KONSTRUKSI HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH

(1)

ABSTRACK

CONSTRUCTION THE RELATION OF THE CENTRAL AND REGIONAL GOVERNMENT IN THE LAW NUMBER 11 OF 2006

ABOUT THE GOVERNMENT OF ACEH

By

MUHAMAD YUDHO SYAFEI

Research is aimed to know the construction of the relationship between the central government and regions in the regulation 11 / 2006 about reign of Aceh in the unitary state of the Republic of Indonesia. Research using statue approach, conceptual approach, hystorical approach. The data used is data secondary acquired through study of pustaka. data processed in systematic. After that analyzed in descriptive qualitative. Result showed that of the agrement between the government and gerakan aceh merdeka organitations made agreement MoU Helsinki impack consequences implementation regulation number 18 / 2011 about aceh special autonomy as a province Nanggroe Aceh Darussalam replace with regulation number 11 / 2006 about government of Aceh. aceh has special authority, that is a broad special autonomy, it has relationship construction with the Central Government As regulation for the natural resources with the central government relatively large, Balancing fund and additional funds special autonomy for aceh, Organization of the judiciary in aceh, government of Aceh also participated in defense and security affairs Supposed to of the central government. The implementation of the regulation number 11 / 2006 about government of Aceh impact will be inequality in the regions of the Indonesian unitary State even want to prosecute independent.


(2)

ABSTRAK

KONSTRUKSI HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG

PEMERINTAHAN ACEH

Oleh

MUHAMAD YUDHO SYAFEI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konstruksi hubungan pemerintah pusat dan daerah dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penelitian menggunakan pendekatan statue approach, conceptual approach, hystorical approach. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh melalui studi pustaka. Data diolah secara sistematis. Setelah itu dianalisis secara diskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan terjadinya kesepakatan damai antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka yang melahirkan nota kesepahaman yakni MoU Helsinki menimbulkan konsekuensi berupa diberlakukannya Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 Tentng otonomi khusus daerah istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang pemerintahan Aceh, Aceh memiliki kewenangan yang istimewa, yaitu otonomi khusus yang luas, sehingga memiliki konstruksi hubungan dengan pemerintah pusat seperti pengaturan bagi hasil sumber daya alam dengan pemerintah pusat yang relatif besar, dana perimbangan dan dana tambahan otonomi khusus bagi Aceh. Penyelenggaraan lembaga peradilan di Aceh, serta turut campur pemerintahan Aceh dalam urusan pertahanan dan keamanan yang pada dasarnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh berimplikasi akan terjadi kecemburuan daerah lain dalam NKRI ingin melakukan tuntutan serupa bahkan menuntut merdeka.


(3)

(4)

(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Jaya Kecamatan Terbanggi Besar, Kabupaten Lampung Tengah, Pada tanggal 03 Juni 1991, sebagai anak pertama dari dua bersaudara, pasangan orang tua Bapak Juharnoto dan Ibu Saunim Br Damanik. Pendidikan Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD Negeri 1 Tanjung Anom pada tahun 2003, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) diselesaikan di SMP Negeri 1 Terusan Nunyai pada tahun 2006, Pondok Modern Darussalam Gontor dan Madrasah Aliyah (MA) diselesaikan di MAN 1 Poncowati Lampung Tengah pada tahun 2009. Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung tahun 2009 melalui jalur undangan (PKAB). Selama menjadi Mahasiswa, penulis aktif mengikuti berbagai organisasi, diantaranya, sebagai sebagai Kepala Biro Usaha Mandiri UKMF FOSSI FH UNILA pada tahun 2010-2011, Ketua Umum UKMF WEHH FH UNILA 2010-2011, Sekertaris Umum Himpunan Mahasiswa Hukum Tata Negara (HIMA HTN) pada tahun 2011-2012, Staf Ahli Kementrian Dalam Negeri BEM U KBM UNILA pada tahun 2011-2012, dan juga sebagai Anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa Universita KBM UNILA anggota Komisi II Advokasi dan Perundang-undangan. Selain dalam kegiatan internal kampus penulis juga aktif dalam kegiatan eksternal kampus, yakni magang sebagai Staf Legal pada Sapta Consultant.


(7)

MOTO

“....Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang

menegakan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil, dan janganlah sekali-kali kebencinmu terhadap suatu kaum, mendorong untuk kamu berbuat

tidak adil. Berlaku adilah karna adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu

kerjakan....”

(QS. Al-Maidah: 8)

” Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain ”

(HR. Bukhari)

“Kejujuran lebih baik dari pada Kebenaran”

“Bebas yang Terbatas”

(Armen Yasir)

“Beristirahatlah dengan Shalat bukan beristirahat dari Shalat” (Muhamad Yudho Syafei)


(8)

PERSEMBAHAN

Semua Nikmat dan Anugerah yang kumiliki

Tak pernah lepas dari kuasa dan Ridho Allah SWT, wahai Rabb pemilik Jiwa ini

Segala Puji dan Syukur hanyalah kepada Mu

Sebuah karya kecil yang bergoreskan pemikiran ini kupersembahkan kepada inspirasi terbesar dalam hidupku

Ibuku Saunim Br Damanik dan Ayahku Juharnoto

Adikku tercinta

Nur Afni Yuliani

Sahabat seperjuangan dan pergerakan

serta

Almamater Tercinta,


(9)

SANWACANA

Assalamualaikum Wr. Wb.

Segala puji hanyalah milik Allah, Tuhan semesta alam, yang Maha Agung, dan menjadikan apapun yang ada di bumi dan di langit atas kehendak-Nya. Shalawat teriring salam tak lupa saya hanturkan kepada Baginda Nabi Besar Muhammad SAW, sebagai suri tauladan terbaik, dan semoga syafaat beliau dapat menyelamatkan para hambanya diyaumil akhir nanti, Amin.

Sebuah penghantar dan persembahan bagi tiap-tiap orang yang telah banyak memberikan inspirasi, tenaga, bantuan dan pemikiran dalam penyelesaian tulisan sederhana tentang Konstruksi Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah. Sehingga penulis pada akhirnya mampu menyelesaikan dan merasakan keberhasilan yang membuatnya dirinya kini merasa bangga dan bahagia. Seberapapun kalimat yang ditulis ini takkan mampu mewakili ungkapan haru yang sebenarnya, namun tak ada cara lain selain mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Armen Yasir, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Utama, terima kasih atas bimbingan serta nasihat yang telah Bapak berikan selama ini, atas kesabaran dan kesediaan meluangkan waktu dalam kesibukannya, mencurahkan segenap pemikirannya, memberikan bimbingan, saran, yang berharga dalam proses penyelesaian skripsi ini.


(10)

2. Bapak Zulkarnain Ridlwan,S.H.,M.H. selaku Dosen pembimbing II selama ini telah menjadi pembimbing penulis, terimakasih telah bersedia meluangkan waktunya, mencurahkan segenap pemikirannya, memberikan bimbingan serta saran dalam proses penyelesaian skripsi ini.

3. Ibu Yulia Neta, S.H., M. H, selaku Pembahas utama penulis. Terima kasih atas masukan dan telaah tajam selama ini, selain telah menjadi seorang pembahas yang cermat dan kritis.

4. Bapak Muhtadi, S.H.,M.H., selaku Pembahas II, yang telah banyak memberikan kritik dan komentar kritis bagi penulis untuk terus memperbaiki penulisan skripsi ini.

5. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

6. Bapak Rudy,S.H.L.LM.,L.LD. selaku ketua bagian Hukum Tata Negara yang telah banyak memberikan masukan kepada penulis, dan sebagai tempat berkonsultasi tentang segala hal terimakasih atas ilmunya selama ini.

7. Ibu Nila Nargis,S.H.,M.H, dosen pembimbing akademik penulis. Terima kasih atas bimbingan dan nasehatnya selama ini.

8. Dosen-dosen Hukum Bagian Hukum Tata Negara Pak Iwan Satriawan, Pak Shaleh, Pak Budiono, Bu Chandra, Bu Siti Asiah, Bu Erna Sari dan Bu Martha yang telah berbagi ilmu kepada penulis. Telah memberikan wawasan baru kepada penulis. Terima kasih sebesar-besarnya.

9. Dosen-dosen Fakultas Hukum yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah memberikan ilmu selama perkuliahan di Fakultas Hukum Unila.


(11)

10.Segenap Murabbi tarbiyahku, Eko Primananda. S.H, Mochtar Hadi Saputra. S.H, Prawoto. Spd, Agung Wibawa. S.Sos.I, M.Si., Dr. Dedy Hermawan, S.Sos, M.Si., yang telah mengajarkanku begitu banyak berbagai hal tentang Ilmu Tauhid, Aqidah dan Fiqih Islam selama ini. Semoga ALLAH SWT membalas dengan memberikan pahala yang besar kepada kalian.

11.Pak Marjiyono,S.Pd, Pak Sujarwo, dan Pak Supendi yang telah menjadi bapak dan teman bagi penulis, yang selalu bisa diajak berdiskusi.

12.Teristimewa untuk kedua orangtuaku, penyemangat sekaligus guruku selama ini, yang telah banyak memberikan ketauladanan dan membentuk karakter didalam diriku, kalianlah sosok yang paling menginspirasi diriku, segala keberhasilan dan prestasi yang aku dapat, aku persembahkan untuk kalian, demi mengharapkan simpul senyum bangga diwajah kalian wahai Ayah dan Ibuku. 13.Adikku, Nur Afni Yuliani, yang selama ini telah menjadi teman bermain dan

bercanda dalam keluarga kecil kita yang bahagia. Kalau kakak sarjana kelak kamu harus sarjana juga.

14.Kakak Sepupu-sepupuku, Ruliana Samosir, Malik Yarham Samosir, S.Ei, Rahma Izan Samosir, S.Kom. yang senantiasa memberikan semangat dan dukungannya selama ini

15.Teman-temanku seperjuangan MABES yang telah berjuang bersama mengarungi pahit dan manisnya perjalanan kampus. SM Munawar Harun, S.H., Saputro Prayitno, S.H., Muhammad Amin Putra, S.H., Sofyan Jaylani, S.H., Syukri Romadhon, S.H., Andhika Prayoga, S.H., Garda Arian Gunawan, S.H., Andry Rahman Arif, S.H., Adam Tiansah, S.H., A Rivan Utama Putra, S.H., Muhammad Faisal, Pimal Ibrahim, Riki Indra, Gigih Suci Prayudhi, Raden


(12)

Permata, Roni Septian Maulana, Hidayat Fadilah, Handi Alifta Mahendra, Harmawan Pranayudha, Muhammad Tajudin Hidayatullah, Rafli Pramudya,. Ridho Abdillah Husin.

16.Serta adik-adik Fossi Agung, Echo, Fadli, Andhika & Andhika, Yomi, Yoga, Ruhly, Andi, Afrizal dan lainya

17.Rekan-rekanku di HIMA HTN, M Amin Putra, S.H., Riki Indra, Zulqadri Anand, Mushab Rabbani, Malicia Evendia, S.H., Reisa Malida, S.H., Dinarti Andarini, Nico Noviansah, dll terimakasih atas bantuannya dan kebersamaan selama ini.

18.Teman-temanku tercinta di Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas Lampung.

19.Seluruh Staf dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung, yang telah memperlancar semua urusan akademik penulis.

20.Almamaterku tercinta, Fakultas Hukum Universitas Lampung.

21.Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan, semangat dan dorongan dalam penyusunan skripsi ini, yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan Rahmat dan Karunianya kepada Bapak, Ibu, serta rekan-rekan semua. Sangat penulis sadari bahwa berakhirnya masa studi ini hanyalah awal perjalanan dalam menempuh kehidupan.

Wassalamualaikum. Wr. Wb.

Bandar Lampung, 24 Oktober 2013 Penulis


(13)

i DAFTAR ISI

DARTAR ISI ………... i

BAB IPENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 2

1.2. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup ... 10

1.3. Tujuan dan kegunaan penelitian ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Bentuk Susunan Negara ... 13

2.1.1. Negara Kesatuan ... 14

2.1.2. Negara Federal ... 19

2.2. Otonomi Daerah ... 23

2.3. Desentralisasi ... 25

2.3.1. Tujuan Desentralisasi ... 29

2.3.2. Bentuk-bentuk Dsentralisasi ... 32

2.4. Hubungan Pusat dan daerah ... 36

2.5.Landasan Konstitusional Penyelenggaraan Otonomi Derah Dalam Negara Kesatuan Republik indonesia ... 39

2.6. Daerah Istimewa Aceh ... 44

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 47

3.1. Jenis dan Tipe Penelitian ... 47


(14)

ii

3.3. Data dan Sumber Data ... 49

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 51

3.5. Metode Pengolahan Data ... 51

3.6. Analisis Data ... 52

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 53

4.1. Sejara Pemerintahan Aceh ... 53

4.2.Terbentuknya nota kesepahaman antara Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka ... 63

4.3. Hubungan Pemerintahan Pusat dan daerah dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh ... 66

4.3.1. Desentralisasi ... 66

4.3.2. Dekonsentrasi ... 75

4.3.3. Tugas Pembantuan ... 83

4.4. Dampak Penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Terhadap Negara kesatuan Indonesia ... 84

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 91

5.1. Simpulan ... 91

5.2. Saran ... 92


(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Ide negara kesatuan muncul dari adanya pemikiran dan keinginan dari warga masyarakat suatu negara untuk membentuk suatu negara yang dapat menjamin adanya persatuan dan kesatuan, keinginan itu semua timbul dalam upaya membangun suatu negara yang kokoh dan memiliki kemungkinan kecil atau terhindar dari kemungkinan adanya konflik yang serius antara pusat dan daerah yang dapat menghambat pembangunan nasional dan meyebabkan mudahnya terjadi perpecahan.

CF Strong menyebutkan1 bahwa negara kesatuan hakikatnya adalah negara yang kedaulatannya tidak terbagi atau dengan katalain negara yang kekuasaan pemerintah pusatnya tidak terbatas, karena konstitusi negara kesatuan tidak mengakui adanya badan pembuat undang selain badan pembuat undang-undang pusat. Ada dua sifat penting negara kesatuan yaitu:

1. Supremasi parlemen pusat, yakni bahwa dimana ada negara kesatuan disitu pula terdapat supermasi parlemen pusat, seringkali pada suatu negara kesatuan ada beberapa jenis undang-undang yang tidak diizinkan konstitusi

1

CF Strong, Modern Political Constitution, (Jakarta: diterjemahkan oleh Nusa media, 1952), hlm. 115.


(16)

2 untuk disahkan kecuali dengan kondisi kondisi khusus, akan tetapi parlemen pusat pada negara federal diawasi dengan pengertian yang lebih lengkap dari pada pengertian ini, karena konstitusi federal tidak hanya menetapkan cara cara perubahan konstitusi tetapi juga menentukan kekuasaan yang menjadi otoritas federal dan kekuasaan yang menjadi unit federasi, oleh karena itu di negara federal ada dua lembaga legislatif yakni lembaga legislatif federal (pusat) dan lembaga legislatif negara bagian, satu lembaga untuk setiap bidang wewenangnya sendiri dan tidak berkuasa secara universal. Sedangkan di negara kesatuan hanya ada satu lembaga legislatif yang selalu memegang kekuasaan tertinggi secara absolut.

2. Tidak adanya badan berdaulat tambahan, sifat penting yang kedua dari negara kesatuan adalah tidak adanya badan berdaulat tambahan pembedaan yang digariskan disini adalah pembedaan diantara otoritas daerah pada negara kesatuan dengan otoritas negara bagian pada negara federal, pembedaan ini lebih cepat didasari pada saat membahas otoritas negara bagian pada suatu federasi dalam hubungannya dengan otoritas federal dari pada hubungannya dengan konstitusi. Otoritas negara bagian memiliki hak-hak yang tidak dapat ditambah atau dikurangi oleh otoritas federal. Satu-satunya kekuasaan yang dapat menambah atau mengurangi hak-hak negara bagian adalah konstitusi itu sendiri.

Sejarah ketatanegaraan, jaman purba, jaman kuno, jaman abad pertengahan, jaman renaissance, kemudian memasuki jaman hukum alam, baik abad XVII maupun abad XVIII, negara kesatuan memiliki sifat absolut dan melaksanakan asas sentralisasi dan asas kosentrasi. Asas sentralisasi adalah asas yang menghendaki


(17)

3 bahwa segala kekuasaan serta urusan pemerintahan itu milik pemerintah pusat, sedangkan asas kosentrasi menghendaki bahwa segala kekuasaan serta urusan pemerintah itu dilaksanakan sendiri oleh pemerintah pusat, baik yang ada di pusat pemerintahan maupun yang ada di daerah-daerah.2

Format pemerintahan daerah di Indonesia saat ini merupakan penjabaran dari Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 18 yang telah diamandemen “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”. Ketentuan ini diatur lebih lanjut dalam Undang-UndangNomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 Angka (1-4)

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah

2

Edie Toet Hendratno, Negara kesatuan,Desentralisasi,dan Federalisme , (Yogyakarta: Graha Ilmu bersama Universitas Pancasila, 2009), hlm. 45.


(18)

4 Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, bentuk negara yang digunakan di Indonesia adalah bentuk negara kesatuan yang didesentralisasikan. Penggunaan desentralisasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ditunjukkan dengan adanya pembagian daerah sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua Pasal 18 ayat (1) sampai dengan ayat (3) yang berbunyi:

1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah- daerah Propinsi

dan daerah-daerah Propinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Propinsi, Kabupaten dan Kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan Undang-Undang;

2. Pemerintah Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan Kota mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

3. Pemerintah Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan Kota memiliki Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum

Ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 tersebut mengisyaratkan bahwa sistem pemerintahan daerah menurut Undang-Undang Dasar 1945 menempatkan pemerintah daerah sebagai bagian dari sistem pemerintahan Indonesia. Hal ini berhubungan dianutnya bentuk negara kesatuan menurut Pasal 1 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945, artinya Negara Republik Indonesia menganut bentuk negara kesatuan yang didesentralisasi.

Undang Undang Dasar 1945, baik sebelum maupun setelah amandemen, memberi ruang konflik hadirnya praktik hubungan pusat dan daerah yang didasarkan kepada karakter khas suatu daerah. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen, ditegaskan bahwa negara mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa. Berdasarkan rumusan itu, Undang-Undang Dasar 1945 memungkinkan munculnya praktik otonomi daerah yang berbeda antara suatu daerah dan daerah lain. Di Indonesia dikenal pula adanya


(19)

5 satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa dan satuan-satuan masyarakat hukum adat yang merupakan pengaturan pemerintahan asli Indonesia yang sepanjang hal itu masih ada sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 B. Ketentuan ini mengandung arti bahwa dalam susunan daerah baik provinsi, kabupaten maupun kota dimungkinkan adanya pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa, namun pengertian daerah khusus dan istimewa dalam Undang-Undang Dasar 1945 ini belum ada batasan pengaturannya. Namun untuk mengatur lebih jauh bagaimana perbedaan derajat khusus maupun istimewa, Undang-Undang Dasar 1945 menyerahkannya kepada undang-undang.

Secara harfiah istilah khusus dan istimewa itu sama,3 tetapi dalam penerapannya atau secara teknis berbeda, dilihat secara historis pemberlakuan daerah istimewa untuk Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dilatarbelakangi oleh agama yakni melalui keputusan wakil perdana menteri Republik Indonesia Mr. Hardi yang mengeluarkan keputusan Nomor 1/Missi/1959 ditahun 1959 isinya memberikan otonomi bidang agama, peradatan, dan pendidikan. Ini semua berkat negoisasi Gubernur Ali Hasjmy dan pemimpin dewan revolusi Aceh Hasan Saleh.4 Daerah istimewa Yogyakarta juga diberlakukan sebagai daerah istimewa dilatarbelakangi oleh keistimewaan dalam bidang tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur antara lain syarat khusus bagi calon Gubernur daerah istimewa Yogyakarta adalah Sultan Hamengku Buwono yang bertahta, dan wakil gubernur adalah Adipati Paku Alam yang bertahta. Gubernur

3

Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Balai Pustaka), hlm. 341, 437.

4

Ferry Mursyidan Baldan, Pondasi menuju Perdamaian Abadi catatan Pembahasan RUU Pemerintahan Aceh), (Jakarta: Suara Bebas, 2007), hlm. 46.


(20)

6 dan Wakil Gubernur memiliki kedudukan, tugas, dan wewenang sebagaimana Gubernur dan Wakil Gubernur lainnya, ditambah dengan penyelenggaran urusan-urusan keistimewaan, berbeda untuk provinsi DKI Jakarata menggunakan istilah daerah khusus, pemberlakuan daerah khusus untuk ibukota Jakarata dikarenakan daerah khusus ibukota Jakarta merupakan ibukota negara.

Dalam praktik, sejak awal kemerdekaan semua daerah diatur seragam dan semua undang-undang tentang pemerintahan daerah punya tafsir berbeda mengenai makna khusus dan istimewa. Perkembangan berbeda mulai terasa sejak tahun 1999. Pemerintah tak mungkin lagi mengaturnya secara seragam. Bahkan untuk Provinsi Nangroe Aceh Darussalam beberapa ketetapan MPR mengamanatkan daerah itu diberlakukan otonomi khusus. Untuk memenuhi amanat itu, tahun 2001 ditetapkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus Aceh.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 mengatur mengenai pemberian status otonomi khusus. Berikut pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang mengatur tentang pemberian status otonomi khusus adalah:

Pasal 2 Ayat (8)

Negara meengakui dan menghormati satua satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang di atur dengan undang undang.

Pasal 225

Daerah daerah yang memiliki status istimewa dan di berikan otonmi khusus selain dengan undang undang ini di berlakukan pula ketentuan khusus yang di atur dalam undang undang lain.


(21)

7 Pasal 226 Ayat (1)

Ketentuan dalam undang undan ini berlaku bagi provinsi daerah khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Provinsi Papua, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sepanjang tidak di atur secara khusus dalam undang undan tersendiri.

Penjelasan Pasal 226 Ayat (1)

Yang di maksud dengan undang tersendiri adalah Undang Undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Undang Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaran keisimewaan provinsi daerah istimewa Aceh, jo Undang Undang Nomor 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi aceh sebagaimana di ubah menjadi Undang Undang Nomor 11 tahun 2006 Tentang pemerintahan Aceh dan Undang Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan peluang sifat-sifat federasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dapat dilihat dari pasal-pasal dalam undang-undang tersebut yang mengatur tentang pemberian sumber-sumber otonomi khusus untuk suatu daerah. Dalam Pasal 226 Ayat (1) dan penjelasannya indikasi-indikasi sifat federal dalam negara kesatuan nampak terlihat yakni dengan adanya pemberlakuan undang-undang tersendiri yang mengatur daerah-daerah yang memiliki status istimewa disebutkan dalam pasal tersebut, implementasi otonomi khusus bagi Provinsi Nangroe Aceh Darussalam diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Nangroe Aceh Darussalam sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 Tentang pemerintahan Aceh. Disimpulkan bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang pemerintahan Daerah tidak dapat diberlakukan di Aceh.

Dalam Undang-Undang pemerintahan Aceh terdapat indikasi- indikasi yang mengarah pada sistem pemerintahan federal atau dapat dikatakan terdapat negara


(22)

8 dalam negara, salah satu contoh hal ini dapat dilihat penggunaan beberapa istilah yang tidak lazim dan tidak sesuai dengan peristilahan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan nasional. Antara lain istilah “Pemerintah Aceh dan

Pemerintahan Aceh”yang digunakan dalam undang-undang ini tidak sesuai dengan prinsip negara kesatuan dan Undang-Undang Dasar 1945, yang seharusnya istilah yang digunakan adalah pemerintah provinsi. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 juga memberikan kewenangan kepada pemerintah Provinsi Aceh untuk membentuk lembaga peradilan yang bebas dari pengaruh pihak manapun, ini di atur dalam pasal Pasal 128 ayat (1-4)

(1) Peradilan syari’at Islam di Aceh adalah bagian dari sistem peradilan nasional dalam lingkungan peradilan agama yang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak mana pun.

(2) Mahkamah Syar’iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh.

(3) Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Qanun Aceh.

Ketentuan ini menunjukkan bahwa Provinsi Nangroe Aceh Daerussalam memiliki kewenangan yang sama dan sebenarnya merupakan kewenangan pemerintah pusat yaitu kewenangan dibidang yustisi atau peradilan sebagaimana diatur dalam pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008. Dengan demikian kewenangan yang dimiliki oleh Provinsi Nangroe Aceh Darussalam tersebut dapat dikatakan adalah kewenangan suatu negara. Hal


(23)

9 ini merupakan suatu indikasi adanya suatu negara dalam negara. Berdasarkan tinjauan terhadap materi muatan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 bahwa kewenangan atau pembagian urusan pemerintahan didalam undang-undang pemerintahan Aceh mencerminkan prinsip-prinsip pelimpahan tugas dan kewenangan pemerintahan dalam sistem federal.

Dari kewenangan yang diberikan pemerintah pusat kepada Provinsi Nangroe Aceh Darussalam melalui diberlakukannya otonomi khusus dengan adanya Undang-Undang 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Nangroe Aceh Darussalam sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menimbulkan suatu pertanyaan apakah pemberian otonomi khusus kepada Provinsi Nangroe Aceh Darussalam sudah mengarah kepada sistem negara federal dan bagaimana dampak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia .

Dari permasalahan tersebut penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul “Konstruksi Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh”


(24)

10

1.2.Rumusan masalah dan ruang lingkup

1.2.1 Rumusan masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, peneliti merumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimanakah konstruksi hubungan pemerintah pusat dan daerah dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh?

2. Apa dampak penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang pemerintahan Aceh terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia?

1.2.2 Ruang lingkup

Ruang lingkup dari penelitian dibtasi pada; Pertama, bentuk negara kesatuan di Indonesia yang terdapat didalam konstitusi. Kedua, Pemberlakuan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.


(25)

11

1.3 Tujuan dan kegunaan penelitian

1.3.1 Tujuan penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam rangka menambah ilmu pengetahuan ketatanegaraan dan juga khususnya bertujuan untuk mengetahui:

A. Untuk menganalisis konstruksi hubungan pemerintah pusat dan daerah dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

B. Untuk menganalisis implikasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.

1.3.2 Kegunaan penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah:

1. Kegunaan teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian ilmu pengetahuan hukum, dalam hal ini khususnya didalam hukum tata negara, memberikan sumbangan pemikiran dan pengembangan pengetahuan ilmu hukum yaitu hukum tata negara (HTN), khususnya dalam memahami asas desentralisasi yang mengarah kesistem federal dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh .


(26)

12 2. Kegunaan praktis

Kegunaan praktis dalam penelitian ini adalah :

a. Untuk memperluas wawasan dan pengetahuan mengenai otonomi khusus yang dimiliki Nangroe Aceh Darussalam terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.

b. Bahan informasi atau bahan bacaan bagi pihak-pihak yang berkepentingan khususnya mahasiswa dalam memahami otonomi khusus yang dimiliki Nangroe Aceh Darussalam terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. c. Sebagai salah satu syarat akademik bagi peneliti untuk memperoleh gelar


(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bentuk susunan Negara

C.F. Strong mengatakan there is no state that we know today which has not been

built into its existingg by a proses of integration or knitting together.1

Semua negara yang dikenal masa kini didirikan menjadi bentuknya sekarang melalui proses integrasi atau penggabungan bersama.

Berangkat dari pemahaman regeringsvorm yang diterjemahkan sebagai bentuk pemerintahan dan staatvorm yang diartikan sebagai bentuk negara, Sri Soemantri Martosoewingnyo mengatakan bentuk negara meliputi negara serikat dan kesatuan.2

Tetapi menurut Soehino mengatakan ditinjau dari susunannya susunan negara akan menghasilkan dua kemungkinan susunan negara yaitu negara yang bersusunan tunggal, yang disebut negara kesatuan dan negara yang bersusunan jamak yang disebut negara federasi.3

Ditinjau dari pendapat para pakar diatas terdapat perbedaan peristilahan yang sudah umum tetapi dengan maksud yang sama ada yang menyebutkan bentuk

1

C.F. Strong , Op.Cit, hlm. 78

2

Sri Sumantri M, Bentuk Negara dan Implementasinya Berdasarkan UUD 1945, (Jakarta: Ghalia Indonesia), hlm. 40.

3


(28)

14 negara adapula yang menyebutkan susunan negara. Demikian pula yang menyebutkan negara serikat, namun adapula yang menyebutkan atau mengistilahkan negara federasi.

Untuk menyelaraskan dengan objek formal yang menjadi dasar normatif penelitian ini yaitu Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi” Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik.

2.1.1. Negara kesatuan

Negara kesatuan dapat disebut negara unitaris. Negara ini ditinjau dari segi susunannya bersifat tunggal, maksudnya negara kesatuan itu adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa negara, melainkan hanya terdiri atas satu negara, sehingga tidak ada negara didalam negara.

Ditinjau dari segi sejarah ketatanegaraan serta ilmu negara, pada permulaan perkembangannya, yaitu dari zaman purba, zaman kuno, zaman abad pertengahan, zaman renaissance, kemudian memasuki zaman hukum alam baik abad XVII maupun abad XVIII, kekuasaan para penguasa itu pada umumnya bersifat absolut dan masih dilaksanakannya asas sentralisasi dan asas kosentrasi kedua asas itu secara singkat pengertiannya dapatlah dikemukakakn sebagai berikut:

1. Asas sentralisasi, adalah asas yang menghendaki bahwa segala kekuasaan serta urusan pemerintah itu milik pemerintah pusat.

2. Asas kosentrasi, adalah asas yang mengkehendaki bahwa segala kekuasaan serta urusan pemerintah itu dilaksanakan sendiri oleh pemerintah pusat, baik yang ada dipusat maupun yang ada di daerah-daerah.


(29)

15 Dengan demikian dalam negara kesatuan yang berdasarkan asas sentralisasi dan kosentrasi serta penguasaannya yang bersifat absolut, hanya ada satu pemerintah yaitu pemerintah pusat menpunyai kekuasaan serta wewenang tinggi dalam bidang pemerintahan negara, menetapkan kebijakan pemerintah dan malaksanakan pemerintahan negara baik di pusat maupu di daerah-daerah.

Negara merupakan institusi yang terbentuk dari keberadaan suatu kelompok manusia yang bertinggal disuatu wilayah kemudian membentuk peraturan peraturan dalam rangka mengatur hidup yang telah disepakati bersama.

Negara kesatuan adalah bentuk negara yang mempunyai kemerdekaan dan kedaulatan atas seluruh wilayahnya atau daerah yang dipegang sepenuhnya oleh suatu pemerintah pusat. Kedaulatan sepenuhya dari pemerintah pusat disebabkan karena didalam negara kesatuan tidak terdapat negara-negara berdaulat. Meskipun didalam negara-negara kesatuan wilayah-wilayah negara dibagi dalam bagian-bagian negara, akan tetapi bagian-bagian negara tersebut tidak memiliki kekuasaan asli seperti halnya dengan negara-negara bagian didalam bentuk negara federasi.

Pada saat sekarang ini suatu negara kesatuan dapat dibedakan dalam dua bentuk yakni;

1) Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi. 2) Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi.

Dalam negara kesatuan dengan sistem sentralisasi segala sesuatu dalam negara langsung diatur dan diurus oleh pemerintah pusat dan daerah-daerah hanya tinggal melaksanakan segala apa yang telah diinstruksikan oleh pusat.


(30)

16 Sedangkan dalam negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, kepada derah diberikan kekuasan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah) yang dinamakan dengan daerah otonom.

Menurut Miriam Budiarjo negara kesatuan adalah negara yang kekuasaan terletak pada pemerintah pusat dan tidak pada pemerintah daerah, pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonom, tetapi pada tahap akhir kekuasaan tertinggi tetap pada pemerintah pusat.4 Jadi kedaulatannya baik kedaulatan kedalam maupun keluar sepenuhnya terletak pada pemerintah pusat. Dengan demikian yang menjadi hakikat negara kesatuan ialah bahwa kedaulatannya tidak terbagi, atau dengan kata lain kekuasaan pemerintah pusat tidak dibatasi, karena konstitusi negara kesatuan tidak mengakui badan legislatif lain selain dari badan legislatif pusat.

Kedaulatan internal dan kedaulatan eksternal negara kesatuan dapat ditelaah bahwa negara kesatuan adalah negara yang memiliki pelaksanaan kebiasaan otoritas legislatif tertinggi oleh satu kekuasaan pusat sedangkan negara federal adalah suatu alat politik yang dimaksudkan untuk merekomendasikan kekuasaan dan persatuan nasional dengan pemeliharaan hak-hak Negara.5

Singkatnya negara yang otoritas legislatifnya dibagi antara kekuasaan pusat atau kekuasaan federal dengan unit-unit yang lebih kecil, unit-unit ini terkadang disebut negara bagian atau kanton atau provinsi sesuai dengan kesempurnaan kekuasaannya. Kedaulatan memiliki dua aspek yakni aspek

4

Miriam Budiarjo, Dasar Dasar Ilmu Politik, (jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 269.

5


(31)

17 internal dan aspek eksternal. Kedaulatan internal sudah didefinisikan sebagai supermasi seseorang atau sekumpulan orang dalam negara terhadap individu- individu atau perkumpulan-perkumpulan individu didalam wilayah yuridiksinya. kedaulatan internal didefinisikan sebagai kemerdekaan absolut suatu negara sebagai keseluruhan dalam kaitannya dengan negara-negara lain.

Seluruh persoalan tentang kedaulatan internal berkisar pada makna kata negara. Pernah dikatakan bahwa negara bukanlah jika tidak berupa seluruh kumpulan individu didalamnya yang teroganisir secara politik. Dalam pernyataan rousseau bahwa kedaulatan bersifat umum, tidak dapat dibagi-bagi dan tidak dapat dicabut sebab walaupun kedaulatan dikatakan diberikan kepada penguasa atau pemerintah, pada akhirnya kedaulatan itu terletak kembali kepada kekuasan pihak yang diperintah atau rakyat.6

Perbedaan antara kedaulatan hukum dan kedaulatan politik, misalnya di Inggris

kedaulatan hukum adalah “Ratu di parlemen” dan kedaulatan politik adalah

para pemilih yang jika dikehendaki dapat membentuk kedaulatan hukum sesuai dengan keinginannya. Jika anda mengatakan sulit hal ini terjadi dalam kenyataan, anda tidak bisa mengingkari kedaulatan politik rakyat, tetapi hanya menerangkan bahwa medium untuk mengekspresikan kehendak rakyat tidak berhasil dengan baik. Setidaknya cukup adil untuk menyatakan bahwa pemerintah representatif modern benar-benar, sejauh dunia belum mampu mngetahuinya, membawa kedaulatan politik dan kedaulatan hukum sedekat mungkin dengan takdir yang membawa keduanya.7 Pemerintahan representatif

6

Rousseau sebagaimana dikutip C.F.Strong, ibid. hlm. 110.

7


(32)

18 ini dibentuk lewat kebiasaan dan undang- undang atau suatu dokumen lengkap yang keduanya disebut konstitusi, dari sudut pandang konstitusi adalah sebuah upaya untuk menetapkan antara pemeritah dan pihak yang diperintah, jadi meskipun secara teori kedaulatan penguasa hukum tetap takterbatas dan kedaulatan rakyat tidak dapat dicabut, secara praktek kedaulatan penguasa hukum amat sangat dibatasi dan kedaulatan dalam jumlah besar diserahkan demi perdamaian sosial dan keselarasan politik.8

Negara konstitusional adalah wilayah yuridiksi pemerintah khusus yang fungsi-fungsinya dirumuskan dalam konstitusi negara itu. Oleh karena itu konstitusi menentukan batas negara secara internal maupun eksternal, dan batas-batas negara itu menjadi sangat penting jika dipertimbangkan dalam hubungan eksternalnya. Secara teori kedaulatan eksternal juga internal bersifat tidak terbatas, tetapi secara praktek dibatasi secara positif oleh kehendak akan perdamaian ataupun oleh manfaat materi tertentu dan pihak komunitas terkait atau dibatasi secara negatif oleh rasa takut dengan kekuasaan negara tetangga yang akan menghancurkan komunitas itu. Salah satu pertimbangan ini dapat menyababkan suatu negara mengadakan persatuan dengan negara lain yang sedikit banyak sesuai dengan kondisinya. Bentuk paling sederhana dari persatuan ini adalah aliansi atau persekutuan yang mungkin bersifat satuan ini adalah aliansi atau persekutuan yang mungkin bersifat defensif yaitu untuk meberikan kepada persatuan itu suatu persenjatan jika ada angotanya yang diserang, atau ofensif yaitu untuk mempersenjatai persatuan itu walaupun salah satu anggotanya adala agresor, dimasa sekrang hal ini bukanlah batasan resmi

8 Ibid.


(33)

19 kedaulatan karena anggota manapun dari persatuan ini bebas untuk melepaskan diri dari syarat-syarat persatuan kapanpun dirasakan syarat-syarat itu menyimpang, walaupun syarat-syarat aliansi biasanya ditetapkan dengan batasan waktu. Contoh bagus dari aliansi ini bisa ditinjau ketika Italia melepaskan dari aliansi tiga negara dengan Jerman dan Austria dengan pecahnya perang pada tahun 1914 dan pada tahun berikutnya bersekutu dengan musuh-musuh sekutunya semula, suatu gerakan berbalik arah yang diulanginya kembali pada tahun 1943.9 Atau suatu negara dapat mengikatkan diri dalam persatuan dengan negara lain untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan tindakan-tindakan tertentu dalam batas-batas maksimal tertentu.10

2.1.2. Negara federal

Federalisme dalam beberapa bentuk sudah ada sejak zaman dahulu karena sudah dikenal diantara negara kota pada zaman yunani kuno. Bentuk federalisme kembali dijumpai pada abad pertengahan dibeberapa kota di Italia. Sesungguhnya sejak abad ke 13 sejarah fedralisme terus berlanjut dengan berkembangnya konfederasi Swiss. Konfederasi Swiss terlahir ketika tiga forest canton mempersatukan diri untuk saling melindungi pada tahun 1291.11

Inilah dasar pemerintahan politik dibeberapa negara saat ini, negara-negara yang keadaan tradisinya berbeda beda seperti Yogoslavia, Amerika Serikat, Meksiko, dan Australia. jika dunia bergerak kearah pemerintahan negara universal diluar anarki internasional yang dikenal sekarang, maka dapat dipastikan bahwa

9

C.F. Strong. Ibid. Hlm. 112.

10 Ibid. 11


(34)

20 pemerintahan universal itu akan dicapai dalam bentuk pemerintahan federal. Eksperimen politik dengan pengaruh yang begitu mendalam dan meluas dimasa lalu dan masa kini dan dimasa yang akan datang, berhasil menuntut pengamatan cermat dari warga negara yang serius atau berhasil menghasilkan studi yang paling mendekati hal itu.

Dari waktu-kewaktu dan pada tempat yang berbeda beda federalisme itu beragam adanya, bentuknya yang paling fleksibel berupa persatuan negara yang sebenarnya tidak membentuk negara sama sekali. Sejarah menunjukkan banyak contoh tipe persatuan terbatas ini yang demi kebutuhan akan istilah yang lebih baik umumnya di namakan konfederasi.

Sifat dasar negara federal adalah adanya pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dengan unit federasi. Ada tiga hal ang membedakan Negara federal satu sama lainnya, pertama cara pembagian kekuasaan antara pemerintah negara federal dengan negara bagian, kedua bentuk otoritas untuk melindungi supermasi konstitusi diatas otoritas federal dan otoritas negara bagian jika muncul konflik diantara keduanya. Ketiga, menurut cara perubahan konstitusi jika dikehendaki adanya perubahan semacam itu.12

Kekuasaan bisa didistribusikan dengan salah satu dari dua cara berikut, konstitusi merumuskan kekeuasaan yang dimiliki otoritas federal dan menyerahkan sisanya kepada unit-unit federasi, atau konstitusi merumuskan kekuasaan yang dimiliki unit-unit federasi dan menyerahkan sisanya kepada kepada otoritas federal. perumusan kekuasaan tersebut bertujuan untuk mendefinisikan pembagian kekuasan dan karenanya memberikan batasan-batasan pada kekuasan. Oleh karena

12


(35)

21 itu diyakini bahwa jika konstiusi federal mendefinisikan kekuasan unit-unit federasi seperti dalam kasus Kanada, maka tujuannya adalah untuk memperkuat kekuasaan federal dengan mengorbankan masing-masing angota federasi itu. Kenyataannya unit-unit federasi pada kasus Kanada tidak disebut dengan istilah negara bagian melainkan provinsi, dengan demikian jika kekuasaan simpanan ada pada otoritas federal maka konstitusi lebih mendekati konstitusi negara kesatuan dibandingkan jika kekuasaan simpanan ada pada otoritas negara bagian, denga kata lain negara semacam ini dinamakan bukan bersifat federal.13

Jika konstitusi mendefinisikan kekuasaan otoroitas federal seperti pada kasus Amerika Serikat dan Australia, tujuannya adalah untuk mengawasi kekuasaan otoritas federal, demikian pula dengan kekuasaan otoritas unit-unit federasi. Unit- unit federasi ingin mempertahankan independensinya, juga mempertahankan federasi itu. Unit-unit federasi menginginkan satu wahana untuk mengekspresikan rasa kebagsaannya, namun pada saat yang sama mereka ingin sejauh mungkin mempertahankan karakter masing-masing sebagai negara. Lebih dari itu mereka berharap dapat mendefinisikan kekuasaan federal lebih besar.14

Pembagian kekuasaan mengisyaratkan bahwa ruang lingkup lembaga legislatif tiap-tiap unit federasi sama-sama terbatas dan masing-masing tidak mengungguli yang lain, suatu yang lebih tinggi dari lembaga legislatif federasi maupun lembaga legislatif tiap unit federasi adalah konstitusi, konstitusi adalah perjanjian yang bersifat tetap suatu perjanjian yang dibuat pihak-pihak yang menyatakan syarat-syarat penyatuan mereka secara tertulis. Konstitusi federal sesungguhnya adalah sebuah kesepakatan tentang hak dan kewajiban otoritas negara bagian dan negara

13 Ibid. 14


(36)

22 federal, hak dan kewajiban ini harus dijaga sesuai dengan porsinya yang benar sesuai dengan hak-hak yang dituntut otoritas manapun serta kewajiban yang dipersyaratkan oleh suatu otoritas pada otoritas lain, tidak boleh menyimpang dari isi konstitusi. Dinegara yang benar-benar federal kekuasaan untuk menjaga keseimbangan antara hak-hak dan kewajiban itu diserahkan kepada mahkamah agung yang terdiri dari hakim-hakim, tugas mahkamah agung adalah mengawasi pelaksanaan konstittusi, karena konstitusi mendistribusikan kekuasaan pemerintahan diantara pihak-pihak yang membuat perjanjian dengan otoritas federal yang lebih didirikan meneurut perjanjian.15

Menurut C.F. Strong ada beberapa macam negara federal, boleh dikatakan bahwa tidak ada dua negara federal yang sama. Perbedaan perbedaan terdapat dalam dua hal:

a. Cara bagaimana kekuasaan dibagi antara pemerintah federal dan pemerintah negara-negara bagian.

b. Badan yang mempunyai wewenang untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian.16

Berkait dengan poin pertama dapat dijabarkan sebagai berikut: kalau antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian diadakan pembagian tugas yang terperinci secara materil, pembagian kekuasaan dalam negara federal dapat dilakukan dengan dua cara, tergantung dimana letaknya dana kekuasaan:

15

Ibid. hlm. 147.

16

C.F. Strong sebagaimana dikutip Miriam Budiarjo, Dasar Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 276.


(37)

23 a. Undang-undang dasar merinci satu persatu kekuasaan pemerintah federal, sedangkan sisa kekuasaan yang tidak terperinci diserahkan kepada negara- negara bagian .

b. Undang-undang dasar merinci satu persatu kekuasaan pemerintah negara bagian, sedangkan ada kekuasaan diserahkan kepada pemerintah federal, negara federal semacam ini dianngap kurang sempurna sifat federalnya.17

Berkaitan dengan poin kedua dapat dijabarkan sebagai berikut :

a. Kalau wewenang itu terletak pada mahkamah federal maka negara federal semacam itu dianggap lebih sempurna sifat federalnya. Contoh: Amerika Serikat, Australia.

b. Kalau wewenang itu terlatak pada dewan perwakilan rakyat federal maka negara federal semacam itu dianggap kurang sempurna sifat federalnya. Contoh: Swiss.18

2.2. Otonomi Daerah

Istilah otonomi daerah dan desentralisasi sebenarnya mempunyai pengertian yang berbeda. Istilah otonom lebih cenderung berada dalam aspek politik kekuasaan negara, sedangkan desentralisasi lebih cenderung berada dalam aspek administrasi negara. Sebaliknya jika dilihat dari sharing of powers (pembagian kekuasaan) kedua istilah tersebut mempunyai keterkaitan yang erat dan tidak dapat dipisahkan. Artinya jika berbicra mengenai otnomi daerah tentu akan menyangkut

17

Miriam Budiarjo, Dasar Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 277.

18 Ibid.


(38)

24 pula pada pembicaran seberapa besar wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang telah diberikan sebagai wewenang daerah, demikian juga sebaliknya.19

Syafif Saleh mengatakan otonomi itu sebagai hak mengatur dan memerintah daerah sendiri, atas inisiatif dan kemauan sendiri, dimana hak tersebut diperoleh dari pemerintah pusat.20 Wayong mengemukakan bahwa otonomi daerah itu adalah kebebasan untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus daerah, dengan keuangan sendiri, menentukan hukum sendiri dan berpemerintahan daerah sendiri.21 Sugeng Istanto menyatakan bahwa otonomi diartikan sebagai hak atau wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah.22

Berangkat dari hal tersebut maka inti pelaksanaan otonomi daerah adalah terdapatnya keleluasaan pemerintah daerah (discretionary power ) untuk menyelengarakan pemerintahan sendiri atas dasar prakarsa, kreatifitas dan peran serta aktif masyarakat dalam rangka mengembangkan dan memajukan daerahnya. Disini masyarakat tidak saja dapat menentukan nasibnya sendiri melalui pemberdayaan masyarakat, melainkan yang utama adalah berupaya untuk memperbaiki nasibnya sendiri.

19

Surianingrat sebagaimana dikutip Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan,Desentralisasi,dan Federalisme, (Yogyakarta: Graha Ilmu bersama Universitas Pancasila, 2009), hlm. 63.

20

Syarif sebagaimana dikutip Edie Toet Hendratno, ibid.

21

Wayong sebagaimana dikutip Edie Toet Hendratno, ibid.

22


(39)

25

2.3. Dessentralisasi

Pengertian tentang desentralisasi tidak ada yang tunggal, banyak definisi yang di kemukakan oleh para pakar mengenai desentralisasi. Menurut David. K. Hart banyaknya definisi tentang desentralisasi ini desabkan karena ada beberapa disiplin ilmu dan teori yang memberikan perhatian terhadap desentralisasi antara lain seperti ilmu administrsi negara, ilmu politik, dan teori administrasi.23

Secara etimologis istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin yang berarti “De” adalah lepas dan “Centrum” adalah pusat sehingga bisa diartikan melepaskan diri dari pusat. Dari sudut ketatanegaran yang dimaksud dengan desentralisasi adalah penyerahan kekuasaan pemerintah dari pusat kepada daerah-daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri, pernyataan ini hampir sama dengan pendapat Amrah Muslimin yang menyebutkan desentralisasi ialah pelimpahan kewenangan pada badan-badan dan golongan-golongan dalam daerah tertentu untuk mengurus rumah tangganya sendiri.24

Amrah Muslimin mengemukakan tiga macam desentralisasi yaitu:

a. Desentralisasi politik, sebagai pengakuan adanya hak megurus kepentingan rumah tangga sendiri pada badan badan politik di daerah-daerah yang dipilih oleh rakyat dalam daerah-daerah tertentu;

b. Desentralisasi fungsional, sebagai pengakuan adanya hak pada golongan- golongan yang mengurus satu macam atau golongan kepentingan dalam masyarakat, baik serikat atau tidak pada suatu daerah tertentu, seperti subak di Bali;

23

David. K. Hart sebagaimana dikutip Edie Toet Hendratno, ibid.hlm. 64.

24


(40)

26 c. Desentralisasi kebudayaan, yang mengakui adanya hak pada golongan kecil,

masyarakat untuk menyelenggarakan kebudayaan kebuayaan sendiri.

Desentralisasi di negara kesatuan berarti adanya penyerahan kekuasaan dari pemerintah pusat sebagai badan publik nasional kepada pemerintah daerah sebagai badan lokal, hal ini sebagaimana terjadi di Inggris yang dijelaskan oleh Eric Barendt bahwa, A state with unitary constitution may decide for a n umber of

reasons to devolve powers to regional assemblies.25

Tujuan lain dari desentralisasi adalah agar pengambilan keputusan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lokal sebagaimana dikemukakan oleh Eric Barent bahwa one common motive is the desire to deentralize political authory so that it is more responsive to the needs of local community.26

Pada desentralisasi terjadi distrbusi kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Distribusi kekuasaan tersebut dapat dilakukan dengan dua cara yaitu distribusi kekuasaan berdasarkan wilayah atau distribusi kekuasaan berdasarkan fungsi-fungsi tertentu pemerintah. Hal ini menurut Samuel Hames dapat diategorikan sebagai berikut:

The power to goven locally distributed to ways: areally and functionaly. On an area basic. The power to manage local public affair is distributet among a number of general purpose regional and local goverment. On functional basic the power to manage local publik service is distributed among a number of specialized ministries and other agencis concerned with the operation of ono or

25

Eric Barent sebagaimana dikutip Edie Toet Hendratno. Ibid. hlm. 65.

26 Ibid.


(41)

27 more related activities. Thus the way power is distributed affeck which central

agencis exert control over which local institusions.27

Dengan demikian kekuasaan pemerintah lokal mempunyai dua jenis kekuasaan, yaitu kekuasaan desentralisasi atau otonomi kekuasaan tugas pembantuan menurut Constantijn Kortman dan Paul Bovendert kekuasaan otonomi adalah kekuasaan to

regulate and administer their own affairs” selanjutnya dikatakan bahwa in areas

where it bhas autonomous powers, the decentralized authory conducts its own

ppolices, deciding for it self its aim and means.sedangkan kekuasan tugas

pembantuan merupakan coperates in the implementation of policy which has been

decided by other goverment institusions.28

Dengan demikian kekuasaan pemerintah lokal mempunyai dua jenis kekuasaan, yaitu kekuasaan desentralisasi atau otonomi dan kekuasaan tugas pembantuan.

Brian C . Smith mengemukakan bahwa dalam sistem politik Negara kesatuan, desentralisasi mencakup devolusi dan dekosentrasi.29

Devolusi adalah penyerahan wewenang untuk mengambil keputusan dalam bidang kebijaksanaan publik kepada lembaga perwakilan rakyat ditingkat lokal dengan undang-undang. Sedangkan dekosentrasi pelimpahan wewenang untuk mengambil keputusan administrasi atas nama pemerintah pusat kepada pejabat di

27

Samuel Humes sebagaimana dikutip Edie Toet Hendratno. Ibid. hlm. 66.

28

Constantinj Kortman dan Paul Bovendert sebagaimana dikutip Edie Toet Hendratno. Ibid. hlm. 67.

29

Brian C. Smith sebagaimana dikutip Edie Toet Hendratno. ibid.

29 Ibid.


(42)

28 daerah yang bertanggung jawab dalam kebjaksanaan publik dalam wilayah yuridiksi tertentu.30

Benyamiin Hoessein dan Syarif Hidayat menyebutkan beberapa tujuan, dan alasan Negara-Negara berkembang menerapkan kebijakan-kebijakan desentralisasi yaitu: 1) untuk pendidikan politik, 2) untuk latihan kepemimpinan politik, 3) untuk memelihara kesetabilan politik, 4) untuk mencegah kosentrasi kekuasaan pusat, 5) untuk memperkuat akuntabilitas publik, dan 6) untuk meningkatkan kepekaan elit terhadap kebutuhan masyarakat. Berkaitan dengan alasan desentralisasi, ada empat alasan penerapan kebijakan desentralisasi yaitu: 1) untuk menciptakan efesiensi penyelenggaraan administrasi pemerintahan, 2) untuk memperluas otonomi daerah, 3) untuk beberapa kasus sebagai strategi untuk mengatasi instabilitas politik, dan 4) untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan untuk mempercepat proses pembangunan daerah.31

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Bayu Surianigrat menegaskan desentralisasi umumnya menyangkut dua hal, yaitu desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional:

1) Desentralisasi teritorial (teritoriale decentralisatie), yaitu penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri

(autonomie). Batas pengaturan tersebut adalah daerah;

31

Bhenyamin Hoessein dan Syarif Hidayat sebagaimana dikutip Edie Toet Hendratno, Ibid.hlm. 68.


(43)

29 2) Desentralisasi fungsional ( finctionale decentralisatie), yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi tertentu. Batas pengaturan tertentu tersebut antara lain adalah pendidikan dan pengairan.32

G Shabbir Cheema dan Dannis A Rondineli mengungkapkan pengertian desentralisasi berangkat dari berbagai pengertian desentralisasi yang digunakan para pakar dalam buku yang mereka susun,

Although The Authors of farius chapters in this book use different terms to identify degrees of forms of decenralization all agree that the differences are important. They refer to four major forms of decentralization: deconcentration, delegation to semi to autonomous of parastatal agencies, devolution to local

overment, ang transfer of functions from publik to non goverment institusions.33

Dengan demikian kekusaaan pemerintah lokal mempunyai dua jenis kekuasaan, yaitu kekuasaan desentralisasi dan kekuasaan tugas pembantuan.

2.3.1. Tujuan Desentralisasi

Konsepsi dasar desentralisasi pada dasarnya bertujuan untuk mendorong terciptanya political ecuality,34 local responsibility dan local responsiveness,

citizen participation.35

32

Bayu Surianingrat sebagaimana dikutip Edie Toet Hendratno, Ibid.

33

G Shabbir Chemma dan Dannis A Rondineli sebagaimana dikutip Edie Toet Hendratno, ibid.

34

Hubunga antara desentralisasi dan demokrasi menjdi perhatian para akademisi seperti Jacques Mariel Nzounkeu,sebagaimana dikutip Rudy, Hukum Pemerintahan Daerah Perspektif

Konstitualisme Indonesia, (Bandar Lampung: Indepth Publising, 2012), hlm.22.

35

Pendapat dan teori yang membela desentralisasi berdasakan alasan demokrasi dan partisipasi yang luas dari masyarakat diberikan oleh Alexis de Tocqueville in democrazy in


(44)

30

Political equality, mencakup bagaimana desentralisasi mampu menjadi dorongan

relasi kerja antara berbagai tingkat lembaga pemerintahan yang mengarah kepada terciptanya Check and Balances, sekaligus membuka ruang bagi masyaarakat termasuk perempuan dan kelompok marginal lainnya untuk berpartisipasi dalam berbagai aktifitas politik ditingkat lokal.36

Local accountability, menyangkut relasi antara desentralisasi dengan perwujudan

transparasi pemerintahan, peningkatan akses informasi bagi warga, serta mekanisme akuntabilitas pemerintah daerah atas kera kerja yang sudah dilakukan dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang efektif.37

Local responsiveness, mencakup bagaimana desentralisasi memberi tanggapan

dan kontribusi terhadap, pemenuhan pelayanan publik, adanya akselerasi pembangunan sosial ekonomi untuk pemenuhan hak-hak dasar, pengaturan lokasi sumberdaya pembangunan yang dapat memenuhi perasaan keadilan serta jaminan keamanan dan perlindungan HAM bagi masyarakat.38

Citizen Participation, mencakup bagaimana desentralisasi memberikan ruang bagi

keterlibatan masyarakat lokal dalam pembuatan kebijakan daerah. Tujuan ini juga berhubungan dengan pelaksanaan dan konsolidasi demokrasi.39

Para akademisi secara umum sepakat bahwa desentralisasi membawa manfaat esensi dan ekuitas yang berasal dari adanya proses demokrasi yang mendorong pemerintah daerah untuk melayani kebutuhan dan keinginan konstituen mereka.

36

Rudy, Hukum Pemerintahan Daerah Perspektif Konstitualisme Indonesia, (Bandar Lampung: Indepth Publising, 2012), hlm. 22

37 Ibid.

38

Ibid.hlm. 23.

39 Ibid.


(45)

31 Oleh karena itu desentralisasi yang demokratis adalah bentuk yang paling efektif. Logika yang mendasari desentralisasi adalah bahwa lembaga lembaga lokal demokratis dapat lebih baik dalam memahami masyarakat lokal dan lebih mungkin untuk merespon kebutuhan dan aspirasi daerah karena mereka lebih dekat dan lebih bertanggung jawab kepada penduduk lokal.40

Mauhood mengemukakan tujuan utama dari kebijakan desentralisasi seperti Indonesia adalah sebagai upaya mewujudkan keseimbangan politik, akuntabilitas pemerintahan lokal dan pertanggung jawaban pemerintah lokal. Ketiga tujuan ini saling berkait satu sama lain. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan tersebut dalam konteks Indonesia misalnya adalah pemerintah daerah harus memiliki teritorial kekuasaan yang jelas, memiliki pendapatan daerah sendiri, memiliki badan perwakilan yang mampu mengontrol eksekutif daerah dan adanya kepala daerah yang dipilih sendiri oleh masyarakat daerah melalui pemilihan yang bebas.41

Menurut Koirudin kebijakan desentralisasi yang dilakukan oleh pemerintah di negara-negara yang bersifat demokratis, sedikitnya memiliki dua pokok manfaat yaitu:

1. Manfaat politis yang ditujukan untuk menyalurkan partisipasi politik masyarakat daerah sekaligus dalam rangka memperkuat stabilitas politik secara nasional.

40

Jesse C. Ribbot sebagaimana dikutip Rudy, Hukum Pemerintahan Daerah Perspektif Konstitualisme Indonesia, (Bandar Lampung: Indepth Publising, 2012), hlm. 23.

41


(46)

32 2. Manfaat administratif dan ekonomis yaitu untuk meyakinkan bahwa pembangunan telah dilaksanakan secara efektif dan efisien di daerah-derah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat disana.42

Sebagai sebuah konsep penyelenggeraan konsep pemerintahan, desentralisasi menjadi panduan utama akibat ketidakmungkinan sebuah negara yang wilayahnya luas dan penduduknya banyak untuk mengelola menejemen pemerintah secara sentralistik. Desentralisasi juga diminati karena didalamnya terkandung semangat demokrasi untuk mendekatkan partisipasi masyarakat dalam sebuah pembangunan.43 Selain itu kebijakan desentralisasi dihubungkan dengan tujuan untuk mengakomodasi keragaman dan partisipasi publik.44

2.3.2. Bentuk-bentuk Desentralisasi

Cohen and Peterson dalam UNDP45 melakukan kajian terhadap bentuk-bentuk desentralisasi dengan pendakatan konsep maupun pendekatan pembangunan. Mereka menyimpulkan terdapat enam bentuk desentralisasi antara lain desentralisasi berdasarkan sejarah, desentralisasi teritorial dan fungsional, desentralisasi berdasarkan permasalahan dan nilai, desentralisasi berdasarkan penyediaan jasa, desentralisasi berdasarkan pengalaman negara tertentu dan desentralisasi berdasarkan tujuan.46

42

Koirudin sebagaimana dikutip Rudy. Ibid. Hlm. 24.

43 Ibid. 44

Harold Wolman sebagaimana dikutip Rudy. Ibid. 45

UNDP, Decenralization: a Sampling Definition, Working Paper series, October 1999 46

Rudy, Hukum Pemerintahan Daerah Perspektif Konstitualisme Indonesia, (Bandar Lampung: Indepth Publising, 2012), hlm. 26.


(47)

33 UNDP disisi lain mengklasifikasikan bentuk-bentuk desentralisasi yang dihubungkan dengan desentralisasi administratif dan good governance. Variasi bentuk-bentuk tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Devolution;

Devolution atau devolusi merupakan bentuk umum dari desentralisasi

dimana daerah otonom merupakan suatu bentukan hukum yang berdiri sendiri. Pemerintah pusat dalam hal ini menyerahkan sebagian fungsinya untuk membentuk unit pemerintah yang tidak berada dibawah kendali pemerintah pusat secara langsung.

2. Delegation;

Delegation atau delegasi merujuk pada penyerahan pengambilan kebijakan

dan kewenangan administratif untuk tindakan tertentu kepada institusi atau organisasi yang semi independen, misalnya badan usaha milik negara atau perusahaan pembangunan regional.

3. Deconcentration;

Deconcentration atau dekosentrasi mancakup transfer kewenangan

administratis yang spesifik dalam hal pengambilan kebijakan, keuangan, dan fungsi manajemen dalam lingkup yuridiksi unit pemerintah pusat.

4. Political or demokratic decentralization

Desentralisasi politik mencakup seluruh transfer kewenangan administratif, fiskal dan politik. Bentuk ini adalah bentuk desentralisasi


(48)

34 yang paling dibutuhkan untuk keberhasilan suatu kebijakan desentralisasi disuatu negara.47

Koesoemahatmaja menyatakan, desentralisasi lazim dibagi dalam dua macam pertama, dekosentrasi (deconcentratie), adalah pelimpahan kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkat atas kepada bawahannya guna melancarkan pelaksanaan tugas pemerinahan. Dalam desentralisasi semacam ini rakyat tidak ikut disertakan. Kedua, desentralisasi ketatanegaraan (staatskundie

decentralisatie) atau desentralisasi politik adalah pelimpahan kekuasaan

perundangan dan pemerintahan kepada daerah-daerah otonom didalam lingkungan nya. Dalam desentralisasi politik ini rakyat dengan mempergunakan saluran saluran tertentu ikut serta dalam pemerintahan.48

Amrah Muslimin mengartikan desentralisasi dengan mebaginya menjadi tiga macam, yaitu:

1. Desentralisasi politik adalah pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat, yang menimbulkan hak mengurus kepentingan rumah tangga sendiri bagi badan-badan politik di daerah-daerah yang dipilih oleh rakyat dalam daerah-daerah tertentu.

2. Desentralisasi fungsionil adalah pemberian hak dan kewenangan pada golongan–golongan yang mengurus suatu macam atau golongan kepentingan dalam masyarakat, baik terikat ataupun tidak pada suatu

47

Ibid. hlm. 27.

48

Koesoemahatmaja sebagaimana dikutip Rudy, Hukum Pemerintahan Daerah Perspektif Konstitualisme Indonesia, (Bandar Lampung: Indepth Publising, 2012), hlm. 28.


(49)

35 daerah tertentu, umpamanya mengurus kepentingan irigasi bagi golongan tani dalam satu atau beberapa daerah tertentu.

3. Desentralisasi kebudayaan memberikan hak pada golongan-golongan kecil dalam masyarakat menyelenggarakan kebudayaan sendiri, dalam kebanyakan negara kewenangan ini diberikan pada kedutaan asing demi pendidikan masing-masing negara yang bersangkutan.49

Desentralisasi menurut Rundinelli pada dasarnya dapat dibagai menjadi 4 bentuk antara lain:

1. Deconcentration, pelimpahan wewenang kepada pejabat yang berbeda

dalam garis hierarki dengan pemerintah pusat.

2. Delegation, pelimpahan wewenang untuk tugas tertentu kapada organisasi

yang berbeda struktur birokrasi reguler yang dikontrol secara tidak langsung oleh pemerintah pusat. Pendelegasian wewenang ini biasanya diatur dengan ketentuan perundangan, pihak yang menerima wewenang mempunyai keluasaan dalam penyelenggaraan pendelegasian tersebut walaupun wewenang terakhir tetap pada pihak pemberi wewenang.

3. Devolution, yaitu pelimpahan wewenang tingkat pemerintahan yang lebih

rendah dalam bidang kewenangan atau tugas pemerintahan dari pihak pemerintahan mendapat discretion yang tidak dikontrol oleh pusat, dalam hal tertentu dimana pemerintah daerah belum sepenuhnya mampu melaksanakan tugasnya. Pemerintah pusat akan memberikan supervisi secara tidak langsung atas pelaksanaan tugas tersebut. Dalam

49


(50)

36 melaksanakan tugasnya pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk menggali sumber-sumber penerimaan dan mengatur penggunaannya.

4. Privatization, yaitu pelimpahan wewenang kepada organisasi

nonpemerintah atau sektor swasta. Hal ini biasanya dimaksudkan untuk peluang bagi organisasi tersebut untuk ikut ambil bagian secara nyata dalam pembangunan nasional. Gagasan ini lebih menonjol dalam rangka dibirokratisasi dalam pengambilan keputusan untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu dengan melibatkan organisasi-organisasi non pemerintah.50

Koirudin memberikan isyarat bahwa desentralisasi dapat dilakukan melalui empat bentuk kegiatan utama yaitu; (1) dekosentrasi wewenang administratif; (2) delegasi kepada penguasa otorita; (3) devolusi kepada pemerintah daerah ; (4) pemindahan fungsi dari pemerintah kepada swasta.51

2.4. Hubungan Pusat dan Daerah

Model hubungan pusat dan pemerintah daerah secara teoritis menurut Clarke and Stewart dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:

1. The relative autonomy model

Memberikan kebebasan yang relatif besar kapada pemerintah daerah dengan tetap menghormati eksstensi pemerintah pusat penekenannya adalah pada pemberian kebebasan bertindak bagi pemerintah daerah dalam kerangka kekuasaan/tugas dan tanggung jawab yang telah dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan.

50

Rondinelli sebagaimana dikutip Rudy. Ibid. hlm. 31.

51


(51)

37

2. The agency model

Model dimana pemerintah daerah tidak mempunyai kekuasan yang cukup berarti, sehingga keberadaanya lebih sebagai agen pemerintah pusat yang bertugas untuk menjalankan kebijakan pemerintah pusatnya. Model ini membutuhkan peraturan perundang-undangan yang sangat rinci dan detail dalam melaksanakan pemerintah daerah serta membutuhkan mekanisme kontrol yang ketat. Sebaliknya model ini tidak membutuhkan mekanisme perimbangan keuangan pusat-daerah, karena keuangan berasal dan diatur oleh pemerintah pusat.

3. The interaction model

Model yang dibangun untuk menciptakan suatu interaksi yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah darah.52

Penyerahan kewenangn berupa urusan-urusan oleh pemerintah pusat kepada darah-daerah otonom dalam wilayahnya dapat dilakukan dengan mengikuti beberapa sistem/pinsip/paham/pengertian/ajaran, yaitu:

1. Sistem Residu (teori sisa)

Dalam sistem ini telah ditentukan terlebih dahulu secara umum tugas-tugas yang menjadi wewennang pemerintah pusat, sedangkan sisanya menjadi urusan rumah tangga daerah. Kebaikan sistem ini terutama terlatak pada saat timbulnya kebutuhan-kebutuhan baru, pemerintah daerah dapat dengan cepat mengambil tindakan dan keputusan yang dipandang perlu, tanpa menunggu perintah dari pemerintah pusat. Sebaliknya sistem ini dapat pula menimbulkan kesulitan-kesulitan

52


(52)

38 mengingat kemapuan daerah yang satu dan lainnya tidak sama dalam berbagai lapangan/bidang.

2. Sistem Material

Dalam sistem ini, tugas-tugas pemerintah daerah ditetapkan satu persatu secara limitatif dan rinci. Diluar dari tugas-tugas yang telah ditentukan, merupakan urusan pemerintah pusat, artinya segala keraguan dan ketidakpastian dalam sistem rumah tangga formal dapat diatasi dengan sistem rumah tangga materiel.

3. Sistem Formal

Dalam sitem ini urusan-urusan termasuk dalam urusan rumah tangga daerah tidak secara a priori ditetapkan dalam atau dengan undang-undang. Secara teoritik sistem rumah tangga formal memberikan keluasaan yang seluas-luasnya kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintah dan menjadikan urusan tersebut sebagai urusan rumah tangga daerah.

4. Sistem otonomi riil dan seluas-luasnya

Dalam sitem ini penyerahan urusan-urusan atau tugas-tugas dan kewenangan-kewenangan kepada daerah didasarkan pada faktor-faktor yang nyata atau riil dari daerah-daerah maupun pemerintah pusat serta pertumbuhan kehidupan masyarakat yang terjadi.53

Page and Goldsmith menuliskan bahwa dalam mengkaji hubungan pusat dan daerah diberbagai negara-bangsa terdapat indikator, yakni pertama berbagai fungsi yang diberikan kepada daerah otonom. Kedua, seberapa besar dikresi yang

53


(53)

39 terkandung dalam wewenang yang terdapat dalam berbagai fungsi yang diemban daerah otonom. Ketiga, akses yang dimiliki daerah otonom untuk melakukan kontak dengan berbagai pihak ditingkat nasional terkait jalannya otonomi daerah. Kejelasan fungsi membuat pemerintahan nasioanl dan lokal berjalan harmonis.54

2.5. Landasan Konstitusional Penyelenggaraan Otonomi Daerah Dalam Naegara Kesatuan Republik Indonesia.

Sejak proklmasi kemerdekaan, Negara Republik Indonesia telah menetapkan bahwa landasan konstitusional negara ini adalah ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang memuat aturan-aturan dalam hal-hal yang mencakup pengertian konstitusi (kumpulan norma hukum yang mengatur alokasi fungsi, kekuasaan, serta tugas berbagai lembaga negara, serta yang menentukan hubungan-hubungan diantara lembaga-lembaga negara tersebut dengan rakyat).55

Ketika arus reformasi mulai bergulir tahun 1998, muncul keinginan rakyat yang menghendaki perubahan konstitusi dasar negara republik Indonesia. Dengan demikian Undang-Undang Dasar 1945 yang pada awalnya dianggap konstitusi yang rigid mulai bergeser menjadi konstitusi yang fleksibel, majelis permusyawaatan pada saat itu mulai mengamandemen pasal-pasal yang dianggap tidak sesuai lagi dengan kehidupan demokratis ketatanegaraan Republik Indonesia. Pada periode 1999-2004 majelis permusyawaratan rakyat berhasil

54

Page and Goldsmith sebagaimana dikutip Rudy. Ibid.hlm. 40.

55

Moh.Mahfud M.D, Dasar dan struktur ketataNegaraan Indonesia, (Yogyakarta, UII Pres), hlm.71.


(54)

40 mengadakan perubahan (amandemen) undang-undang dasar sebanyak empat (4) kali perubahan, yaitu perubahan I ( 19 Oktober 1999), perubahan II (18 agustus 2000), perubahan III ( 10 November 2001) dan perubahan IV ( 10 agustus 2002).

Ketentuan tentang aturan penyelenggaran pemerintahan daerah terdapat dalam pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, pasal ini termasuk pasal yang diamandemen, yaitu perubahan (amandemen) II UUD 1945. Sebelum amandemen pasal ini hanya memuat satu ayat dengan judul bab pemerintahan daerah yang

menyebutkan, “pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan

bentuk pemerintahan ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengigat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.” Adapun pasal 18 hasil perubahan II undang-undang dasar 1945 terdiri atas tiga pasal, yaitu pasal 18 ( ayat 1-7), pasal 18A ( ayat 1-2), dan pasal 18B ( ayat 1-2) dengan judul bab pemerintahan daerah.

Setelah terjadinya amandemen terhadap pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, pengaturan yang berkaitan dengan penyelenggaran pemerintahan daerah semakin luas dan bertambah. Bagir Manan menjelaskan bahwa pasal 18 amandemen ke II mengandung prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: 56

1. Prinsip daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat 2), prinsip ini menegaskan bahwa pemerintahan daerah adalah suatu pemerintahan otonom dalam Negara

56

Bagir Manan, Menyongsong fajar otonomi daerah, (Yogyakarta, Pusat studi hukum fakultas hukum UII), hlm. 5.


(55)

41 Kesatuan Republik Indonesia. Sebelum amandemen pasal ini tidak menegaskan pemerintahan daerah sebagai satuan pemerintahan yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan tertentu sebagai urusan rumah tangganya, hanya dalam penjelasan disebutkan bahwa daerah-daerah itu bersifat otonom atau bersifat daerah administarsi belaka. Sebagai implementasinya diadakan satuan pemerintahan dekosentrasi di daerah (pemerintahan wilayah) dan fungsi-fungsi dekosentrasi dalam pemerintahan daerah (kepala daerah sekaligus kepala wilayah). Praktik semacam inilah yang menimbulkan dualisme kepemimpinan yang cenderung sentralistik. Pasal 18 amandemen lebih sesuai dengan gagasan daerah membentuk pemerintahan daerah sebagai satuan pemerintahan mandiri didaerah yang demokratis, karena pasal ini menegaskan bahwa pemerintahn daerah diselenggarakan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Gubernur, bupati, walikota semata-mata sebagai penyelenggara otonomi daerah walaupun ini tidak berarti pembentukan satuan pemerintahan dekosentrasi di daerah menjadi terlarang. Sepanjang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, satuan pemerintahan pusat dapat membentuk satuan pemerintahannya di daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.

2. Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya (Pasal 18 ayat 5). Keinginan untuk melaksanakan otonomi seluas-luasnya telah muncul pada saat BPUPKI menyusun rancangan Undang-Undang Dasar. Hal ini tampak diantaranya dari pidato ratu langi yaitu supaya daerah pemerintahan di beberapa pulau besar diberi hak seluas-luasnya untuk mengurus


(56)

42 keperluannya sendiri, tentu dengan persetujuan bahwa daerah-daerah itu adalah daerah di Indonesia. Keinginan ini kemudian dituangkan dalam UUDS 1950, pasal 131 ayat (2). Meskipun secara historis Negara Kesatuan Republik Indonesia menghendaki pelaksanaan otonomi seluas-luasnya sangatlah tepat. Pemerintahan daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya, campur tangan pemerintah pusat hanyalah yang benar-benar bertalian dengan upaya menjaga keseimbangan antara prinsip kesatuan dan perbedaan.

3. Prinsip kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18A, ayat 1). Prinsip ini mengandung pengertian bahwa bentuk dan isi otonomi daerah tidak harus seragam. Bentuk dan isi otonomi daerah ditentukan oleh berbagai keadaan khusus dan keragaman setiap daerah. Otonomi untuk daerah-daerah pertanian dapat berbeda dengan daerah-daerah industri, atau antara daerah pantai dan pedalaman dan sebagainya.

4. Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya (pasal 18B, ayat2). Masyarakat hukum adat adalah masyarakat hukum yang berdasarkan hukum adat atau adat istiadat, seperti desa, marga, nagari, gampong dan lain-lain. Masyarakat hukum adalah kesatuan masyarakat yang memiliki kekayaan sendiri, memiliki warga yang dapat dibedakan dengan masyarakat hukum lain dan dapat bertindak kedalam atau keluar sebagai satu kesatuan hukum yang mandiri dan memerintah diri mereka sendiri. Pasal 18B amademen mengandung pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat sesuai dengan perannya sebagai subsitem suatu Negara Kesatuan Republik


(1)

52 c. Klarifikasi data, penempatan dapat mengelompokkan data yang melalui proses

pemeriksaan serta penggolongan data.

d. Penyusunan data, yaitu menyusun data yang telah diperiksa secara sistematis sesuai dengan urutannya sehingga pembahasan lebih mudah dipahami.

3.6. Analisis Data

Metode yang digunakan dalam analisa data adalah deskriptif kualitatif yaitu berupa pengambaran kenyataan-kenyataan yang ditemui dalam penelitian ke dalam bentuk uraian-uraian kalimat serta menginterpretasikan data-data yang ada ke dalam bentuk kalimat secara sistematis sehingga menuju suatu kesimpulan.


(2)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

1.1. Simpulan

Setelah melakukan penelitian dan pembahasan terhadap data-data dan informasi dalam hasil penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan antara lain sebagai berikut:

A. Konstruksi hubungan pemerintah pusat dan daerah dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh merupakan praktek baru dalam ketatanegaraan Indonesia. Semenjak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, Aceh memiliki kewenagan-kewenangan yang istimewa, otonomi khusus yang sangat luas dan tidak dimiliki oleh daerah-daerah lain yang ada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti pemberlakuan asas keislaman dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, penentuan jumlah anggota DPRD yang berbeda dari daerah-daerah lain yang ada di Indonesia dikarenakan peran partai politik lokal di Aceh, pengaturan PAD, dana perimbangan, dana tambahan bagi Aceh serta pelabuhan bebas Sabang. Penyelenggaraan lembaga Peradilan di Aceh seperti mahkamah syari’at, Peradilan Hak Asasi Manusia, serta turut campur pemerintahan Aceh


(3)

93 dalam urusan pertahanan dan keamanan yang pada dasarnya menjadi kewenangan pemerintah pusat dapat merubah konstruksi hubungan pemerintah pusat dan daerah di Indonesia. Dengan penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yang notabennya Indonesia merupakan bangunan yang susunan organisasi negaranya berbentuk kesatuan (Unitary), tidak lazim diterapkan di Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena sifat pembawaan negara kesauan yaitu sentralistik dan hanya mengakui badan legislatif pusat.

B. Dampak penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah dengan dibentuknya undang-undang tersebut dari beberapa alasan yang telah dibahas, Sehingga dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh berdampak akan terjadi kecemburuan daerah lain dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ingin melakukan tuntutan serupa bahkan menuntut merdeka.

1.2. Saran

Setelah melakukan pembahasan dan memperoleh kesimpulan dalam penelitian ini, saran-saran yang dapat di sampaikan sebagai berikut:

A. Dengan adanya konstruksi yang dimiliki Aceh disarankan kepada pemerintah pusat dan dewan perwakilan rakyat selaku badan pembuat undang-undang untuk melakukan pembenahan serta pemeliharaan konstruksi agar tidak mengarah kearah disintegrasi.


(4)

94 B. Pemerintah perlu mengantisipasi dampak negatif yang disebabkan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 yang menghasilakan bentuk konstruksi hubungan pusat dan daerah seperti di Aceh terhadap daerah-daerah lain di Indonesia dan pemerintah sebaiknya memberikan ruang konsultasi atau dialog untuk daerah-daerah lain di Indonesia guna mengantisipasi kecemburuan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Amiruddin Hasbi, perjuangan ulama Aceh di tengah konflik, Caninnets Press, Yogyakarta.

Budiarjo, Miriam,2008,Dasar Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka raya, Jakarta.

Hendratno, Edie toet,2009, Negara Kesatuan, Desentralisasi ,dan Federalisme, graha ilmu bersama Universitas Pancasila, Yogyakarta.

Kusnardi, Moh dan Bintan Saragih,2004, Ilmu Negara, edisi revisi, Gaya media Pratama, Jakarta.

Moh.Mahfud M.D,2001, Dasar dan struktur ketataNegaraan Indonesia, UII Pres. Yogyakarta.

Manan Bagir, 2002, Menyongsong fajar otonomi daerah, , Pusat studi hukum fakultas hukum UII, Yogyakarta.

Mursyidan, Fery Baldan,2007, Pondasi Menuju Perdamaian Abadi (catatan Pembahasan RUU Pemerintahan Aceh), Suara Bebas, Jakarta.

Muhammad abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Jakarta

Ratnawati Tri, 2009, pemekaran daerah dan beberapa isu terseleksi, Pustaka pelajar, Yogyakarta.

Rudy,2012, Hukum Pemerintahan Daerah Perspektif Konstitualisme Indonesia, Indepth Publising.Bandar Lampung.

Soehino,2004,Ilmu Negara, liberty, Yogyakarta.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1983, Penelitian Hukum Normatif: suatu tinjauan singkat. PT. Raja Grafindo persada.Jakarta.


(6)

Sunarno, Siswanto , 2009, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar grafika, Jakarta.

Strong,C.F. 1952, Modern Political Constitution :an Introduction to the comparatif study of their history and existing form, diterjemahkan oleh Nusa media.Jakarta.

Sumantri, Sri M, Bentuk Negara dan Implementasinya Berdasarkan UUD 1945,Ghalia Indonesia,Jakarta.

Peraturan Perundang Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 nomor 125, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4437).

Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59 tambahan lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4844).

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam. (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114, tambahan lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4134).

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. (lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2006 nomor 62 tambahan lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4633).

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keungan pusat dan daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126 tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang penyelenggaraan pemilihan

umum anggota DPR, DPD, DPRD. (lembaran Negara nomor 117). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang pemilihan presiden. (lembaran

Negara nomor 93). Internet

http://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_istimewa