1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masalah kemiskinan dan pengangguran merupakan dua masalah yang tidak akan pernah habis untuk diperbincangkan. Walaupun pemerintah terus berupaya
untuk menekan angka kemiskinan dan pengangguran, namun ternyata hal itu belum bisa diatasi secara tuntas baik oleh pemerintahan sebelum reformasi maupun setelah
reformasi. Berbagai cara telah ditempuh, salah satu diantaranya adalah menciptakan proyek padat karya yang diharapkan bisa menyerap tenaga kerja. Pemerintah juga
telah merangkul investor untuk melakukan investasi di Indonesia, bunga pinjaman Bank juga diturunkan. Semua bertujuan agar menyerap tenaga kerja dan muaranya
diharapkan bisa mengurangi jumlah angka kemiskinan dan pengangguran. Rakyat miskin adalah mereka yang berpenghasilan di bawah Rp. 120.000,00
atau 150.000,00 atau 175.000,00 per bulan kompas, 16-9-2005. Penyebab mendasar kemiskinan menurut Partoatmodjo dalam Ibnu Syamsi, 2009:6, dikatakan antara lain
1 kegagalan kepemilikan atas tanah dan modal, 2 terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana, 3 kebijakan pembangunan yang bias
perkotaan dan bias sektor, 4 adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung, 5 rendahnya produktivitas dalam
masyarakat, 6 budaya hidup yang dikaitkan kemampuan seseorang dalam mengelola sumber daya alam dan lingkungannya, 7 tidak adanya tata pemerintahan yang baik
dan bersih, dan 8 pengelolaan sumber daya alam yang berlebihn dan tidak berwawasan lingkungan. Ada dua langkah besar untuk mengatasi kemiskinan, yaitu:
2 penyediaan fasilitas umum dan sosial bagi masyarakat kurang mampu kompas, 19-6-
2007 Sejak dimulainya penghitungan penduduk miskin tahun 1976 hingga tahun
2006 atau sekitar tiga dasa warsa terakhir ini, jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami fluktuasi yang signifikan. Pada tahun 1976 penduduk Indonesia yang
hidup di bawah kemiskinan adalah 54,2 juta jiwa atau 40,1. Pada tahun 1996 atau 20 tahun kemudian jumlah penduduk tersebut menurun menjadi 22,5 juta jiwa atau
11,3 dari total penduduk, Suripto Heri Pujiyanto, 2006:46. Pada tahun 1998 sebagai puncak terjadinya krisis ekonom yang melanda Indonesia, kondisi penduduk
miskin mengalami kenaikan dua kali lipat jika dibandingkan dengan tahun 1996, yakni mencapai 49,5 juta jiwa SUSENAS, 1998.
Kemudian jika fluktuasi penduduk miskin dilihat secara lima tahunan dalam satu dasa warsa terakhir sejak tahun 1998 yang lalu, maka pada tahun 2002 terdapat
38,40 juta atau 18,20 jumlah penduduk miskin baik di kota maupun di desa. Lima tahun kemudian yaitu tahun 2006, jumlah penduduk miskin Indonesia mengalami
kenaikan menjadi 39,30 juta atau 17,75 dari total penduduk. Angka tersebut secara perlahan dalam dua tahun berturut-turut terus mengalami penurunan jumlah penduduk
miskin walaupun belum signifikan, yakni secara berturut-turut 37,17 juta atau 16,58 pada tahun 2007 dan 34,19 juta atau 15,42 pada tahun 2008.
Tahun 1998 sebagai awal krisis ekonomi yang melanda sejumlah negara di dunia, telah membawa implikasi negatif terhadap meningkatnya jumlah angka
kemiskinan di Indonesia. Bahkan krisis ekonomi yang memicu munculnya krisis multi demensi pada tahun 1998 tersebut hingga kini sebenanya masih banyak
menyisakan permasalahan yang harus dibenahi dan ditanggulangi. Salah satu masalah
3 yang tidak pernah lekang ditelan jaman adalah masalah cara mengatasi kemiskinan.
Secara lebih rinci data tentang kemiskinan di Indonesia sejak tahun 1998 sampai 2008 dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 1: Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia tahun 1998-2008 Tahun
Jumlah Miskin
juta Jumlah
tase Kota
Desa Kota+Desa
Kota Desa
Kota+Desa 1998
17,60 31,90
49,50 21,92
25,72 24,23
1999 15,64
32,33 47,97
19,41 26,03
23,43 2000
12,30 26,40
38,70 14,60
22,38 19,14
2001 8,60
29,30 37,90
9,76 24,84
18,41 2002
13,30 25,10
38,40 14,46
21,10 18,20
2003 12,20
25,10 37,30
13,57 20,23
17,42 2004
11,40 24,80
36,10 12,13
20,11 16,66
2005 12,40
22,70 35,10
11,68 19,98
15,97 2006
14,49 24,81
39,30 13,47
21,81 17,75
2007 13,56
23,61 37,17
12,52 20,37
16,58 2008
12,77 22,19
34,96 11,65
18,93 15,42
Sumber: Berita Resmi BPS No.43
Jika melihat data kemiskinan seperti di atas, jelas bahwa sejak dilakukannya sensus penduduk miskin tahun 1976 sampai sekarang ini sebenarnya besar kecil
jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh garis kemiskinan yang ditetapkan oleh pemerintah. Penduduk miskin, menurut Badan Pusat Statistik BPS adalah
penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Garis Kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua, yakni Garis
Kemiskinan Makanan GKM dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan GKBM. Pada umumnya komponen GKM komoditi makanan kebutuhan pokok manusia
memegang peranan lebih besar dibandingkan dengan GKBM sandang, papan,
4 perumahan, dan kesehatan. GKM merupakan nilai pengeluaran kebutuhan mínimum
makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilo kalori per kapita per hari. Untuk mengukur kemiskinan di Indonesia, BPS menggunakan apa yang
disebutnya konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar
basic needs approach
. Melalui pendekatan ini, kemiskinan dapat dipandang sebagai ketidakmampuan dari
sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran, sehingga dapat diketahuidihitung
Headcount Index,
yakni persentse penduduk miskin terhadap total penduduk. Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi oleh semua negara di dunia.
Membicarakani masalah kemiskinan di Indonesia bagaikan menguari benang kusut yang sulit dicari jalan keluarnya. Salah satu penyebab kemiskinan adalah karena
rendahnya produktivitas sumber daya manusia. Produktivitas yang rendah merupakan bagian dari serangkaian rentetan lain yakni pendidikan yang rendah, seseorang yang
berpendidikan rendah merupakan akibat dari pendapatannya yang rendah pula. Seseorang yang tidak memiliki pendapatanpenghasilan yang cukup, maka dalam
konsumsi atas barang dan jasa yang dibelinya juga rendah. Jika tingkat konsumsi rendah, gizi tidak tercukupi sesuai standar kebutuhan tubuh, tingkat asupan gizi yang
rendah mengakibatkan kesehatan rendah, dan begitu seterusnya hingga semua itu bermuara pada dampak atas semua masalah kolektif yang disebut dengan kemisikinan
dan keterbelakangan. Menurut Kamala Chandrakirana Eni Maryani, dalam Kiromin Baroroh,
2006:37 dikatakan bahwa kemiskinan merupakan kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan asasi atau esensial sebagai manusia dan rendahnya kualitas pendidikan.
Sedangkan menurut Barkah Lestari, 2006:31, menyatakan bahwa kemiskinan muncul
5 karena ada dua faktor yang mempengaruhi, yakni faktor eksternal dan internal. Faktor
internal merupakan faktor yang bersumber dari masyarakat itu sendiri, yang meliputi rendahnya tingkat pengetahuan dan keterampilan, rendahnya tingkat pendapatan serta
buruknya kondisi keluarga. Sementara faktor eksternal merupakan faktor yang bersumber dari lingkungan dimana masyarakat tersebut berinteraksi. Adapun faktor
kemiskinan yang berasal dari sisi eksternal seperti terbatasnya pasar untuk produk yang mereka hasilkan, sarana transportasi yang kurang memadai, rendahnya
aksesibilitas terhadap modal, kualitas sumber daya alam yang rendah, teknologi yang terbatas, dan kelembagaan yang tidak baik.
Selain masalah kemiskinan yang muncul dari tahun ke tahun, dari pemerintahan ke pemerintahan hingga saat ini adalah tingginya jumlah angka pengangguran.
Pengangguran secara dapat didefinisikan sebagai sebuah kondisi seseorang yang tidak memiliki pekerjaan atau sedang mencari pekerjaan. Sementara menurut Sri
Hermuningsih, 2005:3, pengangguran di definisikan sebagai ketidak mampuan angkatan kerja
labor forcé
untuk memperoleh pekerjaan sesuai yang mereka butuhkan dan mereka inginkan.
Sebagai gambaran, jumlah pengangguran Indonesia pada tahun 2009 yang lalu adalah 9,2 juta orang atau 8 dari total penduduk. Jumlah pengangguran tersebut jika
dilihat menurut pendidikan dan jenis kelamin sangatlah fantastis. Dari 9,2 penganggur di Indonesia tahun 2009, ternyata 5 juta orang penganggur berjenis kelamin pria dan
4,2 juta orang sisanya wanita. Dari sisi pendidikan, jumlah pengangguran tersebut sebagian besar masih berpendidikan Sekolah Menegah Pertama SMP, Sekolah dasar
SD, dan ada pula pengangguran yang tidak pernah sekolah sama sekali mencapai 4,92 juta orang atau 50 dari jumlah total pengangguran yang ada. Kemudian jumlah
6 pengangguran yang berpendidikan Sekolah Menengah Atas SMA sebanyak 3,3 juta
orang atau 40, dan sisanya merupakan lulusan sarjana dan diploma sebesar 10 atau 1,14 juta orang. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti akan melakukan
pengembangan model pendidikan kewirausahaan bagi RPS dalam upaya mengurangi kemiskinan dan pengangguran di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian