Pendudukan Jepang di Salatiga

20

B. Pendudukan Jepang di Salatiga

Bala tentara Jepang memulai pendaratannya di Pulau Jawa di daerah Krawang dan Banten Jawa Barat dan Kragan Jawa Tengah. Jepang mendarat di Kragan, sebuah daerah di sebelah timur kota Rembang pada tanggal 28 Februari dan tanggal 1 Maret 1942 dengan kekuatan 6 divisi, yang kurang lebih berjumlah 50.000 orang. Melalui daerah Kragan, tentara Jepang memasuki daerah Purwodadi, Grobogan, Cepu, dan Surakarta. Di tempat ini bala tentara Jepang bergerak ke dua arah yaitu ke Surakarta dan Boyolali, dan keduanya bertemu di kota Klaten. Dari daerah ini tentara Jepang melanjutkan perjalanannya menuju Jogyakarta, Magelang, dan Semarang. Setelah diadakannya perjanjian Kalijati pada tanggal 8 Maret 1942, kekuasaan Hindia Belanda resmi diserahkan kepada pemerintah Jepang. Sehingga Indonesia mulai diperintah oleh Jepang yang luas wilayahnya meliputi wilayah Hindia Belanda dahulu. Luas wilayah kekuasaan Jepang di Jawa Tengah dapat dikatakan sama dengan luas wilayah kekuasaan Hindia Belanda. Yang membedakan hanyalah mengenai nama jawatan pemerintahan dan sebutan wilayah pengelolaan administrasi DEPDIKBUD, 1980:19. Menurut Handjojo, bala tentara Jepang menduduki kota Salatiga datang dari arah Solo dengan kekuatan kurang lebih setengah batalyon. Setelah pemerintahan Hindia Belanda menyerah tanpa syarat pada tanggal 9 Maret 1942, mulailah masa pendudukan Jepang di Salatiga yang ditandai dengan penurunan bendera Hindia Belanda yang dikibarkan di rumah 21 Asisten Residen Nuson dengan disaksikan oleh seorang opsir Jepang Handjojo, 1975: 17. Pada saat Jepang masuk Salatiga, tidak ada perlawanan ataupun pertempuran dengan Koninklijk Nederlands-Indisch Leger KNIL maupun polisi, karena lima hari sebelumnya tentara Hindia Belanda telah meninggalkan Salatiga menuju Magelang kemudian Jawa Barat dengan tidak merusak gedung-gedung seperti apa yang telah direncanakan oleh Vernielings Corps atau Pasukan Pengrusak. Setelah itu diikuti tindakan-tindakan lain dari pemerintah Jepang dengan mengeluarkan aturan yang bersifat menyerupai Jepang. Pada saat itu Salatiga masih dipimpin oleh walikota yang merangkap Asisten Residen. Asisten Residen Salatiga Nuson masih diwajibkan bekerja kurang lebih satu bulan lamanya sampai akhirnya seluruh nama jawatan diganti dengan bahasa Jepang. Pada saat pendudukan Jepang, semua pemerintahan Hindia Belanda dihapuskan dan untuk nama seluruh jawatan dirubah dengan istilah-istilah Jepang, seperti: 22 Tabel 1 Pergantian Nama Jawatan Salatiga Tahun 1942-1945 No Nama Jawatan Sebelum Pendudukan Jepang Nama Jawatan Pada Masa Pendudukan Jepang 1. Residen Syucokan 2. Asisten Residen Sidokan 3. Bupati Kunco 4. Patih Fuku Kenco 5. Walikota Shityo 6. Wedana Gunyto 7. Asisten Wedana Sontyo 8. Lurah Kutyo 9. Kasunanan kasultanan Kooti 10. Karesidenan Shuu Syuu 11. Kabupaten Ken 12. Kotapraja Si 13. Kawedanan Gun 14. Asistenan Son 15. Desa Ku 16. Jawatan Kepolisian Keisatsu 17. Jawatan Pengadilan Negeri Tihoo Hooun 18. Jawatan Kejaksaan Tihoo Kensatsu Kyoku 19. Jawatan Penerangan Sendenka 20. Jawatan Pertanian Noo-ka 21. Jawatan Perikanan Suisan-ka 22. Jawatan Kehutanan Rin-ka 23. Jawatan Pendidikan Sungaka 24. Jawatan Bank Rakyat Syomin Ginko 25. Jawatan Listrik Denki-ka 26. Jawatan Pekerjaan Umum Dobu-ka 27. Sekolah Pertama Syotoo Kokumin Gakko 28. Sekolah Rakyat Kokumin Gakko 29. Sekolah Menengah Tjuntoo Gakko Sumber : Handjojo, 1973:18-19 Menurut Undang-Undang No. 27 tentang perubahan tata pemerintahan daerah, seluruh Pulau Jawa dan Madura, kecuali dua koci Surakarta dan Yogyakarta, dibagi atas: 23 1. Syuu Karesidenan, yang terbagi atas Si dan Ken 2. Si Kotapraja atau sama dengan “stadsgementee” dahulu, dipimpin Shityo Walikota. Shityo pertama R. Patah 3. Ken Kabupaten atau sama dengan “regentschap” dahulu, dipimpin Kenjo Bupati. Daerah ken terbagi atas gun 4. Gun Kawedanan atau sama dengan “district” dahulu,dipimpin Guntyo Wedono 5. Son Kecamatan atau sama dengan “onderdistrict” dahulu, dipimpin oleh Shontyo . Contoh: Bringin-Son 6. Ku Desa, dipimpin Kutyo atau Lurah Kepala Desa Pada masa pendudukan Jepang, pemerintah daerah yang tertinggi ialah Syuu Karesidenan yang dipimpin oleh Syucokan. Dalam tugasnya, Syucokan dibantu oleh Cokan kambo Majelis Permusyawaratan Cokan yang memiliki tiga bu bagian, yaitu Naseibu bagian pemerintahan Umum, Keizabu bagian ekonomi dan Keisatsubu bagian kepolisian. Untuk Pulau Jawa sendiri terdapat 17 Syuu karesidenan. Di Jawa Tengah terbagi atas 5 Syuu , yaitu Pekalongan, Banyumas, Pati, Kedu dan Semarang. Sedangkan wilayah Jepara-Rembang diganti namanya menjadi Pati Syuu . Salatiga sendiri masuk Karesidenan Semarang Semarang Syuu DEPDIKBUD, 1979:13. Berdasarkan Osamu Seirei No.17 tanggal 15 Desember 2602, desa Tanduk, Sidomulyo, Banyuanyar dan Seboto yang semula masuk Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang dimasukkan ke Surakarta Kooci Kawedanan Ampel Kabupaten Boyolali. 24 Pada bulan Mei tahun 1942, Raden Patah diangkat menjadi Asisten Residen kota Salatiga. Namun, karena Raden Patah berhalangan, maka digantikan sementara oleh Raden Roeslam sampai akhir Oktober 1942. Kemudian pada tanggal 1 November 1942 Raden Soemardjo yang semula Guntyo Tengaran ditetapkan menjadi Shityo Salatiga sampai tanggal 30 Juni 1945 dan digantikan oleh Soemitro Handjojo, 1973:21. Pemerintah Jepang juga membentuk Tonari Gumi atau yang biasa dikenal dengan sebutan Rukun Tetangga RT. Tujuan dibentuknya Tonari Gumi ini ialah untuk memudahkan pemerintah Jepang mengawasi masyarakat secara langsung dan supaya segala perintah serta informasi dari Jepang kepada rakyat, misalnya pengerahan tenaga dapat disampaikan dengan mudah dan cepat. Berbagai kebijakan mulai diberlakukan pemerintah Jepang. Pada tanggal 20 Maret 1942 pemerintah Jepang mulai mengeluarkan peraturan mengenai pemasangan bendera Merah putih yang sementara dilarang untuk dikibarkan. Sebagai gantinya rakyat diwajibkan mengibarkan bendera Hinomaru pada setiap jawatan, kantor, dan bangunan resmi lainnya. Lagu Indonesia Raya juga dilarang untuk dinyanyikan. Lagu kebangsaan yang boleh dinyanyikan ialah Kimigayo . Semua pegawai harus menandatangani surat pernyataan setia kepada pemerintahan bala tentara Dai Nippon dan diharuskan memakai ban lengan putih dengan bendera merah di tengah yang berarti bendera Jepang. Selanjutnya, tahun Masehi disesuaikan dengan tahun Jepang yaitu 25 terpaut 660 tahun lebih tua, misalnya tahun 1944 Masehi menjadi tahun 2604. Waktu Indonesia juga disesuaikan dengan tahun Jepang yang terpaut 1,5 jam lebih dahulu, misalnya pukul 04.00 menjadi pukul 05.30. Sejak saat itu juga rakyat diwajibkan marayakan hari raya Tenchosetsu yakni hari lahirnya Kaisar Hirohito Suwarti, 2004:16. Pemerintah Jepang di Salatiga juga mewajibkan setiap pegawai kantor dan anak-anak sekolah untuk melakukan apel dengan menaikkan bendera Jepang sambil menyanyikan lagu kebangsaan negara Jepang, Kimigayo, dengan menghadap ke Timur Laut sebagai bentuk penghormatan kepada Kaisar Tenno. Pada masa pendudukan Jepang, kondisi masyarakat Salatiga sangat memprihatinkan. Pada awalnya memang baik-baik saja karena beberapa waktu sebelum Jepang datang, di Salatiga sudah terdapat orang Jepang yang berdagang di sekitar Pecinan Jalan Jenderal Sudirman sebagai mata-mata. Hanya saja masyarakat Salatiga dan Belanda kurang bisa membedakan karena mirip dengan etnis Cina. Mereka berkomunikasi dengan baik dengan masyarakat Salatiga dan mampu berbahasa Indonesia. Pada tanggal 9 Maret 1942 tentara Jepang masuk ke Salatiga. Sejak saat itulah kondisi kota Salatiga kacau, terutama dalam pemerintahannya. Orang-orang Belanda ditawan dan dimasukkan di kamp-kam interniran, yang dibagi menjadi beberapa tempat, yaitu Roncali dulu istana Djoen Eng, Ambarawa dan Banyubiru. Sementara KNIL dan polisi telah dibawa ke Magelang dan Kalijati lima hari sebelum kedatangan Jepang. Sisa-sisa 26 KNIL dan polisi ditawan di Cilacap. Kondisi yang mencekam menimbulkan teror tersendiri bagi masyarakat Salatiga wawancara dengan Eddy Supangkat 6 jnuari 2013 Setelah teror terhadap penduduk berkebangsaan Belanda, teror selanjutnya terhadap masyarakat pribumi. Tentara Jepang mendatangi rumah penduduk secara door to door kemudian menggeledah isi rumah untuk kemudian menyita kamera, radio, lampu senter serta senjata tajam. Tentara Jepang menyita kamera atau foto tustel milik masyarakat sehingga tidak ada yang sempat mengabadikan momen ketika Jepang berada di Salatiga. Ketakutan pihak Jepang membuat mereka mengontrol siaran radio serta menyegelnya supaya masyarakat tidak dapat mendengarkan siaran luar negeri sedangkan siaran lokal masih diperbolehkan. Berikut merupakan program radio standar dari Stasiun Pemancar Jakarta pada bulan April 1944 : 27 Tabel 2 Program Radio Stasiun Pemancar Jakarta Tahun 1942-1945 Pukul Program 7.30 Bahasa Jepang 7.40 Pengantar siaran hari ini 8.00 Pengumuman berita pemerintah 8.30 Berita dalam bahasa Jawa 8.45 Gerak badan taisho melalui radio 9.00 Berita dalam bahasa Sunda 9.15 Musik Barat 9.45 Jeda 11.00 Ceramah untuk wanita atau musik 11.30 Musik keroncong atau gamelan 13.00 Gerak badan taisho melalui radio 13.30 Orkes 14.00 Berita dalam bahasa Indonesia 14.15 Musik 15.30 Jeda 17.45 Pelajaran bahasa Jepang 18.00 Siaran untuk anak- anak “Bahasa Jepang Sederhana” 18.05 Siaran untuk anak-anak pelajaran menyanyi Jepang 18.30 Berita dalam bahasa Indonesia 18.45 Berita dalam bahasa Jawa 19.00 Berita dalam bahasa Sunda 19.15 Musik 19.30 Pengumuman dari kantor Kotamadya Khusus Jakarta 19.40 Musik 19.55 Menyanyi, keroncong 20.10 Bahasa Jepang, music 20.30 Orkes 21.00 Komentar berita 21.30 Berita dalam bahasa Indonesia 21.45 Hiburan 22.00 Berita dalam bahasa Jawa 22.30 Berita dalam bahasa Sunda 23.00 Musik 24.00 Hiburan 24.25 Pengumuman dari Kantor Kotamadya Khusus Jakarta 24.30 Penutup Sumber : Aiko Kurasawa, 1993:256 28 Berita dalam bahasa Jepang tidak ditujukan bagi warga Jepang melainkan untuk orang Indonesia yang belajar bahasa Jepang. Program radio yang ada di Tabel 2 diatas merupakan pengaturan untuk wilayah Jakarta. Sedangkan untuk wilayah Jawa Tengah hanya bahasa Jawa saja yang dimasukkan. Menilai dari programnya, peran radio dalam propaganda pemerintah Jepang beraneka ragam. Ia berfungsi sebagai sarana yang paling cepat dan akurat untuk menyebarkan seluruh pengumuman pemerintah. Senjata tajam seperti parang dan pedang semua disita oleh tentara Jepang. Hal ini dilakukan untuk menghindari perlawanan dari masyarakat. Masyarakat dipaksa mengumpulkan besi-besi tua di sepanjang Jalan Tuntang sekarang Jalan Diponegoro yang masih dipakai, seperti pagar besi, tiang listrik dan tiang telepon yang tidak dipasang. Besi-besi tua yang terdapat di makam Tionghoa dan makam Belanda di Kerkhof juga diambil. Kewajiban masyarakat untuk menanam tanaman jarak dan rosela diberlakukan. Tanaman ini menjadi tanaman wajib untuk kebutuhan bahan bakar. Baik pria maupun wanita diwajibkan menanam tanaman ini wawancara dengan Suwarni 4 Januari 2013. Bahkan Salatiga yang ketika jaman pemerintah Hindia Belanda mendapat julukan “Salatiga de Schoonste v an Midden Java” atau Kota Salatiga yang Terindah Se-Jawa Tengah karena banyak bunga-bunga seperti alamanda di sepanjang jalan, menjadi tak indah lagi karena bunga-bunga tersebut diganti dengan tanaman jarak. 29 Pemuda-pemuda yang terlihat sehat dan fisiknya bagus dipekerjakan menjadi romusha yang dijanjikan akan diberi upah yang baik dan dipekerjakan di tempat yang bagus. Karena pada saat itu kondisi ekonomi masyarakat lemah, mereka percaya dan mau menjadi romusha meskipun pada akhirnya romusha Salatiga banyak yang dikirim ke luar Jawa, Birma, Irian Barat dan Filiphina dan tidak kembali. Selain itu, rakyat juga takut apabila tidak mau menjadi romusha akan diberi hukuman oleh tentara Jepang. Kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang memprihatinkan membuat masyarakat ada yang terpaksa mencuri. Akhirnya siapapun yang ketahuan mencuri kemudian dihukum dan disiksa dengan cara mengikat tangan orang tersebut dan disayat menggunakan silet. Orang yang lewat dipaksa menyiramkan air asam kepada orang yang sedang disiksa tersebut. Di Salatiga terdapat rumah penyiksaan di Buksuling. Orang-orang yang dicurigai sebagai mata-mata Belanda ditangkap, ditelanjangi kemudian diperintahkan untuk tengkurap di atas seng yang sebelumnya sudah dipanaskan di bawah sinar matahari sampai ia mengaku. Wanita-wanita pribumi yang terlihat cantik dipaksa untuk melayani dan menjadi pemuas nafsu tentara Jepang. Mereka dibawa ke tangsi-tangsi di Salatiga dan dijanjikan akan diberi pekerjaan yang baik. Namun kenyataannya wanita-wanita pribumi dan nonik-nonik Belanda dibawa hanya untuk menjadi pekerja seks untuk tentara Jepang sebelum pergi berperang wawancara dengan Eddy Supangkat 6 Desember 2013. 30

C. Kondisi Sosial-Ekonomi Salatiga Pada Masa Pendudukan Jepang