Analisis Yuridis Pengelolaan Dana Otonomi Khusus di Provinsi Aceh berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

(1)

ANALISIS YURIDIS PENGELOLAAN DANA OTONOMI

KHUSUS DI PROVINSI ACEH BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG

PEMERINTAHAN ACEH

TESIS

Oleh

NUR AULIA ANGKAT

087005066

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS YURIDIS PENGELOLAAN DANA OTONOMI

KHUSUS DI PROVINSI ACEH BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG

PEMERINTAHAN ACEH

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

Dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

NUR AULIA ANGKAT

087005066

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

DAFTAR ISI

ABSTRAK……… i

ABSTRACT………. ii

KATA PENGATAR……… iii

DAFTAR GAMBAR, SKEMA, DAN TABEL... vi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP……… vii

DAFTAR ISI………. viii

BAB I PENDAHULUAN………. 1

A. Latar Belakang Masalah……… 1

B. Rumusan Masalah………. 9

C. Tujuan Penelitian……….. 10

D. Manfaat Penelitian……… 10

E. Keaslian Penelitian……… 11

F. Kerangka Teori dan Konsep……….. 11

1. Kerangka Teori……… 11

A. Teori Desentralisasi ………..……… 11

B. Teori Pengelolaan Keuangan……… 22

2. Konsep……… 26

G. Metode Penelitian………. 27

1. Spesifikasi Penelitian……….. 27

2. Metode Penelitian………... 28

3. Alat Pengumpul Data………. 30

4. Analisis Data……….. 31

BAB II OTONOMI KHUSUS PROVINSI ACEH DALAM SISTEM OTONOMI DI INDONESIA……….. 32

A. Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia……….. 32

1. Otonomi Daerah di Era Kemerdekaan……… 36

2. Otonomi Daerah di Era Orde Baru………. 54


(4)

B. Bentuk-Bentuk Otonomi dalam Negara Kesatuan Republik

Indonesia……… 63

1. Otonomi Umum………... 65

2. Otonomi Istimewa……… 67

3. Otonomi Khusus……….. 68

C. Otonomi Khusus Provinsi Aceh……… 71

1. Otonomi Khusus Provinsi Aceh dalam Konsep Negara Kesatuan………. 71

2. Sejarah Otonomi Khusus Provinsi Aceh………. 75

3. Otonomi Khusus Provinsi Aceh Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006………. 81

BAB III PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS DALAM PELAKSANAAN OTONOMI KHUSUS PROVINSI ACEH….. 89

A. Sumber-Sumber Keuangan Pemerintah Aceh dalam Pelaksanaan Otonomi Khusus……... ……….. 89

B. Dana Otonomi Khusus Provinsi Aceh ………. 97

C. Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Provinsi Aceh ……… 100

BAB IV EFEKTIVITAS DAN TRANSPARANSI DALAM IMPLEMENTASI PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS PROVINSIACEH……….. 115

A. Prinsip-Prinsip Good Governance dalam Pengelolaan Dana Otonomi Khusus……… B. Implementasi Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Provinsi Aceh……… 122

C. Efektifitas dan Hambatan dalam Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Provinsi Aceh………... 125

D. Transparansi dalam Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Provinsi Aceh………. 143


(5)

BAB V PENUTUP……….. 147

A. Kesimpulan………... 147

B. Saran………. 148


(6)

DAFTAR GAMBAR, SKEMA, DAN TABEL

Gambar 1 : Bobot Kekuasaan Pemerintahan

Gambar 2 : Pembagian Alokasi Dana Otonomi Khusus antara Provinsi Aceh dan Kabupaten/Kota

Skema 1 : Susunan Daerah Aceh

Skema 2 : Mekanisme Pertanggungjawaban dan Pelaporan Keuangan Daerah secara Internal.

Skema 3 : Bentuk-Bentuk Hubungan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Tabel 1 : Alokasi Dana Otonomi Khusus Provinsi Aceh

Tabel 2 : Realisasi Fisik dan Keuangan Pelaksanaan Dana Otonomi Khusus Tahun 2008

Tabel 3 : Realisasi Fisik dan Keuangan Pelaksanaan Dana Otonomi Khusus Tahun 2009

Tabel 4 : Tingkat Penduduk Miskin di Provinsi Aceh Tahun 2007, 2008, dan 2009.

Tabel 5 : Tingkat Pengangguran di Provinsi Aceh Tahun 2007, 2008, dan 2009.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah S.W.T yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulisan tesis ini dengan judul Analisis Yuridis Pengelolaan Dana Otonomi Khusus di Provinsi Aceh berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dapat selesai sebagaimana yang diharapkan.

Penulisan tesis ini dilakukan karena ketertarikan penulis selaku masyarakat Aceh terhadap pelaksanaan otonomi khusus dan pengelolaan dana otonomi khusus di Provinsi Aceh. Selaku masyarakat Aceh, penulis merasa kecewa dan tertantang untuk menyumbangkan pemikiran bagi pengembangan manajemen dan kebijakan pengelolaan dana otonomi khusus yang dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh, dengan memaparkan dan menganalisis secara keilmuan mengenai berbagai fenomena yuridis maupun sosiologis tentang pelaksanaan otonomi khusus dan pengelolaan dana otonomi khusus di Provinsi Aceh.

. Harapan penulis, melalui penulisan yang sederhana ini kiranya dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum, dan lebih khusus lagi terhadap pelaksanaan otonomi khusus dan pengelolaan dana otonomi khusus di Provinsi Aceh. Penulis menyadari bahwa masih terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan dalam tulisan ini, oleh karena itu penulis senantiasa terbuka untuk saran dan kritik yang konstruktif dan membangun bagi penyempurnaannya.


(8)

Selesainya penulisan tesis ini tidak terlepas dari sumbangsih berbagai pihak. Untuk itulah pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan kontribusi dalam proses penyelesaian tesis ini, yaitu Rektor Universitas Sumatera Utara Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc(CTM), Sp.A(K), Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, terutama kepada para Dosen Pembimbing, Prof. Muhammad Abduh, SH, Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, dan Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, MH yang telah banyak memberikan kontribusi keilmuan. Juga kepada para dosen penguji, Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum dan Bapak Dr. Pandestaren Tarigan, SH, M.Hum yang telah banyak memberi kritikan, saran, dan masukan bagi pengembangan tesis ini.

Terima kasih yang sama saya ucapkan pula kepada para responden penelitian yang telah banyak memberikan bantuan selama proses pelaksanaan penelitian yang penulis lakukan, dan kepada jajaran Pemerintah Aceh saya ucapkan pula terima kasih yang setinggi-tingginya atas kerjasamanya yang baik, sehingga pelaksanaan penelitian yang penulis lakukan dapat berjalan dengan lancar.

Kepada istriku tercinta Sri Novianti dan anakku Furqan Al Hilal Angkat, terima kasih atas segala dukungan dan pengorbanannya selama ini. Ketulusan dan kebersamaan kita selama ini telah menjadi motor penggerak tersendiri untuk


(9)

keberhasilan studi suami dan ayahanda. Demikian pula kepada semua kolega saya yang telah banyak memberikan bantuan dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

Akhir kata, semoga amal baik semua pihak tersebut yang telah mendukung terselesaikannya penulisan tesis ini, baik langsung maupun tidak langsung, mendapat pahala serta curahan rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa. Amin ya Allah, ya Robbal Alamin.

Medan, Agustus 2010 Penulis


(10)

ABSTRAK

Penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia, dilakukan melalui desentralisasi kekuasaan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan rumah tangganya, baik dalam bentuk otonomi umum, otonomi istimewa, maupun otonomi khusus. Bentuk-bentuk otonomi tersebut, pada dasarnya merupakan sub sistem dalam sistem pemerintahan nasional sebagai satu kesatuan badan hukum publik yang tunggal dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945. Adanya bentuk-bentuk otonomi, memberikan warna yang berbeda dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan diberikannya kewenangan-kewenangan khusus atau kewenangan-kewenangan istimewa kepada suatu daerah tetapi tidak dimiliki oleh daerah-daerah yang lain, seperti halnya otonomi khusus Provinsi Aceh berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Dalam pelaksanaan otonomi khusus Provinsi Aceh, oleh Pemerintah Pusat diberikan sumber-sumber keuangan kepada Pemerintah Aceh berupa pendapatan daerah dan pembiayaan, termasuk melalui pemberian dana otonomi khusus yang ditujukan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Aceh. Sebagai tindak lanjut dari pemberian dana otonomi khusus, oleh Pemerintah Aceh dibentuk Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 yang mengatur pengelolaan dana otonomi khusus dengan sistem pengelolaan secara sentralisasi oleh Provinsi Aceh. Namun sangat disayangkan, sentralisasi pengelolaan dana otonomi khusus oleh Provinsi Aceh dalam implementasinya tidak berjalan dengan efektif dan proses transparansi keuangan tidak dijalankan sejalan dengan prinsip-prinsip Good Governance yang menunjukkan buruknya pengelolaan dana otonomi khusus di Provinsi Aceh.

Dana otonomi khusus pada dasarnya ditujukan bagi peningkatan pemberian pelayanan kepada masyarakat (public service). Pemberian pelayanan kepada masyarakat akan berjalan secara efektif dan efesien, apabila proses pelayanan tersebut didekatkan kepada masyarakat dan bukan dijauhkan. Oleh karena itu, proses pemberian pelayanan harus dapat didekatkan kepada masyarakat melalui pelimpahan kewenangan pengelolaan dana otonomi khusus kepada Kabupaten/Kota agar pelaksanaan dana otonomi khusus dapat berjalan lebih efektif dan efesien. Selain itu, mengingat pentingnya fungsi anggaran dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka dana otonomi khusus Provinsi Aceh harus dapat dikelola dengan sebaik-baiknya melalui reformasi sistem pengelolaan dana otonomi khusus yang sejalan dengan prinsip-prinsip Good Governance. Pembaruan sistem pengelolaan keuangan diperlukan agar pengelolaan uang rakyat (public money) dilakukan secara transparan sejalan dengan makna demokrasi berdasarkan konsep value for money sehingga tercipta akuntabilitas publik. .

Kata Kunci: Otonomi Khusus Provinsi Aceh, Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Provinsi Aceh


(11)

ABSTRACT

Regional government performance of Indonesia is conducted through decentralized power of central government by authorizing the autonomy to regulate and arrange for self-household, either in general, special, or special autonomy. The types of autonomy give certain colour in performance of regional government through special authorities to specific region, not to others, such as special autonomy of Aceh Province based on the law No. 11/2006 regarding the Aceh Government. The special autonomy given to Province of Aceh based on the law No. 11/2006 regarding Aceh Government, is a strategic value of policy to improve the public servis, and acceleration of development, and empowerment to all people of Aceh with opportunity of more flexible independence to manage the existing sources.

To implement the Special Autonomy of Aceh Province, government gives the financial sources such as income and costing, including authority of special autonomy fund is directed to enact the public service. Therefore, the successful implementation of public interest service need public management run by institusions and systhematized official and directed-goals.

The presence of budget in government performance, originally has important meaning as planning tool, control tool, fiscal tool, political tool, performance and measurement tool, and motivation tool. To remember the importance of budget in government performance, the special fund of Aceh Province autonomy should be managed carefully by vision of “ Good Financial Governance” through reform of administration, eitherinstitutionally or managerially on public affairs. In addition to reform of institution an reform of management in public sector, there should be also advance reform to include the financing reform, budgeting reform, accounting reform, audit reform, and financial management reform. The improvement of financial managing system is needed for transparent management of public money in parallel with meaning of democracy on concept of value for money in order to create the accountability of public.

Keywords : Special Autonomy of Aceh Province, Special Autonomy fund management of Aceh Province.


(12)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Nur Aulia Angkat

Tempat/Tanggal lahir : Kuala Simpang, 01 Mei 1975

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pekerjaan : PNS

Pendidikan : Sekolah Dasar Tamat Tahun 1984

Sekolah Menengah Pertama Tamat Tahun 1990 Sekolah Menengah Atas Tamat Tahun 1993

Universitas Syah Kuala Banda Aceh Tamat Tahun 2000

Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2010


(13)

(LEMBAR PENGESAHAN)

Judul

Tesis

: ANALISIS YURIDIS PENGELOLAAN DANA

OTONOMI KHUSUS DI PROVINSI ACEH

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR

11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN

ACEH

Nama Mahasiswa : NUR AULIA ANGKAT

Nomor Pokok

: 087005066

Program Studi

: Ilmu Hukum

MENYETUJUI

KOMISI PEMBIMBING

Prof. Muhammad Abduh, SH.

Ketua

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., M.H Dr. Faisal Akbar Nasution, SH., M.Hum

Anggota Anggota


(14)

(LEMBAR PENGESAHAN)

Judul

Tesis

: ANALISIS YURIDIS PENGELOLAAN DANA

OTONOMI KHUSUS DI PROVINSI ACEH

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR

11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN

ACEH

Nama Mahasiswa : NUR AULIA ANGKAT

Nomor Pokok

: 087005066

Program Studi

: Ilmu Hukum

MENYETUJUI

KOMISI PEMBIMBING

Prof. Muhammad Abduh, SH.

Ketua

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., M.H Dr. Faisal Akbar Nasution, SH., M.Hum

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Hukum Dekan Fakultas Hukum


(15)

Telah lulus diuji pada

Tanggal 18 Agustus 2010

PANITIA PENGUJI DAN PEMBIMBING

Ketua : Prof. Muhammad Abduh, SH

Anggota : 1. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH

2. Dr. Faisal Akbar Nasution, SH., M.Hum

3. Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum


(16)

ABSTRAK

Penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia, dilakukan melalui desentralisasi kekuasaan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan rumah tangganya, baik dalam bentuk otonomi umum, otonomi istimewa, maupun otonomi khusus. Bentuk-bentuk otonomi tersebut, pada dasarnya merupakan sub sistem dalam sistem pemerintahan nasional sebagai satu kesatuan badan hukum publik yang tunggal dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945. Adanya bentuk-bentuk otonomi, memberikan warna yang berbeda dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan diberikannya kewenangan-kewenangan khusus atau kewenangan-kewenangan istimewa kepada suatu daerah tetapi tidak dimiliki oleh daerah-daerah yang lain, seperti halnya otonomi khusus Provinsi Aceh berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Dalam pelaksanaan otonomi khusus Provinsi Aceh, oleh Pemerintah Pusat diberikan sumber-sumber keuangan kepada Pemerintah Aceh berupa pendapatan daerah dan pembiayaan, termasuk melalui pemberian dana otonomi khusus yang ditujukan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Aceh. Sebagai tindak lanjut dari pemberian dana otonomi khusus, oleh Pemerintah Aceh dibentuk Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 yang mengatur pengelolaan dana otonomi khusus dengan sistem pengelolaan secara sentralisasi oleh Provinsi Aceh. Namun sangat disayangkan, sentralisasi pengelolaan dana otonomi khusus oleh Provinsi Aceh dalam implementasinya tidak berjalan dengan efektif dan proses transparansi keuangan tidak dijalankan sejalan dengan prinsip-prinsip Good Governance yang menunjukkan buruknya pengelolaan dana otonomi khusus di Provinsi Aceh.

Dana otonomi khusus pada dasarnya ditujukan bagi peningkatan pemberian pelayanan kepada masyarakat (public service). Pemberian pelayanan kepada masyarakat akan berjalan secara efektif dan efesien, apabila proses pelayanan tersebut didekatkan kepada masyarakat dan bukan dijauhkan. Oleh karena itu, proses pemberian pelayanan harus dapat didekatkan kepada masyarakat melalui pelimpahan kewenangan pengelolaan dana otonomi khusus kepada Kabupaten/Kota agar pelaksanaan dana otonomi khusus dapat berjalan lebih efektif dan efesien. Selain itu, mengingat pentingnya fungsi anggaran dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka dana otonomi khusus Provinsi Aceh harus dapat dikelola dengan sebaik-baiknya melalui reformasi sistem pengelolaan dana otonomi khusus yang sejalan dengan prinsip-prinsip Good Governance. Pembaruan sistem pengelolaan keuangan diperlukan agar pengelolaan uang rakyat (public money) dilakukan secara transparan sejalan dengan makna demokrasi berdasarkan konsep value for money sehingga tercipta akuntabilitas publik. .

Kata Kunci: Otonomi Khusus Provinsi Aceh, Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Provinsi Aceh


(17)

ABSTRACT

Regional government performance of Indonesia is conducted through decentralized power of central government by authorizing the autonomy to regulate and arrange for self-household, either in general, special, or special autonomy. The types of autonomy give certain colour in performance of regional government through special authorities to specific region, not to others, such as special autonomy of Aceh Province based on the law No. 11/2006 regarding the Aceh Government. The special autonomy given to Province of Aceh based on the law No. 11/2006 regarding Aceh Government, is a strategic value of policy to improve the public servis, and acceleration of development, and empowerment to all people of Aceh with opportunity of more flexible independence to manage the existing sources.

To implement the Special Autonomy of Aceh Province, government gives the financial sources such as income and costing, including authority of special autonomy fund is directed to enact the public service. Therefore, the successful implementation of public interest service need public management run by institusions and systhematized official and directed-goals.

The presence of budget in government performance, originally has important meaning as planning tool, control tool, fiscal tool, political tool, performance and measurement tool, and motivation tool. To remember the importance of budget in government performance, the special fund of Aceh Province autonomy should be managed carefully by vision of “ Good Financial Governance” through reform of administration, eitherinstitutionally or managerially on public affairs. In addition to reform of institution an reform of management in public sector, there should be also advance reform to include the financing reform, budgeting reform, accounting reform, audit reform, and financial management reform. The improvement of financial managing system is needed for transparent management of public money in parallel with meaning of democracy on concept of value for money in order to create the accountability of public.

Keywords : Special Autonomy of Aceh Province, Special Autonomy fund management of Aceh Province.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Otonomi daerah merupakan hal yang sangat menarik bila kita amati perkembangannya dalam sistem pemerintahan di Indonesia, karena sejak para pendiri negara (founding leaders) menyusun format negara, konsep otonomi daerah telah diakomodasikan di dalam UUD (droit constitutionnel), khususnya Pasal 18 UUD 1945 dengan dilakukannya pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.1

Konsep otonomi daerah yang dianut, memberikan konsekuensi logis dilakukannya distribusi atau pemencaran kekuasaan kepada pemerintah daerah bawahan dalam bentuk penyerahan kewenangan. Distribusi atau pemencaran kekuasaan dilakukan melalui 3 (tiga) asas, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan (medebewind).

Asas desentralisasi dilakukan melalui pelimpahan sebagian dari tugas dan wewenang urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah, sehingga

1 UUD 1945 sebelum perubahan. Setelah perubahan menjadi 7 ayat ditambah dua Pasal baru yaitu Pasal 18A dan Pasal 18B.


(19)

timbul hubungan fungsi dalam arti ada tugas dan wewenang tertentu tetap dilaksanakan oleh pemerintah pusat, dan ada tugas dan wewenang tertentu dilaksanakan oleh pemerintah daerah sebagai akibat dari pelimpahan tugas dan wewenang dari pusat kepada daerah. Berdasarkan asas dekonsentrasi, terjadi pelimpahan kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkatan lebih atas kepada bawahannya guna melancarkan pelaksanaan tugas pemerintahan, seperti halnya pelimpahan kekuasaan pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan perangkat pusat di daerah. Penyelenggaraan asas tugas pembantuan

(medebewind) adalah cerminan dari sistem dan prosedur penugasan pemerintah kepada daerah dan desa, serta penugasan dari Provinsi dan Kabupaten/Kota kepada desa untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan dan pembangunan dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang memberi tugas.

Penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia, dalam perkembangannya tidak saja membawa dampak terhadap distribusi kekuasaan, tetapi juga menimbulkan adanya bentuk-bentuk otonomi, dengan diberlakukannya otonomi khusus dan otonomi istimewa pada daerah-daerah tertentu. Hal ini sejalan dengan amanah konstitusi, khususnya Pasal 18B UUD 1945, dengan adanya pengakuan dan penghormatan terhadap satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.2


(20)

Otonomi daerah dalam sistem pemerintahan di Indonesia, pada awal kemerdekaan dilakukan melalui 2 (dua) bentuk otonomi sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUD 1945, yaitu otonomi umum dan otonomi istimewa. Sejalan dengan bergulirnya era reformasi yang membawa dampak terhadap perkembangan pemerintahan di Indonesia, melalui amandemen UUD 1945 diatur 3 (tiga) bentuk otonomi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, yaitu otonomi umum, otonomi istimewa dan otonomi khusus.

Perumusan kebijakan otonomi khusus dan otonomi istimewa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, pada dasarnya dilandasi pemikiran terhadap faktor sejarah dan heterogenitas yang dimiliki bangsa Indonesia, baik kondisi sosial, ekonomi, maupun budaya, juga sebagai sarana pencegah konflik disintegrasi bangsa, sehingga kekhususan atau keistimewaan di rasa perlu dialirkan kepada daerah-daerah tertentu melalui pemberian otonomi untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan rumah tangganya.

Diberlakukannya bentuk-bentuk otonomi memberikan warna yang berbeda dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia, dengan diberikannya kewenangan-kewenangan khusus atau kewenangan-kewenangan istimewa kepada suatu daerah tetapi tidak dimiliki oleh daerah yang lainnya, seperti halnya otonomi khusus Provinsi Aceh berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Pemberian otonomi khusus bagi Provinsi Aceh berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, merupakan suatu kebijakan yang bernilai


(21)

strategis dalam rangka peningkatan pelayanan publik (public sevice), dan akselerasi pembangunan (acseleration development), serta pemberdayaan

(empowerment) seluruh masyarakat di Provinsi Aceh dengan peluang kemandirian yang lebih terbuka dalam mengelola sumber-sumber daya yang ada.

Tujuan diberikannya otonomi khusus kepada Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota diharapkan dapat mewujudkan rasa keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia, percepatan pembangunan ekonomi, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, otonomi khusus pada dasarnya bukanlah hanya sekedar hak, tetapi juga merupakan kewajiban konstitusional bagi Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh.3

Pemberian otonomi khusus Provinsi Aceh melewati jalan yang panjang dan berliku. Mengutip kata-kata Agus Sumule:

Disebut sebagai perjuangan “melawan arus” dalam bingkai NKRI, memakan waktu yang lama, dan sangat melelahkan bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Tidak hanya itu, kebijakan otonomi khusus

(special autonomy) atau kerap disebut “asymmetris decentralization”, dimana diberikannya kewenangan yang besar di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya kepada daerah merupakan barang baru dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia melalui kebijakan otonomi daerah.4

Eksistensi otonomi daerah dan desentralisasi kekuasaan begitu urgen dalam penyelenggaraan pemerintahan, khususnya dalam negara yang menganut

3 Tursandi Alwi, Sosialisasi UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Majalah Aceh Economic Review, Edisi-VI, Agustus 2006, hlm. 12

4 Yohanis Anton Raharusun, Daerah Khusus dalam Perspektif NKRI, (Jakarta : Konstitusi Press, 2009), hlm.186


(22)

sistem negara kesatuan, seperti halnya negara Indonesia. Penyelenggaraan otonomi daerah melalui asas desentralisasi dilakukan melalui 3 (tiga) instrumen utama, yaitu desentralisasi politik, desentralisasi administrasi, dan desentralisasi fiskal. Desentralisasi politik akan memposisikan pemerintah daerah sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat di tingkat lokal dan secara agregat akan berkontribusi pada pendidikan politik secara nasional untuk mencapai terwujudnya civil society. Desentralisasi administratif akan memposisikan pemerintah daerah sebagai unit pemerintahan di tingkat lokal yang berfungsi untuk menyediakan pelayanan kepada masyarakat secara efektif, efesien dan ekonomis. Sedangkan desentralisasi fiskal akan memposisikan pemerintah daerah sebagai pendukung ketahanan dan kestabilan ekonomi bangsa, dimana ketahanan dan kestabilan ekonomi daerah akan berkontribusi terhadap ketahanan dan kestabilan ekonomi secara nasional.

Perumusan kebijakan desentralisasi fiskal dalam pelaksanaan otonomi daerah, pada dasarnya ditujukan untuk memecahkan masalah kekurangan pendapatan, mengatasi eksternalitas dan melakukan redistribusi pendapatan nasional, serta menstabilkan ekonomi makro diseluruh daerah demi tercapainya penguatan dan stabilitas ekonomi secara nasional. Adanya desentralisasi fiskal dalam penyelenggaraan otonomi daerah, memberikan hak bagi pemerintah daerah untuk mendapatkan sumber-sumber keuangan, berupa:

a. Kepastian tersedianya pendanaan dari pemerintah sesuai dengan urusan pemerintahan yang di serahkan;


(23)

c. Hak untuk mendapatkan bagi hasil dari sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah dan dana perimbangan;

d. Hak mengelola keuangan daerah dan mendapatkan sumber pembiayaan. 5

Desentralisasi fiskal dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia diakomodasikan oleh pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dengan diberikannya sumber-sumber keuangan kepada daerah berupa pendapatan daerah dan pembiayaan agar penyelenggaraan pemerintahan di daerah dapat berjalan secara efektif dan optimal. Pendapatan daerah terdiri atas pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan lain-lain pendapatan yang sah. Sedangkan sumber pembiayaan berasal dari sisa lebih perhitungan anggaran tahun sebelumnya, pencairan dana cadangan, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, penerimaan pinjaman, dan penerimaan kembali pemberian pinjaman.

Penyelenggaraan pemerintahan Aceh dengan prinsip otonomi khususnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, juga dilandasi adanya desentralisasi fiskal melalui pemberian kewenangan untuk mengelola, mengatur dan memanfaatkan keuangan daerah dari sumber-sumber pendapatan dan pembiayaan. Namun terdapat perbedaan sumber-sumber pendapatan sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, dengan diberikannya Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi serta Dana Otonomi Khusus dalam pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Aceh.

5 Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007), hlm.838


(24)

Dana pelaksanaan atas penyelenggaraan otonomi khusus yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintahan Aceh, pada dasarnya ditujukan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat (public service). Oleh karena itu, untuk keberhasilan penyelenggaraan pelayanan kepentingan umum (public interest) tersebut, dibutuhkan manajemen publik (public management) yang dijalankan oleh lembaga atau jabatan-jabatan resmi secara tersistem dan terarah.6

Dalam konteks manajemen itu harus berjalan semua fungsi-fungsi atau cabang-cabang manajemen, yaitu:

1) Fungsi perencanaan (planning).

2) Fungsi organisasi (organizing).

3) Fungsi Pergerakan (actuating).

4) Fungsi Pengawasan dan pengendalian (controlling).

5) Fungsi Pembiayaan (budgeting).

6) Fungsi Koordinasi (coordinating) dan lain-lain sebagaimana dijumpai dalam teori manajemen.7

Dana otonomi khusus berdasarkan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pengelolaannya diadministrasikan pada Pemerintah Provinsi Aceh dengan pengaturan lebih lanjut melalui Qanun Aceh. Menindaklanjuti amanah tersebut, oleh Pemerintah Aceh dibentuk Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi serta Penggunaan Dana Otonomi Khusus yang berisi Perencanaan, Pelaksanaan, Pengawasan dan Evaluasi, serta Pertanggungjawaban dan Pelaporan, dengan sistem pengelolaan secara sentralisasi oleh Provinsi Aceh.

6 M. Solly Lubis, Kebijakan Publik, (Bandung : Mandar Maju, 2007), hlm 1. 7Ibid, hlm.2


(25)

Keuangan daerah (termasuk dana otonomi khusus) pada dasarnya harus dikelola secara tertib, taat peraturan perundang-undangan, efesien, ekonomis, efektif dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat yang dilakukan secara transparan dan akuntabel dengan memberikan akses informasi yang seluas-luasnya bagi masyarakat sejalan dengan prinsip-prinsip Good Governance.

Bila ditinjau pengelolaan dana otonomi khusus dalam pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Aceh, dalam implementasinya tidak berjalan dengan efektif. Hal tersebut mendapat kritikan dari seluruh Pemerintah Kabupaten dan Kota di Aceh. Tidak efektifnya pengelolaan dana otonomi khusus dapat dilihat dari realisasi pelaksanaannya, dimana realisasi pelaksanaan dana otonomi khusus Provinsi Aceh pada tahun 2008 hanya terserap sebesar 37,68%, sedangkan pada tahun 2009 bahkan lebih buruk dari tahun 2008, dengan realisasi pelaksanaan hanya sebesar 17,90%. Selain itu, proses transparansi yang tidak berjalan dengan baik dalam pengelolaan dana otonomi khusus, semakin memperburuk potret pengelolaan dana otonomi khusus di Provinsi Aceh. Transparansi keuangan dan keterbukaan akses sangat dibutuhkan dalam pengelolaan keuangan guna menciptakan pengawasan yang optimal oleh lembaga pengawas dan mendorong partisipasi masyarakat untuk turut mengawasi jalannya pengelolaan keuangan daerah agar penggunaannya dapat berjalan sesuai dengan fungsinya (money follows function).


(26)

Penyelenggaraan otonomi khusus dan pengelolaan dana otonomi khusus dalam pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Aceh berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, merupakan hal yang sangat menarik untuk diteliti guna mengetahui keberadaan otonomi khusus Provinsi Aceh dalam sistem otonomi di Indonesia dan pengelolaan dana otonomi khusus dalam pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Aceh, khususnya dari sisi efektivitas dan transparansi pengelolaan keuangan yang sejalan dengan prinsip-prinsip Good Governance.

Berdasarkan hal-hal tersebut, maka penelitian ini akan menganalisis secara yuridis Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Provinsi Aceh berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

B. Permasalahan

Dari latar belakang sebagaimana telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan, antara lain:

1. Bagaimanakah keberadaan otonomi khusus Provinsi Aceh dalam sistem otonomi di Indonesia?

2. Bagaimanakah pengelolaan dana otonomi khusus dalam pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Aceh?

3. Bagaimanakah efektivitas dan transparansi dalam pengelolaan dana otonomi khusus di Provinsi Aceh?


(27)

C. Tujuan Penelitian

Terkait dengan latar belakang dan permasalahan yang telah dikemukakan, maka tujuan yang dianggap relevan dalam penelitian tesis ini adalah :

1. Untuk mengetahui keberadaan otonomi khusus Provinsi Aceh dalam sistem otonomi di Indonesia.

2. Untuk mengetahui pengelolaan dana otonomi khusus dalam pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Aceh.

3. Untuk mengetahui sejauh mana efektivitas dan transparansi dijalankan dalam pengelolaan dana otonomi khusus di Provinsi Aceh.

D. Manfaat Penelitian

Terjawabnya permasalahan dan tercapainya tujuan, diharapkan membawa sejumlah manfaat baik dalam tataran akademis maupun tataran praktis: 1. Secara teoritis dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan,

khususnya ilmu hukum, lebih khusus lagi berkaitan dengan otonomi khusus. 2. Secara praktis dapat bermanfaat bagi:

a. Pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Aceh.

b. Didapatkan sistem pengelolaan yang terpadu dan terarah terhadap dana otonomi khusus di Provinsi Aceh.

c. Efektivitas dan transparansi dalam pengelolaan dana otonomi khusus di Provinsi Aceh.


(28)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pengamatan serta penelusuran kepustakaan yang dilakukan diperpustakaan Universitas Sumatera Utara, penelitian ini yang mengangkat judul Analisis Yuridis Pengelolaan Dana Otonomi Khusus di Provinsi Aceh berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, belum pernah dilakukan baik dalam judul maupun permasalahan yang sama. Oleh karena itu, penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan keasliannya dapat saya pertanggungjawabkan.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konseptual

1. Kerangka Teori

A. Teori Desentralisasi

Secara etimologis istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin, yaitu “de” yang berarti lepas dan “centrum” yang berarti pusat. Dengan demikian, desentralisasi dapat diartikan sebagai melepaskan diri dari pusat. Dari sudut ketatanagaraan yang dimaksud dengan desentralisasi adalah penyerahan


(29)

kekuasaan pemerintah dari pusat kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.8

Menurut Webster:

to desentralize means to devide and distribute, as governmental administration, to withdraw from the centre or of concentration

(Desentralisasi berarti membagi dan mendisribusikan, misalnya administrasi pemerintah, mengeluarkan dari pusat sebagai tempat konsentrasi kekuasaan).9

Lain lagi yang dinyatakan Abdy Yuhana:

Desentralisasi itu adalah proses dari tindakan memencarkan kekuasaan atau wewenang dari suatu organisasi, jabatan atau pejabat. Dalam kaitannya dengan pemerintahan otonom, desentralisasi hanya mencakup pemencaran kekuasaan dibidang otonomi. Sehingga dengan demikian, desentralisasi mengandung makna bahwa wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tidak semata-mata dilakukan oleh pemerintah pusat, melainkan dilakukan juga oleh satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah, baik dalam bentuk satuan territorial maupun fungsional.10

Desentralisasi pada dasarnya mengandung 2 (dua) elemen pokok, yaitu pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan secara hukum dari pusat kepada daerah untuk mengatur dan mengurus bagian dari urusan pemerintahan tertentu. Pelaksanaan desentralisasi dalam negara kesatuan berarti memberikan hak untuk mengatur dan mengurus kepentingan dan aspirasi masyarakat setempat, tetapi tidak dimungkinkan adanya daerah yang bersifat negara yang dapat mendorong lahirnya negara.11

8 Victor M. Situmorang & Cormentyna Sitanggang, Hukum Administrasi Pemerintahan dii Daerah, (Jakarta : Sinar Grafika, 1983), hlm. 40.

9Ibid. hlm. 43.

10 Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Pasca Perubahan UUD 1945, (Bandung : Fokus Media, 2009), hlm.12


(30)

Shabir Cheema dan Rondineli menyampaikan 14 (empat belas) alasan yang merupakan rasionalitas dari desentralisasi, yaitu:

1) Desentralisasi dapat merupakan cara yang ditempuh untuk mengatasi keterbatasan karena perencanaan yang bersifat sentralistik dengan mendelegasikan sejumlah kewenangan terutama dalam perencanaan pembangunan, kepada pejabat daerah yang bekerja dilapangan dan tahu betul masalah yang dihadapi masyarakat. Dengan desentralisasi, maka perencanaan dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan di daerah yang bersifat heterogen.

2) Desentralisasi dapat mendorong jalur birokrasi yang rumit serta prosedur yang sangat terstruktur dari pemerintah pusat.

3) Dengan desentralisasi fungsi dan penugasan kepada pejabat di daerah, maka tingkat pemahaman serta sensitivitas terhadap kebutuhan masyarakat daerah akan meningkat. Kontak hubungan yang meningkat antara pejabat dan masyarakat setempat akan memungkinkan kedua belah pihak untuk memiliki informasi yang lebih baik, sehingga dengan demikian akan mengakibatkan perumusan kebijaksanaan yang lebih realistik dari pemerintah.

4) Desentralisasi akan mengakibatkan terjadi “penetrasi” yang lebih baik dari pemerintah pusat bagi daerah-daerah yang terpencil atau sangat jauh dari pusat, di mana seringkali rencana pemerintah tidak dipahami oleh masyarakat setempat atau dihambat oleh elit politik lokal, dan di mana dukungan terhadap program pemerintah sangat terbatas.

5) Desentralisasi memungkinkan representasi yang lebih luas dari berbagai kelompok politik, etnis, keagamaan di dalam perencanaan pembangunan yang kemudian dapat memperluas kesamaan dalam mengalokasikan sumber daya dan investasi pemerintah.

6) Desentralisasi dapat meningkatkan kapasitas pemerintahan serta lembaga privat di daerah, yang kemudian dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk mengambil alih fungsi yang selama ini dijalankan oleh Departemen yang ada di pusat.

7) Desentralisasi dapat meningkatkan efesiensi pemerintahan di pusat dengan tidak lagi pejabat puncak di pusat menjalankan tugas karena hal itu dapat diserahkan kepada pejabat daerah. Dengan demikian, pejabat di pusat dapat menggunakan waktu dan energi mereka untuk melakukan supervisi dan pengawasan terhadap implementasi kebijaksanaan.

8) Desentralisasi juga dapat menyediakan struktur di mana berbagai departemen di pusat dapat dikoordinasikan secara efektif bersama pejabat daerah dan sejumlah NGO diberbagai daerah. Provinsi, Kabupaten dan Kota dapat menyediakan basis wilayah koordinasi bagi program pemerintah.


(31)

9) Struktur pemerintahan yang didesentralisasikan diperlukan guna melembagakan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan implementasi program. Struktur seperti ini dapat merupakan wahana bagi pertukaran informasi yang menyangkut kebutuhan masing-masing daerah, kemudian secara bersama-sama menyampaikannya kepada pemerintah. 10)Dengan menyediakan modal alternatif cara pembuatan kebijakan,

desentralisasi dapat meningkatkan pengaruh atau pengawasan atas berbagai aktivitas yang dilakukan oleh elit lokal, yang sering kali tidak simpatik dengan program pembangunan nasional dan tidak sensitif terhadap kebutuhan kalangan miskin di pedesaan.

11)Desentralisasi dapat mengantarkan administrasi pemerintahan yang mudah disesuaikan, inovatif, dan kreatif. Pemerintah Daerah dapat memiliki peluang untuk menguji inovasi, serta bereksperimen dengan kebijaksanaan yang baru di daerah-daerah tertentu tanpa harus menjustifikasinya kepada seluruh wilayah negara. Kalau mereka berhasil maka dapat dijadikan contoh oleh daerah lain.

12)Desentralisasi perencanaan dan fungsi managemen dapat memungkinkan pemimpin di daerah untuk menetapkan pelayanan dan fasilitas secara efektif di tengah-tengah masyarakat, mengintegrasikan daerah-daerah yang terisolasi, memonitor dan melakukan evaluasi implementasi proyek pembangunan dengan lebih baik dari pada yang dilakukan oleh pejabat di pusat.

13)Desentralisasi dapat memantapkan stabilitas politik dan kesatuan nasional dengan memberikan peluang kepada berbagai kelompok masyarakat di daerah untuk berpartisipasi secara langsung dalam pembuatan kebijaksanaan, sehingga dengan demikian akan meningkatkan kepentingan mereka dalam memelihara sistem politik.

14)Desentralisasi dapat meningkatkan penyediaan Pemerintah Pusat dan Daerah ketingkat lokal dengan biaya yang lebih rendah, karena itu tidak lagi menjadi beban Pemerintah Pusat karena sudah diserahkan kepada daerah.12

Menurut kelaziman, desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dapat dibagi dalam 2 (dua) macam, yaitu:

a. Dekonsentrasi (deconcentratie) yaitu pelimpahan kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkatan lebih atas kepada bawahannya guna


(32)

melancarkan pekerjaan di dalam melaksanakan tugas pemerintahan, misalnya pelimpahan kekuasaan dan wewenang Menteri kepada Gubernur, dan dari Gubernur kepada Residen (sekarang Bupati/Walikota) dan seterusnya. Dalam desentralisasi semacam ini rakyat tidak dibawa-bawa.

b. Desentralisasi ketatanegaraan atau desentralisasi politik yaitu pelimpahan kekuasaan perundang-undangan dan pemerintahan kepada daerah-daerah otonom di dalam lingkungannya. Dalam desentralisasi politik ini, rakyat dengan mempergunakan saluran-saluran tertentu (perwakilan) ikut serta di dalam pemerintahan, dengan batas wilayah daerah masing-masing.13

Lebih lanjut desentralisasi ketatanegaraan dapat dibagi lagi dalam 2 (dua) jenis, yaitu:

a. Desentralisasi teritorial (territoriale decentralisatie) yaitu, pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah masing-masing.

b. Desentralisasi fungsional (functionale decentralisatie) yaitu, pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus sesuatu atau beberapa kepentingan tertentu. Didalam desentralisasi semacam ini dikehendaki agar kepentingan-kepentingan tertentu tadi diselenggarakan oleh golongan-golongan yang bersangkutan sendiri.14

13 Kusumahatmaja (1979:14) dikutip oleh Raharusun, Yohanis Anton, Ibid, hlm.110 14Ibid, hlm 117


(33)

The Liang Gie memberikan analisisnya:

Dianutnya konsep desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah didasarkan hal-hal sebagai berikut:

a. Dilihat dari sudut politik, desentralisasi dianggap sebagai permainan kekuasaan yang dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja, yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani.

b. Dalam bidang penyelenggaraan, desentralisasi dianggap sebagai tindakan pendemokrasian untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam menggunakan hak demokrasi. c. Dari sudut teknik organisatoris pemerintahan, alasan mengadakan pemerintahan daerah adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efesien. Apa yang dianggap lebih utama untuk diurus oleh pemerintahan setempat pengurusannya diserahkan kepada daerah, sedangkan hal-hal yang lebih tepat ditangani pusat tetap diurus oleh pemerintah pusat.15

Hakikat otonomi daerah dalam Negara Kesatuan adalah merupakan refleksi dan peyerahan manajemen pemerintahan (a transfer of management) yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah. Penyerahan manajemen pemerintahan tersebut, diharapkan dapat membuka peluang kemandirian bagi daerah untuk mengembangkan daerahnya sesuai dengan potensi yang dimiliki.

Secara konseptual, kebijakan otonomi daerah merupakan sistem pemerintahan yang lebih menghargai partisipasi, kemandirian, kesejahteraan sosial, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Konsep desentralisasi ini sesungguhnya lebih menjamin penegakan prinsip demokrasi yang menunjang pluralis, transparansi, akuntabilitas dan berbasis kemampuan lokal.16

15 The Liang Gie dikutip oleh Yohanis Anton Raharusun, lok.cit, hlm.110

16Dodi Riyadmadji, Otonomi Khusus Bali : Apakah mendesak, Jurnal Otonomi Daerah, Vol. VII, Agustus-September 2007, hlm. 58


(34)

Menurut Tocqueville, suatu pemerintahan merdeka yang tidak membangun institusi pemerintahan ditingkat daerah adalah pemerintahan yang sebenarnya tidak membangun kedaulatan rakyat (demokrasi) karena didalamnya tidak ada semangat kebebasan.17

Salah satu karakter yang menonjol dari negara demokrasi menurut Rienow adalah adanya kebebasan sehingga adanya institusi pemerintahan di tingkat daerah itu memiliki 2 (dua) makna, yaitu:

a. Supaya ada kebiasaan bagi rakyat untuk memutuskan sendiri berbagai kepentingan yang berkaitan secara langsung dengan mereka.

b. Agar terbuka kesempatan untuk membuat peraturan dan programnya sendiri bagi setiap komunitas yang memiliki tuntutan yang beragam.18

Menurut Bourjol & Bodrat:

Pemerintahan Daerah adalah organisasi yang dikendalikan oleh wakil-wakil rakyat terpilih dalam suatu komunitas swakelola dari sekelompok penduduk dalam suatu wilayah. Ide dasar tentang Pemerintahan Daerah merupakan suatu pengelompokan alamiah dari penduduk yang tinggal pada suatu wilayah tertentu dengan kehidupan kolektif yang dekat dan memiliki minat dan perhatian yang bermacam-macam.19

Eksistensi otonomi daerah dan desentralisasi kekuasaan begitu urgen dalam penyelenggaraan pemerintahan, khususnya dalam negara yang menganut sistem negara kesatuan, seperti halnya negara Indonesia yang

17 Mahfud, MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogyakarta : Gama Media, 2002), hlm.186

18Ibid, hlm.186 19 J. Kaloh, op.cit, hlm.9


(35)

mempunyai wilayah yang sangat luas dengan heterogenitas masyarakatnya, baik ditinjau dari sudut etnis, agama, budaya, bahasa dan lain sebagainya.

Selain heterogenitas, disetiap wilayah (daerah) memiliki sumber-sumber daya alam yang beragam. Dengan heterogenitas dan sumber-sumber-sumber-sumber daya alam yang beragam tersebut, alangkah naifnya jika segala sesuatunya harus diatur oleh pusat. Oleh sebab itu, diperlukan penyerahan kewenangan kepada daerah yang dalam ilmu pemerintahan disebut desentralisasi dan dekonsentrasi atau tugas pembantuan.

Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah menimbulkan konsekuensi yang mengharuskan adanya hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah dalam suatu konsep yang utuh, terutama menyangkut urusan dan kewenangan pemerintahan, hubungan keuangan, hubungan pengawasan, serta cara menyusun dan menyelenggarakan organisasi pemerintahan daerah. Prinsip desentralisasi dan otonomi daerah secara tegas dinyatakan dalam konstitusi UUD 1945, khususnya Pasal 18 ayat (1) dengan adanya pembagian daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia atas daerah Provinsi dan daerah Provinsi itu dibagi lagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten, dan Kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.

Hal tersebut menunjukkan ataupun menggambarkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia didasarkan pada desentralisasi territorial


(36)

machten) untuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan negara antara Pusat dengan satuan pemerintahan otonomi yang lebih rendah (Provinsi, Kabupaten, dan Kota).

Desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia dilakukan melalui 3 (tiga) instrument utama, yaitu desentralisasi politik, desentralisasi administrasi, dan desentralisasi fiskal. Desentralisasi politik akan memposisikan pemerintah daerah sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat di daerah dan secara agregat akan berkontribusi pada pendidikan politik secara nasional untuk mencapai terwujudnya civil society. Desentralisasi administratif akan memposisikan pemerintah daerah sebagai unit pemerintahan di tingkat lokal yang berfungsi untuk menyediakan pelayanan kepada masyarakat secara efektif, efesien dan ekonomis. Sedangkan desentralisasi fiskal akan memposisikan pemerintah daerah sebagai pendukung ketahanan dan kestabilan ekonomi nasional. Ketahanan dan kestabilan ekonomi di daerah-daerah akan berkontribusi terhadap ketahanan dan kestabilan ekonomi secara nasional.

Gagasan dasar desentralisasi fiskal ialah penyerahan beban tugas pembangunan, penyediaan layanan publik dan sumber daya keuangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, sehingga tugas-tugas itu akan


(37)

lebih dekat kepada masyarakat. Dengan begitu, kemampuan pemerintah akan dapat ditingkatkan dan pertanggungjawaban akan dapat lebih terjamin.20

Menurut Bahl dan Linn:

Ada tiga argumentasi yang dapat dikemukakan mengenai pentingnya desentralisasi fiskal. Pertama, jika unsur-unsur belanja dan tingkat pajak ditentukan pada jenjang pemerintahan yang lebih dekat kepada masyarakat, maka layanan publik di daerah akan dapat diperbaiki dan masyarakat akan lebih puas dengan layanan yang diberikan pemerintah. Kedua, pemerintah daerah yang lebih kuat akan menunjang pembangunan bangsa, karena masyarakat lebih mudah mengidentifikasi dengan pemerintah daerah ketimbang pemerintah pusat. Apabila tanggung jawab mengenai perpajakan, kebijakan keuangan, dan layanan publik diserahkan kepada pemerintah daerah, maka pemerintah daerah akan saling bersaing untuk melakukan yang terbaik bagi rakyat yang tentunya juga akan memperbaiki pembangunan bangsa. Ketiga, keseluruhan mobilisasi sumber daya akan bertambah baik karena pihak pemerintah daerah dapat lebih tanggap dan mudah menarik pajak dari sektor-sektor ekonomi yang tumbuh cepat jika dibanding pemerintah pusat. Dalam memobilisasi sumber daya, pemerintah pusat biasanya terkendala oleh kondisi geografis dan rentang kendali. Oleh sebab itu, apabila pemerintah daerah diberi tanggung jawab yang lebih besar maka mobilisasi sumber daya akan dapat dilakukan dengan lebih baik.21

Dibanyak negara, terutama yang memiliki beragam etnis dengan potensi sumber daya yang tidak merata, desentralisasi fiskal lebih banyak mengandung tujuan politis ketimbang efesiensi dan pemerataan. Daerah-daerah yang kaya sumber daya alam akan memilih memisahkan diri jika tidak diperbolehkan untuk menikmati penerimaan dari sumber daya alam di wilayahnya. Oleh sebab itu, desentralisasi fiskal dapat dijadikan instrumen memelihara kesatuan wilayah dan mencegah ancaman disintegrasi bangsa.

20 Wahyudi Kumorotomo, Desentralisasi Fiskal, Politik dan Perubahan Kebijakan 1974 – 2004, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), hal. 5


(38)

Pada umumnya desentralisasi fiskal dirumuskan sebagai penyerahan urusan fiskal ke bawah, dimana jenjang pemerintahan yang lebih tinggi menyerahkan sebagian kewenangannya mengenai anggaran dan keputusan-keputusan finansial kepada jenjang yang lebih rendah.22 Kebijakan

desentralisasi fiskal pada dasarnya ditujukan untuk memecahkan masalah kekurangan pendapatan, mengatasi eksternalitas dan melakukan redistribusi pendapatan nasional, serta menstabilkan ekonomi makro diseluruh daerah demi tercapainya penguatan dan stabilitas ekonomi secara nasional.

Menurut Ebel:

Desentralisasi fiskal terkait dengan masalah pembagian peran dan tanggung jawab antar jenjang pemerintahan, transper antar jenjang pemerintahan, penguatan sistem pendapatan daerah atau perumusan sistem pelayanan publik di daerah, swastanisasi perusahaan milik pemerintah (terkadang menyangkut tanggung jawab pemerintahan daerah, dan penyediaan jaringan pengaman nasional).23

Islam berpendapat:

Perlunya penerapan multi-instrumen dalam desentralisasi fiskal, mulai dari pemberian subsidi untuk pemerataan, kerangka pinjaman daerah, basis pajak daerah yang non-distortif, peningkatan kemampuan daerah dan akuntabilitas demokratis di tingkat daerah. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kebanyakan kebijakan desentralisasi punya tujuan jamak (multi objective), sehingga tujuannya tidak sekedar untuk efesiensi dan ketahanan fiskal tetapi juga untuk mengatasi ketimpangan antar daerah, meningkatkan akuntabilitas pemerintah daerah, peningkatan kemampuan daerah serta mengurangi kendala bagi lingkungan bisnis yang kompetitif.24

22 James Manor, The Political Economy of Demokratic Desentralisation (Washington: Word Bank, IBRD, 1999), P.6. Dikutip Wahyudi Kumorotomo, Op.cit, hal. 11

23 Wahyudi Kumorotomo, Opcit, hal. 7

24 Inayatul Islam, Making Desentralisation Work: Reaping the Reward and Managing the Risks (UNSFIR Working Paper, 1999), Dikutip Wahyudi Kumorotomo, Op.cit, hal. 12


(39)

B. Teori Pengelolaan Keuangan

Negara merupakan suatu organisasi unik, yang memiliki otoritas bersifat memaksa diatas subyek hukum pribadi yang menjadi warga negaranya. Untuk melaksanakan tugasnya sebagai suatu organisasi yang teratur, negara harus memiliki harta kekayaan yang berasal dari penerimaan negara untuk dipergunakan membiayai segala proses pengurusan, pengelolaan dan penyelenggaraan negara tersebut.

Pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan merupakan bagian dari anggaran keuangan yang harus dikelola dengan baik secara berimbang dan dinamis. Berimbang dalam arti jumlah keseluruhan pengeluaran yang dilakukan, baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan selalu sama dengan jumlah keseluruhan penerimaan yang didapatkan. Dinamis berarti dalam hal penerimaan lebih rendah dari apa yang telah direncanakan, maka pengeluaran-pengeluaran harus disesuaikan agar tetap terjaga keseimbangannya.

Gunawan Widjaja menyatakan:

Tidak ada suatu bentuk pengurusan, pengelolaan, dan penyelenggaraan negara yang tidak memerlukan biaya, yang dapat diselenggarakan dengan percuma. Oleh karena itu untuk melakukan tugasnya tersebut, para pengurus ataupun penyelenggara negara harus mencari sumber pembiayaan, melakukan pengelolaan atas pendapatan tersebut, dan selanjutnya mendistribusikannya untuk kepentingan seluruh rakyat.25

25 Gunawan Widjaja, Pengelolaan Harta Kekayaan Negara, (Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2002), hlm.3


(40)

Menurut D’Audiffert:

Pengelolaan keuangan negara sangat besar pengaruhnya terhadap nasib suatu bangsa, karena suatu negara dapat menjadi negara yang kuat dan berkuasa serta mampu mengembangkan kebesarannya atau menjadi tidak berdaya tergantung pada cara mengelola keuangannya. Seorang negarawan yang ulung tidak akan mencapai prestasi yang sempurna dalam mewujudkan buah pikirannya jika tidak dapat mengatur dan mengurus keuangan negara berdasarkan cara-cara yang sehat dan terutama ditujukan kearah melindungi dan mengembangkan kepentingan dan harta benda masyarakat atas dasar kecakapan dan pandangan yang bijaksana.26

Mengingat pentingnya pengelolaan keuangan dalam penyelenggaraan pemerintahan, oleh pemerintah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dimana pengelolaan keuangan dilakukan dalam keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan. Untuk mensinergikan tata kelola keuangan Pusat dan Daerah, oleh Pemerintah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

Keuangan negara/daerah, pada dasarnya harus dikelola secara tertib, taat peraturan perundang-undangan, efektif, efesien, ekonomis, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan dan manfaat bagi masyarakat yang tersusun dalam suatu dokumen APBN/APBD agar setiap transaksi keuangan baik masuk maupun keluar dilakukan secara transparan dan akuntabel.

26 Arifin P. Soeria Atmadja, Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara, Suatu Tinjauan Yuridis, (Jakarta : PT. Gramedia, 1986), hlm.7


(41)

Pengelolaan anggaran mempunyai tiga kegunaan pokok, yaitu sebagai pedoman kerja, sebagai alat pengkoordinasian kerja dan sebagai alat pengawasan kerja. Dengan melihat kegunaan pokok dari pengelolaan anggaran tersebut, maka pertumbuhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah dapat berfungsi sebagai:

1. Fungsi perencanaan, dimana dalam perencanaan APBD adalah penentuan tujuan yang akan dicapai sesuai dengan kebijaksanaan yang telah disepakati misalnya target penerimaan yang akan dicapai, jumlah investasi yang akan ditambah, rencana pengeluaran yang akan dibiayai.

2. Fungsi koordinasi, dimana anggaran berfungsi sebagai alat mengkoordinasikan rencana dan tindakan berbagai unit atau segmen yang ada dalam organisasi, agar dapat bekerja secara selaras ke arah tercapainya tujuan yang diharapkan.

3. Fungsi komunikasi, jika yang dikehendaki dapat berfungsi secara efisien maka saluran komunikasi terhadap berbagai unit dalam penyampaian informasi yang berhubungan dengan tujuan, strategi, kebijaksanaan, pelaksanaan dan penyimpangan yang timbul dapat teratasi.

4. Fungsi motivasi, dimana anggaran berfungsi pula sebagai alat untuk memotivasi para pelaksana dalam melaksanakan tugas-tugas yang diberikan untuk mencapai tujuan.

5. Fungsi pengendalian dan evaluasi, dimana anggaran dapat berfungsi sebagai alat pengendalian yang pada dasarnya dapat membandingkan


(42)

antara rencana dengan pelaksanaan sehingga dapat ditentukan penyimpangan yang timbul, dan penyimpangan tersebut sebagai dasar evaluasi atau penilaian prestasi dan sekaligus merupakan umpan balik pada masa yang datang.27

Arifin P.Soeria Atmadja mengemukakan:

Anggaran negara sebagai obyek hubungan-hubungan hukum yang istimewa (bijzondere rechsbetrekking), yang dapat memungkinkan para pejabat (otorisator, ordonator, dan bendaharawan) berdasarkan wewenangnya mengadakan pengeluaran/penerimaan anggaran negara, menguji kebenaran, memerintahkan pembebanannya, serta menerima, menyimpan, membayar atau mengeluarkan anggaran negara dan mempertanggungjawabkannya.28

Bila ditinjau dari sudut pengelolaan keuangan pemerintah baik di pusat maupun di daerah, dalam implementasinya kerap mengalami penyimpangan-penyimpangan. Terdapatnya berbagai penyimpangan yang terjadi dalam pengelolaan keuangan daerah, merupakan kenyataan yang tidak boleh dibiarkan. Hukum sebagai landasan batas bertindak, mengemban “misi suci” menyelenggarakan tatanan keuangan yang mapan secara normatif maupun empiris. Dalam hubungan ini, sudah sepantasnya bahwa hukum semestinya didayagunakan sebagai sarana penciptaan ketertiban pengelolaan keuangan secara tersistem dan terarah.

27 Ibid, hlm.57 28Ibid, hlm. 59


(43)

2. Landasan Konseptual

Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian. Jika masalah dan kerangka teoritisnya telah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian, dan suatu konsep menentukan antara variabel yang akan mengungkapkan adanya gejala empiris.29

Oleh karena itu, dalam penelitian ini didefenisikan beberapa konsep dasar, yaitu:

a. Desentralisasi adalah pendistribusian kekuasaan kepada pemerintah daerah bawahan dalam bentuk penyerahan kewenangan.

b. Otonomi Daerah adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah.

c. Otonomi istimewa adalah salah satu bentuk otonomi dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia yang diberikan kewenangan istimewa untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan rumah tangganya. d. Otonomi Khusus adalah salah satu bentuk otonomi dalam sistem

penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia yang diberikan kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan rumah tangganya.

e. Dana Otonomi Khusus adalah pendapatan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintahan Aceh dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Aceh.


(44)

f. Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang, termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut.

g. Pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.

h. Penerimaan daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah.

i. Pengelolaan Keuangan adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan.

G. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif menurut Ronald Dworkin disebut juga penelitian doctrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it by the judge through judicial process.30

30 Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, disampaikan pada dialog interaktif tentang “Penelitian Hukum dan hasil Penulisan Penelitian Hukum pada Majalah Akreditasi”, FH. USU, tanggal 18 Februari 2003, Hal. 3


(45)

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu menggambarkan bagaimana Otonomi dalam kontek teori – teori hukum yang dalam pemaparannya membahas tentang berbagai persoalan yang berkaitan dengan Otonomi Khusus dan Pengelolaan Dana Otonomi Khusus di Provinsi Aceh.

2. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan penelaahan terhadap bahan – bahan hukum yang bersumber dari data - data yang meliputi:

1. Bahan hukum primer yaitu peraturan perundang – undangan yang relevan dengan penelitian ini, seperti : UUD 1945 (sebelum dan setelah amandeman), Undang – Undang tentang Pemerintahan Daerah (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, Nomor 22 Tahun 1948, Nomor 44 Tahun 1950, Nomor 1 Tahun 1957, Nomor 18 Tahun 1965, Nomor 5 Tahun 1974, Nomor 22 Tahun 1999 dan Nomor 32 Tahun 2004), Undang- Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang – Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah,


(46)

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 56/PMK.7/2008 tentang Penetapan Dana Otonomi Khusus Provisi Aceh Tahun Anggaran 2008, Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus. Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Aceh, Laporan Rencana dan Realisasi Penerimaan Keuangan Daerah, Statistik Keuangan dan Laporan ataupun hasil penelitian lainnya yang dianggap relevan dalam mendukung hasil penelitian ini.

2. Bahan hukum sekunder diperoleh melalui berbagai literatur, berupa buku-buku bacaan, jurnal, serta referensi lainnya yang dianggap relevan dan berhubungan dengan penelitian ini.

3. Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum skunder31 berupa: Kamus, Ensiklopedia, dan sebagainya yang relevan

dengan penelitian ini. 4. Bahan hasil wawancara.


(47)

3. Alat Pengumpul Data

Alat yang dipergunakan untuk pengumpulan data atau bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan 2 (dua) cara :

1. Studi kepustakaan (documentary study);

Studi kepustakaan ini adalah cara mencari bahan hukum atau data dengan mengkaji dokumen hukum, berupa konsep – konsep, teori, pendapat, atau penemuan – penemuan yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan dalam berbagai literatur buku-buku hukum, jurnal hukum dan ketentuan perundang-undangan baik berupa naskah konstitusi (UUD 1945) sebelum dan sesudah perubahan, Undang-Undang Otonomi Daerah (UU No. 1 Tahun 1945 sampai UU No.32 Tahun 2004), Undang-Undang Otonomi Khusus Provinsi Aceh (Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006), Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang – Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antar Pemerintah Pusat dan Daerah, serta peraturan perundang-undangan terkait lainnya.

2. Wawancara (interview).

Disamping melakukan studi kepustakaan, peneliti juga melakukan wawancara kepada aparatur-aparatur Pemerintah, baik Gubernur Aceh, Wakil Gubernur Aceh, DPR Aceh, Bupati dan Wakil Bupati Aceh Tamiang, Forum KKA (Komunikasi Kabupaten/Kota) dll.


(48)

4. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan mempergunakan metode pendekatan kualitatif, yaitu menganalisa bahan hukum yang bersumber dari bahan-bahan hukum primer, bahan-bahan hukum sekunder, maupun bahan-bahan hukum tertier yang dipadukan dengan hasil wawancara, untuk selanjutnya disajikan dalam bentuk uraian kalimat. Pendekatan kualitatif yang dilakukan lebih menekankan analisis pada proses penyimpulan secara deduktif dan induktif serta terhadap dinamika hubungan antar fenomena yang diamati dengan menggunakan logika ilmiah.


(49)

BAB II

OTONOMI KHUSUS PROVINSI ACEH DALAM SISTEM OTONOMI DI INDONESIA

A. Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia

Penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah sesungguhnya telah terjadi jauh sebelum Negara Indonesia merdeka, khususnya pada masa penjajahan Belanda. Pondasi awal desentralisasi pada masa penjajahan belanda diatur dalam

Regering Reglement (RR)32 yang ditetapkan pada tahun 1854. Peraturan ini

menegaskan bahwa di Hindia Belanda tidak dikenal adanya desentralisasi karena sistem yang digunakan adalah sentralisasi, namun disamping sentralisasi diperkenalkan juga dekonsentrasi. Dengan adanya dekonsentrasi, kawasan Hindia Belanda di bentuk wilayah-wilayah administratif yang diatur secara hierarkis mulai Gewest (residentie), Afdeling, Distric, dan Onderdistric.

Selanjutnya pada tahun 1903, oleh Pemerintah Belanda ditetapkan

Decentralisatie Wet33 pada tanggal 23 Juli 1903 yang diundangkan dalam

Staatsblad Tahun 1903 Nomor 329. Decentralisatie Wet pada dasarnya memuat ketentuan dari Regering Reglement tahun 1854 ditambah beberapa pasal baru yang memungkinkan adanya daerah otonom (gewest) yang memiliki kewenangan

32 Regering Reglement sebutan lazim dari Reglement op het beleid der regering van Nederlandsch-Indie, Stbl. 1854 No. 129 yang ditetapkan pada tanggal 2 September 1854. Lihat Jimly Asshiddiqie, op.cit, hlm.397

33Decentralisatie Wet sebutan lazim dari Wet van Houdende Decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch-Indie.


(50)

mengurus keuangan sendiri. Daerah-daerah yang dibentuk dipimpin oleh petinggi-petinggi Belanda yang ditunjuk oleh Pemerintah Belanda.

Kemudian pada tahun 1925 Pemerintah Belanda mengeluarkan Wet op de Staatsinrichting van Nederlands-Indie yang biasa disebut Indische Staatsregeling

(IS). Aturan ini mulai melibatkan orang Indonesia dalam badan-badan pemerintahan, khususnya para kaum ningrat. Untuk melaksanakan Indische Staatsregeling (IS) tersebut, dikeluarkan dua peraturan baru, yaitu Regentschap ordonatie dan Provincies ordonantie. Melalui kedua peraturan tersebut, kawasan Jawa dan Madura mulai dibagi dalam beberapa Provincies (setara dengan provinsi), Regent (setara dengan karesidenan) dan Stad (setara dengan kabupaten/kotamadya).

Kawasan di luar Jawa, pada tahun 1937 diberlakukan Groepgemeenschap ordonantie dan Stadgemeente ordonantie Buittengewesten. Pemerintahan lokal yang dibentuk berdasarkan peraturan sebelumnya tetap dipertahankan tetapi dibawahnya dibentuk beberapa Groeps (setara karesidenan) dan Stad (setara kabupaten/kotamadya). Dalam sistem ini mulai diterapkan konsep desentralisasi yang disebut otonomi daerah. Otonomi dalam konsep ini adalah hak untuk membantu pelaksanaan pemerintah pusat, sementara kepala daerah adalah “orang pusat di daerah” yang sekaligus memegang jabatan tertinggi di daerah dan diawasi oleh Gubernur Jenderal.34

34 Ahmad Yani, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 8-9


(51)

Ketika Jepang masuk ke Indonesia tahun 1942, konsep yang sudah dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda tidak dipakai lagi. Pemerintah Jepang menghapuskan sistem desentralisasi dengan menerapkan sistem sentralisasi penuh melalui kekuasaan militer sebagai sentralnya.

Setelah kemerdekaan, sejarah perkembangan otonomi daerah di Indonesia mengalami pasang surut dari waktu ke waktu sejalan dengan adanya konfigurasi politik yang mewarnai proses terciptanya suatu undang-undang pemerintahan daerah yang representatif dan aktual.

Sejak kemerdekaan sampai saat ini, proses desentralisasi dengan distribusi kekuasaan/kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintahan Daerah selalu bergerak dan berubah-ubah dari satu titik ke titik lain dengan bobot kekuasaan yang berpindah-pindah mengikuti perubahan sistem politik (rezim) dalam memandang visi tentang kebangsaan.35

Konsep otonomi daerah yang selalu bergerak pada titik keseimbangan yang berbeda, mempengaruhi jalannya pemerintahan di daerah. Perbedaan itu sangat jelas terlihat dengan menggunakan konsep bandul yang selalu bergerak secara simetris pada dua sisi, yaitu Pusat dan Daerah. Dengan kata lain bahwa pada suatu waktu bobot kekuasaan terletak pada Pemerintah Pusat dan pada kesempatan lain bobot kekuasaan berada pada Pemerintah Daerah.36

35 J. Kaloh, op.cit, hlm 15 36 Ibid, hlm 16


(52)

Gambar 1

Bobot Kekuasaan Pemerintahan

Sentralisasi Desentralisasi

Kondisi yang demikian ini disebabkan karena dua hal, pertama, karena pengaturan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, yang sejak kemerdekaan hingga sekarang telah memiliki 7 (tujuh) Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, antara lain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden (PANPRES) Nomor 6 Tahun 1959, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Jika kita cermati secara analitis, terlihat bahwa titik berat bobot kekuasaan ternyata berpindah-pindah pada masing-masing kurun waktu berlakunya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah tersebut37. Kedua, di

sebabkan adanya perbedaan interpretasi dan implementasi terhadap

37 UU No. 1 Tahun 1945 bobot kekuasaan pada pemerintah pusat (sentralisasi), UU No.22 Tahun 1948 bobot kekuasaan pada pemerintah daerah (desentralisasi), UU No. 1 Tahun 1957 bobot kekuasaan pada pemerintah daerah (desentralisasi), Penpres No. 6 Tahun 1959 bobot kekuasaan pada pemerintah pusat (sentralisasi), UU No. 18 Tahun 1965 bobot kekuasaan pada pemerintah daerah (desentralisasi), UU No. 5 Tahun 1974 bobot kekuasaan pada pemerintah pusat (sentralisasi), UU No. 22 Tahun 1999 bobot kekuasaan pada pemerintah daerah (desentralisasi), UU No. 32 Tahun 2004 bobot kekuasaan pada pemerintah daerah (desentralisasi).


(53)

Undang tentang Pemerintahan Daerah yang disebabkan oleh kepentingan penguasa pada masa berlakunya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah.38

Perjalanan panjang sejarah pemerintahan sebelum proklamasi dan setelah proklamasi, menjadi masukan yang sangat berarti untuk melahirkan pemerintahan daerah yang kuat dan stabil dari kepentingan politis, atau karena konflik kepentingan antara eksekutif dan legislatif, maupun karena tarik-menarik kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Meskipun pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda telah timbul pelaksanaan otonomi daerah, namun karena pada waktu itu Negara Indonesia belum terbentuk, maka sejarah panjang otonomi daerah di Indonesia dapat dikategorikan dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu era kemerdekaan, era Orde Baru, dan era Reformasi.

1. Otonomi Daerah di Era Kemerdekaan

Proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia oleh Sukarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta, merupakan babak baru bagi terbentuknya negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat, memberikan konsekuensi logis bagi negara Indonesia untuk membentuk sistem pemerintahan yang akan di jalankan. Oleh karena itu, pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam sidang Panitia Persiapan


(54)

Kemerdekaan Indonesia (PPKI) disepakati untuk mensahkan UUD yang dikenal dengan UUD 1945. Dalam Konstitusi tersebut diakui adanya otonomi dalam sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia, khususnya dalam Pasal 18 UUD 1945, yaitu:

Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.

Lebih lanjut dijelaskan dalam penjelasan Pasal 18 yang terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu:39

I. Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat

staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek and locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang.

II. Dalam territorial Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250

zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.

Isi pasal 18 beserta penjelasannya merupakan acuan dan dasar bagi pemerintah untuk mengatur sistem otonomi daerah dengan pola pengaturan yang mensinergikan hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, maupun antar pemerintahan daerah.

39 Penjelasan UUD ini hanya terdapat di dalam naskah UUD yang asli, sedangkan dalam Amandemen UUD, penjelasan tersebut ditiadakan dengan memasukkan substansi yang penting ke dalam pasal dan ayat tertentu.


(55)

Pada era kemerdekaan (1945-1965) sebagai babak awal baru bagi terbentuknya pemerintahan daerah, oleh pemerintah telah dikeluarkan beberapa kebijakan tentang otonomi daerah yang diawali dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, kemudian Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Ketetapan Presiden (PANPRES) Nomor 6 Tahun 1959, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965.

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945

Sejalan dengan proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia dan ditetapkannya UUD 1945, yang dalam Pasal 18 mengamanahkan pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahan ditetapkan dengan Undang-Undang, maka pada tanggal 19 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan pembagian daerah Negara Republik Indonesia menjadi 8 (delapan) Provinsi yang masing-masing dikepalai oleh seorang Gubernur, yaitu:

Jawa Barat (Mas Soetardjo Karrohadikusumo), Jawa Tengah (R.P. Soeroso), Jawa Timur (R.M.T.A. Soeryo), Sumatera (Mr. Teuku Muhammad Hasan), Kalimantan (Ir. Pangeran Muhammad Nur), Sulawesi (dr. G.S.S.J. Ratu Langie), Sunda Kecil (Mr. I Gusti Ketut Pudja), dan Maluku (Mr. J. Latuharhary). Daerah Propinsi dibagi lagi dalam Karesidenan yang dikepalai oleh seorang Residen.40


(56)

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dalam Pasal IV Aturan Peralihan juga mengamanahkan agar dibentuk suatu Komite Nasional sebelum terbentuknya lembaga MPR, DPR, dan DPA guna membantu Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan. Atas dasar hal tersebut, Wakil Presiden Mohd. Hatta pada tanggal 16 Oktober 1945 mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden Nomor X yang menyatakan bahwa Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) diserahi kekuasaan legislatif dan tugasnya sehari-hari dijalankan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP).

Dengan dibaginya Negara Republik Indonesia menjadi 8 (delapan) daerah Propinsi dan Karesidenan, maka untuk terselenggaranya penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut dibentuklah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) yang diundangkan pada tanggal 23 November 1945. Undang-undang ini merupakan kebijakan formal pertama yang melandasi semangat otonomi daerah di Indonesia dengan maksud untuk mengadakan lembaga legislatif lokal yang bernama Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) guna mendampingi Kepala Daerah dalam menjalankan pemerintahan di daerah.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 menegaskan keberadaan Komite Nasional Daerah yang berkedudukan di Karesidenan (Kabupaten/Kota sekarang) sebagai Badan Permusyawaratan Rakyat Daerah (BPRD) atau


(57)

pemegang kekuasaan legislatif lokal yang bertugas mengatur urusan rumah tangga daerah bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah.41

Bila ditinjau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, tampak jelas bobot kekuasaan berada pada pemerintah pusat, sedangkan desentralisai yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah-daerah otonom adalah desentralisasi politik, khususnya aspek kekuasaan legislatif lokal. Desentralisasi administrasi dan desentralisasi fiskal belum diatur sama sekali, bahkan bentuk dan susunan daerah belum ditetapkan termasuk pengaturan daerah istimewa.42

Hal ini disadari sepenuhnya oleh para pembentuk undang-undang akan segala kekurangan dan ketidaklengkapan undang-undang tersebut, sebagaimana dinyatakan secara eksplisit di dalam penjelasan umumnya bahwa Peraturan ini tidak sempurna dan tentu tidak akan memberikan kepuasan sepenuhnya, karena harus diadakan dengan cepat sekedar mencegah kemungkinan kekacauan.

Selain itu di dalam konsideran juga dinyatakan, kehadiran undang-undang ini hanyalah untuk sementara waktu, terutama sebelum diadakan pemilu. Namun, dapatlah dikatakan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun

41 KND yang belum dipilih melalui pemilu ini tidak dapat berjalan sendiri, tetapi dipimpin oleh Kepala Daerah (bukan anggota) sehingga tidak punya hak suara. Meskipun kondisi tersebut tidak ideal bagi suatu badan legislatif, tapi realitas ini dapat dimengerti demi kelancaran pemerintahan daerah pada masa itu.


(58)

1945 memberikan konstribusi dalam meletakkan fundamen awal terbentuknya badan legislatif lokal dan menanamkan tradisi otonomi daerah.

b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948

Pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 yang dilakukan secara cepat dengan materi pengaturan yang sangat sederhana (hanya terdiri dalam 6 pasal), menimbulkan banyak kesulitan dalam pelaksanaannya, terutama karena dominannya peran Kepala Daerah yang tidak saja sebagai kepala pemerintahan akan tetapi juga selaku pimpinan KND (BPRD).

Dominannya peran Kepala Daerah, mengakibatkan mandulnya peran KND (BPRD) selaku badan legislatif dan menjadikan kurang harmonisnya hubungan keduanya. Karena itu, pada tanggal 10 Juli 1948 oleh pemerintah ditetapkan Udang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 yang mengatur pokok-pokok pemerintahan di daerah.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 terdiri atas V Bab dan 47 Pasal yang dilengkapi dengan penjelasan umum dan penjelasan pasal per pasal dengan rincian, Bab I mengatur tentang pembagian daerah otonom, Bab II mengatur tentang bentuk dan susunan pemerintahan daerah, Bab III mengatur tentang kekuasaan dan kewajiban pemerintahan daerah, Bab IV mengatur tentang keuangan daerah, dan Bab V mengatur tentang pengawasan terhadap daerah.


(1)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan dalam konteks otonomi khusus dan pengelolaan dana otonomi khusus Provinsi Aceh berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain:

1. Otonomi khusus Provinsi Aceh berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh merupakan sub sistem dalam sistem pemerintahan negara sebagi satu kesatuan badan hukum publik yang tunggal dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945. 2. Pengelolaan dana otonomi khusus Provinsi Aceh dilakukan dalam suatu

manajemen pengelolaan yang diatur dalam Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus, yang mengatur pengelolaan dana otonomi khusus dalam rangkaian kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pertanggungjawaban dan pelaporan dengan sistem pengelolaan secara sentralisasi oleh Provinsi Aceh.

3. Pengelolan keuangan, termasuk dana otonomi khusus pada dasarnya harus dikelola secara tertib, taat peraturan perundang-undangan, efektif, efesien, transparan dan akuntabel sejalan dengan prinsip-prinsip Good Governance.


(2)

Tidak efektifnya pengelolaan dana otonomi khusus dan tidak berjalannya transparansi dalam pengelolaan dana otonomi khusus di Provinsi Aceh, menunjukkan buruknya tata kelola keuangan Provinsi Aceh dan tidak dijalankannya prinsip-prinsip Good Governance dalam pengelolaan dana otonomi khusus di Provinsi Aceh.

B. Saran

Dalam konteks pelaksanaan otonomi khusus dan pengelolaan dana otonomi khusus, maka beberapa hal dapat disarankan sebagai berikut:

1. Perlu diatur secara khusus kriteria daerah otonomi khusus dan otonomi istimewa dalam UUD 1945, sehingga tidak membingungkan dan menimbulkan kecemburuan bagi daerah, serta tidak menimbulkan anggapan bahwa untuk mendapatkan status otonomi khusus atau otonomi istimewa harus melalui pemberontakan bersenjata. Karena pada dasarnya, penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia tidak saja dikarenakan untuk mencegah konflik disintegrasi bangsa, tetapi juga dikarenakan faktor sejarah dan heterogenitas yang dimiliki bangsa Indonesia, baik kondisi sosial, ekonomi, budaya, maupun sumber kekayaan alam yang beragam di daerah. 2. Dalam pengelolaan dana otonomi Khusus:

a. Pelimpahan wewenang pengelolaan dana otonomi khusus kepada Kabupaten/Kota, sehingga beban Pemerintah Provinsi dapat berkurang


(3)

dan pelaksanaan dana otonomi khusus dapat berjalan lebih efektif dan efesien. Dana otonomi khusus pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat (public service). Secara teoritis, pelayanan akan berjalan secara efektif dan efesien bila proses pelayanan didekatkan kepada masyarakat.

b. Uji materi 20 (dua puluh) tahun pemberian dana otonomi khusus Provinsi Aceh terhadap Pasal 18 UUD 1945.

c. Pembinaan hubungan yang harmonis antara Provinsi dan Kabupaten/Kota serta antara eksekutif dan legislatif dalam pengelolaan dana otonomi khusus melalui bentuk hubungan positif searah agar proses koordinasi dapat berjalan dengan baik.

3. Pelaksanaan prinsip-prinsip Good Governance dalam pengelolaan dana otonomi khusus melalui reformasi sistem pembiayaan (financing reform), reformasi sistem penganggaran (budgeting reform), reformasi sistem akuntansi (accounting reform), reformasi sistem pemeriksaan (audit reform), dan reformasi sistem manajemen keuangan (financial management reform) yang sejalan dengan prinsip-prinsip Good Governance. Pembaruan sistem pengelolaan keuangan diperlukan agar pengelolaan uang rakyat (public money) dilakukan secara transparan sejalan dengan makna demokrasi berdasarkan konsep value for money sehingga tercipta akuntabilitas publik.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku dan Makalah

Agussalim Andi, Pemerintahan Daerah: Kajian Politik dan Hukum, Analisis Perundang-undangan Pemerintahan Daerah dan Otonomi Daerah Semenjak Tahun 1945 Sampai Dengan 2004, Bogor : Ghalia Indonesia, 2007.

Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Pasca Perubahan UUD 1945, Bandung : Fokus Media, 2009

Amin Ibrahim, Pokok-pokok Analisis Kebijakan Publik (AKP), Bandung : CV. Mandar Maju, 2004.

Bacal, Robert, Performance Management, McGraw-Hill Companies, Inc, New York, 1999

Bohari, Hukum Anggaran Negara. Jakarta: Rajawali Pers, 1995

B.N. Marbun, DPRD dan Otonomi Daerah, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2005.

Gunawan Widjaja, Pengelolaan Harta Kekayaan Negara, Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2002.

Imam Syaukani, A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Inayatul Islam, Making Desentralisation Work: Reaping the Reward and Managing the Risks UNSFIR Working Paper, 1999

James Manor, The Political Economy of Demokratic Desentralisation Washington: Word Bank, IBRD, 1999.

J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2002. Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,

Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007.


(5)

Lubis, M. Solly, Diktat Teori Hukum, 2006. Muhammad Umar, Peradaban Aceh, JKMA.

Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Yogyakarta : Penerbit Liberty, 1993.

Mardiasmo, Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah, ANDI, Yogyakarta, 2002.

Nasution, Bismar, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, disampaikan pada dialog interaktif tentang “Penelitian Hukum dan hasil Penulisan Penelitian Hukum pada Majalah Akreditasi”, FH. USU, tanggal 18 Februari 2003

Raharusun, Yohanis Anton, Daerah Khusus dalam Perspektif NKRI, Jakarta : Konstitusi Press, 2009.

Situmorang, Victor M. & Sitanggang ,Cormentyna, Hukum Administrasi Pemerintahan di Daerah, Jakarta : Sinar Grafika, 1983.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI. Press, 1984.

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1985.

Said Zinal Abidin, Kebijakan Publik, Jakarta : Yayasan Pancur Siwah, 2002. Sukarwo, Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah Berdasarkan Prinsip-Prinsip

Good Financial Governance, Airlangga University Press, Surabaya, 2005

B. Jurnal dan Majalah.

Aceh Future, 30 Maret 2008

Aceh Dalam Angka 2008, Pemerintah Aceh. Info Pers, Jakarta, 19 November 2007.

Jurnal Otonomi Daerah, Vol. VII, No. 3, Agustus-September 2007. Koran Serambi Indonesia, 29 Februari 2008.


(6)

Koran Aceh Future, 27 November 2008

Majalah Aceh Economic Review, Edisi-VI, Agustus 2006.

C. Peraturan Perundang-undangan.

UUD 1945 (sebelum dan setelah amandeman).

Undang – Undang tentang Pemerintahan Daerah (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, Nomor 22 Tahun 1948, Nomor 44 Tahun 1950, Nomor 1 Tahun 1957, Nomor 18 Tahun 1965, Nomor 5 Tahun 1974, Nomor 22 Tahun 1999 dan Nomor 32 Tahun 2004).

Undang- Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Undang – Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus.


Dokumen yang terkait

KAJIAN YURIDIS PEMEKARAN WILAYAH KECAMATAN DI KABUPATEN BONDOWOSO BERDASARKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

0 3 17

Eksistensi Partai Politik Lokal Di Provinsi Aceh Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Perspektif Uu Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh)

0 11 79

KONSTRUKSI HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH

0 21 71

PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PROVINSI PAPUA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA DAN PAPUA BARAT DI KABUPATEN MIMIKA.

0 2 20

PENDAHULUAN POLITIK HUKUM JUDICIAL REVIEW PASAL 256 UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH (UUPA) (SEBUAH STUDI HUKUM MENGENAI KEKISRUHAN PEMILUKADA ACEH 2012).

0 3 24

TINJAUAN PUSTAKA POLITIK HUKUM JUDICIAL REVIEW PASAL 256 UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH (UUPA) (SEBUAH STUDI HUKUM MENGENAI KEKISRUHAN PEMILUKADA ACEH 2012).

1 6 64

METODE PENELITIAN POLITIK HUKUM JUDICIAL REVIEW PASAL 256 UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH (UUPA) (SEBUAH STUDI HUKUM MENGENAI KEKISRUHAN PEMILUKADA ACEH 2012).

0 4 38

PENUTUP POLITIK HUKUM JUDICIAL REVIEW PASAL 256 UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH (UUPA) (SEBUAH STUDI HUKUM MENGENAI KEKISRUHAN PEMILUKADA ACEH 2012).

0 6 8

Kedudukan Dan Fungsi Komisi Independen panitia pengawas pemilihan Nanggroe Aceh Darussalam Berdasarkan undang-undang Nomor 11 Tahun 2006.

0 0 6

ANALISIS YURIDIS KEWENANGAN PENYELENGGARAAN PELABUHAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DALAM RANGKA PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH Oleh: Mochamad Abduh Hamzah ABS

0 0 22