Kekuatan Alat Bukti Keterangan Saksi Yang Mempunyai Hubungan Darah Dengan Terdakwa Dalam Tindak Pidana Pencurian Dalam Keluarga

(1)

KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN DARAH DENGAN TERDAKWA DALAM

TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM KELUARGA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

FITRI WULANDARI HTB 070200058

HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN DARAH DENGAN TERDAKWA DALAM TINDAK PIDANA

PENCURIAN DALAM KELUARGA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

FITRI WULANDARI HTB 070200058

HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(Dr. M. HAMDAN, SH. MH) NIP: 195703261986011001

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

(Prof. Dr. Syafruddin Kalo,SH,M.Hum) (Edi Yunara, SH, M. Hum) NIP: 195102061980021001 NIP: 196012221986031003


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas segala taufik dan rahmatnya berupa kesehatan, kekuatan, dan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Kekuatan alat bukti keterangan saksi yang mempunyai hubungan darah dengan terdakwa dalam tindak pidana Pencurian dalam keluarga”.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan dalam berbagai hal terutama dalam hal penyajian, tata bahasa, maupun materi muatannya. Oleh karena itu penulis mengharapkan segala bentuk kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak demi terciptanya perbaikan di hari mendatang.

Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu Penulis dalam kesempatan ini sangat berterima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting,SH. M.Hum, selaku Pmbantu Dekan !;

3. Bapak Syafruddin Hasibuan,SH.MH,DFM, selaku Pembantu Dekan II;

4. Bapak M.Husni,SH.M,Hum, selaku Pembantu Dekan III;

5. Bapak Dr.M.Hamdan,SH,M,Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana;


(4)

6. Ibu Liza Erwina,SH.M.Hum, selaku Sekretaris Jurusan Departemen Hukum Pidana;

7. Bapak Prof.Dr.Syafruddin Kalo,SH.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing 1;

8. Bapak Edi Yunara,SH.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II;

9. Ibu Puspa Melati Hasibuan,SH.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis;

10.Bapak M.Hayat,SH.M.Hum, terima kasih telah memberi ilmunya khususnya masa-masa klinis dan telah memberi kelulusan Ujian Moneter kepada Penulis;

11.Seluruh Dosen dan Staf Pengajar pada Fakultas Hukum USU Medan yang telah membimbing Penulis dalam masa perkuliahan.

12.khususnya kepada kedua orang tua Penulis Bapak Yusuf Hutabarat dan Ibu Asli, yang telah membesarkan Penulis dengan penuh kasih sayang dan cinta serta selalu memberi motivasi kepada Penulis terutama selama penulisan skripsi ini;

13.Kepada saudara-saudara Penulis yaitu Fauzi Rahman Hutabarat,SAP, Fahraini Hutabarat Am.Keb, dan Fandi Ahmad Hutabarat, Terima kasih motivasinya.

14.Kepada Kak Ai, Tante Masri, uwak Ninik yang selalu memberi motivasi dan selalu menanyakan perkembangan skripsi ini;


(5)

15.Kepada Sahabat-sahabat Penulis Riska Br Sinaga, Widya L Silaban, Ima Futri Barus, Masnur Sidauruk, Yudika DM Hutabarat, dan Arisanta Siambaton, terima kasih motivasi dan masukannya. Kalian yang terbaik;

16.Kepada keluarga baru Penulis, terutama Ibu Ningsih (selaku ibu kost), Indra Fitri, Kak Veri, Kak Sofia Rahmih dan seluruh penghuni kost Senina 23 makasih;

17.Serta Kepada seluruh keluarga Penulis.

Akhir kata Penulis berharap skripsi ini dapat berguna bagi kita semua dan pihak-pihak yang membutuhkan. Terima kasih.

Medan, Mei 2011


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

ABSTRAK

BAB I: PENDAHULUAN ………... 1

A. Latar Belakang ………... 5

B. Permasalahan ……… 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ………... 5

D. Keaslian Penulisan ……… 7

E. Tinjauan Kepustakaan ………... 7

1. Pengertian Alat bukti ……….. 7

2. Pengertian Saksi ………. 10

3. Pengertian Keterangan saksi ……….. 12

4. Pengertian Terdakwa ……….. 14

5. Pengertian Tindak Pidana ………... 19

6. Pengertian Hubungan Darah……… 21

7. Pengertian Pencurian ……….. 22

8. Pengertian Pencurian dalam Keluarga ………... 24

F. Metode Penelitian ………... 25

G. Sistematika Penelitian ………. 26

BAB II: PENGATURAN DAN PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM KELUARGA ……… 29

A.Pencurian Dalam Keluarga merupakan Delik Aduan ………… 29


(7)

2. Jangka waktu mengajukan Delik Aduan ……….. 39

3. Pencabutan pengaduan ………. 41

B. Penerapan dan kecenderungan sistem pembuktian menurut KUHAP ……….. 44

BAB III: KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI YANG MEMILIKI HUBUNGAN DARAH DENGAN TERDAKWA DALAM PERKARA PIDANA ………. 49

A. Jenis – jenis saksi ………. 49

B. Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi ……….. 53

C. Syarat sahnya keterangan saksi yang mempunyai hubungan darah dengan terdakwa ……….. 62

BAB IV: HAMBATAN – HAMBATAN DALAM PROSES PEMERIKSAAN ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM KELUARGA ……… 74

A Hambatan – hambatan dalam proses pemeriksaan alat bukti keterangan saksi dalam tindak pidana pencurian dalam keluarga di tingkat penyidikan ……….. 74

B Hambatan – hambatan dalam proses pemeriksaanalat bukti keterangan saksi dalam tindak pidana pencurian dalam keluarga di depan sidang pengadilan ……… 78

BAB V: PENUTUP ……… 84

A Kesimpulan ……….. 84

B Saran ……… 85 DAFTAR PUSTAKA


(8)

ABSTRAK

Fitri Wulandari Hutabarat * Syafruddin Kalo **

Edi Yunara ***

Penelitian ini mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai pengaturan dan penerapan hukum pidana dalam tindak pidana pencurian dalam keluarga, kekuatan alat bukti keterangan saksi yang memiliki hubungan darah terhadap terdakwa dan hambatan-hambatan dalam proses pembuktian di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencurian dalam keluarga. Kekuatan pembuktian alat bukti keterangan saksi dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencurian dalam keluarga adalah merupakan alat bukti yang sah dan dapat merupakan alat bukti yang tidak sah. Apa saja yang menjadi hambatan dalam proses pemeriksaan tindak pidana pencurian dalam keluarga yang menggunakan saksi yang memiliki hubungan darah terhadap terdakwa.

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian empiris dengan data yang digunakan adalah data primer dan di dukung data sekunder dengan metode pengumpulan data menggunakan metode Library Research dan metode Field

Research.

Bahwa keterangan saksi yang memiliki hubungan darah terhadap terdakwa tindak pidana pencurian dalam keluarga apabila diberikan di bawah sumpah yang dilakukan atas kehendak mereka dan kehendaknya itu disetujui secara tegas oleh penuntut umum dan terdakwa, memiliki nilai sebagai alat bukti yang sah, namun apabila jaksa penuntut umum dan terdakwa tidak menyetujui mereka sebagai saksi dengan disumpah maka bagi saksi yang memiliki hubungan darah terhadap terdakwa tindak pidana pencurian dalam keluarga dapat memberikan keterangan tanpa sumpah, nilai keterangan tidak merupakan alat bukti yang sah dan nilai pembuktian yang melekat pada keterangan tersebut dapat dipakai sebagai petunjuk. Mengenai hambatan pada proses pemeriksaan alat bukti keterangan saksi yang dapat terjadi pada tindak pidana pencurian dalam keluarga adalah apabila tidak terpenuhinya batas minimum pembuktian yaitu minimal terdapat 2 alat bukti yang sah yang menunjukkan bahwa terdakwa memang bersalah adalah pada saat keterangan saksi diberikan tanpa sumpah, keterangan tersebut menjadi alat bukti petunjuk, dan apabila tidak ada alat bukti sah lainnya selain keterangan terdakwa, kemudian terdakwa menyatakan tidak bersalah, maka tidak terpenuhi batas minimum pembuktian sehingga terdakwa dapat dinyatakan tidak bersalah dan diputus bebas.

∗ Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan ** Dosen Pembimbing I


(9)

ABSTRAK

Fitri Wulandari Hutabarat * Syafruddin Kalo **

Edi Yunara ***

Penelitian ini mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai pengaturan dan penerapan hukum pidana dalam tindak pidana pencurian dalam keluarga, kekuatan alat bukti keterangan saksi yang memiliki hubungan darah terhadap terdakwa dan hambatan-hambatan dalam proses pembuktian di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencurian dalam keluarga. Kekuatan pembuktian alat bukti keterangan saksi dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencurian dalam keluarga adalah merupakan alat bukti yang sah dan dapat merupakan alat bukti yang tidak sah. Apa saja yang menjadi hambatan dalam proses pemeriksaan tindak pidana pencurian dalam keluarga yang menggunakan saksi yang memiliki hubungan darah terhadap terdakwa.

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian empiris dengan data yang digunakan adalah data primer dan di dukung data sekunder dengan metode pengumpulan data menggunakan metode Library Research dan metode Field

Research.

Bahwa keterangan saksi yang memiliki hubungan darah terhadap terdakwa tindak pidana pencurian dalam keluarga apabila diberikan di bawah sumpah yang dilakukan atas kehendak mereka dan kehendaknya itu disetujui secara tegas oleh penuntut umum dan terdakwa, memiliki nilai sebagai alat bukti yang sah, namun apabila jaksa penuntut umum dan terdakwa tidak menyetujui mereka sebagai saksi dengan disumpah maka bagi saksi yang memiliki hubungan darah terhadap terdakwa tindak pidana pencurian dalam keluarga dapat memberikan keterangan tanpa sumpah, nilai keterangan tidak merupakan alat bukti yang sah dan nilai pembuktian yang melekat pada keterangan tersebut dapat dipakai sebagai petunjuk. Mengenai hambatan pada proses pemeriksaan alat bukti keterangan saksi yang dapat terjadi pada tindak pidana pencurian dalam keluarga adalah apabila tidak terpenuhinya batas minimum pembuktian yaitu minimal terdapat 2 alat bukti yang sah yang menunjukkan bahwa terdakwa memang bersalah adalah pada saat keterangan saksi diberikan tanpa sumpah, keterangan tersebut menjadi alat bukti petunjuk, dan apabila tidak ada alat bukti sah lainnya selain keterangan terdakwa, kemudian terdakwa menyatakan tidak bersalah, maka tidak terpenuhi batas minimum pembuktian sehingga terdakwa dapat dinyatakan tidak bersalah dan diputus bebas.

∗ Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan ** Dosen Pembimbing I


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Untuk menentukan bersalah tidaknya seorang terdakwa haruslah melalui pemeriksaan di depan sidang pengadilan. Dalam hal pembuktian ini, hakim perlu memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan masyarakat berarti, bahwa seseorang yang telah melanggar ketentuan pidana (KUHP) atau undang-undang pidana lainnya, harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Sedangkan kepentingan terdakwa, berarti bahwa terdakwa harus diperlakukan secara adil sedemikian rupa sehingga tidak ada seorang yang tidak bersalah mendapat hukuman. Hukuman itu harus seimbang dengan kesalahannya.

Selain hal-hal tersebut di atas hakim dalam memberikan putusan harus juga memperhatikan alat-alat bukti yang diajukan di persidangan pada saat pembuktian. Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.

Dalam pasal 183 KUHAP dinyatakan bahwa ”hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sukurang-kurangnya 2 alat bukti sah yang memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah


(11)

melakukannnya”. Ketentuan demikian dibuat untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seseorang.

Sejalan dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP dimana alat-alat bukti yang sah adalah:

1. Keterangan saksi; 2. Keterangan ahli; 3. Surat;

4. Petunjuk;

5. Keterangan terdakwa.1

Dalam proses pengungkapan suatu kasus pidana mulai dari tahap penyelidikan sampai pembuktian di persidangan, keberadaan dan peran saksi sangatlah penting. Bahkan menjadi faktor penentu dan keberhasilan dalam pengungkapan kasus pidana dimaksud.

Hakim dalam memberikan putusannya haruslah mempunyai keyakinan dengan melihat dan menilai berdasarkan alat-alat bukti yang dimajukan kemuka sidang pengadilan. Kegiatan pembuktian sangat mendukung untuk memperoleh kebenaran dan keadilan materil menurut hukum. Dari pembuktian inilah hakim memperoleh keyakinan yang kuat tentang bersalah atau tidaknya seorang terdakwa yang dihadapkan di depan persidangan, sehingga dengan demikian hakim dapat memberi putusan (vonis) yang seadil-adilnya.

Untuk mencapai suatu pembuktian dalam persidangan, dengan memeriksa alat-alat bukti yang sah menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku,

1


(12)

haruslah dilalui suatu proses pemeriksaan awal di tingkat penyidikan (Kepolisian) dan penuntutan (Kejaksaan), termasuklah proses pemeriksaan keterangan saksi.

Menurut Pasal 1 butir 26 KUHAP, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan , penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Selanjutnya Pasal 1 butir 27 KUHAP mengatur sebagai berikut: “keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan pengetahuannya itu”. Dalam perkara pidana yang tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi di dalam Pasal 168 KUHAP yaitu:

a. Keluarga sedarah semenda dalam garis lurus ke atas atau kebawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa; b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara

ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dari anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;

c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

Akan tetapi pada pasal 168 KUHAP memberikan celah kepada saksi yang mempunyai hubungan darah dengan terdakwa untuk dimintai keterangannya. Hal tersebut dapat terjadi apabila adanya persetujuan Penuntut Umum atau terdakwa yang menghendaki keterangan dari saksi yang mempunyai hubungan keluarga tersebut.

Jika Pasal 168 KUHAP dikaitkan dengan tindak pidana pencurian dalam lingkup keluarga maka pada saat pembuktiannya akan mengalami banyak kesulitan khususnya untuk mendapatkan alat bukti keterangan saksi. Dlm tindak


(13)

pidana pencurian dalam keluarga yang paling mengetahui dan memahami apa yang sebenarnya terjadi adalah orang-orang dalam keluarga itu sendiri yang pada umumnya memilki hubungan darah dengan pelaku kejahatan tersebut. Karena dalam hukum acara pidana ada ketentuan bahwa keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu.

Melihat hal-hal tersebut akan menghambat kelancaran proses pemeriksaan perkara pidana maka hukum acara pidana memberikan celah untuk mereka yang memiliki hubungan darah agar dapat memberikan keterangan yang diketahuinya secara langsung. Hal demikian diatur dalam pasal 169 KUHAP ayat 1 ”dalam hal mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 menghendakinya dan penuntut umum serta terdakwa secara tegas menyetujuinya dapat memberi keterangan di bawah sumpah”. Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, mereka diperbolehkan memberikan keterangan tanpa sumpah (Pasal 169 ayat 2).

Berdasarkan Pasal 169 KUHAP mereka yang mempunyai hubungan darah dengan terdakwa dapat memberikan keterangan. Selain itu, dengan posisi pasal 169 KUHAP ini memberikan kemudahan dalam penyelesaian suatu perkara tindak pidana seperti tindak pidana pencurian dalam lingkup keluarga dan pasal ini juga mendukung azas beracara di pengadilan yakni azas beracara cepat, mudah dan biaya murah.

Jika dihubungkan dengan tindak pidana pencurian dalam lingkup keluarga, maka orang yang paling mengetahui dan memahami keadaan yang sebenarnya adalah pihak-pihak yang mempunyai hubungan keluarga dengan terdakwa maupun dengan korban. Oleh karena itu maka saksi yang memiliki hubungan


(14)

keluarga dengan terdakwa atau korban dibutuhkan untuk memberikan keterangan atas tindak pidana yang terjadi.

Mengingat dalam sidang pengadilan sering terjadi saksi yang mempunyai hubungan keluarga dengan pihak korban maupun terdakwa memberikan keterangan atas perkara yang sedang diperiksa, maka timbul keinginan penulis untuk mengetahui secara mendalam lagi bagaimana kekuatan alat bukti keterangan saksi yang memiliki hubungan darah dengan terdakwa dalam tindak pidana pencurian dalam keluarga.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul “KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI YANG MEMILIKI HUBUNGAN DARAH DENGAN TERDAKWA DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM KELUARGA”

B. Permasalahan

Dalam penulisan skripsi ini penulis mengangkat beberapa permasalahan, yaitu:

1. Bagaimana pengaturan dan penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana pencurian dalam keluarga.

2. Bagaimana nilai pembuktian keterangan saksi dalam Acara Pemeriksaan yang hubungan keluarga pada perkara pidana

3. Bagaimana kekuatan alat bukti keterangan saksi yang memiliki hubungan darah terhadap terdakwa serta hambatan-hambatan pada proses pemeriksaan alat bukti keterangan saksi dalam tindak pidana pencurian dalam keluarga.


(15)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui tentang sejauh mana pengaturan dan penerapan hukum pidana dalam tindak pidana pencurian dalam keluarga

b. Untuk mengetahui kekuatan alat bukti keterangan saksi yang memiliki

hubungan darah dengan terdakwa

c. Untuk mengetahui hambatan – hambatan apa saja yang ada dalam pada proses pemeriksaan alat bukti keterangan saksi dalam tindak pidana pencurian dalam keluarga baik di tingkat penyidikan maupun di sidang pengadilan.

Dari pembahasan skripsi ini, diharapkan memberikan manfaat baik secara teoritis dan praktis, yaitu:

a. Teoritis

Karya tulis ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai tambahan dokumentasi karya tulis dalam bidang hukum pidana pada umumnya, dan juga secara khusus untuk membahas kekuatan alat bukti keterangan saksi yang mempunyai hubungan darah dengan terdakwa. Karya tulis ini diharapkan juga dapat menjadi bahan acuan untuk mengadakan penelitian yang lebih mendalam.

b. Praktis

Karya tulis ini diharapkan juga dapat memberikan sumbangan pemikiran terutama dalam rangka menyempurnakan peraturan – peraturan di bidang


(16)

hukum pidana khususnya tentang kekuatan alat bukti. Bagi Penulis secara pribadi, hal ini merupakan salah satu bentuk latihan menyusun suatu karya ilmiah walaupun masih sangat sederhana. Penulisan ini juga diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan kepada praktisi, civitas akademik, masyarakat, dan pihak pemerintah Indonesia sendiri.

D. Keaslian Penulisan

“KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI YANG MEMILIKI HUBUNGAN DARAH DENGAN TERDAKWA DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM KELUARGA” yang diangkat menjadi judul skripsi ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Skripsi yang penulis tulis ini adalah merupakan hasil buah pikiran penulis sendiri ditambah literatur-literatur lain baik buku-buku milik penulis sendiri maupun buku-buku dari perpustakaan maupun sumber-sumber lain yang menunjang skripsi ini. Penulisan skripsi ini murni dikerjakan oleh penulis sendiri dengan topik yang penulis bahas dalam skripsi ini yang belum pernah dibahas oleh orang lain yang dapat dibuktikan berdasarkan data yang ada di sekretaris. Bila ternyata terdapat judul yang sama sebelum skripsi ini dibuat, penulis bertanggungjawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Alat Bukti

Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai


(17)

bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.2

pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.

Alat – alat bukti yang sah adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan

3

2. Menurut Andi Hamzah, alat bukti adalah upaya pembuktian melalui alat-alat yang diperkenankan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil atau dalam perkara pidana dakwaan di sidang pengadilan misalnya keterangan terdakwa, saksi, ahli, surat dan petunjuk, dalam perkara perdata termasuk persangkaan dan sumpah.

1. Menurut Waluyo, alat bukti adalah sesuatu hal (barang atau non barang) yang ditentukan oleh undang-undang yang dapat digunakan untuk memperkuat dakwaan.

4

3. Menurut Sabuan dkk, mendefinisikan alat bukti dengan lebih sederhana yaitu alat yang dipakai untuk dapat membantu hakim dalam menggambarkan kembali tentang kepastian pernah terjadinya tindak pidana.5

2

R. Atang, Ranoemihardja, Hukum Acara Pidana, (Bandung: Tarsito, 1980)., hal.57. 3

Darwan, Prints. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta: Djambatan, 1989)., hal. 107.

4

Andi, Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996)., hal.158.

5


(18)

4. Pengertian alat bukti tersebut kemudian oleh Hari Sasangka ditambahkan dengan adanya satu unsur lagi yaitu berkenaan dengan tujuan diajukannya alat bukti tersebut yaitu untuk memberi keyakinan kepada Hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa.

Didalam ilmu hukum acara perdata, untuk membuktikan suatu dalih tentang hak dan kewajiban di dalam sengketa pengadilan, macamnya telah ditentukan oleh UU yaitu:

1. alat bukti tertulis; 2. alat bukti saksi;

3. alat bukti persangkaaan; 4. alat bukti pengakuan; 5. alat bukti sumpah.

Dalam hukum acara perdata penyebutan alat bukti tertulis (surat) merupakan alat bukti yang utama, karena surat justru dibuat untuk membuktikan suatu keadaan, atau kejadian yang telah terjadi atau perbuatan hukum yang harus dilakukan oleh seseorang nantinya (Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg/Pasal 1866 BW).

Hal ini berbeda dengan penyebutan alat-alat bukti dalam hukum acara pidana yang urutan alat bukti itu sebagai berikut:

1. Keterangan saksi; 2. Keterangan ahli; 3. Surat;


(19)

4. Petunjuk;

5. Keterangan terdakwa.

Jadi keterangan saksi disini adalah alat bukti yang utama. Karena seseorang didalam melakukan kejahatan tentu akan berusaha menghilangkan jejaknya, sehingga dalam perkara pidana, pembuktian akan dititikberatkan pada keterangan saksi (Pasal 184 ayat 1 KUHAP).

Pentingnya kedudukan saksi telah dimulai pada saat proses awal pemeriksaan, begitu pula dalam proses selanjutnya di Kejaksaan maupun Pengadilan, keterangan saksi menjadi acuan Hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa. Jadi jelas bahwa saksi mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. 6

a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu;

Perluasan pengertian alat bukti yang sah dalan KUHAP sesuai dengan perkembangan teknologi telah diatur dalam pasal 26 A UU No. 31 Tahun 1999 yaitu: Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 188 ayat (2) UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP, khususnya untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:

b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dilihat, dibaca, dan atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara,

6


(20)

gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang memiliki makna.7

Semua alat bukti tersebut tentunya untuk dipergunakan membuktikan peristiwa yang dikemukakan di muka persidangan.

2. Pengertian Saksi

Saksi memiliki pengertian orang yang melihat atau mengetahui , seperti: 1. Orang yang diminta hadir pada suatu peristiwa untuk mengetahuinya,

supaya bilamana perlu dapat memberi keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa tadi sungguh-sungguh terjadi;

2. Orang yang mengetahui sendiri suatu kejadian, hal;

3. Orang yang memberi keterangan di muka hakim untuk kepentingan pendakwa atau terdakwa.8

Menurut Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam Pasal 1 butir 26 pengertian saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.9

Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban, saksi adalah orang yang dapat memberi keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di siding pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan/atau ia alami sendiri.10

7

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 8

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Balai Pustaka, 2006)., hal.1011.

9

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

10


(21)

Perbedaannya dengan rumusan KUHAP adalah bahwa rumusan saksi dalam Undang-undang ini mulai dari tahap penyelidikan sudah dianggap sebagai saksi, sedangkan KUHAP mulai tahap penyidikan.

Adapun Hak-hak saksi dalam KUHAP, yaitu:

1.

Hak untuk diperiksa tanpa hadirrnya terdakwa pada saat saksi

diperiksa (Pasal 173 KUHAP);

2.

Hak untuk mendapatkan penterjemah atas saksi yang tidak paham bahasa indonesia (Pasal 177 ayat 1 KUHAP);

3.

Hak saksi yang bisu atau tuli dan tidak bisa menulis untuk mendapatkan penerjemah (Pasal 178 ayat 1 KUHAP);

4.

Hak untuk mendapatkan pemberitahuan sebelumnya selambat-lambatnya 3 hari sebelum menghadiri sidang (Pasal 227 ayat 1 KUHAP);

5.

Hak untuk mendapatkan biaya pengganti atas kehadiran di sidang pengadilan (Pasal 229 ayat 1 KUHAP).

3. Pengertian Keterangan Saksi Pasal 1 butir 27 KUHAP

“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”.

Dari ketentuan tersebut di atas, dapat ditarik unsur-unsur terpenting yaitu:

- Adanya peristiwa pidana; - Dengar sendiri;


(22)

- Alami sendiri;

- Dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

Jadi, agar seseorang dapat didengar keterangannya sebagai saksi haruslah memenuhi syarat yaitu dapat memberikan keterangan terhadap peristiwa pidana yang didengarnya sendiri, dilihat sendiri, dan dialaminya sendiri.Pengertian kata “sendiri” berarti setiap hal-hal yang secara langsung diketahui oleh saksi, akan tetapi baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja bukan merupakan keterangan saksi dan tidak mencakup keterangan yang diperoleh dari orang lain.

Menurut ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, memberi batasan pengertian keterangan saksi dalam kapasitasnya sebagai alat bukti dengan redaksional, bahwa: “keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”.

Bahwa saksi dalam memberikan keterangan hanya boleh mengenai keadaan yang didengar, dilihat atau dialami oleh saksi itu sendiri, dan tiap-tiap persaksian harus disertai penyebutan hal-hal yang menyebabkan seorang saksi mengetahui hal-hal sesuatu. Bahwa suatu pendapat atau suatu persangkaan yang disusun secara memikirkan dan menyimpulkan hal sesuatu tidak dianggap sebagai keterangan saksi.11

Keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau Testimonium de auditu, maksudnya agar hakim lebih cermat dan

11

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Bandung; Sumur ,1983)., hal. 118.


(23)

memperhatikan keterangan yang diberikan saksi harus benar-benar diberikan secara bebas, jujur, dan objektif.12

Azas dalam pemeriksaan saksi adalah unus testis nullus testis artinya satu saksi bukan merupakan saksi yang diatur dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP tetapi azas tersebut dapat dikesampingkan dengan Pasal 185 ayat (3) KUHAP bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan satu alat bukti lain yang sah. Berdasarkan tafsir acontrario keterangan seorang saksi cukup untuk membuktikan kesalahan apabila disertai alat bukti lain.13

Suatu hal yang sangat perlu dikemukakan dalam pembicaraan saksi adalah yang berhubungan dengan keterangan saksi itu sendiri yaitu seberapa jauh luas dan mutu saksi yang harus diperoleh atau digali oleh penyidik dalam pemeriksaan. Kemudian seberapa banyak saksi yang diperlukan ditinjau dari daya guna kesaksian tersebut.14

Oleh karena itu, para penyidik harus benar-benar selektif untuk memilih untuk memeriksa saksi-saksi yang berbobot sesuai dengan patokan landasan hukum yang ditentukan, yang dianggap memenuhi syarat keterangan saksi yang yustisial.15

Terdakwa adalah seseorang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana dan ada cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan di muka sidang 4. Pengertian Terdakwa

7

H. R. Abdussalam, Prospek Hukum Pidana Indonesia Dalam Mewujudkan Rasa

Keadilan Masyarakat Jilid 2, (Jakarta; Restu Agung, 2006)., hal. 142.

13

Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, (Bandung; Mandar Maju, 2003)., hal. 42.

9

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan

dan Penuntutan, ( Jakarta; Sinar Grafika, 1993)., hal. 145.

15


(24)

pengadilan, sedangkan menurut Pasal 1 butir 15 KUHAP terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan.

Dari kedua rumusan di atas dapat disimpulkan, bahwa unsur-unsur dari terdakwa itu adalah:

a. Diduga sebagai pelaku suatu tindak pidana;

b. Cukup alasan untuk melakukan pemeriksaan atas dirinya di depan sidang pengadilan;

c. Atau orang yang sedang dituntut;

d. Sedang diadili di sidang pengadilan negeri.

Hak adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang tersangka atau terdakwa. Apabila hak tersebut dilanggar, maka hak azasi dari tersangka atau terdakwa telah dilanggar atau dihormati. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan dan/atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan keputusan mana telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti. Azas ini dikenal dengan azas “Presumption of Innovence” atau azas praduga tidak bersalah.

Bekal pertama menangani perkara pidana, adalah pemahaman tentang hak-hak tersangka atau terdakwa yang diatur di dalam KUHAP. Pelanggaran atas hak-hak ini merupakan pelanggaran terhadap Hak Azasi Manusia, dalam hal ini tersangka atau terdakwa. 16

1. Mendapat pemeriksaan dengan segera (Pasal 50 ayat 1) Adapun hak – hak terdakwa menurut KUHAP adalah:

16


(25)

Demi kepastian hokum, tersangka atau terdakwa berhak segera diperiksa oleh penyidik. Bahkan bagi tersangka yang dikenakan penahanan dalam waktu 1 (satu) kali 24 (dua puluh empat jam) jam sejak penahanan dilakukan wajib diperiksa oleh penyidik (Pasal 122 KUHAP). Akan tetapi KUHAP tidak mengatur sanksi atas pelanggaran terhadap hak ini.

2. Perkara segera dilanjutkan ke pengadilan (Pasal 50 ayat 2)

KUHAP tidak memberi batas dalam berapa hari suatu perkara harus sudah disampaikan ke Pengadilan.

3. Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan (Pasal 50 ayat 3)

Maksud pasal ini, untuk kepastian hukum agar suatu perkara tidak sampai berlarut-larut tidak diadili. Akan tetapi tidak diatur batas waktu yang limitatif, sehingga tidak jelas dalam batas berapa hari suatu perkara akan diadili. Akan tetapi dalam hal tersangka atau terdakwa dikenakan penahanan, maka dalam waktu 110 hari perkara harus dilimpahkan ke pengadilan.

4. Mempersiapkan pembelaan (Pasal 51 huruf a)

Apabila tersangka atu terdakwa mengetahui dan mengerti tentang sangkaan atas dirinya, maka ia dapat mengadakan pembelaan sesuai kebutuhannya.

5. Terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dengan bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya (Pasal 51 huruf b KUHAP).


(26)

6. Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberi keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim (Pasal 52 KUHAP);

7. Tersangka atau terdakwa berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa dalam hal si tersangka atau terdakwa bisu dan atau tuli sebagaimana (Pasal 53 KUHAP);

8. Guna kepentingan pembelaan tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan oleh undang-undang ini. Dalam hal untuk mendapatkan penasehat hukum tersebut tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasehat hukumnya (Pasal 54 dan 55 KUHAP);

9. Ditunjuk Penasihat hukumnya (Pasal 56)

Tersangka atau terdakwa yang didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati, penjara seumur hidup, pidana penjara selama 15 tahun atau lebih dan bagi tersangka atau terdakwa yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, yang tidak mampu mempunyai Penasihat hukum, maka pejabat yang bersangkutan (Penyidik/Penasihat Hukum/.Hakim) wajib menunjuk penasihat hukum baginya, secara sendiri atau dibiayai oleh Negara.

10.Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi penasehat hukumnya. Apabila tersangka atau terdakwa berkebangsaan asing yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan berbicara


(27)

dengan perwakilan negaranya dalam menghadapi proses perkaranya (Pasal 57 ayat 1 dan 2 KUHAP);

11.Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari dokter pribadinya, rohaniawan maupun dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun untuk usaha mendapatkan bantuan hukum (Pasal 58, 60 dan pasal 63 KUHAP);

12.Tersangka atau terdakwa berhak mengirim ataupun menerima surat dari penasehat hukumnya maupun dari sanak keluarganya (Pasal 62 KUHAP); 13.Terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk

umum (Pasal 64 KUHAP);

14.Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya (Pasal 65 KUHAP);

15.Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66 KUHAP);

16.Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat (Pasal 67 KUHAP);

17.Tersangka atau terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam pasal 95 dan selanjutnya (Pasal 68 KUHAP). Tersangka atau terdakwa berhak menuntut ganti rugi dan pemulihan nama


(28)

baik (rehabilitasi) karena ditangkap, ditahan, dituntut, diadili atau dikenakan tindakan lain tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan menangani orangnya atau hukum yang diterapkan. 18.Hak mendapatkan salinan berkas (Pasal 72 KUHAP);

19.Hak – hak yang timbul di dalam praktik peradilan.

Di dalam praktik peradilan tersangka atau terdakwa juga berhak untuk: a. Mengajukan pertanyaan kepada saksi-saksi yang didengar di depan

persidangan;

b. Memeriksa semua berkas-berkas perkara dan alat-alat bukti yang diajukan di dalam perkara;

c. Mengajukan keberatan atas keterangan saksi-saksi atau alat bukti; d. Mengajukan pembelaan secara terrulis ataupun lisan;

e. Meminta salinan putusan;

f. Menerima atau menolak putusan dengan melakukan upaya hukum; g. Berfikir atau mempelajari putusan sebelum menerima putusan

pengadilan;

h. Meminta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang dibenarkan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi dalam hal ia menerima putusan;

i. Hak memohon grasi.

Inilah hak-hak tersangka atau terdakwa yang diatur dalam KUHAP, sebagai upaya untuk melindungi Hak Azasi Manusia.


(29)

Peristiwa pidana yang juga disebut tindak pidana (delict) adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana. Suatu peristiwa hukum dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau memenuhi unsur-unsur pidananya.

Unsur – unsur itu terdiri dari:

1. Objektif, yaitu suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukum. Yang dijadikan titik utama dari pengertian objektif disini adalah tindakannya.

2. Subjektif, yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh undang-undang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku (seorang atau beberapa orang).

Istilah-istilah yang digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun yang ada dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit, yaitu:

1. Moeljatno, Strafbaar feit adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. 17

2. Pompe, membedakan pengertian strafbaar feit antara:

17

Adami, Chazawi. Hukum Pidana Bagian I: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori

Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2002) .,


(30)

a. strafbaar feit yaitu suatu pelanggaran terhadap norma, yang

dilakukan karena kesalahan si pelaku dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum (defenisi menurut teori);

b. strafbaar feit adalah suatu kejadian (feit) yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dihukum (defenisi menurut hukum positif).18

3. Wirdjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.19

4. J.E. Jonkers, memberikan defenisi strafbaar feit menjadi dua pengertian:

a. Strafbaar feit adalah suatu kejadian yang dapat diancam pidana

oleh undang-undang;

b. Strafbaar feit adalah suatu kelakuan yang melawan hukum

berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang

dapat dipertanggungjawabkan.20

5. Simons, mengatakan bahwa strafbaar feit adalah kelakuan yang diancam pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

18

Bambang, Poernomo. Azas-azas Hukum Pidana. (Jakarta: Ghalia Indonesia. 1994)., hal. 91.

19

Ibid, hal. 75.

20


(31)

6. Pengertian Hubungan Darah

Hubungan darah adalah akatan/keturunan dari hasil perkawinan yang sah antara ayah dan ibu yang sama.

Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan.

Dapat disimpulkan bahwa karakteristik keluarga adalah

1. Terdiri dari dua atau lebih individu yang diikat oleh hubungan darah, perkawinan atau adopsi;

2. Anggota keluarga biasanya hidup bersama atau jika terpisah mereka tetap memperhatikan satu sama lain;

3. Anggota keluarga berinteraksi satu sama lain dan masing-masing mempunyai peran sosial : suami, istri, anak, kakak dan adik;

4. Mempunyai tujuan untuk menciptakan dan mempertahankan budaya, 5. meningkatkan perkembangan fisik, psikologis, dan sosial anggota.

Keluarga sedarah dalam garis menyimpang ialah saudara laki-laki, saudara perempuan, saudara ibu atau saudara bapak, baik laki-laki maupun perempuan, anak laki-laki atau anak perempuan, dan sebagainya.21

21

R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta

Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor: Politea, 1994) hal. 88.

Banyaknya derajat kekeluargaan sedarah antar dua orang itu dihitung menurut banyaknya kelahiran


(32)

yang ada antara kedua orang itu. Dengan demikian maka bapak dan anak adalah keluarga sedarah satu derajat, kakek dan cucu adalah keluarga sedarah dua derajat. Saudara – saudara adalah keluarga sedarah garis menyimpang tiga derajat. Paman dan keponakan adalah keluarga sedarah garis menyimpang derajat ketiga.22

1. Perbuatan “mengambil”

7. Pengertian Pencurian

Pengertian pencurian secara umum adalah mengambil barang milik orang lain. Tindak pidana pencurian merupakan jenis tindak pidana yang terjadi hampir dalam setiap daerah di Indonesia. Pencurian ini perumusannya diatur dalam pasal 362 KUHP yang menyatakan :

“Barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum karena pencurian dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900,- (sembilan ratus rupiah)”

Unsur- unsurnya adalah sebagai berikut:

2. Yang diambil harus “sesuatu barang”

3. Barang itu harus “seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain”

4. Pengambilan itu harus dengan maksud untuk “memiliki” barang itu dengan “melawan hukum” (melawan hak).

a. Mengambil

Mengambil untuk dikuasainya, maksudnya waktu pencuri mengambil barang itu, barang tersebut ada dalam kekuasaannya, apabila waktu memiliki itu barangnya sudah ada ditangannya, maka perbuatan ini bukan pencurian melainkan penggelapan (Pasal 372). Pengambilan (pencurian) itu sudah dapat dikatakan

22


(33)

selesai, apabila barang tersebut sudah pindah tempat. Bila orang baru memegang saja barang itu, dan belum pindah tempat, maka orang itu belum dapat dikatakan mencuri, akan tetapi ia baru akan “mencoba” mencuri.

b. Sesuatu barang

Segala sesuatu yang berwujud termasuk pula binatang (manusia tidak masuk), misalnya uang, baju, kalung dan sebagainya. Dalam pengertian barang masuk pula “daya listrik” dan “gas” meskipun tidak berwujud akan tetapi dialirkan dikawat atau pipa. Barang ini tidak perlu mempunyai harga ekonomis.

c. Barang itu seluruhnya atau sebagian milik orang lain

Unsur ini mengandung suatu pengertian, bahwa benda yang diambil itu

haruslah barang/benda yang dimiliki baik seluruhnya atau sebahagian oleh oranglain. Jadi harus ada pemiliknya, sebab sebagaimana di atas disinggung, barang/bendayang tidak bertuan atau tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi objek pencurian. Dengan demikian dalam tindak pidana pencurian, tidak dipersyaratkan barang/benda yang diambil atau dicuri itu milik orang lain secara keseluruhan. Pencurian tetap ada, sekalipun barang tersebut hanya sebagian saja yang dimiliki oleh orang lain dan sebagian yang dimiliki oleh pelaku sendiri.

d. Pengambilan

Pengambilan harus dengan sengaja dan dengan maksud untuk memilikinya Orang “karena keliru” mengambil barang orang lain itu bukan pencurian. Seorang “menemui” barang dijalan kemudian diambilnya. Bila waktu mengambil itu sudah ada maksud “untuk memiliki” barang itu, masuk pencurian. Jika waktu mengambil itu pikiran terdakwa barang akan diserahkan kepada polisi, akan tetapi mungkin dirumah barang itu dimiliki untuk diri sendiri (tidak diserahkan pada


(34)

polisi) ia salah, “menggelapkan” (Pasal 372), karena waktu barang itu dimilikinya sudah berada ditangannya.23

a. Jika pembuat atau pembantu salah satu kejahatan yang diterangkan dalam bab ini adalah suami (isteri) orang yang kena kejahatan itu, yang tidak bercerai meja makan dan tempat tidur atau bercerai harta benda, maka pembuat atau pembantu itu tidak dapat dituntut hukuman;

8. Pencurian dalam keluarga Pasal 367 KUHP

b. Jika ia suaminya (isterinya) yang sudah diceraikan meja makan, tempat tidur, atau harta benda, atau sanak atau keluarga orang itu karena kawin, baik dalam keturunan yang lurus, maupun keturunan yang menyimpang dalam derajat yang kedua, maka bagi ia sendiri hanya dapat dilakukan penuntutan, kalau ada pengaduan dari orang yang dikenakan kejahatan itu; c. Jika menurut adat istiadat keturunan ibu, kekuasaan bapak dilakukan oleh

orang lain dari bapak kandung, maka ketentuan dalam ayat kedua berlaku juga bagi orang itu.

Pencurian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 367 KUHP ini merupakan Pencurian di kalangan keluarga. Artinya baik pelaku maupun korbannya masih dalam satu keluarga. Pencurian dalam Keluarga Pasal 367 KUHP akan terjadi, apabila seorang suami atau isteri melakukan (sendiri) atau membantu (orang lain) pencurian terhadap harta benda istri atau suaminya.

Pencurian dalam keluarga ini termasuk pencurian ringan. Pencurian ringan adalah pencurian yang memiliki unsur-unsur dari pencurian di dalam bentuknya yang pokok, yang karena ditambah dengan unsur-unsur lain (yang meringankan), ancaman pidananya jadi diperingan. 24

23

Ibid, hal 250.

24

Tongat, Hukum Pidana Materiil, (Malang; UMM Press, 2002)., hal. 41

Pencurian ringan di dalam KUHP diatur dalam ketentuan Pasal 364. Termasuk dalam pengertian pencurian ini adalah pencurian dalam keluarga.


(35)

Rasio dimasukkannya pencurian keluarga ke dalam pencurian ringan adalah karena jenis pencurian dalam keluarga ini merupakan delik aduan, dimana terhadap pelakunya hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan. Dengan demikian berbeda dengan jenis pencurian pada umumnya yang tidak membutuhkan adanya pengaduan untuk penuntutannya. 25

1. Jenis Penelitian

F. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah metode penelitian hukum yuridis normatif yaitu metode penelitian dengan menggunakan bahan-bahan yang bersumber dari peraturan-peraturan perundang-undangan, norma-norma hukum yang berkaitan dan berkenaan dengan judul skripsi ini, serta dengan menggunakan literatur-literatur, buku-buku, referensi, majalah, koran dan bahan-bahan yang bersumber dari internet yang saling terkait dan berkesinambungan satu sama lain dalam penulisan skripsi ini.

2. Jenis Data dan Sumber Data

Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder yang didukung oleh data primer.

Data sekunder diperoleh dengan jalan studi kepustakaan. Data sekunder yang dipakai meliputi:

- bahan hukum primer, yaitu semua dokumen dan peraturan yang mengikat

dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang berupa Kitab

Undang-25


(36)

Undang Hukum Acara Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan sebagainya.

- bahan hukum sekunder, yaitu buku-buku referensi, seminar hukum dan

beberapa sumber dari situs internet yang berkaitan dengan permasalahan skripsi ini.

Data primer yaitu data yang diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan dengan mengadakan wawancara dengan Jaksa dan Hakim.

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam skripsi ini dipergunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:

a. Penelitian Kepustakan (Library Research)

Yaitu dengan melakukan penelitian kepustakaan, yang berasal dari buku-buku maupun peraturan perundang-undangan yang terkait dengan judul skripsi ini.

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Yaitu dengan melakukan penelitian langsung ke lapangan. Dalam hal ini Penulis langsung mengadakan penelitian ke Kantor Kejaksaan Negeri Sibolga, dan Pengadilan Negeri Sibolga dengan teknik wawancara.

G. Sistematika Penelitian

Gambaran isi tulisan ini diuraikan secara sistematis dalam bentuk, tahapan-tahapan atau bab-bab yang masalahnya diuraikan secara tersendiri, tetapi


(37)

Berdasarkan sistematika penulisan yang baku, penulisan skripsi ini dibagi dalam 5 (lima) bab, yaitu:

BAB 1: PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan skripsi yang berisi latar belakang pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II: PENGATURAN DAN PENERAPAN HUKUM PIDANA

TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM KELUARGA

Didalam bab ini dijelaskan arti pencurian dalam keluarga, pihak-pihak yang berhak mengajukan delik aduan, jangka waktu pengajuan delik aduan dalam tindak pidana pencurian dalam keluarga, pencabutan pengaduan serta penerapan dan kecenderungan sistem pembuktian menurut KUHAP.

BAB III: KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI

MEMILIKI HUBUNGAN DARAH DENGAN TERDAKWA DALAM PERKARA PIDANA

Didalam bab ini dijelaskan jenis-jenis saksi, nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi, baik keterangan saksi di depan persidangan maupun keterangan saksi yang dibacakan di depan


(38)

persidangan serta syarat sahnya keterangan saksi yang mempunyai hubungan darah menjadi alat bukti.

BAB IV: HAMBATAN–HAMBATAN DALAM PROSES

PEMERIKSAAN ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI YANG MEMILIKI HUBUNGAN DARAH DENGAN TERDAKWA DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM KELUARGA

Didalam bab ini dijelaskan mengenai hambatan-hambatan apa saja yang terjadi dalam proses pemeriksaan alat bukti keterangan saksi baik di tingkat penyidikan maupun di depan persidangan dalam tindak pidana pencurian dalam keluarga.

BAB V: PENUTUP

Bab terakhir ini akan memberikan kesimpulan dari seluruh analisis dan pembahasan dari bab-bab yang telah dibahas sebelumnya dan saran-saran yang dapat diberikan oleh Penulis.


(39)

BAB II

PENGATURAN DAN PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM KELUARGA

A. Pencurian Dalam keluarga merupakan Delik Aduan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) secara tegas tidak ada memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan delik aduan. Delik Aduan adalah suatu delik yang hanya dapat dituntut apabila yang dirugikan mengajukan pengaduan (klachten).26

1. Menurut Samidjo

Pengertian dan defenisi yang jelas dapat ditemui melalui argumentasi dari para pakar di bidang ilmu pengetahuan hukum pidana, anatara lain:

Delik aduan (klacht delict) adalah suatu delik yang diadili apabila yang berkepentingan atau yang dirugikan melakukannya. Bila tidak ada pengaduan, maka Jaksa tidak akan melakukan penuntutan.27

2. Menurut R. Soesilo

… … dari banyak peristiwa pidana itu hampir semuanya kejahatan yang hanya dapat dituntut atas pengaduan (permintaan) dari orang yang kena peristiwa pidana. Peristiwa pidana semacam ini disebut delik aduan.28

3. Menurut P.A.Lamintang

26

Atang Ranoemihardja, Hukum Pidana: Azas-azas, Pokok Pengertian dan Teori serta

Pendapat beberapa Sarjana, (Bandung: Tarsito, 1984)., hal.105.

27

Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia,(Bandung: Armico, 1985)., hal.156 28

R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-komentar Lengkap, (Bogor: Politea, 1994)., hal 87


(40)

Tindak pidana yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan. Tindak pidana seperti ini disebut Klacht Delicten.29

Sering timbul pertanyaan apakah polisi bila melihat seorang yang melakukan sesuatu delik aduan dapat segera bertindak, ataukah harus menunggu datangnya pengaduan dari orang yang berkepentingan? Jika melihat bunyi undang-undang bahwa yang digantungkan kepada pengaduan itu adalah penuntutannya dan bukan penyelidikannya atau penyusutannya, maka polisi

Menurut pendapat para sarjana di atas, kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah bahwa untuk dikatakan adanya suatu delik aduan, maka disamping delik tersebut memiliki anasir yang lazim dimiliki oleh tiap delik, delik ini haruslah juga mensyaratkan adanya pengaduan dari si korban atau puhak yang dirugikan untuk dapat dituntutnya si pelaku.

Alasan dari adanya delik aduan ini adalah, bahwa dalam beberapa hal bagi orang yang bersangkutan lebih menguntungkan untuk tidak menuntut perkara itu dari pada keuntungan bagi pemerintah (masyarakat) jika dilakukan penuntutan. Adanya delik aduan ini tidak mengurangkan prinsip opportuniteit dalam hokum pidana, bahwa Penuntut Umum (kejaksaan) senantiasa juga terhadap delik-delik aduan mempunyai kekuasaan untuk menyimpan (mendeponir) perkara bagi kepentingan umum.

29

Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1984)., hal. 207.


(41)

sebagai pegawai penyelidik (bukan pegawai penuntut) sudah dapat bertindak sebelum adanya pengaduan. 30

a. Delik Aduan Absolut / Mutlak

Delik aduan ini dibedakan atas 2 jenis yaitu:

Delik Aduan Absolut/Mutlak adalah jenis peristiwa pidana yang tidak dapat dituntut, apabila tidak ada pengaduan dari pihak korban atau yang dimalukan dengan terjadinya tindak pidana tersebut. Peristiwa pidana yang diancam Pasal-pasal 284,287,293,310,311,315,317,318,320,321,322,323,332,335 ayat (2) dan 369 KUHP. Pengaduan itu dapat ditarik sewaktu-waktu selama pemeriksaan di muka pengadilan belum dimulai.

Dengan dimulainya pemeriksaan perkara di depan pengadilan, maka pengaduan tersebut tidak dapat ditarik kembali (Pasal 284 ayat 4 KUHP). Dalam tindak pidana aduan absolut yang dituntut adalah peristiwanya, sehingga permintaan penuntutan dalam pengaduan harus berbunyi: “saya minta agar peristiwa ini dituntut”.31

Dengan demikian semua orang yang tersangkut dalam perkara itu harus dituntut dan tidak dapat dibelah (spleit). Akan tetapi meskipun belum ada pengaduan dari yang berkepentingan, polisi tidak dilarang untuk mengadakan

30

R. Soesilo, Loc.Cit. 31


(42)

pemeriksaan. Malahan dalam hal-hal untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan guna menjaga keamanan dan ketentraman umum.

b. Delik Aduan Relatif

Delik Aduan Relatif adalah delik yang penuntutannya ke depan sidang pengadilan, hanya dapat dilakukan atas pengaduan dari pihak yang dirugikan atau mendapat malu dengan dilakukannya tindak pidana itu. Delik-delik aduan relatif itu dapat dilihat pada pasal-pasal 362,367,370,372,376,394,404 dan 411 KUHP. Pengaduan dalam hal ini dapat dicabut sewaktu-waktu dalam tempo tiga bulan sejak dimasukkannya pengaduan (Pasal 75 KUHP).

Tindak pidana aduan relatif pada prinsipnya bukanlah merupakan delik aduan, akan tetapi delik laporan. Perbedaan laporan dengan pengaduan adalah bahwa Laporan yaitu pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana (Pasal 1 butir 24 KUHAP), sedangkan pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya (Pasal 1 butir 25 KUHAP).

Akan tetapi menjadi delik aduan karena dilakukan di dalam lingkungan keluarga sendiri. Pengaduan dalam hal demikian diperlukan untuk menuntut orang-orang yang melakukan tindak pidana itu, bukan menuntut kejahatannya. Dengan demikian delik aduan relatif dapat dibelah atau spleit penuntutannya.


(43)

Menurut Satochid, di dalam delik aduan relatif ini pengaduan dapat dipisah-pisahkan artinya apabila di dalam delik ini diadakan pengaduan, maka pengaduan itu dapat ditujukan terhadap peserta tertentu dalam delik itu. Dengan demikian, pada delik aduan relatif ini alat-alat negara hanya dapat melakukan penuntutan terhadap orang yang namanya telah disebutkan oleh pengadu sebagai orang yang telah merugikan dirinya. Apabila di dalam suatu delik aduan relatif itu terdapat lebih dari satu orang maka setiap orang itu dapat dituntut apabila nama mereka disebutkan dalam pengaduan.

Menurut Modderman, ada alasan khusus dijadikannya kejahatan-kejahatan tertentu yang menjadi kejahatan aduan relatif bilamana dilakukan dalam kalangan keluarga, yaitu:

a. Alasan susila, yaitu untuk mencegah pemerintah menghadapkan orang-orang satu terhadap yang lain yang masih ada hubungan yang sangat erat di dalam sidang pengadilan;

b. Alasan materil (stoffelijk), yaitu pada kenyataannya di dalam suatu keluarga antara pasangan suami dan istri ada semacam condominium.32 Pencurian dalam Keluarga diatur dalam ketentuan Pasal 367 KUHP yang menyatakan:

a. Jika pembuat atau pembantu salah satu kejahatan yang diterangkan dalam bab ini ada suami (isteri) orang yang kena kejahatan itu, yang tidak bercerai meja makan dan tempat tidur atau bercerai harta benda, maka pembuat atau pembantu itu tidak dapat dituntut hukuman;

b. Jika ia suaminya (isterinya) yang sudah diceraikan meja makan, tempat tidur, atau harta benda, atau sanak atau keluarga orang itu karena kawin, baik dalam keturunan yang lurus, maupun keturunan yang menyimpang dalam derajat yang kedua, maka bagi ia sendiri hanya dapat dilakukan penuntutan, kalau ada pengaduan dari orang yang dikenakan kejahatan itu;

32

Adami Chazawi, Hukum Pidana Bagian II, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002)., hal.205.


(44)

c. Jika menurut adat istiadat keturunan ibu, kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain dari bapak kandung, maka ketentuan dalam ayat kedua berlaku juga bagi orang itu.

Pencurian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 367 KUHP ini merupakan Pencurian di kalangan keluarga. Artinya baik pelaku maupun korbannya masih dalam satu keluarga. Pencurian dalam Keluarga Pasal 367 KUHP akan terjadi, apabila seorang suami atau istri melakukan (sendiri) atau membantu (orang lain) pencurian terhadap harta benda istri atau suaminya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 367 ayat (1) KUHP apabila suami-istri tersebut masih dalam ikatan perkawinan yang utuh, tidak terpisah meja atau tempat tidur juga tidak terpisah harta kekayaannya, maka pencurian atau membantu pencurian yang dilakukan oleh mereka mutlak tidak dapat dilakukan penuntutan. Jadi, apabila suami, misalnya, melakukan pencurian atau membantu (orang lain) melakukan pencurian terhadap harta benda istrinya, sepanjang keduanya masih terikat harta kekayaannya, maka terhadap suami itu mutlak tidak dapat dilakukan penuntutan. Demikian berlaku sebaliknya.

Tetapi apabila dalam pencurian yang dilakukan oleh suami atau isteri terhadap harta benda isteri atau suami ada orang lain (bukan sebagai keluarga) baik sebagai pelaku maupun sebagai pembantu maka terhadap orang ini tetap dapat dilakukan penuntutan, sekalipun tidak ada pengaduan.

Pertimbangan terhadap tidak dapat dituntutnya suami atas pencurian terhadap isteri dan sebaliknya berdasarkan Pasal 367 KUHP ayat (1) KUHP adalah didasarkan atas alasan tata susila.33

33

R. Soesilo, Op.Cit, hal.255.

Sebab, naluri kemanusiaan kita akan mengatakan betapa tidak pantasnya seorang suami-isteri yang masih terikat dalam


(45)

perkawinan yang utuh, harus saling berhadapan di pengadilan. Rasanya perilaku tersebut tidak sesuai dengan etika moral yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Selain itu, dengan tidak adanya pemisahan harta kekayaan antara suami-isteri, akan menjadi sulit menentukan mana harta suami dan harta istri yang telah menjadi objek pencurian tersebut. Apabila di antara suami-isteri tersebut telah terpisah meja dan ranjang atau harta kekayaan dalam ketentuan Pasal 367 KUHP ayat (2) KUHP secara tegas dinyatakan,bahwa apabila antara suami dan isteri itu sudah terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan, maka apabila terjadi pencurian di antara mereka dapat dilakukan penuntutan, sekalipun penuntutan terhadap mereka itu baru dapat dilakukan apabila ada pengaduan dari yang dirugikan (suami atau isteri).

Demikian juga apabila yang melakukan pencurian atau yang membantu melakukan pencurian itu adalah keluarga sedarah baik dalam garis lurus (ke atas atau ke bawah) atau ke samping atau keluarga semenda sampai derajat kedua, penuntutan dapat dilakukan apabila ada pengaduan. Sekarang marilah kita lihat ketentuan Pasal 367 ayat (3) KUHP. Aturan ini sebenarnya penting untuk suatu daerah yang menganut garis keturunan ibu (matrilineal). Dalam hal “peran” suami berdasarkan (hukum) adat setempat dilakukan oleh orang lain, maka ketentuan dalam ayat (1) dan ayat (2) Pasal 367 KUHP juga berlaku baginya.

1. Pihak – pihak yang berhak Mengajukan Pengaduan Pengaduan menurut bentuknya terbagi atas:

a. Pengaduan Lisan, yaitu pengaduan yang disampaikan secara lisan dan dicatat oleh penyidik dan setelah selesai dibacakan atau disuruh baca


(46)

kembali oleh pengadu, dan setelah disetujui olehnya lalu ditandatangani. Atas pengaduan tersebut penyidik wajib memberikan “Surat tanda penerimaan pengaduan” kepada pengadu (KUHAP Pasal 108 ayat 6).

b. Pengaduan Tertulis, yaitu pengaduan yang disampaikan secara tertulis oleh pengadu kepada penyidik. Pengaduan ini kemudian diagendakan oleh penyidik dan wajib memberikan surat tanda bukti penerimaan pengaduan itu kepada pengadu.34

Secara umum yang berhak mengajukan pengaduan dalam kejahatan yang merupakan delik aduan baik delik aduan absolut maupun delik aduan relative, KUHP menentukannya secara limitatif dan berbeda–beda. Dalam peraturan Umum (Algemene Leerstukken), pada Buku 1 KUHP, aturan tentang siapa yang berhak untuk mengajukan pengaduan, walau tidak lengkap, namun ada juga dicantumkan. Hal ini ditegaskan dalam Bab VII yang berjudul ; Memasukkan dan mencabut pengaduan dalam perkara kejahatan, yang hanya boleh atas pengaduan. Aturan Umum yang ditegaskan dalam Pasal 72 dan 73 KUHP menegaskan bahwa:

Pasal 72 KUHP, merumuskan:

(1) Jika kejahatan yang hanya boleh dituntut atas pengaduan, dilakukan kepada orang yang umurnya belum cukup 16 tahun dan lagi belum dewasa atau kepada orang yang dibawah pemilikan (curatele) lain orang bukan dari sebab keborosan, maka selama dalam keadaan – keadaan itu, yang berhak mengadukan adalah wakil – wakilnya yang sah dalam perkara sipil. (2) Jika tidak ada wakil atau dia sendiri yang harus diadukan, maka

penuntutan boleh dilakukan atas pengaduan wali – yang mengawas – awasi atau curator (pemilik) atau majelis yang menjalankan kewajiban

34

Darwan Prints, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, ( Jakarta: Djambatan, 1989)., hal. 28


(47)

curator itu, atas pengaduan istri, seorang kaum keluarga dalam turunan yang menyimpang sampai derajat ketiga.

Jika tidak ada wakil sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 72 ayat (1), atau wakilnya itu sendiri adalah si pembuat yang harus diadukan, maka orang yang berhak mengajukan pengaduan itu adalah:

a) Wali Pengawas;

b) Pengampu Pengawas;

c) Majelis yang menjadi wali pengawas atau menjadi pengampu pengawas;

d) Istrinya;

e) Salah satu dari keluarga sedarah dalam garis lurus, atau jika itu tidak ada, maka pengaduan dilakukan oleh;

f) Salah satu dari keluarga sedarah dalam garis menyimpang sampai derajat ketiga (pasal 72 ayat 2).35

Pasal 73 KUHP , merumuskan:

“Jika kejahatan itu dilakukan kepada seseorang yang meninggal dalam tempo yang ditetapkan dalam pasal yang berikut maka dengan tidak usah menambah tempo itu, dapat penuntutan dilakukan atas pengaduan ibu bapaknya, anak atau suaminya(istrinya) yang masih hidup, kecuali kalau nyata bahwa yang meninggal itu tidak menghendaki penuntutan”.

Bagaimana dengan korban yang berhak mengadu kemudian meninggal dunia, apakah dengan demikian hak pengaduan dalam hal perkara itu menjadi hapus? Mengenai persoalan ini, diterangkan dari norma Pasal 73, orang yang

35


(48)

terlanggar kepentingan hukumnya oleh kejahatan aduan, meskipun kemudian meninggal, maka hak mengajukan pengaduan itu tetap berlangsung selama tenggang waktu hak mengadu masih ada (masih berlangsung) sesuai dengan Pasal 74. Hak pengaduan itu beralih pada para ahli warisnya sebagaimana disebutkan secara limitatif dalam pasal 73 hak pengaduan oleh ahli waris dari korban kejahatan aduan yang dimaksud oleh Pasal 73 ini tidak berlaku dalam hal kejahatan aduan perzinahan (pasal 284 ayat 3 KUHP).

Sehubungan dengan ketentuan siapa yang berhak mengajukan pengaduan dalam hal korban meninggal dunia, perlulah diperhatikan kejahatan aduan yang dirumuskan dalam Pasal 320 dan 321 KUHP, dimana hak mengadu juga ada pada ahli warisnya, yakni pada “salah seorang keluarga sedarah maupun semenda dalam garis lurus atau menyimpang sampai derajat kedua dari yang meninggal dunia, dan jika karena lembaga matrilineal kekuasaan bapak, maka kejahatan juga dapat dituntut atas pengaduan itu”.

Selain dari apa yang tersebut pada Pasal 72-73 KUHP ini, maka pada umumnya Lamintang, yang berwenang untuk mengajukan suatu pengaduan itu adalah:

“… … …orang yang menurut sifat dari kejahatannya secara langsung telah menjadi korban atau secara langsung telah dirugikan”36

Tegasnya, orang-orang yang berhak untuk mengajukan pengaduan dalam kejahatan-kajahatan yang diisyaratkan adanya pengaduan untuk penuntutan

36

Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1984)., hal 210


(49)

perkaranya, yakni: oaring-orang yang terkena peristiwa pidana itu atau dapat juga disebut sebagai “orang-orang terhadap siapa kejahatan itu ditujukan”.

Jadi, walaupun delik-delik aduan itu tidak diatur secara tersendiri (melalui pasal–pasal yang tersebar) dalam KUHP, maka yang berhak mengajukan pengaduan juga diatur secara tersebar (melalui pasal atau bab berkenaan). Namun demikian, generalisasi untuk hal ini dapat dilakukan, yakni bahwa si pengadu adalah orang yang terhina dan menderita secara langsung karena kejahatan itu.

Tentang pengaduan ini pasal 103 KUHAP menyatakan bahwa:

1) laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau pengadu;

2) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyelidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyelidik; 3) Dalam hal pelapor atau pengadu tidak dapat menulis, hal itu harus

disebutkan sebagai catatan dalam laporan atau pengaduan tersebut.

Yang berhak membuat pengaduan menurut Pasal 108 KUHAP, adalah sebagai berikut:

a. Setiap orang yang mengetahui adanya peristiwa pidana;

b. Setiap orang yang mengalami peristiwa pidana;

c. Setiap orang yang melihat adanya peristiwa pidana;

d. Setiap orang yang menyaksikan adanya peristiwa pidana;


(50)

f. Setiap orang yang mengetahui adanya permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketentraman dan keamanan umum;

g. Setiap pegawai negeri dalam melaksanakan tugas yang mengatahui terjadinya peritiwa pidana.37

2. Jangka Waktu Mengajukan Delik Aduan

Tentang jangka waktu mengajukan aduan, Pasal 74 KUHP menyatakan sebagai berikut:

1 Pengaduan hanya boleh dimasukkan dalam tempo enam bulan sesudah orang yang berhak mengadu mengetahui perbuatan yang dilakukan itu, kalau ia berdiam di negara Indonesia ini dalam tempo 9 (Sembilan) bulan sesudah ia mengetahui itu, kalau ia berdiam diri di luar negara Indonesia; 2 Kalau pada ketika orang yang dikenai kejahatan, mendapat hak untuk

mengadu belum habis tempo yang disebut dalam ayat pertama, maka sejak ketika itu masih ia berhak mengadu selama sisa ketinggalan tempo yang disebut di atas saja.

Berdasarkan Pasal 74 KUHP ini ternyata bahwa, tempo pengaduan itu dimulai pada saat orang yang berhak mengadu mengetahui peristiwa pidana (kejahatan) itu dilakukan, jadi bukan dihitung sejak terjadinya atau sehari sesudah terjadinya delik tersebut.

Lamanya pengaduan itu adalah 6 (enam) bulan sejak orang yang berhak mengadu itu mengetahui terjadinya delik. Jika ia berada di Indonesia dan 9 (Sembilan) bulan jika ia berada di luar Indonesia. Jika jangka waktu mengajukan aduan itu telah lewat, maka pengaduan itu tidak dapat lagi diajukan lagi karena telah daluarsa.

37


(51)

Dalam hal–hal tertentu jangka waktu pengaduan sebagaimana diatur dalam Pasal 74 KUHP ini tidak berlaku misalnya pada Pasal 293 KUHP yang menyatakan:

1 Barang siapa dengan mempergunakan hadiah atau perjanjian akan memberi uang atau barang dengan sesudah mempergunakan pengaruh yang berlebih – lebihan yang ada disebabkan oleh perhubungan yang sesungguhnya ada atau dengan tipu, sengaja membujuk orang yang belum dewasa yang tidak bercacat kelakuannya, yang diketahuinya atau patut harus disangkanya belum dewasa, akan melakukan perbuatan yang demikian pada dirinya, dihukum penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun penjara;

2 Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang dikenai kejahatan itu;

3 Tempo yang tersebut dalam pasal 74, ditentukan buat satu-satu pengaduan ini ialah 9 (Sembilan) dan 12 (duabelas) bulan.

Selanjutnya dalam hal kejahatan itu dilakukan terhadap orang yang telah

meninggal dunia, menurut ketentuan Pasal 73 KUHP dengan tidak usah menambah tempo itu dapat dilakukan penuntutan berdasarkan pengaduan ibu-bapaknya, kecuali kalau ternyata bahwa yang meninggal dunia itu tidak menghendaki penuntutan.

Maksud dari dibuatnya pembatasan jangka waktu dalam hal terjadinya tindak pidana adalah untuk memberikan kesempatan kepada orang yang merasa


(52)

telah dirugikan oleh orang lain untuk mempertimbangkan apakah itu akan mengajukan suatu pengaduan atau tidak.

Yang menjadi alasan dicantumkannya delik aduan dalam KUHP adalah dengan mempertimbangkan bahwa kerugian bagi seseorang akan lebih besar jika diadakan penuntutan dari pada kerugian umum jika tidak diadakan penuntutan. Oleh sebab itu maka pemberian jangka waktu untuk mengajukan pengaduan ini memberikan kesempatan kepada mereka itu untuk mencari jalan keluar yang sebaik-baiknya sehingga baik pelaku maupun yang membantu melakukan, turut melakukan, orang yang membujuk, maupun orang yang menderita kerugian akibat terjadinya delik itu tidak mendapat malu karenanya.

3. Pencabutan Pengaduan

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat jenis tindak pidana yang hanya dapat dilakukan penuntutan apabila terdapat pengaduan dari pihak yang dirugikan, hal ini diatur dalam Bab VII Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang mengajukan dan menarik kembali pengaduan dalam hal kejahatan-kejahatan yang hanya dituntut atas pengaduan. Pengaduan itu sendiri merupakan hak dari setiap korban untuk diadakan penuntutan atau tidak dilakukan penuntutan karena menyangkut kepentingan korban, untuk itu dalam perkara delik aduan diberikan jangka waktu pencabutan perkara yang diatur pada Pasal 75 KUHP, yang menyebutkan bahwa orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah pengaduan diajukan. Delik aduan ini dimaksudkan untuk melindungi pihak yang dirugikan dan memberikan kesempatan kepada pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan perkara yang berlaku dalam masyarakat.


(53)

Sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 1 ayat (25) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bahwa pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya. Dengan kata lain, delik aduan hanya terjadi apabila terdapat pengaduan atau pemberitahuan dari pihak yang berkepentingan untuk menindak berdasarkan hukum atas seseorang yang merugikannya. Delik aduan ada yang bersifat absolut dan delik aduan yang bersifat relatif, berikut contoh delik aduan absolut, antara lain : Pencurian dalam keluarga dan pencurian dalam waktu pisah meja-ranjang (schidding van tavel en

bed, terdapat pada Pasal 367 ayat (2) KUHP), Perzinahan (overspelling bagi yang

sudah menikah yang diadukan istri atau suami, terdapat pada Pasal 284 KUHP), Terkait hal membuka rahasia (terdapat pada Pasal 323 KUHP), Kejahatan melarikan anak dibawah umur dan lain-lain. Sedangkan terhadap delik aduan relatif terjadi antara lain terhadap penghinaan dan penipuan.

Berbicara mengenai faktor pencabutan aduan, terhadap delik aduan absolut yang kerap dicabut adalah perzinahan dan kejahatan melarikan anak di bawah umur, maka faktor penyebab pencabutan pengaduan yakni pertama dikarenakan korban tidak menginginkan aibnya diketahui oleh masyarakat luas yang menimbulkan efek pencemaran nama baik bagi korban. Kedua karena adanya kesepakatan antara kedua belah pihak dengan memenuhi hak korban dalam bentuk ganti kerugian dengan sejumlah uang atau memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh korban. Sedangkan faktor penyebab pencabutan pengaduan terhadap delik aduan relatif adalah korban tidak ingin citra atau nama baik


(54)

keluarganya menjadi buruk dimata masyarakat kemudian juga karena adanya kesepakatan bersama dalam keluarga untuk mencabut perkara tersebut. Mengenai proses pelaksanaan pencabutan pengaduan dapat dilakukan pada tahap penyidikan, pemeriksaan berkas perkara (Pra Penuntutan) dan pemeriksaan dimuka persidangan, selama jangka waktu pencabutan pengaduan masih berlaku.

Adapun akibat hukum yang ditimbulkan apabila pengaduan itu dicabut yakni tehadap pencabutan pengaduan yang bersifat absolut maka penuntutannya pun menjadi batal. Pencabutan pengaduan terhadap delik aduan absolut menjadi syarat mutlak untuk tidak dilakukan penuntutan. Sedangkan terhadap delik aduan relatif pencabutan pengaduan dapat dilakukan, tetapi proses pemeriksaan perkara tetap dilanjutkan baik dalam tahap penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan dimuka pengadilan. Pada hakikatnya delik aduan relatif merupakan delik biasa yang berhubungan dengan keluarga, maka delik tersebut menjadi delik aduan yang hanya bisa dilakukan penuntutan apabila ada pengaduan dari korban. Delik aduan bisa ditarik kembali apabila si pelapor menarik pengaduannya dalam jangka waktu 3 bulan setelah pengaduan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 75 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kecuali perzinahan bagi pasangan yang sudah menikah dapat ditarik sampai dengan pemeriksaan pengadilan belum dimulai sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 284 ayat (4) KUHP.

Pengaduan yang telah diajukan dapat ditarik kembali bilamana maih dalam tenggang waktu 3 (tiga) bulan setelah pengaduan diajukan (pasal 75 KUHP). Dalam hal berlakunya tenggang waktu 3 (tiga) bulan itu dihitung mulai keesokan hari dari pengajuan pengaduan. Ketentuan boleh ditariknya pengaduan ini


(55)

memberikan kemungkinan apabila setelah pengaduan diajukan, si pengadu berubah pikiran karena misalnya si pembuat telah meminta maaf dan menyatakan penyesalannya, maka pengadu dapat menarik kembali pengaduannya selama masih dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan. Setelah pengaduan ditarik maka tidak dapat diajukan lagi.

B. Penerapan dan Kecenderungan Sistem Pembuktian Menurut KUHAP

Berbicara mengenai sistem pembuktian adalah bertujuan untuk mengetahui bagaimana meletakkan suatu hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diperiksa. Hasil dan kekuatan pembuktian yang bagaimana yang dapat dianggap cukup memadai membuktikan kesalahan terdakwa.

Untuk menjawab judul dari sub bab di atas, dapat dilihat isi Pasal 183 KUHAP yang berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Kalau dibandingkan bunyi Pasal 183 KUHAP dengan Pasal 294 HIR, hampir bersamaan bunyi dan maksud yang terkandung di dalamnya. Keduanya sama-sama menganut sistem “pembuktian menurut undang-undang secara negatif”. Perbedaan keduanya hanya terletak pada penekanannya saja. Pada Pasal 183 KUHAP, syarat pembuktian menurut cara dan alat bukti yang sah, lebih ditekankan pada perumusannya. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat: ketentuan pembuktian yang memadai untuk menjatuhkan pidana kepada seseorang, sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Dengan demikian Pasal 183 KUHAP


(56)

mengatur bahwa untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa harus:

1. pembuktian harus dilakukan menurut ketentuan, cara, dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang;

2. dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas ketentuan, cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.38

Pelaksanaan sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif dalam penegakan hukum di Indonesia menurut pengalaman dan pengamatan baik masa HIR maupun setelah KUHAP berlaku, penghayatan penerapan sistem pembuktian yang dirumuskan pada Pasal 183 KUHAP, pada umumnya sudah

Sekedar untuk menjajaki alasan pembuat undang-undang merumuskan Pasal 183 KUHAP, barangkali ditujukan untuk mewujudkan suatu ketentuan yang seminimal mungkin dapat menjamin tegaknya kebenaran sejati, serta tegaknya keadilan dan kepastian hukum. Pendapat ini dapat diambil dari makna penjelasan Pasal 183 KUHAP itu sendiri. Dari penjelasan Pasal 183 KUHAP tersebut, pembuat undang-undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling tepat dalam kehidupan penegakan hukum di Indonesia adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif demi tegaknya keadilan, kebenaran dan kepastian hukum. Bukankah di dalam sistem pembuktian ini, terpadu kesatuan dan penggabungan antara sistem conviction in time dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif.

38

M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid II, ( Jakarta: Pusataka kartini, 1985)., hal 800


(57)

mendekati makna dan tujuan sistem pembuktian itu sendiri. Tentu hal ini tanpa mengurangi segala macam keluhan, pergunjingan, dan kenyataan yang kita jumpai. Keluhan dan kenyataan ini timbul disebabkan oleh masih terdapat kekurangsadaran, sementara aparat penegak hukum yang menitikberatkan penilaian salah tidaknya seorang terdakwa lebih ditentukan oleh keyakinan hakim.

Yang menonjol dalam pertimbangan putusan hakim adalah penilaian keyakinan tanpa menguji dan mengaitkan keyakinan itu dengan cara dan alat-alat bukti yang sah. Sebaliknya, sering pula dijumpai pertimbangan putusan pengadilan yang seolah-olah mendasarkan penilaian salah atau tidaknya terdakwa semata-mata didasarkan pada sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif.

Motivasi pertimbangan hukum membuktikan kesalahan terdakwa, tidak diwarnai dan tidak dipadu dengan keyakinan hakim. Misalnya dalam suatu uraian pertimbangan hakim putusan pengadilan. Jarang sekali dijumpai uraian pertimbangan yang secara sistematis dan argumentatif mengaitkan dan memadukan keterbuktian kesalahan terdakwa dengan keyakinan hakim. Pada intinya, asalkan kesalahan terdakwa telah terbukti secara sah menurut ketentuan, cara dan dengan alat-alat bukti yang disebutkan undang-undang, tanpa mengutarakan motivasi keyakinan hakim akan keterbuktian tadi, hakim pada umumnya sudah merasa cukup “menimpali” keterbuktian itu dengan rumusan kalimat yang sudah baku, kesalahan terdakwa telah terbukti dan diyakini. Seolah-olah keyakinan hakim atas kesalahan terdakwa hanya ditarik saja, tanpa motivasi dari keterbuktian kesalahan yang dibuktikan. Malah kadang-kadang pertimbangan yang tertuang dalam suatu putusan pengadilan hanya berisi uraian deskriptif tanpa


(58)

alasan pertimbangan yang argumentatif dan tidak memuat kesimpulan pendapat yang merupakan perpaduan antara pembuktian dengan keyakinan. Akibatnya, isi pertimbangan putusan seperti ini hanya berisi tulisan pengulangan kalimat keterangan terdakwa dan keterangan saksi tanpa suatu kemampuan dan keberhasilan menyusun uraian pertimbangan yang menyimpulkan suatu pendapat tentang keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa. Putusan seperti ini benar-benar sangat miskin dan tidak menyeluruh.

Pada hakikatnya Pasal 183 berisi penegasan sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Tidak dibenarkan menghukum seorang terdakwa yang kesalahannya tidak terbukti secara sah menurut undang-undang. Keterbuktian itu harus digabung dan didukung oleh keyakinan hakim. Namun sistem pembuktian ini dalam praktek penegakan hukum, lebih cenderung pada pendekatan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Sedang mengenai keyakinan hakim hanya bersifat “unsur pelengkap” atau complimentary dan lebih berwarna sebagai unsur formal dalam model putusan. Unsur keyakinan hakim dalam praktek, dapat dikesampingkan apabila keyakinan itu tidak dilandasi oleh pembuktian yang cukup. Sekalipun hakim yakin dengan seyakin-yakinnya akan kesalahan terdakwa, keyakinan itu dapat dianggap tidak mempunyai nilai, jika tidak dibarengi dengan pembuktian yang cukup.


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Bahwa pengertian mengenai delik aduan ini tidak ada secara tegas di atur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pencurian dalam keluarga itu termasuk dalam delik aduan relatif yang penuntutannya hanya dapat dilakukan jika ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Pengaduan dalam hal demikian diperlukan untuk menuntut orang-orang yang melakukan tindak pidana itu, bukan menuntut kejahatannya. Jangka waktu pengaduan itu dimulai pada saat orang yang berhak mengadu mengetahui peristiwa pidana (kejahatan) itu dilakukan, jadi bukan sejak terjadinya atau sehari sesudah terjadinya delik tersebut. Maksud dari dibuatnya pembatasan jangka waktu dalam hal terjadinya tindak pidana adalah untuk memberikan kesempatan kepada orang yang merasa telah dirugikan oleh orang lain untuk mempertimbangkan apakah itu akan mengajukan suatu pengaduan atau tidak.

2. Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Nilai keterangan saksi baik di depan persidangan maupun yang dibacakan di depan persidangan jika dilakukan di bawah sumpah maka dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah, akan tetapi jika keterangan itu diberikan tanpa sumpah, maka keterangan tersebut hanya keterangan biasa atau petunjuk yang dapat


(2)

dipergunakan hakim untuk menguatkan keyakinannya. Bahwa keterangan saksi yang memiliki hubungan darah terhadap terdakwa dalam tindak pidana pencurian dalam keluarga apabila diberikan di bawah sumpah yang dilakukan atas kehendak mereka dan kehendaknya itu disetujui secara tegas oleh penuntut umum dan terdakwa, memiliki nilai sebagai alat bukti yang sah, namun apabila jaksa penuntut umum dan terdakwa tidak menyetujui mereka sebagai saksi dengan disumpah maka bagi saksi yang memiliki hubungan darah terhadap terdakwa tindak pidana pencurian dalam keluarga dapat memberikan keterangan tanpa sumpah, nilai keterangan tidak merupakan alat bukti yang sah dan nilai pembuktian yang melekat pada keterangan tersebut dapat dipakai sebagai petunjuk.

3. Mengenai hambatan pada proses pemeriksaan alat bukti keterangan saksi yang dapat terjadi pada tindak pidana pencurian dalam keluarga adalah apabila tidak terpenuhinya batas minimum pembuktian yaitu minimal terdapat 2 alat bukti yang sah yang menunjukkan bahwa terdakwa memang bersalah adalah pada saat keterangan saksi diberikan tanpa sumpah, keterangan tersebut menjadi alat bukti petunjuk, dan apabila tidak ada alat bukti sah lainnya selain keterangan terdakwa, kemudian terdakwa menyatakan tidak bersalah, maka tidak terpenuhi batas minimum pembuktian sehingga terdakwa dapat dinyatakan tidak bersalah dan diputus bebas.


(3)

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis dengan ini dapat mengajukan beberapa saran dan masukan yaitu:

1. Bahwa hendaknya sesorang sebelum mengajukan pengaduan misalnya dalam tindak pidana pencurian dalam keluarga hendaknya mempertimbangkan bahwa kerugian bagi seseorang akan lebih besar jika diadakan penuntutan dari pada kerugian umum jika tidak diadakan penuntutan.

2. Bahwa hendaknya hakim harus tegas menentukan saksi mana yang berhak memberikan keterangan di bawah sumpah maupun keterangan tanpa sumpah agar suatu pembuktian itu mempunyai nilai pembuktian.

3. Bahwa agar tidak terjadi hambatan dalam pemeriksaan saksi yang mempunyai hubungan darah dengan terdakwa hendaknya aparatur penegak hukum tersebut harus saling bekerja sama misalnya dalam hal mendatangkan saksi di sidang pengadilan agar proses persidangan berjalan dengan lancar.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku – buku

Abdussalam, H.R. 2006. Prospek Hukum Pidana Indonesia dalam Mewujudkan Rasa Keadilan Masyarakat Jilid II, Jakarta: Restu Agung

Amin,S.M, 1981. Hukum Acara Pengadilan Negeri, Jakarta: Pradnya Paramita

Chazawi, Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana. Jakarta: Rajagrafindo Persada

______________. 2002. Hukum Pidana Bagian II, Jakarta: Rajagrafindo Persada

Ginting, Harun. 1974. Hukum Pembuktian, Medan: Fakultas Hukum USU

Hamzah, Andi. 1987. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia

____________. 1996. Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika

Harahap, M. Yahya. 1993. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jilid II. Jakarta: Pustaka Kartini

Lamintang, P.A.F. 1984. Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru

Lubis, H.M.Kamaluddin. 1992. Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata dalam Teori dan Praktek. Medan: Tanpa Penerbit

Mulyadi, Lilik. 2008. Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoritis, dan Praktik. Bandung: Alumni


(5)

Prints, Darwan.1989. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Cetakan I. Jakarta: Djambatan

____________. 1998. Hukum Acara Pidana dalam Praktik, Cetakan II. Jakarta: Djambatan

Poernomo, Bambang. 1994. Azas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia

Prodjodikoro, Wirdjono. 1983. Hukum Acara Pidana di Indonesia, Bandung: Sumur

Prodjodikoro, Wirdjono. 1989. Azas-azas Hukum Pidana, Bandung: Djambatan

Prodjohamidjojo, Martiman. 1997. Seri Hukum Pidana: Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita

Ranoemihardja, R. Atang, 1980. Hukum Acara Pidana, Bandung: Tarsito

____________________, 1984. Hukum Pidana, Azas-azas, Pokok Pengertian dan Teori serta Pendapat Beberapa Sarjana, Bandung: Tarsito

Sabuan, Ansorie.dkk. 1990. Hukum Acara Pidana. Edisi 1. Bandung: Angkasa

Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia, Bandung: Armico

Soesilo, R. 1994, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar- komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politea

Suharto. 1996. Hukum Pidana Materiil: Unsur-unsur Subjektif sebagai Dasar Dakwaan. Jakarta: Sinar Grafika


(6)

Usfa, Fuad dan Tongat. 2004. Pengantar Hukum Pidana. Malang: UMM Press

Internet

Abdul Fickar Hadjar,Strategi Mengikuti Persidangan: Kiat Bersaksi di Pengadilan, dikutip dari 2 Mei 2011

28 April 2011

Perundang - undangan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer

Uandang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Wawancara

Wawancara dengan Muhammad Jafli,S.H,MH

Wawancara dengan Arie Hazairin,S.H

Wawancara dengan Herman F.A. Daulay,S.H


Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Tentang Pencabutan Keterangan Terdakwa Dalam Persidangan Dan Implikasinya Terhadap Kekuatan Alat Bukti (Studi Putusan Nomor : 43 / Pid. B / 2009/ PN-TTD)

0 63 101

KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI DALAM PEMERIKSAAN PERSIDANGAN TINDAK PIDANA PENCURIAN (PUTUSAN NOMOR 429/PID.B/2013/PN.JR)

0 7 14

PERANAN KETERANGAN SAKSI SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PROSES PERADILAN PIDANA

1 9 186

PENDAHULUAN KEABSAHAN ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI MELALUI TELECONFERENCE DALAM PERADILAN PIDANA.

0 5 9

PENUTUP KEABSAHAN ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI MELALUI TELECONFERENCE DALAM PERADILAN PIDANA.

0 2 6

TINDAKAN HAKIM DALAM MENILAI KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI YANG BERBEDA ANTARA DI DEPAN Tindakan Hakim Dalam Menilai Kekuatan Alat Bukti Keterangan Saksi yang Berbeda Antara Di Depan Penyidik Dengan Di Persidangan.

0 4 17

TINDAKAN HAKIM DALAM MENILAI KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI YANG BERBEDA ANTARA DI DEPAN Tindakan Hakim Dalam Menilai Kekuatan Alat Bukti Keterangan Saksi yang Berbeda Antara Di Depan Penyidik Dengan Di Persidangan.

0 2 12

LEGALITAS KETERANGAN SAKSI MELALUI TELECONFERENCE SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA Model Kebijakan Hukum Pidana Tentang Keterangan Saksi Melalui Teleconference Sebagai Alat Bukti Dalamperkara Pidana.

1 3 19

STUDI KASUS TENTANG KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI DAN BARANG BUKTI SEBAGAI OBJEK DELIK DALAM PROSES PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DISERTAI KEKERASAN (DIATUR DALAM PASAL 365 AYAT (1) KUHP).

0 0 1

LEGALITAS KETERANGAN SAKSI MELALUI TELECONFERENCE SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA

0 0 9