17
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Geografis dan Pemerintahan Kota Salatiga
Salatiga terletak di sebelah selatan Semarang dengan luas wilayah 295 KM
2
, dengan ketinggian 580 M di atas permukaan laut. Luas wilayah administrasi Salatiga mengalami perubahan seiring dengan perkembangan
sejarah kota ini. Tidak diketahui secara pasti luas dan batas wilayah Salatiga sampai pada pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Surat
Keputusannya pada tanggal 13 Februari 1895 tentang penghapusan Kabupaten Salatiga menjadi sebuah Distrik Salatiga, Afdeeling
Ambarawa, Kabupaten Semarang, Karesidenan Semarang. Salatiga memiliki iklim yang sejuk, agak lembab dan memiliki
pemandangan indah karena terletak di lereng Gunung Merbabu dan Ungaran. Pada akhir tahun 1905, populasi hampir 115.000 jiwa yang
terdiri dari orang Eropa, orang China, beberapa orang Arab dan Asiatik asing lainnya. Sedangkan pada tahun 1915 populasi hampir 396.000 jiwa.
Distrik Salatiga dibagi menjadi empat sub distrik, yaitu Salatiga, Bringin, Getasan dan Tuntang
Encyclopedie van Nederlandsch Deel VI
Dalam St. No. 35 tahun 1895, Salatiga tidak lagi menjadi sebuah kabupaten karena kedudukan Bupati digantikan dengan seorang Patih yang
bernama Raden Soemowidjojo dari tahun 1904 – 1919 kemudian
digantikan oleh Raden Mas Soerohamiprodjo pada tahun 1919-1928.
18 Setelah itu jabatan Patih dihapus dengan berubahnya status
gementee
Salatiga menjadi
stadsgementee
Emy Wuryani, 2006: 56. Perkembangan sistem pemerintahan di Salatiga tidak terlepas dari
tuntutan orang-orang Eropa yang tinggal di Salatiga. Mereka menuntut pemerintah Hindia Belanda supaya Salatiga diberi status
gementee
yang kemudian disetujui oeh kerajaan Belanda pada tanggal 25 Juni 1917.
Menurut Handjojo, alasan Salatiga dijadikan suatu
gementee
ialah karena Salatiga memiliki letak yang strategis diantara kota Solo, Semarang dan
Magelang. Kota ini merupakan tempat peristirahatan orang-orang kaya dan kulit putih. Alasan kedua ialah bangsa Belanda yang bertempat tinggal di
Salatiga tidak senang berada di bawah pemerintahan seorang Bupati pribumi Handjojo, 1973:14
Gementee
Salatiga dipimpin oleh seorang
Burgermeester
walikota yang ditunjuk oeh Gubernur Jenderal. Adapun yang menjadi daerah
gementee
Salatiga meliputi desa yang selama ini menjadi jalur utama kegiatan ekonomi, pusat kegiatan pemerintahan dan tempat tinggal
orang-orang Eropa, yaitu Salatiga atau Krajan, Sidorejo Lor, Kutowinangun, Kalicacing, Ledok, Gendongan dan Mangunsari Emy
Wuryani, 2006:58 Sedangkan menurut mantan walikota Salatiga, Handjojo, didirikan
stadsgementee
Solotigo yang wilayahnya terdiri dari 8 desa, diambil dari wilayah Asistenan Solotigo, yaitu:
19 1.
Sebagian besar dari Desa Sidorejo Lor sekarang 2.
Sebagian besar dari Desa Solotigo Krajan sekarang 3.
Sebagian besar dari desa Kutowinangun sekarang 4.
Seluruh Desa Kalicacing sekarang 5.
Kurang lebih separo dari Desa Mangunsari sekarang 6.
Sebagian besar dari Desa Gendongan sekarang 7.
Sebagian kecil dari Desa Tegalrejo sekarang 8.
Sebagian kecil dari Desa Ledok sekarang Beberapa bagian dari desa tidak dimasukkan dalam
stadsgementee
karena penduduknya sedikit, merupakan tanah sawah dan tegalan serta mencari batas yang lurus dan menggunakan jalur atau sungai sebagai
batas. Terbentuknya
stadsgementee
bertujuan untuk
menjamin kesejahteraan golongan atas yaitu bangsa Belanda.
Pada tanggal 25 Agustus 1937, Salatiga termasuk dalam distrik Semarang yang dikepalai oleh Raden Soegiri Soemobroto
Reegerings Almanak
, 1940:325. Dengan demikian struktur pemerintahan Salatiga pada tahun 1895-1942 mengalami perubahan dan terdapat dua sistem
pemerintahan yang bersifat kolonial dan tradisional. Sistem pemerintahan kolonial untuk
gementee
Salatiga, sedangkan sistem pemerintahan tradisional untuk desa-desa Salatiga yang tidak termasuk ke dalam sistem
pemerintahan
gementee
. Sistem pemerintahan ini berlangsung sampai pemerintah militer Jepang menduduki Salatiga pada tanggal 9 Maret 1942.
20
B. Pendudukan Jepang di Salatiga