Model Pengembangan Kapasitas Ekonomi Petani Asli Papua Dalam Pembangunan Wilayah Di Kabupaten Keerom

MODEL PENGEMBANGAN KAPASITAS EKONOMI
PETANI ASLI PAPUA DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
DI KABUPATEN KEEROM

UNTUNG TURUA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pembangunan Berkelanjutan
dan Hubungannya dengan Modal Sosial di Indonesia adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014
Untung Turua
NRP. H0162090031

RINGKASAN
UNTUNG TURUA. Model Pengembangan Kapasitas Ekonomi Petani Asli Papua dalam
Pembangunan Wilayah di Kabupaten Keerom. Dibimbing oleh SETIA HADI,
BAMBANG JUANDA, dan ENDAH MURNININGTYAS.
Pola pikir tentang asalkan terbebas dari rasa lapar, terlindung dari perubahan cuaca
dan gangguan binatang buas, sangat mempengaruhi kinerja petani asli Papua di Kabupaten
Keerom, sehingga aktivitas menggarap lahan cenderung statis. Akibat yang terjadi adalah
kapasitas ekonomi petani saat ini hanya mampu memenuhi sebagian kecil dari kebutuhan
primer. Padahal kesejahteraan mereka seharusnya bisa lebih baik dari kondisi saat ini.
Kapasitas petani asli Papua dalam hal pendidikan formal dan non-formal serta sikap dan
ketrampilan (kinerja) dalam bercocok tanam di wilayah ini masih rendah dibanding petani
non-Papua.Bahan pangan yang tumbuh dan hidup secara bebas di lingkungan alam,
merupakan titik lemah dan cenderung memanjakan. Petani asli Papua belum sepenuhnya
mengandalkan aktivitas budidaya, dan masih melakukan aktivitas meramu dan berburu.
Tujuan utama penelitian ini adalah membangun model deskriptif pembangunan
pertanian bagi petani asli Papua di Kabupaten Keerom. Tujuan khusus penelitian yaitu (1)

menganalisis potensi sumberdaya lahan dalam pengembangan kapasitas ekonomi petani
asli Papua, (2) menganalisis ekologi kampung dan kebiasaan hidup (budaya) petani asli
Papua, (3) menganalisis kelembagaan kelompoktani dan pemilikan lahan, (4) menganalisis
kapasitas ekonomi petani asli Papua dan faktor-faktor yang mempengaruhi.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis peta sebaran
kesesuaian lahan dan pengecekan lapangan, ekologi, deskriptif, kelembagaan, uji beda dan
regresi. Data yang digunakan adalah data sekunder yang berasal dari BPS, Dinas
Pertanian, Dinas Perkebunan, BP4K dan BPTP Provinsi Papua. Data primer diperoleh
melalui wawancara responden petani, tokoh adat dan agama, focus group discution (FGD).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan luas lahan oleh petani asli Papua
asal keerom masih sangat terbatas (rata-rata untuk tanaman pangan 0,42 ha, dan
perkebunan 1,48 ha), sementara luas lahan yang dimiliki rata-rata lebih dari 12,86 ha.
Faktor penyebabnya adalah petani asli Papua asal Keerom masih intensif meramu potensi
hutan dan berburu hewan liar. Penggunaan tehnologi pertanian oleh petani asli Papua
masih sangat sederhana, tidak memiliki modal untuk musim tanam berikutnya jika
dibandingkan dengan petani non Papua. Faktor budaya (modal sosial) sangat kuat sehingga
berpengaruh negatif terhadap pendapatan dan tabungan.
Luas kelas kesesuaian lahan yang dominan untuk tanaman kakao S2 (cukup sesuai)
dengan luas lahan 70,91%, sedangkan tanaman kelapa sawit juga pada kelas S2 dengan
luas 39,86%.Petani asli Papua asal Keerom masih mengharapkan ketersediaan potensi

ekologi dan cenderung menjadikan tumpuan harapan petani dalam memperoleh bahan
pangan, kondisi ini turut mempengaruhi kinerja petani dalam menggarap lahan
pertanian.Kapasitas ekonomi (pendapatan dan skill) petani non Papua lebih baik dari
petani asli Papua.Faktor lama bekerja di lahan pertanian, frekuensi mengolah lahan
pertanian dalam satu tahun, jumlah tenaga kerja, ketersediaan dana dalam mengolah lahan
pertanian, luas mengelola lahan pertanian, petani lokal, penggunaan tehnologi dalam
bertani, kesesuaian pendidikan formal dengan pekerjaan pertanian yang ditekuni,
partisipasi dalam kelompok tani, turut mempengaruhi kapasitas ekonomi petani.

Model pengembangan kapasitas ekonomi petani asli Papua perlu memperhatikan halhal sebagai berikut:Wawasan petani asli Papua tentang pengembangan ekonomi pertanian
masih sangat terbatas, disisi lain skill (ketrampilan berusahatani) juga sangat rendah,
dibanding petani non Papua. Petani asli Papua sangat membutuhkan bantuan pembinaan
(pemberdayaan). Bantuan pemberdayaan yang pernah dilakukan hingga saat ini oleh PPL
pertanian di Kabupaten Keerom, perlu ditinjau kembali karena tidak mampu membawa
perubahan (memperbaiki skill petani) dalam berusahatani. Pengembangan kapasitas
ekonomi petani asli Papua, memerlukan sebuah model pengembangan ekonomi pertanian
yang lebih spesifik agar bantuan keuangan dari pemerintah Kabupaten Keerom dapat
termanfaatkan secara efektif dan efisien.
Hasil analisis uji beda terhadap variabel terikat menunjukkan adanya perbedaan
skilldan pendapatan antara petani asli Papua dan petani non Papua. Perbedaan tersebut

menempatkan skilldan pendapatan petani non Papua jauh lebih baik dibanding petani asli
Papua. Analisis regresi menunjukkan bahwa skill dan pendapatan petani asli Papua lebih
rendah dibanding petani non Papua. Solusi yang dapat lakukan adalah perlu adanya
pendampingan terhadap petani asli Papua agar skill mereka dalam mengolah lahan
pertanian bisa menjadi lebih baik.
Pemberdayaan (pendampingan) kepada petani asli Papua di Kabupaten Keerom perlu
mempertimbangkan faktor sosial budaya dan faktor peran agen yang berpengaruh dalam
menentukan kebijakan pemanfatan SDL. Oleh karenanya strategi pendekatan pembinaan
petani asli Papua di wilayah ini dapat dilakukan melalui kelompok keret. Mengingat
pemilikan lahan di wilayah ini bersifat komunal dan ketua keret sebagai agen yang sangat
berperan mengatur penggunaan lahan bagi anggota keret. Program pemberdayaan kepada
petani asli Papua melalui pendampingan secara intensif (melekat) direkomendasikan untuk
diaplikasikan melalui pendekatan ekonomi keret. Pendekatan ini memposisikan ketua keret
sebagai agen (tokoh sentral) yang mengkoordinir dan memotivasi anggota keret dan
sekaligus mengawasi dan mengevaluasi kemajuan kegiatan ekonomi pertanian yang
dilakukan kelompok keret.
Keyword: Sumberdaya lahan, ekologi, budaya, dan ekonomi keret.

SUMMARY
UNTUNG TURUA. Model of economic capacity development of indigenous Papuan

farmers in the area development of Keerom regency. Supervised by SETIA HADI,
BAMBANG JUANDA, and ENDAH MURTNININGTYAS
The stereotype of only free from hunger, shaded from weather change and safe
from wild animals, really influence the work habit of indigenous Papuan farmers in
Keerom regency, so the activity of land cultivation tends to be static. The consequence is
that the economic capacity of the Papuan farmers nowadays can only fulfill little of the
primary need. In fact their prosperity should be able to be better than the present situation.
The capacity of indigenous Papuan farmers in formal education and informal as well as the
attitudes and skills in planting in this area is still low compared with non Papuan farmers.
Food resources supplied by the nature tend to spoil them. The indigenous Papuan farmers
do not do cultivation activities much, and they still collect food and hunt animals in the
forest.
The main purpose of this research is to develop descriptive model of the
development for indigenous Papuan farmers in Keerom regency. The specific aims of this
research are: (1) to analyze potential of land resources in the development of economic
capacity of indigenous Papuan farmers, (2) to analyze ecology of villages and life habits
(culture) of the indigenous Papuan farmers, (3) to analyse institution of farming groups
and land ownership, (4) to analyze the economic capacity of indigenous Papuan farmers
and the influencing factors.
Research method used in this research is analysis of the map of the spread of land

suitability and survey, ecology, descriptive, institutions, test of difference and regression.
The data used is secondary data from BPS, Office of agriculture, office of plantation,
BP4K and BPTP Papua province. Primary data was collected from interviews with
farmers, religious and traditional figures, focused group discussion (FGD).
The result of the research shows that the use of land size by indigenous Papuan
farmers from Keerom is still limited (0.42 ha in average for agriculture, and 1.48 ha in
average for cultivation), while the size of land owned is more than 12.86 ha in average.
The main reason is that the indigenous Papuan farmers from Keerom still intensively
sollect forest procucts and hunt wild animals. The use of farming technology by
indigenous Papuan farmers is still simple, do not have capital for the following planging
seasons compared with non Papuan farmers. Cultural factor (social capital) is so strong
that negatively influences the income and saving.
The size of land suitability class which is dominant for Cacao S2 (suitable enough) is
70.91%, while the land for palm oil trees with class S2 is 39.86%. The indigenous farmers
from Keerom still expect the supply of ecology potential and tend to become the farmers’
food resources. This condition influences the work habits of the farmers in cultivating the
land. Economic capacity (income and skills) of non Papuan farmers is better than
indigenous Papuan farmers. The factor of the length of working in the agriculture, the
frequency of cultivating agriculture land in a year, the number of men power, the existence
of capital in cultivation, the size of land, local farmers, the use of technology in farming,

the suitability between formal education with the farming job, participation in the farming
group, influence the farmers’ economic capacity.

Model of the development of the economic capacity of the indigenous Papuan
farmers needs to consider the following factors: the knowledge of indigenous Papuan
farmers on the development of agricultural economy is still limited. On the other hand, the
skill is also low compared with non papuan farmers. Indigenous Papuan farmers really
need guidance (empowerment). Empowerment having been done until today by PPL in
Keerom regency needs to be revised because there has not been any change (improving
farmers’ skills) in agriculture. The development of economic capacity of indigenous
Papuan farmers need a model of developoment of agricultural economy which is more
specific in order for the financial aid from the government of Keerom regency to be used
effectively and efficiently.
The result of the test of difference to independent variable shows the difference of
skill and income between indigenous Papuan and non Papuan farmers. This difference
show that the skill and income of non Papuan farmers are much better than indigenous
Papuan farmers’. The possible solution is the accompaniment to indigenous Papuan
farmers for their better skill in cultivation.
The empowering (acommpaniment) to indigenous Papuan farmers in Keerom
regency needs to consider social cultural factors and the factor of influencing agents in

deciding the use of land resources. Therefore, the strategy of the empowerment to the
indigenous Papuan farmers in this area can be done through Keret groups. This is because
the land ownership in this area is communal and the head of keret is an agent which has
the role in regulating the use of the land for the members of keret.The intensive
empowerment program to indigenous Papuan farmers is recommended to be applied
through the approach of keret economy. This approach positions the head of keret as agent
(central figure) who coordinates and motivates members of keret as well as monitors and
evaluates the improvement of the activities of agricultural economy done by keret
members.
Keywords: Land resources, ecology, culture, and keret economy

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam
bentuk apa pun tanpa izin IPB


MODEL PENGEMBANGAN KAPASITAS EKONOMI
PETANI ASLI PAPUA DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
DI KABUPATEN KEEROM

UNTUNG TURUA

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA
Dr. Ir. Abdul Kohar Irwanto, M.Sc


Penguji pada Ujian Terbuka: Dr. Nomensen ST. Mambraku
Dr. Ir. Ma’mun Sarma, M.Ec

HALAMAN PENGESAHAN
Judul Penelitian
Nama
NRP
Program Studi

: Model Pengembangan Kapasitas Ekonomi Petani Asli Papua
Dalam Pembangunan Wilayah Di Kabupaten Keerom
: Untung Turua
: H 162090031
: Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Setia Hadi MS
Ketua


Prof. Dr. Ir.Bambang Juanda, M.S
Anggota

Ir. Endah Murniningtyas, M.Sc, P.hD
Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Pembangunan
dan Perdesaan

Wilayah

Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S.

Tanggal ujian :

Dekan Sekolah Pasca Sarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat, Ridho
dan Hidayah-Nya sehingga penelitian dan penulisan disertasi berjudul ”Model
Pengembangan Kapasitas Ekonomi Petani Asli Papua Dalam Pembangunan Wilayah di
Kabupaten Keerom” dapat penulis selesaikan. Pembangunan wilayah yang ideal adalah
adanya sinergisitas antar wilayah agar saling berinteraksi dan saling memperkuat, sehingga
nilai tambah yang diperoleh dari proses interaksi terdistribusi secara adil dan proporsional
sesuai peran dan potensi sumberdaya yang dimiliki masing-masing wilayah.
Penelitian ini dapat dilakukan berkat dukungan berbagai pihak, terutama komisi
pembimbing. Pada ruang yang monomental ini perkenankan penulis mengucapkan terima
kasih kepada komisi pembimbing Dr. Ir. Setia Hadi, MS, Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda,
MS, dan Ir. Endah Murniningtyas, M.Sc, P.hD, atas segala perhatian, nasihat dan
bimbingan, yang telah diberikan, sehingga penelitian dan penulisan disertasi ini dapat
dirampungkan.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS, selaku Ketua Program Studi, dan Dr. Ir. Eka Intan
Kumala Putri, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan (PWD).
2. Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA, dan Dr. Ir. Abdul Kohar Irwanto, M.Sc, selaku penguji
pada ujian tertutup.
3. Dr. Ir. Nomensen ST. Mambraku, dan Dr. Ir. Ma’mun Sarma, M.Ec, selaku penguji
pada ujian terbuka.
4. Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc, dan Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr,
selaku penguji pada ujian preliminasi tahap II.
5. Dirjen Dikti yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk memperoleh
Beasiswa BPPS dalam menjalani studi Program Doktor di Institut Pertanian Bogor
(IPB).
6. Rektor dan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Cenderawasih,
yang telah mengijinkan penulis melanjutkan studi ke jenjang program doktor di IPB.
7. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan
Perdesaan (PWD), angkatan 2009, 2008 dan 2010, atas segala kebersamaan dan modal
sosial yang terbangun dengan sangat kuat hingga saat ini.
8. Seluruh rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan (PWD), 2011 dan 2013, terimakasih atas usahanya telah
mewarisi kebersamaan dan modal sosial di lingkungan PWD.
9. Seluruh staf sekretariat PWD atas bantuannya selama masa perkuliahan sampai
selesainya disertasi ini.
10. Kedua orang tua penulis H. Abuchari (alm), dan Hj. Salbiah, serta Kedua mertua H.
Abdul Rauf dan Hj. Wa Ota (alm), atas segala didikan dalam perjalanan hidup ini.
11. Terima kasih kepada istri tercinta Wa Ari, dan anak-anak tersayang Ashsyrawi Zakry
Turua, Fahry Zulkhalid Turua, Mardiyah Rahmadani Turua, Firman Fadli Killian
Turua, Nuraya P. Turua, atas segala kesabaran, support, dan penantian yang
melelahkan.
Penulis menyadari bahwa keterbatasan pemahaman penulis membuat disertasi ini jauh dari
kesempurnaan. Namun penulis tetap berharap semoga karya ini bermanfaat bagi berbagai
pihak.
Bogor, Agustus 2014
Untung Turua

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Perumusan Masalah
1.3. Tujuan Penelitian
1.4. Manfaat Penelitian
1.5. Penelitian Terdahulu
1.6. Kebaruan (Novelty)
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pembangunan Wilayah
2.2. Pengembangan Ekonomi Wilayah
2.3. Potensi Wilayah
2.4. Kelembagaan
2.5. Kelembagaan Pertanian
2.6. Kapasitas Ekonomi Petani
2.6.1 Sosial budaya dan modal sosial
2.6.2 Sumberdaya
2.6.3 Tingkat pengetahuan
2.6.4 Tingkat partisipasi
2.6.5 Pendapatan
2.7. Sistem Pertanian Tradisional di Papua
2.8. Pengembangan Ekonomi Lokal
2.9. Model
3. KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Kerangka Pemikiran
2.2. Hipotesis
4. METODE PENELITIAN
4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
4.2. Tahapan Penelitian
4.3. Jenis dan Metode Pengumpulan Data
4.4. Metode Penentuan Sampel
4.5. Metode Analisis Data
4.5.1 Potensi Sumber Daya Lahan (SDL) dan Aksesibilitas Wilayah
4.5.2 Ekologi Kampung dan Kebiasaan Hidup (Budaya) Petani Asli Papua
4.5.3 Kelembagaan Kelommpoktani dan Pemilikan Lahan
4.5.4 Kapasitas Ekonomi Petani Asli Papua di Wilayah Kabupaten Keerom
4.5.4.1 Jenis dan Sumber Data
4.5.4.2 Metode Pengumpulan Data
4.5.4.3 Metode Analisis Data
4.5.4.4 Model Pengembangan Kapasitas Ekonomi Petani Asli Papua
xi

Halaman
xi
xii
xiii
1
8
11
12
12
13
14
15
16
19
21
22
23
25
25
26
26
27
31
32
33
36
37
37
38
39
43
44
46
48
49
49
53
53
56

5. KEADAAN UMUM
5.1 Kondisi Geografis
5.2 Penduduk
5.3 Suku dan Marga dalam Kelembagaan Adat
5.4 Tingkat Pendidikan Penduduk
5.5 Potensi Lahan serta Pertanian sub Sektor Perkebunan dan Tanaman Pangan
5.6 Kelompok Tani dan Penyuluh Pertanian
6. POTENSI SUMBERDAYA LAHAN DAN AKSESIBILITAS WILAYAH
6.1 Kesesuaian Lahan
6.1.1 Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian Tanaman Pangan
6.1.2 Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian Tanaman Hortikultura
6.1.3 Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian Tanaman Perkebunan
6.1.4 Pewilayahan Komoditas Pertanian
6.1.5 Luas Rata-Rata Pemilikan dan Penggunaan Lahan Pertanian
6.2 Aksesibilitas
7. EKOLOGI WILAYAH DAN KEBIASAAN HIDUP PETANI ASLI PAPUA
7.1 Ekologi Wilayah Kampung
7.2 Zona Agroekologi
7.3 Aktivitas Ekonomi Petani
7.4 Budaya Hidup Petani Asli Papua
7.4.1 Tanah (lahan) dalam Pandangan Orang Papua
7.4.2 Ketentuan Adat tentang Lahan Hak Ulayat
7.4.3 Persepsi Petani Asli Papua tentang Kesejahteraan
7.4.4 Modal Sosial (Social Capital)
1.4.5 Struktur Sosial
1.4.6 Hambatan Kondisi Petani dalam Pembangunan Pertanian
8. KELEMBAGAAN KELOMPOKTANI DAN PEMILIKAN LAHAN
8.1 Kapasitas Kelembagaan
8.2 Pertemuan Kelompok Tani
8.3 Program Kerja
8.4 Kerjasama dalam Kelembagaan Kelompok Tani
8.5 Peran Kelembagaan Kelompok Tani
8.6 Permasalahan dalam Pengembangan Kelembagaan Kelompoktani
8.7 Kelembagaan Penyuluhan
8.8 Status Pemanfatan Lahan dan Pola Penggunaan Lahan
9. KAPASITAS EKONOMI PETANI ASLI PAPUA
9.1 Analisis Uji-t (Uji Beda Rata-Rata)
9.2 Analisis Model Regresi
9.2.1 Model Regresi untuk Pendapatan (Y1)
9.2.2 Model Regresi untuk Skill (Y2)
9.3 Uji Validasi
9.3.1 Uji Validitas Model Regresi untuk Pendapatan (Y1)
9.3.2 Uji Validitas Model Regresi untuk Skill (Y2)
10. MODEL PENGEMBANGAN KAPASITAS EKONOMI PETANI ASLI
PAPUA DAN PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN KEEROM
10.1 Model Deskriptif Pengembangan Kapasitas Ekonomi Petani Asli Papua
10.1.1 Aspek potensi SDL dan Strategi Pendekatan Pengembangan Ekonomi Petani
10.1.2 Aspek Ekologi dan Budaya serta Strategi Pendekatan Pengembangan ekonomi
10.1.3 Aspek Kelembagaan dan Pengembangan Ekonomi Petani
10.1.4 Kapasitas Ekonomi Petani
xii

57
59
59
54
62
65
66
67
67
69
71
75
75
78
80
84
87
87
88
89
90
91
93
95
97
98
99
101
101
102
102
104
106
106
112
116
116
118

120
121
125
130
134

a.
b.
10.2
10.2.1
10.2.2
10.2.3
10.2.4
10.3
10.3.1
10.3.2
10.3.3
10.3.4
10.4

Penerapan Pemberdayaan dengan Model Pendampingan Melekat
Penerapan Pemberdayaan dengan Model Insentif
Pembangunan Wilayah Kabupaten Keerom (sedang disiapkan)
Lingkungan
Ekonomi
Sosial budaya
Politik
Keterkaitan model pengembangan kapasitas ekonomi petani asli Papua dan
Potensi SDL dalam Pengembangan Kapasitas Ekonomi Petani asli Papua
Ekologi Kampung dan Kebiasaan Hidup Petani Asli Papua
Kelembagaan Kelompok Tani
Kapasitas Ekonomi Petani
Upaya perbaikan dan pengembangan faktor pengaruh kapasitas ekonomi
melalui program pemberdayaan dan pendampingan melekat
10.4.1 Lama bekerja di lahan pertanian
10.4.2 Jumlah tenaga kerja yang bekerja di lahan pertanian dan partisipasi dalam
kelompok tani
10.4.3 Ketersediaan dana untuk mengolah lahan pertanian
10.4.4 Luas lahan yang diolah
10.4.5 Kesesuaian pendidikan non formal dengan pekerjaan
10.4.6 Frekuensi mengolah lahan pertanian
10.4.7 Komoditas kakao
11.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran (rekomendasi)
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1. Output Hasil Analisis Regresi
2. Output Hasil Analisis Uji-t
RIWAYAT HIDUP

xiii

136
139
140
142
143
144
145
146
148
149
150
150
151
152
152
152
153
154
155
155
156
157
159
169
169
170
193

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Pelintas Batas wilayah Negara RI ke PNG Tahun 1984-2006
Gambar 1.2. Luas Potensi Lahan Perkebunan di Kabupaten Keerom, 2011
Gambar 1.3. Luas Lahan Perkebunan yang sudah dimanfaatkan di Kab. Keerom 2011
Gambar 1.4. Pengeluaran Riil Kab./kota Pemekaran dari Kab. Jayapura yang
Disesuaikan Tahun 2011
Gambar 1.5. Pengeluaran Riil Distrik-distrik yang Disesuaikan Tahun 2011
Gambar 1.6. Nilai PDRB ADHK Kab. Keerom, Kota Jayapura dan Papua 2006-2010
Gambar 1.7. Pertumbuhan Ekonomi Kab. Keerom dan Kota Jayapura serta Provinsi
Papua Tahun 2006-2010
Gambar 1.8. IPM-AHH Kab./kota Pemekaran dari Kab. Jayapura Tahun 2011
Gambar 1.9. IPM Distrik-distrik di Kabupaten Keerom Tahun 2011
Gambar 1.10. Perumusan Masalah Penelitian
Gambar 2.1. Wilayah Kesetaraan Budidaya Tani dan Budaya Benih yg Sejajar
Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran
Gambar 4.1. Peta administratif Kab. Keerom dan Kota Jayapura
Gambar 5.1. Peta Bentuklahan
Gambar 5.2. Tingkat pendidikan penduduk
Gambar 5.3. Luas Tanam Tanaman Sayuran Tahun 2009-2012
Gambar 6.1. Kelas Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Pangan
Gambar 6.2. Kelas Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Hortikultura
Gambar 6.3. Kelas Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Jagung
Gambar 6.4. Kelas Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Kedelai
Gambar 6.5. Kelas Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Perkebunan
Gambar 6.6. Kelas Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Kakao
Gambar 6.7. Kelas Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Kelapa Sawit
Gambar 6.8. Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian
Gambar 6.9. Rata-rata Luas Pemilikan dan Penggunaan Lahan
Gambar 6.10. Panjang Kondisi Jalan di Wilayah Kabupaten Keerom
Gambar 7.1. Peta Zone Agroekologi
Gambar 7.2. Jumlah Kelompoktani menurut Distrik
Gambar 8.1. Jumlah Kelompoktani dan Status Keaktifan Tahun 2014
Gambar 8.2. Respons atas Manfaat Kerjasama
Gambar 9.1. Tingkat Pendidikan Responden
Gambar 9.2. Waktu yang Digunakan Bekerja di Lahan Pertanian
Gambar 9.3. Pendapatan Petani tiga distrik lokasi penelitian
Gambar 9.4. Lama Bekerja di Lahan Pertanian
Gambar 9.5. Plot antara Dugaan dengan Sisaan
Gambar 9.6. Plot Normal dari Sisaan
Gambar 9.7. Plot antara Dugaan dan Galat
Gambar 9.8. Plot Normal dari Sisaan
Gambar 10.1. Model Pengembangan Kapasitas Ekonomi Petani Asli Papua
Gambar 10.2. Struktur Kelembagaan Masyarakat Adat Keerom
Gambar 10.3. Proses dan Keterkaitan Pemberdayaan Petani Asli Papua dalam
Pengembangan Ekonomi dan Pembangunan Wilayah Kab. Keerom
Gambar 10.4. Peran Stakeholder dalam Pemberdayaan Petani papua
Gambar 10.5. Pemberdayaan dengan Model Pendampingan Melekat & Insentif

xiv

3
4
4
5
5
6
7
10
10
11
28
36
38
59
61
64
67
68
68
69
70
70
71
72
75
76
84
94
95
99
105
108
109
115
117
117
118
118
120
123
128
132
134

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Taraf tingkat pertanian
Tabel 2.2. Tahapan transformasi pertanian
Tabel 2.3. Tipe-tipe kebun pada Suku Yali
Tabel 4.1. Jenis data dan metode pengumpulan data
Tabel 4.2. Jumlah kampung – UPT dan PIR pada distrik di Kab. Keerom
Tabel 4.3. Luas wilayah kampung, jarak dari kampung ke kota distrik dan jumlah
rumah tangga menurut etnik di Distrik Arso, 2011
Tabel 4.4. Luas wilayah kampung, jarak dari kampung ke kota distrik dan jumlah
rumah tangga menurut etnik di Distrik Arso Timur, 2011
Tabel 4.5. Luas wilayah kampung, jarak dari kampung ke kota distrik dan jumlah
rumah tangga menurut etnik di Distrik Waris, 2011
Tabel 4.6. Quota sampel rumah tangga di Distrik Arso, Arso Timur dan Waris
Tabel 4.7. Tahapan dan Metode Analisis Model Pengembangan Kapasitas Ekonomi
Petani Asli Papua di Wilayah Kab. Keerom
Tabel 4.8. Kategori Tingkat Kesesuaian Lahan (FAO, 1976)
Tabel 4.9. Unsur kebudayaan universal dan wujud kebudayaan
Tabel 4.10. Kebiasaan hidup (kebudayaan) petani asli Papua
Tabel 4.11. Kapasitas kelembagaan
Tabel 4.12. Kelembagaan hak kepemilikan
Tabel 4.13. Kelembagaan kelompok tani
Tabel 4.14. Parameter dan indikator pendidikan formal
Tabel 4.15. Parameter dan indikator pendidikan non formal
Tabel 4.16. Parameter dan indikator ketekunan bertani (lama kerja di lahan pertanian)
Tabel 4.17. Parameter dan indikator frekuensi mengolah lahan pertanian/tahun
Tabel 4.18. Parameter dan indikator jumlah tenaga kerja
Tabel 4.19. Parameter dan indikator pengalaman berusahatani
Tabel 4.20. Parameter dan indikator tingkat partisipasi dalam kelompok tani
Tabel 4.21. Parameter dan indikator interaksi dengan penyuluh
Tabel 4.22. Parameter dan indikator ketersediaan dana
Tabel 4.23. Parameter dan indikator luas lahan pertanian yang diolah
Tabel 4.24. Parameter dan indikator pendapatan petani
Tabel 4.25. Parameter dan indikator skill
Tabel 4.26. Kelompok Papua dan non Papua pada uji-t
Tabel 31. Keterangan variabel dammy dalam persamaan regresi
Tabel 5.1. Jarak jangkau antar distrik di Kabupaten Keerom
Tabel 5.2. Jumlah kepadatan penduduk serta luas wilayah Kabupaten Keerom
Tabel 5.3. Sebaran keret dan suku berdasarkan kampung dan distrik
Tabel 5.4. Pendidikan Tertinggi Petani Asli Papua dan non Papua
Tabel 5.5. Kemampuan Baca dan Tulis Usia diatas 5 Tahun
Tabel 5.6. Luas Potensi Lahan (sub sektor perkebunan)
Tabel 5.7. Luas Tanam Tanaman Perkebunan di Tiap Distrik
Tabel 5.8. Jumlah Petani dan Produksi Pertanian Tanaman Perkebunan
Tabel 5. 9. Luas Tanam Tanaman Sayuran
Tabel 5.10. Luas Tanam Tanaman Pangan
Tabel 5.11. Jumlah Kelompoktani dan Penyuluh serta Status Keaktifan
Tabel 6.1. Rincian Pewilayahan Komoditas Pertanian di Distrik Arso dan Arso Timur
xv

28
29
30
38
39
40
41
42
42
44
45
47
47
48
48
49
50
50
50
51
51
51
52
52
52
52
53
53
55
56
57
59
60
60
61
62
63
63
64
65
65
72

Tabel 6.2. Rincian Pewilayahan Komoditas Pertanian di Distrik Waris
Tabel 6.3. Faktor Kendala dan Hambatan Fisik Lahan
Tabel 6.4. Aksesibilitas Wilayah Distrik Sampel Ke Pasar
Tabel 7. 1. Penyebaran Bentuklahan di Distrik Arso, Arso Timur dan Waris
Tabel 7. 2. ZAE Distrik Arso, Arso Timur dan Waris
Tabel 7.3. Status Pemilikan Lahan dan Alasan Pemilihan Lokasi
Tabel 7.4. Persepsi Sejahtera dan Kondisi Existing Penduduk Kampung
Tabel 7.5. Status dan Peran dalam Struktur Sosial Masyarakat Adat Keerom
Tabel 8.1. Kapasitas Kelompoktani di Distrik Arso, Arso Timur dan Waris
Tabel 8.2. Kelembagaan Kelompoktani dan Ketersediaan Program Kerja
Tabel 8.3. Faktor Kendala Pelaksanaan Aktifitas Penyuluhan
Tabel 9.1. Koefisien Parameter Model Regresi untuk Pendapatan
Tabel 9. 2. Koefisien Parameter Model Regresi untuk Skill Budidaya Pertanian
Tabel 10. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kapasitas Ekonomi Petani
Tabel 10.1. Implementasi pemberdayaan dengan model pendampingan melekat
Tabel 10.2. Skenario pemberdayaan dengan model pendampingan melekat dan insentif

xvi

73
74
77
78
82
85
89
92
96
98
100
107
113
129
138
139

1
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan wilayah yang ideal adalah adanya sinergisitas antar wilayah
agar saling berinteraksi dan saling memperkuat, sehingga nilai tambah yang
diperoleh dari proses interaksi terdistribusi secara adil dan proporsional sesuai peran
dan potensi sumberdaya yang dimiliki masing-masing wilayah.
Kondisi riil yang terjadi antar wilayah kabupaten/kota dengan wilayah distrik
maupun wilayah perdesaan (kampung), tidak terkecuali Provinsi Papua di masa lalu
dan bahkan masih berlangsung hingga tahun 2013 ini, adalah wilayah kota masih
dipandang sebagai kutub pertumbuhan (growth pole). Hal tersebut mengasumsikan
bahwa dengan membangun daerah perkotaan maka akan dapat memberikan efek
penetesan ke bawah (trickle down effect) ke wilayah hinterland. Pandangan tersebut
tidak sepenuhnya terbukti, karena ternyata net-effect dari penerapan konsep growth
poles malah menimbulkan pengurasan sumberdaya alam pedesaan yang luar biasa
besar (masive backwash effect) ke luar dari kampung-kampung sehingga
menimbulkan interaksi antar wilayah yang saling memperlemah. Rustiadi et al
(2006) mengemukakan bahwa backwash effect dapat terjadi karena: (1) terbukanya
akses ke daerah pedesaan sering mendorong kaum elit kota, dan perusahaan besar
mengeksploitasi sumberdaya di desa, sementara masyarakat desa sendiri tidak
berdaya karena secara politik dan ekonomi, para pelaku eksploitasi sumberdaya
memiliki posisi tawar yang jauh lebih kuat, (2) kawasan pedesaan umumnya dihuni
penduduk berkapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan kelembagaan kurang
berkembang (lemah), sehingga diseminasi ide dan pemikiran maju dari kaum elit
kota sulit diterima penduduk desa, (3) hubungan antar wilayah (perkotaan dan
pedesaan) telah membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah.
Penelitian ini berlokasi di wilayah Kabupaten Keerom didasari pertimbangan:
(1) walaupun letaknya dekat Kota Jayapura (ibu kota Provinsi Papua) yang memiliki
infrastruktur jalan, pasar, dan transportasi yang jauh lebih baik, namun kondisi
ekonomi petani asli Papua di Kabupaten Keerom rendah (relatif sama dengan petani
asli Papua) di kabupaten lainnya di Provinsi Papua, (2) ketersediaan aksesibilitas
wilayah dari kampung ke kota distrik, maupun dari distrik ke kota Kabupaten
Keerom, belum tersedia secara merata, (3) kapasitas petani asli Papua dalam hal
pendidikan formal dan non-formal serta sikap dan ketrampilan (kinerja) dalam
bercocok tanam di wilayah ini, masih rendah dibandingkan petani non-Papua, (4)
bahan pangan yang cukup tersedia di wilayah ini merupakan titik lemah dan
cenderung memanjakan petani asli Papua, sehingga turut mempengaruhi kinerja
dalam menggarap lahan pertanian, (5) adanya pelintas batas negara secara ilegal
oleh penduduk Kabupaten Keerom (jumlahnya menempati urutan kedua di Provinsi
Papua) karena tidak adanya aktivitas budidaya pertanian yang prospektif sebagai
tumpuan ekonomi, (6) wilayah Kabupaten Keerom dan wilayah kabupaten/kota
lainnya di wilayah perbatasan NKRI (Kampung Skouw di bagian Utara sampai
Bansbach di bagian Selatan Provinsi Papua), sangat dimungkinkan sebagai beranda
terdepan dalam menjaga kedaulatan negara di wilayah perbatasan dengan negara
PNG, apabila kapasitas ekonomi petani asli Papua di wilayah ini di masa depan jauh
lebih baik dari kondisi saat ini.

2
Kondisi tersebut dinyatakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah (RPJMD) Kabupaten Keerom 2010-2015, bahwa kemampuan penduduk
Kabupaten Keerom untuk memenuhi penghidupan yang layak masih jauh dari
target, sehingga pembangunan manusia kedepan lebih difokuskan pada peningkatan
pembangunan ekonomi, baik aspek laju pertumbuhan maupun pemerataannya.
Bahwa selama ini roda perekonomian hanya ramai terjadi di Distrik Arso dan
Skamto, karena lebih dekat dengan kota Jayapura, (Dokumen RPJMD Kabupaten
Keerom 2011). Hasil analisis Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Analisis
Situasi Pembangunan Manusia (ASPM) Kabupaten Keerom disimpulkan bahwa
ketimpangan pendapatan penduduk maupun rumah tangga di Kabupaten Keerom
masuk dalam kategori rendah, (BPPD dan BPS Kabupaten Keerom, 2011).
Pada tahun 2011 Provinsi Papua dikelompokkan sebagai provinsi paling
miskin di Indonesia dengan tingkat kemiskinan 32,0%, jika dibandingkan dengan
rata-rata tingkat kemiskinan Indonesia hanya sebesar 12,5% (BPS Indonesia, 2012),
sedangkan tingkat kemiskinan Kabupaten Keerom sebesar 22,75%, (lebih miskin)
dari rata-rata nasional, (BPS Kabupaten Keerom, 2011). Terkait dengan Kabupaten
Keerom sebagai salah satu kabupaten perbatasan dengan negara PNG, Bappenas
(2004) mengemukakan beberapa isu dan permasalahan pengelolaan wilayah
perbatasan, diantaranya adalah tingginya angka kemiskinan dan masih banyaknya
jumlah keluarga pra-sejahtera, serta kualitas SDM sangat rendah.
Daryanto dan Hafizrianda, (2010) mengkaji dampak pembangunan sektor
pertanian terhadap distribusi pendapatan di Provinsi Papua, mengemukakan bahwa
“ketimpangan pendapatan yang mencolok antara penduduk asli Papua dan non
Papua”, dapat dilakukan dengan cara memperbaiki distribusi pendapatan, terutama
pada kelompok rumah tangga berpendapatan rendah yang identik sebagai penduduk
asli Papua. Hal senada juga dikemukakan oleh Sumodiningrat dan Wanggai (1997)
bahwa di Timika (Ibukota Kabupaten Mimika), kondisi sosial ekonomi penduduk
asli Papua tidak banyak berubah maju dibandingkan keadaan 35 tahun silam ketika
awal beroperasinya penambangan oleh PT Freeport Indonesia, sehingga telah terjadi
kesenjangan ekonomi yang cukup besar antara pendatang dengan penduduk asli, dan
kesenjangan ini telah mengakibatkan kecemburuan yang menjurus pada konflik
sosial.
Wilayah Kabupaten Keerom terbuka dari isolasi geografis pada tahun
1981/1982 ketika beroperasinya perusahaan pemegang Hak Penebangan Hutan
(HPH). Sejak itu mulai terjadi pengurasan sumberdaya alam (SDA) secara besarbesaran, namun tidak diimbangi dengan share kegiatan ekonomi yang dapat
meningkatkan kesejahteraan penduduk kampung. Hal yang terjadi kemudian adalah
pemerintah Orde Baru memanfaatkan lokasi bekas HPH tersebut untuk lokasi
permukiman transmigrasi.
Realisasi penempatan warga transmigrasi di wilayah ini dimulai pada tahun
1983/1984 dengan menempatkan penduduk asli Papua sebagai warga Transmigrasi
Lokal (Translok) di beberapa lokasi Unit Permukiman Transmigrasi (UPT)
berdampingan dengan warga Transmigrasi Umum (Trans umum). Kebersamaan itu
tidak berlangsung lama, karena sebagian warga translok kembali ke kampung
halaman menjalani rutinitas hidup meramu dan berburu dihutan serta berkebun
secara berpindah-pindah, dibanding di lokasi UPT yang dibatasi oleh lahan usaha
dua hektar.

3
Program pembangunan yang cenderung tidak memperhatikan sosiokultur
penduduk lokal semakin memperparah upaya membangun penduduk yang telah
puluhan tahun menyandarkan sebagian besar kebutuhan hidup pada kemurahan
alam. Berbagai kondisi sosial dan politik yang berlangsung di wilayah ini berbuntut
pada gangguan keamanan di wilayah ini, menyebabkan pendekatan pemerintah
dalam membangun wilayah yang letaknya dekat perbatasan negara tetangga (PNG)
cenderung menerapkan pola security approach (pendekatan keamanan) dari pada
prosperity approach (pendekatan kesejahteraan). Sentimen sosial (konflik horisontal)
dan gesekan politik pun muncul sebagai akibat dari pendekatan pembangunan
tersebut. Isu kemiskinan penduduk asli Papua sering dijadikan sebagai komoditas
politik dalam menggerakkan berbagai komponen orang Papua untuk bereaksi ingin
melepaskan diri dari NKRI (misalnya pada tahun 1999), seiring momentum
reformasi nasional. Atmosfir sosial dan politik tersebut menyertai berbagai alasan
orang Papua melakukan migrasi (secara ilegal) ke PNG. Dinas Pengelolaan
Teknologi Informasi dan Komunikasi Provinsi Papua mengemukakan data WNI
(khususnya orang asli Papua) yang melintasi batas wilayah negara, terhitung mulai
1984 dan kembali secara berangsur-angsur dari negara PNG hingga tahun 2006
sebanyak 14.730 orang, pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1. Pelintas Batas Negara RI ke PNG (Tahun 1984-2006)

Semangat reformasi nasional dan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, telah
membuka peluang pemekaran wilayah kabupaten di Provinsi Papua termasuk
Kabupaten Keerom berdasarkan Undang-Undang RI Nomor: 26 Tahun 2002.
Perangkat hukum tersebut tentunya bertujuan agar rentan kendali pelayanan dan
pembangunan masyarakat semakin mudah dan cepat, karena pemerintah diharapkan
lebih mudah memahami kesulitan dan kebutuhan masyarakat. Semangat reformasi
mendorong Kabupaten Jayapura dimekarkan menjadi 3 kabupaten yaitu: Kabupaten
Jayapura, Kabupaten Keerom, dan Kabupaten Sarmi.
Salah satu tujuan pemekaran wilayah termasuk wilayah Kabupaten Keerom
adalah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan,
agar warga wilayah ini tidak mudah terpengaruh oleh idiologi negara tetangga yang
setiap saat dapat mempengaruhi pola pikir. Harapan tersebut dapat terwujud apabila
secara ekonomi dan tingkat kesejahteraan, warga kita jauh lebih baik dari
kesejahteraan penduduk negara tetangga.

4
Harapan dari tujuan pemekaran wilayah tersebut tentunya didukung oleh UU
Otonomi Khusus Nomor: 21 Tahun 2001 bagi Provinsi Papua, dan Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, yang memberikan peluang bagi
pemerintah Provinsi Papua, dan khususnya pemerintah Kabupaten Keerom untuk
mengatur dan melakukan intervensi langsung dalam pengembangan ekonomi
penduduk (petani).
Luas wilayah Kabupaten Keerom 9.371 Km2, terdiri dari 7 distrik dan 61
kampung, dengan kepadatan penduduk 4-5 orang per Km2. (BPS Kabupaten Keerom
Dalam Angka 2012). Mayoritas petani asli Papua di wilayah ini tidak memiliki
ketrampilan (pengetahuan) bercocok tanam tanaman pangan maupun perkebunan
secara memadai. Luas potensi lahan tanaman perkebunan di Kabupaten Keerom
323.440 ha, namun yang sudah dimanfaatkan hanya 20.675,03 ha (6,39%), Gambar
1.2 dan 1.3.
Data tersebut manunjukkan hanya 6,39% dari luas potensi lahan untuk
tanaman perkebunan, atau hanya 2,21% dari luasan wilayah Kabupaten Keerom
digunakan untuk perkebunan, diantaranya kelapa sawit di Distrik Skanto, Arso, dan
Arso Timur serta perkebunan kakao di semua distrik, dan jenis komoditas
perkebunan lainnya seperti sagu, pinang, kelapa, dan nilam.
Luas lahan di Distrik Web, Towe, Senggi, Waris, dan Arso Timur 623.016 Ha
(66,48%) dari total luas wilayah Kabupaten Keerom, sedangkan luas potensi lahan
perkebunan 5 distrik tersebut (228.780 ha), namun yang telah dimanfaatkan untuk
perkebunan hanya 1,93% (4.434,15 ha). Apabila dibanding dengan luas wilayah
Distrik Arso dan Distrik Skanto hanya seluas 314.085 Ha (33,52%), namun luas
potensi lahan perkebunan yang sudah dimanfaatkan seluas (Distrik Arso 18,15%),
dan (Distrik Skanto 15,92%). Selain perkebunan kelapa sawit yang berorientasi
padat modal, potensi perkebunan lainnya di wilayah ini masih belum dikembangkan
secara lebih baik.

Sumber: BPS Kab. Keerom, 2012
Gambar 1.2. Luas Potensi Lahan Perkebunan, 2011

Sumber: BPS Kab. Keerom, 2012
Gambar 1.3. Luas Lahan Perkebunan yang Sudah
Dimanfaatkan, 2011

Mayoritas petani asli Papua mengelola lahan pertanian dengan pola ladang
berpindah. Tanaman pangan yang cenderung ditanam petani adalah jenis tanaman
lokal untuk meminimalkan risiko gagal panen guna menjamin keberlanjutan proses
produksi seperti singkong, pisang, talas, ubi jalar, dan jenis sayuran tertentu yang
tidak membutuhkan perawatan khusus.
Kondisi usahatani penduduk asli Papua tersebut perlu dibantu dan
diberdayakan agar skill (ketrampilan) sebagai petani kedepan semakin lebih baik,

5
dan memiliki wawasan ekonomi pasar. Sumberdaya yang perlu didorong untuk
kepentingan ini adalah menggiatkan kelembagaan kelompok tani dan kelembagaan
adat (khususnya lahan hak ulayat) serta kelembagaan penyuluhan, agar saling
mendukung dan bekerjasama dalam membantu warga yang masih tertinggal dalam
hal pendapatan.
Tingkat pendapatan penduduk yang diperoleh melalui proxy data pengeluaran
untuk konsumsi makanan dan non-makanan sebagai indikator untuk mengukur
standar hidup layak penduduk, Gambar 1.4.

Sumber: IPM dan ASPM BPS Kabupaten Keerom, 2011
Gambar 1.4. Pengeluaran Riil yang Disesuaikan Tahun 2011

Gambar 1.4, menunjukkan bahwa daya beli masyarakat bervariasi, dimana
daya beli terbesar berada di Kota Jayapura Rp. 641.780, dan bahkan mengungguli
semua kabupaten di Provinsi Papua. Kemampuan daya beli tersebut didukung oleh
sektor ekonomi non-pertanian (PDRB Kota Jayapura 2010/2011). Tingkat
pendapatan penduduk 7 distrik di Kabupaten Keerom diperoleh melalui proxy data
pengeluaran berupa konsumsi makanan dan non-makanan, pada Gambar 1.5.

Sumber: BPS Kabupaten Keerom, 2011

Gambar 1.5. Pengeluaran Riil yang Disesuaikan Distrik-Distrik di Kab. Keerom Tahun 2011

6
Data Gambar 1.5, menunjukkan pengeluaran penduduk Distrik Arso dan
Distrik Skanto per bulan pada tahun 2011 lebih besar dibanding 5 distrik lainnya,
bahkan melebihi pengeluaran rata-rata Kabupaten Keerom (Rp. 621.330), dan juga
melebihi pengeluaran ideal Kabupaten Keerom (Rp. 732.720). Ditunjukkan pula
bahwa letak distrik yang semakin jauh dari kota kabupaten tingkat pengeluaran riil
penduduk semakin kecil. Hal ini mengindikasikan pembangunan manusia kedepan
perlu lebih memfokuskan pada peningkatan pembangunan ekonomi baik aspek laju
pertumbuhan pembangunan maupun pemerataan hasil pembangunan.
Pergerakan ekonomi khususnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Atas Dasar Harga Konstan (ADHK), Kabupaten Keerom, dan Provinsi Papua tahun
2006-2010 yang merupakan salah satu indikator makro ekonomi, menggambarkan
total nilai tambah yang dihasilkan oleh kegiatan-kegiatan perekonomian melalui
proses pembangunan daerah menunjukkan trend meningkat.
Sektor yang memberikan sumbangan terbesar dalam peningkatan PDRB
ADHK Kabupaten Keerom tahun 2010 adalah sektor pertanian 32,72%, namun
angka tersebut jauh lebih rendah dibanding tahun sebelumnya. Sektor yang berperan
sebagai kontributor tertinggi pada PDRB Provinsi Papua, adalah sektor
pertambangan dan penggalian (62,76%), sedangkan sektor pertanian sebagai
kontributor tertinggi kedua yaitu 10,13%. Kontribusi sektor ini perlahan mengalami
penurunan, khususnya dalam lima tahun terakhir yakni 68,76 persen di tahun 2006 menjadi
63,15 persen di tahun 2010. PDRB Perkapita Kabupaten Keerom, Provinsi Papua dan
Indonesia dapat dilihat, pada Gambar 1.6.

Sumber: BPS Kabupaten Keerom, 2011
Gambar 1.6. Nilai PDRB Perkapita Kab. Keerom, Provinsi Papua dan Indonesia, Tahun 2008-2011

Gambar 1.6, menunjukkan bahwa PDRB perkapita yang menggambarkan
tingkat kesejahteraan penduduk wilayah Kabupaten Keerom, Provinsi Papua dan
Indonesia sejak tahun 2008 – 2011 menunjukkan kecenderungan terus meningkat,
kecuali PDRB perkapita Provinsi Papua pada tahun 2011 mengalami penurunan dari
tahun 2010 sebesar 17,59%
Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Keerom selama tiga tahun terakhir
mengalami trend yang berfluktuasi setelah mengalami penurunan tajam pada tahun
2007, dan kembali meningkat pada tahun 2008, pada Gambar 1.7.

7

Sumber: BPS Kabupaten Keerom, 2011
Gambar 1.7. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Keerom Kota Jayapura
dan Provinsi Papua, Tahun 2006-2010

Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2010, menunjukkan bahwa Kabupaten
Keerom mengalami pertumbuhan 9,73%, sedangkan pertumbuhan ekonomi dengan
tambang pada Provinsi Papua justru mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 2,65% setelah satu tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2009 pertumbuhan ekonomi
mencapai angka 22,74%. Ditinjau dari aspek PDRB ADHK tahun 2010, Kota
Jayapura mencapai nilai Rp. 3,37 trilyun, jauh lebih tinggi dari Kabupaten Keerom
yaitu hanya mencapai Rp. 352 milyar, sedangkan PDRB ADHK Provinsi Papua
mencapai Rp. 22 Trilyun.
Masalahnya adalah petani asli Papua belum berperan dalam pencapaian
angka-angka tersebut. Misalnya PDRB Kabupaten Keerom memperoleh sumbangan
terbesar dari sektor pertanian, namun sektor pertanian yang berkontribusi adalah
komoditas perkebunan kelapa sawit padat modal (perusahaan besar). Apakah petani
asli Papua telah berkontribusi secara signifikan dalam perkembangan PDRB dan
pertumbuhan ekonomi, dan mengapa kapasitas ekonomi petani asli Papua di wilayah
ini tidak mengalami perkembangan berarti diantara petani lainnya. Hal yang
diharapkan dimasa depan adalah agar pertumbuhan ekonomi yang terjadi di wilayah
ini semakin meningkat dan merata pada semua warga guna keberlanjutan
(sustainability) pembangunan yang lestari, sehingga kelompok masyarakat ini tidak
termarjinalkan dalam pembangunan wilayah yang dihuninya. Apabila yang terjadi
adalah kemampuan ekonomi PNG di wilayah perbatasan jauh lebih maju, maka
diperkirakan akan sangat mudah mempengaruhi emosi sosial budaya, ekonomi dan
politik warga Kabupaten Keerom maupun kabupaten lainnya di wilayah perbatasan.
Akibat yang akan timbul dari kondisi tersebut adalah penduduk kampung di
wilayah ini sangat dimungkinkan untuk bermigrasi, terutama bagi warga kampung
yang secara adat (sosial budaya) tidak memiliki hak ulayat. Pemilikan hak ulayat
secara adat di Papua, dikuasai oleh Marga (Keret) tertentu, sementara warga
kampung sesama orang asli Papua lainnya yang tidak memiliki lahan hak ulayat,
namun berkebun diatas lahan hak ulayat kelompok suku atau marga lain, mereka
cenderung bercocok tanam hanya sekedar bertahan hidup tanpa orientasi ekonomi

8
jangka panjang kedepan. Hal yang perlu dicermati kembali adalah, penerapan
kebijakan paket perbaikan ekonomi kerakyatan yang pernah dilaksanakan namun
tidak menunjukkan hasil yang signifikan dalam meningkatkan kapasitas ekonomi
petani asli Papua, perlu dievaluasi untuk menemukan solusi dan model yang sesuai
untuk diterapkan.
1.2. Perumusan Masalah
Pembangunan wilayah sangat erat kaitannya dengan karakter dasar yang
spesifik dari kondisi geografis dan sosial budaya. Aspek tersebut turut membentuk
karakteristik kegiatan ekonomi suatu wilayah. Kegiatan ekonomi di wilayah
kampung identik dengan pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan. Ketiga
aktivitas ekonomi tersebut dilakukan secara tradisional dengan volume yang terbatas
oleh petani asli Papua pada distrik-distrik di Kabupaten Keerom, walaupun potensi
lahan sangat menjanjikan.
Rendahnya aktivitas ekonomi di wilayah ini lebih disebabkan oleh faktor
internal warga kampung yaitu terbatasnya SDM (pendidikan/pengetahuan,
ketrampilan), pengalaman bertani, ketekunan bekerja, partisipasi, dan aksesibilitas,
dalam memanfaatkan sumber daya, sehingga menyebabkan bertambahnya jumlah
orang miskin. Kondisi petani tersebut tentunya membutuhkan bantuan pihak luar,
terutama peran stakeholder (peran penyuluh/pemerintah, swasta dan LSM), guna
menginovasi program pemberdayaan. Keterbatasan ekonomi petani asli Papua di
berbagai kampung, telah terbukti melemahkan kemampuan orang tua membiayai
pendidikan anak, tidak mampu memperoleh pelayanan kesehatan yang lebih baik,
tidak mampu membangun rumah sehat, apalagi kebutuhan sekunder.
Kegiatan ekonomi petani asli Papua di wilayah Kabupaten Keerom, belum
sepenuhnya mengandalkan aktivitas budidaya, karena petani masih melakukan
aktivitas meramu dan berburu, sedangkan tanaman pangan yang ditanam petani asli
Papua cenderung memilih tanaman pangan yang minim risiko gagal panen (lebih
bersifat subsisten) dan minim orientasi pasar. Tanaman perkebunan (sagu, kakao,
pinang, dan kelapa), belum dibudidayakan secara baik, sehingga produksinya pun
belum mencapai harapan. Disisi lain minimnya infrastruktur fisik dan non fisik di
wilayah kabupaten keerom turut menghambat dinamika perkembangan ekonomi
petani, khususnya petani asli Papua yang umumnya berdomisili di kampungkampung yang jauh dari kota kabupaten. Koperasi Unit Desa (KUD) tidak berfungsi
dalam mendukung dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi, dikarenakan
petani belum memahami kemanfaatannya.
Penguasaan hak ulayat secara adat pada suku-suku tertentu di Papua
tersentralisir pada tokoh adat tertentu termasuk di wilayah Kabupaten Keerom.
Eksistensi adat yang begitu kuat dalam kelembagaan adat sehingga setiap anggota
Suku atau Keret, maupun suku lain patuh atas pemilikan hak atas lahan yang
menjadi milik suku tertentu (private property right). Konsekwensi dari kepatuhan
adat tersebut adalah setiap orang tidak dapat menggunakan lahan secara bebas,
apabila belum diijinkan oleh tokoh adat (pemilik hak ulayat). Pengakuan hak ulayat
(private property right) pada suku-suku di Papua, didasarkan atas perjalanan sejarah
adat dari para leluhur yang pernah hidup di masa lalu, dan diakui secara adat oleh
marga dan keret serta suku lain. Pengakuan tersebut kemudian memposisikan
filosofi yang dianut oleh orang asli Papua, bahwa tanah (hutan) adalah “sumber dan

9
kekuatan hidup serta media interaksi antara dunia manusia dan dunia roh”. Filosofi
tersebut menjadi nilai moral adat yang sangat berpengaruh dalam kehidupan
bermasyarakat. Kepatuhan tersebut berimplikasi pada individu maupun kelompok
suku yang tidak memiliki tanah adat namun tinggal di atas tanah adat suku lain.
Kelompok masyarakat ini segan dalam beraktivitas karena ruang geraknya dibatasi
oleh moral adat. Implikasi lebih lanjut adalah adanya keraguan petani asli Papua
(bukan pemilik hak ulayat) untuk mengembangkan tanaman jangka panjang
(perkebunan), karena berkaitan dengan hak pemilikan lahan (private property right),
yang dikuasai kelompok suku atau keret.
Fenomena tersebut telah dipahami oleh Pemerintah Kabupaten Keerom
sebagaimana dituangkan dalam RPJMD 2010-2015, bahwa dalam rangka
memperkuat dan meningkatkan struktur ekonomi daerah, maka akan bertumpuh
pada 3 sektor, yaitu: (1) ekonomi produktif, (2) pertumbuhan in