Karakteristik genetik sapi aceh menggunakan analisis keragaman fenotipik, Daerah D loop DNA mitokondria dan DNA mikrosatelit

KARAKTERISASI GENETIK SAPI ACEH
MENGGUNAKAN ANALISIS KERAGAMAN
FENOTIPIK, DAERAH D-LOOP DNA MITOKONDRIA
DAN DNA MIKROSATELIT

MOHD. AGUS NASHRI ABDULLAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

SURAT PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya dengan judul
Karakterisasi Genetik Sapi Aceh Menggunakan Analisis Keragaman
Fenotipik, Daerah D-Loop DNA Mitokondria dan DNA Mikrosatelit adalah
benar-benar asli karya saya dengan arahan komisi pembimbing, dan bukan
jiplakan atau tiruan dari tulisan siapapun serta belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun.


Bogor, 10 Maret 2008

Mohd. Agus Nashri Abdullah
Nrp. D061030081

ABSTRACT
MOHD. AGUS NASHRI ABDULLAH. Genetics Characterization of Aceh
Cattle Utilizing Phenotypic, Mitochondrial DNA of D-loop Region and
Microsatellite DNA Analyses. Under the supervision of HARIMURTI
MARTOJO, RONNY RACHMAN NOOR, and DEDY DURYADI SOLIHIN
The aims of this study were to describe the variation of body size
measurement, D-loop of mtDNA and microsatellite alleles of Aceh cattle. The
body measurement data were collected from 131 males and 269 females of Aceh
cattle. The whole blood samples (8 samples for D-loop analyses and 160
samples for microsatellite genotyping) were collected from Aceh Besar, Pidie,
North Aceh district and Banda Aceh city. For the out-group comparison, the
whole blood samples were collected from 10 Bali cattle, two samples of each
collected from Madura, PO and Pesisir cattle. The D-loop sequences of mtDNA
amplification were done by using BIDLF and BIDLR primer with the PCR product

of 980 bp. Sixteen markers were used for genotyping microsatellite DNA. Body
size measurement data variation were analyzed using Minitab 14.13 software.
The molecular data were analyzed using Minitab 14.13, Squint 1.02, Mega4 and
Arlequin 3.11 and Excel software.
The result shows that the body weight and size of Aceh cattle were smaller
than those of Bali, Madura and PO cattle. However the body size of Aceh cattle
was larger when compared to that of Pesisir cattle. Most of Aceh cattle have red
sand and light brown coat color. The horn shape of female cattle was bend
slightly toward left or right and than bend to forward direction. The male has the
same horn shape as females but at the tips of the horn goes upward. Most of
Aceh cattle have concave face line and some of them have diametrical face line.
The result of the D-loop mtDNA analyses showed that there were 27 site
variation of D-loop mtDNA Aceh cattle. These specific markers can be used to
differentiate and subdivide Indonesian domestic cattle. The Aceh cattle were in
the same cluster with Pesisir cattle. However, the PO cattle were in a closer
cluster with Bos indicus cattle, while Bali and Madura cattle were in the same
cluster. The result of microsatellite analyses showed that the averages allele
number per locus was 10,25 ± 2,07. The percentage of the heterozygosity of
Aceh cattle was higher than those of Bali, but lower compared to those of
Madura, PO and Pesisir cattle. Based on the microsatellite alleles analyses, the

Aceh cattle were in the same cluster with PO cattle and were in the same branch
of the phylogeny tree with Pesisir and Madura cattle.
Keyword: Aceh cattle, phenotypic, DNA, mitochondrial, microsatellite

RINGKASAN
MOHD. AGUS NASHRI ABDULLAH. Karakterisasi Genetik Sapi Aceh
Menggunakan Analisis Keragaman Fenotipik, Daerah D-loop DNA
Mitokondria dan DNA Mikrosatelit. Dibimbing oleh HARIMURTI MARTOJO,
RONNY RACHMAN NOOR, dan DEDY DURYADI SOLIHIN
Sapi Aceh merupakan satu dari empat bangsa sapi asli Indonesia (Aceh,
Bali, Madura, Pesisir). Sapi Sumba-Ongole (SO) dan Java-Ongole (PO) juga
dianggap sebagai bangsa sapi lokal Indonesia. Ternak-ternak asli telah terbukti
dapat beradaptasi dengan lingkungan lokal termasuk makanan, ketersediaan air,
iklim dan penyakit. Dengan demikian, ternak-ternak inilah yang paling cocok
untuk dipelihara dan dikembangkan di Indonesia, walaupun produksinya lebih
rendah dari ternak impor.
Sapi Aceh diduga dimasukkan oleh pedagang-pedagang India yang
membawa sapi-sapi dari India ke Aceh pada masa lampau dengan tujuan
berdagang dan menguasai perekonomian di Aceh. Selanjutnya sapi ini diduga
mengalami persilangan dengan banteng liar yang ada di Sumatera, namun

belum pernah diverifikasi dan diungkapkan melalui analisis genom.
Eksploitasi sapi Aceh melalui persilangan yang semakin luas dengan
bangsa sapi eksotik yang dilakukan selama ini dapat mengancam keberadaan
sapi Aceh pada masa yang akan datang. Kepunahan yang dapat terjadi pada
sapi Aceh yang telah teradaptasi lingkungan akan sulit bahkan tidak akan dapat
digantikan. Hal ini akan berdampak pada kehidupan sosial, ekonomi, budaya
masyarakat Aceh yang tidak bisa terlepas dari beternak dan mengkonsumsi
daging sapi.
Oleh karena itu, dilakukan penelitian pada sapi Aceh yang mencakup
inventarisasi sumber daya genetiknya melalui analisis fenotipik, DNA mitokondria
pada daerah D-loop dan DNA mikrosatelit. Tujuan penelitian ini adalah
melakukan karakterisasi terhadap keragaman fenotipik dan keragaman genetik,
daerah D-loop mtDNA dan DNA mikrosatelit yang berguna sebagai database
dalam pelaksanaan program pelestarian plasma nutfah sapi Aceh,
pengembangan dan pemanfaatannya secara berkelanjutan.
Pengumpulan data fenotipik sapi Aceh (131 jantan dan 269 betina) dan
sampel darah (8 sampel untuk analisis D-loop dan 160 sampel untuk genotiping
mikrosatelit) dilakukan di Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Pidie dan
Aceh Utara. Sampel pembanding telah diambil 10 sampel sapi Bali (Pulau Bali),
dua sampel masing-masing sapi Madura (Pulau Madura), PO (Jawa Barat),

Pesisir (Sumatera Barat). Ekstraksi dan purifikasi DNA total telah dilakukan
menurut metode Sambrook yang dikembangkan Duryadi. Primer yang digunakan
untuk mengamplifikasi fragmen daerah D-loop mtDNA adalah pasangan primer
BIDLF dan BIDLR dengan panjang produk 980 bp. Bagian DNA mikrosatelit,
telah digunakan adalah enambelas lokus (BM1818, INRA005, CSRM60,
BM2113, HEL5, HEL9, HEL13, INRA63, INRA35, HEL1, ETH225, ETH10,
CSSM66, BM1824, ILSTS006 dan ILSTS005) untuk genotiping mikrosatelit. Data
fenotipik dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan program Minitab
14.13. Data molekuler dari sekuen D-loop disejajarkan berganda dengan sekuen
acuan Bos indicus dari GenBank (kode akses AY126697) dengan menggunakan
program Squint 1.02 dan dianalisis dengan program MEGA versi 4.0. Panjang
sekuen daerah D-loop yang dapat dianalisis adalah 479 bp. Hitungan jarak

genetik (D) antarsapi penelitian dan pohon filogeni telah digunakan metode 2
parameter Kimura dengan bootstrapped Neighbor-Joining 1000 kali ulangan
dalam paket MEGA. Data ukuran-ukuran alel mikrosatelit dianalisis dengan
program Arlequin 3.11 dan dukungan Minitab 14.13 serta Excel. Jarak genetik
yang diperoleh digunakan untuk membentuk pohon filogeni dengan program
Phylip (phylogeny Inference Package) versi 3.67.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditinjau dari segi bobot badan dan

ukuran-ukuran tubuh, sapi Aceh mengalami penurunan bobot badan dan ukuranukuran tubuh dibanding hasil laporan tahun 1926. Apabila dibandingkan sapi
Bali, Madura dan PO, maka sapi Aceh mempunyai ukuran-ukuran tubuh yang
lebih kecil pada tingkat umur yang sama, namun berada di atas rataan sapi
Pesisir. Secara kualitatif, sapi Aceh berwarna dominan merah bata dan cokelat
muda serta pola warna beragam mulai warna gelap sampai terang. Bentuk
pertumbuhan tanduk sapi betina mengarah ke samping melengkung ke atas
kemudian ke depan dan pada jantan mengarah ke samping melengkung ke atas.
Pada umumnya sapi Aceh mempunyai garis punggung yang cekung (89,25%),
sebagian mempunyai garis punggung cembung (6,25%) dan sebagian kecil
mempunyai garis punggung lurus (4,5%). Hasil analisis D-loop mtDNA dengan
sekuen acuan Bos indicus dari GenBank, ada 27 situs beragam pada sapi Aceh.
Penanda ini dapat digunakan untuk pembeda dan pengelompokan sapi lokal
Indonesia yaitu sapi Aceh satu klaster dengan sapi Pesisir dan PO, mempunyai
jarak genetik yang lebih dekat dengan sapi Bos indicus, sedangkan sapi Bali dan
Madura membentuk klaster sendiri. Pengelompokan sapi Aceh dengan sapi
Pesisir dan PO dalam klaster sapi Bos indicus menunjukkan bahwa sapi Aceh,
Pesisir dan PO adalah dari maternal zebu, sedangkan pengelompokan sapi
Madura dalam klaster sapi Bali (Bos javanicus) menunjukkan bahwa sapi Madura
bukan dari maternal zebu tetapi dari maternal banteng. Hasil analisis DNA
mikrosatelit, diperoleh rataan alel per lokus 10,25 ± 2,07. Sapi Aceh memiliki

derajat heterozigositas yang tinggi dan berbeda genetik dengan sapi Bali,
Madura, Pesisir dan PO. Urutan kedekatan genetik antara sapi Aceh dengan
sapi pembanding berturut-turut yaitu: sapi PO, Pesisir, Madura dan Bali, dengan
pohon filogeni yang menunjukkan sapi Aceh memiliki klaster yang sama dengan
sapi PO, membentuk cabang dengan sapi Pesisir dan sapi Madura.
Kata kunci: sapi Aceh, fenotipik, mitokondria, mikrosatelit, DNA

@ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

KARAKTERISASI GENETIK SAPI ACEH
MENGGUNAKAN ANALISIS KERAGAMAN

FENOTIPIK, DAERAH D-LOOP DNA MITOKONDRIA
DAN DNA MIKROSATELIT

MOHD. AGUS NASHRI ABDULLAH

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Achmad Machmud Thohari, DEA
2. Dr. Ir. Endang Tri Margawati, M.Agr.Sc

Judul Disertasi : Karakterisasi Genetik Sapi Aceh Menggunakan Analisis

Keragaman Fenotipik, Daerah D-loop DNA Mitokondria dan
DNA Mikrosatelit
Nama
: Mohd. Agus Nashri Abdullah
NRP
: D061030081
Program Studi : Ilmu Ternak

Disetujui,
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Harimurti Martojo, M.Sc
Ketua

Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, MRur.Sc
Anggota

Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA
Anggota


Diketahui,
Ketua Departemen Ilmu Produksi
dan Teknologi Peternakan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

Tanggal ujian: 13 Maret 2008

Tanggal lulus: 11 April 2008

PRAKATA
Sujud syukur Alhamdulillah dan segala puji penulis panjatkan kepada Allah
SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Sasaran yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Pebruari 2005
sampai dengan Juni 2007 adalah keragaman genetik, yang berjudul
Karakterisasi Genetik Sapi Aceh Menggunakan Analisis Keragaman

Fenotipik, Daerah D-loop DNA Mitokondria dan DNA Mikrosatelit.
Gabungan tiga bagian utama penelitian (fenotipik, daerah D-loop DNA
mitokondria, dan DNA mikrosatelit) pada sapi Aceh dengan cakupan daerah
pengambilan sampel yang luas dan mengetahui kedudukan sapi Aceh dalam
pengelompokan sapi lokal lainnya di Indonesia belum pernah dilakukan
sebelumnya. Penelitian ini memberikan informasi yang sangat penting sebagai
database sapi Aceh dan ini merupakan yang pertama dilakukan di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.
Pengamatan penulis diawali ketika masa kecil sekitar awal tahun 80-an
pada beberapa ekor sapi Aceh milik seorang peternak Desa Tanjong Seulamat di
depan rumah orang tua penulis di Kampus Universitas Syiah Kuala. Sapi
tersebut sering digembalakan berhari-hari tanpa dipindahkan dengan cara diikat
di lapangan rumput siang dan malam beserta panas dan hujan, hingga di
sekitarnya tidak terlihat lagi rumput bahkan akarnya, namun sapi tersebut tetap
tegar. Banyak sapi milik peternak lain di sekitar kampus digembalakan dengan
cara dilepas siang dan malam, sehingga sering bergerombol masuk ke lapangan
kampus untuk merumput. Keadaan demikian telah berlangsung sejak awal
kampus berdiri di tahun 60-an hingga sekarang kadang masih juga terjadi. Jika
dilakukan perjalanan darat di malam hari dari Banda Aceh menuju perbatasan
dengan Sumatera Utara, maka akan ditemui sapi beristirahat sepanjang jalan
negara lintas Sumatera, sehingga ada sebutan '“Aceh memiliki kandang sapi
terpanjang di dunia”. Keadaan ini berlangsung hingga diberlakukan Operasi
Jaring Merah (DOM) di Aceh karena konflik berkepanjangan. Betapa besar daya
tahan hidup sapi Aceh dengan kondisi demikian.
Gagasan penelitian ini muncul setelah melihat kekhawatiran pada sapi
Aceh yang ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sejak ada
pelaksanaan program Inseminasi Buatan (IB) dan semakin meluas persilangan
yang dilakukan pada sapi Aceh di provinsi ini, peternak semakin sulit
mendapatkan sapi Aceh murni sehingga kemungkinan inbreeding telah terjadi.
Peternak di desa yang umumnya mempunyai tingkat pendidikan sangat rendah
(tamat dan tidak tamat SD), hampir seluruhnya tertarik memelihara sapi yang
lebih besar setelah melihat hasil-hasil persilangan yang telah dilakukan dengan
bangsa sapi impor. Bahkan di Aceh, sebagian orang peternakan sendiri
menyepelekan sapi Aceh dengan beberapa alasan seperti sapi kecil (bahasa
Aceh leumó bukriėk), lambat dewasa, tidak efisien dan perlu diganti dengan sapi
lain, sehingga sapi ini semakin terancam keberadaannya. Padahal dari laporan
Merkens tahun 1926 dan beberapa keterangan dari sesepuh pendahulu di
Kabupaten Aceh Besar, Pidie dan Aceh Utara menjelaskan bahwa, sapi Aceh
dahulu berukuran besar-besar dan tidak kecil seperti sekarang. Perayaan pesta
perkawinan besar hanya cukup dipotong satu ekor sapi Aceh.
Penelitian ini dapat terlaksana dengan ada dukungan dari semua pihak,
sehingga penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada
Guru-guru yang baik Prof. Dr. Harimurti Martojo, M.Sc sebagai Ketua Komisi

Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, MRur.Sc dan
Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA masing-masing sebagai Anggota Komisi
Pembimbing yang telah mendukung, meluangkan waktu, pikiran dan tenaganya
dalam membimbing penulis sejak dalam perkuliahan, penulisan proposal sampai
selesai penulisan karya ilmiah ini. Semoga Guru-guru penulis diberikan pahala
oleh Allah SWT.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Syiah Kuala
atas izin dan dukungannya. Terima kasih disampaikan kepada Dikti atas
dukungan dana pendidikan BPPs. Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada
Kepala Dispet TK. I Provinsi NAD dan Dispet TK. II Kota Banda Aceh, Kabupaten
Aceh Besar, Pidie dan Aceh Utara beserta stafnya atas bantuan selama koleksi
sampel di Aceh. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ilham, S.Si atas
bantuan selama koleksi sampel darah sapi di Pulau Madura dan terima kasih
kepada Dr. Jakaria, S.Pt, M.Si atas pemberian sampel darah sapi Bali dari
P3Bali. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Sarbaini Anwar, M.Sc
atas pemberian sampel darah sapi Pesisir dari Sumatera Barat dan juga terima
kasih kepada Prof. Dr. Eddie Gurnadi, M.Sc atas keizinan pengambilan sampel
darah sapi PO di Laboratorium Ilmu Ternak Daging dan Kerja Fapet IPB. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada Kepala Laboratorium Biologi Molekuler Pusat
Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) Institut Pertanian
Bogor Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA, atas segala fasilitas alat dan bahan
yang dapat penulis gunakan mulai dari isolasi, ekstraksi DNA total sampai
pelaksanaan amplifikasi PCR daerah D-loop DNA Mitokondria. Ucapan terima
kasih penulis sampaikan kepada Prof. Heriberto Rodriguez-Martinez, Ph.D atas
dukungan dana penelitian DNA mikrosatelit dan terima kasih kepada Prof. Dr.
Göran Andersson, Ph.D selaku Kepala Laboratorium Molekuler dan Genetika di
Swedish University of Agricultural Sciences (SLU), Uppsala, Swedia atas segala
fasilitas alat dan bahan yang dapat penulis gunakan selama penelitian DNA
Mikrosatelit berlangsung, serta terima kasih disampaikan kepada Mia Ollson
(mahasiswa program Ph.D di SLU) atas bantuannya selama penulis melakukan
analisis DNA Mikrosatelit. Ucapan terima kasih penulis sampaik juga kepada
seluruh teman dan kolega.
Akhirnya, ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Drs. Abdullah
Rayeuk, M.Si (Ayah) dan Ibu Salwiyah Abdul Wahab, isteri tercinta Sofia Kurnia,
S.Ag serta ananda Mohd Anshar Anashri atas dukungan, pengertian dan
do’anya.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan kemajuan
ilmu peternakan di Indonesia dan khususnya Nanggroe Aceh Darussalam serta
pembaca.

Bogor, 10 Maret 2008

Mohd. Agus Nashri Abdullah

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kopelma Darussalam pada tanggal 16 Agustus 1971
sebagai anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Drs. Abdullah Rayeuk,
M.Si dan Salwiyah Abdul Wahab. Pendidikan Sekolah Dasar Negeri No. 82 (SD
Teladan Lamnyong) Banda Aceh ditamatkan pada tahun 1984, kemudian
dilanjutkan pada SMPN 13 tamat tahun 1987 dan SMAN 6 tamat tahun 1990
yang keduanya berada di Kota Pelajar Mahasiswa (Kopelma) Universitas Syiah
Kuala Darussalam Banda Aceh. Pendidikan sarjana dimulai pada tahun 1990
pada Program Studi Produksi Ternak Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian
Universitas Syiah Kuala, lulus pada tahun 1995. Kesempatan untuk melanjutkan
ke program magister pada Program Studi Ilmu Ternak, Sekolah Pascasarjana
IPB diperoleh pada tahun 2000 dan lulus 2003 dengan beasiswa pendidikan dari
BPPs Dikti Jakarta. Pada tahun 2003 kembali penulis mendapat kesempatan
melanjutkan pendidikan (Doktor) pada program studi yang sama Institut
Pertanian Bogor dengan beasiswa dari BPPs Dikti Jakarta. Pada tahun 2005,
penulis memperoleh dana penelitian dari Riset Unggulan Terpadu XII tahun I
sebagai Ketua Peneliti. Selanjutnya, dalam tahun 2007, penulis memperoleh
kesempatan melanjutkan penelitian ini pada Laboratorium Molekuler dan
Genetika, Husdjursgenetik, University of Agricultural Sciences (SLU), Uppsala,
Swedia atas kerja sama Pembimbing Anggota Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor,
MRur.Sc dengan peneliti di SLU Swedia Prof. Heriberto Rodriguez-Martinez,
Ph.D.
Penulis bekerja sebagai tenaga pengajar di Fakultas Pertanian Jurusan
Peternakan Program Studi Produksi Ternak Universitas Syiah Kuala sejak tahun
1997 sampai sekarang untuk Mata Kuliah Ilmu Pemuliaan dan Genetika
Hewan/Ternak.

xii

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL......................................................................................

xiv

DAFTAR GAMBAR ..................................................................................

xvi

DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................

xix

PENDAHULUAN......................................................................................
Latar Belakang ..............................................................................
Tujuan Penelitian............................................................................
Manfaat Penelitian ..........................................................................
Hipotesis ........................................................................................

1
1
5
5
5

TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
Gambaran Umum Nanggroe Aceh Darussalam ..............................
Keragaman Genetik Ternak............................................................
Pelestarian Sumber Daya Genetik Ternak ......................................
Sifat Kuantitatif dan Kualitatif ..........................................................
Sumber Daya Genetik Ternak Lokal Indonesia ...............................
Karakteristik Sapi Aceh...................................................................
Penanda Molekuler.........................................................................
DNA Mitokondria ............................................................................
DNA Mikrosatelit.............................................................................
Teknik Penelitian DNA....................................................................

6
6
6
9
11
12
14
15
18
20
23

MATERI DAN METODE .........................................................................
Penelitian Lapangan .......................................................................
Waktu dan Tempat Penelitian..................................................
Materi Penelitian......................................................................
Peralatan yang Digunakan.......................................................
Pengambilan Sampel Data Kuantitatif dan Kualitatif ................
Analisis Data............................................................................
Penelitian Laboratorium..................................................................
Daerah D-loop DNA Mitokondria.....................................................
Waktu dan Tempat Penelitian..................................................
Pelaksanaan Pengambilan Sampel Darah...............................
Bahan-bahan dan Peralatan ....................................................
Perancangan Primer Daerah D-loop DNA Mitokondria ............
Isolasi dan Purifikasi DNA Total ..............................................
Elektroforesis untuk Visualisasi DNA Hasil Isolasi ...................
Amplifikasi Daerah D-loop DNA Mitokondria ...........................
Penentuan Sekuen Nukleotida ................................................
Analisis Data............................................................................
DNA Mikrosatelit.............................................................................
Waktu dan Tempat Penelitian..................................................
Pelaksanaan Pengambilan Sampel Darah...............................
Bahan-bahan dan Peralatan ...................................................

26
26
26
25
27
27
28
30
30
30
31
31
32
32
33
34
34
35
36
37
37
37

xiii

Primer Mikrosatelit ...................................................................
Amplifikasi Lokus Mikrosatelit..................................................
Elektroforesis Produk PCR ......................................................
Analisis Data............................................................................

37
38
38
39

HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................
Penelitian Lapang...........................................................................
Profil Peternak ........................................................................
Ukuran-ukuran Tubuh ..............................................................
Bentuk Tubuh ..........................................................................
Warna dan Pola Warna Tubuh.................................................
Bentuk Tanduk.........................................................................
Penelitian Laboratorium..................................................................
Daerah D-loop DNA Mitokondria.....................................................
DNA Total ................................................................................
Amplifikasi daerah D-loop ........................................................
Penentuan daerah D-loop Parsial dan Keragaman Runutan
Nukleotida................................................................................
Jarak Genetik sapi Aceh dan Sapi Pembanding ......................
Hubungan Kekerabatan Sapi Aceh..........................................
DNA Mikrosatelit.............................................................................
DNA Total ................................................................................
Amplifikasi Mikrosatelit.............................................................
Alel dan Lokus Polimorfik.........................................................
Distribusi dan Jumlah Genotipe ...............................................
Distribusi Frekuensi Alel ..........................................................
Variasi Genetik dan Keseimbangan Hardy-Weinberg .............
Jarak Genetik Sapi Aceh dan Sapi Outgroup...........................
Penelusuran Asal-usul Sapi Aceh............................................
Pembahasan Umum .......................................................................

42
42
42
45
50
51
55
57
57
57
57
58
63
64
70
70
71
72
76
77
93
96
98
104

SIMPULAN DAN SARAN.........................................................................
Simpulan ........................................................................................
Saran..............................................................................................

111
111
112

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................

113

DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................

124

xiv

DAFTAR TABEL
Halaman
1

Urutan basa dan suhu penempelan primer untuk mengamplifikasi
daerah D-loop sapi penelitian ..........................................................

32

2

Profil peternak sapi Aceh..................................................................

43

3

Ukuran-ukuran tubuh dan bobot badan sapi Aceh jantan dengan
menggunakan rumus lingkar dada dan panjang badan ....................

46

Ukuran-ukuran tubuh dan bobot badan sapi Aceh betina dengan
menggunakan rumus lingkar dada dan panjang badan ....................

47

Ukuran-ukuran tubuh dan bobot badan sapi-sapi jantan lokal pada
umur berbeda...................................................................................

50

6

Warna-warna tubuh sapi Aceh..........................................................

53

7

Frekuensi bentuk-bentuk pertumbuhan tanduk sapi Aceh ................

55

8

Jumlah insersi dan delesi basa-basa nukleotida pada sapi Aceh, Bali,
Madura, PO dan Pesisir dengan acuan Bos indicus.........................

59

Rataan komposisi nukleotida daerah D-loop parsial sapi Aceh,
Bali, Madura, PO dan Pesisir setelah disejajarkan dengan
komposisi nukleotida acuan Bos indicus dari GenBank
(ukuran 479 bp) ...............................................................................

61

10 Perbedaan susunan basa nukleotida sapi Aceh, Bali, Madura, PO,
Pesisir dan Bos indicus dari GenBank..............................................

62

11 Jarak genetik berdasarkan metode 2 parameter Kimura pada sapi
Aceh, Bali, Madura, PO, Pesisir dan Bos indicus dari GenBank .......

64

12 Panjang produk PCR dan selisih ukuran maksimum dan minimum
pada masing-masing lokus mikrosatelit sapi penelitian ....................

71

13 Jumlah alel masing-masing lokus mikrosatelit pada sapi Aceh,
Bali, Madura, PO, dan Pesisir..........................................................

73

14 Perbandingan rataan jumlah alel per lokus pada berbagai ternak
ternak penelitian ..............................................................................

74

15 Alel-alel pada sepuluh lokus mikrosatelit yang hanya ditemukan
pada sapi Bali, Madura dan Pesisir..................................................

75

16 Kisaran ukuran alel dan jumlah genotipe sapi Aceh dan sapi
outgroup pada 16 lokus mikrosatelit.................................................

76

4
5

9

xv

17 Heterozigositas masing-masing lokus mikrosatelit pada sapi Aceh
Bali, Madura, PO dan Pesisir...........................................................

94

18 Matriks jarak genetik Nei yang diperoleh dari frekuensi-frekuensi
alel pada 16 lokus mikrosatelit sapi Aceh, Bali, Madura, PO dan
Pesisir..............................................................................................

96

19 Estimasi proporsi sumber gen-gen dari Bos taurus, Bos indicus
dan Bos javanicus............................................................................

98

20 Perbedaan range ukuran alel sapi Aceh dan sapi outgroup terhadap
range ukuran alel dari beberapa literatur ..........................................

109

xvi

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Skema genom mitokondria..............................................................

19

2

Lokasi pengambilan sampel data fenotipik sapi Aceh .....................

26

3

Sketsa bagian-bagian permukaan tubuh sapi Aceh yang diukur .....

28

4

Lokasi pengambilan sampel darah sapi Aceh dan sapi outgroup
untuk analisis daerah D-loop DNA mitokondria ..............................

30

Lokasi pengambilan sampel darah sapi Aceh dan sapi outgroup
untuk analisis DNA mikrosatelit .......................................................

36

Sinyal fluoresen yang dihasilkan mesin ABI Prism 3100 DNA
analyzer (Applied Biosystems) yang menunjukkan hasil amplifikasi
DNA mikrosatelit dengan menggunakan marker BM1818 ...............

40

7

Perbedaan ukuran-ukuran tubuh sapi Aceh pada tahun berbeda....

49

8

Warna-warna tubuh sapi Aceh ........................................................

52

9

Sketsa bentuk-bentuk pertumbuhan tanduk sapi Aceh....................

56

10

Spektrofotometer DNA total sapi penelitian setelah dimigrasikan
dalam gel agarose 1,2% pada tegangan 90 volt selama 30 menit...

57

Sketsa letak penempelan primer BIDLF dan BIDLR untuk
mengamplifikasi fragmen daerah D-loop sapi Aceh, Bali, Madura,
PO dan Pesisir................................................................................

58

Hasil amplifikasi daerah D-loop dengan menggunakan pasangan
primer BIDLF dan BIDLR setelah dimigrasikan dalam gel agarose
1,2% pada tegangan 90 volt selama 45 menit.................................

58

Sketsa daerah D-loop parsial hasil perunutan DNA (berukuran
479 bp) yang dipakai untuk analisis keragaman genetik pada
sapi Aceh........................................................................................

59

Hasil sekuensing daerah D-loop parsial DNA mitokondria sapi Aceh
yang dianalisis ................................................................................

60

Frekuensi nukleotida daerah D-loop parsial berukuran 479 nt pada
sapi Aceh, Bali, Madura, PO, Pesisir dan Bos indicus (Nellore) dari
GenBank ........................................................................................

61

5
6

11

12

13

14
15

xvii

16

17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32

Dendogram Neighbor-Joining Neighbor-Joining berdasarkan
metode 2 parameter Kimura dari nukleotida daerah D-loop parsial
(berukuran 479 nt) sapi Aceh, Bali, Madura, PO, Pesisir dan
bangsa-bangsa sapi dari GenBank dengan pengolahan bootstrap
1000 ulangan ..................................................................................

66

Tampilan DNA total sapi penelitian setelah dimigrasikan dalam gel
agarose 1,2% pada tegangan 90 volt selama 30 menit ..................

70

Perbandingan jumlah genotipe yang hanya terdapat pada sapi
Aceh, outgroup dan genotipe bersama...........................................

77

Distribusi frekuensi alel lokus BM1818 pada sapi Aceh, Bali,
Madura, PO dan Pesisir..................................................................

78

Distribusi frekuensi alel lokus INRA005 pada sapi Aceh, Bali,
Madura, PO dan Pesisir..................................................................

79

Distribusi frekuensi alel lokus CSRM60 pada sapi Aceh, Bali,
Madura, PO dan Pesisir..................................................................

80

Distribusi frekuensi alel lokus BM2113 pada sapi Aceh, Bali,
Madura, PO dan Pesisir..................................................................

81

Distribusi frekuensi alel lokus HEL5 pada sapi Aceh, Bali, Madura,
PO dan Pesisir................................................................................

81

Distribusi frekuensi alel lokus HEL9 pada sapi Aceh, Bali, Madura,
PO dan Pesisir................................................................................

82

Distribusi frekuensi alel lokus HEL13 pada sapi Aceh, Bali,
Madura, PO dan Pesisir..................................................................

83

Distribusi frekuensi alel lokus INRA63 pada sapi Aceh, Bali,
Madura, PO dan Pesisir..................................................................

84

Distribusi frekuensi alel lokus INRA35 pada sapi Aceh, Bali,
Madura, PO dan Pesisir..................................................................

85

Distribusi frekuensi alel lokus HEL1 pada sapi Aceh, Bali, Madura,
PO dan Pesisir................................................................................

87

Distribusi frekuensi alel lokus ETH225 pada sapi Aceh, Bali,
Madura, PO dan Pesisir..................................................................

88

Distribusi frekuensi alel lokus ETH10 pada sapi Aceh, Bali,
Madura, PO dan Pesisir..................................................................

89

Distribusi frekuensi alel lokus CSSM66 pada sapi Aceh, Bali,
Madura, PO dan Pesisir..................................................................

89

Distribusi frekuensi alel lokus BM1824 pada sapi Aceh, Bali,
Madura, PO dan Pesisir..................................................................

90

xviii

33

Distribusi frekuensi alel lokus ILSTS006 pada sapi Aceh, Bali,
Madura, PO dan Pesisir..................................................................

91

Distribusi frekuensi alel lokus ILSTS005 pada sapi Aceh, Bali,
Madura, PO dan Pesisir..................................................................

92

Kontruksi pohon filogeni berdasarkan metode Neighbor-Joining
dari data jarak genetik Nei pada sapi Aceh, Bali, Madura, PO dan
Pesisir.............................................................................................

97

36

Spesies liar dan domestikasi antarsubfamili Bovinae......................

100

37

Dendogram Neighbor-Joining berdasarkan metode 2 parameter
Kimura dari nukleotida gen cytochrome-b parsial (berukuran 420 nt)
Sapi dari GenBank dengan pengolahan bootstrap 1000 ulangan...

106

Kontruksi pohon filogeni berdasarkan metode Neighbor-Joining
dari data jarak genetik Nei pada sapi Aceh, Bali, Madura, PO dan
Pesisir.............................................................................................

107

34
35

38

xix

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1

Lokasi pengambilan sampel sapi Aceh di Nanggroe Aceh
Darussalam untuk analisis fenotipik ................................................

124

Lokasi pengambilan sampel darah sapi Aceh, Bali, Madura, PO
dan Pesisir untuk analisis daerah D-loop DNA mitokondria.............

125

Lokasi pengambilan sampel darah dan nomor sapi di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam untuk analisis DNA mikrosatelit .........

126

Lokasi pengambilan sampel darah sapi pembanding untuk analisis
DNA mikrosatelit.............................................................................

128

Komposisi bahan pereaksi yang digunakan untuk isolasi DNA dari
sampel darah ..................................................................................

129

Konsentrasi sampel DNA total hasil pemeriksaan dengan mesin
NanoDrop Spectrophotometer ........................................................

130

Lokasi penempelan primer BIDL-F dan BIDL-R pada sekuen basa
nukleotida daerah D-loop sapi Bos indicus......................................

132

Pensejajaran berganda nukleotida dari daerah D-loop parsial sapi
Aceh, Bali, Madura, PO, Pesisir dan bangsa ternak dari GenBank .

133

Situs-situs delesi dan insersi basa-basa nukleotida daerah D-loop
parsial sapi Aceh, Bali, Madura, PO dan Pesisir .............................

140

Jumlah Nukleotida sapi Aceh, Bali, Madura, PO, dan Pesisir
setelah disejajarkan dengan nukleotida Bos indicus (GenBank) .....

147

11

Komposisi Nukleotida sapi Aceh dan sapi pembanding ..................

148

12

Jarak Genetik sapi Aceh dengan sapi Bali, Madura, PO, Pesisir
dan bangsa-bangsa sapi Bos indicus, Bos taurus dari GenBank ....

149

13

Hasil blast sekuen sapi Aceh (476 nt) pada situs NCBI...................

150

14

Nomor akses sekuen daerah D-loop utuh Bos indicus, Bos taurus
dan Bubalus bubalis dari GenBank pada situs NCBI yang
digunakan untuk membentuk pohon filogeni ...................................

157

Sekuens nukleotida primer mikrosatelit yang digunakan untuk
penelitian ........................................................................................

152

Runutan indeks Garza-Williamson hasil uji heterozigositas hitung
(observed) dan heterozigositas harapan (expected) pada sapi
Aceh, Bali, Madura, PO dan Pesisir ................................................

153

2
3
4
5
6
7
8
9
10

15
16

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sapi asli Indonesia secara genetik dan fenotipik umumnya merupakan: (1)
turunan dari Banteng (Bos javanicus) yang telah didomestikasi dan dapat pula (2)
berasal dari hasil silangan sapi asli Indonesia dengan sapi eksotik yang
kemudian mengalami domestikasi serta adaptasi lokal. Kelompok sapi yang
termasuk dalam kategori pertama adalah sapi Bali karena sapi Bali diketahui
merupakan hasil domestikasi langsung dari Banteng (MacHugh 1996; Martojo
2003; Hardjosubroto 2004) dan mempunyai ciri-ciri fisik yang hanya mengalami
perubahan

kecil

dibandingkan

dengan

moyangnya

(Handiwirawan

dan

Subandriyo 2004). Kelompok sapi yang kedua adalah sapi Madura karena
menurut Payne dan Rollinson (1976); Nijman et al. (2003); Verkaar et al. (2003)
merupakan hasil silangan Banteng atau sapi Bali dengan sapi zebu yang telah
berlangsung kurang lebih 1.500 tahun yang lalu, walaupun hal tersebut tidak
terdokumentasi dengan baik secara prinsip pemuliaan (tanpa recording yang
jelas). Kedua pengelompokan itu secara genetik telah terbukti dengan
menggunakan marker genetik DNA mitokondria (D-loop dan cytochrome-b) dan
DNA inti (Mikrosatelit dan AFLP) (Nijman et al. 2003). Kemungkinan yang ketiga
adalah sapi eksotik yang telah menetap di Indonesia dalam kurun waktu lama
(impor dan perdagangan) dan dapat berkembang biak dengan baik (mampu
beradaptasi

pada

lingkungan

setempat),

selanjutnya

sapi-sapi

tersebut

mengalami persilangan. Salah satu yang termasuk dalam kelompok ini adalah
sapi Ongole India yang masuk ke Pulau Sumba pada tahun 1905 yang kemudian
menjadi sapi Sumba Ongole (SO). Pada tahun 1915 sampai 1929 sapi Sumba
Ongole (SO) mulai disebarkan ke Pulau Jawa melalui program “Ongolisasi”
dengan sebutan “kontrak Sumba” (Hardjosubroto 2004). Dampak dari program
ini adalah terbentuknya sapi Peranakan Ongole (PO) dan hasil silangan lainnya,
bahkan program ini telah mempunyai kontribusi yang jelas terhadap hilangnya
sapi Jawa. Menurut Merkens (1926) di Jawa terdapat sapi Jawa dengan
karakteristik tertentu yang merupakan campuran berbagai bangsa sapi.
Sapi Aceh pada mulanya diduga dimasukkan oleh pedagang India pada
masa kerajaan Islam pertama di Peureulak yang terbentuk tahun 847 M (225 H),
karena pada masa itu sudah terjalin hubungan kerja sama antarnegara dan
perdagangan bebas di Aceh terutama lada yang ingin dikuasai seluruhnya oleh

2

pedagang-pedagang dari Mesir, Parsi, dan Gujarat (catatan sejarah Aceh,
catatan Marcopolo 1256 dan Ibnu Bathutah 1345; Mulyana 1968; Putra 2001).
Hal ini telah dijelaskan pula oleh Merkens (1926) bahwa, perdagangan yang
ramai sudah lama terjalin antara Aceh dengan Malaka. Pedagang Arab, Cina
serta India yang datang ke Aceh, mereka membawa barang-barang dagangan
dan khususnya imigran India ini sudah dikenal membawa sapi-sapi dari India ke
Aceh.

Pada abad ke-19 telah menjadi kebiasaan mengimpor ternak melalui

Selat Malaka, khususnya ke Pidie dan Aceh Timur Laut (Peureulak).
Kemungkinan sapi-sapi di Aceh mengalami persilangan dengan Banteng
yang ada di Sumatera seperti dikemukakan Merkens (1926) dari hasil kumpulan
catatan, foto dan laporan singkatnya, namun belum pernah diverifikasi dan
diungkapkan melalui analisis genom. Beberapa sapi tersebut berkembang dan
menyebar ke pesisir barat Aceh hingga ke wilayah pantai Sumatera Barat.
Keadaan wilayah pesisir barat tersebut memiliki keadaan pakan terbatas dan
kualitas nutrisi rendah sehingga telah turut menyeleksi ragam sapi yang hidup di
daerah ini yaitu kebanyakan sapi berukuran kecil (±150 kg) yang dapat bertahan
hidup dengan baik (ILRI 1995). Disamping itu di daerah pesisir barat ini jauh dari
hewan buas pemangsa. Di daerah Aceh yang lain seperti Banda Aceh, Aceh
Besar, Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur terdapat sapi-sapi yang beragam
ukurannya. Menurut Gunawan (1998), ada sapi Aceh di Aceh Besar dan Aceh
Utara yang hanya mempunyai bobot hidup dewasa 150 kg, namun ada pula sapi
Aceh yang ada di daerah ini mencapai bobot hidup dewasa 400 kg atau lebih.
Sapi ini mempunyai daya tahan terhadap lingkungan yang buruk dan sistem
pemeliharaan ekstensif tradisional. Laporan Merkens (1926), menyebutkan
bahwa kepala sapi Aceh berwarna antara cokelat merah sampai cokelat abuabu, bahkan di Aceh Utara dan Aceh Timur ditemukan sapi yang warna
kepalanya lebih gelap sampai hitam. Ciri tersebut merupakan salah satu karakter
dari sapi India. Namikawa et al. (1982a) menambahkan bahwa, sapi Sumatera
(Aceh dan Pesisir) memiliki macam-macam warna yaitu hitam, cokelat
kehitaman, cokelat kuning, dan abu-abu putih yang didominasi oleh warna
cokelat kuning. Dibandingkan dengan warna sapi Bali (Banteng), menurut Payne
dan Rollinson (1973); NRC (1983), sapi Bali terdapat warna putih pada bagian
belakang paha (pantat), bagian bawah (perut), keempat kaki bawah (white
stocking) sampai di atas kuku, bagian dalam telinga, dan pada pinggiran bibir
atas. Pada saat umur anak atau muda, warna sapi Bali betina yaitu cokelat muda

3

dengan garis hitam tipis terdapat di sepanjang tengah punggung dan jantan
berwarna cokelat. Pada saat umur 12-18 bulan, warna sapi Bali jantan berubah
menjadi agak gelap sampai mendekati hitam pada saat dewasa. Tipe warna sapi
Bali (Banteng) yang demikian diduga juga ada kemiripan dengan pola warna
yang dimiliki sapi Aceh, namun hal ini belum pernah dilaporkan.
Sapi asli Indonesia telah mengalami seleksi alam dengan berbagai tekanan
iklim tropis basah dan ketersediaan pakan yang sesuai daerah di mana sapi-sapi
tersebut hidup. Dengan demikian dalam jangka waktu yang cukup lama telah
terjadi interaksi genetik dan lingkungan sehingga menghasilkan sapi-sapi Aceh
yang

telah

teradaptasi terhadap

wilayah tersebut,

dengan

penampilan

fenotipiknya beragam. Ketahanan ternak lokal terhadap lingkungan yang ekstrim
telah diuji melalui hewan percobaan mencit (Mus musculus) oleh Abdullah et al.
(2005) bahwa, mencit liar yang telah teradaptasi lingkungan dengan segala
perubahan yang ada mempunyai gen pengatur daya produksi dan reproduksi
yang lebih unggul terhadap stres lingkungan dibanding mencit laboratorium.
Pengujian tersebut mendukung pendapat Noor (2008) bahwa, ternak-ternak asli
telah terbukti dapat beradaptasi dengan lingkungan lokal termasuk makanan,
ketersediaan air, iklim dan penyakit. Dengan demikian, ternak-ternak inilah yang
paling cocok untuk dipelihara dan dikembangkan di Indonesia, walaupun
produksinya lebih rendah dari ternak impor, tetapi pengelolaannya lebih efisien.
Eksploitasi sapi Aceh melalui persilangan yang semakin luas dan tidak
terkontrol dengan bangsa sapi eksotik akan memberikan dampak yang kurang
baik terhadap sapi-sapi Aceh yang telah teradaptasi pada lingkungan setempat.
Kekhawatiran ini telah terjadi pada sapi asli di Lithuania (Eropa Timur) yang
terancam punah (Malevičiūtė et al. 2002) akibat persilangan yang disengaja
tetapi tidak terstruktur. Bahkan beberapa sapi asli di negara India telah punah
sebelum sapi ini diidentifikasi dan dimanfaatkan akibat persilangan yang meluas
dan tidak terkontrol (Sodhi et al. 2006). Hal demikian ini juga ditegaskan oleh
FAO (2000) bahwa, sumber daya genetik ternak asli akan cenderung punah
akibat permintaan pasar yang baru (eksploitasi besar-besaran), persilangan yang
tidak terkendali, pergantian breed (penggantian bangsa sapi yang sudah ada
dengan bangsa sapi baru) dan kegiatan mekanisasi pertanian (penggantian
penggunaan tenaga sapi dengan tenaga mesin untuk mengolah lahan
pertanian).

4

Sehubungan dengan hal tersebut di negara berkembang, banyak peneliti
sedang melakukan karakterisasi ternak asli/lokal secara fenotipik dan juga pada
tingkat molekuler untuk digunakan dalam dokumentasi plasma nutfah yang ada
serta prospek pemanfaatannya di masa yang akan datang (Sodhi et al. 2006).
Karakter fenotipe ternak dapat menunjukkan ciri khas bangsa ternak tertentu.
Ternak sapi merupakan hewan peliharaan sangat penting di Aceh secara
turun-temurun sampai sekarang. Ancaman kepunahan sapi Aceh akibat
persilangan yang tidak terkendali akan berdampak sangat luas bagi kehidupan
sosial ekonomi masyarakat Aceh. Kehilangan sapi Aceh yang telah eksis selama
ratusan tahun akan mengurangi pemenuhan kebutuhan protein hewani dan
penyediaan daging meugang (hari adat pemotongan dan makan daging
bersama) serta hewan kurban dalam perayaan keagamaan di Aceh, sehingga
Aceh akan bergantung pada distribusi daging dari daerah lain atau impor.
Disamping itu, hal ini akan mematikan perekonomian peternak yang merangkap
petani dan merupakan bagian terbesar dari mata pencaharian penduduk Aceh.
Lemahnya perekonomian peternak di Aceh akan menimbulkan gejolak sosial dan
akan berakibat pada naiknya tingkat kemiskinan. Selain itu, FAO sebagai badan
dunia sudah menganjurkan bahwa sedapat mungkin sumber daya genetik ternak
lokal harus dipertahankan.
Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian pada sapi Aceh mencakup
inventarisasi sumber daya genetiknya melalui analisis fenotipik, DNA mitokondria
pada daerah D-loop dan DNA mikrosatelit. Metode ini dapat digunakan karena
tingkat akurasi sangat tinggi dalam menggambarkan keragaman genetik
sehingga hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar pengambilan
kebijakan guna menerapkan keputusan yang lebih tepat dan terarah dalam
program

pelestarian

plasma

nutfah

sapi

Aceh,

pengembangan

dan

pemanfaatannya secara berkelanjutan.
Berdasarkan laporan terdahulu, penentuan daerah D-loop mtDNA pada
sapi dapat menunjukkan sejarah sapi (Nijman et al. 2003; Edwards et al. 2007)
dan hibridisasi yang terjadi pada Banteng dan sapi Madura (Nijman et al. 2003).
DNA mitokondria terutama daerah D-loop, sangat baik digunakan untuk analisis
keragaman hewan, baik intraspesies maupun antarspesies (Muladno 2006).
DNA mitokondria sudah terbukti suatu alat yang tangguh dalam analisis variasi
dalam dan antarspesies, struktur populasi dan filogeni (Patricia et al. 2002).
Sedangkan pada genom inti, sekarang ini, di antara beberapa penanda

5

molekuler yang digunakan untuk mengkarakterisasi genetik, mikrosatelit
merupakan penanda yang paling disukai. Hal ini karena penanda tersebut
bersifat polimorfik dan sangat informatif, kelimpahannya di dalam genom inti
relatif besar, dan dapat diamplifikasi melalui PCR. Penanda ini telah digunakan
untuk menjelaskan pola migrasi dan domestikasi pada sapi eropa (Loftus et al.
1994; Bruford et al. 2003) dan untuk karakterisasi populasi-populasi ternak sapi
dari turunan Bos indicus dan Bos taurus (Moore et al. 1992; Beja-Pereira et al.
2003). Machado et al. (2003) menggunakan lokus-lokus mikrosatelit untuk
mengevaluasi keanekaragaman genetik dalam masing-masing bangsa sapi dan
perbedaan genetik di antara setiap bangsa. Penanda genetik mikrosatelit dapat
memberikan informasi-informasi penting sehingga dapat dibuat keputusan
mengenai konservasi pada ternak sapi (Sunnucks 2000; Sodhi et al. 2006).
Tujuan Penelitian
1. Menginventarisasi sifat-sifat fenotipe kualitatif (warna dan pola warna, bentuk
tanduk, garis muka dan punggung) dan kuantitatif (ukuran-ukuran tubuh dan
bobot badan) sapi Aceh sebagai ciri-ciri sapi lokal.
2. Mengkaji keragaman genetik daerah D-loop DNA mitokondria pada sapi Aceh
untuk mengetahui asal-usulnya.
3. Mengkaji keragaman DNA mikrosatelit populasi sapi Aceh dan asal-usulnya.
Manfaat Penelitian
1. Dapat memberi informasi keragaman fenotipik dan genetik sapi Aceh dalam
pengelompokan sapi lokal di Indonesia.
2. Karakteristik sumber daya genetik sapi Aceh sebagai pedoman dalam
menerapkan

kebijakan

dalam

program

pelestarian

plasma

nutfah,

pengembangan dan pemanfaatannya secara berkelanjutan.
Hipotesis
1. Penanda genetik daerah D-loop DNA mitokondria dapat mengelompokkan
sapi Aceh terhadap sapi lokal Indonesia dan sapi luar Indonesia.
2. Alel-alel mikrosatelit sapi Aceh bersifat polimorfik.
3. Asal-usul sapi Aceh adalah dari sapi-sapi india (Bos indicus) yang mengalami
hibridisasi dengan Banteng (Bos javanicus).

6

TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Nanggroe Aceh Darussalam
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terletak di bagian paling barat dari
gugusan kepulauan Nusantara. Ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
adalah Banda Aceh, mempunyai luas daratan 2,75% terhadap luas daratan
Indonesia yaitu 5.193.700 ha dengan 17 kabupaten, 227 kecamatan dan 5.947
desa (Departemen Kehutanan 2004).
Secara geografis Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terletak di antara
o

2-6 LU dan 95-98 oBT, termasuk 119 pulau.

Rataan tinggi daratan 125 m di

atas permukaan laut (Sujitno dan Achmad 1995). Suhu udara maksimum 32,4oC
pada bulan Nopember dan minimum 24,2 oC pada bulan Juni, curah hujan
maksimum 243,4 mm pada bulan Januari dan curah hujan minimum 22,2 mm
pada bulan Juni (Departemen Kehutanan 2004). Udara di Aceh mempunyai
kelembaban tinggi terutama di wilayah pesisir barat sangat lembab dan basah,
sedangkan di wilayah timur Aceh mempunyai udara kering. Batas di sebelah
barat adalah Samudera Indonesia, dan di sebelah utara dan timur adalah Selat
Malaka, sedangkan di sebelah utara mengikuti sungai Simpang Kiri di sebelah
timur dan sungai Tamiang di sebelah barat bagian sel