Tinjauan Yuridis Tentang Pencabutan Keterangan Terdakwa Dalam Persidangan Dan Implikasinya Terhadap Kekuatan Alat Bukti (Studi Putusan Nomor : 43 / Pid. B / 2009/ PN-TTD)

(1)

DAFTAR PUSTAKA 1. Buku-buku

Ashshofa, Burhan. (2002). Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Rineka Cipta. Chazawi, Adami. (2002). Pelajaran Hukum Pidana bagian Percobaan dan

Penyertaan. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Hamid, Hamrat. (1991). Pembahasan Permasalahan KUHAP bidang Penuntutan

dan Eksekusi. Jakarta : Sinar Grafika.

Hamzah, Andi. (2002). Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika. Harahap, M. Yahya. (2006). Pembahasan Permasalahan Penerapan KUHAP:

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua. Jakarta : Sinar Grafika.

---. (2006). Pembahasan Permasalahan Penerapan KUHAP:

Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta : Sinar Grafika.

Ibrahim, Johnny. (2005). Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang : Bayu Media.

Paslyadja, Adnan. (1997). Hukum Pembuktian. Jakarta : Pusat Diktat Kejaksaan Republik Indonesia.

Prinst, Darwin. (1998). Hukum Acara Pidana Dalam Praktik. Jakarta : Djambatan.

Prodjohamidjojo, Martiman. (1989). Komentar atas KUHAP : Kitab


(2)

---. (2001). Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik

korupsi. Bandung : Mandar Maju.

Rahardjo, Satjipto. (1982). Ilmu Hukum. Bandung : Alumni.

Rosita, Lily. (2003). Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana. Bandung : Mandar Maju.

Soekanto, Soerjono. (2004). Penelitian Hukum Normatif. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

---. (1986). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia press.

Soesono, Slamet. (1986). Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Gramedia.

Waluyo, Bambang. (1992). Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika.

Widhayanti, Erni. (1988). Hak-hak Tersangka / Terdakwa di Dalam KUHAP. Yogyakarta: Liberty.

2. Kitab-kitab

KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) karangan R. Soesilo.

KUHAP (Kitab Undan-Undang Hukum Acara Pidana) karangan M. Karjadi dan R. Soesilo. Bogor : Politeia. 1997

KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) Surabaya : Karya Anda Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya : Greisinda Press. Fahmi Idrus.


(3)

3. Internet

www. detiknews.com, diakses pada tanggal 26 Mei 2010, Pukul 14.41 wib www. tempo interaktif. com, diakses pada tanggal 26 Mei 2010, Pukul 13.41 wib www. pemantau peradilan. com


(4)

BAB III

IMPLIKASI YURIDIS PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM PERSIDANGAN TERHADAP KEKUATAN

ALAT BUKTI

A. Pencabutan Keterangan Terdakwa Dalam Persidangan (di Pengadilan Negeri Tebing Tinggi)

1. Kasus Posisi

Paparan kasus perkara perkosaan di Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Nomor: 43 / Pid. B / 2009 / PN-TTD :

a. Kasus Posisi Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Nomor: 43 / Pid. B / 2009 / PN - TTD. Identitas Terdakwa:

Bahwa terdakwa I HENDRA SANTO TAMPUBOLON alias HENDRA, tempat / tanggal lahir Sigumpar, 03 Maret 1988, umur 20 Tahun, jenis kelamin laki-laki, berkebangsaan Indonesia, tempat tinggal Dusun IV Desa Bakaran Batu Kecamatan Sei Bamban Kabupaten Serdang Bedagai, agama Kristen Protestan, pekerjaan Tukang Becak Mesin.

Bahwa terdakwa II PARNINGOTAN TAMBA alias INGOT, tempat / tanggal lahir Kelapa Tinggi, 28 April 1980, umur 28 Tahun, jenis kelamin laki-laki, berkebangsaan Indonesia, tempat tinggal Dusun III Desa Bakaran Batu Kecamatan Sei Bamban Kabupaten Serdang Bedagai, agama Kristen Protestan, pekerjaan Petani.

Bahwa para terdakwa pada hari Jumat tanggal 26 September 2008 sekira pukul 22.00 WIB atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan September 2008, bertempat di dusun XVII Desa Sei Bamban Kecamatan Sei. Bamban


(5)

Kabupaten Serdang Bedagai tepatnya di areal persawahan atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli, melakukan atau turut melakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dalam hal ini korban bernama Juliana br Tambunan.

b. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Mengingat akan Perbuatan para terdakwa pada hari Jumat tanggal 26 September 2008 sekira pukul 22.00 WIB atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan September 2008, bertempat di dusun XVII Desa Sei Bamban Kecamatan Sei. Bamban Kabupaten Serdang Bedagai tepatnya di areal persawahan atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli, melakukan atau turut melakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dalam hal ini korban bernama Juliana br Tambunan. Berdasar uraian di atas para terdakwa di dakwa dengan ancaman pidana menurut Pasal 285 Jo Pasal 55 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

c. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

Berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh selama pemeriksaan di persidangan, akan diuraikan unsur-unsur dakwaan dalam Pasal 285 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, adalah sebagai berikut:


(6)

1) Unsur barang siapa;

Yang dimaksud barang siapa di sini adalah setiap orang atau siapa saja sebagai subyek hukum yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya jelas di sini yang dimaksud adalah terdakwa yang telah melakukan tindak pidana perkosaan atas dasar keterangan saksi-saksi, surat, barang bukti petunjuk, walaupun terdakwa sendiri tidak mengakuinya, karena hal yang demikian adalah petunjuk bagi kesalahan terdakwa. Apa yang telah dilakukan oleh terdakwa dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena sepanjang pemeriksaan dipersidangan terdakwa selalu dalam keadaan sehat jasmani dan sehat rohani. Dan tidak ditemukan alasan pemaaf atau pembenar terhadap diri terdakwa sehingga kepada terdakwa dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya, dengan demikian unsur ini telah terbukti dan terpenuhi . 2) Unsur dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang

bukan istrinya bersetubuh dengan dia;

Jika unsur ini dihubungkan dengan keterangan saksi-saksi yang menyatakan, bahwa telah terjadi perkosaan atau persetubuhan dengan paksa yang dilakukan oleh mereka (para terdakwa) pada hari Jum’at tanggal 26 September 2008 sekitar pukul 22.00 WIB, bertempat di Dusun XVII Desa Sei Bamban Kecamatan Sei Bamban Kabupaten Serdang Bedagai tepatnya di areal Persawahan, dimana terdakwa telah memperkosa saksi korban secara bergantian dengan paksa, dimana sebelumnya korban dan temannya IIN LASTRI sedang berjalan-jalan tiba – tiba para terdakwa datang dengan mengendarai becak mesin milik terdakwa I dan mengajak korban untuk makan mie goreng, saat itu IIN


(7)

LASTRI menolaknya sedangkan saksi korban menerima ajakan terdakwa-terdakwa dan langsung naik ke becak motor terdakwa-terdakwa I, kemudian mereka pergi meninggalkan saksi IIN LASTRI, namun sesampainya di DUSUN XVII Desa Sei Bamban Kecamatan Sei Bamban Kabupaten Serdang Bedagai terdakwa-terdakwa memaksa saksi korban untuk turun dari atas becak dan masuk ke dalam areal persawahan dan di tempat tersebut terdakwa-terdakwa secara bergantian memperkosa saksi korban secara paksa dengan mencekik lehernya dan membungkam mulutnya dengan kedua tangan mereka agar korban tidak bisa berteriak, dan setelah selesai memperkosanya kemudian terdakwa-terdakwa membawa korban ke dusun I desa Sei Bamban Kecamatan Sei Bamban Kabupaten Serdang Bedagai tepatnya di areal perkebunan Bamban Estate dan kembali memperkosa saksi korban secara bergantian, dan setelah merasa puas kemudian terdakwa-terdakwa pergi meninggalkan saksi korban sendirian di tempat tersebut, sehingga saksi korban menderita sakit sekali dan ditemukan luka baru menunjuk jam 2, 7, 9, dan terdapat sisa sperma pada liang vagina, sebagaimana disebutkan dalam Visum Et Repertum No.Pol.R./ VER.224/ X /2008/Dokkes tanggal 03 Oktober 2008 yang dibuat dan ditanda tangani di bawah sumpah jabatan oleh dr. SIM SIYEN, yang menyimpulkan bahwa terdapat luka baru pada selaput dara akibat bersentuhan dengan benda tumpul atau sejenisnya, walaupun terdakwa sendiri tidak mengakui perbuatannya dan telah mencabut atau tidak mengakui keterangannya, karena hal yang demikian adalah petunjuk terbuktinya perbuatan terdakwa. Maka dari uraian tersebut di atas jelas unsur ini telah terbukti secara sah dan menurut hukum.


(8)

3) Unsur setiap orang;

Unsur setiap orang ini adalah identik dengan barang siapa, yang telah dibuktikan tersebut diatas.

4) Unsur dilakukan lebih dari satu orang secara bersama-sama;

Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan dari keterangan saksi-saksi yang menerangkan bahwa benar perbuatan terdakwa-terdakwa memperkosa saksi korban dilakukan oleh terdakwa-terdakwa secara berganti-gantian, dimana ketika terdakwa I sedang memperkosa korban, terdakwa II mencekik leher korban dan menutupi mulutnya agar korban tidak bisa berteriak begitu juga sebaliknya ketika terdakwa II memperkosa II korban / saksi korban terdakwa I menutupi mulut korban, dengan demikian maka unsur ini telah terbukti dan terpenuhi secara hukum.

Oleh karena semua unsur dakwaan dalam Pasal 285 KUHP Jo Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, maka Jaksa Penuntut Umum pada pokoknya menuntut supaya Hakim / Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini berkenan memutus hal-hal sebagai berikut:

1. Menyatakan terdakwa HENDRA SANTO TAMPUBOLON alias

HENDRA,dan PARNINGOTAN TAMBA alias INGOT bersalah melakukan tindak pidana perkosaan sebagaimana diatur dalam Pasal 285 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dalam surat dakwaan Primair.

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa HENDRA SANTO


(9)

INGOT dengan pidana penjara selama 9 (sembilan) tahun dikurangkan masa penahanan sementara

3. Menyatakan barang bukti berupa satu buah celana dalam warna kuning muda dikembalikan kepada saksi korban atau yang paling berhak.

4. Menetapkan agar terdakwa HENDRA SANTO TAMPUBOLON alias HENDRA,dan PARNINGOTAN TAMBA alias INGOT dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 1000,-.

d. Putusan Hakim

Berdasarkan fakta-fakta hukum dan pertimbangan-pertimbangan hukum diatas, Majelis Hakim memutuskan:

1) Menyatakan terdakwa HENDRA SANTO TAMPUBOLON alias

HENDRA,dan PARNINGOTAN TAMBA alias INGOT telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “SECARA BERSAMA-SAMA MELAKUKAN PEMERKOSAAN”.

2) Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 9 (sembilan) tahun.

3) Menetapkan bahwa masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan sepenuhnya dari pidana yang dijatuhkan.

4) Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan.

5) Menetapkan barang bukti berupa celana dalam warna kuning muda dikembalikan kepada saksi korban JULIANA Br TAMBUNAN.

6) Membebankan pula kepada terdakwa untuk membayar ongkos perkara ini sebesar Rp. 1000,- (seribu rupiah).


(10)

Demikianlah diputuskan berdasarkan rapat permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli, pada hari SENIN tanggal 01 Juni 2009 oleh kami ABDUL HADI NASUTION, SH sebagai Hakim Ketua Majelis, NORA G. PASARIBU, SH dan HALIMATUSSAKDIAH, SH. Masing-masing sebagai Hakim Anggota, putusan tersebut diucapkan pada hari KAMIS tanggal 04 JUNI 2009 dalam persidangan yang terbuka untuk umum oleh Majelis Hakim tersebut, dengan dibantu oleh KASMAWATI Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri tersebut, serta dihadiri oleh FITRIYANI, SH dan LINCE ROSMINI, SH. Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Tebing Tinggi Deli dan dihadapan para terdakwa dengan didampingi oleh Penasehat Hukumnya.

e. Pertimbangan-Pertimbangan Hakim

Mengingat bahwa, dalam dakwaan yaitu Pasal 285 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengandung unsur sebagai berikut: 2) Barang siapa.

3) Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia atau orang lain.

4) Unsur dilakukan lebih dari satu orang secara bersama-sama.

Mengingat, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan satu persatu dari seluruh unsur yang terkandung dalam Pasal 285 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1).

a) Unsur Barang Siapa.

Bahwa unsur barang siapa adalah menunjuk siapa saja atau orang sebagai subjek hukum yang diajukan ke muka persidangan oleh Penuntut Umum karena


(11)

didakwa melakukan suatu tindak pidana. Bahwa yang dimaksud unsur barang siapa dalam perkara ini adalah HENDRA SANTO TAMPUBOLON alias HENDRA,dan PARNINGOTAN TAMBA alias INGOT yang telah ditanyakan identitasnya di muka persidangan, ternyata sesuai dengan identitas terdakwa yang termuat dalam surat dakwaan Penuntut Umum.

Bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan, apakah benar

terdakwa HENDRA SANTO TAMPUBOLON alias HENDRA,dan

PARNINGOTAN TAMBA alias INGOT tersebut di atas benar orang yang dimaksudkan oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai orang yang melakukan tindak pidana? maka Majelis Hakim akan menghubungkan unsur berikutnya.

b) Unsur “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia atau orang lain”.

bahwa sebagaimana fakta-fakta yang terungkap di muka persidangan, bahwa sejak semula terdakwa HENDRA SANTO TAMPUBOLON alias HENDRA, dan PARNINGOTAN TAMBA alias INGOT telah menyangkal dakwaan Penuntut Umum dan mencabut Berita Acara pemeriksaan terdakwa yang dibuat oleh penyidik, dengan alasan waktu itu dipaksa untuk mengaku, akan tetapi pada akhir persidangan yaitu pada acara pledoi atau pembelaan, Penasehat Hukum terdakwa secara tertulis memohon agar terdakwa diberikan ampunan dan diringankan seringan-ringannya, sementara terdakwa sendiri secara lisan mohon kepada Majelis Hakim supaya dijatuhi hukuman yang seringan-ringannya, dengan alasan terdakwa sangat menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi.


(12)

Bahwa dari fakta-fakta sebagaimana terurai di atas, maka terungkap bahwa

terdakwa HENDRA SANTO TAMPUBOLON alias HENDRA, dan

PARNINGOTAN TAMBA alias INGOT telah mengakui perbuatannya sebagaimana dakwaan Penuntut Umum.

Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas dihubungkan dengan fakta-fakta yang terungkap di muka persidangan, terungkap bahwa pada pada hari Jum’at tanggal 26 September 2008 sekitar pukul 22.00 WIB, bertempat di Dusun XVII Desa Sei Bamban Kecamatan Sei Bamban Kabupaten Serdang Bedagai tepatnya di areal Persawahan, dimana terdakwa telah memperkosa saksi korban secara bergantian dengan paksa, dimana sebelumnya korban dan temannya IIN LASTRI sedang berjalan-jalan tiba – tiba para terdakwa datang dengan mengendarai becak mesin milik terdakwa I dan mengajak korban untuk makan mie goreng, saat itu IIN LASTRI menolaknya sedangkan saksi korban menerima ajakan terdakwa-terdakwa dan langsung naik ke becak motor terdakwa I, kemudian mereka pergi meninggalkan saksi IIN LASTRI, namun sesampainya di DUSUN XVII Desa Sei Bamban Kecamatan Sei Bamban Kabupaten Serdang Bedagai terdakwa-terdakwa memaksa saksi korban untuk turun dari atas becak dan masuk ke dalam areal persawahan dan di tempat tersebut terdakwa-terdakwa secara bergantian memperkosa saksi korban secara paksa dengan mencekik lehernya dan membungkam mulutnya dengan kedua tangan mereka agar korban tidak bisa berteriak, dan setelah selesai memperkosanya kemudian terdakwa-terdakwa membawa korban ke dusun I desa Sei Bamban Kecamatan Sei Bamban Kabupaten Serdang Bedagai tepatnya di areal perkebunan Bamban Estate dan


(13)

kembali memperkosa saksi korban secara bergantian, dan setelah merasa puas kemudian terdakwa-terdakwa pergi meninggalkan saksi korban sendirian di tempat tersebut, sehingga saksi korban menderita sakit sekali dan ditemukan luka baru menunjuk jam 2, 7, 9, dan terdapat sisa sperma pada liang vagina, sebagaimana disebutkan dalam Visum Et Repertum No.Pol.R./VER.224/X/2008/Dokkes tanggal 03 Oktober 2008 yang dibuat dan ditanda tangani di bawah sumpah jabatan oleh dr. SIM SIYEN, yang menyimpulkan bahwa terdapat luka baru pada selaput dara akibat bersentuhan dengan benda tumpul atau sejenisnya, walaupun terdakwa sendiri tidak mengakui perbuatannya dan telah mencabut atau tidak mengakui keterangannya, karena hal yang demikian adalah petunjuk terbuktinya perbuatan terdakwa. Maka dari uraian tersebut di atas jelas unsur ini telah terbukti secara sah dan menurut hukum.

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka terbukti bahwa terdakwa HENDRA SANTO TAMPUBOLON alias HENDRA,dan PARNINGOTAN TAMBA alias INGOT adalah benar orang atau subyek hukum yang melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Penuntut Umum pada bagian primair tersebut sehingga dengan demikian kedua unsur tersebut di atas telah terpenuhi menurut hukum.

Mengingat, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka terbukti seluruh unsur dari Pasal 285 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, di atas telah terpenuhi oleh perbuatan terdakwa, oleh karenanya terdakwa tersebut haruslah dinyatakan bersalah melakukan tindak


(14)

pidana sebagaimana tersebut dan kepadanya harus dihukum dengan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya yaitu berupa pidana penjara dan denda.

Bahwa selama proses pemeriksaan perkara ini tidak ditemukan adanya alasan pembenar maupun pemaaf terhadap diri terdakwa, maka terhadap terdakwa tersebut haruslah mempertanggungjawabkan atas perbuatannya yang telah dilakukan.

Bahwa selama pemeriksaan perkara ini terdakwa ditahan, maka cukup alasan bagi Majelis untuk mengurangkan lamanya terdakwa ditahan dari pidana penjara yang dijatuhkan, serta memerintahkan supaya terdakwa tetap ditahan.

Bahwa karena terdakwa dinyatakan bersalah dan dihukum, maka kepadanya dihukum pula untuk membayar biaya perkara.

Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan pidana, Majelis akan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan maupun hal-hal yang meringankan.

Hal-hal yang memberatkan:

1) Terdakwa terdakwa telah merusak masa depan saksi korban JULIANA Br TAMBUNAN

2) Terdakwa tidak merasa bersalah

3) Terdakwa berbelit-belit dalam memberikan keterangan. Hal-hal yang meringankan:

1) Terdakwa masih muda dan belum pernah dihukum.


(15)

Berdasar dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap perbuatan terdakwa Hendra Santo Tampubolon alias Hendra dan terdakwa Parningotan Tamba alias Ingot yang dilakukan secara bersama-sama, disusun secara tunggal (dakwaan tunggal) yakni seperti apa yang tertera pada halaman sebelumnya tentang surat dakwaan, dan mengingat akan pertimbangan-pertimbangan hakim dan fakta-fakta hukum beserta Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi yang tertera pada halaman sebelumnya maka menurut penulis dakwaan tersebut bersifat kabur sebab tidak melihat dan / atau memperhatikan fakta-fakta hukum yang tersirat di lapangan. Penulis menilai bahwa putusan hakim sudah tepat dengan kata lain penulis sependapat dengan putusan tersebut, sebab unsur terorganisir yang terjadi dalam peristiwa ini telah terpenuhi dalam putusan tersebut.

Berdasar isi Pasal 189 ayat (1) KUHAP yang berbunyi, sebagai berikut :

“Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri”

Mengingat / memperhatikan ketentuan Pasal di atas menandakan bahwa apa yang dinyatakan terdakwa dalam persidangan merupakan hal yang sebenarnya Namun, ketentuan itu ternyata tidak mutlak, karena keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat pula digunakan untuk membantu menemukan bukti di persidangan asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya (Pasal 189 ayat (2) KUHAP).

Terdakwa sering menyangkal di persidangan atas apa yang didakwakan kepadanya, baik sebagian atau semua keterangan pengakuan yang diberikannya di tingkat penyidikan dikarenakan, pada saat memberikan keterangan di hadapan penyidik,


(16)

terdakwa dipaksa atau diancam dengan kekerasan baik fisik maupun psikis untuk mengakui tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

Hal ini dapat dimaklumi karena pada prinsipnya KUHAP menganut asas fair trial, dimana dalam asas ini terdakwa memiliki hak untuk memberikan keterangan secara bebas (Pasal 153 ayat (2) huruf b KUHAP), termasuk hak untuk menarik keterangannya di sidang pengadilan. Namun satu hal yang perlu diingat, KUHAP hanya memberikan jaminan kebebasan untuk memberikan keterangan, bukan kebebasan untuk menyampaikan kebohongan. Menyangkal atau mengingkari pengakuan tersebut, maka sesungguhnya terdakwa telah melakukan pencabutan keterangan di persidangan, yaitu keterangan yang terkait dengan pengakuan yang telah diberikan terdakwa di hadapan penyidik dan tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

Intinya bahwa keterangan terdakwa yang dicabut dalam persidangan pengadilan adalah keterangan pengakuan terdakwa yang diberikan pada saat pemeriksaan penyidikan. Pengakuan tersebut dimuat dalam Berita Acara Pemeriksaan penyidikan yang ditandatangani oleh terdakwa dan penyidik.

Berdasarkan hasil pemeriksaan di persidangan, diketahui bahwa benar telah terjadi pencabutan keterangan terdakwa, dimana terdakwa HENDRA SANTO TAMPUBOLON alias HENDRA,dan PARNINGOTAN TAMBA alias INGOT dalam keterangannya di persidangan, menarik seluruh keterangan pengakuan yang diberikannya pada tingkat pemeriksaan penyidikan di kepolisian. Dengan alasan bahwa pada waktu diinterogasi di depan Penyidik, terdakwa dipaksa untuk mengaku dan dipukul sehingga merasa tersiksa baik fisik maupun psikisnya.

Keterangan terdakwa di muka persidangan yang menyangkal atau mengingkari isi BAP dari Penyidik inilah, yang merupakan inti dari bentuk pencabutan keterangan


(17)

terdakwa dalam persidangan, dimana dalam persidangan terdakwa HENDRA SANTO TAMPUBOLON alias HENDRA, dan PARNINGOTAN TAMBA alias INGOT secara jelas dan terbukti telah menyangkal tuntutan Penuntut Umum dengan memberikan keterangan kepada Majelis Hakim yang pada pokoknya terdakwa tidak membenarkan seluruh isi dari BAP.

Untuk menjelaskan perihal terjadinya pencabutan keterangan oleh terdakwa dalam persidangan, berikut akan diuraikan fakta-fakta yang menandakan telah terjadinya pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan:

a. Fakta dari hasil pemeriksaan alat bukti keterangan terdakwa dalam persidangan disesuaikan dengan pengakuan terdakwa dalam BAP.

Berikut beberapa hasil pemeriksaan di pengadilan terhadap terdakwa HENDRA SANTO TAMPUBOLON alias HENDRA, dan PARNINGOTAN TAMBA alias INGOT yang menunjukan adanya penyangkalan atas isi BAP berdasarkan pertanyaan hakim dalam persidangan:

1) Terdakwa HENDRA SANTO TAMPUBOLON alias HENDRA, dan

PARNINGOTAN TAMBA alias INGOT tidak didampingi oleh Penasihat Hukum dalam pemeriksaan di tingkat penyidikan .

2) Terdakwa HENDRA SANTO TAMPUBOLON alias HENDRA, dan

PARNINGOTAN TAMBA alias INGOT mengatakan, bahwa dirinya saat diperiksa oleh Penyidik dirinya diancam (dipaksa) dan dipukul dengan kayu rotan oleh penyidik

3) Terdakwa HENDRA SANTO TAMPUBOLON alias HENDRA, dan


(18)

BAP tidak benar karena terdakwa merasa dirinya tidak pernah melakukan tindak pidana perkosaan.

4) Terdakwa HENDRA SANTO TAMPUBOLON alias HENDRA, dan

PARNINGOTAN TAMBA alias INGOT mengatakan, bahwa pada saat diperiksa oleh Penyidik dirinya diancam (dipaksa) dan dipukul oleh penyidik.

Uraian di atas menerangkan bahwa terdakwa HENDRA SANTO TAMPUBOLON alias HENDRA, dan PARNINGOTAN TAMBA alias INGOT telah menyangkal semua isi BAP atau mengingkari semua pengakuan yang diberikannya di tingkat pemeriksaan penyidikan, selain itu terdakwa juga memberikan keterangan baru yang tidak diutarakan di depan penyidik. Dengan adanya penyangkalan atau pengingkaran tersebut, maka terbukti bahwa terdakwa HENDRA SANTO TAMPUBOLON alias HENDRA, dan PARNINGOTAN TAMBA alias INGOT benar-benar telah mencabut keterangannya di sidang pengadilan.

b. Fakta yang termuat dalam surat tuntutan.

Dalam petikan surat tuntutan juga terdapat keterangan yang menunjukan adanya pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan, antara lain sebagai berikut:

“Keterangan terdakwa yang tidak mengakui Berita Acara Pemeriksaan dari Penyidik dan tidak mengakui perbuatannya dan memberikan keterangan yang berbelit-belit, juga mencabut semua keterangan yang diberikannya waktu penyidikan, adalah tanpa alasan yang mendasar”.


(19)

Petikan surat tuntutan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya Penuntut Umum juga menilai telah terjadi pencabutan keterangan terdakwa di persidangan. Penilaian penuntut umum ini semakin memperjelas, bahwa terdakwa HENDRA SANTO TAMPUBOLON alias HENDRA, dan PARNINGOTAN TAMBA alias INGOT memang telah mencabut keterangannya di sidang pengadilan.

c. Fakta yang tertuang dalam petikan putusan pidana.

Dalam petikan putusan pengadilan terutama pada bagian pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim terhadap keterangan terdakwa, juga terdapat penjelasan yang menandakan adanya pencabutan keterangan terdakwa di persidangan. Berikut petikannya:

Bahwa pada intinya terdakwa dalam keterangannya di muka persidangan menyangkal semua dakwaan Penuntut Umum.

Bahwa di muka persidangan terdakwa menarik seluruh keterangannya yang tertuang di Berita Acara yang di buat Penyidik, dengan alasan bahwa pada waktu diinterogasi di depan Penyidik terdakwa dipaksa untuk mengaku dan waktu di depan Penyidik terdakwa di pukul.

Berdasarkan fakta-fakta di atas, diketahui dan terbukti bahwa terdakwa HENDRA SANTO TAMPUBOLON alias HENDRA, dan PARNINGOTAN TAMBA alias INGOT dalam persidangan benar-benar telah mencabut keterangan pengakuan yang diberikannya di tingkat pemeriksaan penyidikan. Namun demikian, yang menjadi masalah utama dalam penulisan hukum ini, bukanlah


(20)

masalah dicabut atau tidaknya keterangan terdakwa dalam persidangan, melainkan masalah mengenai bagaimana ketentuan hukumnya pencabutan keterangan terdakwa tersebut ? (Apakah undang-undang membenarkan pencabutan keterangan yang diberikan terdakwa di luar sidang, dan bagaimana sikap hakim dalam menghadapi dan menilai keterangan pengakuan yang dicabut kembali oleh terdakwa?) Untuk menjawabnya, maka penulis dalam pembahasan ini akan menganalisa dan melakukan tinjauan lebih lanjut terkait dengan masalah pencabutan keterangan yang dilakukan oleh terdakwa HENDRA SANTO TAMPUBOLON alias HENDRA, dan PARNINGOTAN TAMBA alias INGOT .

Secara yuridis, terdakwa “berhak” dan dibenarkan “mencabut kembali” keterangan pengakuan yang diberikan dalam penyidikan. Undang-undang pun pada dasarnya tidak membatasi hak terdakwa untuk mencabut kembali keterangan yang demikian, asalkan pencabutan dilakukan selama pemeriksaan persidangan pengadilan berlangsung dan pencabutan itu mempunyai landasan alasan yang berdasar dan logis.48

Pencabutan kembali tanpa dasar yang logis adalah pencabutan yang tidak dapat dibenarkan oleh hukum, sebagaimana ditegaskan oleh beberapa yurisprudensi, yang dijadikan pedoman dalam praktek peradilan sampai sekarang. Hal ini dapat dilihat dari putusan Mahkamah Agung tanggal 23 Februari 1960, No. 299 K / Kr / 1959, yang menjelaskan:

48

M. Yahya Harahap. (2006). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP :

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua,

Jakarta: Sinar Grafika, hal. 325


(21)

“pengakuan terdakwa di luar sidang yang kemudian di sidang pengadilan dicabut tanpa alasan yang berdasar merupakan petunjuk tentang kesalahan terdakwa”.

Dari putusan ini dapat dilihat, antara lain:

1) Pencabutan keterangan pengakuan yang dibenarkan hukum adalah pencabutan yang dilandasi dengan alasan yang berdasar dan logis,

2) Pencabutan tanpa dasar alasan, tidak dapat diterima,

3) Penolakan pencabutan keterangan pengakuan, mengakibatkan pengakuan tetap dapat dipergunakan sebagai pembantu menemukan alat bukti.

Yurisprudensi yang senada dengan putusan di atas, antara lain putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Februari 1960, No. 225 K / Kr / 1960, tanggal 25 Juni 1961, No. 6 K / Kr / 1961 dan tanggal 27 September 1961, No. 5 K / Kr / 1961, yang menegaskan:

“pengakuan yang diberikan di luar sidang tidak dapat dicabut kembali tanpa dasar alasan”.49

Putusan-putusan di atas jelas menggambarkan bahwa setiap pencabutan wajib disertai dengan alasan yang berdasar dan logis. Pencabutan harus disertai dengan alasan yang berdasar dan logis mengandung arti, bahwa pencabutan tersebut harus didasari alasan-alasan yang dapat dibuktikan kebenarannya. Sehingga bila terdakwa mencabut keterangannya di persidangan dengan alasan bahwa pada saat pemeriksaan penyidikan dirinya diancam, dipaksa atau dipukul

49


(22)

oleh penyidik, maka hakim harus membuktikan alasan tersebut terlebih dahulu, sebelum menerima atau menolak pencabutan keterangan terdakwa.

Walaupun terdakwa dibolehkan untuk mencabut keterangannya di persidangan, namun kenyataannya pencabutan keterangan terdakwa di persidangan sulit untuk dapat diterima oleh Hakim, salah satu alasannya adalah bahwa setelah dilakukan cross check dengan saksi verbalisan (penyidik) yang memeriksa terdakwa pada tingkat penyidikan, ternyata alasan terdakwa yang mendasari pencabutan tersebut tidak terbukti, sehingga pencabutan ditolak oleh hakim.

Uraian di atas jelas disebutkan bahwa terdakwa HENDRA SANTO TAMPUBOLON alias HENDRA, dan PARNINGOTAN TAMBA alias INGOT dalam persidangan pengadilan mencabut semua keterangan pengakuan yang diberikannya di depan penyidik dengan alasan bahwa pada saat diinterogasi di depan Penyidik, terdakwa dipaksa untuk mengaku dan dipukul sehingga merasa tersiksa baik fisik maupun psikisnya. Akan tetapi, saat pembacaan putusan, hakim menolak pencabutan tersebut, dengan pertimbangan-pertimbangan pokok sebagai berikut:

Mengingat, bahwa sejak awal persidangan telah pula didengar keterangan saksi verbalisan yang telah disumpah menurut agamanya, menerangkan bahwa pemeriksaan terdakwa HENDRA SANTO TAMPUBOLON alias HENDRA, dan PARNINGOTAN TAMBA alias INGOT tidak ada pemaksaan.


(23)

Menimbang, bahwa sejak awal persidangan yaitu pada waktu pemeriksaan saksi-saksi, terdakwa menanggapi bahwa semua keterangan saksi yang menyangkut inti dakwaan adalah tidak benar, akan tetapi pada akhir persidangan yaitu pada waktu terdakwa ataupun penasehat hukum terdakwa diberikan kesempatan untuk mengajukan pembelaan, pada pokoknya pembelaan penasihat hukum terdakwa mohon supaya terdakwa diberikan ampunan dan keringanan seringan-ringannya, sementara dari terdakwa sendiri secara lisan mohon supaya dijatuhi hukuman yang seringan-ringannya, dengan alasan menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi.

bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka tampak jelas terdakwa mengakui perbuatannya sebagaimana dakwaan penuntut umum, dan oleh karenanya penyangkalan dan pencabutan keterangan yang tertuang dalam Berita Acara Penyidik karena tidak beralasan, maka haruslah ditolak.

Petikan di atas jelas diketahui bahwa setidaknya ada dua unsur penting yang dijadikan alasan atau pertimbangan oleh hakim dalam menolak pencabutan keterangan pengakuan terdakwa HENDRA SANTO TAMPUBOLON alias HENDRA, dan PARNINGOTAN TAMBA alias INGOT , yaitu:

1) Unsur keterangan saksi verbalisan, dan

2) Unsur peninjauan terhadap pembelaan terdakwa.

Terhadap kedua unsur di atas penulis akan mencoba untuk melakukan analisa dan kajian lebih jauh dengan tujuan agar diperoleh pembahasan yang lebih mendalam atas permasalahan dalam penulisan hukum ini.


(24)

1) Unsur keterangan saksi verbalisan.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa salah satu pertimbangan hakim dalam menolak pencabutan tersebut karena adanya keterangan saksi verbalisan yang menerangkan bahwa pemeriksaan terhadap terdakwa di kantor polisi tidak ada pemaksaan. Dengan adanya keterangan saksi verbalisan ini, maka alasan pencabutan yang mengatakan dirinya (terdakwa) telah diancam, dipaksa untuk mengaku dan dipukul oleh penyidik, tidak terbukti. Berdasarkan keterangan ini, hakim menilai bahwa dengan tidak terbuktinya alasan pencabutan tersebut, maka pencabutan tidak dapat diterima.

Melihat kebiasaan yang terjadi dalam persidangan, setiap kali terjadi pencabutan keterangan oleh terdakwa terkait dengan adanya pemaksaan maupun penyiksaan dalam penyidikan, maka sudah dapat dipastikan bahwa tindakan pertama dari hakim dalam menyikapi pencabutan ini adalah dengan memanggil saksi verbalisan, guna dilakukan cross check atau klarifikasi dengan penyidik, guna membuktikan kebenaran alasan dari pencabutan keterangan terdakwa. Dengan mengetahui secara langsung keterangan dari saksi verbalisan mengenai proses dan tata cara pemeriksaan yang dilakukan penyidik, maka hakim akan mengetahui apakah telah terjadi pemaksaan atau ancaman terhadap diri terdakwa pada saat penyidikan.

Bila dari hasil klarifikasi diketahui bahwa benar atau terbukti telah terjadi pemaksaan, ancaman dan penyiksaan terhadap diri terdakwa maka alasan pencabutan dapat diterima, sehingga keterangan yang terdapat dalam BAP


(25)

dianggap tidak benar, dan keterangan itu (BAP) tidak dapat digunakan sebagai landasan untuk membantu menemukan bukti di sidang pengadilan.

Sebaliknya, jika hasil klarifikasi diketahui ternyata tidak terjadi pemaksaan, ancaman dan penyiksaan terhadap diri terdakwa, maka alasan pencabutan tidak dibenarkan, sehingga keterangan pengakuan terdakwa yang tercantum dalam BAP tetap dianggap benar dan hakim dapat mempergunakannya sebagai alat untuk membantu menemukan bukti di sidang pengadilan.50

a) Dengan disumpah;

Begitu besar pengaruh keterangan saksi verbalisan terhadap diterima atau tidaknya pencabutan keterangan terdakwa, membuat kedudukan keterangan saksi verbalisan menjadi sangat penting, terutama bagi hakim. Melihat begitu besarnya peranan keterangan saksi verbalisan dalam masalah pencabutan ini, maka penulis merasa perlu untuk mengkaji dasar-dasar yang menjadi landasan hakim dalam mempercayai keterangan saksi verbalisan tersebut, karena hakim tentunya mempunyai dasar yang kuat dalam mempercayai keterangan saksi verbalisan.

Pada dasarnya seorang hakim tidak boleh langsung mempercayai keterangan saksi verbalisan, karena mungkin saja keterangan dari penyidik juga terdapat unsur kebohongan, untuk menghindari hal tersebut hakim memilik beberapa prinsip yang menjadi landasan hakim dalam menilai kebenaran keterangan saksi verbalisan, antara lain yaitu:

50


(26)

Sumpah dilakukan menurut agama atau keyakinan saksi verbalisan, sumpah bertujuan agar saksi verbalisan dalam memberikan keterangannya tidak berdusta. Karena sumpah dilakukan atas nama Tuhan, maka diyakini bahwa setelah disumpah saksi verbalisan tidak akan memberikan keterangan bohong (lie) maupun keterangan palsu (perjury), dengan asumsi bila saksi verbalisan memberikan keterangan bohong atau palsu, maka akan mendapatkan hukuman langsung dari Tuhan.

Namun demikian, ternyata sumpah saja tidak cukup untuk membuktikan kebenaran keterangan saksi verbalisan dan tidak menjamin sepenuhnya kebenaran keterangan saksi verbalisan, karena pada kenyataannya masih mungkin saksi verbalisan memberikan keterangan bohong maupun keterangan palsu meskipun telah disumpah. Terlepas dari hal demikian, setidaknya sumpah mampu memberikan tambahan keyakinan bagi Hakim dalam menilai dan mempercayai kebenaran keterangan saksi verbalisan.

b) Menghubungkan keterangan saksi verbalisan dengan alat-alat bukt i lainnya; Hakim tidak serta merta mempercayai keterangan saksi verbalisan, karena tidak tertutup kemungkinan saksi verbalisan dapat memberikan keterangan bohong maupun keterangan palsu meskipun telah disumpah. Oleh karena itu sekedar sumpah saja tidaklah cukup bagi hakim untuk mempercayai keterangan saksi verbalisan, melainkan harus didukung oleh keterangan alat-alat bukti lain yang mengacu pada kebenaran keterangan saksi verbalisan.

Adanya kesesuaian antara keterangan saksi verbalisan dengan keterangan alat-alat bukti lain, hakim akan merasa lebih yakin dalam mempercayai


(27)

keterangan saksi verbalisan. Sehingga penting bagi hakim untuk melakukan analisa dan mencari keterkaitan antara keterangan saksi verbalisan dengan keterangan alat-alat bukti lainnya, guna mendapatkan sebenar-benarnya keyakinan atas kebenaran keterangan saksi verbalisan.

c) Kepercayaan atas kode etik korps jabatan.

Setiap penegak hukum pasti memiliki etika profesi sesuai dengan jabatannya. Selain itu penegak hukum juga berkewajiban melaksanakan jabatannya sesuai dengan kode etik profesinya. Bagi penegak hukum sendiri, ada kode etik yang harus ditaati dan dijunjung tinggi sebagai pedoman dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum.

Salah satu kode etik korps penegak hukum adalah kewajiban untuk berlaku jujur, saling menghormati dan saling membantu antara sesama penegak hukum. Berdasarkan hal ini kiranya dapat dimengerti bahwa sebagai penegak hukum hakim dan penyidik (polisi) harus saling percaya, saling menghormati dan saling membantu atau bekerja sama dalam menegakkan hukum.

Atas dasar tersebut hakim merasa dapat mempercayai keterangan saksi verbalisan, karena hakim menilai bahwa penyidik dalam memberikan keterangan pastilah dilandasi dengan kode etik korps penegak hukum yaitu kejujuran, sehingga tidak mungkin akan memberikan keterangan bohong atau keterangan palsu yang dapat mencoreng kehormatan korps penegak hukum.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa sebenarnya hakim tidak boleh serta-merta mempercayai keterangan saksi verbalisan, dan


(28)

menjadikannya sebagai dasar penolakan pencabutan keterangan terdakwa, karena jika hakim hanya mempercayai keterangan saksi verbalisan saja, maka dapat dikatakan hakim cenderung tidak adil karena sifatnya yang subyektif atau sepihak.

Apabila hakim mempercayai keterangan saksi verbalisan tanpa mempertimbangkan hal-hal lain, dikhawatirkan dapat merugikan terdakwa dalam pembelaan diri. Untuk itu hakim perlu memikirkan pertimbangan-pertimbangan lain, termasuk isi hati nuraninya sendiri, sebelum memutuskan menerima keterangan saksi verbalisan tersebut.

2) Unsur peninjauan terhadap pembelaan terdakwa.

Selain keterangan saksi verbalisan, yang menjadi dasar penolakan hakim atas pencabutan keterangan terdakwa HENDRA SANTO TAMPUBOLON alias HENDRA, dan PARNINGOTAN TAMBA alias INGOT adalah adanya kejanggalan pada isi pembelaan terdakwa. Pada pembelaannya penasehat hukum terdakwa pada pokoknya memohon agar terdakwa diberikan ampunan dan keringanan seringan-ringannya, sementara terdakwa sendiri secara lisan mohon supaya dijatuhi hukuman yang seringan-ringannya, dengan alasan menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi.

Berdasar isi pembelaan tersebut diketahui bahwa secara tidak langsung terdakwa telah mengakui perbuatannya sebagaimana dakwaan penuntut umum, karena logikanya bila terdakwa memang benar-benar tidak melakukan tindak pidana, pasti dalam pembelaannya akan memuat permohonan untuk dibebaskan dari segala tuntutan sedangkan dalam pembelaan terdakwa HENDRA SANTO TAMPUBOLON alias HENDRA, dan PARNINGOTAN TAMBA alias INGOT,


(29)

yang termuat adalah permohonan untuk dijatuhi hukuman yang seringan-ringannya, isi pembelaan ini sangat berlawanan dengan sikap terdakwa yang selama persidangan bersikeras menganggap dirinya tidak melakukan tindak pidana perkosaan sebagaimana dakwaan penuntut umum.

Adanya kejanggalan dalam pembelaan tersebut maka hakim menarik kesimpulan bahwa sebenarnya terdakwa mengakui perbuatannya sesuai dakwaan penuntut umum, walaupun tidak diucapkannya secara langsung. Dan berdasarkan hal ini pula, hakim merasa wajib untuk menolak pencabutan keterangan pengakuan terdakwa yang diberikan pada saat pemeriksaan penyidikan.

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam perkara HENDRA SANTO TAMPUBOLON alias HENDRA, dan PARNINGOTAN TAMBA alias INGOT, hakim membuktikan alasan pencabutan keterangan terdakwa dengan mencari petunjuk melalui klarifikasi dengan saksi verbalisan dan melalui peninjauan terhadap isi pembelaan terdakwa. Setelah melakukan peninjauan terhadap dua hal tersebut pada akhirnya hakim cukup merasa yakin untuk memutuskan bahwa alasan pencabutan keterangan terdakwa tersebut tidak dapat diterima karena tidak beralasan atau tidak terbukti kebenarannya.

Menurut penulis, pertimbangan hakim yang menolak pencabutan keterangan terdakwa hanya dengan dasar petunjuk dari keterangan saksi verbalisan dan isi pembelaan sangatlah riskan dan dikhawatirkan dapat merugikan terdakwa dalam pembelaan diri. Oleh karena itu, sebaiknya hakim mencari pertimbangan-pertimbangan lain sebelum memutuskan menerima atau menolak pencabutan keterangan terdakwa, dari pada sekedar mempertimbangkan


(30)

keterangan saksi verbalisan dan isi pembelaan, walaupun keterangan saksi verbalisan dan peninjauan terhadap isi pembelaan juga cukup penting, namun akan lebih baik bila hakim mencari pertimbangan-pertimbangan lain agar dalam mempertimbangkan alasan penolakan pencabutan dapat lebih mantap dan utuh tanpa keragu-raguan.

Ada beberapa hal yang masih dapat dijadikan pertimbangan oleh hakim sebelum memutuskan menerima atau menolak pencabutan keterangan terdakwa, adalah dengan mempertimbangkan secara seksama semua alat bukti dan fakta maupun keadaan yang ditemukan selama persidangan berlangsung atau dengan kata lain hakim harus menganalisa keterkaitan hubungan antar tiap-tiap alat bukti, barang bukti dan keadaan selama persidangan berlangsung.

Menilai alasan pencabutan keterangan pengakuan, memerlukan kearifan dan ketelitian, hal ini sering dilupakan oleh hakim. Kadangkala penolakan hakim atas pencabutan, hanya didasari oleh keterangan saksi verbalisan semata tanpa mempertimbangkan keadaan-keadaan lain di sekitarnya.

Menghadapi adanya pencabutan pengakuan dari terdakwa, hakim dituntut memiliki kemampuan kecakapan hukum dan keterampilan penguasaan yang matang akan seluk-beluk pembuktian dan penilaian kekuatan pembuktian yang diatur dalam hukum acara pidana serta dipadu dengan intuisi dan “seni mengadili”. Jika semua ini dimiliki hakim, maka hakim akan mampu menilai dan mempertimbangkan alasan pencabutan dengan mantap dan utuh.51

51


(31)

Karena masalah pencabutan keterangan pengakuan terdakwa di muka penyidik terletak sepenuhnya di pundak hakim, maka hakim harus sungguh-sungguh mempertimbangkan pencabutan ini secara arif dan bijaksana. Salah satunya adalah dengan melihat dan mencari keterkaitan hubungan antar tiap-tiap alat bukti, barang bukti dan fakta-fakta selama persidangan berlangsung.

Melakukan penilaian dan mencari hubungan yang ada pada tiap-tiap alat bukti, barang bukti, dan fakta-fakta yang ada selama persidangan berlangsung hakim akan memperoleh petunjuk yang berguna dalam mempertimbangkan diterima atau tidaknya pencabutan tersebut, lebih dari itu hakim akan memperoleh keyakinan dalam menilai kesalahan terdakwa, sehingga tidak ada keraguan dalam diri hakim saat menjatuhkan putusan pidana. Sebagai gambaran pentingnya hakim untuk mencari keterkaitan antar tiap-tiap alat bukti, barang bukti dan fakta-fakta yang ada selama persidangan dalam menyikapi pencabutan keterangan pengakuan oleh terdakwa, dapat dilihat dari kasus HENDRA SANTO TAMPUBOLON alias HENDRA, dan PARNINGOTAN TAMBA alias INGOT sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

Di persidangan terdakwa HENDRA SANTO TAMPUBOLON alias HENDRA, dan PARNINGOTAN TAMBA alias INGOT menyangkal dakwaan penuntut umum, dan mencabut pengakuannya yang tertuang dalam BAP, akan tetapi setelah dilakukan pemeriksaan terhadap alat-alat bukti ternyata tidak ada satu pun alat bukti yang mendukung penyangkalan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari hasil pemeriksaan alat-alat bukti sebagai berikut:


(32)

Hasil pemeriksaan terhadap saksi korban Juliana Tambunan diperoleh keterangan bahwa benar saksi telah diperkosa dan yang melakukan perkosaan tersebut adalah terdakwa HENDRA SANTO TAMPUBOLON alias HENDRA, dan PARNINGOTAN TAMBA alias INGOT .

b) Keterangan saksi Tiurlan br Samosir.

Hasil pemeriksaan terhadap saksi Tiurlan br Samosir di peroleh keterangan bahwa, saksi tahu anaknya diperkosa dari keterangan anaknya sewaktu pulang ke rumah, dan dari keterangan terdakwa waktu di kantor polisi.

c) Keterangan saksi Basrani.

Hasil pemeriksaan terhadap saksi Basrani diperoleh keterangan bahwa, saksi tahu korban Juliana br Tambunan diperkosa oleh terdakwa dari keterangan korban sendiri berdasarkan pertanyaan saksi Basrani kepada korban

d) Keterangan saksi verbalisan Ferry Manalu

Hasil pemeriksaan terhadap saksi verbalisan di peroleh keterangan bahwa, benar terdakwa HENDRA SANTO TAMPUBOLON alias HENDRA, dan PARNINGOTAN TAMBA alias INGOT dihadapan Penyidik mengaku dengan memberikan keterangan secara jelas bahwa terdakwa telah memperkosa Juliana br Tambunan.

e) Keterangan saksi ahli dr. Sim Siyen

Hasil pemeriksaan terhadap saksi ahli di peroleh keterangan bahwa, benar dari hasil pemeriksaan, saksi ahli menemukan luka baru akibat bersentuhan


(33)

dengan benda tumpul pada selaput dara alat kelamin korban dan juga terdapat sisa sperma pada liang vagina korban.

f) Barang bukti.

Celana dalam korban Juliana br Tambunan warna kuning muda yang terdapat bekas sperma.

Hasil pemeriksaan alat-alat bukti di pengadilan tersebut, diketahui bahwa pada pokoknya semua keterangan alat bukti memberikan keterangan yang sama, yaitu mengarahkan bahwa pelaku perkosaan adalah terdakwa HENDRA SANTO TAMPUBOLON alias HENDRA, dan PARNINGOTAN TAMBA alias INGOT. Akan tetapi, keterangan saksi saja belum dapat memberikan keyakinan yang utuh kepada hakim tentang kesalahan terdakwa, terlebih lagi dengan tidak adanya seorang saksi pun yang mengetahui dan secara langsung melihat terjadinya tindak pidana perkosaan.

Menghadapi keadaan seperti ini hakim dituntut untuk jeli dan cermat dalam menilai dan mempelajari tiap-tiap alat bukti, karena dengan kejelian dan kecermatan tersebut, hakim akan mampu melihat persesuaian yang ada antara alat bukti, barang bukti dan fakta-fakta yang ada selama persidangan berlangsung. Berdasarkan persesuaian tersebut, hakim akan menemukan petunjuk baru yang dapat memperkuat alasan hakim dalam melakukan penolakan pencabutan keterangan terdakwa.


(34)

Hasil pemeriksaan yang dapat digunakan hakim untuk mendapatkan petunjuk kasus HENDRA SANTO TAMPUBOLON alias HENDRA, dan PARNINGOTAN TAMBA alias INGOT adalah:

1) Keterangan saksi korban yang mengatakan bahwa benar dirinya telah diperkosa oleh terdakwa.

2) Keterangan semua saksi yang mengarah pada kesalahan terdakwa.

3) Hasil visum et repertum yang menunjukan adanya indikasi telah terjadi perkosaan terhadap diri korban, yaitu ditemukannya luka baru pada alat kelamin korban akibat benda tumpul.

4) Adanya barang bukti berupa celana dalam milik korban yang masih ada bekas air mani.

Dengan mendapatkan petunjuk baru tersebut setidaknya hakim akan lebih yakin dalam menguraikan alasan penolakannya terhadap pencabutan keterangan terdakwa. Sebab setidaknya ada petunjuk baru yang memperkuat petunjuk awal, petunjuk awal adalah petunjuk yang diperoleh hakim dari hasil peninjauan terhadap keterangan saksi verbalisan dan terhadap peninjauan isi pembelaan terdakwa.52

Hasil pembahasan terhadap kasus HENDRA SANTO TAMPUBOLON alias HENDRA, dan PARNINGOTAN TAMBA alias INGOT, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi sebab ditolaknya pencabutan oleh hakim adalah karena tidak terbuktinya alasan yang menjadi dasar pencabutan tersebut, dimana

52


(35)

setelah hakim melakukan persesuaian dalam persidangan terhadap alat-alat bukt i, barang bukti dan fakta-fakta lain yang ada dalam persidangan, ternyata tak satu pun yang dapat membenarkan alasan pencabutan tersebut.

Berdasarkan seluruh uraian di atas dan dari hasil penelitian di Pengadilan Negeri Tebing Tinggi dapat ditarik kesimpulan bahwa pada prinsipnya pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan boleh dilakukan oleh terdakwa, dengan syarat pencabutan dilakukan selama pemeriksaan persidangan pengadilan berlangsung dan disertai dengan alasan yang mendasar dan logis. Alasan yang mendasar dan logis tersebut mengandung arti bahwa alasan yang menjadi dasar pencabutan tersebut harus dapat dibuktikan kebenarannya dan diperkuat atau didukung oleh bukti-bukti lain yang menunjukkan bahwa alasan pencabutan tersebut benar dan dapat dibuktikan oleh hakim.


(36)

B. Implikasi Yuridis Pencabutan Keterangan Terdakwa dalam Persidangan Terhadap Kekuatan Alat Bukti

Pembahasan di atas telah dijelaskan bahwa pada dasarnya keterangan pengakuan yang diberikan di tingkat penyidikan, dapat dicabut kembali oleh terdakwa di persidangan. Bahkan undang-undang pun tidak membatasi hak terdakwa untuk mencabut kembali keterangan yang demikian, asalkan pencabutan tersebut dilakukan selama pemeriksaan persidangan pengadilan berlangsung dan disertai dengan alasan yang mendasar dan logis.

Suatu hal yang penting untuk diingat, hakim tidak boleh buru-buru menolak atau menerima begitu saja alasan pencabutan. Terlampau gampang menolak alasan pencabutan, berarti hakim yang bersangkutan, dengan sengaja merugikan kepentingan terdakwa dalam pembelaan diri. Sebaliknya terlalu gampang menerima alasan pencabutan, mengakibatkan terdakwa yang benar-benar bersalah akan dibebaskan dari pertanggung jawaban hukum, karena tidak jarang dijumpai kasus perkara yang tumpuan pembuktiannya tersimpul dalam pengakuan berita acara penyidikan. Artinya kunci yang membukakan pintu pembuktian sering harus dimulai dari keterangan pengakuan yang diberikan terdakwa dalam berita acara penyidikan.

Terlepas dari diterima atau tidaknya pencabutan keterangan terdakwa oleh hakim, dengan adanya pencabutan tersebut pasti akan mempengaruhi proses persidangan di pengadilan. Oleh karena itu perlu kesiapan dari hakim dan jaksa, terutama dalam hal penguasaan seluk-beluk pembuktian dan “seni mengadili”.


(37)

Hal ini penting mengingat pengaruh pencabutan tersebut sangat luas mulai dari penilaian pembuktian sampai pada putusan.

Implikasi dari adanya pencabutan keterangan terdakwa terhadap kekuatan alat bukti, dapat diketahui setelah adanya penilaian hakim terhadap alasan pencabutan tersebut, apakah hakim menerima atau menolak alasan pencabutan tersebut. Pencabutan keterangan terdakwa diterima oleh hakim mengakibatkan terdakwa bebas murni vrijspraak atas apa yang didakwakan (tuntutan) kepadanya dalam surat dakwaan, upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Penuntut Umum antara lain, kasasi dan terdakwa dapat mengajukan rehabilitasi. Mengenai proses ganti rugi yang merupakan bagian dari Praperadilan (Pasal 77 KUHAP) tidak mutlak tergantung kepada terdakwa. Tidak terkait dengan proses pembuktian, hal yang terjadi ialah proses penyidikan cacat hukum yang mengakibatkan dakwaan batal demi hukum, alternatifnya ialah dilakukan pemeriksaan kembali dalam proses penyidikan (BAP) agar hak azasi tersangka atau terdakwa terjamin / terlindungi. Selain itu, Apabila hakim menerima alasan pencabutan, berarti keterangan yang terdapat dalam berita acara penyidikan dianggap “tidak benar” dan keterangan itu tidak dapat dipergunakan sebagai landasan untuk membantu menemukan bukti di sidang pengadilan. Sebaliknya, apabila alasan pencabutan tidak dapat dibenarkan maka keterangan pengakuan yang tercantum dalam berita acara penyidikan tetap dianggap benar dan dapat dipergunakan sebagai landasan untuk membantu menemukan bukti di sidang pengadilan.53

53

Ibid


(38)

Bila pencabutan keterangan pengakuan terdakwa ditolak oleh hakim, karena dinilai alasan pencabutan keterangan tidak berdasar dan tidak logis, maka penolakan tersebut ikut membawa dampak bagi kekuatan alat bukti keterangan terdakwa itu sendiri, yaitu dengan ditolaknya pencabutan kembali tersebut, Hakim menilai bahwa keterangan terdakwa (tersangka) di depan penyidiklah yang mengandung unsur kebenaran dan mempunyai nilai pembuktian, sedangkan keterangan terdakwa di persidangan yang menyangkal semua isi BAP dinilai tidak benar dan tidak ada nilainya sama sekali dalam pembuktian.

Atas penilaian ini, Hakim kemudian menganggap keterangan terdakwa (tersangka) di depan penyidik (BAP) dapat digunakan sebagai petunjuk untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Karena pada dasarnya dengan ditolaknya pencabutan tersebut berarti pengakuan-pengakuan terdakwa yang tertulis dalam BAP diterima sebagai suatu kebenaran yang sangat membantu hakim dalam membuktikan kesalahan terdakwa.

Penggunaan keterangan pengakuan terdakwa sebagai petunjuk ini dipertegas dengan Putusan Mahkamah Agung tanggal 20 September 1977 No. 177 K / Kr / 1965, yang menegaskan:

“Bahwa pengakuan-pengakuan Terdakwa I dan II di muka polisi dan jaksa, ditinjau dalam hubungannya satu sama lain, dapat dipergunakan sebagai petunjuk untuk menetapkan kesalahan terdakwa”.

Isi putusan Mahkamah Agung di atas mengandung kaidah bahwa keterangan pengakuan yang diberikan di luar sidang, dapat dipergunakan hakim


(39)

sebagai “petunjuk” untuk menetapkan kesalahan terdakwa.54 Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa dengan ditolaknya pencabutan keterangan yang ada dalam BAP, maka terhadap keterangan yang tertulis dalam BAP tersebut, oleh hakim kemudian dijadikan petunjuk dalam menetapkan kesalahan terdakwa. Adapun pertimbangan hakim menggunakan keterangan dalam BAP sebagai petunjuk, adalah karena keterangan tersebut secara utuh menggambarkan kejadian peristiwa pidana yang didakwakan. Keutuhan ini mampu melengkapi dan menegaskan alat bukti yang ditemukan dalam persidangan pengadilan. Dengan kata lain, kedudukan keterangan pengakuan yang diberikan terdakwa di depan pemeriksaan penyidikan, tidak bisa berdiri sendiri. Fungsinya hanya dapat dipergunakan sebagai petunjuk untuk menyempurnakan pembuktian alat bukti lain. Atau berfungsi dan bernilai “untuk mencukupi dan “mengungkapkan” keterbuktian kesalahan terdakwa.55

Demikian halnya dengan kasus HENDRA SANTO TAMPUBOLON alias HENDRA, dan PARNINGOTAN TAMBA alias INGOT, dimana pencabutan keterangan yang dilakukan terdakwa HENDRA SANTO TAMPUBOLON alias HENDRA, dan PARNINGOTAN TAMBA alias INGOT, ditolak oleh Hakim dengan dasar bahwa alasan pencabutan tersebut tidak terbukti kebenarannya, karena setelah dilakukan cross check dengan saksi verbalisan dan setelah Hakim melakukan pengamatan atas fakta-fakta dan alat-alat bukti dalam persidangan ternyata tidak satu pun yang dapat membenaran alasan pencabutan keterangan pengakuan tersebut. Bahkan dengan ditolaknya pencabutan tersebut, Hakim

54

Ibid., hal.326

55


(40)

kemudian menjadikan keterangan dalam BAP sebagai petunjuk dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Sebagaimana yang diutarakan oleh Adnan Paslyadja, yang menjelaskan bahwa penyangkalan terdakwa yang melalui alat bukti lain dapat dibuktikan sebagai kebohongan dapat di terima sebagai alat bukti petunjuk. Sehingga, dengan tidak ada satu pun alat bukti yang mendukung pencabutan keterangan oleh terdakwa, maka keadaan ini dapat dijadikan petunjuk bagi hakim dalam menilai atau membuktikan kesalahan terdakwa.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan, bahwa implikasi dari ditolaknya pencabutan, terhadap kekuatan alat bukti keterangan terdakwa adalah, hakim akan menilai keterangan terdakwa di sidang pengadilan sebagai suatu keterangan yang tidak mengandung unsur kebenaran dan tidak ada nilainya sama sekali dalam pembuktian (tidak dapat digunakan sebagai alat bukti) sedangkan bila pencabutan keterangan pengakuan terdakwa diterima hakim, karena alasan pencabutan yang dapat dibuktikan kebenarannya, hal ini juga akan membawa dampak bagi kekuatan alat bukti keterangan terdakwa itu sendiri, yaitu dengan diterimanya pencabutan tersebut, hakim akan menilai bahwa keterangan terdakwa di persidanganlah yang mempunyai nilai kebenaran dan dapat digunakan dalam pembuktian, sedangkan terhadap keterangan terdakwa (tersangka) di depan penyidik (BAP) dinyatakan tidak benar dan tidak ada nilainya sama sekali dalam pembuktian.

Kesimpulannya, bahwa implikasi dari diterimanya pencabutan, terhadap kekuatan alat bukti keterangan terdakwa adalah, hakim akan menilai keterangan


(41)

terdakwa di sidang pengadilan sebagai suatu keterangan yang mengandung unsur kebenaran dan dapat digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan.

Kesimpulan akhir dari seluruh uraian di atas, bahwa implikasi dari pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan terhadap kekuatan alat bukti keterangan tersangka adalah:

a. Apabila pencabutan tersebut diterima oleh hakim, maka konsekuensi yuridisnya adalah keterangan terdakwa dalam persidangan pengadilan dapat digunakan sebagai alat bukti dan keterangan terdakwa (tersangka) di tingkat penyidikan tidak dapat digunakan sama sekali untuk menemukan bukti di persidangan karena isinya yang dinilai tidak benar.

b. Apabila pencabutan ditolak oleh hakim, maka konsekuensi yuridisnya adalah keterangan terdakwa dalam persidangan pengadilan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti, justru keterangan terdakwa (tersangka), di tingkat penyidikanlah (BAP) yang kemudian dapat digunakan dalam membantu menemukan bukti di persidangan.


(42)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan

Perumusan masalah yang penulis kemukakan serta pembahasannya baik yang berdasarkan atas teori maupun data-data yang penulis dapatkan selama mengadakan penelitian, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Bahwa prinsipnya pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan boleh dilakukan oleh terdakwa mengingat akan hak yang dimiliki oleh terdakwa, dengan syarat pencabutan dilakukan selama pemeriksaan persidangan pengadilan berlangsung dan harus disertai dengan alasan yang mendasar dan logis. Alasan yang mendasar dan logis tersebut mengandung arti bahwa alasan yang menjadi dasar pencabutan tersebut harus dapat dibuktikan kebenarannya dan diperkuat atau didukung oleh bukti-bukti lain yang menunjukkan bahwa alasan pencabutan tersebut benar dan dapat dibuktikan oleh terdakwa di dalam persidangan, hakim dalam hal ini bersifat imparsial atau tidak memihak di dalam proses pembuktian yang sedang berlangsung. 2. Implikasi dari pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan terhadap

kekuatan alat bukti keterangan tersangka adalah:

a. Apabila pencabutan diterima oleh hakim, maka keterangan terdakwa dalam persidangan pengadilan dapat digunakan sebagai alat bukti dan keterangan terdakwa (tersangka) di tingkat penyidikan tidak digunakan


(43)

sama sekali untuk menemukan bukti di persidangan karena isinya yang dinilai tidak benar.

b. Sedangkan apabila pencabutan ditolak oleh hakim, maka keterangan terdakwa dalam persidangan pengadilan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti, justru keterangan terdakwa (tersangka), di tingkat penyidikanlah (BAP) yang kemudian dapat digunakan dalam pembuktian.

B.Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka sebagai akhir dari seluruh tulisan ini, dapat diajukan saran-saran sebagai berikut: Hakim hendaknya dalam menolak atau menerima pencabutan keterangan terdakwa harus bersikap hati-hati, arif dan bijaksana. Tidak buru-buru mengambil keputusan. Harus lebih dulu dengan teliti mengadakan pemeriksaan yang menyeluruh secara cermat dan seksama termasuk mengedepankan sanubari dan hati nuraninya. Jangan hanya bersandar pada kebiasaan-kebiasaan yang bersifat formal di persidangan, hakim dalam menolak atau menerima pencabutan keterangan terdakwa, dapat merugikan pembelaan terdakwa.


(44)

BAB II

KETENTUAN HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM PERSIDANGAN

A.Tinjauan Umum Pembuktian

Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hukum, yang tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Walaupun KUHAP tidak memberikan pengertian mengenai pembuktian, akan tetapi banyak ahli hukum yang berusaha menjelaskan tentang arti dari pembuktian. Membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu sengketa.27

Proses pembuktian atau membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.28 Pembuktian mengandung arti bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya.29

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan

27

Subekti. (2001). Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradnya Paramitha, hal. 1

28

Martiman Prodjohamidjojo. (1984). Komentar atas KUHAP: Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana, Jakarta: Pradnya Paramitha, hal. 11 29

Darwan Prinst. (1998). Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Jakarta: Djambatan, hal. 133


(45)

ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.30

Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.31

1. Penuntut umum bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya membuktikan kesalahan yang didakwakannya kepada terdakwa.

Ditinjau dari segi hukum acara pidana sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, telah diatur pula beberapa pedoman dan penggarisan:

2. Sebaliknya terdakwa atau penasihat hukum mempunyai hak untuk melemahkan dan melumpuhkan pembuktian yang diajukan penuntut umum, sesuai dengan cara-cara yang dibenarkan undang-undang.

3. Terutama bagi hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang diketemukan selama pemeriksaan persidangan.32

30

M.Yahya Harahap. (2006). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua,

Jakarta: Sinar Grafika, hal. 273

31

Hari Sasangka dan Lily Rosita. (2003). Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung: Mandar Maju , hal. 10

32


(46)

1. Prinsip-Prinsip Pembuktian

a. Hal-hal yang dimuat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Prinsip ini terdapat pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Hal-hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan” atau disebut dengan istilah notoire feiten.

Secara garis besar fakta notoir dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

1) Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut memang sudah demikian halnya atau semestinya demikian.Yang dimaksud sesuatu misalnya, harga emas lebih mahal dari perak. yang dimaksud dengan peristiwa misalnya, pada tanggal 17 Agustus diadakan peringatan hari Kemerdekaan Indonesia.

2) Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian. Misalnya, arak adalah termasuk minuman keras yang dalam takaran tertentu bisa menyebabkan seseorang mabuk.33

b. Kewajiban seorang saksi

Kewajiban seseorang menjadi saksi diatur pada penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan: “Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku, demikian pula dengan ahli.

33


(47)

c. Satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis)

Prinsip ini terdapat pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang berbunyi:

“Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”. Menurut KUHAP, keterangan satu saksi bukan saksi tidak berlaku bagi pemeriksaan cepat. Hal ini

dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP sebagai berikut: “Dalam

acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah”.

Jadi, ini berarti satu saksi, satu keterangan ahli, satu surat, satu petunjuk, atau keterangan terdakwa disertai keyakinan hakim cukup sebagai alat bukti untuk memidana terdakwa dalam perkara cepat.34

d. Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa.

Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan prinsip “pembuktian terbalik” yang tidak dikenal oleh hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Menurut Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang berbunyi:

“Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain”.

e. Keterangan terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri

Prinsip ini diatur pada Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang berbunyi:

“Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri”. Ini

34


(48)

berarti apa yang diterangkan terdakwa di sidang pengadilan hanya boleh diterima dan diakui sebagai alat bukti yang berlaku dan mengikat bagi diri terdakwa sendiri.

Menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang berkedudukan sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukt i terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat kepada dirinya sendiri. Keterangan terdakwa A tidak dapat dipergunakan terhadap terdakwa B, demikian sebaliknya.35

2. Teori-Teori atau Sistem Pembuktian

Ada beberapa sistem atau teori pembuktian, yaitu antara lain:

a. Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Semata (Conviction In Time)

Sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa terhadap perbuatan yang didakwakan, sepenuhnya tergantung pada penilaian “keyakinan” hakim semata-mata. Jadi bersalah tidaknya terdakwa atau dipidana tidaknya terdakwa sepenuhnya tergantung pada keyakinan hakim. Keyakinan hakim tidak harus timbul atau didasarkan pada alat bukti yang ada.

Sekalipun alat bukti sudah cukup kalau hakim tidak yakin, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya meskipun alat bukti tidak ada tapi kalau

35


(49)

hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah. Akibatnya dalam memutuskan perkara hakim menjadi subyektif sekali.

Kelemahan pada sistem ini terletak pada terlalu banyak memberikan kepercayaan kepada hakim, kepada kesan-kesan perseorangan sehingga sulit untuk melakukan pengawasan. Hal ini terjadi di praktik Peradilan Prancis yang membuat pertimbangan berdasarkan metode ini, dan banyak mengakibatkan putusan bebas yang aneh.36

b. Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis (Conviction In Raisone)

Sistem pembukt ian Conviction In Raisone masih juga mengutamakan penilaian keyakinan hakim sebagai dasar satu-satunya alasan untuk menghukum terdakwa, akan tetapi keyakinan hakim disini harus disertai pertimbangan hakim yang nyata dan logis, diterima oleh akal pikiran yang sehat. Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti sah karena memang tidak diisyaratkan, meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang tetapi hakim bisa menggunakan alat-alat bukti di luar ketentuan undang-undang. Yang perlu mendapat penjelasan adalah bahwa keyakinan hakim tersebut harus dapat dijelaskan dengan alasan yang logis.

Keyakinan hakim dalam sistem pembukt ian convition in raisone harus dilandasi oleh “reasoning” atau alasan-alasan dan alasan itu sendiri harus “reasonable” yakni berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima oleh akal dan

36

A. Minkenhof, hal. 219, dikutip Andi Hamzah. (1985). Pengantar Hukum Acara


(50)

nalar, tidak semata-mata berdasarkan keyakinan yang tanpa batas. Sistem pembuktian ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas.

c. Sistem Atau Teori Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (Positief Wettelijk Bewijstheori)

Sistem ini ditempatkan berhadap-hadapan dengan sistem pembuktian

conviction in time, karena sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya

terdakwa didasarkan kepada ada tiadanya alat-alat bukti sah menurut undang-undang yang dapat dipakai membuktikan kesalahan terdakwa. Teori positif wetteljik sangat mengabaikan dan sama sekali tidak mempertimbangkan keyakinan hakim. Jadi sekalipun hakim yakin akan kesalahan yang dilakukan terdakwa, akan tetapi dalam pemeriksaan di persidangan pengadilan perbuatan terdakwa tidak didukung alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa harus dibebaskan.

Umumnya bila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa tersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus dipidana. Kebaikan sistem pembukt ian ini, yakni hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar-benar obyektif karena menurut cara-cara dan alat bukti yang di tentukan oleh undang-undang kelemahannya terletak bahwa dalam sistem ini tidak memberikan kepercayaan kepada ketetapan kesan-kesan perseorangan hakim yang bertentangan dengan prinsip hukum acara pidana. Sistem pembuktian positif yang dicari adalah kebenaran formal, oleh karena itu sistem pembuktian ini digunakan dalam hukum acara perdata. Positief wettelijk bewijstheori systeem di


(51)

benua Eropa dipakai pada waktu berlakunya Hukum Acara Pidana yang bersifat Inquisitor. Peraturan itu menganggap terdakwa sebagai objek pemeriksaan belaka; dalam hal ini hakim hanya merupakan alat perlengkapan saja.37

d. Sistem Atau Teori Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk Stelsel)

Sistem pembuktian negatief wettelijk terletak antara dua sistem yang berhadap-hadapan, yaitu antara sistem pembuktian positif wettelijk dan sistem pembuktian conviction intime. Artinya hakim hanya boleh menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan apabila ia yakin dan keyakinannya tersebut didasarkan kepada alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Dalam sistem negatif wetteljik ada dua hal yang merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yakni: pertama, Wettelijk yaitu adanya alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh undang-undang dan kedua, Negatif, yaitu adanya keyakinan (nurani) dari hakim, sehingga berdasarkan bukti-bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa. Antara alat-alat bukti dengan keyakinan diharuskan adanya hubungan causal (sebab akibat).

Meskipun terdakwa telah terbukti menurut cara dan dengan alat-alat bukti sah menurut undang-undang, akan tetapi bila hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa, maka ia dapat saja membebaskan terdakwa. Sebaliknya bila hakim yakin akan kesalahan terdakwa, tetapi keyakinannya tidak didasarkan atas alat-alat bukti sah menurut undang-undang, maka hakim harus menyatakan kesalahan

37

D. Simons. (1952). Beknopte handleiding tot het wetboek van strafvordering, Haarlem, de Erven F. Bohn, hal.114


(52)

terdakwa tidak terbukti. Sistem inilah yang dipakai dalam sistem pembuktian peradilan pidana di Indonesia.

B. Tinjauan Umum Tentang Alat Bukti Keterangan Terdakwa

1. Dasar Hukum Alat Bukti Keterangan terdakwa

a. Keterangan terdakwa (Pasal 184 huruf e dan Pasal 189 KUHAP).

Alat bukti keterangan terdakwa diatur secara tegas oleh Pasal 189 KUHAP, sebagai berikut:

1) Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri. 2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk

membantu menemukan bukti di sidang asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.

4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

b. Pemeriksaan terdakwa

Pemeriksaan terdakwa diatur dalam pasal 175-178 KUHAP, antara lain:

Pasal 175 berbunyi:

“Jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepaadanya, hakim ketua sidang menganjurkan untuk menjawab dan setelah itu pemeriksaan dilanjutkan.”


(53)

Pasal 176 berbunyi:

“Jika terdakwa bertingkah laku yang tidak patutsehingga menggangu ketertiban sidang, hakim ketua sidang menegurnya dan jika teguran itu tidak diindakan ia memerintahkan suapaya terdakwa dikeluarkan dari sidang, kemudian pemeriksaan sidang dilanjutkan tanpa hadirnya terdakwa. Dalam hal terdakwa secara terus-menerus bertingkahlaku yang tidak patut sehingga mengganggu ketertiban sidang, hakim ketua sidang, mengusahakan upaya sedemikian rupa sehingga putusan tetap dapat dijatuhkan dengan hadirnya terdakwa.”

Pasal 177 berbunyi:

“jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, haki ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menterjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan. Dalam hal seorang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara ia tidak boleh pula menjadi juru bahasa dalam perkara itu.”

Pasal 178 berbunyi:

“Jika terdakwa atau saksi bisu dan/atau tuli serta tidak dapat menulis, hakim ketua sidang mengangkat sebagai penterjemah orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi itu. Jika terdakwa atau saksi bisu dan /atau tuli tetapi dapat menulis, hakim ketua sidang menyampaikan semua pertanyaan atau teguran kepadanya secara tertulis dan kepadanya terdakwa atau saksi tersebut diperintahkan untuk menulis jawabannya dan selanjutnya semua pertanyaan serta jawaban harus dibacakan.”

2. Pengertian Terdakwa dan Tersangka.

Menurut Pasal 1 butir 15 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, terdakwa adalah seorang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan. Terdakwa adalah


(54)

orang yang karena perbuatan atau keadaannya berdasarkan alat bukti minimal didakwa melakukan tindak pidana kemudian dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.38

a. Diduga sebagai pelaku suatu tindak pidana;

Dari rumusan di atas dapat disimpulkan, bahwa unsur-unsur dari terdakwa adalah:

b. Cukup alasan untuk melakukan pemeriksaan atas dirinya di depan sidang pengadilan;

c. orang yang sedang dituntut, ataupun d. Sedang diadili di sidang pengadilan.39

Tersangka akan berubah tingkatannya menjadi terdakwa setelah ada bukti lebih lanjut yang memberatkan dirinya dan perkaranya sudah mulai disidangkan di Pengadilan. Kedudukannya harus dipandang sebagai subjek dan tidak boleh diperlakukan sekehendak hati oleh aparat penegak hukum karena ia dilindungi oleh serangkaian hak yang diatur dalam KUHAP.

Tersangka sendiri menurut Pasal 1 butir 14 KUHAP adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

3. Pengertian Alat Bukti Keterangan Terdakwa

Alat bukti keterangan terdakwa diatur secara tegas oleh Pasal 189 KUHAP, sebagai berikut:

a. Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang

38

Adnan Paslyadja. (1997). Hukum Pembuktian, Jakarta: Pusat Diktat Kejaksaan Republik Indonesia, hal. 69

39


(55)

perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

b. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri

c. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP di atas, keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Sehingga secara garis besar keterangan terdakwa adalah:

1. apa yang terdakwa "nyatakan" atau "jelaskan" di sidang pengadilan,

2. apa yang dinyatakan atau dijelaskan itu ialah tentang perbuatan yang terdakwa lakukan atau mengenai yang ia ketahui atau yang berhubungan dengan apa yang terdakwa alami sendiri dalam peristiwa pidana yang sedang diperiksa.40

Dari pengertian-pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat sah keterangan terdakwa harus meliputi:

a. Apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan.

b. Pernyataan terdakwa meliputi:

40

M. Yahya Harahap. (2006). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP :

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua,


(56)

(1) Yang terdakwa lakukan sendiri,

(2) Yang terdakwa ketahui sendiri, (3) Yang terdakwa alami sendiri.

Pasal 184 ayat (1) KUHAP mencantumkan keterangan terdakwa sebagai alat bukti yang kelima atau terakhir setelah alat bukti petunjuk. Hal ini berbeda dengan HIR yang menempatkan keterangan terdakwa pada urutan ketiga di atas petunjuk, hanya saja dalam HIR "keterangan terdakwa" seperti dimuat pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, menurut Pasal 295 butir 3 HIR disebut "pengakuan tertuduh".

Perbedaan kedua istilah ini ditinjau secara yuridis, terletak pada pengertian "keterangan terdakwa" yang sedikit lebih luas dari istilah "pengakuan tertuduh", karena pada istilah "keterangan terdakwa" sekaligus meliputi "pengakuan" dan "pengingkaran", sedangkan dalam istilah "pengakuan tertuduh", hanya terbatas pada pernyataan pengakuan itu sendiri tanpa mencakup pengertian pengingkaran.41 Sehingga dapat dilihat dengan jelas bahwa “keterangan terdakwa” sebagai alat bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar. Apakah itu berupa penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan42

41

Ibid, hal.318

42

Andi Hamzah. (1997). Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 69

edangkan alasan ditempatkannya keterangan terdakwa pada urutan ketiga diatas petunjuk dalam HIR, karena suatu petunjuk dapat diperoleh dari keterangan terdakwa, maka dalam hal yang demikian petunjuk hanya bisa diperoleh setelah lebih dahulu memeriksa terdakwa.


(57)

4. Asas Penilaian Keterangan Terdakwa

Sudah tentu tidak semua keterangan terdakwa dinilai sebagai alat bukti yang sah. Untuk menentukan sejauh mana keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang, diperlukan beberapa asas sebagai landasan berpijak, antara lain:

a. Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan

Keterangan yang diberikan di persidangan adalah pernyataan berupa penjelasan yang diutarakan sendiri oleh terdakwa dan pernyataan yang berupa penjelasan atau jawaban terdakwa atas pertanyaan dari ketua sidang, hakim anggota, dan penuntut umum atau penasihat hukum.

b. Tentang perbuatan yang terdakwa lakukan, ketahui, atau alami sendiri

Pernyataan terdakwa meliputi:

(1) Tentang perbuatan yang terdakwa lakukan sendiri.

Terdakwa sendirilah yang melakukan perbuatan itu, dan bukan orang

lain selain terdakwa.

(2) Tentang apa yang diketahui sendiri oleh terdakwa.

Terdakwa sendirilah yang mengetahui kejadian itu. Mengetahui disini berarti ia tahu tentang cara melakukan perbuatan itu atau bagaimana tindak pidana tersebut dilakukan. Bukan berarti mengetahui dalam arti keilmuan yang bersifat pendapat, tetapi semata-mata pengetahuan sehubungan dengan peristiwa pidana yang didakwakan kepadanya.


(58)

(3) Tentang apa yang dialami sendiri oleh terdakwa.

Terdakwa sendirilah yang mengalami kejadian itu, yaitu pengalaman dalam hubungannya dengan perbuatan yang didakwakan. Namun apabila terdakwa menyangkal mengalami kejadian itu, maka penyangkalan demikian tetap merupakan keterangan terdakwa.

(4) Keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti terhadap dirinya sendiri.

Menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan dalam kedudukannya sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan terdakwa hanya mengikat kepada dirinya sendiri. Dengan kata lain keterangan terdakwa yang satu tidak boleh dijadikan alat bukti bagi terdakwa lainnya.43

5. Keterangan Terdakwa Saja Tidak Cukup Membuktikan Kesalahannya

Asas ini ditegaskan dalam Pasal 189 ayat (4); "Keterangan terdakwa saja

tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain".

Pada hakikatnya asas ini hanya merupakan penegasan kembali prinsip batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Pasal 183 KUHAP telah menentukan asas pembuktian bahwa untuk menjatuhkan hukuman pidana

43


(1)

7. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M. Hum selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

8. Ibu Dr. Marlina, S.H., M. Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi. 9. Bapak Madiasa Ablisar, S.H., M. Hum, selaku Dosen Wali Penulis.

10. Kedua Orangtuaku, A. Pardede dan K br Nadeak, dan saudara-saudaraku : K’ Lis, B’ Naan dan B’ Jack, yang memotivasi penulis agar tetap semangat selalu bersamaNya.

11. Abang iparku Lae Pdt. Gr. OP. Sitorus, S.Th dan L br Pardede, tetap semangat dalam memberikan pelayanan terbaik bagi-Nya

12. Keluarga Aipda B. Rajagukguk dan R br Siahaan, S.H., yang meluangkan waktu buat penulis dalam memotivasi penulis untuk menyelesaikan semuanya.

13. Segenap keluarga besar Kejaksaan Negeri Tebing Tinggi yang membantu penulis dalam melakukan dan menyelesaikan penelitian ini.

14. Segenap keluarga besar Pengadilan Negeri Tebing Tinggi yang membantu penulis dalam melakukan dan menyelesaikan penelitian ini.

15. Teman-teman satu angkatan : Alberth, Brando, Rinto, Sere, Nico, Masber, Marshias, Eka, Andrew, Andreas, yang lagi berjibaku menyelesaikan skripsi tetap semangat dan buat para Senior terimakasih buat motivasinya. 16. Bapak, Ibu Dosen, dan seluruh Staff Administrasi Fakultas Hukum USU,


(2)

17. Semua Pihak yang tidak dapat dsebutkan satu-persatu, terima kasih atas segala sumbangsih Anda sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Akhir kata, penulis memohon maaf atas kekurangan yang ada dalam skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan.

Medan, Juli 2010 Penulis

M. Ebenezer Pardede


(3)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN

KATA PENGANTAR.………. iii

DAFTAR ISI.……… vi

ABSTRAKSI.……… ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...……….. 1

B. Perumusan Masalah.……….... 10

C. Tujuan dan manfaat Penelitian... 10

D. Keaslian Penulisan... 12

E. Tinjauan Kepustakaan... 13

1. Definisi Pencabutan Keterangan Terdakwa... 13

2. Pembagian Alat Bukti... 14

F. Metode Penelitian……… 21

1. Jenis Penelitian………. 21

2. Lokasi Penelitian……….. 23

3. Jenis Data………. 23

4. Sumber Data………. 24

5. Metode Pengumpulan Data……….. 24

6. Metode Analisis Data………... 25


(4)

BAB II KETENTUAN HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM PERSIDANGAN

A. Tinjauan Umum Pembuktian... 28

1. Prinsip-Prinsip Pembuktian... 30

2. Teori-teori atau Sistem Pembuktian... 32

B. Tinjauan Umum tentang Alat Bukti Keterangan Terdakwa.. 36

1. Dasar Hukum Alat Bukti Keterangan Terdakwa... 36

2. Pengertian Terdakwa dan Tersangka... 38

3. Pengertian Alat Bukti Keterangan Terdakwa... 39

4. Asas Penilaian Keterangan Terdakwa... 41

5. Keterangan Terdakwa Saja Tidak Cukup Membuktikan Kesalahannya... 43

6. Keterangan Terdakwa Di Luar Sidang (The Conffesion Outside The Court)... 43

7. Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Terdakwa... 44

C. Ketentuan Hukum Terhadap Pencabutan Keterangan Terdakwa Dalam Persidangan... 47

BAB III IMPLIKASI YURIDIS PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM PERSIDANGAN A. Pencabutan Keterangan Terdakwa Dalam Persidangan... 51

1. Kasus Posisi... 51

a. Posisi Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 43 / Pid. B / 2009/ PN- TTD... 51


(5)

c. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum... 53

d. Pembelaan Terdakwa... 56

e. Pertimbangan – Pertimbangan Hakim... 57

f. Putusan... 62

2. Analisis Kasus... 63

B. Implikasi Yuridis Pencabutan Keterangann Terdakwa Dalam Persidangan Terhadap Kekuatan Alat Bukti... 83

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan... 89

B. Saran... 90

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(6)

ABSTRAKSI

Martua Ebenezer Pardede* Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum**

Dr. Marlina, S.H., M.Hum***

Skripsi ini berjudul, Tinjauan Yuridis Tentang Pencabutan Keterangan Terdakwa Dalam Persidangan dan Implikasinya Terhadap Kekuatan Alat Bukti (Studi Putusan No.43 / Pid. B / 2009 / PN-TTD), dimana penulis menganalisa bagaimana ketentuan hukum terhadap pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan dan implikasinya terhadap kekuatan alat bukti. Mengingat saat ini hampir disetiap persidangan terjadi pencabutan keterangan terdakwa seperti pada kasus Nasruddin, dimana para terdakwa mencabut keterangannya dalam persidangan yang disebabkan karena adanya intimidasi dan Undang-undang sendiri pun tak membatasi akan hal itu. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif (Yuridis Normatif) yakni penelitian yang dilakukan dan diajukan pada berbagai peraturan perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka yang kemudian dilengkapi dengan studi lapangan.

Hasil analisis atas jawaban dari permasalahan diatas, pertama bahwa pencabutan keterangan terdakwa diperkenankan, sebab KUHAP sendiri mengaturnya secara implisit yakni adanya hak ingkar. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 189 KUHAP Jo Pasal 52 KUHAP, bahwa keterangan terdakwa ialah apa yang ia nyatakan dalam persidangan tentang apa yang ia lihat, alami, atau ia ketahui sendiri yang disertai dan/atau didukung oleh alat bukti lainnya termasuk memberikan keterangan yang bebas dalam tingkat penyidikan dan pengadilan. Kedua implikasinya, bila pencabutan itu diterima ini berarti terdakwa bebas murni (vrijspraak) dari segala tuntutan hukum yang didakwakan kepadanya dimana yang terdapat dalam berita acara penyidikan dianggap tak benar dan keterangan itu tidak dapat digunakan sebagai landasan untuk membantu menemukan bukti di persidangan., dan bila penacabutan itu ditolak ini berarti alasannya tidak berdasar dan tak benar, dan hal ini menjadi petunjuk atas kesalahan terdakwa karena memberikan keterangan yang berbelit-belit dalam persidangan sehingga keterangan terdakwa di depan penyidikanlah yang mengandung unsur kebenaran dan mempunyai nilai kekuatan pembuktian . Dalam analisa putusan ini pencabutan tersebut ditolak karena tidak berdasar dan tidak logis sebagaimana yang tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 23 Februari 1960, No. 299 K / Kr / 1959, Putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Februari 1960, No. 225 K / Kr / 1960, Putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Juni 1961, No. 6 / Kr / 1961, Putusan Mahkamah Agung tanggal 27 September 1960, No. 85 K /Kr /1959, Putusan Mahkamah Agung tanggal 11 Desember 1984, No. 414 K / Pid /1984 serta Putusan Mahkamah Agung tanggal 14 Agustus1987, No. 1043 K / Pid / 1987 yang berbunyi “ Pencabutan Keterangan Terdakwa Dalam Persidangan tanpa Alasan yang Sah dan benar merupakan petunjuk atas kesalahan terdakwa.”

* Penulis

** Dosen Pembimbing I / Staff Pengajar Fakultas Hukum USU *** Dosen Pembimbing II / Staff Pengajar Fakultas Hukum USU


Dokumen yang terkait

Peranan Tes Deoxyribonucleic Acid (Dna) Dalam Pembuktian Tindak Pidana(Analisis Putusan Pengadilan Negeri No. 626 Pid. B / 2012 / PN. SIM, Putusan Mahkamah Agung No. 704 K / Pid / 2011, Putusan Mahkamah AgungNo. 1967 K/Pid/2007 dan Putusan Mahkamah Agung

2 84 105

Tinjauan Yuridis Tentang Pencabutan Keterangan Terdakwa Dalam Persidangan Dan Implikasinya Terhadap Kekuatan Alat Bukti (Studi Putusan Nomor : 43 / Pid. B / 2009/ PN-TTD)

0 63 101

Kekuatan Alat Bukti Keterangan Saksi Yang Mempunyai Hubungan Darah Dengan Terdakwa Dalam Tindak Pidana Pencurian Dalam Keluarga

6 110 102

Analisis Kriminologi Dan Yuridis Terhadap Penyalahgunaan Narkoba Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus Putusan No. 1203 / Pid.B / 2006 / PN.MDN)

4 83 81

Tinjauan Yuridis Terhadap Kewenangan Hakim Dalam Membatalkan Akta Notaris Sebagai Alat Bukti Dalam Proses Pemeriksaan Perkara Di Persidangan

2 80 147

Kedudukan Keterangan Saksi Di Penyidikan Sebagai Alat Bukti Yang Sah Dalam Persidangan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Stabat No.752/ Pid.B/ 2012/ PN.Stb)

2 96 102

Analisis Yuridis Putusan Hakim dalam Tindak Pidana Percobaan Pencurian dengan Pemberatan (Putusan Nomor : 87 / Pid.B / 2012 / PN.GS

0 7 8

ANALISIS YURIDIS TENTANG PUTUSAN BEBAS TERHADAP TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN YANG KORBANNYA ANAK (Studi Putusan MA Nomor : 1638 K / Pid. Sus / 2010)

0 6 16

ANALISIS YURIDIS TENTANG PUTUSAN BEBAS TERHADAP TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN YANG KORBANNYA ANAK (Studi Putusan MA Nomor : 1638 K / Pid. Sus / 2010)

0 7 11

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PEGAWAI NEGERI SIPIL PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (Studi Perkara Nomor : 43 / Pid / Sus / 2011 / PN.TK)

1 11 23