LEGALITAS KETERANGAN SAKSI MELALUI TELECONFERENCE SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA Model Kebijakan Hukum Pidana Tentang Keterangan Saksi Melalui Teleconference Sebagai Alat Bukti Dalamperkara Pidana.
LEGALITAS KETERANGAN SAKSI M ELALUI TELECONFERENCE SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA
NASKAH PUBLIKASI
Diajukan Kepada Program Studi Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas M uham madiyah Surakarta untuk M emenuhi Salah Satu Syarat Guna M emperoleh
Gelar M agister dalam Ilmu Hukum
Oleh
RUTH M ARINA DAM AYANTI SIREGAR NIM . R. 100 12 0011
PROGRAM STUDI ILM U HUKUM PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS M UHAM M ADIYAH SURAKARTA 2014
(2)
LEM BAR PENGESAHAN
LEGALITAS KETERANGAN SAKSI M ELALUI TELECONFERENCE SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA
Tesis diajukan untuk m em enuhi sebagian persyarat an Guna mem peroleh gelar M agist er Ilmu Hukum
M enget ahui
Pem bim bing I Pem bimbing II
Prof. Dr. Harun, SH, M .Hum Prof. Dr. Supanto, SH, M .Hum
(3)
ABSTRAK
Rut h M arina Siregar. R100120011. Legalitas Keterangan Saksi M elalui
Teleconference Sebagai Alat Bukti Dalam Perkara Pidana. Tesis. Program Pasca
Sarjana M agist er Hukum Universit as M uhamm adiyah Surakart a. 2014.
Pem eriksaan ket erangan saksi secara t eleconference sampai saat ini m asih t erjadi pert ent angan dalam pelaksanaannya di persidangan. Oleh karena it u, diperlukan regulasi yang dapat m emecahkan m asalah t ersebut sehingga kedudukannya sebagai alat bukt i dalam persidangan lebih m emberikan kepast ian hukum. Legalit as ket erangan saksi m elalui t eleconference dapat t erpenuhi apabila mem enuhi ket ent uan ant ara lain: ket erangan saksi di muka sidang pengadilan, dengan disumpah t erlebih dahulu sert a t ent ang perist iw a t ert ent u yang ia dengar, ia lihat dan ia alami sendiri. Oleh karena itu, supaya tidak m enimbulkan pro dan kont ra di masa yang akan dat ang, m aka regulasi m engenai keterangan saksi m elalui t eleconference sebagai alat bukt i dalam perkara pidana dapat dilakukan dengan m enet apkan kebijakan hukum secara formulatif, yait u dengan menet apkan Perat uran M ahkam ah Agung sebelum RUU KUHAP disahkan. Selain itu juga melalui kebijakan hukum mat eriil, yaitu syarat pelaksanaan penyelenggaraan kesaksian melalui t eleconference yang m eliput i: harus mem enuhi ket ent uan m engenai ket erangan saksi sebagai alat bukt i, jenis kejahat an yang dapat menggunakan sarana media t eleconference, t em pat pelaksanaan kesaksian diat ur secara jelas dan para pihak yang ikut m endampingi saksi pada w akt u t eleconference.
Keyw ords: Legalitas, Keterangan Saksi, Teleconference, Alat Bukti Perkara Pidana.
(4)
ABSTRACT
Rut h M arina Dam ayanti Siregar. R100120011. Legality W itness Testimony Through Teleconference As Evidence of Crime. The Graduat e Program in Law Science, M uhamm adiyah Universit y of Surakart a, 2014.
The invest igat ion of witness t est im ony t hrough t eleconference unt il recent ly st ill encount ers opposition in it s implem ent at ion. Therefore, a regulation for solving such a problem is required so t hat it s position as evidence before t he court provides more legal cert ainties. Legality of w itness t est imony t hrough t eleconference as evidence is declared legally valid as evidence in t he crim inal just ice process if it is present ed before t he t rial court in which the w itness shall make an oath first on cert ain event s t hat he or she heard, saw, and experienced on his or her own. Legalit y of penal code policy on w itness t est im ony t hrough t eleconference as evidence of crim e in t he fut ure is a form ulat ion law policy t hrough the amendment of Penal Code and m at erial law policy. The requirement s for t he implem ent at ion of w itness t est im ony t hrough t eleconference as evidence include t he following: t he implem ent ation shall fulfill t he provisions of witness t est imony as evidence, t he t ype of crim es shall have a possibilit y to be t ried through the use of t eleconference m edia, and the sit e for t he im plement at ion of wit ness t est im ony and the part y (i es) accompanying t he w itness during the t eleconference shall clearly be regulat ed.
Keyw ords: Legality, W itness Testimony, Teleconference, Criminal Evidence.
(5)
PENDAHULUAN
Pembukt ian mem punyai kedudukan yang sangat pent ing dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan karena melalui pembukt ian inilah nasib t erdakw a dit ent ukan dan hanya dengan pembukt ian suat u perbuat an pidana dapat dijatuhi hukuman pidana. Pada intinya, pem bukt ian m erupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengat ur m acam-m acam alat bukti yang sah m enurut hukum, sist em yang dianut dalam pem buktian, syarat -syarat dan t at a cara m engajukan bukti t ersebut sert a kew enangan hakim untuk menerim a, menolak dan m enilai suatu pem bukt ian.
Sist em pem bukt ian yang berlaku dalam hukum acara pidana, m erupakan suatu sist em pem bukt ian di depan pengadilan. Sebelum m enjat uhkan suatu pidana, hakim harus mem perhat ikan 2 (dua) syarat m ut lak yang dit entukan dalam Kit ab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu: alat bukt i yang cukup sert a sah dan keyakinan hakim. Alat bukt i yang sah dalam hukum acara pidana diat ur dalam ket ent uan Pasal 184 ayat (1) KUHAP ant ara lain: ket erangan saksi, ket erangan ahli, surat, pet unjuk dan ket erangan terdakwa.
Salah satu alat bukt i yang diat ur dalam hukum acara pidana adalah ket erangan saksi, ket erangan saksi sebagai alat bukt i ialah apa yang saksi nyat akan di sidang pengadilan (Pasal 185 ayat (1) KUHAP). Apabila dikait kan dengan ket ent uan Pasal 1 butir 27 KUHAP, maka yang harus dit erangkan oleh saksi dalam sidang adalah: apa yang saksi lihat sendiri, apa yang saksi dengar sendiri dan apa yang saksi alami sendiri.
Saat ini, ket erangan saksi t elah m engalam i perkem bangan, seiring dengan berkembangnya penget ahuan m asyarakat di bidang t eknologi komunikasi dan informasi sehingga dalam prakt ek peradilan pidana t erhadap kasus t ert ent u ket erangan saksi t idak lagi diberikan secara langsung (fisik) harus di persidangan unt uk m emberikan kesaksiannya. Dew asa ini dalam dunia peradilan Indonesia t elah diperkenalkan cara pem eriksaan saksi jarak jauh dengan mem anfaat kan t eknologi mult im edia yang dikenal dengan ist ilah t eleconference. Teleconference
(6)
adalah pert emuan yang dilakukan oleh dua orang at au lebih yang dilakukan melew at i telepun at au koneksi jaringan. Pert emuan t ersebut dapat hanya menggunakan suara (audio conference) at au menggunakan video (video
conference) yang m em ungkinkan pesert a konfrensi saling m elihat.1
Pem eriksaan saksi secara t eleconference, pert ama kali dilakukan pada t ahun 2002. Saat it u, unt uk pert am a kalinya M ahkam ah Agung (M A) m em berikan izin kepada mant an Presiden BJ Habibie unt uk m em berikan kesaksian lewat t eleconference dalam kasus penyim pangan dana non-budget er Bulog at as nama t erdakw a Akbar Tandjung. Sejak pengadilan m em berikan izin kepada mant an Presiden BJ Habibie untuk m em berikan kesaksian lewat t eleconference pada t ahun 2002, prakt ik sejenis m ulai sering dipakai dalam persidangan.
Apabila dikaji lebih lanjut, saat ini dalam KUHAP t idak mengenal bukt i-bukti elekt ronik m aupun ket ent uan-ket ent uan t ent ang prosedur pem eriksaan saksi lewat sarana t eknologi inform asi (t eleconference), sepert i yang p ernah t erjadi dalam sidang perkara pidana dengan terdakw a Rahardi Ramelan di Pengadilan Negeri Jakart a Selat an yang m em eriksa saksi m ant an Presiden Indonesia B.J. Habibie dengan m enggunakan t eleconference. Prosedur pemeriksaan memakai sarana t eknologi dengan cara t eleconference t ersebut , baru pert ama kali t erjadi dan diperakt ekkan dalam sejarah peradilan Indonesia.2
Nam un, pada kenyat aannya m asih t erjadi pert ent angan m engenai penerapan ket erangan saksi secara t eleconference dalam persidangan. M eskipun demikian, penerapan ket erangan saksi secara t eleconference juga sudah dipakai dalam persidangan. Oleh karena itu, supaya dapat dit erapkan secara efekt if diperlukan regulasi yang dapat mem ecahkan m asalah pem eriksaan ket erangan saksi secara t eleconference, karena sam pai saat ini masih t erjadi pert ent angan
1
Fat hul Wahi d. 2002. Kamus Ist ilah Teknologi Informasi, Ed. I. Yogyakart a: Andi. Hal. 63
2
Arsyad Sanusi, et . al. 2003. Analisis dan Evaluasi Hukum Tent ang Pem anfaat an M edia
Elekt ronik (Teleconference) Unt uk Pembukt ian Dalam Hukum Acara Pidana. Jakart a: Badan Hukum Nasional Depart emen Hukum dan HAM RI. Hal..3
(7)
dalam pelaksanaannya di persidangan. Hal ini supaya dapat diket ahui kedudukannya sebagai alat bukt i dalam persidangan, sehingga lebih mem berikan kepast ian hukum yang baik. Selain it u dapat diket ahui kepast ian dan keabsahannya dalam persidangan perkara pidana. Dengan dem ikian, yang menjadi perm asalahan di sini adalah bagaim anakah legalit as ket erangan saksi melalui t eleconference sebagai alat bukt i dalam proses peradilan pidana.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelit ian deskript if dengan pendekat an yuridis empiris. Sem ent ara it u, t eknik analisis dat a yang digunakan adalah analisis kualit at if.
HASIL PENELITIAN DAN PEM BAHASAN
Pro Kontra Keterangan Saksi Secara Teleconference Sebagai Alat Bukti
Ket erangan saksi sebagai alat bukt i ialah apa yang saksi nyat akan di sidang pengadilan (Pasal 185 ayat (1) KUHAP). Jika dihubungkan dengan ket ent uan Pasal 1 but ir 27 KUHAP m aka yang harus dit erangkan dalam sidang adalah: (1) apa yang saksi dengar sendiri. (2) Apa yang saksi lihat sendiri. (3) Apa yang saksi alam i sendiri.
Dew asa ini ket erangan saksi yang disam paikan di depan sidang pengadilan m engalami perluasan pengert ian yang sesuai dengan perkem bangan masyarakat di bidang t eknologi dan hukum . Pemeriksaan saksi secara
t eleconference sudah diat ur dalam perat uran perundang-undangan sebagai
bentuk ant isipasi perkem bangan hukum di bidang t eknologi inform asi, karena dalam KUHAP belum diatur. Ket erangan saksi t elah m engalami perkembangan, seiring dengan berkembangnya penget ahuan masyarakat di bidang t eknologi komunikasi dan inform asi saat ini. Dalam prakt ek peradilan pidana ket erangan saksi t idak lagi diberikan secara langsung (fisik) harus dipersidangan unt uk memberi kan kesaksiannya.
Dew asa ini, dalam dunia peradilan Indonesia t elah diperkenalkan cara pemeriksaan saksi jarak jauh dengan memanfaatkan t eknologi multimedia at au
(8)
t eleconference. Salah satu perat uran perundang-undangan yang m engat ur kesaksian m elalui t eleconference adalah Pasal 9 Undang-Undang Nom or 13 Tahun 2006 t ent ang Perlindungan Saksi Dan Korban. Pasal 9 m enegaskan adanya t iga pilihan saksi t ak harus dihadirkan ke pengadilan, yait u: 1) saksi diperbolehkan mem beri ket erangan secara t ert ulis di hadapan pejabat sepert i not aris, hakim, at au cam at, 2) ket erangan saksi dapat diperiksa lew at
t eleconference dan 3) pemeriksaannya sepert i mist ery guest , yang m em berikan
ket erangan dalam ruangan khusus.
Perkem bangan t eknologi melalui video t eleconference sebagai m edia komunikasi m em baw a dampak yang sangat besar di Indonesia khususnya dalam bidang hukum. Pem anfaat an t eknologi video conference di bidang hukum di Indonesia dimulai pada saat persidangan kasus penyim pangan dana
non-budget er Bulog at as nama t erdakw a Akbar Tanjung. Saat it u, m ant an Presiden BJ.
Habibie yang menjadi saksi dalam kasus t ersebut tidak dapat dihadirkan ke persidangan karena berada di Ham burg, Jerm an dan tidak dapat dat ang ke Indonesia dengan alasan m enunggu ist rinya yang sedang sakit . Dengan alasan t ersebut , kem udian pihak Pengadilan Jakart a Pusat berinisiat if unt uk m engambil jalan pint as dengan m engadakan suatu Video conference w hit ness at au kesaksian secara Video conference. Kesaksian Video conference t ersebut diadakan di kant or Konsul Jendral Indonesia di Hamburg Jerman.
Penerapan kesaksian melalui t eleconference m erupakan sebuah t erobosan hukum dalam sist em peradilan pidana di Indonesia m eskipun kesaksian secara t eleconference sudah pernah digunakan dalam persidangan, namun pada kenyat aannya hal t ersebut m asih m enimbulkan pro dan kont ra dalam pelaksanaannya. Pert ent angan ini timbul, dengan alasan bahwa kesaksian dengan t eleconference t idak diat ur dalam KUHAP. Nam un bila m em perhat ikan prinsip hukum acara pidana yang cepat dan murah, m aka pelaksanaan pemeriksaan saksi secara t eleconf erence mem enuhi prinsip t ersebut.
(9)
M eskipun pem eriksaan saksi secara t eleconference m em iliki kelebihan, namun dalam prakt eknya m asih t erjadi pro dan kont ra t erhadap penggunaan t eknologi t eleconference dalam persidangan disebabkan beberapa fakt or, yaitu: 1. Kebijakan form ulatif (pembuat an undang-undang) dan kebijakan aplikat if
(penegakan hukum) di Indonesia m engacu kepada ket ent uan hukum positif. Konsekuensi logis demikian m em buat muara pada penegakan hukum yang bersifat form al legist ik, sehingga t erdapat jurang yang relat if t ajam dalam m encari keadilan. Keadilan yang dikejar dan diform ulasikan oleh kebijakan formulat if adalah keadilan undang-undang.
2. KUHAP t idak m engat ur t eleconference, sehingga pro dan kont ra penggunaannya t ergant ung pada apakah merugikan at aukah m enguntungkan m asing-masing para pihak.
3. Terhadap eksist ensi t eleconference, hakim m enyet ujui dilakukan t elekonferen. Aspek ini sebenarnya harus dilakukan dunia peradilan di Indonesia apabila t idak ingin dipandang negat if oleh m asyarakat .3
Kehadiran perat uran perundang-undangan t ent ang ket erangan saksi melalui t eleconference m erupakan t onggak kem ajuan dalam m enyikapi pemeriksaan saksi secara t el econference unt uk m emberikan sedikit solusi at as kekosongan hukum acara pidana. Hal ini sebagai sebuah bent uk t erobosan hukum seiring dengan perkem bangan t eknologi informasi dalam m asyarakat . Hal ini sejalan dengan hasil penelit ian yang dilakukan oleh Susan Ledray yang menyebut kan bahw a M ont gom ery Count y Circuit Court di M aryland t elah menggunakan basis w eb t eknologi konferensi video unt uk ket erangan saksi jarak jauh selam a beberapa t ahun t erakhir. Layanan berbasis w eb video conference memungkinkan untuk kom unikasi real-t ime oleh beberapa pesert a m elalui penggunaan komput er at au perangkat mobile yang berisi kamera, mikrofon, dan speaker. M ont gom ery Count y m enggunakan W ebEx, karena disediakan pilihan dan pengadilan m em but uhkan yang sesuai fungsinya. Selain real-t im e audio dan video, pesert a dapat berbagi layar deskt op dan dokum en, percakapan dengan menggunakan fitur papan tulis, yaitu, gambar, dan merekam sert a m enyim pan
3
Lilik M ulyadi. 2008. Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspekt if Teoret is dan Prakt ik. Bandung: Alum ni. Hal.125
(10)
seluruh video/ audio call. Pengadilan M aryland mengant isipasi penggunaan t eknologi ini unt uk tingkat yang lebih besar di masa depan oleh m asyarakat , pengacara dan penerim aan t eknologi di pengadilan.4
Nam un demikian, kembali lagi bahw a dit erima atau tidaknya suat u alat bukti di persidangan dit ent ukan oleh hakim. M eskipun t idak sem ua alat bukt i yang dit erim a di dalam persidangan adalah layak di percaya dan berbobot . Pengalam an dan analisis hakim m erupakan paduan t erbaik yang dapat digunakan unt uk m enent ukan barang bukt i m ana yang layak unt uk dianggap kredibel. Dalam m engevaluasi penggunaan alat bukt i di dalam persidangan, perhat ian perlu difokuskan pada ket erkait an ant ara alat bukt i t ersebut dengan hal yang hendak dibukt ikan kebenarannya.
Sepert i diat ur dalam KUHAP, t erdapat beberapa ket ent uan m engenai saksi yang sah m enurut hukum sehingga dapat digunakan sebagai alat bukt i. Yang dimaksud dengan kesaksian m enurut M . Karjadi dan R. Soesilo yait u “ suat u ket erangan dengan lisan di muka Hakim dengan sumpah t ent ang hal-hal mengenai kejadian tert ent u yang didengar, dilihat dan dialami sendiri” .5 Jika ket ent uan mengenai saksi di at as dit erapkan dalam kesaksian yang diberikan secara t eleconference dalam persidangan yang memanfaat kan m edia
t eleconference pem eriksaannya, m aka dapat dijelaskan sebagai berikut : (1)
Ket erangan saksi dim uka sidang pengadilan. Penggunaan t eleconference dalam hal ini t elah menyajikan gam bar secara det ail dan kualit as suara jelas t anpa gangguan (noice), m emungkinkan hakim untuk m enget ahui secara langsung sorot m at a, rom an muka, m aupun bahasa tubuh (gest ures) yang ditunjukkan oleh seorang saksi di muka persidangan. Dengan dem ikian, pada prinsipnya kehadiran seorang saksi di muka persidangan sebagaim ana dimaksud secara fisik juga t erpenuhi dengan m enggunakan t eleconference. (2) Dengan disumpah
4
Susan Ledray. 2013. “ Virt ual Ser vices W hit epaper” . Harvard Journal of Law &
Technology, Occasional Paper Series — Febr uary 2013. Hal. 15
5
M . Karjadi dan R. Soesilo. 2003. Kit ab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan
(11)
t erlebih dahulu. Sebagaim ana ket ent uan Pasal 160 ayat (3) KUHAP, dalam memanfaat kan t eknologi t eleconference t idak jauh berbeda dengan persidangan biasa, yaitu sebelum mem beri keterangan saksi w ajib mengucapkan sumpah at au janji m enurut cara agamanya m asing-masing, bahw a ia akan m em berikan ket erangan yang sebenarnya dan t idak lain dari yang sebenarnya. (3) Tent ang perist iw a t ert ent u yang ia dengar, ia lihat dan ia alam i sendiri (Nont est imonium
de Audit u). Sepert i halnya di set iap persidangan pidana, bahw a ket erangan saksi
adalah salah sat u bukt i dalam perkara pidana yang berupa ket erangan dari saksi mengenai suat u perist iw a pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alam i sendiri dengan menyebut alasan dari penget ahuannya itu. Dalam hal ini,
t eleconference akan menjadi alat bukt i yang sah sepanjang yang bersangkut an
t idak m enyangkalnya.
Apabila syarat -syarat sah ket erangan saksi terseb ut t elah terpenuhi, m aka ket erangan yang t elah diberikan oleh seorang saksi it u t elah m em punyai kekuatan pem bukt ian yang dapat diakui sebagai alat bukti. Ket erangan saksi t ersebut akan dijadikan pert im bangan hakim untuk m emberikan putusan at as suatu tindak pidana. Dengan demikian, legalit as kesaksian m elalui t eleconference menjadi lebih jelas.
Regulasi Pemeriksaan Saksi Secara Teleconference Sebagai Alat Bukti
Ket ent uan m engenai t eleconference t idak diat ur dalam KUHAP. Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyebut kan 5 jenis alat bukt i, yait u: ket erangan saksi, ket erangan ahli, surat , pet unjuk dan ket erangan t erdakw a. Pada dasarnya, sist em pembukt ian yang dianut oleh Indonesia adalah sist em pem bukt ian berdasarkan undang-undang secara negat if. Hal ini berart i bahw a hasil dan kekuatan pem bukt ian berdasarkan alat bukt i yang disebut pada undang-undang sehingga Hakim dapat m emperoleh keyakinan bahwa m emang Terdakw alah yang m elakukan tindak pidana.
(12)
Sem entara itu, dalam Pasal 160 ayat (1) huruf a KUHAP m enyebut kan saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang dem i seorang menurut urut an yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ket ua sidang set elah m endengar pendapat penuntut umum , t erdakw a at au penasihat hukum dan Pasal 167 ayat (1) KUHAP yang berbunyi set elah saksi m emberikan ket erangan, ia t et ap hadir di sidang kecuali hakim ket ua sidang m em beri izin untuk meninggalkannya. Berdasarkan kedua pasal t ersebut t erlihat bahwa seorang saksi ditunt ut unt uk hadir secara fisik di persidangan, namun pada kenyat aannya untuk m enegakkan kebenaran m at eriil yang berm uara pada keadilan dalam prakt ek t elah sedikit dit inggalkan. Hal ini t erlihat dalam Putusan M ahkam ah Agung RI Nomor 661K/ Pid/ 1988 t anggal 19 Juli 1991 yang pada dasarnya m enyat akan bahw a ket erangan saksi yang diberikan dalam pem eriksaan penyidikan dan saat memberi kan ket erangannya t ersebut saksi t elah disum pah, namun karena suat u halangan yang sah ia t idak dapat hadir di persidangan dan ket erangannya t ersebut dibacakan m aka nilai ket erangannya itu disam akan dengan keterangan saksi (kesaksian) yang disumpah di persidangan. Berdasarkan kont eks ini t erlihat bahw a prakt ek dunia peradilan t elah m elakukan suatu t erobosan t ent ang kehadiran saksi secara fisik di pengadilan, ada kalanya dapat dikesam pingkan.
Pem eriksaan saksi m elalui t eleconference m em iliki kelebihan bila dit erapkan di pengadilan. Selain m em enuhi asas biaya m urah, penggunaan
t eleconference juga m erupakan salah sat u sarana untuk m encari kebenaran
mat eriil. Hal ini sebagaimana hasil penelit ian yang dilakukan oleh Shari Seidman Diamond, Locke E. Bow man, M anyee Wong & M at thew M . Pat ton yang menyebut kan bahwa hasil dari Cook Count y Bail St udi m enunjukkan bahw a para t erdakw a secara signifikan diuntungkan oleh proses video conference yang diadakan ant ara t ahun 1999 sampai dengan 2009. Tem uan ini mem berikan bukt i t idak adanya jam inan pemohon yang diatur dalam LaRose v Superint endent , dim ana pengadilan menolak argumen proses hukum pem ohon. Di sana,
(13)
pengadilan tidak m enem ukan bukti bahw a penggunaan video akan berdam pak negat if t ent ang pendapat hakim yang bias t erhadap t erdakw a.6
Ket erangan saksi melalui t eleconference m eru pakan nilai-nilai hukum yang hidup di m asyarakat berkait an dengan perkem bangan t eknologi inform asi.7 Ket erangan melalui t eleconference yang dijadikan sebagai alat bukt i oleh M ajelis Hakim t idak t erlepas dari peran hakim yang m engijinkan (melalui penet apannya) unt uk m elaksanakan t eleconference. Penet apan pelaksanaan ket erangan saksi melalui t eleconference m erupakan kesadaran dari hakim untuk melakukan kew ajibannya yang diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 t ent ang Kekuasaan Kehakim an untuk m elihat dan menggali perkembangan nilai-nilai hukum yang ada di masyarakat yang berkait an dengan t eknologi inform asi di bidang hukum, khususnya dalam menghadirkan seorang saksi di sidang pengadilan pidana melalui t eleconference.
M elihat penet apan yang m em berikan ijin bagi saksi dalam m em berikan ket erangannya m elalui media t eleconference m asuk ke dalam kualifikasi alat bukti, khususnya sebagai alat bukt i ket erangan saksi dipandang sebagai t erobosan hukum karena penggunaan t eknologi ini belum diatur dalam KUHAP. Hal ini sejalan dengan hasil penelit ian yang dilakukan oleh Philip A. Sandick yang menyebut kan bahw a pengadilan t elah m em buat kem ajuan penting dalam melindungi dan m endukung korban, saksi, para pihak, dan lain-lain yang menempat kan diri pada risiko dalam rangka m em ajukan m isi peradilan pidana int ernasional.8
Pem eriksaan secara t eleconference di Indonesia belum di atur dalam KUHAP, m elainkan hanya diatur secara t ersam ar dalam undang-undang yang
6
Diamond, Shari Seidman, Locke E. Bow man, M anyee Wong & M at t hew M . Pat t on. 2010. “ Efficiency And Cost : The Impact of Video Conf er enced Hearings On Bail Decisions” . The
Jour nal of Criminal Law & Criminology, Vol. 100, No. 3. Hal. 898
7
Sut eki. 2013. Desain Hukum Di Ruang Sosial. Yogyakart a: Thafa M edia. Hal. 190 8
Philip A. Sandick. 2012. “ Speechlessness and Trauma: W hy t he Int er nat ional Criminal Court Needs a Public Int erview ing Guide” . Nort hw est ern Journal of Int ernat ional Human Right s, Volum e 11 | Issue 1. Hal. 125
(14)
secara lex specialist mengat ur m engenai perkem bangan alat bukt i, sedangkan ket ent uan yang secara t egas m engat ur m engenai t eleconference t erdapat dalam yurisprudensi. Di Indonesia sendiri yurisprundesi t ersebut bersifat persuasive
precedent at au hanya sebagai sumber hukum dalam art i formal. Indonesia juga
t idak mengenal asas precedent , dalam art i t idak m engenal asas st are decisis et
quit a non movere (yait u suat u prinsip hukum yang m enyat akan bahwa
pengadilan yang lebih rendah harus m engikut i keput usan pengadilan yang lebih t inggi). Dengan demikian, unt uk menggunakan/ m em anfaat kan m edia
t eleconference dalam pemeriksaan di persidangan m enjadi sah, majelis hakim
perlu mengeluarkan penet apan secara khusus untuk t erlaksananya
t eleconference. Hal ini berart i bahwa proses pem berian kesaksian m elalui
t eleconference ini t idak dapat secara ot om at is digunakan sebagai perat uran yang
langsung dapat dit erapkan.
Oleh karena itu, supaya ada payung hukum t ent ang pem eriksaan saksi secara t eleconference sebelum dilakukannya amandem en t erhadap KUHAP, maka perlu adanya kebijakan dari M ahkamah Agung untuk m engeluarkan pedom an at au pet unjuk bagi pelaksanaannya. Kebijakan t ersebut dapat berupa Perma t ent ang t at acara at au pedoman t ent ang pemeriksaan saksi secara
t eleconference. Hal ini pent ing untuk dilakukan supaya t idak menim bulkan pro
dan kont ra dalam pelaksanaannya, karena pada prakt eknya hal ini sudah dilaksanakan di persidangan.
Nam un demikian, supaya t eleconference diakui sebagai alat bukti yang sah, am andemen t erhadap KUHAP perlu dilakukan untuk mengikut i perkembangan kemajuan t eknologi yang makin berkem bang, sehingga jenis alat bukti lainnya dapat digunakan sebagai alat bukt i t am bahan dalam pembuktian. Apabila KUHAP dilakukan sebuah revisi khususnya dalam limit asi alat -alat bukt i, lim a jenis alat bukt i dalam KUHAP sudah saatnya unt uk dihapus dan ditinggalkan. Pada dasarnya set iap at au sem ua alat dapat diajukan sebagai bukti, kecuali Undang-Undang menent ukan lain diserahkan kepada pert im bangan hakim.
(15)
Berdasarkan hal t ersebut set iap alat bukt i yang diajukan dalam persidangan w ajib diperiksa oleh hakim t erm asuk persidangan yang dilakukan melalui m edia
t eleconference, karena hakim m emiliki keyakinan yang kuat dalam menilainya
sehingga putusan yang dijat uhkan lebih objekt if.9
Dengan dem ikian, regulasi mengenai ket erangan saksi m elalui
t eleconference sebagai alat bukt i dalam perkara pidana di masa yang akan
dat ang adalah melalui kebijakan hukum secara form ulatif. Kebijakan hukum yang ideal adalah dalam bentuk undang-undang. Oleh karena it u, pent ing untuk dilakukan am andemen t erhadap KUHAP sebagai landasan hukum beracara di pengadilan. Dalam Rancangan Undang-Undang KUHAP, ket erangan saksi m elalui t eleconference diat ur dalam Pasal 180 ayat 2 RUU KUHAP yang m enyebut kan bahw a dalam hal saksi t idak dapat dihadirkan dalam pem eriksaan di sidang pengadilan, ket erangan saksi dapat diberikan secara jarak jauh melalui alat komunikasi audio-visual dengan dihadiri oleh penasihat hukum dan penuntut umum . Namun sepanjang KUHAP t ersebut belum disahkan, m aka untuk mengant isipasinya M ahkamah Agung dapat m engeluarkan Perat uran M ahkamah Agung (Perm a) sebagai bentuk payung hukum bagi pelaksanaan ket erangan saksi melalui t eleconference. Hal ini pent ing dilakukan guna menghindari adanya pro dan kont ra t erhadap penerapan kesaksian m elalui t eleconference. Dengan adanya perma ini diharapkan dapat m engisi kekosongan hukum sehingga legalit as kesaksian melalui t eleconference m enjadi lebih jelas.
Selanjutnya adalah kebijakan hukum mat eriil. Kebijakan hukum m at eriil adalah hal-hal yang berkait an dengan syarat pelaksanaan untuk dapat diselenggarakannya kesaksian m elalui t eleconference. Adapun syarat pelaksanaan ini m eliput i: (1) Harus m em enuhi ket ent uan m engenai keterangan saksi sebagai alat bukt i, yaitu: (a) dengan disumpah lebih dahulu (sesuai Pasal 160 ayat (3) jo. 185 ayat (7) KUHAP); (b) t ent ang perist iw a t ert ent u yang
9
(16)
didengar, dilihat dan dialami sendiri (nont est imonium de auditu) (sesuai Pasal 1 ayat (27) KUHAP); (c) ket erangan lisan seseorang di muka sidang pengadilan (sesuai Pasal 185 ayat (1) KUHAP) dan (d) ket erangan saksi t ersebut saling bersesuaian sat u sam a lain (pasal 185 ayat (6) KUHAP). (2) Jenis kejahat an yang dapat menggunakan sarana m edia t eleconference untuk memberikan kesaksian oleh seorang saksi. Kat egori kejahat an yang dapat m enerapkan kesaksian seorang saksi melalui t eleconference harus dibat asi. Hal ini dikarenakan t idak sem ua kejahat an, dalam hal pem berian kesaksian dilakukan dengan menggunakan sarana t eleconference. Kat egori kejahat an yang dapat menggunakan sarana t eleconference m erupakan kejahat an yang m enarik perhat ian m asyarakat , m isalnya: kasus pem bunuhan, t erorisme, pelanggaran HAM berat , perkosaan maupun narkoba. (3) Tem pat pelaksanaan kesaksian diat ur secara jelas. Hal ini perlu diatur secara jelas m engenai t empat pelaksanaan kesaksian m elalui t eleconference. Hal ini perlu ditent ukan secara jelas t em pat nya sehingga pada w aktu m em berikan kesaksian seorang saksi t idak dilakukan di sem barang t em pat . Oleh karena itu, sebaiknya pelaksanaan kesaksian m elalui
t eleconference dilaksanakan di sebuah ruangan yang berada di dalam lingkup
gedung pemerint ahan, di w ilayah hukum t empat domisili saksi t ersebut . Apabila saksi t ersebut berada di luar w ilayah hukum negara Indonesia, maka kesaksian harus dilakukan di KBRI set em pat . Ket egasan t ent ang penentuan lokasi/ t em pat pelaksanaan pent ing untuk diatur sehingga bukan orang pribadi yang menent ukan lokasinya t et api hukum lah yang m enentukan. (4) Para pihak yang ikut mendam pingi saksi pada wakt u t eleconference. Seorang saksi yang akan memberi kan kesaksian m elalui t eleconference, sebaiknya didampingi oleh aparat penegak hukum , khususnya dari pihak pengadilan dan kejaksaan. Pendampingan ini perlu dilakukan untuk menghindari kecurigaan adanya int ervensi kepada saksi ket ika mem berikan kesaksian m elalui t eleconference. Pedom an untuk dapat melaksanakan kesaksian melalui t eleconference harus t erdapat dalam kebijakan pengat uran alat bukt i dalam perkara pidana. M emang bukan hal yang m udah
(17)
unt uk menggant i paradigma t ent ang sist em peradilan. Namun apabila hal t ersebut diatur dalam undang-undang, m aka akan lebih mudah untuk disosialisasikan.
PENUTUP 1. Kesimpulan
Pert ama, pelaksanaan ket erangan saksi melalui teleconference supaya
sah sebagai alat bukt i dalam proses peradilan pidana, m aka ket ent uan yang harus dipenuhi adalah ket erangan saksi di muka sidang pengadilan, dengan disum pah t erlebih dahulu sert a t ent ang perist iw a t ert ent u yang ia dengar, ia lihat dan ia alami sendiri (Nont est imonium de Audit u). Dengan dem ikian, supaya t idak m enim bulkan pro dan kont ra di masa yang akan dat ang, m aka regulasi mengenai ket erangan saksi m elalui t eleconference sebagai alat bukt i dalam perkara pidana dapat dilakukan dengan menet apkan kebijakan hukum secara form ulatif, yaitu m elakukan amandem em KUHAP.
Kedua, dalam RUU KUHAP, ket erangan saksi melalui t eleconference
diat ur dalam Pasal 180 ayat 2 RUU KUHAP yang m enyebut kan bahwa dalam hal saksi t idak dapat dihadirkan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, ket erangan saksi dapat diberikan secara jarak jauh m elalui alat komunikasi audio-visual dengan dihadiri oleh penasihat hukum dan penuntut umum. Namun sepanjang KUHAP t ersebut belum disahkan, m aka unt uk m engant isipasinya M ahkam ah Agung dapat m engeluarkan Perat uran M ahkamah Agung (Perm a) sebagai bentuk payung hukum bagi pelaksanaan ket erangan saksi m elalui t eleconference. Selain it u juga melalui kebijakan hukum mat eriil, yaitu syarat pelaksanaan penyelenggaraan kesaksian m elalui
t eleconference yang m eliput i: harus memenuhi ket ent uan mengenai
ket erangan saksi sebagai alat bukt i, jenis kejahat an yang dapat menggunakan sarana media t eleconference, t em pat pelaksanaan kesaksian diatur secara jelas dan para pihak yang ikut m endampingi saksi pada w akt u t eleconference.
(18)
2. Saran
Pert ama, kepada pem erint ah. Hendaknya pem erint ah segera m embuat
perat uran t entang t at a cara dan syarat agar izin penggunan audio visual (t eleconference) sebagaim ana diatur dalam Undang-Undang t ent ang Perlindungan Saksi dan Korban yang m engat ur t ent ang penggunaan audio visual (t eleconference), karena dalam undang-undang t ersebut belum diatur secara t egas t ent ang izin penggunaan audio visual di dalam persidangan.
Kedua, kepada M ahkam ah Agung. Perlunya M ahkam ah Agung untuk
memberi kan pendapat hukum t ent ang petunjuk t am bahan t erhadap peran hakim sebagai pem ut us perkara apabila Undang-Undang t idak cukup m engat ur sebelum RUU KUHAP disahkan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengeluarkan kebijakan dalam bentuk Perma unt uk pet unjuk pelaksanaannya sehingga polem ik t ent ang keabsahan kesaksian m elalui t eleconference t idak ada lagi.
Ket iga, kepada Hakim. Hendaknya hakim berpedoman pada Pasal 5
Undang-Undang Nom or 48 Tahun 2009 t ent ang Kekuasaan Kehakiman sehingga mampu mengikuti nilai-nilai hukum yang berkem bang di dalam m asyarakat , karena hal ini juga merupakan kew ajiban hakim unt uk menggali perkem bangan hukum t erut ama di bidang t eknologi informasi t ent ang ket erangan saksi m elalui
t eleconference. Dengan dem ikian, set iap alat bukt i yang diajukan dalam
persidangan w ajib diperiksa oleh hakim t ermasuk persidangan yang dilakukan melalui m edia t eleconference, karena hakim memiliki keyakinan yang kuat dalam menilainya sehingga putusan yang dijatuhkan lebih objekt if.
(19)
DAFTAR PUSTAKA
A. Sandick, Philip. 2012. “ Speechlessness and Traum a: Why t he Int ernat ional Crim inal Court Needs a Public Int erview ing Guide” . Nort hw est ern Journal
of Int ernat ional Human Right s, Volum e 11 | Issue 1.
Diamond, Shari Seidm an, Locke E. Bowm an, M anyee Wong & M at thew M . Pat t on. 2010. “ Efficiency And Cost : The Impact of Video Conferenced Hearings On Bail Decisions” . The Journal of Criminal Law & Criminology, Vol. 100, No. 3.
Harahap, M . Yahya. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pem erikasaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan
Kembali, Edisi Kedua. Jakart a: Sinar Grafika.
Karjadi, M . dan R. Soesilo. 2003. Kit ab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
dengan Penjelasannya Resmi dan Koment ar. Bandung: Polit eia.
Ledray, Susan. 2013. “ Virtual Services Whit epaper” . Harvard Journal of Law &
Technology, Occasional Paper Series — February 2013.
M ulyadi, Lilik. 2008. Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspekt if Teoret is dan
Prakt ik. Bandung: Alumni.
Sanusi, Arsyad et . al. 2003. Analisis dan Evaluasi Hukum Tent ang Pemanfaat an M edia Elekt ronik (Teleconference) Unt uk Pembukt ian Dalam Hukum
Acara Pidana. Jakart a: Badan Hukum Nasional Depart em en Hukum dan
HAM RI.
Salyzyn, Am y. 2012. “ A New Lens: Refram ing the Conversat ion about the Use of Video Conferencing in Civil Trials in Ont ario” . Osgoode Hall Law Journal. Sut eki. 2013. Desain Hukum Di Ruang Sosial. Yogyakart a: Thafa M edia.
(1)
secara lex specialist mengat ur m engenai perkem bangan alat bukt i, sedangkan ket ent uan yang secara t egas m engat ur m engenai t eleconference t erdapat dalam yurisprudensi. Di Indonesia sendiri yurisprundesi t ersebut bersifat persuasive precedent at au hanya sebagai sumber hukum dalam art i formal. Indonesia juga t idak mengenal asas precedent , dalam art i t idak m engenal asas st are decisis et quit a non movere (yait u suat u prinsip hukum yang m enyat akan bahwa pengadilan yang lebih rendah harus m engikut i keput usan pengadilan yang lebih t inggi). Dengan demikian, unt uk menggunakan/ m em anfaat kan m edia t eleconference dalam pemeriksaan di persidangan m enjadi sah, majelis hakim perlu mengeluarkan penet apan secara khusus untuk t erlaksananya t eleconference. Hal ini berart i bahwa proses pem berian kesaksian m elalui t eleconference ini t idak dapat secara ot om at is digunakan sebagai perat uran yang langsung dapat dit erapkan.
Oleh karena itu, supaya ada payung hukum t ent ang pem eriksaan saksi secara t eleconference sebelum dilakukannya amandem en t erhadap KUHAP, maka perlu adanya kebijakan dari M ahkamah Agung untuk m engeluarkan pedom an at au pet unjuk bagi pelaksanaannya. Kebijakan t ersebut dapat berupa Perma t ent ang t at acara at au pedoman t ent ang pemeriksaan saksi secara t eleconference. Hal ini pent ing untuk dilakukan supaya t idak menim bulkan pro dan kont ra dalam pelaksanaannya, karena pada prakt eknya hal ini sudah dilaksanakan di persidangan.
Nam un demikian, supaya t eleconference diakui sebagai alat bukti yang sah, am andemen t erhadap KUHAP perlu dilakukan untuk mengikut i perkembangan kemajuan t eknologi yang makin berkem bang, sehingga jenis alat bukti lainnya dapat digunakan sebagai alat bukt i t am bahan dalam pembuktian. Apabila KUHAP dilakukan sebuah revisi khususnya dalam limit asi alat -alat bukt i, lim a jenis alat bukt i dalam KUHAP sudah saatnya unt uk dihapus dan ditinggalkan. Pada dasarnya set iap at au sem ua alat dapat diajukan sebagai bukti, kecuali Undang-Undang menent ukan lain diserahkan kepada pert im bangan hakim.
(2)
Berdasarkan hal t ersebut set iap alat bukt i yang diajukan dalam persidangan w ajib diperiksa oleh hakim t erm asuk persidangan yang dilakukan melalui m edia t eleconference, karena hakim m emiliki keyakinan yang kuat dalam menilainya sehingga putusan yang dijat uhkan lebih objekt if.9
Dengan dem ikian, regulasi mengenai ket erangan saksi m elalui t eleconference sebagai alat bukt i dalam perkara pidana di masa yang akan dat ang adalah melalui kebijakan hukum secara form ulatif. Kebijakan hukum yang ideal adalah dalam bentuk undang-undang. Oleh karena it u, pent ing untuk dilakukan am andemen t erhadap KUHAP sebagai landasan hukum beracara di pengadilan. Dalam Rancangan Undang-Undang KUHAP, ket erangan saksi m elalui t eleconference diat ur dalam Pasal 180 ayat 2 RUU KUHAP yang m enyebut kan bahw a dalam hal saksi t idak dapat dihadirkan dalam pem eriksaan di sidang pengadilan, ket erangan saksi dapat diberikan secara jarak jauh melalui alat komunikasi audio-visual dengan dihadiri oleh penasihat hukum dan penuntut umum . Namun sepanjang KUHAP t ersebut belum disahkan, m aka untuk mengant isipasinya M ahkamah Agung dapat m engeluarkan Perat uran M ahkamah Agung (Perm a) sebagai bentuk payung hukum bagi pelaksanaan ket erangan saksi melalui t eleconference. Hal ini pent ing dilakukan guna menghindari adanya pro dan kont ra t erhadap penerapan kesaksian m elalui t eleconference. Dengan adanya perma ini diharapkan dapat m engisi kekosongan hukum sehingga legalit as kesaksian melalui t eleconference m enjadi lebih jelas.
Selanjutnya adalah kebijakan hukum mat eriil. Kebijakan hukum m at eriil adalah hal-hal yang berkait an dengan syarat pelaksanaan untuk dapat diselenggarakannya kesaksian m elalui t eleconference. Adapun syarat pelaksanaan ini m eliput i: (1) Harus m em enuhi ket ent uan m engenai keterangan saksi sebagai alat bukt i, yaitu: (a) dengan disumpah lebih dahulu (sesuai Pasal 160 ayat (3) jo. 185 ayat (7) KUHAP); (b) t ent ang perist iw a t ert ent u yang
9
(3)
didengar, dilihat dan dialami sendiri (nont est imonium de auditu) (sesuai Pasal 1 ayat (27) KUHAP); (c) ket erangan lisan seseorang di muka sidang pengadilan (sesuai Pasal 185 ayat (1) KUHAP) dan (d) ket erangan saksi t ersebut saling bersesuaian sat u sam a lain (pasal 185 ayat (6) KUHAP). (2) Jenis kejahat an yang dapat menggunakan sarana m edia t eleconference untuk memberikan kesaksian oleh seorang saksi. Kat egori kejahat an yang dapat m enerapkan kesaksian seorang saksi melalui t eleconference harus dibat asi. Hal ini dikarenakan t idak sem ua kejahat an, dalam hal pem berian kesaksian dilakukan dengan menggunakan sarana t eleconference. Kat egori kejahat an yang dapat menggunakan sarana t eleconference m erupakan kejahat an yang m enarik perhat ian m asyarakat , m isalnya: kasus pem bunuhan, t erorisme, pelanggaran HAM berat , perkosaan maupun narkoba. (3) Tem pat pelaksanaan kesaksian diat ur secara jelas. Hal ini perlu diatur secara jelas m engenai t empat pelaksanaan kesaksian m elalui t eleconference. Hal ini perlu ditent ukan secara jelas t em pat nya sehingga pada w aktu m em berikan kesaksian seorang saksi t idak dilakukan di sem barang t em pat . Oleh karena itu, sebaiknya pelaksanaan kesaksian m elalui t eleconference dilaksanakan di sebuah ruangan yang berada di dalam lingkup gedung pemerint ahan, di w ilayah hukum t empat domisili saksi t ersebut . Apabila saksi t ersebut berada di luar w ilayah hukum negara Indonesia, maka kesaksian harus dilakukan di KBRI set em pat . Ket egasan t ent ang penentuan lokasi/ t em pat pelaksanaan pent ing untuk diatur sehingga bukan orang pribadi yang menent ukan lokasinya t et api hukum lah yang m enentukan. (4) Para pihak yang ikut mendam pingi saksi pada wakt u t eleconference. Seorang saksi yang akan memberi kan kesaksian m elalui t eleconference, sebaiknya didampingi oleh aparat penegak hukum , khususnya dari pihak pengadilan dan kejaksaan. Pendampingan ini perlu dilakukan untuk menghindari kecurigaan adanya int ervensi kepada saksi ket ika mem berikan kesaksian m elalui t eleconference. Pedom an untuk dapat melaksanakan kesaksian melalui t eleconference harus t erdapat dalam kebijakan pengat uran alat bukt i dalam perkara pidana. M emang bukan hal yang m udah
(4)
unt uk menggant i paradigma t ent ang sist em peradilan. Namun apabila hal t ersebut diatur dalam undang-undang, m aka akan lebih mudah untuk disosialisasikan.
PENUTUP
1. Kesimpulan
Pert ama, pelaksanaan ket erangan saksi melalui teleconference supaya sah sebagai alat bukt i dalam proses peradilan pidana, m aka ket ent uan yang harus dipenuhi adalah ket erangan saksi di muka sidang pengadilan, dengan disum pah t erlebih dahulu sert a t ent ang perist iw a t ert ent u yang ia dengar, ia lihat dan ia alami sendiri (Nont est imonium de Audit u). Dengan dem ikian, supaya t idak m enim bulkan pro dan kont ra di masa yang akan dat ang, m aka regulasi mengenai ket erangan saksi m elalui t eleconference sebagai alat bukt i dalam perkara pidana dapat dilakukan dengan menet apkan kebijakan hukum secara form ulatif, yaitu m elakukan amandem em KUHAP.
Kedua, dalam RUU KUHAP, ket erangan saksi melalui t eleconference diat ur dalam Pasal 180 ayat 2 RUU KUHAP yang m enyebut kan bahwa dalam hal saksi t idak dapat dihadirkan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, ket erangan saksi dapat diberikan secara jarak jauh m elalui alat komunikasi audio-visual dengan dihadiri oleh penasihat hukum dan penuntut umum. Namun sepanjang KUHAP t ersebut belum disahkan, m aka unt uk m engant isipasinya M ahkam ah Agung dapat m engeluarkan Perat uran M ahkamah Agung (Perm a) sebagai bentuk payung hukum bagi pelaksanaan ket erangan saksi m elalui t eleconference. Selain it u juga melalui kebijakan hukum mat eriil, yaitu syarat pelaksanaan penyelenggaraan kesaksian m elalui t eleconference yang m eliput i: harus memenuhi ket ent uan mengenai ket erangan saksi sebagai alat bukt i, jenis kejahat an yang dapat menggunakan sarana media t eleconference, t em pat pelaksanaan kesaksian diatur secara jelas dan para pihak yang ikut m endampingi saksi pada w akt u t eleconference.
(5)
2. Saran
Pert ama, kepada pem erint ah. Hendaknya pem erint ah segera m embuat perat uran t entang t at a cara dan syarat agar izin penggunan audio visual (t eleconference) sebagaim ana diatur dalam Undang-Undang t ent ang Perlindungan Saksi dan Korban yang m engat ur t ent ang penggunaan audio visual (t eleconference), karena dalam undang-undang t ersebut belum diatur secara t egas t ent ang izin penggunaan audio visual di dalam persidangan.
Kedua, kepada M ahkam ah Agung. Perlunya M ahkam ah Agung untuk memberi kan pendapat hukum t ent ang petunjuk t am bahan t erhadap peran hakim sebagai pem ut us perkara apabila Undang-Undang t idak cukup m engat ur sebelum RUU KUHAP disahkan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengeluarkan kebijakan dalam bentuk Perma unt uk pet unjuk pelaksanaannya sehinggapolem ik t ent ang keabsahan kesaksian m elalui t eleconference t idak ada lagi.
Ket iga, kepada Hakim. Hendaknya hakim berpedoman pada Pasal 5 Undang-Undang Nom or 48 Tahun 2009 t ent ang Kekuasaan Kehakiman sehingga mampu mengikuti nilai-nilai hukum yang berkem bang di dalam m asyarakat , karena hal ini juga merupakan kew ajiban hakim unt uk menggali perkem bangan hukum t erut ama di bidang t eknologi informasi t ent ang ket erangan saksi m elalui t eleconference. Dengan dem ikian, set iap alat bukt i yang diajukan dalam persidangan w ajib diperiksa oleh hakim t ermasuk persidangan yang dilakukan melalui m edia t eleconference, karena hakim memiliki keyakinan yang kuat dalam menilainya sehingga putusan yang dijatuhkan lebih objekt if.
(6)
DAFTAR PUSTAKA
A. Sandick, Philip. 2012. “ Speechlessness and Traum a: Why t he Int ernat ional Crim inal Court Needs a Public Int erview ing Guide” . Nort hw est ern Journal of Int ernat ional Human Right s, Volum e 11 | Issue 1.
Diamond, Shari Seidm an, Locke E. Bowm an, M anyee Wong & M at thew M . Pat t on. 2010. “ Efficiency And Cost : The Impact of Video Conferenced Hearings On Bail Decisions” . The Journal of Criminal Law & Criminology, Vol. 100, No. 3.
Harahap, M . Yahya. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pem erikasaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua. Jakart a: Sinar Grafika.
Karjadi, M . dan R. Soesilo. 2003. Kit ab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasannya Resmi dan Koment ar. Bandung: Polit eia.
Ledray, Susan. 2013. “ Virtual Services Whit epaper” . Harvard Journal of Law & Technology, Occasional Paper Series — February 2013.
M ulyadi, Lilik. 2008. Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspekt if Teoret is dan Prakt ik. Bandung: Alumni.
Sanusi, Arsyad et . al. 2003. Analisis dan Evaluasi Hukum Tent ang Pemanfaat an M edia Elekt ronik (Teleconference) Unt uk Pembukt ian Dalam Hukum Acara Pidana. Jakart a: Badan Hukum Nasional Depart em en Hukum dan HAM RI.
Salyzyn, Am y. 2012. “ A New Lens: Refram ing the Conversat ion about the Use of Video Conferencing in Civil Trials in Ont ario” . Osgoode Hall Law Journal.
Sut eki. 2013. Desain Hukum Di Ruang Sosial. Yogyakart a: Thafa M edia.