorpsi di lambung atau usus halus bagian atas (Sungthongjeen, et al., 2006).

Berdasarkan mekanisme mengapungnya, sistem penghantaran obat mengapung dapat dibagi menjadi dua, yaitu sistem effervescent (pembentukan gas) dan sitem non-effervescent (Goyal, et al., 2011).

1. Sistem Effervescent (pembentukan gas)

Merupakan sistem matriks yang dibuat dengan bantuan plimer yang dapat mengembang seperti hidroksi propil metil selulosa atau polisakarida dan kitosan komponen pembentuk gas seperti natrium bikarbonat, kalsium karbonat, asam sitrat, atau asam tartrat. Sediaan ini diformulasikan sehingga ketika kontak dengan cairan lambung, akan terbentuk karbon dioksida dan terperangkap di dalam hidrokoloid yang mengembang. Hal ini menyebakan sediaan mengapung (Arora, et al., 2005)

2. Sistem non-effervescent

Sistem penghantaran obat mengapung non-effervescent bekerja dengan mekanisme pengembangan polimer, bioadhesif dari polimer ke lapisan mukosa. Bahan tambahan yang paling umum digunakan untuk sediaan


(22)

mengapung non-effervescent yaitu pembentuk gel atau hidrokoloid yang dapat mengembang, polisakarida, dan polimer pembentuk matriks seperti polimetakrilat, polikarbonat, poliakrilat, polistiren, dan polimer bioadhesif seperti kitosan dan karbopol. Setelah penggunaan oral, sediaan akan kontak dengan cairn lambung dan mengembang, membentuk suatu lapisan seperti gel pada permukaannya (Goyal, et al., 2011) dan berat jenis menjadi lebih kecil dari 1. Udara yang terjerat di dalam matriks yang mengembang memberikan daya bagi sediaan untuk mengapung. Gel hidrokoloid yang terbentuk ini bertindak sebagai reservoir dan memberikan pelepasan sustained release (Arora, et al., 2005).

Keuntungan dari sistem sediaan mengapung (Rao dan Pavan, 2012)

1. Sistem penghantaran obat mengapung menguntungkan untuk obat yang diabsorbsi di lambung misalnya garam-garam ferro.

2. Sistem penghantaran obat mengapung menguntungkan untuk obat yang ditujukan untuk aksi lokal di lambung dan pengobatan ulkus, seperti antasida. 3. Sistem penghantaran obat mengapung memberikan keuntungkan untuk obat

yang memiliki tapak absorpsi yang sempit di bagian usus halus contohnya CTM.

Beberapa tipe obat yang menguntungkan bila diformulasikan menggunakan sistem mengapung diantaranya (Rao dan Pavan, 2012):

a) Obat yang memiliki aksi lokal di lambung b) Obat yang terutama diabsorbsi di lambung

c) Obat yang kelarutannya rendah dalam cairan usus d) Obat dengan tapak absorpsi yang sempit


(23)

e) Obat yang dengan cepat diabsorpsi di saluran pencernaan f) Obat yang terdegradasi di kolon.

Kelemahan dari sistem penghantaran obat mengapung (Rao dan Pavan, 2012):

1. Ada beberapa situasi yang mana retensi lambung tidak diinginkan. Aspirin dan obat antiinflamasi nonsteroid diketahui menyebabkan lesi pada lambung, dan pelepasan yang lambat dari obat-obat ini di lambung tidak diinginkan.

2. Obat-obat yang mengiritasi lambung atau yang tidak stabil dalam suasana asam tidak dibenarkan untuk diformulasikan dalam sistem gastroretentif. 3. Memerlukan cairan yang cukup di lambung agar sediaan dapat

mengapung. Sediaan obat ini harus diminum dengan segelas air (200-250 ml).

Adapun sediaan floating yang tersedia di pasaran diantaranya

Bentuk Sediaan Nama Obat Nama Dagang Perusahaan,Negara

Floating Controlled Release Capsules

Levodopa, Benserazide

MODAPAR Roche Products, USA

Floating Capsule Diazepam VALRELEASE Hoffmann-LaRoche, USA

Effervescent Floating Liquid Alginate Preparation Aluminium hydroxide, Magnesiumcarbonate

LIQUID GAVISON Glaxo Smith Kline, INDIA

Floating Liquid Alginate Preparation

Aluminium - Magnesium antacid

TOPALKAN Pierre Fabre Drug, FRANCE

Coloidal Gel Forming Floating Drug Delivery Systems

Ferrous sulphate CONVIRON Ranbaxy, INDIA

Gas-Generating Floating Tablet

Ciprofloxacin CIFRAN OD Ranbaxy, INDIA

Bilayer Floating Capsule

Misoprostal CYTOTEC Pharmacia, USA


(24)

2.3 Metronidazol

2.3.1 Sifat fisika kimia metronidazol

Struktur metronidazol dapat dilihat pada gambar 2.1 dibawah ini:

Gambar 2.1 Struktur kimia metronidazol

Rumus kimia metronidazol adalah C6H9N3O3 dengan nama kimia

2-metil-5-nitroimidazol-1-etanol, mempunyai berat molekul 171,16. Metronidazol mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 101,0% C6H9N3O3,

dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemberiannya antara lain: hablur atau serbuk hablur; putih hingga kuning pucat; tidak berbau; stabil di udara, tetapi lebih gelap bila terpapar oleh cahaya. Sukar larut dalam eter; agak sukar larut dalam air, dalam etanol dan dalam kloroform (Ditjen POM, 1995).

2.3.2 Farmakologi

Metronidazol adalah antimikroba dengan aktivitas yang sangat baik terhadap bakteri anaerob dan protozoa. Spektrum protozoanya mencakup Trikomonasi gardnerella Vaginalis, Entamoeba Histolytica, dan Guardian Lamblia. Aktivitas antibakterinya sangat bermanfaat untuk sepsis pada kasus bedah dan ginekologis terutama Bacteroides fragilis. Mekanisme kerjanya yakni berinteraksi dengan DNA menyebabkan perubahan struktur helik DNA dan putusnya rantai sehingga sintesa protein dihambat (Sukandar, et al., 2008).


(25)

Metronidazol memperlihatkan daya amubisid langsung. Pada biakan E. histolytica dengan kadar metronidazol 1-2 µg/mL, semua parasit musnah dalam 24 jam. Sampai saat ini belum ditemukan amuba yang resisten terhadap metronidazol. Metronidazol juga memperlihatkan daya trikomonoiasid langsung. Pada biakan Trichomonas vaginalis, kadar metronidazol 2,5 µg/mL dapat mengancurkan 99% parasit dalam waktu 24 jam. Trofozit Giardia lambia juga dipengaruhi langsung pada kadar antara 1-50 µg/mL. Namun, saat ini telah dilaporkan bahwa Trichomonas vaginalis dan Giardia lambia secara klinis resisten terhadap metronidazol (Syarif dan Elysabeth, 2011).

2.3.3 Farmakokinetik

Absorpsi metronidazol berlangsung dengan baik sesudah pemberian oral. Satu jam setelah pemberian dosis tunggal 500 mg per oral diperoleh kadar plasma kira-kira 10 µg/mL. umumnya untuk kebanyakan protozoa dan bakteri yang sensitif, rata rata diperlukan kadar tidak lebih dari 8 µg/mL (Syarif dan Elysabeth, 2011).

Waktu paruhnya berkisar antara 8-10 jam. Pada beberapa kasus terjadi kegagalan karena rendahnya kadar sistemik. Ini mungkin disebabkan oleh absorpsi yang buruk atau metabolism terlalu cepat. Obat ini diekskresi melalui urin dalm bentuk asal dan bentuk metabolit hasil oksidasi dan glukuronidasi. Metronidazol juga diekskresi melalui air liur, air susu, cairan vagina, dan cairan seminal dalam kadar yang rendah (Syarif dan Elysabeth, 2011).

2.4. Natrium Alginat

Natrium alginat merupakan produk pemurnian karbohidrat yang diekstraksi dari alga coklat (Phaeophyceae) dengan menggunakan basa lemah.


(26)

Natrium alginat larut dengan lambat dalam air, membentuk larutan kental, tidak larut dalam etanol dan eter. Alginat ini diperoleh dari spesies Macrocystis pyrifera, Laminaria, Ascophyllum dan Sargassum (Belitz dan Grosch, 1987).

Gambar 2.2 Struktur G: - L asam guluronat dan M: - D asam mannuronat Asam alginat adalah kopolimer biner yang terdiri dari residu  -D-mannuronat (M) dan -L-asam guluronat (G) yang tersusun dalam blok-blok yang membentuk rantai linear. Kedua unit tersebut berikatan pada atom C1 dan C4 dengan susunan homopolimer dari masing-masing residu (MM dan GG) dan suatu blok heteropolimer dari dua residu (MG) (Thom, et al., 1982).

Asam alginat tidak larut dalam air, karena itu yang digunakan dalam industri adalah dalam bentuk garam natrium dan garam kalium. Salah satu sifat dari natrium alginat adalah mempunyai kemampuan membentuk gel dengan penambahan larutan garam-garam kalsium seperti kalsium glukonat, kalsium tartrat dan kalsium sitrat (Thom, et al., 1982). Pembentukan gel alginat dengan ion kalsium, disebabkan oleh adanya ikatan silang membentuk khelat antara ion kalsium dan anion karboksilat pada blok G-G melalui mekanisme antar rantai. Natrium alginat mempunyai rantai poliguluronat menunjukkan sifat pengikatan ion kalsium yang lebih besar (Morris, et al., 1980).


(27)

2.5. Parafin Cair

Parafin cair terdiri atas campuran senyawa hidrokarbon cair jenuh yang diperoleh dari minyak bumi. Zat ini tidak dicerna dalam saluran lambung-usus dan hanya bekerja sebagai zat pelicin bagi isi usus dan tinja. Gunanya untuk melunakkan tinja, terutama setelah pembedahan rektal atau pada penyakit wasir (Tan dan Rahardja, 2007).

2.7. Disolusi

Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel, 2005). Uji disolusi yaitu uji pelarutan in vitro mengukur laju dan jumlah pelarutan obat dalam suatu media aqueous dengan adanya satu atau lebih bahan tambahan yang terkandung dalam produk obat. Pelarutan obat merupakan bagian penting sebelum kondisi absorbsi sistemik (Shargel dan Yu, 1999).

Faktor-faktor yang mempengaruhi disolusi dibagi atas 3 kategori yaitu: a. Faktor-faktor yang be rhubungan dengan sifat fisikokimia obat, meliputi:

i. Efek kelarutan obat. Kelarutan obat dalam air merupakan faktor utama dalam menentukan laju disolusi. Kelarutan yang besar menghasilkan laju disolusi yang cepat.

ii. Efek ukuran partikel. Ukuran partikel berkurang dapat memperbesar luas permukaan obat yang berhubungan dengan medium, sehingga laju disolusi meningkat.

b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sediaan obat, meliputi:

i. Efek formulasi. Laju disolusi suatu bahan obat dapat dipengaruhi bila dicampur dengan bahan tambahan. Bahan pengisi, pengikat dan penghancur yang bersifat hidrofil dapat memberikan sifat hidrofil pada


(28)

bahan obat yang hidrofob, oleh karena itu disolusi bertambah, sedangkan bahan tambahan yang hidrofob dapat mengurangi laju disolusi.

ii. Efek faktor pembuatan sediaan. Metode granulasi dapat mempercepat laju disolusi obat-obat yang kurang larut. Penggunaan bahan pengisi yang bersifat hidrofil seperti laktosa dapat menambah hidrofilisitas bahan aktif dan menambah laju disolusi.

c. Faktor-faktor yang berhubungan dengan uji disolusi, meliputi :

i. Tegangan permukaan medium disolusi. Tegangan permukaan mempunyai pengaruh nyata terhadap laju disolusi bahan obat. Surfaktan dapat menurunkan sudut kontak, oleh karena itu dapat meningkatkan proses penetrasi medium disolusi ke matriks. Formulasi tablet dan kapsul konvensional juga menunjukkan penambahan laju disolusi obat-obat yang sukar larut dengan penambahan surfaktan kedalam medium ii. Viskositas medium. Semakin tinggi viskositas medium, semakin kecil

laju disolusi bahan obat.

iii. pH medium disolusi. Larutan asam cenderung memecah tablet sedikit lebih cepat dibandingkan dengan air, oleh karena itu mempercepat laju disolusi (Gennaro, 2000). Obat-obat asam lemah disolusinya kecil dalam medium asam, karena bersifat nonionik, tetapi disolusinya besar pada medium basa karena terionisasi dan pembentukan garam yang larut (Martin, et al., 1993).

United States Pharmacopeia (USP) XXI memberi beberapa metode resmi untuk melaksanakan uji pelarutan yaitu:


(29)

a. Metode Keranjang (Basket)

Metode keranjang terdiri atas keranjang silindrik yang ditahan oleh tangkai motor. Keranjang menahan cuplikan dan berputar dalam suatu labu bulat yang berisi media pelarutan. Keseluruhan labu tercelup dalam suatu bak yang bersuhu konstan 37 oC. Kecepatan berputar dan posisi keranjang harus memenuhi rangkaian syarat khusus dalam USP yang terakhir beredar. Tersedia standar kalibrasi pelarutan untuk meyakinkan bahwa syarat secara mekanik dan syarat operasi telah dipenuhi.

b. Metode Dayung (Paddle)

Metode dayung terdiri atas suatu dayung yang dilapisi khusus, yang berfungsi memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh pengadukan. Dayung diikat secara vertikal ke suatu motor yang berputar dengan suatu kecepatan yang terkendali. Tablet atau kapsul diletakkan dalam labu pelarutan yang beralas bulat yang juga berfungsi untuk memperkecil turbulensi dari media pelarutan. Alat ditempatkan dalam suatu bak air yang bersuhu konstan, seperti pada metode basket dipertahankan pada 37 oC. Posisi dan kesejajaran dayung ditetapkan dalam USP. Metode dayung sangat peka terhadap kemiringan dayung. Pada beberapa produk obat, kesejajaran dayung yang tidak tepat secara drastis dapat mempengaruhi hasil pelarutan. Standar kalibrasi pelarutan yang sama digunakan untuk memeriksa peralatan sebelum uji dilaksanakan.

c. Metode Disintegrasi yang Dimodifikasi

Metode ini dasarnya memakai disintegrasi USP ”basket and rack” dirakit untuk uji pelarutan. Bila alat ini dipakai untuk pelarutan maka cakram dihilangkan. Saringan keranjang juga diubah sehingga selama pelarutan partikel


(30)

tidak akan jatuh melalui saringan. Metode ini jarang digunakan dan dimasukkan dalam USP untuk suatu formulasi obat lama. Jumlah pengadukan dan getaran membuat metode ini kurang sesuai untuk uji pelarutan yang tepat (Shargel dan Yu, 1999).


(31)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Alat Alat Penelitian

Alat disolusi metode dayung (Erweka), Spektrofotometer (Shimadzu UV1800), neraca listrik (Boeco), magnetic stirrer, gelas arloji, stopwatch, termometer, pH meter (Hanna), jangka sorong, labu tentukur 1000 ml (MBL), labu tentukur 25 ml (Pyrex), beaker glass 1000 ml (Pyrex), gelas ukur 1000 ml (Pyrex), gelas ukur 10 ml (Pyrex), mat pipet 2 ml (MBL) dan alat-alat laboratorium yang biasa digunakan.

3.2 Bahan – bahan Penelitian

Natrium alginat 500-600 cp (Wako Pure Chemical Industries, Ltd. Japan), Metronidazol (PT Mutifa Industri Farmasi), Parafin, dan bahan-bahan yang berkualitas pro analysis (E Merck): kalsium klorida, asam klorida, natrium klorida, dan aseton. Aquadest diperoleh dari laboratorium Farmasi Fisik, Fakultas Farmasi, USU.

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Pembuatan larutan kalsium klorida 0,15 M

Kalsium klorida ditimbang 22,053 gram kemudian dilarutkan dengan aqua bebas CO2 secukupnya sampai 1000 ml (Ditjen POM, 1995).

3.3.2 Pembuatan medium lambung buatan (medium pH 1,2)

Natrium klorida sebanyak 2 g ditambahkan asam klorida pekat sebanyak 7 ml ditambahkan air suling hingga 1000 ml (Ditjen POM, 1995).


(32)

3.3.3 Pembuatan kurva serapan dan kurva kalibrasi metronidazol

3.3.3.1 Pembuatan larutan induk baku metronidazol dalam medium pH 1,2

Metronidazol ditimbang 25 mg kemudian dimasukkan dalam labu tentukur 100 ml, diaduk sampai larut, kemudian dicukupkan dengan medium lambung buatan (medium pH 1,2) sampai garis tanda. Konsentrasi metronidazol adalah 250 mcg/ml.

3.3.3.2 Pembuatan kurva serapan metronidazol dalam medium pH 1,2

Dari larutan induk baku metronidazol dipipet 1,2 ml, dimasukkan kedalam labu tentukur 25 ml, kemudian dicukupkan dengan medium lambung buatan (medium pH 1,2) sampai garis tanda. Konsentrasi metronidazol adalah 12 mcg/ml. serapan diukur pada panjang gelombang 200–400 nm.

3.3.3.3 Pembuatan kurva kalibrasi metronidazol dalam medium pH 1,2

Dari larutan induk baku metronidazol dibuat larutan metronidazol dengan berbagai konsentrasi yaitu 1, 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, dan 16 mcg/ml dengan cara memipet larutan induk baku masing-masing 0,1; 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; 1; 1,2; 1,4 dan 1,6 ml kedalam labu tentukur 25 ml, kemudian ditambahkan dengan medium lambung buatan (medium pH 1,2) sampai garis tanda. Serapan diukur pada panjang gelombang maksimum yang diperoleh.

3.3.10 Uji pelepasan obat secara in vitro

Uji pelepasan obat dilakukan dengan menggunakan metoda dayung USP. Ke dalam wadah disolusi dimasukkan 900 mL medium disolusi dan diatur suhu 37±0,5OC dengan kecepatan pengadukan diatur 50 rpm. Ke dalam wadah tersebut dimasukkan sejumlah beads. Pada interval waktu tertentu diambil aliquot sebanyak 2 mL dan dijaga volumenya tetap 900 mL. Pengambilan dilakukan pada


(33)

tempat yang sama yaitu pertengahan antara permukaan medium disolusi dan bagian atas dari dayung tidak kurang 1 cm dari dinding wadah (Ditjen POM, 1995).


(34)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penentuan Spesifikasi Beads Alginat

Penentuan spesifikasi beads alginat dilakukan dengan mengamati bentuk dan warna, serta mengukur diameter dan berat beads. Hasil dari pengamatan bentuk beads dari kesembilan formula menjukkan bentuk bulat atau hampir bulat. Beads yang dihasilkan dari F1-F3 menunjukkan warna putih kekuningan.

a) b)

c)

Gambar 4.1Beads alginat a) Formula 1; b) Formula 2; c) Formula 3 Keterangan gambar:

Formula 1 : metronidazol 5%, curing time 5 Formula 2 : metronidazol 5%, curing time 10 Formula 3 : metronidazol 5%, curing time 15


(35)

Diameter beads berkisar antara 2,81 - 2,98 mm. Dari diameter beads menunjukkan bahwa lama curing time mempengaruhi diameter beads alginat. Dimana pada curing time 5 menit (F1) diameter beads sebesar 2,81 ± 0,028, curing time 10 menit (F2) sebesar 2,97 ± 0,008, dan curing time 15 menit (F3) sebesar 2,98 ± 0,008.

Pengukuran diameter beads dari masing-masing formula dapat dilihat pada Tabel 4.1 di bawah ini.

Tabel 4.1 Diameter beads dari masing-masing formula

diameter beads yang kecil karena perbedaan konsentrasi obat pada F1, F2, dan F3 adalah 5% sedangkan pada F4 adalah 10%. Semakin lama curing time semakin besar pula diameter beads yang dihasilkan.

Penimbangan berat 20 beads dari masing-masing formula dapat dilihat pada tabel 4.2 di bawah ini.

Tabel 4.2 Berat rata-rata 20 beads dari masing-masing formula

Formula Berat 20 Beads (mg)

F1 260 ± 5,6

F2 254 ± 4,5

F3 231 ± 4,6

Dari Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa beads yang paling berat adalah beads F1 dengan berat 260 ± 5,6 g, kemudian F2 dengan berat 254 ± 4,5 mg, dan

Formula Diameter Beads (mm)

F1 2,81 ± 0,03

F2 2,97 ± 0,01


(36)

terakhir F3 dengan berat 231 ± 4,6 mg. Pengaruh curing time terhadap berat beads dari F1, F2, dan F3 yaitu dengan semakin lama curing time maka berat beads semakin rendah, hal ini disebabkan karena metronidazol dari beads terlarut ke dalam cairan kalsium klorida sehingga berat dari beads menjadi berkurang.

4.2 Pengujian Floating Lag Time

Pengujian floating lag time dari beads dapat dilihat pada Tabel 4.3 di bawah ini.

Tabel 4.3 Floating lag time dari beads dari masing-masing formula

Formula Floating Lag Time (detik)

F1 0 F2 0 F3 0

Dari Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa pada F1, F2, dan F3 diperoleh floating lag time 0 detik. Hal ini disebabkan karena beads mengandung parafin sehingga dapat mengapung.

4.3 Pengujian Floating Time

Pengujian floating time dilakukan menggunakan alat disolusi. Dari kesembilan formula yang diuji, menunjukkan bahwa semua formula dapat tetap mengapung selama lebih dari 12 jam.


(37)

4.4 Efisiensi Penjeratan (Entrapment Efficiency)

Hasil dari efektifitas penjeratan dapat dilihat pada Tabel 4.4 di bawah ini.

Tabel 4.4 Efisiensi penjeratan dari masing-masing formula

Formula Efisiensi Penjeratan (%)

F1 59,50 ± 0,22

F2 53,61 ± 0,52

F3 43,55 ± 0,41

Efisiensi penjeratan berada pada rentang 43% - 59%. Efisiensi penjeratan dari F1 lebih besar daripada F2 dan F3. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama penjerapan maka semakin kecil efektivitas penjeratannya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi penjeratan adalah konsentrasi obat dan lama curing time dalam larutan CaCl2. Semakin tinggi konsentrasi obat yang digunakan,

semakin tinggi pula efisiensi penjeratannya. Semakin lama curing time maka akan semakin banyak metronidazole yang terlepas dari beads dan larut dalam larutan CaCl2, sehingga semakin sedikit obat yang tertinggal di dalam beads.


(38)

4.5 Pelepasan Metronidazol dari Beads

Pelepasan metronidazol dari beads alginat dapat dilihat pada Tabel 4.5 di bawah ini.

Tabel 4.5 Pelepasan metronidazole dari beads alginat F1, F2, dan F3 Waktu

(menit)

% Kumulatif Obat yang Terlepas

F1 F2 F3

5 9,12 6,73 8,57

10 14.22 11,89 12,12

15 18,40 16,04 16,28

30 29,17 25,46 26,44

45 38,13 33,23 34,53

60 45,44 41,07 42,27

90 57,90 53,66 56,09

120 67,33 63,10 67,87

150 75,28 71,59 76,96

180 82,46 78,76 84,44

210 87,99 84,28 89,89

240 91,79 88,41 94,55

270 95,20 90,87 98,70

300 96,16 91,77 99,97

Tabel 4.5 menunjukkan bahwa lama curing time tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pelepasan metronidazol dari beads alginat. Pada t300, beads formula 1 melepaskan metronidazol hingga 96,16%, formula 2

melepaskan metornidazol hingga 91,77%, dan formula 3 melepaskan metronidazol hingga 99,97%.

Profil pelepasan metronidazol dari beads alginat pada F1-F3 ditunjukkan pada Gambar 4.2 di bawah ini.


(39)

Gambar 4.2 Grafik pengaruh curing time terhadap pelepasan metronidazol dari beads alginat formula 1 sampai 3

Pada Gambar 4.2 dapat dilihat bahwa hampir tidak ada perbedaan pelepasan antara F1, F2, dan F3. Berdasarkan hasil uji statistik dengan ANOVA (Analysis of variance) pada interval konfidensi 95% terhadap AUC setiap formula. Hasil menunjukkan nilai probabilitas p < 0,05 maka H0 ditolak. Jadi

terdapat perbedaan AUC disolusi metronidazol dari beads alginat dengan penjerapan 5 menit, 10 menit, dan 15 menit. Dimana untuk F1 dengan F2 dan F3 tidak terdapat perbedaan AUC. Tetapi terdapat perbedaan antara F2 dengan F3 dengan nilai p = 0,02.

4.6 Kinetika Pelepasan Metronidazol dari Beads Alginat

Kinetika pelepasan metronidazol dari beads alginat dilakukan terhadap empat model yaitu: orde nol, orde satu, model Higuchi, dan model

Korsmeyer-0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0 5 10 15 30 45 60 90 120 150 180 210 240 270 300

%

kumulatif

waktu (menit)

Formula 1 (5menit)

Formula 2 (10 menit)


(40)

Peppas. Penentuan kinetika pelepasan metronidazol dari beads alginat dilakukan untuk mengetahui berapa persen obat yang dilepaskan pada waktu-waktu tertentu. Dengan memplotkan hasil uji pelepasan kesembilan formula dalam grafik persen kumulatif versus waktu, logaritma persen kumulatif versus waktu, persen kumulatif versus akar waktu, dan logaritma persen kumulatif versus logaritma waktu maka akan diperoleh nilai korelasi (R2) dari masing-masing formula.

Tabel 4.6 Korelasi kinetika pelepasan metronidazol orde nol, orde satu, model Higuchi, dan Korsmeyer-Peppas dari beads alginat

Formula Orde nol Orde satu orde Higuchi Korsmeyer-pepas

R2 R2 R2 R2 n

F1 0,9231 0,7468 0,9913 0,9980 0,6445 F2 0,9276 0,7386 0,9914 0,9973 0,6628 F3 0,9371 0,7683 0,9929 0,9983 0,7088

Pada Tabel 4.6 dapat dilihat harga n dari F1, F2, dan F3 berturut-turut adalah 0,6445; 0,6628; dan 0,7088 yang berarti mekanisme pelapasan metronidazol dari beads alginat melalui proses difusi dan erosi. Dari hasil plot ketiga formula seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.6, diperoleh bahwa kinetika pelepasan untuk formula F1-F3 mengikuti kinetika pelepasan model Korsmeyer-pepas


(41)

Gambar 4.3 Grafik kinetika pelepasan orde nol dari beads F1-F3

Gambar 4.4 Grafik kinetika pelepasan model Higuchi dari beads F1-F3

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0 50 100 150 200 250 300

%

 

Kumulatif

waktu (menit)

F1 (5 menit)

F2 (10 menit)

F3 (15 menit)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0 5 10 15 20

%

 

kumulatif

akar waktu

F1 (5 menit)

F2 (10 menit)


(42)

Gambar 4.5 Grafik kinetika pelepasan model Korsmeyer-peppas dari beads F1-F3

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2

0 0.5 1 1.5 2 2.5

log

 

%

 

kumulatif

log waktu

F1 (5 menit)

F2 (10 menit)


(43)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah:

a. beads alginat dari metronidazol dapat mengapung dan tetap mengapung selama lebih dari 12 jam pada medium lambung buatan pH 1,2.

b. beads alginat dari metronidazol dapat dijadikan sediaan pelepasan berkesinambungan (sustained release).

5.2 Saran

Disarankan pada peneliti selanjutnya untuk mengembangkan formulasi sediaan floating dari beads alginat dalam aplikasi pelepasan berkesinambungan (sustained release) yang bertahan di lambung.


(44)

DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H.C. (2005). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat. Jakarta: UI Press. Halaman 217.

Arora, S., Ali, J., Ahuja, A., Khar, R.K., dan Baboota, S. (2005). Floating Drug Delivery Systems: A Review. AAPS PharmSciTech. 6(3): 372-390.

Belitz, H.D. dan Grosch, W. (1987). Food Chemistry. Translation From The Second German Edition. Berlin: Springer-Verlag. Halaman 45-56.

Berardi, R.R., dan Welage, L.S. (2005). Peptic Ulcer Disease. Dalam: Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. Edisi 6. Editor Joseph T. Dipiro. New York: McGraw-Hill. Hal. 630, 633, 639.

Choi, B.Y., Park, H.J., Hwamg, S.J., dan Park, J.B. (2002). Preparation of Alginate Beads for Floating Drug Delivery System: Effect of CO2 Gas-forming Agents. International Journal of Pharmaceutics. 239(1-2): 81-91. Clarke G.M., Newton, J.M., dan Short, M.D. (1993). Gastrointestinal transit of

pellets of different size and density. International Journal of Pharmaceutics. 100(13): 81-92.

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta: Depkes RI. Halaman 560, 1143, 1168.

Gennaro, R.A. (2000). Remington: The Science and Practice of Pharmacy. Edisi 20. New York: Lippincott Williams & Wilkins. Halaman 623-624.

Gopalakrishnan, S., dan Chenthilnathan, A. (2011). Floating Drug Delivery Systems: A Review. Journal of Pharmaceutical Science and Technology. 3(2): 548-554.

Goyal, M., Prajapati, R., Purohit, K.K., dan Mehta, S.C. (2011). Floating Drug Delivery System. Journal of Current Pharmaceutical Research. 5(1): 7-18.

Jaiswal, D., Bhattacharya, A., Yadav, I.K., Singh, H.P., Chandra, D., dan Jain, D.A. (2009). Formulation and Evaluation of Oil Entrapped Floating Alginate Beads of Ranitidine Hydrochloride. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Scince. 1(1): 128-140.

Joshi, M. (2013). Role of Eudragit in Targetted Drug Delivery. International Journal of Current Pharmaceutical Research. 5(2): 58-62.

Martin, A., Swarbrik, J., dan Cammarata, A. (1993). Dasar – dasar Farmasi Fisik dalam Ilmu Farmasetik. Alih Bahasa Yoshita. Edisi Ketiga. Jakarta: UI Press. Halaman 845-850.


(45)

Morris, E.R., Rees, D.A., dan Thom, D. (1980). Characterisation of Alginate Composition and Block Structure by Circular Dichroism. Carbohydrate Research. 81(2): 305-314.

Nayak, A.K., Maji, R., dan Das, B. (2010). Gastroretentive Drug Delivery System: A Review. Asian Journal of Pharmaceutical and Clinical Research. 3(1): 2-10.

Rao, G.U., dan Pavan, M. (2012). Buoyant Sustained Release Drug Delivery Systems Current Potentials Advancements and Role of Polymers: A Review. International Journal of Comprehensive Pharmacy. 3(2): 1-5. Rowe, R.C., Sheskey, P.J., dan Quinn, M.E. (2009). Handbook of Pharmaceutical

Exipients. Edisi keenam. London: Pharmaceutical Press and American Pharmacists Assosiation. Halaman 527.

Satish, D., Himabindu, S., Kumar, Y.S., Shayeda, dan Rao, Y.M. (2011). Floating Drug Delivery Systems for Prolonging Gastric Residence Time: A Review. Current Drug Delivery. 8(5): 494-510.

Shargel, L. dan Yu, A. (1999). Applied Biopharmaceutics and Pharmacokinetics. Edisi keempat. New York: McGraw Hill. Hal. 132.

Singh, B.N., dan Kim, K.H. (2000). Floating Drug Delivery Systems: An Approach to Oral Controlled Drug Delivery via Gastric Retention. Journal of Controlled Release. 63(3): 235-259.

Soll, A.H., dan Graham, D.Y. (2009). Peptic Ulcer Disease. Dalam: Textbook of Gastroenterology. Editor Tadataka Yamada. Chichester: John Willey & Sons Ltd. Halaman 936.

Sood, A., dan Panchagnula, R. (2003). Design of Controlled Release Delivery Systems Using A Modified Pharmacokinetic Approach: A Case Study For Drugs Having A Short Elimination Half-life and A Narrow Therapeutic Index. International Journal of Pharmaceutics. 261(1-2): 27-41.

Streubel, A., Siepmann, J., dan Bodmeier, R. (2006). Drug delivery to the upper small intestine window using gastroretentive technologies. Current Opinion in Pharmacology. 6(5): 501-508.

Sukandar, E.Y., Andrajati, R., Sigit, J.I., Adnyana, I.K., Setiadi, A.A.P., dan Kusnandar, (2008). ISO Farmakoterapi. Jakarta: ISFI Penerbitan. Halaman 756-757.

Sungthongjeen, S., Paeratakul, O., Limmatvapirat. S., dan Puttipupathachorn, S. (2006). Preparation and In-Vitro Evaluation Of Multiple-Unit Floating Drug Delivery System Based On Gas Formation Technique. International Journal of Pharmaceutics. 324(2): 136-143.

Syarif, A., dan Elisabeth (2011). Amubisid. Dalam: Farmakologi dan Terapi. Editor Sulistia dan Gunawan. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. Halaman 552.


(46)

Thom, D., Dea, I.C.M., Morris, E.R., dan Powell, D.A. (1982). Interchain Associations of Alginate and Pectins. Progress in Food and Nutrition Science. 6: 97-108.

Tan, H.T., dan Rhardja, K. (2007). Obat-obat Penting. Edisi Keenam. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Halaman 308.

United States Pharmacopoeia. (2009). The National Formulatory. Edisi Ke-32. Rockville: The United States Pharmacopoeia Convention XXX. Halaman 2325-2327.


(47)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Gambar alat pembuatan beads dan penyalutan beads

a) gambar pipet komagome


(48)

Lampiran 2. Gambar alat uji spesifikasi beads


(49)

Lampiran 3. Gambar alat uji disolusi

a) gambar cairan kalibrasi pH meter b) gambar pH meter

c) gambar termometer d) gambar alat disolusi


(50)

(51)

Lampirann 5. Kurva buatan

serapan l n pH 1,2


(52)

Lampirann 6. Penguk konsen lambun

kuran kurva ntrasi pada ng buatan p

a kalibrasi a panjang pH 1,2

larutan me gelombang

tronidazol d 277,6 nm

dengan ber m dalam me

rbagai edium


(1)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Gambar alat pembuatan beads dan penyalutan beads

a) gambar pipet komagome


(2)

Lampiran 2. Gambar alat uji spesifikasi beads


(3)

Lampiran 3. Gambar alat uji disolusi

a) gambar cairan kalibrasi pH meter b) gambar pH meter

c) gambar termometer d) gambar alat disolusi


(4)

(5)

Lampirann 5. Kurva buatan

serapan l n pH 1,2


(6)

Lampirann 6. Penguk konsen lambun

kuran kurva ntrasi pada ng buatan p

a kalibrasi a panjang pH 1,2

larutan me gelombang

tronidazol d 277,6 nm

dengan ber m dalam me

rbagai edium